AN ANALYSIS ON THE POSITION OF GENERAL ELECTION COMMISSION (KPU) AS AN INDEPENDENT INSTITUTION IN INDONESIA STATE GOVERNANCE SYSTEM. Thesis Oleh : Lylych Indar Merdekawaty E.0005028
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan sebuah negara kesatuan yang berbentuk republik dan menjalankan pemerintahan dalam bentuk demokrasi. Demokrasi berarti rakyat berhak menentukan nasibnya sendiri. Kehendak politik (political will) untuk menyelenggarakan negara Indonesia berdasarkan prinsip demokrasi bukanlah hal baru. Sejak awal berdirinya NKRI, para pendiri bangsa ini (founding fathers) sudah memiliki kehendak politik agar NKRI harus berdasarkan prinsip demokrasi itu sendiri yang dicantumkan dalam UUD 1945 sebagai dasar negara Indonesia.
Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen dikatakan dengan jelas bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar”. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang artinya rakyatlah yang memiliki kekuasaan terringgi dalam negara. Kedaulatan rakyat dalam negara dijalankan melalui sistem perwakilan yaitu demokrasi dengan perwakilan (representatif democracy) ataupun demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Mekanisme penyerahan kedaulatan rakyat melalui wakilnya tersebut adalah melalui mekanisme pemilihan umum. Sehingga dalam hal ini pemilu merupakan salah satu mekanisme demokrasi yang dijalankan di Indonesia.
Selain itu, dalam Pasal 28 UUD 1945 juga memberikan hak untuk berkumpul dan berserikat serta kebebasan untuk menyatakan pendapat sebagai perwujudan dari demokrasi. Prinsip demokrasi juga tersirat dalam sila ke empat Pancasila, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Dengan UUD 1945 dan Pancasila, demokrasi di Indonesia bersifat normatif, yakni suatu keharusan untuk menjalankannya.
Demokrasi dalam sebuah negara ditandai oleh beberapa hal, yaitu adanya pemilihan umum, kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat dan pelaksanaan hukum. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pemilu di Indonesia merupakan salah satu mekanisme demokratis untuk melakukan pergantian pemimpin. Pemilu di Indonesia diadakan
secara berkala setiap 5 (lima) tahun sekali dengan tujuan untuk menjamin regulasi kepemimpinan baik dalam cabang eksekutif dan legislatif sehingga tidak terjadi kepemimpinan yang bersifat absolut (mutlak). Sudah sepuluh kali bangsa Indonesia menyelenggarakan pesta rakyat itu yaitu diawali pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009. Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota dan DPD sampai dengan akan dilakukannya amandemen keempat UUD 1945. Pada awalnya, pemilu di Indonesia diselenggarakan oleh Pemerintah (Departemen Dalam Negeri) melalui lembaga yang diberi nama Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Lembaga ini dikendalikan oleh Depdagri dan ketua ex officio adalah Menteri Dalam Negeri. Lembaga Pemilihan Umum bertahan hingga penyelenggaraan pemilu terakhir pada masa orde baru yaitu tahun 1997 karena ternyata dalam menyelenggarakan pemilu masih berada di bawah pengaruh pemerintah.
Sekalipun demikian, sejarah perjalanan demokrasi di Indonesia tidaklah mulus. Dekrit Presiden Soeharto 5 Juli 1959 dan pemberlakuan sistem demokrasi terpimpin merupakan penodaan terhadap demokrasi. Dekrit dan sistem demokrasi terpimpin itu berarti kekuasaan atau kedaulatan berada di tangan presiden, dan bukan lagi di tangan rakyat sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945. Perjalanan demokrasi menjadi berhenti di era orde baru. Sistem kepartaian tertutup dan terbatas, kekuasaan Presiden Soeharto yang besar, penyelenggaraan pemilu yang manipulatif adalah beberapa contoh yang menggambarkan bahwa sama sekali tidak ada demokrasi selama orde baru. Secara umum, pemilu yang diselenggarakan pada masa orde baru dianggap oleh kebanyakan masyarakat tidak berlangsung secara demokratis. Berbagai strategi dihalalkan oleh sebuah partai yang berkuasa pada saat itu untuk terus memenangkan pemilu. Hal ini berlangsung hingga dikumandangkannya reformasi pada tahun 1998.
Gerakan reformasi yang dimulai pada tahun 1998 tersebut mengakibatkan sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahanperubahan struktural yang besar dan mendasar yaitu terjadinya perubahan politik pemerintahan dan perubahan UUD 1945 sebagai dasar negara Indonesia. Sebelum tahun 1998, secara simbolis ada dua hal yang tidak terbayangkan dilakukannya perubahan, yaitu (i) dalam jabatan kepresidenan. Berdasarkan Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Dalam pasal ini tidak diberikan batasan sampai berapa kali jabatan Presiden dan Wakil Presiden tersebut dapat dipilih kembali, yang pada saat itu Presiden Soeharto dengan otoritasnya memegang jabatan sebagai Presiden sehingga terpilih terus
menjadi Presiden sampai kurang lebih 32 tahun. Hal ini memimbulkan pemikiran bahwa tidak akan ada penggantian jabatan tersebut selama ia masih berkuasa sebagai presiden dengan otoritasnya dan (ii) perubahan terhadap UUD 1945 yang cenderung dikeramatkan. Hal ini didasarkan pada Pasal 104 TAP MPR No IV/MPR/1983 di mana MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan melaksanakan secara konsekwen. Oleh karena itu, tumbuh pemikiran bahwa sampai kapan pun tidak akan ada perubahan terhadap UUD 1945 tersebut. Akan tetapi, reformasi politik pada tahun 1998 tersebut yang kemudian diikuti dengan reformasi konstitusi (UUD 1945) tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, telah menunjukkan adanya peralihan kekuasaan, perubahan konstitusi Indonesia yang mengubah supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi.
