• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skizofrenia adalah penyakit mental dalam kategori berat yang dapat terjadi pada tujuh per seribu dari populasi dewasa, kebanyakan terjadi pada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Skizofrenia adalah penyakit mental dalam kategori berat yang dapat terjadi pada tujuh per seribu dari populasi dewasa, kebanyakan terjadi pada"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

2

Skizofrenia adalah penyakit mental dalam kategori berat yang dapat terjadi pada tujuh per seribu dari populasi dewasa, kebanyakan terjadi pada rentang usia 15-35 tahun (World Health Organization [WHO], 2013). Skizofrenia ditandai dengan gangguan pikiran, emosi dan perilaku. Gangguan ini memiliki dua macam gejala, yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif yang muncul adalah halusinasi dan delusi, sedangkan gejala negatif yaitu sikap apatis, respons emosional tidak wajar, menarik diri dari sosial, menurunnya kinerja, dan jarang bicara (Maslim, 2001). Pada sebagian besar Orang dengan Skizofrenia (ODS) keluarga merupakan pendamping utama dalam proses perawatan dan pendampingan (Garcia, Hernandez, & Dorian, 2009).

Pendamping didefinisikan sebagai keluarga, teman atau tetangga yang memberikan dukungan praktis dari hari ke hari tanpa dibayar untuk seseorang yang tidak dapat berfungsi dengan baik dan menyelesaikan tugas-tugas hidup sehari-hari (Savage & Bailey, 2004). Pendamping memiliki pengaruh yang besar pada penanganan penderita psikotik (Marchira, 2012). Bagi ODS yang telah menikah peranan pasangan sangat penting (Shah, Wadoo, & Latoo, 2010). ODS membutuhkan bantuan dari pasangannya untuk dapat menangani permasalahan psikologis dan medis yang dialami (Carr, 2006). Pasangan ODS memiliki tugas pendampingan yang lebih banyak dibandingkan dengan gangguan mental lainnya, seperti depresi (Van Wijngaarden et al., 2009). Mereka banyak menghabiskan waktu untuk merawat ODS dan anak-anak (Carr, 2006). Oleh karena itu pendamping ODS memiliki tingkat stres yang tinggi (Van Wijngaarden et al., 2009).

Tingginya stres yang dialami oleh pendamping ODS menyebabkan munculnya berbagai masalah kesehatan mental pada pendamping (Savage & Bailey, 2004). Salah satu indikator yang menyebabkan munculnya gangguan kondisi mental pendamping adalah jenis kelamin (Harwey, 2005; Kumar & Mohanty, 2007; Shah et al, 2010). 39% (tiga puluh sembilan persen) pendamping wanita ODS berisiko mengalami depresi, sedangkan pria sebesar 16% (enam belas persen) (Shah et al, 2010). Maka dari itu, istri sebagai pendamping ODS membutuhkan perhatian besar agar terhindar dari gangguan mental akibat pendampingan.

(2)

3

Istri ODS memiliki tingkat beban yang lebih tinggi dibandingkan dengan suami ODS (Kumar & Mohanty, 2007). Beban yang dialami oleh istri ODS lebih spesifik dari pendamping lainnya, seperti hubungan intimasi dan seksual (Gingerisch & Muesser, 2006; Jungbauer, Wittmund, Dietrich, & Angermeyer, 2004). Beban lainnya yaitu peranan ganda dalam keluarga, sebagai istri dan juga kepala rumah tangga (Fitzpatrick & Haase, 2010; Jungbauer & Angermeyer, 2002; Kumar & Mohanty, 2007; Mizuno, Takataya, Kamizawa, Sakai, & Yamazaki, 2012). Istri ODS bertanggung jawab penuh terhadap tugas rumah tangga, pengasuhan anak dan pendampingan terhadap ODS (Mizuno et al, 2012). Beban yang tinggi pada istri ODS ditandai dengan penolakan yang mengacu pada kejengkelan dan permusuhan, terbebani dengan penilaian negatif terhadap proses pendampingan ODS, dan persepsi tidak mampu merawat ODS (Reever & Bach-Peterson dalam Utami, 2011).

