• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Pengelompokan Samar dalam Prediksi Kekeringan di Indonesia Berkaitan dengan ENSO dan IOD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peranan Pengelompokan Samar dalam Prediksi Kekeringan di Indonesia Berkaitan dengan ENSO dan IOD"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Peranan Pengelompokan Samar dalam Prediksi Kekeringan di Indonesia Berkaitan

dengan ENSO dan IOD

The Houw Liong1), Bannu2), dan P.M. Siregar3)

1)

Departemen Fisika , ITB

2)

Jurusan Fisika, UNHAS.

3)

Departemen Geofisika & Meteorologi,ITB

Diterima tanggal 21 Oktober 2002, disetujui untuk dipublikasikan 13 Mei 2003 Abstrak

Secara umum kekeringan di Indonesia dapat diprediksi berdasarkan intensitas El Nino yang didefinisikan berdasarkan deret waktu anomali suhu permuaan laut di Pasific (SSTA 3.4). Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk intensitas El Nino kuat lebih dai 65% daerah di Indonesia mengalami hujan di bawah normal (Indonesia kering). Korelasi antara intensitas El Nino yang kuat dengan persentase hujan di bawah normal di Indonesia sangat besar , namun ketika intensitasnya rendah korelasinya menurun. Ini menunjukan bahwa ketika intensitas El Nino rendah mekanisme lain, misalnya Dipole Mode di lautan India dapat memberi kontribusi besar. Pengaruh lebih rinci terhadap wilayah iklim di Indonesia masih harus dikembangkan. Pengelompokan wilayah iklim berdasarkan himpunan samar atau relasi samar pola curah hujan bulanan yang dikenal sebagai fuzzy clustering atau pengelompokan dengan JNA seperti yang dilakukan Kohonen dapat dipakai di sini. Ternyata daerah Indonesia dapat dikelompokan berdasarkan pola hujan yang dipengaruhi kuat oleh Monsun Australia Utara Indonesia (NAIM), dan pola hujan yang khas daerah khatulistiwa yang dikenal sebagai Benua Maritim (MC). Gagasan pengelompokan wilayah iklim ini dilandasi pemikiran bahwa untuk membahas pengaruh ENSO dan IOD kita harus membahas dinamika atmosfir dalam skala regional sehingga pengelompokan wilayah iklim harus berlandaskan tinggi geopotensial atau pola hujan bulanan rata-rata. Ternyata Benua Maritim (MC) timur dan NAIM dipengaruhi kuat oleh ENSO, MC barat khususnya Sumatra Selatan dan Jawa Barat dipengaruhi juga oleh Dipole Mode yang terjadi di lautan India.

Kata kunci : pengelompokan samar, himpunan samar, relasi samar, ENSO, IOD, kekeringan, monsun, benua maritim

Abstract

In general drought in Indonesia can be predicted from intensities of El Nino that can be defined by using time series of sea surface anomaly on Pacific Ocean (SSTA 3.4). It can be shown that when El Nino with strong intensities occur then more than 65% regions in Indonesia the precipitations are below normal (drought in Indonesia). The correlation between strong El Nino intensities and percentages of regions in Indonesia with precipitations below normal are high, but when the intensities are weak the correlations are low. In this case other phenomena such as on Indian Ocean Dipole Mode (IOD) can contribute to drought in Indonesia. Clustering of climatic regions in Indonesia based on monthly rainfall pattern using fuzzy set, fuzzy relations or Kohonen’s neural network will help to clarify drought on these regions. It can be shown that climatic regions in Indonesia can be clustered based on monthly rainfall patterns that are strongly influence by Australian monsoon which is known as North Australia Indonesian Monsoon (NAIM) and Maritime Continent (MC) which has equatorial precipitation characteristic. The climatic clustering is based on the ground that ENSO and IOD are regional atmospheric dynamic so the clustering should be based on average monthly pattern or geopotential height. The east MC and NAIM will be influence strongly by ENSO and the western MC especially south Sumatra and west Java is influence also by IOD.

