• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. arah bawah (downward) atau ke arah luar (outward) lereng. Material pembentuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. arah bawah (downward) atau ke arah luar (outward) lereng. Material pembentuk"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Longsor lahan

Longsorlahan (landslide) adalah gerakan material pembentuk lereng ke arah bawah (downward) atau ke arah luar (outward) lereng. Material pembentuk lereng tersebut dapat berupa masa batuan induk, lapisan tanah, timbunan buatan manusia atau kombinasi berbagai jenis material tersebut (Eckel, 1958 dalam Lilik Kurniawan 2008). Menurut (Strahler, 1997 dalam Lilik Kurniawan, 2008) longsorlahan merupakan gerakan material penyusun lereng yang berupa tanah, lumpur, regolith, bedrock karena pengaruh tarikan gaya gravitasi. Semakin curam suatu lereng semakin besar kemungkinan material tersebut jatuh ke tempat yang lebih rendah.

(Departemen Menteri Pekerjaan Umum, 2007) Longsorlahan merupakan gejala alami yakni suatu proses perpindahan massa tanah atau batuan pembentuk lereng dengan arah miring dari kedudukan semula,sehingga terpisah dari massa yang mantap karena pengaruh gravitasi, dengan jenis gerakan berbentuk translasi dan/atau rotasi. Proses terjadinya longsorlahan dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut: air meresap ke dalam tanah sehingga menambah bobot tanah, air menembus sampai ke lapisan kedap yang berperan sebagai bidang gelincir, kemudian tanah menjadi licin dan tanah pelapukan diatasnya bergerak mengikuti lereng dan keluar dari lereng. Pada umumnya kawasan rawan bencana longsorlahan merupakan kawasan dengan curah hujan rata-rata yang tinggi (di

(2)

atas 2500 mm/tahun), kemiringan lereng yang curam (lebih dari 40%), dan/atau kawasan rawan gempa. Pada kawasan ini sering dijumpai alur air dan mata air yang umumnya berada di lembah-lembah yang subur dekat dengan sungai. Kawasan dengan karakteristik tersebut, kawasan lain yang dapat dikategorikan sebagai kawasan rawan bencana longsorlahan adalah:

1. Lereng-lereng pada kelokan sungai, sebagai akibat proses erosi atau penggerusan oleh aliran sungai pada bagian kaki lereng.

2. Daerah teluk lereng, yakni peralihan antara lereng curam dengan lereng landai yang di dalamnya terdapat permukiman. Lokasi seperti ini merupakan zona akumulasi air yang meresap dari bagian lereng yang lebih curam. Akibatnya daerah tekuk lereng sangat sensitif mengalami peningkatan tekanan air pori yang akhirnya melemahkan ikatan antar butir-butir partikel tanah dan memicu terjadinya longsorlahan.

3. Daerah yang dilalui struktur patahan/sesar yang umumnya terdapat hunian. Dicirikan dengan adanya lembah dengan lereng yang curam (di atas 30%), tersusun dari batuan yang terkekarkan (retakan) secara rapat, dan munculnya mata air di lembah tersebut. Retakan batuan dapat mengakibatkan menurunnya kestabilan lereng, sehingga dapat terjadi jatuhan atau luncuran batuan apabila air hujan meresap ke dalam retakan atau saat terjadi getaran pada lereng.

(3)

B. Faktor Pendorong Longsorlahan

(Nandi, 2007) Longsorlahan terjadi apabila gaya pendorong pada lereng lebih besar dari pada gaya penahan. Gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban, dan berat jenis tanah dan batuan, sedangkan gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Penetapan kawasan rawan bencana longsorlahan dilakukan melalui identifikasi dan inventarisasi karakteristik (ciri-ciri) fisik alami yang merupakan faktor-faktor pendorong yang menyebabkan terjadinya longsorlahan. Secara umum terdapat 14 (empat belas) faktor pendorong yang dapat menyebabkan terjadinya longsorlahan sebagai berikut:

1. Curah hujan yang tinggi. 2. Lereng yang terjal.

3. Lapisan tanah yang kurang padat dan tebal. 4. Jenis batuan (litologi) yang kurang kuat.

5. Jenis tanaman dan pola tanam yang tidak mendukung penguatan lereng. 6. Getaran yang kuat (peralatan berat, mesin pabrik, kendaraan bermotor). 7. Susutnya muka air danau/bendungan.