Beban pendamping didefinisikan sebagai respon multidimensi terhadap penilaian negatif dan stres akibat perawatan orang dengan gangguan mental (Kim, Chang, Rose, & Kim, 2012). Beban terbagi menjadi dua kategori, yaitu beban subjektif dan beban objektif . Istri ODS mengalami kedua kategori beban tersebut (Idstad, Ask, & Tambs, 2010; Lowyck, De Hert, Peeters, Wampers, Gilis, & Peuskens, 2004).

Beban objektif adalah masalah praktis yang berhubungan dengan perilaku ODS (Valiakalayi, Paulson, & Tibbo, 2004), seperti terganggunya hubungan kekeluargaan dengan anggota keluarga lain, aktivitas sosial, dan kesulitan keuangan (Lowyck et al., 2004). Istri ODS bertanggung jawab atas kebutuhan keuangan ekstra untuk pengobatan dan perawatan dan tanggung jawab sosial (Kumar & Mohanty, 2007). Selain itu, beban fisik juga termasuk ke dalam beban objektif sebagai dampak negatif terhadap kesehatan fisik sebagai akibat perawatan pasien (Rismarini, 2013).

Beban subjektif berfokus pada stres psikologis yang dapat diobservasi berdasarkan simtom kecemasan, depresi dan rendahnya tingkat kesejahteraan subjektif (Idstad et al., 2010). Istri ODS mengalami kecemasan terhadap kehidupan masa depan keluarga dan anak-anaknya (Gingerisch & Muesser, 2006;

(3)

4

Kumar & Mohanty, 2007; Van Wijngaarden et al., 2009). Mereka juga cemas gangguan Skizofrenia yang dialami suaminya akan diturunkan kepada anaknya (Mizuno et al., 2012). Istri ODS merasa bersalah, marah, benci, dan sedih melihat kondisi ODS (Gingerisch & Muesser, 2006).

Perilaku ODS yang aneh dan berubah-ubah membuat istri ODS merasa kebingungan dalam berinteraksi dengan ODS, tidak tahu apa yang harus dilakukan saat ODS berperilaku aneh seperti itu (Mizuno et al., 2012). Terkadang ODS juga tidak dapat merespon dengan tepat apa yang dikatakan oleh istrinya, sangat kaku, ekspresi wajah dan vokal datar sehingga istri ODS mengalami kesulitan dalam komunikasi dan memahami perasaan ODS (Gingerisch & Muesser, 2006; Rose, Mallinson, & Gerson, 2001; Shah et al., 2010).

Istri ODS menghabiskan banyak waktu untuk merawat ODS dan anak-anaknya sehingga tidak memiliki waktu untuk mencapai tujuan hidup pribadinya (Gingerisch & Muesser, 2006). Akibatnya mereka mengalami keletihan, frustrasi, beban kerja melampaui batas, tak berdaya, putus asa dan menyerah (Kumar & Mohanty, 2007; Shah et al., 2010).

Stigma dari masyarakat tentang penyakit Skizofrenia menambah beban istri ODS (Jungbauer & Angermeyer, 2002). Akhirnya istri ODS menjadi malu (Gingerisch & Muesser, 2006; Lowyck et al., 2004) dan terisolasi (Kumar & Mohanty, 2007; Jungbauer & Angermeyer, 2002; Jungbauer et al., 2004; Vogel & Wade, 2009). Di tambah lagi dengan kurangnya penerimaan dari orang tua terhadap kondisi ODS berpengaruh hubungan mereka dengan keluarga kerabat lainnya (Gingerisch & Muesser, 2006).

Stres dan beban yang dialami oleh pasangan merupakan prediktor utama ketidakpuasan pernikahan (Story & Bradbury, 2004). Penelitian Stephen (2004 dalam Diana, Sukarlan, & Pohan, 2012) menunjukkan bahwa semakin rendah beban atas tugas dan tanggung jawab dalam memenuhi peran sebagai pendamping maka semakin tinggi kepuasan pernikahan yang dimiliki oleh pendamping tersebut.

