• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIAPAN DAERAH DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KESIAPAN DAERAH DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING DAERAH"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PAPPIPTEK—LIPI

Seri Laporan Teknis Penelitian No. : 2014-01-01-02

Pengarang :

Galuh Syahbana Indraprahasta

Anugerah Yuka Asmara

Dadang Ramdhan

Purnama Alamsyah

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

KESIAPAN DAERAH

KESIAPAN DAERAH

KESIAPAN DAERAH

DALAM MENINGKATKAN

DALAM MENINGKATKAN

DALAM MENINGKATKAN

DAYA SAING DAERAH

DAYA SAING DAERAH

DAYA SAING DAERAH

(2)
(3)
(4)

SARI KARANGAN

Kondisi perekonomian glokal saat ini membutuhkan kesiapan setiap daerah untuk meningkatkan daya saingnya. Konsep pengembangan wilayah endogen (endogenous regional

development) menawarkan suatu pendekatan yang menekankan pada penguatan

faktor-faktor endogen wilayah sebagai pendorong dan pengungkit daya saing wilayahnya. Konsep ini tidak menihilkan peran faktor eksogen/eksternal, tetapi lebih memberikan perhatian terhadap faktor endogen dalam kaitannya penciptaan inovasi untuk mendukung pengembangan ekonomi wilayah yang berdaya saing. Penelitian ini memiliki 2 tujuan, yaitu (1) menganalisis jejaring dan interaksi aktor-aktor di daerah dalam rangka menghasilkan inovasi, (2) menganalisis kemampuan pemerintah daerah dalam mendukung dan mengembangkan iklim inovasi untuk membangun ekonomi wilayah. Metode untuk memahami dinamika interaksi yang terjadi adalah Actor-Network Theory (ANT). Untuk menjawab dua tujuan tersebut, digunakan teori pendukung dan dengan mempertimbangkan sintesis dari ANT. Dua studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kota Bandung dan Kota Bitung berdasarkan perbedaan isu dan keberagaman karakteristik. Isu yang diangkat di Kota Bandung adalah formalisasi Kota Kreatif. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah: (1) jejaring aktor di Kota Bandung sangat dimobilisasi oleh BCCF, namun inovasi yang dihasilkan masih pasial karena belum sepenuhnya didukung oleh aktor lokal lain; adapun di Kota Bitung, inovasi produk lebih terlihat meskipun sangat sederhana dan tidak dihasilkan dari suatu interaksi jejaing yang dinamik; (2) Pemerintah Kota Bandung berusaha untuk mengembangkan iklim yang kondusif meski tidak didukung oleh pimpinan tertingginya; adapun Pemerintah Kota Bitung belum tampak secara nyata dalam mendukung iklim inovasi.

Kata Kunci: Kota Bandung, Kota Bitung, pengembangan wilayah endogen, ANT, jejaring, pemerintah kota

iii Kesiapan Daerah dalam Meningkatkan Daya Saing Daerah

(5)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Abstrak Bab I Pendahuluan 1-1 A. Latar Belakang 1-1 B. Perumusan Masalah 1-3 C. Tujuan 1-3 D. Sistematika 1-3

Bab II Tinjauan Teori 2-1

A. Daya Saing dan Inovasi 2-1

B. Pengembangan Wilayah Endogen dan Jejaring Aktor-Kelembagaan 2-4 C. Peran Pemerintah dalam Pengembangan Wilayah Endogen 2-8

Bab III Metode Penelitian 3-1

A. Kerangka Analisis 3-1

B. Waktu dan Lokasi Penelitian 3-4

C. Pengumpulan Data dan Metode Analisis 3-6

D. Tahapan Penelitian 3-7

Bab IV Gambaran Umum Kota Bandung 4-1

A. Sejarah Kota Bandung 4-1

B. Perkembangan Kota Bandung 4-2

C. Geografis dan Iklim 4-4

D. Penduduk 4-12

E. Penggunaan Lahan 4-16

F. Tenaga Kerja 4-17

G. Pendidikan 4-19

H. Sosial dan Budaya 4-20

iv Kesiapan Daerah dalam Meningkatkan Daya Saing Daerah

(6)