Krisis ekonomi yang juga terjadi di Indonesia tahun 1998 mengakibatkan runtuhnya kekuasaan Presiden Soeharto dari jabatan Presiden tanggal 21 Mei 1998 yang telah berjalan selama kurang lebih 32 tahun. Setelah melewati masa transisi yang dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie selama kurang lebih 13 bulan, tuntutan kebutuhan akan sistem ketatanegaraan yang lebih baik pun mulai berusaha diwujudkan oleh para petinggi di negara ini. Tahun 1999 menjadi tonggak yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa gagasan untuk menyakralkan UUD 1945 oleh Soeharto pada saat masih berkuasa tidaklah sesuai dalam kehidupan bernegara. Selama kurang lebih empat tahun, dari 1999 hingga 2002, MPR telah melakukan empat tahap perubahan (amandemen) yang amat mendasar terhadap UUD 1945. Adanya penyelenggaraan pemilu yang manipulatif dan terhentinya sistem demokrasi pada masa orde baru menyebabkan banyak kalangan yang tidak terima sehingga ingin melakukan perubahan sistem ketatanegaraan menjadi demokratis kembali. Oleh karena itu, dengan adanya reformasi pada masa orde baru diharapkan dapat menciptakan pemilu yang berkualitas dengan membentuk suatu penyelenggara pemilu yang mandiri. Selanjutnya pemerintah membentuk suatu Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilu sebagaimana diamanatkan dalam Paal 22E ayat (5) UUD 1945 pasca amandemen. Runtuhnya orde baru tersebut, memberikan angin segar di tengah masyarakat yang haus akan pendidikan politik dan berhasrat untuk belajar berdemokrasi. Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama di Indonesia yang dianggap dunia internasional sebagai pemilu yang demokratis. Dengan
menambahkan asas jujur dan adil (jurdil) dibelakang langsung, umum, bebas dan rahasia (luber), pemilu 1999 untuk pertama kalinya diselenggarakan oleh lembaga independen bernama KPU. Pelaksanaannya pun sangat terbuka di bawah pengawasan dari lembaga pengawas independen baik lokal maupun asing. Perubahan positif juga terjadi pada susunan dan kedudukan lembaga legislatif dan eksekutif. Kini, Presiden tidak lagi menjadi mandataris MPR karena Presiden bersama wakilnya dipilih langsung oleh rakyat, sehingga peran lembaga legislatif hanya sebagai pengawas terhadap pelaksanaan pemerintahan.
Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam mekanisme pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari mekanisme pemilu. Di tengah masyarakat, istilah pemilu lebih sering tertuju kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.
Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undangundang Dasar 1945. Penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai integritas, profesionalitas dan akuntabititas. Tujuan dari diselenggarakannya pemilu adalah untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Amanat konstitusi tersebut untuk memenuhi tuntutan perkembangan kehidupan politik, dinamika masyarakat dan perkembangan demokrasi yang sejalan dengan pertumbuhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di samping itu wilayah negara Indonesia yang besar dan menyebar di seluruh nusantara serta memiliki kompleksitas nasional menuntut penyelenggara pemilihan umum yang profesional dan memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Hal ini tercantum dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan UU tentang Pemilu. Pembentukan KPU yang demikian tidak bisa dilepaskan dengan aktivitas KPU pada pemilu 1999. Pada saat itu KPU beranggotakan para fungsionaris partai peserta Pemilu. Dalam perjalanan KPU saat itu, publik melihat secara jelas bagaimana sangat kuatnya unsur kepentingan (interest) mewarnai setiap kegiatan KPU, sehingga sangat sering dalam pembahasan keputusankeputusan KPU harus menghadapi situasi deadlock (jalan buntu). Kenyataan ini tentu tidaklah menggembirakan, khususnya dilihat dari sudut pengembangan citra dan perkembangan KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu.
Satu tahun setelah penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) tahun 1999, pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No 4 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Pokok isi dari UU No. 4 Tahun 2000 adalah adanya perubahan penting, yaitu bahwa penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2004 dilaksanakan oleh sebuah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen dan nonpartisan. Dalam Penjelasan Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2000 disebutkan bahwa KPU yang independen dan nonpartisan berarti KPU yang bebas, mandiri dan tidak berada di bawah pengaruh serta tidak berpihak kepada seseorang, kelompok tertentu, partai politik dan/atau Pemerintah.. KPU baru ini terdiri atas para anggota yang dipilih dari orangorang yang independen dan nonpartisan. Atas dasar pemikiran bahwa KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu seharusnya bebas dari tekanan kepentingankepentingan, serta kuatnya tuntutan dari banyak pihak bahwa lembaga penyelenggara Pemilu harus bersih dari intervensi partai politik dan pemerintah, maka DPR bersama pemerintah mengeluarkan UU No.4 tahun 2000 yang secara tegas menyatakan bahwa anggota KPU terdiri dari orangorang independen dan non partisan. Sifat independen dan nonpartisan KPU saat ini tercermin dari proses seleksi calon anggota KPU. Dari semua calon anggota KPU yang diajukan presiden kepada DPR untuk mendapat persetujuan, tidak satu pun yang berasal dari partai politik. Pada umumnya para calon berasal dari kalangan Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Seluruh anggota KPU dan perangkat pendukungnya menyadari bahwa rakyat menghendaki Pemilu 2004 lebih berkualitas dari pemilu pemilu sebelumnya. Oleh karena itu, pada Pemilu 2004, KPU harus mampu meyelenggarakan pemilu dengan tetap mengedepankan pencapaian asasasas umum penyelenggaraan pemilu, yaitu; langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil serta beradab. Guna mendukung tercapainya sasaran tersebut, KPU menyiapkan sejumlah peraturan yang berlaku untuk penyelenggara Pemilu. Misalnya
Peraturan Tata Tertib KPU dan Kode Etik Pemilu (http://kpi.bandaacehkota.go.id/sejarahkpu). Ditinjau dari segi kelembagaannya, maka menurut ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca amandemen keempat (tahun 2002), KPU merupakan lembaga independen yang mendapatkan kewenangan dari UndangUndang untuk menyelenggarakan kegiatan pemilihan umum. Namun demikian, dalam ketentuan tersebut nama KPU tidak disebut secara pasti, tetapi hanya disebutkan fungsinya dan kewenangannya dinyatakan akan diatur dengan undangundang. Kedudukan KPU dan lembagalembaga baru lain sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan dan pemberhentian pimpinannya. Independensi KPU dan lembagalembaga baru tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi dengan judul : ANALISIS KEDUDUKAN KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU) SEBAGAI LEMBAGA INDEPENDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting dalam setiap penelitian karena dibuat untuk memecahkan masalah pokok yang timbul secara jelas dan siatematis sehingga penelitian akan lebih terarah pada sasaran yang akan dicapai. Perumusan masalah dibuat untuk lebih menegaskan masalah yang akan diteliti, sehingga dapat ditemukan suatu pemecahan masalah yang tepat dan mencapai tujuan. Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini meliputi : 1. Bagaimanakah kedudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga independen dalam sistem ketatanegaraan Indonesia ? 2. Apakah tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga independen dalam penyelenggaraan pemilu ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan suatu target yang ingin dicapai dalam suatu penelitian sebagai suatu solusi atas masalah yang dihadapi (tujuan obyektif), maupun untuk memenuhi kebutuhan perorangan (tujuan subyektif). Dalam penelitian ini, tujuan yang ingin dicapai adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk menganalisis kedudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga independen dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. b. Untuk mengetahui tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga independen dalam penyelenggaraan pemilu. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memperluas dan memperdalam wawasan, pengetahuan dan kemampuan penulis mengenai ilmu hukum khususnya di bidang Hukum Tata Negara dan terutama mengenai kedudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga independen dalam sistem ketatanegaraan Indonesia serta untuk mengetahui tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga independen dalam penyelenggaraan pemilu.
b. Memberikan sumbangan dan masukan guna pengembangan ilmu hukum khususnya Hukum Tata Negara, terutana yang menyangkut mengenai Komisi Pemilihan Umum (KPU). c. Untuk memenuhi tugas akhir sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan hasilnya dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini mampu menyumbangkan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Tata Negara pada khususnya.
dunia kepustakaan mengenai kedudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga independen dalam sistem ketatanegaraan Indonesia serta untuk mengetahui tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga independen dalam penyelenggaraan pemilu.
c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan terhadap penelitianpenelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Guna mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Sebagai bahan masukan bagi pihak yang terkait langsung dengan penelitian ini. E. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan faktor penting dalam penelitian guna mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan penelitian, juga akan mempermudah pengembangan data, sehingga penyusunan penulisan hukum ini sesuai dengan metode ilmiah. Metode yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahanbahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji kemudian dibandingkan dan ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001:1314). 2. Lokasi Penelitian
hakikatnya dalam suatu penelitian normatif, lokasi penelitian adalah sematamata menjadi sumber diketemukannya datadata, teoriteori, konsepkonsep yang mendukung dan relevan terhadap penelitian normatif sebagaimana di maksud.