Hubungan antara ODS dengan pasangannya diibaratkan seperti hubungan yang mudah rapuh dan retak (fragile relationship) karena adanya ketidakpuasan

(4)

5

pernikahan pada pasangan ODS. Kondisi hubungan suami-istri seperti ini dapat mengakibatkan perceraian dan proses penyembuhan pada ODS menjadi tidak optimal (Choi & Marks, 2006; Jungbauer & Angermeyer, 2002).

Kepuasan pernikahan adalah bagaimana perasaan pasangan terhadap dirinya, pasangan, dan pernikahannya secara subjektif, situasional dan relatif bersifat terus menerus (Bradbury, Fincham, & Beach, 2000). Biasanya istri ODS tidak bisa menerima perubahan perilaku ODS. Dalam kasus ini, istri ODS mengeluh dan mengkritik keadaan suaminya yang mengalami Skizofrenia. Penolakan yang mengacu pada perasaan permusuhan dan kejengkelan merupakan salah satu indikator tingginya beban pada pendamping ODS (Reever & Bach-Peterson dalam Utami, 2011). Oleh karena itu, tingginya beban istri ODS yang ditandai dengan penolakan dapat menurunkan kepuasan kehidupan pernikahan (Fitzpatrick & Haase, 2010; Jungbauer et al., 2004). Di sisi lain, perilaku positif dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan secara langsung, yaitu penerimaan terhadap pasangan (Canel, 2013; Sacco & Phares, 2001).

Kepuasan pernikahan ditandai dengan adanya komitmen untuk melanjutkan pernikahan, saling menghargai, saling mendukung, saling percaya, keterbukaan, melakukan aktivitas bersama-sama, mengekespresikan emosi dan rendahnya tingkat stres pernikahan (Canel, 2013; Nimtz, 2011). Kepuasan didefinisikan sebagai tingkat seseorang mengekspresikan kebahagiaan dan kepuasan dengan pasangannya (Harwey, 2005). Elemen kepuasan pernikahan ditandai dengan komunikasi, resolusi konflik, gaya dan kebiasan pasangan, manajemen keuangan, aktivitas luang bersama, afeksi dan seksualitas, teman dan keluarga, anak dan pengasuhan, kesetaraan peran, serta kepercayaan agama (Olson-Sigg & Olson, 2011).

Berdasarkan teori krisis (Crisis Theory) yang dikembangkan oleh Hill (Lee, 2009; Madanian, Mansor, & Omar, 2012), stressful event dapat menurunkan tingkat kepuasan pernikahan (Madanian, Mansor, & Omar, 2012 ). Teori ini menjelaskan bagaimana pasangan bereaksi terhadap stressful event. Model ini terdiri dari (A) stressful event , (B) kemampuan keluarga menghadapi stressful event, (C) penilaian individu terhadap stressful event, dan dikombinasikan sebagai

(5)

6

penentu munculnya outcome (X). Proses pendampingan merupakan stressor event (Lee, 2009). Kurangnya pemahaman mengenai Skizofrenia, keterampilan komunikasi, pemecahan masalah, manajemen stres, dan minimnya dukungan sosial merupakan faktor (B). Persepsi atau penilaian pendamping terhadap proses pendampingan merupakan penentu utama munculnya hasil pendampingan yang negatif (Lee, 2009). Persepsi yang muncul pada istri ODS yaitu beban pendampingan dan menjadi merupakan faktor (C). Interaksi A-B-C dapat memberikan sumbangan terhadap kondisi pernikahan (Madanian, et al., 2012). Pemberian intervensi dapat mengubah faktor (B) dan (C), sehingga kepuasan pernikahan dapat meningkat (X). Sejalan dengan itu, peningkatan kepuasan pernikahan juga dipengaruhi oleh faktor neurologis yang terjadi pada individu.

Pada saat individu mengalami kondisi stres dan terbebani, sistem limbik dan saraf-saraf teraktifasi sehingga hormon-hormon yang berkaitan dengan stres dilepaskan (Rock, 2009). Respon saraf utama terhadap rangsangan stres yaitu pengaktifan menyeluruh sistem saraf simpatis sehingga menyebabkan pelepasan sejumlah besar epinephrine ke dalam sirkulasi darah. Selain epinephrine, hormon kortisol juga menjadi aktif (Haruyama, 2007; Kadir, 2010; Rock, 2009).

