• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENILAIAN KUALITAS TANAH PADA PRODUKSI TANAMAN SAYURAN DENGAN METODE KARBON TEROKSIDASI KMnO 4 (POTASSIUM PERMANGANATE) TISNA PRASETYO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENILAIAN KUALITAS TANAH PADA PRODUKSI TANAMAN SAYURAN DENGAN METODE KARBON TEROKSIDASI KMnO 4 (POTASSIUM PERMANGANATE) TISNA PRASETYO"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

PENILAIAN KUALITAS TANAH PADA PRODUKSI

TANAMAN SAYURAN DENGAN METODE KARBON

TEROKSIDASI KMnO

4

(POTASSIUM PERMANGANATE)

TISNA PRASETYO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Penilaian Kualitas Tanah pada Produksi Tanaman Sayuran dengan Metode Karbon Teroksidasi KMnO4 (Potassium Permanganate) adalah karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011

Tisna Prasetyo A252074011

(3)

ABSTRACT

TISNA PRASETYO. Soil Quality Assessment for Vegetable Management Practice with KMnO4 Oxidizable Method. Under direction of ANAS

DINURROHMAN SUSILA, and SYAIFUL ANWAR.

A simple method of estimating biologically active soil organic carbon (SOC) can accelerate determination of soil quality related to soil organic matter (SOM) content. Changes in biologically active SOC can be used in evaluating the impact of vegetable management and other agricultural practices on soil quality. Regional estimates of SOC changes can only be obtained by analyzing very large number of samples over large areas due to the strong spatial variability in SOC contents. Visible and Near Infrared Spectroscopy (VNIRS) provides an alternative to chemical analyses. The benefits of this technique include a reduction of the sampling processing time, an increase of the number of samples that can be analyzed within time and budget constraints, hence an improvement of the detection of small changes in SOC stocks for a given area. This study report on a highly simplified method in which neutral dilute solutions of potassium permanganate (KMnO4) reacts with most of the active fractions of SOM,

changing the deep purple color of the solution to a light pink color. Pearson correlation was used to compare laboratory and field-kit protocol with other soil quality indicators. Results from the laboratory and field-kit protocols were nearly identical (r=0.99, R2=0.98), not significant t test, not different CV (range 10-14%), and not different coefficient of correlation.

Key words: soil quality, active soil organic carbon, potassium permanganate, vegetable management practice.

(4)

TISNA PRASETYO. Penilaian Kualitas Tanah pada Produksi Tanaman Sayuran dengan Metode Karbon Teroksidasi KMnO4 (Potassium Permanganate).

Dibimbing oleh ANAS D SUSILA dan SYAIFUL ANWAR.

Teknologi produksi tanaman berkembang sangat pesat sehingga hasil produksi meningkat tajam, akan tetapi tidak semua manajemen produksi yang telah diterapkan akan berkorelasi positif dengan daya dukung lingkungan. Pada tanaman sayuran, selain permasalahan pupuk, pengolahan lahan pertanian yang intensif menyebabkan penurunan produktivitas lahan, pencucian hara, erosi yang tinggi juga menyebabkan penurunan produktivitas, pemadatan tanah, dan berkurangnya bahan organik tanah. Beberapa permasalahan tersebut apabila berlangsung dalam jangka waktu yang sangat lama, diprediksikan kondisi lahan sayuran tersebut akan mengalami degradasi lahan atau tidak berkelanjutan.

Bahan organik tanah (BOT) merupakan salah satu indikator penting kualitas tanah. Karbon organik tanah (C) merupakan bagian yang dominan dalam BOT yaitu ± 58% berat, sehingga dapat digunakan sebagai interpretasi dalam penilaian kualitas tanah. Perubahan kecil pada C akibat perubahan pengolahan tanah dapat dinyatakan secara tepat dampaknya pada tanah dan mempengaruhi beberapa proses mikroba, degradasi lahan, dan erosi, sehingga berpengaruh terhadap kualitas tanah.

Metode terbaru yang dilakukan peneliti dalam penilaian kualitas tanah secara mudah dan cepat adalah dengan memperkirakan kandungan C aktif dengan metode C teroksidasi KMnO4 (potassium permanganate). Prinsip dasar metode ini

adalah dengan melihat peluruhan warna hasil konversi dari Mn7+ ke bentuk Mn2+ pada saat direaksikan dengan tanah. Kandungan C aktif dilihat dengan cara mengukur absorban larutan tersebut.

Penilaian kualitas tanah secara cepat dan mudah di lapang perlu dilakukan untuk meneliti pengaruh sistem budidaya sayuran yang dikembangkan oleh petani terhadap kandungan C, kualitas tanah, dan keberlanjutan sistem pertanian tersebut. Metode sederhana dan mudah dilakukan di lapang yang digunakan untuk memperkirakan kandungan C adalah metode karbon teroksidasi KMnO4.

Studi ini dilakukan dengan tujuan menerapkan metode karbon teroksidasi KMnO4 sebagai metode penilaian kualitas tanah pada berbagai manajemen

produksi sayuran dan mengevaluasi hubungan manajemen produksi dengan kandungan karbon organik tanah sebagai indikator kualitas tanah.

Tipe penggunaan lahan yang digunakan untuk studi adalah lahan dengan vegetasi tanaman sayuran. Jumlah sampel sebanyak 45 tersebar di sembilan desa di Kecamatan Nanggung yaitu Desa Hambaro, Kalong Liud, Pangkaljaya, Bantarkaret, Sukaluyu, Parakan Muncang, Nanggung, Malasari, dan Curugbitung. Berdasarkan hasil survei, sebagian besar petani sayur di Kecamatan Nanggung melakukan manajemen produksi olah tanah minimal, pada lahan monokultur, dengan penambahan pupuk kandang sebanyak 5-10 ton ha-1, selalu menambahkan pupuk sintetis, tetapi tidak menambahkan kompos atau mengembalikan sisa tanaman kering ke lahannya. Saat ini, sebanyak 40% petani telah melakukan

(5)

perubahan manajemen produksi menjadi lebih baik dibandingkan 10 tahun sebelumnya.

Nilai C aktif yang tinggi merupakan indikasi tingginya bahan organik dalam tanah tersebut. Ketersedian bahan organik dalam tanah dipengaruhi oleh banyak faktor seperti jenis komoditi tanaman sayuran, manajemen pengelolaan lahan, kelembaban, oksigen, pH tanah, hara, vegetasi, bahan induk tanah, dan topografi.

Hasil analisis kandungan C aktif di beberapa desa di Kecamatan Nanggung mempunyai sebaran yang luas antara 250 - 750 C mg kg-1. Sebaran yang luas ini digunakan untuk analisis korelasi dan regresi metode pengukuran C aktif. Hasil analisis korelasi Pearson pada menunjukkan kedua metode mempunyai hubungan yang signifikan pada taraf 5% (r = 0.99). Hasil analisis regresi didapat model Lab = 40.12 + 0.94 x field, dimana sebanyak 98% keragaman hasil pengukuran C aktif yang dikerjakan di laboratorium (C aktif-LAB) dapat dijelaskan dengan cara pengukuran C aktif yang dikerjakan di lapang (C aktif-FIELD). Tingkat hubungan yang erat (r=0.99) dan koefisien determinasi yang tinggi (R2=0.98) pada model tersebut merupakan salah satu indikator bahwa kedua metode tersebut mempunyai hasil pengukuran yang tidak berbeda.

Berdasarkan analisis korelasi, analisis regresi, uji t, perbandingan koefisien keragaman, dan perbandingan koefisien korelasi dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada penggunaan kedua metode tersebut.

(6)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang mendasar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian ataupun seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(7)

PENILAIAN KUALITAS TANAH PADA PRODUKSI

TANAMAN SAYURAN DENGAN METODE KARBON

TEROKSIDASI KMnO

4

(POTASSIUM PERMANGANATE)

TISNA PRASETYO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(8)
(9)

Judul : Penilaian Kualitas Tanah pada Produksi Tanaman Sayuran dengan Metode Karbon Teroksidasi KMnO4 (Potassium Permanganate)

Nama : Tisna Prasetyo, SP NRP : A252074011

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr Ir Anas D. Susila, MSi Dr Ir Syaiful Anwar, MSc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

(10)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sehingga atas karunia-Nya karya ilmiah dengan judul PPeenniillaaiiaann KKuuaalliittaass TTaannaahh ppaaddaa P

Prroodduukkssii TTaannaammaann SSaayyuurraann ddeennggaann MMeettooddee KKaarrbboonn TTeerrookkssiiddaassii KKMMnnOO44

(

(PoPottaassssiiuumm PePerrmmaannggaannaattee)) ini dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini dilakukan pada bulan April - Juni 2009 di Kecamatan Nanggung, Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Anas D. Susila, MSi dan Dr Ir Syaiful Anwar, MSc selaku komisi pembimbing yang telah memberikan sumbang saran dan bimbingannya sehingga terselesaikannya karya ilmiah ini.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada United State Agency for International Development (USAID) dan Sustainable Agriculture and Natural Resources Management Collaborative Research Support Program (SANREM-CRSP) atas pendanaan penelitian ini melalui program Agroforestry and Sustainable Vegetable Production in Southeast Asia Watershed. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr Peter Motavali selaku soil quality cross- cutting project advisor dan Ms. Bunjirtluk Jintaridth selaku mahasiswa Ph.D Universitas Missouri atas partnership dalam penelitian ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri, adik, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2011

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ngawi, Jawa Timur pada tanggal 25 September 1984 sebagai anak sulung dari pasangan Suratno dan Suwanti. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB, lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan studi di Mayor Agronomi dan Hortikultura, Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari USAID melalui kerjasama SANREM-CRSP dengan IPB.