3. Sifat Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang memberikan gambaran secara lengkap dan sistematif terhadap obyek yang diteliti.
Suatu penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejalagejala lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesahipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teoriteori lama, atau di dalam kerangka menyusun teoriteori baru. (Soerjono Soekanto,1986:10).
4. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa jenis pendekatan, yaitu pendekatan undang undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan histories (historical approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) menurut (Peter Mahmud Marzuki, 2005:93). Dari keempat pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum ini adalah pendekatan undangundang (statute approach). Pendekatan undangundang yang di maksud adalah menelaah undangundang dan regulasi yang terkait dengan isu hukum yang diangkat, dalam hal ini yang di maksud lebih mengarah pada Undang Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelengara Pemilu, untuk selanjutnya penelitian ini menganalisis kedudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga independen dalan sistem ketatanegaraan Indonesia. 5. Jenis dan Sumber Data Penelitian Pengertian data secara umum, yaitu semua informasi mengenai variabel atau obyek yang diteliti. Lazimnya dalam penelitian dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan dari buku pustaka. Data yang diperoleh langsung dari masyarakat disebut data
primer atau primary data dan data yang diperoleh dari buku pustaka disebut data sekunder atau secondary data (Soerjono Soekanto,1986:11). Datadata yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data dasar yang berupa data sekunder yang berupa :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum atau bahan pustaka yang mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, adapun yang penulis gunakan adalah : 1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) UndangUndang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No 3 Tahun 1999 tentang Pemilu 3) UndangUndang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum 4) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 5) UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu
6) UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 7) UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan hukum sekunder adalah bahan bahan berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumendokumen resmi, meliputi bukubuku teks, kamuskamus hukum, jurnaljurnal hukum, dan komentar komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2005:141). Bahan penelitian yang digunakan adalah bukubuku yang terkait dengan materi/bahasan yang penulis gunakan yaitu buku yang membahas mengenai kedudukan Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga independen dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan bukubuku yang membahas tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum dalam penyelenggaraan pemilu seperti :
1) Hasil karya ilmiah para sarjana yang relevan/ terkait dalam penelitian ini. 2) Hasilhasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini.
3) Bukubuku penunjang lain. c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dalam penelitian ini , penulis menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk mencari istilahistilah guna menjelaskan halhal yang tercantum dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder diantaranya bahan dari media internet yang relevan dengan penelitian ini. 6. Teknik Pengumpulan Data Menurut Soerjono dan Abdurrahman, teknik pengolahan data adalah bagaimana caranya mengolah data yang berhasil dikumpulkan untuk memungkinkan penelitian bersangkutan melakukan analisa yang sebaikbaiknya (Soerjono dan Abdurrahman, 2003:46). Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah dengan studi dokumen atau bahan pustaka, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan bahanbahan yang berupa bukubuku dan bahan pustaka lainnya yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti yang digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Metode pengumpulan data ini berguna untuk mendapatkan landasan teori yang berupa pendapat para ahli mengenai hal yang menjadi obyek penelitian seperti peraturan perundangan yang berlaku dan berkaitan dengan halhal yang diteliti. 7. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam suatu penelitian. Karena dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diproes dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai didapat suatu kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil akhir dari penelitian. Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah teknik analisis data dengan logika deduktif. Menurut Johny Ibrahim yang mengutip pendapatnya Bernard Arief Shiharta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual (Bernard Arief Shiharta dalam Johny Ibrahim, 2006: 249). Jadi yang dimaksud dengan pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif adalah menjelaskan sesuatu dari halhal yang sifatnya umum, selanjutnya menarik kesimpulan dari hal
itu yang sifatnya lebih khusus.
Dalam hal ini penulis berusaha memperoleh data dengan melakukan inventarisasi sekaligus mengkaji dari penelitian studi kepustakaan, aturan perundangundangan beserta dokumendokumen yang dapat membantu menafsirkan norma tersebut dalam mengumpulkan data, kemudian mengungkapkan faktafakta yang telah diolah dan relevan dengan masalah yang dikaji akan diuraikan, dihubungkan dan dianalisis sedemikian rupa. Tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari data yang telah diolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui mengenai kedudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan tugas serta wewenangnya sebagai lembaga independen dalam penyelenggaraan pemilu.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan karya ilmiah yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan karya ilmiah, maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Penulisan hukum ini terbagi menjadi empat bab, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan, dan penutup, ditambah dengan lampiranlampiran dan daftar pustaka yang apabila disusun dengan sistematika sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, jadwal penelitian dan sistematika penulisan hukum. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 1. Kerangka Teori Dalam bab ini penulis menguraikan tentang teoriteori yang melandasi penelitian hukum. Pada bab ini akan dibahas mengenai tinjauan tentang negara hukum, tinjauan tentang kedaulatan rakyat, tinjauan tentang demokrasi, tinjauan tentang pemilihan umum (pemilu), serta tinjauan tentang lembaga negara, lembaga negara independen dan lembaga negara bantu (state auxiliary agencies).
Berisi alur pemikiran yang hendak ditempuh oleh penulis, yang dituangkan dalam bentuk skema atau bagan. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan yaitu tentang kedudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga independen dalam sistem ketatanegaraan Indonesia serta untuk mengetahui tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga independen dalam penyelenggaraan pemilu. BAB IV : PENUTUP Dalam bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dan saransaran terkait dengan pembahasan permasalahan yang diteliti. DAFTAR PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Negara Hukum a. Pengertian Negara Hukum Arti negara hukum pada hakikatnya berakar dari konsep kedaulatan hukum yang pada prinsipnya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum, oleh sebab itu seluruh alat perlengkapan negara apapun namanya termasuk warga negara harus tunduk dan patuh serta menjunjung tinggi hukum tanpa kecuali (Hestu C.Handoyo, 2003:12).