Kortisol berperan dalam stres kronik. Kortisol adalah suatu penanda biologis yang akurat terhadap respon yang mengancam dalam otak. Pelepasan hormon stres ini dapat mengganggu daerah penting dalam otak seperti hipokampus dan amigdala yang merupakan bagian otak untuk merespon pembelajaran, memori, emosi, wawasan kreatif (creative insight), pemecahan masalah dan fungsi kritis lain (Bloss, Janssen, McEwen, & Morrison, 2010; Friendman, 2006; Rock, 2009).

Selain pelepasan hormon-hormon di atas, otak juga menahan pelepasan hormon oksitoksin. Hormon oksitoksin ini dikenal sebagai „hormon cinta‟ (Yong, 2012). Aspek terpenting pada kepuasan pernikahan merupakan perasaan kasih sayang terhadap pasangan (Olson-Siggg & Olson , 2011). Hormon oksitoksin ini berfungsi untuk memicu keinginan berinteraksi dengan orang lain, membangun suatu hubungan, mempertahankan hubungan yang ada (termasuk hubungan romantis), berfikir positif, menerima orang lain dan memunculkan perasaan

(6)

7

bahagia (De Vugt, Nicolson, Aalten, Lousberg, Holle, & Verhey, 2005; Haruyama, 2007). Dapat disimpulkan bahwa beban pendampingan yang dialami oleh istri ODS memicu pelepasan hormon-hormon yang berkaitan dengan stres dan menghambat pelepasan oksitoksin. Akibatnya tidak ada muncul perasaan bahagia dan cinta terhadap pasangan, tidak dapat merespon emosi, dan berkurangnya kemampuan pemecahan masalah sehingga kepuasan pernikahan pun menurun.

Upaya penurunan beban sehingga dapat meningkatkan kepuasan pernikahan pada istri ODS sangat penting. Oleh karena itu, istri ODS membutuhkan intervensi psikologis yang dapat menurunkan beban pendampingan sehingga kepuasan pernikahan pun akan meningkat. Sejauh ini intervensi yang telah diberikan kepada pendamping ODS untuk menurunkan beban pendampingan seringkali berupa psikoedukasi (Chan, 2009; Chien, 2008; Marchira, 2012; Nasr & Kausar, 2009). Intervensi psikoedukasi yang telah dilakukan sebelumnya menjelaskan beberapa elemen yaitu informasi mengenai skizofrenia dan efeknya terhadap pikiran, emosi dan perilaku ODS, gejala-gejalanya, faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya gangguan, keterampilan komunikasi, penyelesaian masalah dan manajemen stres (Chan, 2009; Devaramane, Pai, & Vella, 2011; Long, Krisztal, Gillipsie, Oportot, Tse, Singer, Gallagher-Thompson, 2004; Nasr & Kausar, 2009).

Navidian, Kemansaravi, & Rigi (2012) melakukan intervensi psikoedukasi pada pendamping Skizofrenia. Intervensi ini terdiri dari empat sesi, yaitu sesi informasi tentang Skizofrenia, sesi medikasi dan pencegahan kekambuhan, sesi keterampilan komunikasi, dan sesi menejemen stres. Masing-masing materi diberikan dalam satu sesi selama 120 menit. Selain itu, Devaramane et al (2011) melakukan intervensi yang hampir serupa, yaitu intervensi kepada pendamping skizofrenia sebanyak tiga sesi, yaitu sesi psikoedukasi mengenai Skizofrenia, sesi pemecahan masalah, dan sesi keterampilan komunikasi. Intervensi ini efektif menurunkan beban pendamping ODS.

Pada umumnya intervensi di atas tidak dibekali dengan metode role play, akan tetapi penyampaian materi dilakukan dengan metode diskusi atau interaktif

(7)

8

kepada pendamping ODS (Chien, 2008; Devaramane et al., 2011; Marchira, 2012). Metode role play memberikan kesempatan kepada partisipan untuk menggali berbagai situasi, meningkatkan keterampilan komunikasi, memahami permasalahan secara mendalam, mengidentifikasi masalah, menyelesaikan masalah, dan membuat solusi yang tepat (France, 2007; The Ophelia, 2012). Role play dapat dilakukan selama 15 menit saat sesi intervensi (France, 2007).