Penulis bekerja sebagai asisten lapang kegiatan kerjasama SANREM-CRSP dengan IPB sejak tahun 2007 – 2009 di Kecamatan Nanggung, Bogor. Selanjutnya penulis bekerja sebagai staf di University Farm IPB dan sebagai personel counterpart Taiwan ICDF - IPB sampai sekarang.

(12)

i

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 3 Tujuan Penelitian ... 3 Manfaat Penelitian ... 4 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Manajemen Produksi Tanaman ... 5

Siklus Hara dan Siklus Karbon ... 6

Konsep Kualitas Tanah ... 7

Penilaian Kualitas Tanah... 8

Bahan Organik ... 9

BAHAN DAN METODE ... 13

Metode Penelitian ... 13

Pengumpulan Data ... 13

Interview dengan petani ... 14

Penilaian Kualitas Tanah... 14

Pembuatan larutan stok ... 14

Pembuatan dan penentuan kurva standar ... 15

Pengambilan sampel tanah ... 15

Perbandingan warna larutan ... 16

Pencatatan absorban ... 16

Penghitungan absorban ... 17

Kondisi lahan dan iklim ... 17

Analisis Data ... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

Kondisi Umum ... 19

Perbandingan Metode Pengukuran ... 20

Pengujian Metode Pengukuran ... 22

Manajemen Produksi Tanaman Sayuran ... 23

Penilaian Kualitas Tanah ... 25

Persepsi Petani terhadap Penilaian Kualitas Tanah ... 29

KESIMPULAN ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 33

(13)

ii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perbedaan metode pengukuran C aktif di lapang

dan di laboratorium ... 20 2 Uji t pada dua metode pengukuran C aktif ... 22 3 Perbandingan koefisien keragaman pada dua metode pengukuran

C aktif ... 22 4 Perbandingan koefisien korelasi dua metode pengukuran C aktif

berdasarkan variabel analisis tanah ... 23 5 Kelompok manajemen produksi sayur yang dilakukan petani

di Kecamatan Nanggung ... 24 6 Kelas kualitas tanah berdasarkan warna larutan KMnO4 ... 25

7 Interpretasi kelas kualitas tanah berdasarkan desa, ketinggian,

dan jenis tanaman ... 24 8 Persepsi petani terhadap penilaian kualitas tanah ... 29

(14)

iii

Halaman

1 Diagram alir kegiatan penelitian ... 14 2 Peta sebaran lokasi pengambilan sampel tanah

di Kecamatan Nanggung ... 19 4 Hubungan ketinggian lokasi dengan peningkatan C aktif ... 28 3 Sebaran nilai C aktif menggunakan metode C aktif-FIELD

(15)

iv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Jenis komoditi dan kelas kualitas tanah berdasarkan lokasi ... 41 2 Data iklim di Kecamatan Nanggung tahun 2008 ... 43 3 Hubungan antara kandungan C aktif tanah

dengan karakteristik sifat tanah yang lain ... 44 4 Hasil analisis tanah dan pengukuran C aktif di laboratorium tanah

Universitas Missouri, analisis kerapatan jenis

di laboratorium IPB, dan pengukuran C aktif di lapang ... 45 5 Kurva standar KMnO4 ... 48

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Budidaya tanaman sayuran merupakan salah satu sistem pertanian yang diusahakan secara intensif untuk meningkatkan produksi dan kualitas produk. Peningkatan produksi dapat dilakukan dengan memperbaiki manajemen produksi yaitu dengan penambahan input produksi, pemupukan, pengolahan tanah, pengairan, dan pengapuran. Sebagian besar pengelolaan lahan yang diterapkan petani saat ini sangat intensif seperti penambahan pupuk sintetis, pengolahan tanah intensif, dan pemanfaatan lahan untuk sayuran secara terus menerus. Pengelolaan ini dapat berdampak buruk terhadap kesuburan lahan, disisi lain petani kurang memperhatikan perbaikan lahan budidaya sayuran baik dengan penambahan bahan amelioran maupun bahan organik.

Teknologi produksi tanaman berkembang sangat pesat sehingga hasil produksi meningkat tajam, akan tetapi tidak semua manajemen produksi yang telah diterapkan akan berkorelasi positif dengan daya dukung lingkungan. Pada tanaman sayuran, pengolahan lahan pertanian yang intensif menyebabkan penurunan produktivitas lahan, pencucian hara, erosi yang tinggi, dan berkurangnya bahan organik tanah (Russel et al. 2006; Nissen & Wander 2003). Beberapa permasalahan tersebut apabila berlangsung dalam jangka waktu yang sangat lama, diprediksikan kondisi lahan sayuran tersebut akan mengalami degradasi lahan atau tidak berkelanjutan (Addiscot 2000).

Sistem pertanian berkelanjutan sangat erat kaitannya dengan kualitas tanah sebagai tempat tumbuh tanaman. Doran dan Parkin (1994) menyatakan bahwa kualitas tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk berfungsi dalam berbagai batas ekosistem dalam mendukung produktivitas biologi, mempertahankan kualitas lingkungan dan meningkatkan kesehatan makhluk hidup. Secara umum, terdapat tiga makna pokok dari definisi kualitas tanah yaitu produksi berkelanjutan, artinya seberapa tinggi kemampuan tanah dalam meningkatkan produksi dan tahan terhadap bahaya erosi. Makna ke dua yaitu peningkatan mutu lingkungan, artinya tanah diharapkan mampu dalam mengurangi pencemaran air

(17)

2

tanah, udara, penyakit dan kerusakan lingkungan sekitarnya. Makna ke tiga adalah untuk kesehatan makhluk hidup.

Kualitas tanah diukur berdasarkan pengamatan kondisi dinamis indikator-indikator kualitas tanah. Indikator kualitas tanah adalah sifat, karakteristik atau proses fisika, kimia dan biologi tanah yang dapat menggambarkan kondisi tanah tersebut (NRCS USDA 2001). Menurut Sikora et al. (1996) bahan organik tanah (BOT) merupakan salah satu indikator penting kualitas tanah. Karbon organik tanah (C) merupakan bagian yang dominan dalam BOT yaitu ± 58% berat tanah, sehingga dapat digunakan sebagai alat interpretasi dalam penilaian kualitas tanah. Perubahan kecil pada C akibat perubahan pengolahan tanah dapat dinyatakan secara tepat dampaknya pada tanah dan mempengaruhi beberapa proses mikroba, degradasi lahan, dan erosi, sehingga berpengaruh terhadap kualitas tanah.

Siklus C menunjukkan bahwa hasil mineralisasi bahan organik dapat terlepas kembali ke atmosfir dalam bentuk CO2 (Stevenson 1994). Karbon

organik tanah merupakan penyusun penting BOT sehingga terlepasnya C mengakibatkan rendahnya kandungan BOT yang selanjutnya berdampak pada rendahnya kesuburan tanah. Degradasi lahan pertanian akibat pengelolaan lahan pertanian yang kurang baik merupakan salah satu penyebab tingginya laju pelepasan C ke atmosfir. Untuk itu C digunakan sebagai indikator utama dalam penentuan kualitas tanah karena peranan C yang sangat besar di bidang pertanian. Perlengkapan penilaian kualitas tanah di lapang secara kualitatif telah dikembangkan oleh USDA NRCS yaitu Soil Health Assessment Card dan secara kuantitatif yaitu Soil Quality Test Kit (NRCS USDA 1998). Menurut Liebig et al. (1996) dan Steven et al. (2008) beberapa perlengkapan di lapang tersebut tidak dapat mengukur beberapa fraksi C aktif. Kandungan C total dapat ditentukan di laboratorium dengan metode wet acid dicrhomate oxidation (Walkley & Black 1974), CO2 yang dilepas diukur dengan cara dry combustion (seperti LECO Corp.

CHN Analyzer). Beberapa studi menggunakan spectrometer dengan metode oksidasi telah dilakukan di laboratorium untuk mengukur C aktif tanah dan menunjukkan hasil yang relevan dalam pengukuran C aktif tanah (McCarty & Reeves. 2001; McCarty et al. 2002; Martin et al. 2002).

(18)

Metode terbaru yang dilakukan peneliti dalam penilaian kualitas tanah secara mudah dan cepat adalah dengan memperkirakan kandungan C aktif dengan metode C teroksidasi KMnO4 (potassium permanganate) (Weil et al. 2003).

Prinsip dasar metode ini adalah dengan melihat peluruhan warna hasil konversi dari Mn7+ ke bentuk Mn2+ pada saat direaksikan dengan tanah. Kandungan C aktif dilihat dengan cara mengukur absorban larutan tersebut.

Perumusan Masalah

Permasalahan pertanian di kecamatan Nanggung yaitu tingginya erosi lahan pertanian di Daerah Aliran Sungai (DAS), pengolahan lahan yang intensif tanpa adanya perbaikan tanah oleh petani, dan pemanfaatan lahan hutan sebagai sistem agroforestri yang tidak terkelola dengan baik. Beberapa permasalahan tersebut diduga menyebabkan terjadi penurunan kesuburan lahan pertanian dan kualitas tanah, akan tetapi indikator kesuburan yang menurun tersebut perlu dibuktikan lebih jauh dengan diadakannya penelitian. Penilaian kualitas tanah dengan menggunakan metode cepat belum pernah dilakukan di Kecamatan Nanggung. Penilaian kualitas tanah secara cepat dan mudah di lapang perlu dilakukan untuk melihat pengaruh sistem budidaya sayuran terhadap kandungan C, kualitas tanah, dan keberlanjutan sistem pertanian tersebut. Metode sederhana dan mudah dilakukan di lapang yang digunakan untuk memperkirakan kandungan C adalah metode karbon teroksidasi KMnO4.