I. Ekonomi 4-22

J. Infrastruktur 4-35

Bab V Kota Bandung: Formalisasi Kota Kreatif 5-1

A. Siklus Translasi ANT 5-1

B. Keterkaitan Jejaring Aktor dengan Inovasi yang Produktif dan Inklusif 5-12 C. Peran Pemerintah dalam Pengembangan Iklim Inovasi 5-14

Bab VI Gambaran Umum Kota Bitung 6-1

A. Geografis dan Iklim 6-1

B. Penduduk 6-6

C. Tenaga Kerja 6-14

D. Sektor Pertanian 6-18

Bab VII Kota Bitung: Tuna sebagai Pendorong Ekonomi 7-1

A. Siklus Translasi ANT 7-1

B. Keterkaitan Jejaring Aktor Dengan Inovasi dalam Pengelolaan 7-13 Sumber Daya Perikanan

C. Peran Pemerintah dalam Pengembangan Iklim Inovasi 7-21

Bab VIII Kesimpulan dan Saran 8-1

A. Kesimpulan 8-1

B. Saran 8-2

v Kesiapan Daerah dalam Meningkatkan Daya Saing Daerah

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Daya saing (ekonomi) merupakan terminologi yang sangat jamak menjadi pewacanaan umum (mainstream) khususnya terkait dengan perwujudan dari suatu pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (Ohmae, 1995; Porter, 1990), meski dalam beberapa batasan mempunyai pendefinisian yang beragam (Martin, 2005). Dalam pengertian pengembangan ekonomi wilayah sebagai suatu proses (Stimson et al., 2006; Karlsson, 2012), komponen daya saing merupakan tahapan terakhir dari proses tersebut, spesifiknya sebagai komponen tahap hasil (outcome) (Lengyel, 2004). Daya saing merupakan kumulasi agregat dari perpaduan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja, serta peningkatan produktivitas masyarakat, yang ketiganya merupakan komponen-komponen kunci dalam tahap keluaran (output) (Lengyel, 2004).

Penelitian-penelitian mengenai daya saing daerah Indonesia yang telah dilakukan lebih banyak difokuskan pada pemeringkatan indikator daya saing (ekonomi) daerah (Kusumah, 2008; KPPOD, 2005; Abdullah dkk., 2002; Irawati dkk., 2008), pengembangan klaster maupun industri daerah (Arianti, 2005; Taufik, 2005), pengembangan kompetensi inti daerah (Christanto, 2011; Langoday, 2011), pengembangan wisata daerah (Trisnawarti, Wiyadi, Priyono, 2008; Riyadi dkk., 2012), dan daya saing teknologi daerah (Arifin dkk., 2006; Wulandari dan Marimin, 2010). Adapun penelitian mengenai kesiapan daerah sampai sejauh ini belum pernah dilakukan. Ruang inilah yang kemudian coba diisi dan menjadi keunikan dari penelitian ini.

Jika pengembangan ekonomi wilayah merupakan suatu rangkaian tahapan untuk mencapai suatu kondisi yang berdaya saing, tahapan awal dari proses tersebut menjadi kritikal untuk diperhatikan. Dapat diartikan bahwa wilayah perlu menciptakan kondisi di tahapan awal sehingga dapat memproduksi keluaran yang diharapkan serta menghasilkan kondisi masa depan sebagai akumulasi dampaknya. Oleh karena itu, pemahaman mengenai kesiapan wilayah untuk meningkatkan daya saing menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Kesiapan wilayah dapat diartikan sebagai kemampuan wilayah dalam memanfaatkan potensi

yang ada serta bagaimana proses interaksi antar komponen wilayah saling bekerja

untuk mencapai tujuan yang diinginkan. (Gambar 1.1) 1

(8)

Sumber: Diadaptasi dari Karlsson (2012), Lengyel (2004), Stimson et al. (2006)