Sudargo Gautama sebagaimana dikutip oleh Budiyanto menyebutkan bahwa dalam suatu negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan Negara tidak maha kuasa, tidak bertindak sewenangwenang. Sehingga tindakantindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum (Sudargo Gautama dalam Budiyanto, 2003:50). Selanjutnya menurut Prof. R. Djokosutono, S.H. sebagaimana dikutip oleh Budiyanto berpendapat bahwa negara hukum menurut UUD 1945 adalah negara yang berdasarkan pada kedaulatan hukum. Hukumlah yang berdaulat atas negara tersebut. Negara merupakan subjek hukum dalam arti Rechtsstaat atau badan hukum publik (R.Djokosutono dalam Budiyanto, 2003:50). Selain dua pendapat dari pakar tersebut, di dalam Penjelasan UUD 1945 juga dikatakan “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat)”. Ini mengandung arti bahwa negara dalam menjalankan aktivitasnya (penyelenggaraan pemerintahannya) tidak boleh berdasarkan atas kekuasaan belaka tetapi harus berdasarkan pada hukum yang berlaku (Budiyanto, 2003:5051).
Teori mengenai negara hukum secara umum dibagi dalam dua jenis, yaitu : 1). Teori Negara Hukum Formal
Negara hukum formal yaitu negara hukum yang mendapat pengesahan dari rakyat, segala tindakan penguasa memerlukan bentuk tertentu, harus berdasarkan undang
undang. Negara hukum formal ini disebut pula dengan negara demokratis yang berlandaskan Negara hukum (Ni`matul Huda, 2005:6). Berdasarkan pengertian tersebut, F.J. Stahl dengan konsep Negara Hukum Formal menyusun unsurunsur Negara hukum adalah : a) Perlindungan terhadap hakhak asasi manusia; b) Pemisahan kekuasaan; c) Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan undangundang (legalitas pemerintahan); d) Adanya peradilan administratif yang bebas dan tidak memihak.
Unsurunsur tersebut menjadikan negara berperan sebagai pencipta hukum dan penegak hukum dalam rangka menjaga ketertiban dan keamanan. Hal yang mengakibatkan negara bersifat pasif, artinya tugas negara hanya mempertahankan ketertiban dan keamanan negara saja, atau negara hanya sebagai “penjaga malam”, sedangkan dalam urusan sosial dan ekonomi, negara tidak boleh mencampurinya. Teori ini dikemukakan oleh Immanuel Kant. 2). Teori Negara Hukum Material (welfare state) Teori ini menyatakan bahwa negara selain bertugas membina ketertiban umum, juga ikut bertanggung jawab dalam membina dan mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Teori ini dikemukakan oleh Kranenburg dan banyak dipraktekkan di negaranegara berkembang, seperti di Indonesia (Budiyanto, 2003:51). Unsurunsur dari negara hukum materiil yaitu : (Hestu C.Handoyo, 2003: 15) a) Jaminan terhadap hakhak asasi manusia; b) Pemisahan/pembagian kekuasaan; c) Legalitas pemerintahan; d) Peradilan administrasi yang bebas dan tidak memihak; e) Terwujudnya kesejahteraan umum warga negara. b. Ciriciri Negara Hukum Amanat konstitusi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan berdasar UUD”, sesungguhnya telah cukup mengisyaratkan Indonesia adalah negara demokrasi meski tidak ekplisit dinyatakan demikian. Hanya ditegaskan “Indonesia adalah negara hukum”. Negara hukum (rechtstaat) adalah ciri negara modern (negara demokrasi).
Menurut Immanuel Kant sebagaimana dikutip oleh Budiyanto, ada empat prinsip yang menjadi ciri dari negara hukum, yaitu : (Immanuel Kant dalam Budiyanto,2003:51) 1) Pengakuan dan jaminan atas hakhak asasi manusia. 2) Pemisahan kekuasaan untuk menjamin hakhak asasi manusia. 3) Legalitas pemerintahan (pemerintahan berdasarkan hukum). 4) Pengadilan untuk menyelesaikan masalah yang timbul sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia. Menurut Sri Soemantri yang terpenting dalam Negara hukum , yaitu : 1) Bahwa pemerintahan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan hukum atau peraturan perundangundangan; 2) Adanya jaminan terhadap hakhak asasi manusia (warganya); 3) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; 4) Adanya pengawasan dari badanbadan peradilan (rechterlijke controle). Dari beberapa pendapat tersebut di atas, Ismail Suny sebagaimana dikutip oleh Budiyanto menyimpulkan bahwa prinsipprinsip negara hukum adalah sebagai berikut (Ismail Suny dalam Budiyanto, 2003:53) : 1) Pengakuan dan perlindungan atas hakhak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial dan kebudayaan. Hal ini berdasarkan ketentuan hukum. 2) Peradilan yang bebas, tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuatan apapun. Artinya, ada kekuasaan yang terlepas dari kekuasaan pemerintah untuk menjamin hakhak asasi sehingga hakim betulbetul memperoleh putusan yang objektif dalam memutuskan perkara. 3) Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya. Dengan ini suatu tindakan harus sesuai dengan yang dirumuskan dalam peraturan hukum. Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie ada 12 (dua belas) prinsip negara hukum modern (rechtsstaat), yaitu: (Jimly Asshiddiqie, 2005:154162) 1) Supremasi hukum (Supremacy of Law); 2) Persamaan dalam hukum (Equality before the law); 3) Asas Legalitas (Due process of law); 4) Pembatasan kekuasaan; 5) Organorgan eksekutif independen; 6) Peradilan bebas dan tidak memihak; 7) Peradilan tata usaha negara; 8) Peradilan tata negara; 9) Perlindungan HAM; 10) Bersifat demokratis (Democratische Rechsstaat); 11) Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (Welfare Rechtsstaat); 12) Transparansi dan kontrol sosial.
Berdasarkan ciriciri di atas, dapat diketahui bahwa Indonesia merupakan negara hukum di mana hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Selain itu telah disebutkan juga Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 menjamin akan terpenuhinya hakhak warga negara. Di antaranya dalam Pembukaan alenia I menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak setiap bangsa. Sedangkan dalam Batang Tubuh UUD 1945 terdapat dalam Pasal 27, 28, 29, 30 dan 31. Ciri yang menyangkut peradilan yang bebas, tidak memihak dan tidak dipengaruhi oleh kekuatan apapun dapat ditemukan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. c. Macammacam Tipe Negara Hukum Tipe negara hukum antara satu negara dengan negara yang lain adalah berbeda. Menurut Budiyanto, di dunia ini terdapat dua tipe negara hukum yang berbeda pula, yaitu Tipe Anglo Saxon dan Tipe Eropa Kontinental (Budiyanto, 2003:52).
d. Tipe Anglo Saxon, tipe ini bertumpu pada the rule of law. Menurut A.V Dicey, menyatakan the rule of law terbagi ke dalam (3) tiga unsur pokok berikut (A.V. Dicey dalam Budiyanto, 2003:52).