Tujuan Penelitian

Studi ini dilakukan dengan tujuan:

1. Menerapkan metode karbon teroksidasi KMnO4 sebagai metode penilaian

kualitas tanah pada berbagai manajemen produksi sayuran

2. Mengevaluasi hubungan manajemen produksi dengan kandungan karbon aktif tanah sabagai indikator kualitas tanah

(19)

4

Manfaat Penelitian

Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah:

1. Petugas pertanian mampu menggunakan metode penilaian kualitas tanah yang cepat, mudah, dan sederhana di lapang

2. Peneliti mendapatkan data dan menyimpulkan dampak pengelolaan lahan yang tidak tepat terhadap kualitas tanah pada lahan pertanian sayuran 3. Petani mengetahui dan mampu menerapkan perbaikan pengelolaan lahan

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Manajemen Produksi Tanaman

Kajian penting dalam ilmu agronomi untuk meningkatkan produksi tanaman melalui beberapa strategi, yaitu perbaikan kualitas benih, rekayasa genetika, aplikasi zat pengatur tumbuh, dan teknologi pemupukan. Selain beberapa bidang ilmu tersebut, kegiatan agronomi lain yang masih diterapkan untuk meningkatkan produksi seperti kegiatan pengolahan tanah, dan penambahan bahan organik. Kemajuan teknologi untuk meningkatkan produksi tanaman harus disinergikan dengan konservasi lingkungan tumbuh tanaman tersebut. Daya dukung lingkungan sebagai penunjang tanaman harus tetap terjaga dengan baik dan sistem pertanian berkelanjutan dapat terwujud (Andrews et al. 2004).

Teknologi pertanian tanpa olah tanah merupakan hal yang jarang dilakukan di daerah pertanian di Indonesia, biasanya hanya pada perkebunan skala besar. Pada produk pertanian tanaman pangan dan sayuran, justru kegiatan pengolahan tanah ini mendapat porsi yang besar. Pengolahan tanah yang terlalu intensif menyebabkan erosi dan dampak negatif terhadap keseimbangan biologi lainnya. Hasil penelitian Nissen dan Wander (2003) menunjukkan bahwa tanpa olah tanah mengurangi kehilangan N lewat pencucian, meningkatkan kapasitas pengambilan hara N. Hasil penelitian itu juga menambahkan bahwa aplikasi bahan organik dapat meningkatkan kualitas tanah.

Rotasi tanaman mempunyai efek positif terhadap indikator kualitas tanah. Total C organik merupakan indikator yang sangat sensitif, juga menunjukkan perbedaan pengukuran dan penilaian yang signifikan pada lokasi dengan tingkat rotasi tanaman yang berbeda (Karlen et al. 2006)

Ancaman degradasi fungsi tanah bisa terjadi seiring dengan kegiatan pemupukan sintetis yang tidak terkendali. Hasil penelitian Russel et al. (2006) menunjukkan bahwa penambahan pupuk N yang bersumber dari bahan sintetis secara signifikan berpengaruh terhadap rendahnya pH tanah (0- 15cm kedalaman) dan rendahnya pertukaran Ca, Mg, dan K serta kapasitas tukar kation pada sistem penanaman jagung yang dilakukan terus menerus.

(21)

6

Siklus Hara dan Siklus Karbon

Hubungan tanah, tanaman, hara dan air merupakan bagian yang paling dinamis dalam ekosistem. Tanaman menyerap hara dan air dari dalam tanah untuk dipergunakan dalamproses-proses metabolisme dalam tubuhnya. Sebaliknya tanaman memberikan masukan bahan organik melalui serasah yang tertimbun di permukaan tanah berupa daun dan ranting serta cabang yang rontok. Bagian akar tanaman memberikan masukan bahan organik melalui akar-akar dan tudung akar yang mati serta dari eksudasi akar. Bahan organik yang ada di permukaan tanah ini dan bahan organik yang telah ada di dalam tanah selanjutnya akan mengalami dekomposisi dan mineralisasi dan melepaskan hara tersedia ke dalam tanah. Penyediaan hara secara terus menerus melibatkan juga masukan dari hasil pelapukan mineral tanah, aktivitas biota, dan transformasi lain yang ada di biosfir, lithosfir dan hidrosfir (Hairiah 2002).

Hara hasil mineralisasi dari bahan organik tanah (BOT), mineral tanah dan dari pemupukan memasuki pool hara tersedia dalam tanah. Hara tersedia selanjutnya dapat diserap oleh tanaman, atau mengalami imobilisasi karena adanya khelat oleh bahan organik tanah atau mineral tanah. Hara tersedia yang berada di dalam larutan tanah dapat terangkut oleh pergerakan air tanah keluar dari jangkauan perakaran tanaman sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Dengan kata lain hara tersebut telah mengalami pencucian (leaching). Beberapa hara terutama dalam bentuk anion sangat lemah diikat oleh partikel liat dan memiliki tingkat mobilitas tinggi (misalnya nitrat), sehingga hara ini mudah mengalami pencucian. Beberapa hara dalam bentuk kation (misalnya kalium), gerakannya sangat ditentukan oleh kapasitas pertukaran tanah (Hairiah 2002).

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan akhir-akhir ini, ada 3 proses utama yang terlibat dalam siklus hara : 1) Fiksasi N dari udara: peningkatan jumlahN hasil penambatan dari udara bila tanaman legume yang ditanam, 2) Mineralisasi bahan organik: peningkatan jumlah hara dari hasil mineralisasi serasah dan dari pohon yang telah mati, 3) Penyerapan ulang hara: peningkatan jumlah serapan hara dari lapisan bawah oleh akar pepohonan yang menyebar cukup dalam. Akar pepohonan juga mengurangi jumlah kehilangan hara melalui

(22)

erosi dengan jalan memperlambat laju aliran permukaan dan meningkatkan air infiltrasi karena adanya perbaikan porositas tanah (Hairiah 2002).

Sebagian besar CO2 di udara dipergunakan oleh tanaman selama fotosintesis dan memasuki ekosistem melalui serasah tanaman yang jatuh dan akumulasi C dalam biomasa (tajuk) tanaman. Separuh dari jumlah C yang diserap dari udara bebas tersebut diangkut ke bagian akar berupa karbohidrat dan masuk ke dalam tanah melaui akar-akar yang mati. Terdapat 3 pool utama pemasok C ke dalam tanah yaitu: 1) tajuk tanaman pohon dan tanaman semusim yang masuk sebagai serasah dan sisa panen; 2) akar tanaman, melalui akar-akar yang mati, ujung-ujung akar, eksudasi akar dan respirasi akar; 3) biota. Serasah dan akar akar mati yang masuk ke dalam tanah akan segera dirombak oleh biota heterotrop, dan selanjutnya memasuki pool bahan organik tanah. Sedangkan kehilangan C dari dalam tanah dapat melalui a) respirasi tanah, b) respirasi tanaman, c) terangkut panen, d) dipergunakan oleh biota, e) erosi (Hairiah 2002).

Konsep Kualitas Tanah

The Soil Science Society of America (1984) mendefinisikan kualitas tanah sebagai sifat yang melekat pada tanah yang diketahui dari karakteristik tanah atau observasi langsung (seperti kepadatan, dan kesuburan). Kualitas tanah secara sederhana difokuskan atau disamakan dengan produktivitas tanah. Beberapa sifat fisik, kimia, dan biologi berinteraksi secara kompleks untuk menunjukkan kemampuan potensial tanah pada produksi berkelanjutan. Integrasi dari faktor faktor pemacu pertumbuhan yang menjadikan tanah produktif sering dimaksudkan sebagai “kualitas tanah”. Tanah bertindak sebagai filter lingkungan akibat kehilangan yang tidak diinginkan dari unsur unsur padat maupun gas dari udara dan air. Walaupun tidak diketahui dengan baik, kualitas tanah juga merupakan aturan penting untuk tanaman yang sehat dan kualitas gizi dari pangan yang dihasilkan.

The Rodale Institute Research Center mensponsori workshop pada Juli 1991 untuk mendiskusikan sifat dari kualitas tanah dan apakah sifat tersebut akan dikuantitatifkan dalam sebuah arti yang dapat diprediksikan efeknya dari proses degradasi, penerapan konservasi, dan input manajemen. Workshop tersebut

(23)

8

mengusulkan bahwa konsep kualitas tanah seharusnya diperluas dengan memasukkan sifat kualitas lingkungan, kesehatan manusia dan hewan, keamanan dan kualitas pangan. Kemudian pada akhirnya workshop menyimpulkan bahwa kualitas tanah didefinisikan sebagai kemampuan tanah untuk berproduksi secara aman dan hara yang dibutuhkan tanaman pada kondisi berkelanjutan dalam jangka waktu yang lama, mampu meningkatkan kesehatan manusia dan hewan, tanpa mengganggu sumberdaya alam atau merugikan lingkungan.