Keywords : fuzzy clustering, fuzzy set, fuzzy relations, ENSO, IOD, drought, monsoon, maritime continent

1. Pendahuluan

Badan Meteorologi dan Geofisika telah membuat tabel tahun El Nino dalam kaitannya dengan persentase daerah yang mengalami kekeringan (yang mengalami hujan di bawah normal). Misalnya dalam tahun 1961, 94% daerah Indonesia mengalami hujan di bawah normal, tahun 1963, 92% mengalami hujan di bawah normal, dst.

Dalam penelitian tahun ini El Nino sangat ditentukan oleh deret waktu anomali suhu permukaan laut SST nino 3.4. Intensitas El Nino dapat didefinisikan sebagai luas daerah di atas sumbu dari deret waktu anomaly SST1). Dari tabel BMG tsb. kita dapat mentransformasikannya menjadi grafik antara kekeringan di Indonesia (Y) terhadap intensitas El Nino (X) (lihat Gambar 1).

(2)

0,32 tetapi terlihat jelas dalam grafik tsb. bahwa sebetulnya korelasinya besar ketika intensitas El Nino tinggi dan rendah ketika intensitasnya rendah. Ini berarti bahwa intensitas El Nino tinggi akan menyebabkan kekeringan di Indonesia, tetapi ketika intensitas El Nino rendah pengaruh lain dapat menjadi dominan sehingga mungkin saja kekeringan terjadi

Gambar 1. Korelasi antara persentase daerah hujan di bawah normal (Y) dengan intensitas El Nino (X)

Mode Dipole India atau dikenal sebagai IOD (Indian Ocean Dipole Mode) yang merupakan anomali temperatur permukaan laut India dapat juga memberi kontribusi pada kekeringan di Indonesia, sehingga untuk mengungkapkan mekanisme kekeringan di Indonesia kita harus mempelajari interaksi antara El Nino dengan IOD.

Berdasarkan hasil ini dari prediksi SSTA Nino 3.4 untuk tahun 20021) , intensitas El Nino akan lemah-sedang sehingga kekeringan di Indonesia lebih dipengaruhi oleh faktor lain, misalnya IOD. Penelitian lebih lajut masih diperlukan untuk dapat mengungkapkan faktor tsb., pendaerahan wilayah iklim yang lebih rinci berdasarkan himpunan samar/relasi samar atau JNA2,3,4) perlu dikembangkan, sehingga diperoleh cara prediksi yang lebih baik. Gagasan pengelompokan wilayah iklim ini dilandasi pemikiran bahwa untuk membahas pengaruh ENSO kita harus membahas dinamika atmosfir dalam skala regional sehingga pengelompokan wilayah iklim harus berlandaskan tinggi geopotensial 700 mb5) atau pola hujan bulanan rata-rata.

2. Pengelompokan Wilayah Iklim Regional

Pengelompokan wilayah iklim dapat dilakukan berdasarkan relasi kemiripan pola hujan bulanan rata-rata. Dalam cara pengelompokan ini data hujan bulanan harus di rata-ratakan dahulu untuk jangka 12 tahun atau lebih jadi kita mempunyai vektor X(n) =

bulananya. Koefisien kemiripan S didefinisikan sebagai berikut10)

S(X(n),X(m)) = X(n).X(m)/|X(n)||X(m)| -1< S< +1

Dengan metoda pengelompokan ini kita dapat memperoleh wilayah berdasarkan koefisien kemiripan pola hujannya . Secara umum hasil pengelompokanya sesuai dengan pengelompokan yang dilakukan oleh Murakami et al6) yaitu

a. SEAM (South East Asia Monsoon) b. MC (Maritime Continent)

c. NAIM (North Australia-Indonesian Monsoon), dengan tambahan kita mempunyai koefisien kemiripan untuk setiap tempat sehingga analisa korelasinya dengan intensitas El Nino dapat dilakukan dengan lebih rinci. Arti koefisien korelasi dengan suatu wilayah iklim merupakan koefisien korelasi rata-ratanya. Koefisien korelasi sebagai fungsi dari posisi masih bergantung dari koefisien kemiripannya. Untuk NAIM (Gambar 2), ketika koefisien kemiripan bertambah rendah maka koefisien korelasinya juga akan turun7).