8. Beban tambahan seperti konstruksi bangunan dan kendaraan angkutan. 9. Terjadinya pengikisan tanah atau erosi.

10. Adanya material timbunan pada tebing.

11. Bekas longsorlahan lama yang tidak segera ditangani. 12. Adanya bidang diskontinuitas.

(4)

13. Penggundulan hutan dan/atau 14. Daerah pembuangan sampah

C. Kriteria MakroKawasan Bencana Longsorlahan

(Departemen Menteri Pekerjaan Umum, 2007) Keempat belas faktor tersebut lebih lanjut dijadikan dasar perumusan kriteria (makro) dalam penetapan kawasan rawan bencana longsorlahan sebagai berikut:

Kondisi kemiringan lereng dari 15% hingga 70%.

1. Tingkat curah hujan rata-rata tinggi (di atas 2500 mm per tahun).

2. Kondisi tanah, lereng tersusun oleh tanah penutup tebal (lebih dari 2 meter). 3. Struktur batuan tersusun dengan bidang diskontinuitas atau struktur retakan. 4. Daerah yang dilalui struktur patahan (sesar).

5. Adanya gerakan tanah; dan/atau

6. Jenis tutupan lahan/vegetasi (jenis tumbuhan, bentuk tajuk, dan sifat perakaran)

D. Tipe Longsorlahan

Ditinjau dari kecepatan dan jenis material yang bergerak, tanah longsor dapat dibedakan jenis sebagai berikut (Sutikno, 2000 dalam Lilik Kurniawan, 2008) :

(5)

1. Debris avalanche

Material longsoran bergerak serentak dan mendadak dan bergerak dengan kecepatan tinggi. Dalam bahasa asing disebut debris avalanche di Sumatera Barat disebut juga “galodo” atau juga dapat disebut banjir bandang.

2. Longsoran

Biasanya material longsoran bergerak lamban dengan bekas atau gawir longsoran berbentuk tapal kuda. Jenis longsoran antara lain berupa nendatan yang diikuti oleh rekahan, retakan dan belahan. Apabila gerakannya sangat lamban disebut rayapan. Jenis longsorlahan seperti ini terjadi di Cianjur Selatan, Tomo– Sumedang, Provinsi Jawa Barat, Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Longsorlahan biasanya akan berbentuk tapal kuda dan membentuk gawir.

a. Aliran tanah

Jenis aliran tanah (earthflow) merupakan gerakan material lepas yang relatif lambat dan membentuk gawir.

2. Runtuhan

Material longsoran bergerak sangat sangat cepat. Material longsorlahan berupa batu yang runtuh dari tebing tegak atau hampir tegak. Biasanya terjadi pada penggalian batu, tebing pantai yang curam, tebing jalan dan lain-lain

3. Amblesan

Terjadinya sebagai akibat penambangan bawah tanah, penyedotan air tanah yang berlebihan, proses pengikisan dan pelarutan di daerah batu gamping serta pada proses pemadatan tanah. Kecepatan gerakan dipengaruhi oleh kondisi geologi dan topografi.

(6)

4. Majemuk

Merupakan perkembangan gerakan runtuhan atau longsoran menjadi aliran material longsoran.

Gambar 2.1. Tipe - tipe tanah longsor (Sutikno, 2000) a. Slump, terjadi karena bentuk lereng terlalu curam.

b. Debris, pergerakan massa tanah/bahan lepas yang dipicu oleh adanya lapisan dibawahnya yang berfungsi sebagai bidang gelincir terutama saat hujan.

c. Rock slide, terjadi karena adanya rekahan dan proses pelapukan pada batuan. d. Rock fall, massa tanah/bahan lepas jatuhan.

(7)

E. Bahaya Longsorlahan

Bahaya merupakan suatu peristiwa yang mengancam atau probabilities kejadian dari fenomena yang secara potensial merusak dalam periode waktu dan tempat yang tertentu, sedang risiko adalah mengasumsikan kerugian atau kehilangan (jiwa, korban, luka-luka, harta benda dan aktifitas ekonomi) yang disebabkan bahaya khusus dalam suatu wilayah selama periode waktu tertentu (Melching, 1999 dalam Suwarno, 2004).