Menurut Doran dan Parkin (1994) kualitas tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk berfungsi dalam berbagai batas ekosistem untuk mendukung produktivitas biologi, mempertahankan kualitas lingkungan dan meningkatkan kesehatan tanaman, hewan dan manusia. Secara umum, terdapat tiga makna pokok dari definisi tersebut yaitu produksi berkelanjutan yaitu kemampuan tanah untuk meningkatkan produksi dan tahan terhadap erosi, mutu lingkungan yaitu tanah diharapkan mampu untuk mengurangi pencemaran air tanah, udara, penyakit dan kerusakan sekitarnya dan ketiga kesehatan makhluk hidup. Doran dan Parkin (1994) menambahkan bahwa dampak negatif dari ketidakmampuan tanah dalam memenuhi fungsinya adalah terganggunya kualitas tanah. Kondisi tersebut menyebabkan bertambah luasnya lahan kritis, menurunnya produktivitas tanah, dan pencemaran lingkungan.

Kondisi fisik, kimia dan biologi tanah dijadikan indikator untuk menentukan kualitas tanah (Sitompul & Setijono 1990; Karama et al. 1990). Doran dan Parkin (1994) juga menambahkan bahwa secara umum indikator kualitas tanah harus: 1) mengintegrasikan sifat kimia, fisika, dan biologi tanah, 2) mudah diperoleh oleh para pengguna dan diaplikasikan pada berbagai kondisi lapangan, 3) peka terhadap perubahan pengolahan tanah dan iklim, 4) dapat diukur atau diprediksi di lapangan dan di laboratorium, dan 5) sedapat mungkin tersedia dalam basis data tanah.

Penilaian Kualitas Tanah

Teknik penilaian kualitas tanah adalah metode untuk menilai kondisi fisik, kimia, dan biologi tanah apakah sesuai dan mempunyai daya dukung terhadap tanaman. Menurut Departemen Pertanian Amerika terdapat empat teknik penilaian

(24)

kualitas tanah yaitu Soil Health Card, NRCS Soil Health Card Template, Soil Quality Test Kit Guide, dan Lab Analysis. Keempat teknik penilaian kualitas tanah tersebut mempunyai perbedaan penggunaan maupun hasilnya sehingga perlu di integrasikan dengan Soil Quality Index (Olson et al.1996).

Penerapan studi kualitas tanah telah dilakukan di Selandia Baru dan Amerika. Penerapan teknologi produksi pertanian konvensional berdampak negatif terhadap fungsi tanah. Perbedaan aplikasi dosis pemupukan berpengaruh besar terhadap kondisi tanah, sehingga perlu dilakukan kajian mengenai pengaruh pemupukan ini terhadap kualitas tanah. Pemupukan yang berlebih dapat menyebabkan kerusakan terhadap lingkungan tanah sekitar. Pengolahan tanah yang intensif dapat menyebabkan erosi lahan terutama pada tanah pertanian di perbukitan (Wandera 1999; Lia & Lindstrom 2001; Sparling & Schipper 2002).

Bahan Organik

Bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang sangat penting bagi ekosistem tanah, yaitu sebagai sumber (source) dan pengikat (sink) hara dan sebagai substrat bagi mikroba tanah. Macam BOT dapat diklasifikasikan ke dalam fraksi-fraksi berdasarkan ukuran, berat jenis, dan sifat-sifat kimianya. Aktivitas mikroorganisme dan fauna tanah dapat membantu terjadinya agregasi tanah sehingga dapat meningkatkan ketersediaan air tanah dan mengurangi terjadinya erosi dalam skala luas. Telah banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa pelapukan BO dapat mengikat /mengkhelat Al dan Mn oleh asam-asam organik, sehingga dapat memperbaiki lingkungan pertumbuhan perakaran tanaman terutama pada tanah-tanah masam. Hasil mineralisasi BO dapat meningkatkan ketersediaan hara tanah dan nilai kapasitas tukar kation tanah (KTK), sehingga kehilangan hara melalui proses pencucian dapat dikurangi (Hairiah 2002).

Tanah-tanah pertanian di daerah tropik basah umumnya memiliki kandungan bahan organik yang sangat rendah di lapisan atas. Pada tanah yang masih tertutup vegetasi permanen (hutan), umumnya kadar bahan organik di lapisan atas masih sangat tinggi. Perubahan hutan menjadi lahan pertanian mengakibatkan kadar BOT menurun dengan cepat. Hal ini antara lain disebabkan

(25)

10

oleh beberapa alasan: 1) Pelapukan (dekomposisi) bahan organik berlangsung sangat cepat, sebagai akibat tingginya suhu udara dan tanah serta curah hujan yang tinggi; 2) Pengangkutan bahan organik keluar tanah bersama panen secara besar-besaran tanpa diimbangi dengan pengembalian sisa-sisa panen dan pemasukan dari luar, sehingga tanah kehilangan potensi masukan bahan organik (Hairiah 2002).

Indikasi penurunan BOT diukur dari kadar C-total dan N-total sehingga diperoleh nilai nisbah C/N, yang selanjutnya oleh model simulasi dapat dipakai untuk menaksir ketersedian hara dari mineralisasi bahan organik. Namun penelitian terakhir membuktikan bahwa kadar C-total bukan merupakan tolok ukur yang akurat, karena hasil dari pengukuran tersebut diperoleh berbagai macam BOT yang dibagi dalam beberapa kelompok menurut umur paruh dan komposisinya. BOT lambat lapuk dan pasif (stabil) berada dalam tanah sejak puluhan bahkan mungkin ratusan tahun yang lalu. Kelompok ini meliputi asam-asam organik dan bahan organik yang terjerap kuat oleh liat yang tidak tersedia bagi tanaman dan biota. Penetapan kandungan C-total berdasarkan oksidasi basah dengan metoda Walkey & Black adalah mengukur semua kelompok BOT baik yang masih baru maupun yang sudah lama. Hasil penetapan itu tidak dapat dipergunakan untuk studi dinamika BOT pada berbagai sistem pengelolaan lahan karena hasilnya tidak akan menunjukkan perbedaan yang jelas. Untuk itu diperlukan penetapan kandungan fraksi-fraksi BOT sebagai tolok ukur (Hairiah 2002).

Berdasarkan fungsinya, bahan organik tersusun dari komponen labil dan stabil. Komponen labil terdiri dari bahan yang sangat cepat didekomposisi pada awal proses mineralisasi dan akumulasi dari recalcitrant residue (residu yang tahan terhadap pelapukan) yang merupakan sisa dari proses mineralisasi yang terdahulu. Umur paruh atau turnover adalah waktu yang dibutuhkan untuk mendekomposisi bahan organik sampai habis. Umur paruh dari fraksi labil dan stabil ini bervariasi dari beberapa bulan saja sampai ribuan tahun. Hasil percobaan isotop menunjukkan bahwa fraksi BOT dapat sangat stabil dalam tanah sampai lebih dari 9.000 tahun. Sekitar 60-80 % BOT dalam tanah-tanah pada umumnya terdiri dari substansi humus (Hairiah 2002).

(26)

Fraksi labil terdiri dari bahan yang mudah didekomposisi, dengan umur berkisar dari beberapa hari sampai beberapa tahun. Komponen BOT labil terdiri dari 3 kelompok: 1) Bahan yang paling labil adalah bagian seluler tanaman seperti karbohidrat, asam amino, peptida, gula-amino, dan lipida; 2) Bahan yang agak lambat didekomposisi seperti malam (waxes), lemak, resin, lignin dan hemiselulosa; 3) Biomass dan bahan metabolis dari mikrobia (microbial biomass) dan bahan residu recalcitrant lainnya. Fraksi labil berperanan sangat penting dalam mempertahankan kesuburan tanah yaitu sebagai sumber hara tanaman karena komposisi kimia bahan asalnya dan tingkat dekomposisinya yang cepat. Biomasa mikrobia sangat penting dalam mempertahankan status BOT yang berperanan sebagai source dan sink bagi ketersediaan hara karena daur hidupnya relatif singkat (Hairiah 2002).

Faktor iklim makro yang menentukan kecepatan dekomposisi fraksi adalah temperatur dan kelembaban tanah serta keseimbangan biomasa mikrobia. Di daerah tropika basah yang memiliki resim temperatur isothermik atau isohiperthermik dan ketersediaan air tanah yang beragam sangat menentukan perkembangan populasi mikrobia tanah sehingga berpengaruh besar tehadap kecepatan dekomposisi komponen labil BO (Hairiah 2002).

Salah satu indikator kualitas tanah adakah kandungan bahan organik tanah, selain indikator lain seperti sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Bahan organik sebagai salah satu indikator yang perlu diperhatikan, karena sifatnya yang sangat labil dan kandungannya berubah sangat cepat tergantung manajemen pengelolaan tanah (Six et al. 1998; Cerri et al. 1998; Blair et al. 1998). Kandungan bahan organik tanah sangat sedikit yaitu 1 – 5% dari berat total tanah mineral, namun pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah sangat besar. Manfaat bahan organik sudah teruji dalam memperbaiki kualitas tanah (Stevenson 1994).