a) Supremasi of the law, yaitu hukum memiliki kedudukan yang paling tinggi (kedaulatan hukum), baik penguasa maupun rakyat harus tunduk pada hukum. Ciri khas supremasi of the law adalah: (1) Hukum berkuasa penuh terhadap negara dan rakyat; (2) Negara tidak dapat disalahkan, yang salah adalah pejabat negara; (3) Hukum tidak dapat diganggu gugat, kecuali oleh Supreme of Court atau Mahkamah Agung. b) Equality before the law, yaitu semua warga negara memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. c) Constitutional based on Human Right, yaitu adanya jaminan hakhak asasi warga negara di dalam konstitusi. Selanjutnya menurut A.V Dicey adapun syaratsyarat dasar agar pemerintahan demokratis di bawah the rule of law terselenggara yaitu sebagai berikut: (A.V. Dicey dalam Budiyanto, 2003:52). h. Perlindungan konstitusional, diatur dalam konstitusi sehingga menjadi kewajiban negara negara untuk melaksanakannya.
i. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, yaitu bersifat independen dan imparsial.
j. Pemilihan umum yang bebas, baik dalam pemilihan umum negara maupun daerah. k. Kebebasan untuk menyatakan pendapat, namun dalam hal ini kebebasan tersebut harus dapa dipertanggungjawabkan baik kepada Tuhan YME, selama manusia, bangsa dan negara. l. Kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi dan beroposisi. m. Pendidikan kewarganegaraan, agar setiap warga negara Indonesia mengetahui dasar ketatanegaraan Republik Indonesia. e.Tipe Eropa Kontinental, pada tipe ini yang berdaulat adalah hukum sehingga hukum memandang negara sebagai subjek hukum yang dapat dituntut apabila melanggar hukum. Menurut tipe ini, untuk dapat disebut negara hukum yang demokratis, negara itu harus : f. Membagi atau memisahkan kekuasaan negara: g. Menjamin dan melindungi HAM; h. Mendasarkan tindakannya pada undangundang; i. Diselenggarakannya Administrasi undangundang itu; j. Diselenggarakan suatu Peradilan. d. Sistem Pemerintahan
Istilah sistem pemerintahan berasal dari dua kata, yaitu: “sistem” dan “pemerintahan”. Sistem berarti keseluruhan yang terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagianbagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan tersebut menimbulkan suatu ketergantungan antara bagianbagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhnya itu. Dan pemerintahan dalam arti luas mempunyai pengertian segala urusan yang dilakukan negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara itu sendiri. Dari pengertian itu, maka secara harfiah sistem pemerintahan dapat diartikan sebagai suatu bentuk hubungan antar lembaga negara dalam menyelanggarakan kekuasaankekuasaan negara untuk kepentingan negara itu sendiri dalam rangka untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.
sesuatu yang merupakan perbuatan pemerintahan yang dilakukan oleh organorgan atau lembagalembaga negara seperti eksekutif, legislatif, yudikatif dan sebagainya, di mana dengan kekuasaannya masingmasing lembaga negara tersebut saling bekerja sama dan berhubungan secara fungsional dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat (Sri Soemantri, 1976:58). Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa dalam sistem pemerintahan terdapat pembagian dan pemisahan kekuasaan di antara lembagalembaga negara. Menurut Miriam Budiardjo, pembagian kekuasaan dapat dibedakan atas : (Miriam Budihardjo, 2001: 138)
1) Pembagian kekuasaan secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan yang didasarkan pada fungi maupun mengenai lembaga negara yang melaksanakan fungsi tersebut.
2) Pembagian kekuasaan secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan di antara beberapa tingkatan pemerintah yang akan melahirkan garis hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian.
Sedangkan untuk teori pemisahan kekuasaan, pertama kali dikemukakan oleh John Locke yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan federatif. Seiring dengan perkembangannya teori pemisahan kekuasaan juga dikemukakan oleh Montesquieu yang dikenal dengan konsep trias politica yaitu dalam fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Ketiga fungsi kekuasaan negara tersebut dilembagakan masingmasing dalam tiga organ negara, dengan ketentuan satu organ hanya menjalankan satu fungsi dan tidak boleh saling mencampuri urusan masingmasing dalam arti yang mutlak (Jimly Asshiddiqie, 2006:vii).
Konsep trias politica saat ini sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan sistem pemerintahan mengingat ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Di dalam kenyataannya, hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan dan bahkan ketiganya saling sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks and balances (Jimly Asshiddiqie, 2006:vii).
b. Tinjauan Tentang Kedaulatan Rakyat
Menurut Jimly Asshiddiqie, kedaulatan atau souvereiniteit (souverignty) merupakan konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Kata “daulat” dan “kedaulatan” berasal dari kata Arab daulah yang berarti rezim politik atau kekuasaan. Makna aslinya seperti yang dipakai dalam Alquran adalah peredaran dalam konteks pengertian kekuasaan. Perkataan ini dipakai dua kali atau dua tempat, yaitu (i) harihari kekuasaan dipergantikan di antara umat manusia (tilka alayyamu nudawiluha bainna al naas); dan (ii) hendaklah jangan sampai terjadi bahwa kekayaan hanya beredar di antara orangorang kaya saja (daulatan baina alaghniya). Artinya, akar kata daulat dalam Alquran terkait dengan konsep mengenai kekuasaan di bidang politik dan kekuasaan di bidang politik (Jimly Asshiddiqie, 2007:143). Menurut teori kedaulatan rakyat segala kekuasaan dalam suatu negara didasarkan pada kekuasaan rakyat bersama. Gagasan bahwa rakyat yang berdaulat, dapat disimpulkan dari kenyataan bahwa yang terbaik dalam suatu masyarakat adalah apa yang dianggap baik oleh semua orang yang merupakan rakyat (Hassan Suryono, 2005: 59). Dalam sistem kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dalam arti kekuasaan tersebut berasal dan dikelola oleh rakyat untuk kepentingan seluruh rakyat tersebut. Sedangkan dalam sistem participatory democracy kekuasaan pemerintahan itu berasal dari, untuk, oleh dan bersama rakyat (Jimly Asshiddiqie, 2006: 141). Kekuasaan tertinggi tersebut dibatasi oleh kesepakatan yang telah ditentukan oleh rakyat secara bersamasama dalam rumusan konstitusi. Konstitusi ini yang mengatur dan membatasi bagaimana kedaulatan disalurkan, dijalankan dan diselenggarakan dalam suatu negara. Dengan kata lain, rakyatlah pemilik tetap kedaulatan dalam suatu negara dengan segala kewenangannya untuk menjalankan semua fungsi kekuasaan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif yang manfaatnya tidak lain hanya ditujukan bagi rakyat (Jimly Asshiddiqie, 2006:142). Selain dalam bentuk konstitusi prinsip kedaulatan rakyat juga terlihat dalam struktur dan mekanisme kelembagaan dan pemerintahan. Dari segi kelembagaan, biasanya diorganisasikan melalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) yang bersifat horizontal atau pembagian kekuasan (distribution atau division of power) yang bersifat vertikal ke bawah kepada lembagalembaga negara yang saling sederajad dan saling mengimbangi (check and balance) (Jimly Asshiddiqie, 2006:165).