Longsorlahan dapat dikatakan sebagai bencana apabila telah memberikan gangguan yang sangat serius dari berfungsinya satu masyarakat, yang menyebabkan kerugian – kerugian terhadap jiwa (manusia), harta-benda (properti), dan lingkungannya, yang melebihi kemampuan dari masyarakat yang tertimpa bencana tersebut untuk menanggulanginya hanya dengan sumber - sumber daya masyarakat itu sendiri (Imam Sadisun, 2006). Bahaya longsorlahan timbul sesuai durasi dan kuantitas curah hujan, hasil evaluasi dari seringnya tingkat kejadian tanah longsor disuatu daerah, dan kesamaan tipologi antara daerah yang satu dengan yang lainnya (Abdurahman Wafi dkk; 2009).

F. Karakteristik Satuan Bentuk Lahan untuk Kreteria Bahaya Longsorlahan 1. Kemiringan lereng

Kondisi lereng sangat berpengaruh terhadap kejadian longsorlahan, semakin tinggi, terjal kemiringannya maka semakin tinggi berpotensi untuk terjadinya longsorlahan dan kemiringan lereng juga dapat mencerminkan dimana

(8)

material longsorlahan itu dapat berhenti (Dibyosaputro, 1998 (Nashiah dan Ichsan, 2012).

2. Tekstur Tanah

Tekstur tanah dapat diidentifikasikan sebagai penampilan visual suatu tanah berdasarkan komposisi kualitatif dari ukuran butiran tanah dalam suatu massa tanah tertentu. Partikel – partikel tanah yang besar dengan beberapa partikel kecil akan terlihat kasar atau disebut tanah yang bertekstur kasar. Gabungan partikel yang lebih kecil akan memberikan bahan yang bertekstur

sedang, dan gabungan partikel yang berbutir halus akan menghasilkan tanah yang bertekstur halus. Dapat diamati pula bahwa bahan – bahan berbutir halus dapat

dapat memberikan tekstur yang kasar, sehingga kita harus mengkaitkan pula tekstur ini dengan keadaan partikel – partikel tanah itu.Tekstur yang berdasarkan penampilan visual sering digunakan dalam klasifikasi tanah untuk bahan – bahan tak-kohesif seperti pasir kasar, pasir dan kerikil agak kasar, pasir halus, dan sebagainya. Tekstur tidak dugunakan untuk tanah kohesif, karena keadaan tanahmerupakan suatu faktor dalam penentuan tekstur ( bongkahan dapat dihancurkan) (Joseph Bowles dan Johan Hainim,1993).

3. Solum Tanah

Dibyosaputro, 1998 (Nashiah dan Ichsan, 2012) Solum tanah adalah bagian dari profil tanah yang terbentuk akiat proses pembentukan tanah (horison A dan B), semakin tebal horison tanah, maka semakin banyak air yang dapat masuk ke dalam tanah dan semakin berpotensi untuk terjadinya longsorlahan.

(9)

4. Kedalaman pelapukan

Dibyosaputro, 1998 (Nashiah dan Ichsan, 2012) Kedalaman pelapukan merupakan kedalaman lapisan tak padu. Semakin dalam lapisan pelapukan, maka semakin banyak air yang dapat meresap ke dalam perlapisan batuan, sehingga semakin banyak air yang dapat tersimpan ke dalam perlapisan batuan, maka semakin besar berpotensi untuk longsorlahan.

5. Permeabilitas Tanah

Kemampuan fluida untuk mengalir melalui medium yang berpori adalah suatu sifat teknis yang disebut permeabilitas. Untuk masalah geoteknik, Fluida itu adalah air dan medium yang berpori adalah massa tanah. Setiap bahan yang memiliki rongga disebut berpori, dan apabila rongga tersebut saling berhubungan maka ia akan memiliki sifat permeabilitas. Jadi, batuan, beton, tanah, dan banyak bahan lainnya kesemuanya merupakan bahan yang berpori dan permeabel (tembus air), bahan dengan rongga yang lebih besar biasanya mempunyai angka pori yang lebih besar pula, dan karena itu tanah yang sangat padat sekalipun akan lebih permeabel daripada bahan seperti batuan dan beton. Bahan seperti lempung dan lanau didalam deposit, alamiah mempunyai nilai porositas (angka pori) yang besar, tetapi hampir tidak permiabel (tidak tembus air ), terutama karena rongganya berukuran sangat kecil, walaupun faktor lain ikut mempengaruhinya. Istilah porositas “n” dan angka pori “e” digunakan untuk menjelaskan tentang rongga didalam suatu massa tanah (Joseph Bowles dan Johan Hainim, 1993).