Berdasarkan pengelompokan samar7) kita dapat membagi wilayah iklim Indonesia menjadi tiga wilayah yaitu SEAM (South East Asia Monsoon) (Gambar 3) yang pola hujannya dipengaruhi secara kuat oleh tekanan di atas benua Asia, NAIM (North Australia Indonesia Monsoon) (Gambar 2) yang pola hujannya dipengaruhi secara kuat oleh tekanan di atas benua Australia dan MC(Maritime Continent) yang mempunyai pola hujan ekuator. Dari besar koefisien kemiripan dapat dilihat bahwa tidak ada daerah kepulauan Indonesia yang mempunyai koefisien kemiripan lebih besar daripada 0.5 untuk dapat dinyatakan terkelompok sebagai SEAM. Pulau Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan terkelompok sebagai NAIM. Kepulauan lainya akan terkelompok sebagai MC.

Metoda pengelompokan lain misalnya dengan c-means fuzzy clustering atau pengelompokan dengan JNA menurut Kohonen2,10) dapat saja dipakai dan perbandingan berbagai metoda ini diharapkan memperkaya cara penafsiran wilayah iklim Indonesia dan meningkatkan prediksi kekeringan untuk berbagai wilayah itu.

(3)

KLASIFIKASI CURAH HUJAN DENGAN REFERENSI VEKTOR DARWIN

Gambar 2. Pengelompokan wilayah iklim berdasarkan acuan pola hujan bulanan rata-rata di Darwin. Tanda bintang lima menunjukan wilayah iklim mirip Darwin dengan koefisien kemiripan > 0,5

KLASIFIKASI CURAH HUJAN DENGAN REFERENSI VEKTOR BANGKOK

Gambar 3. Pengelompokan wilayah iklim berdasarkan acuan pola hujan bulanan rata-rata di Bangkok. Tanda bintang lima menunjukan wilayah iklim mirip Bangkok dengan koefisien kemiripan > 0,5

(4)

-0.5 -0.25 0 0.25 0.5 0.75 1 19 61 19 62 19 63 19 64 19 65 19 66 19 67 19 68 19 69 19 70 19 71 19 72 19 73 19 74 19 75 19 76 19 77 19 78 19 79 19 80 19 81 19 82 19 83 19 84 19 85 19 86 19 87 19 88 19 89 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 Tahun SS T A ( d e r.C )

Gambar 4. Pita hitam menunjukan Indonesia kering tahun El Nino, pita merah menunjukan Indonesia dinyatakan kering ketika bukan tahun El Nino . Dua pita merah ( tahun 1966 dan 1980) dapat dijelaskan karena pengaruh DMI positif

Gambar 5. Prediksi Indeks Dipole Mode mulai awal 2003 hingga pertengahan 2003

Gambar 6. Prediksi SSTA Januari 2003 hingga Juni 2003

3. Pengaruh ENSO dan IOD

Pengaruh ENSO cukup kuat untuk berbagai tempat di Indonesia . Dengan melihat anomali SST Nino 3.4 terlihat bahwa perioda 1961 sd 2001 wilayah MC bagian timur mempunyai koefisien korelasi sekitar –0,6 pada waktu terjadi El Nino sedangkan wilayah NAIM hanya sekitar –0,3 . Untuk wilayah MC bagian barat dan SEAM masih belum ada kesimpulan yang jelas karena ada yang berkorelasi – 0.7 untuk Padang pada tahun El Nino 97/98 tetapi berkorelasi –0.2 pada tahun El Nino 82/83 demikian juga untuk Medan berkorelasi –0.45 pada tahun 97/98 tetapi berkorelasi 0.11 pada tahun 82/837), sehingga dapat dikatakan korelasinya dengan El Nino sangat lemah.