Gambar 1.1 Proses Pengembangan Ekonomi Wilayah

Pertemuan antara dua dinamika terkini, terutama globalisasi dan otonomi daerah – yang dalam beberapa literatur disebut sebagai glokalisasi- memberikan wilayah (atau dalam hal ini daerah otonom) tantangan yang lebih besar. Globalisasi ekonomi memberikan kemudahan bagi dunia eksternal seperti investasi luar negeri, pekerja luar negeri, produk impor, teknologi global, dan sebagainya untuk masuk ke suatu daerah tertentu dan turut meramaikan aktivitas ekonomi di daerah tersebut. Adapun otonomi daerah, dalam batasan tertentu memberikan tingkat otoritas yang lebih besar pada para pemangku kepentingan di tingkat daerah untuk dapat mengelola dan membangun daerahnya masing-masing (Abdullah dkk., 2002; Brodjonegoro, 2009). Globalisasi ekonomi mempunyai dua sisi –positif dan negative- yang saling berinterkasi dalam pembangunan ekonomi daerah. Selain potensi akses terhadap pasar global, teknologi baru, maupun pengetahuan baru, kehadiran komponen eksternal seperti pengetahuan luar, perusahaan asing, dan bentuk lainnya dapat berimplikasi negatif terhadap kondisi sosial-ekonomi nasional dan daerah. Stiglitz (2003) secara khusus memberikan kritik bagaimana globalisasi turut menyebabkan krisis ekonomi di negara berkembang. Bersautan dengan kondisi riil seperti ini, konsep pengembangan wilayah endogen (endogenous regional development) menawarkan suatu pendekatan yang menekankan pada penguatan faktor-faktor endogen wilayah sebagai pendorong dan pengungkit daya saing wilayahnya (Vasquez-Barquero, 2002; Stimson et al., 2011; Tödtling, 2011).

Konsep pengembangan wilayah endogen selain bertumpu pada kekuatan lokal klasik seperti konsep pengembangan ekonomi lokal (local economic development) (baca lebih lanjut: Blakely & Blakely, 2013), juga memandang kehadiran dunia eksternal (eksogen) –di mana di dalamnya terdapat faktor-faktor globalisasi ekonomi- yang perlu ditangkap dan diadaptasi untuk memperkuat kondisi unik lokal/daerah.

Input Proses Output Outcome

Sumber daya alam Sumber daya manusia

Sumber daya buatan Sumber daya sosial Sumber daya finansial

Pertumbuhan ekonomi Produktivitas tenaga kerja

Kesempatan kerja

Daya saing

2 Kesiapan Daerah dalam Meningkatkan Daya Saing Daerah

(9)

Keberadaan pengetahuan luar, perusahaan luar, dan teknologi luar sebagai contoh bisa dimanfaatkan dalam pembangunan sosial-ekonomi daerah jika infrastruktur keras dan lunak (sumber daya manusia, regulasi) disiapkan dengan kokoh sehingga aliran eksternal yang masuk dapat dikelola dan menjadi kekuatan baru. Konsep ini mencoba memberikan perhatian lebih besar pada aspek endogenitas dalam proses inovasi yang mendorong pengembangan ekonomi wilayah.

Dalam proses inovasi inilah kekuatan jejaring aktor menjadi salah satu hal yang perlu diperkuat (Vázquez-Barquero, 2002: 16; lihat juga Tödtling, 2011: 334). Masalah utama di negara berkembang bukanlah pada keberdaan aktor-aktor untuk mendukung inovasi, tetapi aktor-aktor tersebut belum berinteraksi membentuk sistem yang kuat (Chaminade and Vang, 2008 in Chaminade et al., 2009). Dalam era otonomi daerah di Indonesia, kekuatan dari jejaring aktor lokal inilah yang akan mampu mensinergikan dalam pemanfaatan sumber daya yang ada sehingga keluaran pembangunan yang diproduksi dapat lebih berkualitas dan terarah.

B. Perumusan Masalah

Proses inovasi yang dicerminkan dengan aktor-aktor yang saling berinteraksi dan belajar merupakan inti dari kesiapan daerah. Kesiapan daerah pada hakikatnya merupakan suatu proses yang menjembatani antara sumber daya daerah dengan keluaran yang diinginkan untuk mendukung daya saing daerah. Meskipun otonomi daerah telah memberikan otoritas lebih besar bagi daerah untuk mengelola dan membangun daerahnya, pembangunan daerah seringkali masih tersegregasi antarsektor dan antarpemangku kepentingan. Oleh karena itu, proses mengenai bagaimana antar aktor saling berinteraksi dan belajar perlu dianalisis untuk lebih memahami setting kelembagaan saat ini terbentuk. Untuk membangun jejaring antar-aktor yang lebih kuat serta menciptakan iklim inovasi secara lebih luas, pemerintah berfungsi sebagai katalisator dan perekat interaksi serta pengarah pembangunan daerah yang lebih terfokus.