(10)

6. Dinding Terjal

Dibyosaputro, 1998 (Nashiah dan Ichsan, 2012) Dinding terjal (>45%) akan mengakibatkan ketidaksinambungan struktur dan pelapisan batuan serta kelandaian bidang permukaan berkurang, hal ini akan dapat mengurangi tekanan geser akan memudahkan longsorlahan terjadi.

7. Torehan

Dibyosaputro, 1998 (Nashiah dan Ichsan, 2012) Torehan dapat dilihat dari banyak sedikitnya alur – alur yang merupakan tempat akumulasi dari aliran permukaan. Banyaknya torehan mencerminkan tingginya proses erosi di daerah tersebut, semakin banyak torehan maka erosinya tinggi maka dapat menyebabkan mudah terjadinya lonsorlahan.

8. Penggunaan Lahan

Dibyosaputro, 1998 (Nashiah dan Ichsan, 2012) Penggunaan lahan mencerminkan aktivitas dan tata air di wilayah tersebut dan akan mempengaruhi kondisi tanah dan batuan di wilayah tersebut dan berpengaruh terhadap kejadian longsorlahan.

9. Struktur Perlapisan Batuan

Dibyosaputro, 1998 (Nashiah dan Ichsan, 2012) Struktur batuan mencerminkan besar kecilnya kemiringan batuan terhadap bidang datar, sehingga semakin besar kemiringan batuan maka semakin rentan suatu daerah terhadap longsorlahan. Struktur batuan dapat diukur langsung di lapangan dengan batasan – batasan tertentu.

(11)

G. Daerah Aliran Sungai

(Dedy Leony, 2013) Daerah Aliran Sungai adalah suatu areal dari lahan, yang saluran-salurannya menuju ke danau atau sungai. Daerah aliran sungai (DAS) dibatasi (dikelilingi) oleh garis ketinggian dimana setiap air yang jatuh di permukaan tanah akan dialirkan melalui satu outlet. DAS merupakan suatu gabungan sejumlah sumber daya darat, yang saling berkaitan dalam suatu hubungan saling tindak (interaction) atau saling tukar (interchange). DAS dapat disebut suatu sistem dan tiap-tiap sumberdaya penyusunnya menjadi anak-sistemnya (subsystem), atau anasirnya (component). Kalau kita menerima DAS sebagai suatu sistem maka ini berarti, bahwa sifat dan kelakuan DAS ditentukan bersama oleh sifat dan kelakuan semua anasirnya secara terpadu.

H. Penelitian yang Relevan

Suwarno 2004 melalukan penelitian bertujuan untuk mempelajari, bahaya dan mengetahui agihan tingkat bahaya longsorlahan di daerah Kec. Gumelar, Kab. Banyumas. Metode yang digunakan adalah Survei lapangan dan Analisa laboratorium, data yang dikumpulkan meliputi data karakteristik medan. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling. Satuan medan dipakai sebagai satuan analisis dan satuan pemetaan. Satuan medan disusun berdasarkan peta satuan bentuklahan, dan peta lereng.

Kelas bahaya longsorlahan diperoleh dengan cara pengharkatan dari parameter medan dan dikelaskan menjadi beberapa kelas, yaitu: tidak bahaya, bahaya rendah, bahaya sedang, bahaya tinggi, dan bahaya sangat tinggi. Penelitian

(12)

menghasilkan 10 satuan medan di daerah penelitian, dan kelas bahayanya terdiri dari bahaya rendah 1 satuan medan, bahaya sedang 2 satuan medan, bahaya tinggi 6 satuan medan , bahaya sangat tinggi 1 satuan medan.

Suwarno dan Esti Sarjanti 2007 melalukan penelitian bertujuan untuk mempelajari, klasifikasi dan mengetahui agihan kelas bahaya longsorlahan di daerah Kec. Somagede, Kab. Banyumas. Metode yang digunakan adalah Survei lapangan dan Analisa laboratorium, data yang dikumpulkan meliputi data karakteristik land unit. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling. Land

unit dipakai sebagai satuan analisis dan satuan pemetaan. Land unit disusun

berdasarkan peta satuan bentuklahan, dan peta lereng.