Sebelum amandemen UUD 1945 kekuasaan tertinggi di Indonesia dipegang oleh MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat. Selanjutnya kekuasaan tersebut dibagikan kepada lembaga tinggi negara (distribution atau division of power). Akan tetapi, setelah diamandemen kedaulatan tersebut dipisahkan fungsinya (separation of power) antara lembagalembaga negara yang sederajad dan saling mengimbangi (check and balance). Selanjutnya kedudukan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, tetapi sebagai lembaga tinggi negara sederajad dengan lembaga negara lainnya (Jimly Asshiddiqie, 2006: 7273). c. Tinjauan Tentang Demokrasi Istilah demokrasi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani “demos” artinya rakyat dan “kratein” artinya memerintah. Jadi secara harafiah demokrasi dapat diartikan sebagai rakyat memerintah (Hestu C.Handoyo, 2003:98). Hal ini berarti kekuasaan tertinggi yang dipegang oleh rakyat. Selanjutnya menurut Abraham Lincoln sebagaimana dikutip oleh Budiyanto, demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Abraham Lincoln dalam Budiyanto, 2003:38).
Untuk implementasi dalam sistem pemerintahan, demokrasi dibedakan dalam 3 (tiga) tipe dengan ukurannya adalah hubungan antar organ negara, yaitu: (Mahfud MD, 1999: 67) 1). Demokrasi dengan sistem parlementer.
Pada awalnya, tujuan digunakannya sistem parlementer adalah untuk mempertahankan bentuk kerajaan/monarki di negara Inggris dalam suasana bertambah kuatnya kekuasaan rakyat. Caranya adalah membuat sistem pemerintahan di mana raja tidak dapat diganggu gugat dan peran menteri yang bertanggung jawab pada parlemen dalam melaksanakan pemerintahan. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara lembaga eksekutif dan legislatif dan adanya saling ketergantungan satu sama lain. 2). Demokrasi dengan pemisahan kekuasaan.
Bentuk ini terutama sekali diterapkan di Amerika Serikat di mana badan eksekutif secara tegas dipisahkan dari badan legislatif dan badan yudikatif. Presiden dalam hal ini mempunyai kekuasaan yang sama sekali terpisah dan tidak dapat
menpengaruhi sistem kerja dari lembaga legislatif dan yudikatif. Oleh karena itu, dibuat suatu sistem untuk menciptakan keseimbangan antara ketiga kekuasaan yang ada, yang disebut sistem check and balance. 3). Demokrasi dengan pengawasan langsung oleh rakyat. Dalam bentuk ini, badan legislatif tunduk pada pengawasan atau kontrol dari rakyat. Pengawasan rakyat dapat dilaksanakan dengan 2 (dua) cara, yaitu dengan inisiatif dari rakyat dan dengan referendum. Inisiatif rakyat merupakan hak rakyat untuk mengajukan atau mengusulkan suatu rancangan undangundang pada lembaga legislatif dan eksekutif. Sedangkan referendum adalah meminta persetujuan atas pendapat rakyat mengenai suatu kebijakan yang telah, sedang atau akan dilaksanakan oleh badan legislatif dan eksekutif. Referendum terbagi atas 3 (tiga) macam, yaitu:
4) Referendum obligatoir, yaitu referendum terhadap suatu undangundang yang materinya menyangkut hakhak rakyat sehingga wajib meminta persetujuan rakyat sebelum undangundang tersebut diberlakukan.
5) Referendum fakultatif, yaitu referendum terhadap undangundang yang sudah berlaku dalam waktu tertentu.
6) Referendum konsultatif, yaitu referendum yang berkaitan dengan masalah teknis suatu negara.
d. TinjauanTentang Pemilihan Umum (Pemilu) 1) Pemilihan Umum (Pemilu)
Pemilihan umum (pemilu) merupakan bagian penting dari lembagalembaga di dalam demokrasi modern. Seperti diketahui bahwa di dalam negara demokrasi modern yang umumnya bersifat tidak langsung itu harus ada organ yang disebut parlemen atau dewan perwakilan rakyat. Keanggotaan perlemen tersebut biasanya diisi melalui pemilu. Di dalam pemilu itu seluruh rakyat diberi kesempatan untuk memilih wakilwakilnya yang akan duduk di parlemen dan menggunakan wewenangwewenang untuk kepentingan rakyat yang akan diwakilinya.
Di samping itu, pemilu juga memiliki kaitan erat dengan prinsip negara hukum di antaranya yaitu perlindungan terhadap hakhak asasi manusia, persamaan di depan hukum dan pemerintahan serta adanya pemilu yang bebas. Sehingga, dengan adanya pemilu hak asasi rakyat yang berkaitan dengan bidang politik dapat disalurkan, di mana hal ini dapat mewujudkan adanya persamaan di depan hukum dan pemerintahan, serta dengan adanya pemilu yang bebas maka pemilu sebagai sarana penyaluran hak demokratis dan hak politik rakyat dapat mencapai tujuannya (Mahfud MD, 1999:221222). Dalam sistem perwakilan (representative democracy) atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy), kedaulatan rakyat dijalankan oleh wakil rakyat yang duduk dalam parlemen. Para wakil rakyat tersebut ditentukan sendiri oleh rakyat melalui pemilu (general election) secara berkala agar dapat memperjuangkan aspirasi rakyat. Pentingnya penyelenggaraan pemilu secara berkala tersebut dikarenakan beberapa sebab. Pertama, pendapat atau aspirasi rakyat cenderung berubah dari waktu ke waktu. Kedua, kondisi kehidupan masyarakat yang dapat juga berubah. Ketiga, pertambahan penduduk dan rakyat dewasa yang dapat menggunakan hak pilihnya. Keempat, guna menjamin regulasi kepemimpinan baik dalam cabang eksekutif dan legislatif (Jimly Asshidiqqie, 2006:169 171). Dalam pemilu, yang dipilih tidak saja wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, tetapi juga para pemimpin pemerintahan yang duduk di kursi eksekutif. Di cabang kekuasaan legislatif, para wakil rakyat itu ada yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat, ada yang duduk di Dewan Perwakilan Daerah dan ada pula yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik di tingkat provinsi ataupun di tingkat kabupaten dan kota. Sedangkan di cabang kekuasaan pemerintahan eksekutif, para pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat adalah Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Dengan adanya pemilihan umum yang teratur dan berkala, maka pergantian para pejabat dimaksud juga dapat terselenggara secara teratur dan berkala (Jimly Asshiddiqie, 2006:175176). Tujuan diselenggarakannya pemilu adalah untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan didukung oleh rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Jika dicermati pasal 1 ayat (2) UUD 1945, terlihat bahwa Indonesia menganut paham demokrasi konstitusional di mana “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undangundang Dasar”. Untuk mewujudkan kedaulatan yang dimiliki rakyat tersebut, maka sampai saat ini cara yang paling tepat adalah melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat.