C. Tujuan

Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas, ada 2 tujuan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Menganalisis jejaring dan interaksi aktor-aktor di daerah dalam rangka menghasilkan inovasi yang produktif dan inklusif

2. Menganalisis kemampuan pemerintah daerah dalam mendukung dan mengembangkan iklim inovasi untuk membangun ekonomi wilayah

3 Kesiapan Daerah dalam Meningkatkan Daya Saing Daerah

(10)

D. Sistematika

Laporan Penelitian ini terdiri dari 8 bab sebagai berikut ini: 1. Pendahuluan

Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, dan tujuan dari penelitian ini. 2. Tinjauan Teori

Bab ini merupakan tinjauan teori yang disusun runtut untuk menghasilkan kerangka analisis serta menempatkan penelitian ini dalam konsep-teori yang sudah mapan. Oleh karena itu substansi teori tersebut membahas: daya saing dan inovasi, pengembangan wilayah endogen dan jejaring aktor-kelembagaan, dan peran pemerintah dalam pengembangan wilayah endogen.

3. Metode Penelitian

Bab ini berisikan mengenai kerangka analisis yang digunakan, lokasi dan waktu penelitian, pengumpulan dan analisis data, serta tahapan penelitian.

4. Gambaran Umum Kota Bandung

Bab ini berisikan beragam potret Kota Bandung dari sisi fisik, sosial, dan ekonomi. 5. Kota Bandung: Formalisasi Kota Kreatif

Bab ini berisikan hasil dan pembahasan yang dibagi dalam sub-bab siklus translasi ANT, jejaring aktor, serta peran pemerintah dalam mendukung iklim inovasi dalam pengembangan Kota Bandung sebagai kota kreatif.

6. Gambaran Umum Kota Bitung

Bab ini berisikan beragam potret Kota Bitung dari sisi fisik, sosial, dan ekonomi 7. Kota Bitung: Tuna sebagai Pendorong Ekonomi

Bab ini berisikan hasil dan pembahasan yang dibagi dalam sub-bab proses translasi ANT, jejaring aktor, serta peran pemerintah dalam mendukung iklim inovasi dalam pengembangan perikanan secara umum maupun ikan tuna di Kota Bitung.

8. Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisikan kesimpulan atas 2 tujuan penelitian serta saran sebagai upaya perbaikan studi kasus dan substansi.

4 Kesiapan Daerah dalam Meningkatkan Daya Saing Daerah

(11)

5 Kesiapan Daerah dalam Meningkatkan Daya Saing Daerah

Informasi lengkap dari Laporan Teknis Seri Penelitian ini dapat dilihat di : Perpustakaan PAPPIPTEK-LIPI

Gedung A PDII-LIPI Lantai 4

Jl. Jend. Gatot Subroto no. 10 Jakarta Selatan 12710 Tel. : +62-21-5225711 ext 4028

+62-21-5225206 Fax: +62-21-5201602 http://www.pappiptek.lipi.go.id

Gambar

Gambar 1.1 Proses Pengembangan Ekonomi Wilayah

Referensi

Dokumen terkait

1. Media merupakan asumsi yang berkembang dan kerap kali mengalami perubahan. Media juga telah berkembang menjadi suatu industri sendiri yang memiliki peraturan

Kertas kerja ini akan menerangkan mengenai repositori institusi Universiti Sains Malaysia (USM) atau Repository@USM yang telah dipertanggungjawabkan kepada Perpustakaan

Dari Tabel 4.2 ditunjukkan bahwa fitur Turbo Boost lebih memberikan peningkatan kinerja dibandingkan dengan fitur Hyperthreading pada Intel Core i7 untuk aplikasi Image

Gambar 7. Perbandingan nilai SE setiap model indeks Berdasarkan hasil uji akurasi model estimasi produksi jagung dengan menggunakan data lapangan, model estimasi indeks EVI

Uji angka lempeng total pada 10 sampel lipstik cair yang terdiri dari 3 sampel usia 12 bulan, 1 sampel usia 6 bulan, 1 sampel usia 3 bulan, dan 5 sampel usia 0 bulan ditemukan

sesuai dengan prinsip dan ketentuan yang berlaku LAI-75/PW31/2/2016 ST-176/PW31/2/2016 Audit atas Laporan Keuangan Program PAMSIMAS II Kabupaten Gorontalo (Loan IBRD No.8259-ID)