Kandungan bahan organik tanah telah terbukti berperan sebagai kunci utama dalam mengendalikan kualitas tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi. Bahan organik mampu memperbaiki sifat fisik tanah seperti menurunkan berat volume tanah, meningkatkan permeabilitas, menggemburkan tanah, memperbaiki aerasi tanah, meningkatkan stabilitas agregat, meningkatkan kemampuan tanah memegang air, menjaga kelembaban dan suhu tanah,

(27)

12

mengurangi energi kinetik langsung air hujan, mengurangi aliran permukaan dan erosi tanah (Oades 1989; Elliott 1986; Puget et al. 1995; Jastrow et al. 1996; Heinonen 1985). Bahan organik mampu memperbaiki sifat kimia tanah seperti menurunkan pH tanah, dapat mengikat logam beracun dengan membentuk kelat komplek, meningkatkan kapasitas pertukaran kation dan sebagai sumber hara bagi tanaman (Stevenson 1994; Tisdall & Oades 1982). Bahan organik juga mampu memperbaiki sifat biologi tanah dengan mengikat butir-butir partikel membentuk agregat dari benang hyphae terutama dari jamur micorhyza dan hasil eskresi tumbuhan dan hewan lainnya (Addiscott 2000).

(28)

BAHAN DAN METODE

Metode Penelitian

Kecamatan Nanggung kabupaten Bogor merupakan area penelitian dalam program “Agroforestry and Sustainable Vegetable Production in Southeast Asia Watershed” atas kerjasama Institut Pertanian Bogor dengan Sustainable Agriculture and Natural Resources Management (SANREM), North Carolina and Agricultural Technical (NCAT) University, dan World Agroforestry Centre – ICRAF. Area ini dipilih karena mempunyai karakter ekologi, sosial, dan ekonomi yang mencerminkan kondisi lingkungan pertanian tropika basah di Indonesia. Selain itu sistem pertanian agroforestri dan sayuran juga banyak dikembangkan oleh petani di daerah Nanggung, sehingga menarik untuk dijadikan area penelitian.

Penelitian ini bersifat eksploratif untuk mengetahui kandungan C aktif pada lahan budidaya tanaman sayuran di Kecamatan Nanggung, sehingga rancangan penelitian dan pengumpulan data dilakukan dengan metode survei. Kemudian berbagai variabel data dianalisis untuk dilihat keterkaitan antar variabel.

Pengambilan sampel dilakukan pada lahan tanaman sayuran. Pengambilan sampel dilakukan mengikuti kaidah random sampling, yaitu semua unsur atau unit dalam populasi mempunyai peluang yang sama untuk dijadikan sampel. Jumlah sampel yang diperoleh didasarkan pada populasi yang tidak terbatas (infinit), sehingga semakin banyak sampel yang didapat akan semakin baik dalam analisis data.

Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap pengumpulan data yaitu; interview dengan petani, penilaian kualitas tanah, dan pencatatan data kondisi lahan maupun iklim secara umum. Kegiatan penelitian ini dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 1 diagram alir kegiatan penelitian.

(29)

14

Gambar 1 Diagram alir kegiatan penelitian.

Interview dengan petani

Tujuan kegiatan interview ini adalah untuk mengetahui sejarah lahan, pengelolaan lahan sayuran yang diterapkan, komoditi yang pernah diusahakan oleh petani. Form interview disajikan pada Lampiran.

Penilaian kualitas tanah

Pembuatan larutan stok

Metode yang digunakan ini merupakan metode yang dikembangkan oleh Blair et al. (2001), kemudian dimodifikasi oleh Weil et al. (2003). Larutan stok

Sampel Petani Interview Komoditi, sejarah lahan, manajemen produksi Lahan sayuran Sampel tanah Penilaian kualitas tanah Metode C teroksidasi KMnO4 Colorchart Warna larutan Kelas kualitas tanah Colorimeter Absorban C labil Analisis data Interpretasi Kesimpulan

Kondisi lahan & informasi iklim

(30)

dibuat dengan mencampurkan 1 M CaCl2 (pH 7.2) dengan 0.2 M KMnO4

kemudian larutan tersebut disesuaikan lagi hingga mencapai pH 7.2. Larutan dengan pH yang disesuaikan ini penting untuk mempertahankan kestabilan larutan stok selama 3-6 bulan. Larutan stok yang sudah disesuaikan pHnya disimpan pada botol berwarna gelap.

Pembuatan dan penentuan kurva standar

Sebuah tabung gelas yang bersih diisi dengan air destilata, diseka bagian luar tabung dengan tisu, ditempatkan pada colorimeter (generic 550 nm Hach® Company, Boulder, CO) dengan baik, ditutup rapat, kemudian ditekan tombol ‘zero’. Setelah beberapa detik, LED seharusnya terbaca „0.00‟. Tabung gelas tersebut dilepas dari colorimeter.

Pada tabung sentrifuge ditambahkan 45 ml air destilata. Kemudian dengan menggunakan pipet khusus, ditambahkan 0.50 ml 0.005 M KMnO4 larutan standar

(stok) pada tabung sentrifuge tersebut. Pipet dibersihkan dengan larutan yang diencerkan selama beberapa waktu untuk memastikan bahwa semua larutan tidak membekas. Kemudian ditambahkan air destilata sampai tanda tera 50 ml, ditutup rapat dan dikocok sehingga tercampur.

Pada tabung gelas dituang 15 ml larutan standar, bagian luar tabung diseka dengan tisu, ditempatkan pada colorimeter dengan baik, ditutup rapat, kemudian ditekan tombol ‘read’. Nilai absorban yang tercantum dicatat. Tahap ini diulangi dengan menggunakan 0.50 ml 0.01 M dan 0.02 M larutan standar KMnO4.

Absorban dicatat pada setiap larutan standar. Sebuah kurva standar dibangun pada diagram kartesius dengan nilai absorban pada x-axis dan konsentrasi larutan standar KMnO4 pada y-axis.

Pengambilan sampel tanah

Waktu pengambilan sampel tanah yang paling baik adalah pada saat akhir masa panen atau pergantian musim tanam, karena tanah masih dalam keadaan stabil belum tekena gangguan olah tanah untuk musim tanam berikutnya. Akan tetapi apabila selama masa perawatan tanaman tidak dilakukan olah tanah lagi, pengambilan sampel tanah juga dapat dilakukan pada saat itu. Sampel tanah

(31)

16

diambil sebanyak 500 g sedalam 15 cm secara komposit pada tiap bedeng tanaman sayuran. Titik pengambilan sampel tanah tiap bedeng dilakukan mengikuti huruf M atau W. Setiap lokasi diambil tiga sampel dan dilakukan pemetaan lokasi sampel menggunakan GPS (Magellan® TritonTM 2000).

Sampel tanah yang diambil dalam keadaan lembab atau basah perlu dikeringkan. Sampel tanah diremahkan secara perlahan dan diratakan tipis pada selembar kertas hitam untuk dikering anginkan selama 15 menit, lebih baik dikeringkan di bawah sinar matahari langsung. Sampel tanah tersebut dibolak balikkan sebanyak dua atau tiga kali sampai kering angin.

Perbandingan warna larutan

Pada tabung sentrifuge dituang 2.0 ml 0.2 M KMnO4 dengan pipet khusus,

dan ditambahkan air destilata sampai tanda tera 20 ml, kemudian ditambahkan satu sendok sampel tanah kering (± 5 g) pada tabung tersebut dan ditutup rapat.

Tabung sentrifuge dikocok dengan cepat (±100 kocokan / menit) selama 2 menit, kemudian tabung diletakkan pada rak selama 5-10 menit untuk membiarkan tanah mengendap pada dasar tabung. Tabung harus terhindar dari sinar matahari langsung. Tanah dalam tabung akan menggumpal dan mengendap karena bereaksi dengan CaCl2. Bagian luar tabung dibersihkan dengan tisu.

Penilaian kualitas tanah berdasarkan warna dapat dilakukan dengan membandingkan warna larutan dalam tabung sentrifuge dengan warna pada color chart. Warna larutan ungu menunjukkan kandungan C dalam tanah sedikit, sedangkan warna ungu yang sudah berubah menjadi merah muda menunjukkan kandungan C dalam tanah tersebut tinggi. Kandungan C yang tingi menunjukkan kualitas tanah yang baik.

Pencatatan absorban

Larutan hasil reaksi tanah dengan KMnO4 diambil pada bagian atas

sedalam 1 cm sebanyak 0.50 ml dengan pipet khusus, dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge yang lain dan ditambahkan air destilata sampai tanda tera 50 ml, kemudian ditutup dan dikocok. Sebanyak 15 ml larutan yang encer ini dituang pada tabung gelas (vial). Bagian luar tabung diseka dengan tisu dan ditempatkan

(32)

pada colorimeter dengan baik, dan ditutup rapat, kemudian ditekan ‘read’. Nilai absorban yang tercantum dari larutan sampel tersebut dicatat.

Penghitungan absorban

Peluruhan dari warna ungu (gelap) KMnO4 ke warna kuning (terang)

adalah sebanding dengan jumlah C teroksidasi dalam tanah tersebut. Dengan kata lain, perubahan warna KMnO4 yang baik menunjukkan tingginya jumlah C

teroksidasi, dan dibuktikan dengan nilai absorban yang rendah. Jumlah C teroksidasi dapat dihitung dengan asumsi yang dilakukan Blair et al. (1995) dimana 1 mol MnO4 digunakan (reduksi dari Mn7+ ke Mn2+) pada proses oksidasi

0.75 mol (9000 mg) C, yaitu dengan model:

C aktif (mg kg-1) = [0.02 mol/ℓ – (a+b x absorban)] x (9000 mg karbon/mol) x (0.02 ℓ larutan/0.005 kg tanah)

Dimana 0.02 mol/ ℓ adalah konsentrasi larutan awal, a adalah intersep dan b adalah gradien kurva standar, 9000 adalah mg (0.75 mol) C teroksidasi oleh 1 mol MnO4- yang berubah dari Mn7+ ke Mn2+, 0.02 ℓ adalah volume larutan KMnO4

yang direaksikan, dan 0.005 adalah kg tanah yang digunakan.