Pemilihan umum di Indonesia sendiri diatur dalam berbagai peraturan perundang undangan dan yang terakhir diatur dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Dalam Pasal 1 Undangundang tersebut disebutkan bahwa :
“Pemilihan umum, selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Dari pengertian tersebut di atas dapat diketahui bahwa tujuan penyelenggaraan pemilihan umum ada 4, yaitu : 2. untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai. 3. untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan. 4. untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat. 5. untuk melaksanakan prinsip hakhak asasi warga negara. 2). Asasasas Pemilu
Untuk mewujudkan pemilu yang demokratis maka terdapat asasasas dalam penyelenggaraan pemilu, yaitu diantaranya : (Hestu C.Handoyo, 2003: 217221) a) Asas Langsung, berarti setiap pemilih secara langsung memberikan suaranya tanpa perantara dan tingkatan. b) Asas Umum, berarti pemilihan itu berlaku menyeluruh bagi semua warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan, tanpa diskriminasi. c) Asas Bebas, berarti warga negara yang berhak memilih dapat menggunakan haknya, dan dijamin keamanannya melakukan pemilihan menurut hati nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan, dan paksaan dari siapapin dan dengan cara apapun.
d) Asas Rahasia, berarti setiap pemilih dijamin tidak akan diketahui oleh siapapun dan dengan jalan apapun siapa yang dipilihnya.
e) Asas Jujur, berarti dalam penyelenggaraan pemilu, penyelenggara/pelaksana, pemerintah dan partai politik peserta pemilu, pengawas dan pemantau pemilu, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung harus bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
f) Asas Adil, berarti setiap pemilih dan partai politik peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
3). Sistem Pemilu
Pemilihan umum yang merupakan perwujudan kedaulatan rakyat dalam suatu negara sebagai cara untuk menentukan wakilwakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga perwakilan rakyat, maka pada umumya terdapat beberapa sistem pemilihan umum yang dilihat dari sudut kepentingan rakyat, apakah rakyat dipandang sebagai individu yang bebas untuk menentukan pilihannya dan sekaligus mencalonkan diri sebagai calon wakil rakyat, atau apakah rakyat hanya dipandang sebagai anggota kelompok yang tidak berhak menentukan calon wakil rakyat dan tidak berhak untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.
Berdasarkan sudut pandang kepentingan rakyat tersebut, sistem pemilu dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu (Jimly Asshiddiqie, 2006:178181) :
a). Sistem Pemilu Mekanis
Sistem pemilihan ini bersifat mekanis yang melihat rakyat sebagai massa individuindividu yang sama. Dalam sistem ini lembaga perwakilan rakyat merupakan lembaga kepentingan rakyat umum rakyat seluruhnya. Dalam bentuknya sistem pemilu mekanis ini menghasilkan parlemen.
b). Sistem Pemilu Organis
Sistem ini menempatkan rakyat sebagai sejumlah individuindividu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup. Persekutuan hidup inilah yang diutamakan sebagai penyandang dan pengendali hak pilih untuk mengutus wakilwakilya dalam lembaga perwakilan rakyat. Lembaga perwakilan rakyat inilah
yang mencerminkan perwakilan kepentingankepentingan khusus persekutuan hidup tersebut. Sistem ini menghasilkan dewan korporasi (korporatif). Dari kedua sistem pemilu di atas, terdapat sistem yang lebih umum digunakan yaitu sistem pemilu yang bersifat mekanis. Sistem ini biasa dilaksanakan dengan 3 (tiga) cara, yaitu (Mahfud MD, 1999: 223226) : a). Sistem Distrik (Plurality Types)
Sistem distrik ditentukan atas kesatuan geografis di mana dalam setiap geografis yang disebut distrik hanya memilih seorang wakil. Dalam sistem ini negara harus membagi wilayahnya ke dalam sejumlah besar distrikdistrik dan jumlah distrik itu adalah sama dengan jumlah anggota parlemen. Partai yang mendapat suara terbanyak di dalam setiap distrik berhak mengisi kursi parlemen dari distrik yang bersangkutan sehingga calon anggota dari partai yang mendapat suara terbanyak itulah yang menjadi anggota parlemen. Suara yang diperoleh partai lain (yang tidak terbanyak) menjadi terbuang karena berapa pun jumlah suara itu tidak akan ada wakilnya di parlemen berhubung kursi yang diperebutkan hanya satu. Negaranegara yang menganut sistem distrik diantaranya Amerika, Inggris, Kanada dan India.
Kelemahankelemahan dengan menggunakan sistem distrik diantaranya yaitu: (1). Kurang memperhitungkan jumlah partaipartai kecil dan golongan minoritas,
lebihlebih jika anggota partai kecil dan minoritas itu terpisahpisah ke alam beberapa distrik. Dalam keadaan demikian partai kecil dan golongan minoritas sulit mendapatkan wakil yang bisa terpilih.
(2). Kurang representatif dikarenakan calon yang kalah di satu distrik menjadi kehilangan suarasuara pendukungnya sehingga pendukung tadi tidak mempunyai wakil di parlemen.
Sedangkan terdapat pula kelebihankelebihan pemilu dengan menggunakan sisten distrik, yaitu:
(1). Kecilnya batas distrik memungkinkan calon yang akan dipilih dapat dikenal dengan baik oleh para pemilih.
(2). Sistem karena kursi yang diperebutkan hanya satu untuk setiap distrik sehingga untuk distrik mendorong ke arah integrasi parpolparpol memperoleh suara terbanyak beberapa parpol biasanya berkumpul dalam satu wadah.
(3).Berkurangnya parpolparpol lebih mempermudah terbentuknya pemerintahan yang stabil (integrasi).
(4). Sistem ini sederhana dan mudah dilaksanakan.
b). Sistem Perwakilan Berimbang (Proporsional Representation)
Dalam sistem ini disebutkan bahwa jumlah kursi yang diperoleh satu partai sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh. Dalam sistem wilayah negara juga dibagi bagi ke dalam daerahdaerah tetapi batasbatasnya lebih besar daripada daerah dalam sistem distrik. Setiap daerah memilih sejumlah wakil sesuai dengan jumlah penduduk. Dengan demikian dalam sistem ini setiap suara dihitung sehingga tidak ada yang hilang. Kelebihan suara dari jatah satu kursi di suatu daerah bisa dikompensasikan dengan kelebihan di daerah lain. Sistem proporsional ini juga sering dikombinasikan dengan sistem daftar (list system) di mana para pemilih memilih daftar calon atau salah satu partai yang telah membuat daftar calon anggota yang disusun berdasarkan peringkat.
Kelemahankelemahan pemilu dengan menggunakan sistem proporsional diantaranya yaitu:
(1). Mempermudah fragmentasi dan timbulnya partaipartai baru. Sistem ini tidak mempermudah pada upaya integrasi dari berbagai kecenderungan yang ada di dalam masyarakat.