Berdasarkan penelitian sebelumnya dan kebutuhan istri ODS, maka tim peneliti menyusun Program BANGKIT. Tim peneliti memilih nama Program BANGKIT, karena kata „bangkit‟ memiliki beberapa makna, yaitu Meningkatkan kesadaran, perubahan ke arah yang lebih aktif dan motivasi diri dalam memulai sebuah proses pemulihan. Istilah „bangkit‟ sendiri menaungi keseluruhan proses dari pemulihan dan memberikan arti motivasional (Subandi, 2006).

Program BANGKIT mengacu pada empat kebutuhan pendamping ODS, yaitu 1) Psikoedukasi, 2) Keterampilan untuk menghadapi simtom penyakit dan efeknya pada keluarga, 3) Keterampilan memecahkan masalah, dan 4) kelelahan fisik dan emosi (Burke, 2003; Solomon, 2000; Yeh, Hwu, Chen, Chen, & Wu, 2008). Manfaat yang diperoleh dari Program BANGKIT yaitu menurunnya beban pendampingan (Brown, Chen, Mitchell, & Province, 2007) sehingga kepuasan pernikahan dapat meningkat pada istri ODS (Lukens & McFarlane, 2004; Oprisan & Cristea, 2012).

Program BANGKIT diberikan secara singkat (brief intervention) yaitu serangkaian intervensi diberikan dengan jumlah dan jangka pertemuan yang terbatas dan dapat memberikan informasi yang dirancang untuk meningkatkan perilaku yang sehat. Intervensi singkat (brief intervention) ditandai dengan pemberian umpan balik yang memotivasi, memberikan informasi dan saran (Werch, Grenard, Burnett, Watkins, Ames, & Jobli, 2006). Intervensi singkat dengan tiga kali pertemuan selama 60 menit telah terbukti berpengaruh pada penurunan beban dan peningkatan fungsi pendampingan pada pendamping ODS (Devaramane et al., 2011; Murali & Paul, 2002).

Program BANGKIT terdiri dari 4 (empat) sesi yaitu Sesi Psikoedukasi Mengenai Skizofrenia, Sesi Keterampilan Komunikasi, Sesi Keterampilan

(8)

9

Pemecahan Masalah, dan Sesi Manajemen Stres (lihat tabel 1). Sesi psikoedukasi dilakukan secara interaktif yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang perjalanan penyakit Skizofrenia (Levy-Frank, Hasson-Ohayon, Kravetz, & Roe, 2011; Marchira, 2012). Sesi Psikoedukasi ini berguna memenuhi kebutuhan istri ODS untuk mendapatkan informasi mengenai Skizofrenia (Mission, 2007; Solomon, 2000). Intervensi psikoedukasi terbukti dapat menurunkan beban pendamping (Schulz et al., 2002).

Sesi Keterampilan Komunikasi mengajarkan istri ODS untuk dapat berkomunikasi dengan ODS dengan tepat, memahami informasi, kebutuhan dan perasaan serta berempati dengan ODS (Mission, 2007; Murali & Paul, 2002; Devaramane et al., 2011). Sesi Keterampilan Pemecahan Masalah diberikan kepada istri ODS dengan tujuan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah dan mengajarkan langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk memecahkan masalah (Murali & Paul, 2002). Penelitian Devaramene et al (2011) pada pendamping ODS membuktikan bahwa intervensi keterampilan komunikasi dapat menurunkan tingkat beban.

Banyaknya permasalahan pendampingan menjadikan intervensi keterampilan pemecahan masalah menjadi fokus penting untuk menurunkan beban selama pendampingan (Schulz et al., 2002). Keterampilan pemecahan masalah membantu istri ODS dalam proses pendampingan ODS sehingga kesulitan pendampingan yang dialami dapat diatasi dengan cara yang tepat dan dapat menurunkan stres. Maka pada akhirnya beban pendampingan pun dapat diminimalisir (Carr, 2006; Chien, 2008; Robinson, Rodhers, & Butterworth, 2008).