Sampel tanah yang sama dikirim ke laboratorium tanah Universitas Missouri, Columbia untuk dianalisis kandungan C aktifnya menggunakan metode C teroksidasi KMnO4 dan diukur absorbannya dengan spectrophotometer (Bosch

and Lomb 2500) yang di set pada 550 nm. Data yang diperoleh juga merupakan sebagai bagian dari disertasi mahasiswa Departemen Ilmu Tanah Universitas Missouri.

Kondisi lahan dan iklim

Data kondisi lahan digunakan untuk mengetahui karakteristik lahan penelitian. Data yang diperlukan meliputi tipe tanah, bahaya erosi, topografi dan kemiringan lereng, serta ketinggian setiap lokasi sampel. Sifat fisik, kimia, maupun biologi juga diukur dengan menggunakan metode Soil Quality Test Kit (USDA 1998) meliputi, kerapatan jenis, electrical conductivity (EC), pH, dan kandungan nitrat.

(33)

18

Potensi erosi dapat diketahui dengan melihat gejala erosi (erosi alur dan erosi parit), perubahan warna tanah yang memucat sebagai tanda adanya erosi lembar, serta pemunculan tanah bawah (tanah induk) atau muncul akar tanaman. Potensi erosi juga dapat dilihat dengan membandingkan elevasi muka tanah sebelum dan sesudah pengamatan, sehingga ketinggian erosi dapat ditentukan.

Pengukuran besarnya erosi dilakukan dengan menampung tanah dan air pada wadah khusus. Petak lahan dengan ukuran 1 x 1 m sekelilingnya dibatasi dengan seng selebar kurang lebih 30 cm, bagian seng yang ditanam dalam tanah sedalam 20 cm, sehingga yang diatas permukaan muka tanah setinggi 10 cm. Salah satu sisi dibiarkan tidak dipasang seng dan diberi pengarah pada wadah penampung. Jumlah tanah yang masuk ke dalam wadah tersebut diukur sebagai variabel penghitungan potensi erosi yang terjadi.

Data iklim diperlukan untuk mengetahui keadaan iklim secara umum di daerah penelitian. Data iklim yang diamati di lapangan yaitu curah hujan, presipitasi, dan rata rata temperatur.

Analisis Data

Data kandungan C aktif dalam tanah dikalibrasi untuk mengetahui sebarannya. Program statistik SPSS 11.5 digunakan untuk analisis data statistika deskriptif, korelasi, regresi, dan uji t.

Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui kondisi umum manajemen produksi yang dilakukan petani sekaligus untuk mengetahui sebaran data. Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui kuatnya tingkat keeratan hubungan antara dua atau lebih variabel pengamatan. Analisis regresi digunakan untuk mengetahui hubungan sebab akibat antar variabel pengamatan.

Perbandingan metode penilaian kualitas tanah antara di lapang dengan di laboratorium digunakan analisis regresi, korelasi, dilanjutkan pengujian menggunakan uji t, perbandingan koefisien keragaman, dan perbandingan koefisien korelasi.

(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Lokasi studi tersebar luas di sembilan desa di Kecamatan Nanggung (06033’ - 06043’ S dan 106029’ - 106044’ E), berada pada ketinggian 286 - 1578 m dpl, dengan topografi perbukitan, beriklim tropika basah, dengan suhu rata - rata per bulan 25.7 oC, kelembaban rata - rata per bulan 83%, dan jumlah curah hujan per tahun 3600 mm. Sebagian besar tanah di lokasi studi termasuk Ultisol dengan pH bervariasi 3.9 - 6.4 dan KTK 15.3 - 33.8 meq 100g-1.

Tipe penggunaan lahan yang digunakan untuk studi adalah lahan dengan vegetasi tanaman sayuran. Jumlah sampel sebanyak 45 tersebar di sembilan desa di Kecamatan Nanggung yaitu Desa Hambaro, Kalong Liud, Pangkaljaya, Bantarkaret, Sukaluyu, Parakan Muncang, Nanggung, Malasari, dan Curugbitung. Peta sebaran sampel dapat dilihat pada Gambar 2. Desa Malasari merupakan satu satunya desa di Kecamatan Nanggung yang berada di ketinggian diatas 1000 m dpl. Aktifitas petani sayur di Desa Malasari sangat tinggi, berbeda dengan aktifitas penduduk desa lain yang rata-rata sebagai petani padi atau pekebun tanaman tahunan.

Gambar 2 Peta sebaran lokasi pengambilan sampel tanah di Kecamatan Nanggung.

(35)

20

Perbandingan Metode Pengukuran

Tujuan penting studi ini adalah membandingkan efektifitas metode pengukuran C aktif yang dilakukan di lapang (C aktif-FIELD) dengan metode pengukuran C aktif yang dilakukan di laboratorium (C aktif-LAB). Perbedaan langkah pengerjaan kedua metode tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perbedaan metode pengukuran C aktif di lapang dan di laboratorium

Variabel Laboratorium Lapang

A. Alat untuk menilai kualitas tanah dan mengukur absorban

1. Spectrophotometer (Bosch and Lomb 2500) 2. Diatur pada gelombang cahaya 550 nm 1. Tabel warna 2. Hand-held colorimeter (generic 550 nm Hach® Company, Boulder, CO) 3. Diatur pada gelombang cahaya 550 nm B. Pengendapan 0.1 M CaCl2 pada larutan

0.2 KMnO4 1. Disentrifuge selama 5 menit 1. Didiamkan selama 5 menit C. Penggunaan jenis pipet

1. Pipet gelas berkualitas 1. Pipet plastik

D. Pengocokan larutan reaksi 1. Menggunakan alat shaker dengan kecepatan 120 rpm 1. Dikocok dengan tangan ± 100 kocokan/menit

Pengukuran di laboratorium dilakukan di Universitas Missouri menggunakan perlengkapan laboratorium lengkap, canggih, mahal, dan menghasilkan data yang akurat. Pengukuran di lapang membutuhkan perlengkapan yang sedikit, murah, lebih simpel, dan lebih cepat mendapatkan hasil pengamatan. Apabila hasil pengukuran C aktif yang di lapang tidak berbeda nyata dengan di laboratorium, maka dapat disimpulkan keakuratan metode yang dikerjakan di lapang tidak berbeda dengan yang dikerjakan di laboratorium. Langkah analisis dimulai dari analisi korelasi kedua metode, dilanjutkan analisis

(36)

regresi, kemudian diuji dengan uji t, perbandingan koefisien korelasi, dan perbandingan koefisien keragaman.

Hasil analisis kandungan C aktif di beberapa desa di Kecamatan Nanggung mempunyai sebaran yang luas antara 250 - 750 C mg kg-1.Sebaran yang luas ini digunakan untuk analisis korelasi dan regresi metode pengukuran C aktif. Hasil analisis korelasi Pearson pada Tabel Lampiran 3 menunjukkan kedua metode mempunyai hubungan yang signifikan pada taraf 5% (r = 0.99). Hasil analisis regresi pada Gambar 3, didapat model Lab = 40.12 + 0.94 x field, dimana sebanyak 98% keragaman hasil pengukuran C aktif yang dikerjakan di laboratorium (C aktif-LAB) dapat dijelaskan dengan cara pengukuran C aktif yang dikerjakan di lapang (C aktif-FIELD). Tingkat hubungan yang erat (r=0.99) dan koefisien determinasi yang tinggi (R2=0.98) pada model tersebut merupakan salah satu indikator bahwa kedua metode tersebut mempunyai hasil pengukuran yang tidak berbeda.

Gambar 3 Sebaran nilai C aktif menggunakan metode C FIELD dan C aktif-LAB.

(37)

22

Pengujian Metode Pengukuran

Pengujian kesesuaian model regresi dapat dilakukan dengan uji t. Pengujian ini dapat dijadikan sebagai gambaran ada atau tidaknya perbedaan hasil pengukuran C aktif oleh kedua metode. Hasil uji t pada Tabel 2 menunjukkan kedua metode pengukuran C aktif mempunyai nilai signifikansi lebih besar dari 0.05, artinya tidak ada perbedaan metode yang signifikan antara pengukuran di lapang dan di laboratorium pada taraf 5%.

Tabel 2 Uji t pada dua metode pengukuran C aktif

Metode N Rata rata Std. D t Sig.

C aktif-FIELD 45 486.78 130.86 24.9 1.324

C aktif-LAB 45 493.87 125.88 26.9 5.900

Pengujian kesesuaian model regresi juga dilakukan dengan cara membandingkan koefisien keragaman (KK) kedua metode. Nilai koefisien keragaman menunjukkan seberapa jauh keragaman data yang terdapat dalam populasi. Kedua metode mempunyai nilai KK yang tidak jauh berbeda pada variabel penambahan pupuk kandang sampai 10 ton ha-1 (Tabel 3).