(2). Wakil yang terpilih lebih merasa terikat kepada partai dan kurang merasa loyal terhadap daerah yang diwakilinya karena lebih menonjolkan partai daripada pribadi si wakil.
(3).Banyaknya partai dapat mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil karena biasanya harus mendasarkan diri pada koalisi dari dua partai atau lebih.
c). Sistem Gabungan
ini, negara dibagi dalam beberapa daerah pemilihan, sisa suara yang mayoritas tidak hilang begitu saja karena diperhitungkan dengan jumlah kursi yang akan dibagi. e. TinjauanTentang Lembaga Negara 1). Lembaga Negara Salah satu konsekuensi dari dilakukannya perubahan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 adalah munculnya beragam penafsiran mengenai istilah “lembaga negara” akibat kekurangjelasan UUD Negara RI Tahun 1945 dalam mengatur lembaga negara. Hal ini dapat terlihat dari tiadanya kriteria untuk menentukan apakah suatu lembaga dapat diatur atau tidak dalam dalam konstitusi. Lembaga negara bukan konsep yang secara terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Di dalam literatur Inggris, lembaga negara disebut dengan istilah political institution, sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah staat organen atau staatsorgaan untuk mengartikan lembaga negara (Arifin, 2005:29). Sementara di Indonesia sendiri, secara baku digunakan istilah lembaga negara, badan negara atau organ negara (Jimly Asshiddiqie, 2006:31). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, lembaga negara diartikan sebagai badanbadan negara di semua lingkungan pemerintahan negara (khususnya di lingkungan eksekutuf, legislatif dan yudikatif) (Arifin, 2005:30). Istilah lembaga negara atau organ negara dapat dibedakan dari perkataan lembaga atau organ swasta, lembaga masyarakat atau yang biasa dikenal dengan sebutan organisasi nonpemerintah (ornop). Oleh karena itu, lembaga apapun yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat disebut sebagai lembaga negara, baik berada dalam ranah eksekutif, legislatif, yudikatif ataupun yang bersifat campuran (Jimly Asshiddiqie, 2006:31).
2). Lembaga Independen dan Lembaga Negara Bantu (State Auxiliary Agencies)
Salah satu trend yang berkembang saat ini adalah mendorong pemberian peran yang lebih besar kepada masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Semua ini diarahkan untuk mewujudkan checks and balances system dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara, yang diaktualisasikan secara institusional dan disesuaikan dengan bidangbidang kekuasaan negara. Artinya, pada setiap bidang kekuasaan negara yang sudah memiliki lembaga yang definitif secara struktural masih diperlukan lembaga lain yang bersifat independen dan berstatus ekstra struktural.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengetahui kebutuhan lembaga yang independen dan berstatus ekstra struktural adalah dengan memetakan kembali bidang kekuasaan negara mana yang membutuhkan peran lembaga di luar lembaga definitif yang telah ada dan kekuasaan negara mana yang tidak. Kegiatan pemetaan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi keberadaan “kelembagaan independen yang berstatus ekstra struktural pemerintah” dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan atau yang dikenal dengan istilah “lembaga independen”. Beberapa bentuk perwujudan lembaga independen tersebut berupa komisi independen (state auxiliary agencies), lembaga/badan pengatur independen (independent regulatory body) atau Quangos (Quasiautonomous non governmental organizations) yang dapat berbentuk komisi (agency/commision), badan (body) atau dewan (board).
Pengertian lembaga independen sendiri dapat kita lihat dari peristilahan (terminologi) yang digunakan sejak awal lembaga ini diperkenalkan pada tahun 1980an oleh Sir Douglas Hague dari Inggris dengan istilah “quasiautonomous nongovernmental organization” (QUANGO). Istilah QUANGO ini dipergunakan untuk menggambarkan lembaga yang terbentuk dari kecenderungan pemerintah yang menyerahkan kewenangannya untuk menetapkan atau membentuk badan sendiri. Istilah tersebut kemudian secara umum dipakai di Inggris. Sedangkan menurut versi pemerintah Inggris yang dimaksud dengan QUANGO adalah suatu badan yang mempunyai peran di dalam proses pemerintah nasional, tetapi bukan departemen pemerintah atau tidak merupakan bagian dari departemen pemerintah dan yang beroperasi lebih luas atau lebih kecil dari menteri (http/://www.docstoc.com/docs/4289159/lembaga independen). Berbeda dengan peristilahan (terminologi) yang dipakai di atas, di Indonesia istilah quango dipersamakan dengan istilah lembaga independen (independent body). Lembaga independen yang dimaksud dalam hal ini adalah lembaga pemerintah dan non pemerintah
yang bebas dari pengendalian oleh pemerintah dan pembuat kebijakan (legislatif), bebas dari pengendalian oleh pemanfaatan kelompok, dan bebas dari kepentingan tertentu serta bersifat netral. Dengan demikian lembaga ini menunjuk pada lembaga nonstruktural pemerintah (komisi negara) atau lembaga pelaksana fungsi negara dan penunjang tugas pemerintahan (state auxiliaries) dan lembaga regulasi independen (independent regulatory body) atau independent and self regulatory bodies. Lembaga independen adalah sifatnya “state auxiliaries” (penunjang/pendukung) yang bidangnya mencakup: (1 Bidang kekuasaan eksekutif: (a) Komisi Pemilihan Umum (KPU), (b) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), (c) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), (d) Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak); (2) Bidang kekuasaan Yudikatif (Peradilan): (a) Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), (b) Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Kepolisian, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi; (3) Bidang kekuasaan legislatif/regulatif: (a) Badan Pengatur Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), (b) Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI),
dan (c) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
(http:/www.docstoc.com/docs/4289159/lembagaindependen). B. Kerangka Pemikiran Negara RI Reformasi 1998 : Perubahan politik Perubahan konstitusi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan sebuah negara hukum sesuai yang telah disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Selain itu, negara Indonesia juga merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik dan menjalankan pemerintahan dalam bentuk demokrasi (kedaulatan rakyat). Hal tersebut sesuai dengan yang telah disebutkan dalam UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia yaitu dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dikatakan dengan jelas bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar. Demokrasi di Indonesia dijalankan dengan konsep negara hukum. Dengan kata lain, untuk mewujudkan tujuan sebagai negara demokrasi maka digunakan hukum sebagai aturan dasar yang mengatur pemerintahan di Indonesia. Demokrasi dalam sebuah negara ditandai oleh beberapa hal, yaitu adanya pemilihan umum, kebebasan pers,
Kedaulatan Rakyat Ps 1 ayat (2) UUD 1945 Negara Hukum Ps 1 ayat (3) UUD 1945 Demokrasi Pemilihan Umum LN Independen kedudukan sebagai lembaga independen tugas dan wewenang dalam penyelenggaraan pemilu kendalakendala yang dihadapi Lembaga Negara Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 Eksekutif Legislatif Yudikatif
UUD 1945 UUD 1945