Untuk MC barat khususnya Jawa Barat dan Sumatra Selatan pengaruh IOD8) harus diperhitungkan. Pada umumnya ketika terjadi El Nino, DMI (Dipole Mode Index) positif sehinga efeknya saling memperkuat tetapi ada kasus ketika bukan tahun El Nino Indonesia kering, ternyata ketika itu DMI positif (Gambar 4), jadi tahun Indonesia kering ketika bukan tahun El Nino dapat dijelaskan dari pengaruh IOD.

Pada mulai tahun pertengahan 2002 sampai awal 2003 diprediksi berdasarkan metoda ANFIS intensitas El Nino lemah-sedang9) (Gambar 6) dan dengan metoda ANFIS yang diterapkan untuk DMI, ternyata DMI akan positif (Gambar 5) , sehingga dapat diprakirakan bahwa sebagian besar daerah Indonesia

(5)

(NAIM dan MC bagian timur) akan mengalami hujan di bawah normal.

4. Kesimpulan

Pengelompokan samar wilayah iklimn Indonesia menjadi SEAM, MC dan NAIM memperjelas pengaruh ENSO pada prediski kekeringan di Indonesia. Tahun-tahun Indonesia kering ketika bukan tahun El-Nino dapat dijelaskan karena ada pengaruh IOB (Index DMI positif).

Ucapan Terimakasih

Penelitian ini dibiayai oleh RUT VIII, KMRT Lipi kontrak no. 142/SK/RUT/2002.

Daftar Pustaka

1. The H L., Zadrach L. Dupe, & Bajong Tj H K, “Prediksi Kekeringan di Indonesia dengan JNA/ANFIS”, Temu Ilmiah Prediksi Iklim dan Cuaca II , Lapan, Bandung, 2001.

2. Jang, et al, “Neuro-Fuzzy and Soft computing”, Prentice Hall,1998.

3. T. Kohonen, The "Neural" Phonetic Typewriter, Computer, Mar. 1988.

4. J.A. Feldman, et. al., “Computing with Structured Neural Networks”, Computer, Mar. 1988. 5. Robertson, A.W., M. Ghil, “Large-Scale Weather

Regimes and Local Climate Over The Western US”, J. Climate, 1998.

6. Murakami, et al, “Summer Monsoon over the Asian Continent and Western North Pasific”, J of Meteorological Soc. Of Japan, 1994.

7. The H L, P. M. Siregar, & Bannu, “Peranan Pengelompokan Samar dalam Prediksi Kekeringan di Indonesia”, Temu Ilmiah Prediksi Iklim dan Cuaca Nasional III, Lapan, Bandung, 2002.

8. Saji, et al, “Dipole Mode in the Tropical Indian Ocean”, Nature, 401, 6751, (1999).

9. Bannu, N. Ikhsan, & The H. L., “Model Prediksi Anomali Temperatur Muka Laut Daerah Nino 3.4 Berbasis ANFIS”, J. HFI A5 0506, (2002).

10. Ross,T.J., “Fuzzy Logic with Engineering Applications”, McGraw Hill, Inc., 1995.

Gambar

Gambar 1. Korelasi antara persentase daerah hujan di  bawah normal (Y) dengan intensitas El Nino (X)
Gambar 3. Pengelompokan wilayah iklim berdasarkan acuan pola hujan bulanan rata-rata di Bangkok
Gambar 4. Pita hitam menunjukan Indonesia kering tahun El Nino, pita merah menunjukan Indonesia dinyatakan  kering ketika bukan tahun El Nino

Referensi

Dokumen terkait