Tabel 3 Perbandingan koefisien keragaman pada dua metode pengukuran C aktif

Penambahan pupuk kandang (ton ha-1)

C aktif-FIELD C aktif-LAB Rata - rata KK Rata - rata KK

(mg kg-1) (%) (mg kg-1) (%)

< 5 (ton ha-1) 318.3 10.6 341.5 10.1

5 – 10 (ton ha-1) 457.9 14.8 465.7 14.8

> 10 (ton ha-1) 626.4 9.1 628.8 8.1

Analisis perbandingan koefisien korelasi (r) juga dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan kedua metode pengukuran C aktif. Koefisien korelasi merupakan nilai yang menunjukkan tingkat keeratan hubungan linier antara variabel dependen (metode pengukuran C aktif) dengan variabel

(38)

independen. Apabila hasil perbandingan nilai koefisien korelasi kedua metode pengukuran C aktif tidak berbeda, maka dapat diartikan kedua metode tersebut mempunyai tingkat keeratan hubungan linier yang tinggi dengan variable independen yang diujikan. Nilai koefisien korelasi pada Tabel 4 menunjukkan hasil perbandingan yang relatif tidak berbeda pada variabel independen bahan organik, kerapatan jenis, P tersedia, dan N total.

Tabel 4 Perbandingan koefisien korelasi dua metode pengukuran C aktif berdasarkan variabel analisis tanah

Variabel independen Variabel dependen C aktif-FIELD C aktif-LAB r r Bahan organik 0.73 0.73 Kerapatan jenis 0.54 0.57 P tersedia 0.14 0.17 N total 0.45 0.46

Berdasarkan analisis korelasi, analisis regresi, uji t, perbandingan koefisien keragaman, dan perbandingan koefisien korelasi dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada penggunaan kedua metode tersebut.

Manajemen Produksi Tanaman Sayuran

Hasil survei menunjukkan sebanyak 84% lahan yang digunakan untuk produksi sayur merupakan lahan tadah hujan dengan sistem pola tanam tahunan. Secara umum topografi lahan sayur di Kecamatan Nanggung merupakan perbukitan dengan kemiringan kurang dari 450, kecuali di Desa Hambaro, Kalongliud, dan Nanggung yang merupakan dataran rendah.

Luas kepemilikan lahan setiap petani di Kecamatan Nanggung rata-rata 3500 m2 dengan luas tanah yang bisa diolah secara intensif rata-rata 2500 m2. Jenis sayur yang sering dibudidayakan oleh petani yaitu; sawi, bawang daun, buncis, cabai, terong, tomat, katuk, jagung, kacang panjang, timun, dan kubis.

Berdasarkan hasil survei, sebagian besar petani sayur di Kecamatan Nanggung melakukan manajemen produksi olah tanah minimal dengan cangkul, garpu, dan kored. Penggunaan mesin pertanian untuk olah tanah intensif di lahan tanaman sayur sangat jarang dilakukan. Sebagian besar lahan tanaman sayur

(39)

24

berupa lahan terbuka dengan tipe penanaman monokultur dan tumpangsari, sedangkan lahan agroforestri hanya di beberapa lokasi. Tipe lahan agroforestri yang sering dijumpai sebagai lahan tanaman sayur adalah lahan agroforestri dengan tutupan ringan sampai sedang. Persentase kelompok manajemen produksi yang dilakukan petani di Kecamatan Nanggung dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Kelompok manajemen produksi sayur yang dilakukan petani di Kecamatan Nanggung

Manajemen Produksi Petani (%) (n=45)

1. Intensitas olah tanah a. Minimal 53.3

b. Intensif 46.7

2. Tipe lahan a. Agroforestri 22.2

b. Monokultur 77.8

3. Penambahan kompos a. Tanpa kompos 80

b. Kompos 20

4. Penambahan pupuk sintetis

a. Tanpa pupuk sintetis 15.6

b. Pupuk sintetis 84.4 5. Penambahan pupuk kandang a. < 5 ton ha-1 22.2 b. 5-10 ton ha-1 42.2 c. > 10 ton ha-1 35.6

Sangat sedikit petani yang mempunyai hewan ternak. Petani membeli pupuk kandang dari usaha peternakan ayam pedaging yang banyak terdapat di Kecamatan Nanggung. Sebagian besar petani menyatakan pupuk kandang yang ditambahkan rata-rata 1 karung untuk setiap 20 m2, sehingga apabila berat setiap karung ±20 kg, maka hasil konversi jumlah pupuk kandang yang ditambahkan petani sebanyak 5-10 ton ha-1.

Manajemen produksi lain yang dilakukan petani adalah penambahan pupuk kimia sintetis. Hampir semua petani menambahkan pupuk kimia sintetis, akan tetapi teknik aplikasi pemupukan dan dosis yang digunakan kurang tepat. Petani hanya menaburkan sejumlah pupuk di sekeliling tanaman tanpa dihitung jumlahnya dan tanpa ditutup tanah, hal ini dapat berdampak tidak efisiennya kegiatan pemupukan tersebut. Pupuk yang tidak ditutup tanah akan cepat sekali menguap atau hilang karena pencucian.

(40)

Penambahan kompos ke lahan jarang dilakukan petani. Hasil wawancara didapat informasi bahwa sebaian besar petani mengetahui mekanisme pembuatan dan fungsi kompos, akan tetapi sedikit yang menerapkan teknologi pengomposan tersebut.

Penilaian Kualitas Tanah

Penilaian kualitas tanah secara kualitatif dapat dilakukan dengan metode perbandingan warna larutan. Perubahan warna larutan KMnO4 ketika direaksikan

dengan tanah menunjukkan telah terjadi reaksi oksidasi antara KMnO4 dengan

fraksi C aktif sebagai bahan penyusun bahan organik. Oksidasi yang tinggi menyebabkan peluruhan warna larutan dari ungu gelap menjadi merah muda terang. Islam (2008) mengklasifikasikan kelas kualitas tanah berdasarkan perbedaan warna larutan. Setiap warna mempunyai skala pengukuran bahan organik, apabila diasumsikan kandungan C aktif dalam bahan organik sebanyak 58% dan bobot tanah per hektar 2.106 kg, maka hasil konversi pengukuran C aktif diperoleh skala pengukuran sesuai Tabel 6.

Tabel 6 Kelas kualitas tanah berdasarkan warna larutan KMnO4

Indikator Kelas Kualitas Tanah

Sangat jelek Jelek Bagus Sangat bagus Warna larutan Ungu tua Ungu muda Ungu merah Merah muda C aktif (mg kg-1) < 130 130 - 260 260 - 520 > 520

Hasil studi ini dapat diketahui secara umum sebaran kelas kualitas tanah di Kecamatan Nanggung. Setiap petani menerapkan manajemen produksi yang berbeda, hal ini menyebabkan data yang diperoleh tidak secara tepat mewakili kelompok manajemen produksi tersebut, sehingga penentuan kelas kualitas tanah berdasarkan dampak manajemen produksi sangat sulit dilakukan. Kelas kualitas tanah setiap lokasi disajikan di Tabel Lampiran 1.

Hasil reaksi sampel tanah yang diambil dari Desa Malasari secara umum berwarna merah muda sampai berwarna keruh air, apabila diinterpretasikan pada skala kelas kualitas tanah, maka sampel tanah Desa Malasari memiliki kelas kualitas tanah yang sangat bagus dibanding desa lainnya (Tabel 7). Pengukuran

(41)

26

sampel secara kuantitatif bertujuan untuk mengukur kandungan C aktif dalam tanah tersebut.

Tabel 7 Interpretasi kelas kualitas tanah berdasarkan desa, ketinggian, dan jenis tanaman Desa Ketinggian (m dpl) C aktif (gr kg-1) Jenis tanaman Kualitas Tanah Hambaro 299 454 cabai, jagung, katuk, kc

panjang, timun, tomat bagus Pangkaljaya 326 313 jagung, kc panjang bagus P Muncang 337 385 cabai, jagung, kc panjang bagus

Nanggung 477 358 buncis, cabai, jagung,

terong, timun, tomat bagus

Sukaluyu 492 401 buncis, jagung, kc

panjang, timun bagus

Curugbitung 874 501 bw daun, cabai, kc

panjang, sawi putih bagus

Malasari 1410 622 bw daun, cabai, kubis, sangat bagus

Nilai C aktif yang tinggi merupakan indikasi tingginya bahan organik dalam tanah tersebut. Ketersedian bahan organik dalam tanah dipengaruhi oleh banyak faktor seperti jenis komoditi tanaman sayuran, manajemen pengelolaan lahan, kelembaban, oksigen, pH tanah, hara, vegetasi, bahan induk tanah, dan topografi.

Jenis komoditi tanaman sayuran berpengaruh terhadap manajemen pengolahan lahan. Tanaman sayuran daun dan bawang memerlukan pengolahan lahan lebih intensif dibanding tanaman sayuran buah atau polong. Produksi sayuran yang intensif mempunyai kecenderungan input pupuk kandang yang tinggi, hal ini menyebabkan hasil analisis kandungan bahan organik dalam tanah tinggi, akan tetapi intensitas pengelolaan lahan yang tinggi dapat berdampak negatif pada tingginya laju kehilangan bahan organik dalam tanah.

(42)

Manajemen produksi tanaman yang tepat untuk mengurangi kehilangan bahan organik adalah dengan mengatur pola dan rotasi tanam. Pola tumpangsari maupun agroforestri mampu menahan laju kehilangan bahan organik tanah, sedangkan rotasi tanam yang tepat mampu mengoptimalkan kembali sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Jenis komoditi tanaman sayuran yang sering ditanam petani di setiap lokasi disajikan di Tabel Lampiran 1.