Dalam Program BANGKIT, sesi manajemen stres dinamai dengan Sesi „Menjadi Pendamping Tangguh‟. Sesi manajemen stres merupakan aktivitas untuk menurunkan stres psikologis pada istri ODS dan membentuk pendamping tangguh yang mampu mengelola stres dengan tepat. Stres merupakan hasil persepsi dari pengalaman yang mengancam dan tidak menyenangkan (Lazarus & Folkman, 1984). Informasi dan pelatihan pada sesi-sesi sebelumnya dapat mengendalikan persepsi sehingga pada sesi ini membantu istri ODS mampu mengelola stres, mengenali potensi, dan tehnik relaksasi (Long, et al., 2004). Relaksasi dapat

(9)

10

menghindari reaksi yang berlebihan terhadap kondisi stres, kelelahan, keluhan fisik, dan meningkatkan kesadaran diri (Prawitasari et al., 2007).

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah Program BANGKIT dapat menurunkan beban pendampingan sehingga kepuasan pernikahan meningkat dan apakah efeknya kuat dan menetap pada istri ODS. Hipotesis penelitian yaitu Program BANGKIT dapat menurunkan beban pendampingan sehingga kepuasan pernikahan meningkat pada istri ODS dan efeknya dapat bertahan setelah intervensi berakhir. Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian ini disusun dengan kerangka berpikir sebagai berikut:

(10)

11

Gambar 1:Kerangka Berpikir Penelitian Beban psikologis Istri ODS

1. Bingung, tidak paham dengan Skizofrenia 2. Tidak mampu berkomunikasi, tidak paham

dengan eskpresi wajah dan perasaan ODS. 3. Malu dengan orang sekitar, tidak mampu

meminta bantuan kepada orang lain

4. Menjalankan peran dan tugas ganda dalam keluarga

5. Merasa bersalah, tak berdaya, marah, benci, menyerah, bingung, frustrasi, sedih, merasa kehilangan

Kepuasan Pernikahan Meningkat 1. Penerimaan terhadap kondisi suami, mendukung

kesembuhan

2. Komunikasi efektif dengan pasangan

3. Dukungan sosial (teman, keluarga, masyarakat, dan professional medis)

4. Pemecahan masalah; resolusi konflik, pengasuhan anak, manajemen keuangan, 5. Afeksi positif; tenang, empati, perhatian, tangguh

Intervensi Program BANGKIT 1. Psikoedukasi

2. Komunikasi dengan pasien ODS 3. Komunikasi dengan Lingkungan 4. Keterampilan Pemecahan Masalah 5. „Menjadi Pendamping Tangguh‟

Beban Psikologis Istri ODS Menurun 1. Memahami gangguan Skizofrenia dan

penanganannya.

2. Dapat berkomunikasi secara efektif dengan suami

3. Dapat berkomunikasi dengan orang sekitar 4. Mampu memprioritaskan tugas dan kewajiban 5. Berkurangnya emosi negatif

Gambar

Gambar 1:Kerangka Berpikir Penelitian Beban psikologis Istri ODS

Referensi

Dokumen terkait

berjumlah nilai dengan total 19 dengan persentase 79% yang artinya kegiatan tersebut berjalan dengan baik (61-80%). Kesimpulannya pada lembar observasi guru dan

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Pertama-tama, orang harus mengeluarkan uang yang banyak, termasuk pajak yang tinggi, untuk membeli mobil, memiliki surat ijin, membayar bensin, oli dan biaya perawatan pun

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah keluarga yang memiliki dan tidak memiliki anggota keluarga yang pernah atau sedang bekerja sebagai pekerja di daerah endemis

Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa dengan jarak tempuh yang sama tetapi untuk beban yang berbeda akan mempengaruhi pada kecepatan dan waktu tempuh,

kesimpulannya. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh jumlah tenaga kerja yang ada di bagian ketel perebusan 86 orang pekerja dan croud oil 50 pekerja di

Dan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, perilaku yang dimunculkan akan berbeda dalam menghadapi sesuatu, untuk melakukan kebutuhan secara riligius membutuhkan niat

yan ang g ak akan an se seiim mba bang ng de deng ngan an ar arus us k kas as m mas asuk uk y yan ang g dihasilkan dari in!estasi" rus kas yang mengambil