Manajemen pengelolaan lahan yang mampu menahan hilangnya bahan organik tanah adalah dengan mengurangi potensi erosi (Liebig et al. 1996). Langkah ini dapat dilakukan dengan membuat bedengan berlawanan arah dengan aliran air, tidak melakukan aktifitas produksi sayuran di lahan dengan tingkat topografi curam, pemakaian mulsa pada setiap bedeng, penanaman tanaman penutup tanah, serta penanaman tanaman penahan bedeng di sisi kanan dan kiri bedeng.

Tingginya kandungan bahan organik dalam tanah juga dipengaruhi oleh meningkatnya laju dekomposisi bahan organik secara aerob oleh mikroba tanah. Aktifitas mikroba tanah akan meningkat pada kondisi tanah lembab, tanah tidak tergenang air (aerob), suhu tinggi, serta tersedianya hara N dalam tanah. Tingginya kandungan bahan organik juga ditentukan oleh jenis tanahnya. Tanah liat akan mampu mengikat bahan organik lebih stabil dibanding tanah berpasir. Kondisi lingkungan daerah Nanggung yang beriklim tropika basah serta intensitas petir yang tinggi sebagai sumber N udara sangat memungkinkan terjadinya aktifitas dekomposisi bahan organik yang tinggi. Data pengamatan iklim disajikan di Tabel Lampiran 2.

Penelitian ini juga mendapatkan hubungan antara kandungan bahan organik dengan ketinggian lokasi (Gambar 4). Terdapat kecenderungan data bahwa semakin tinggi lokasi, maka aktifitas pertanian tanaman sayuran semakin meningkat. Kondisi ini kemudian diimbangi dengan penambahan pupuk kandang, sehingga kandungan bahan organik meningkat, hal ini ditunjukkan oleh nilai C aktif yang tinggi.

Hubungan antara kandungan C aktif tanah dengan karakteristik sifat tanah yang lain disajikan pada Tabel Lampiran 3. Hasil analisis korelasi Pearson mengindikasikan hubungan yang positif antara C aktif dengan bahan organik, C

(43)

28

total, N total, dan ketinggian, sedangkan hubungan negatif terjadi antara C aktif dengan kerapatan jenis.

Gambar 4 Hubungan ketinggian lokasi dengan peningkatan C aktif.

Menurut Weil et al. (2003) fraksi C aktif atau C organik terdiri atas biomasa mikrobia, karbohidrat mudah larut, respirasi basal, dan respirasi substrat. Hubungan yang positif antara fraksi C aktif dengan C total menunjukkan keterkaitan bahwa fraksi C aktif merupakan salah satu penyusun C total. Komponen penyusun C total lain berasal dari C anorganik.

Hubungan negatif antara C aktif dengan kerapatan jenis menunjukkan bahwa semakin halus partikel tanah maka kandungan bahan organik dalam tanah meningkat, hal ini ditunjukkan oleh nilai C aktif yang tinggi. Manajemen pengolahan lahan yang mampu mengupayakan partikel tanah menjadi lebih halus mempunyai peran dalam peningkatan proses dekomposisi bahan organik. Manajemen pengolahan lahan tersebut perlu diimbangi dengan mekanisme pengendalian dalam mengurangi dampak erosi yang ditimbulkan.

Penelitian survei ini tidak mengumpulkan data hasil produksi sayuran, sehingga indikator kesuburan berupa data C/N rasio tanah. Tidak ada korelasi antara kandungan C aktif dengan C/N rasio dalam tanah. Menurut Stevenson

(44)

(1994) C/N rasio tanah berada dalam keadaan konstan pada kisaran nilai 10-12. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata rata C/N rasio 9.6, sedangkan kandungan C aktif terus meningkat, artinya fraksi C aktif terus mengalami proses dekomposisi dan mineralisasi sampai tahap keseimbangan. Oleh karena itu dalam manajemen produksi sayur penambahan bahan organik harus diikuti penambahan N, selain itu juga perlu memperhatikan kandungan C/N rasio bahan organik yang ditambahkan.

Persepsi Petani terhadap Penilaian Kualitas Tanah

Hasil wawancara dapat diperoleh informasi tentang pengetahuan dan tingkat pendidikan yang diraih petani. Sebanyak 82% petani berpendidikan di level sekolah dasar, sehingga pengetahuan dasar tentang kualitas tanah masih sangat minim. Persepsi petani terhadap metode dan penilaian kualitas tanah dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Persepsi petani terhadap penilaian kualitas tanah

Pertanyaan yang

diajukan Persepsi petani

Petani (%) (n=45) A. Definisi kualitas

tanah

1. Tanah yang subur

2. Warna tanah hitam / gelap 3. Mempengaruhi produksi tanaman

4. Terjaga konservasi tanah, tingkat erosi rendah 100 100 17.7 2.2 B. Karakteristik kualitas tanah 1. Warna tanah 2. Tekstur tanah

3. Keanekaragaman jenis tanaman

100 6.6 2.2 C. Perbaikan

kualitas tanah

1. Penambahan bahan organik 2. Konservasi tanah

3. Penanaman tanaman penutup tanah

100 4.4 2.2 D. Penurunan

kualitas tanah

1. Teknik budidaya yang mampu menurunkan produksi tanaman 100 E. Perbaikan tanah 10 tahun terakhir 1. Tidak pernah 2. Pernah 51.1 48.8 F. Cara mengukur kualitas tanah 1. Tidak tahu 100

(45)

30

Definisi kualitas tanah yang baik menurut petani adalah tanah yang subur dan berwarna hitam atau gelap, selain itu tanah yang baik akan menghasilkan hasil panen yang tinggi. Salah satu petani mengatakan bahwa kualitas tanah yang baik juga disebabkan cara mengelola lahan dilakukan dengan baik, tidak menyebabkan erosi dan selalu menjaga keseimbangan lingkungan sehingga konservasi tetap terjaga. Karakteristik kualitas tanah dilihat dari warna tanah, apabila warna tanah gelap maka tanah tersebut mempunyai kualitas tanah yang bagus. Tekstur tanah yang gembur juga merupakan karakteristik tanah yang baik.

Sebanyak 51.1% petani tidak pernah melakukan perbaikan tanah selama 10 tahun terakhir. Sangat sedikit petani yang mengetahui teknik untuk memperbaiki kualitas tanah di lahannya, sebagian besar hanya menambah pupuk kandang sebelum penanaman. Perbaikan kualitas tanah dapat dilakukan dengan cara meminimalkan olah tanah, penanaman tanaman penutup tanah, rotasi tanaman yang baik, membuat lajur bedengan sesuai konservasi, mengurangi dampak bahan kimia sintetis, menambahkan limbah tanaman pada lahan sebagai kompos.

Harapan petani terhadap metode penilaian kualitas tanah adalah: 1)Tidak hanya petugas PPL, tapi petani juga harus bisa menggunakan alat; 2) Harga murah; 3) Bahan & alat mudah didapat; 4) Hasil mudah dimengerti; 5) Hasil penilaian cepat diketahui; 6) Bertujuan untuk memberi rekomendasi; 7) Petani perlu pelatihan untuk menggunakan alat; 8) Bahasa Indonesia / Sunda bisa dimengerti petani; 9) Baik petani laki laki / perempuan berhak untuk belajar penilaian kualitas tanah.

Pengetahuan tentang konsep kualitas tanah, cara memperbaiki kualitas tanah, jenis manajemen produksi yang dapat menurunkan kualitas tanah, dan cara menjaga perputaran rantai karbon belum sepenuhnya diketahui oleh petani, sehingga penyampaian informasi terkait kualitas tanah dapat dilakukan oleh Petugas Penyuluh Pertanian (PPL) dan staf yang terkait.

Gambar

Gambar 1  Diagram alir kegiatan penelitian.
Gambar 2  Peta sebaran lokasi pengambilan sampel tanah di Kecamatan    Nanggung.
Tabel 1 Perbedaan metode pengukuran C aktif di lapang dan di laboratorium
Gambar 3  Sebaran nilai C aktif menggunakan metode C aktif-FIELD dan C aktif- aktif-LAB
+6

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang sudah dilakukan terdahulu menunjukkan energi pasang surut dapat digunakan untuk menghasilkan tenaga listrik, tetapi dari hasil itu diperkirakan akan lebih cocok

Dengan kata lain pengaruh pemahaman materi belajar siswa dari hasil metode Jigsaw Learning (kelompok eksperimen) lebih baik dari metode konvensional pada

Dalam penelitian terdahulu berjudul Pengaruh Gaya Hidup Terhadap Keputusan Pembelian Pakaian Batik Danar Hadi Surabaya yang dilakukan oleh Ratna Yuliana menunjukkan

Perubahan penggunaan lahan tanpa konservasi mempengaruhi gerak aliran air menyebabkan penggerusan tebing sungai semakin intensif, sehingga diperlukan penelitian yang bertujuan untuk

Kesimpulan : Terdapat hubungan bermakna antara skor kualitas hidup dengan usia, lama penyakit, dan obat pada pasien glaukoma.. Kata Kunci : Glaukoma Sudut Terbuka, Glaukoma

menyatakan bahwa kerekteristik TI yang berpengaruh pada keputusan mengadopsi TI adalah manfaat relative, kesesuain TI dengan pengguna, biaya yang digunakan untuk

Semakin mudah inovasi yang diberikan oleh penyuluh untuk diamati maka semakin cepat inovasi tersebut dapat diadopsi oleh peternak dan disebarluaskan kepada peternak lainnya

Seseorang yang mendapat konklusi dari dalam dirinya atau secara bahasa lain pengalaman pribadi akan lebih menyentuh pada ranah terdalam dalam diri manusia.. Pun dengan