Cara mengetahui kelas bahaya longsorlahan dilakukan dengan cara pengharkatan dari parameter land unit dan dikelaskan menjadi beberapa kelas, yaitu: tidak bahaya, bahaya rendah, bahaya sedang, bahaya tinggi, sampai bahaya sangat tinggi.Hasil penelitian menunjukan bahwa ada 5 land unit di daerah penelitian, dan kelas bahayanya terdiri dari tidak bahaya: 1 land unit, bahaya rendah: 1 land unit, bahaya sedang: 2 land unit, bahaya tinggi: 1 land

unit.Perbedaan penelitian terdahulu dengan peneliti tersaji pada Tabel 2.1 berikut

(13)
(14)

Tabel 2.1 Perbedaan penelitian dengan penelitian sebelumnya

Peneliti/ tahun Tujuan Metode Hasil

Suwarno,(2004) Untuk :

1. Mempelajari, mengklarifikasikan tingkat bahaya longsorlahan di daerah penelitian.

2. Mengetahui agihan dari kelas bahaya longsorlahan di daerah penelitian.

Survei lapangan, analisis laboratorium. Pengambilan sampel : Purposive sampling.Metode analisis : Diskripsi kualitatif, menggunakan analisis keruangan.

Menghasilkan 10 satuan medan di daerah penelitian, dan kelas bahayanya terdiri dari bahaya rendah 1 satuan medan, bahaya sedang 2 satuan medan, bahaya tinggi 6 satuan medan , bahaya sangat tinggi 1 satuan medan.

Suwarno dan Esti Sarjanti, (2007) Untuk:

1. Mempelajari karakteristik Land Unit yang berpengaruh terhadap tingkat bahaya longsorlahan di daerah penelitian,

2. Memepelajari, mengklarifikasikan tingkat bahaya longsorlahan pada daerah penelitian,

3. Mengetahui agihandari tingkat bahaya longsorlahan di daerah penelitian.

Survei lapangan,analisis laboratorium.

Pengambilan sampel : Purposive sampling.

Metode analisis : Diskripsi kualitatif, menggunakan analisis keruangan.

Penelitian menunjukan ada 5 land unit di daerah

penelitian, dan kelas bahayanya terdiri dari tidak bahaya 1 land unit, bahaya rendah 1 land unit, bahaya sedang 2 land unit , bahaya tinggi 1 land unit.

Peneliti, (2014) Untuk :

Mengetahui kelas bahaya longsorlahan di DAS Logawa.

Survei lapangan, analisis laboratorium, dan analisis keruangan.

(15)

insidental sampling.

Metode analisis : Diskripsi kualitatif, menggunakan analisis keruangan.

(16)

I. Landasan Teori

Berdasarkan telaah pustaka tersebut diatas maka dapat disusun landasan teori berikut ini.

Pada prisipnya longsorlahan terjadi apabila gaya pendorong pada lereng lebih besar dari pada gaya penahan. Gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban, dan berat jenis tanah dan batuan, sedangkan gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah.

Faktor pendorong yang dapat menyebabkan terjadinya longsorlahan sebagai berikut: 1. Solum Tanah 2. Banyaknyadinding terjal 3. Torehan 4. Penggunaan lahan 5. Kerapatan vegetasi 6. Kemiringan Lereng 7. Tekstur tanah 8. Permeabilitas tanah 9. KedalamanPelapukan

Proses terjadinya longsorlahan dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut: air meresap ke dalam tanah sehingga menambah bobot tanah, air menembus sampai ke lapisan kedap yang berperan sebagai bidang gelincir, kemudian tanah menjadi licin dan tanah pelapukan diatasnya bergerak mengikuti lereng dan keluar dari lereng. Pada umumnya kawasan rawan bencana longsor

(17)

merupakan kawasan dengan curah hujan rata-rata yang tinggi (di atas 2500 mm/tahun), kemiringan lereng yang curam (lebih dari 40%), dan/atau kawasan rawan gempa. Pada kawasan ini sering dijumpai alur air dan mata air yang umumnya berada di lembah-lembah yang subur dekat dengan sungai. Sebagian besar bidang luncur longsoran dijumpai di horisonatau lapisan B, selain diantara lapisan C dan R (rock).

Longsorlahan berpotensi bencana apabila telah memberikan gangguan yang sangat serius dari berfungsinya satu masyarakat, yang menyebabkan kerugian – kerugian terhadap jiwa (manusia), harta-benda (properti),dan lingkungannya,yang melebihi kemampuan dari masyarakat yang tertimpa bencana tersebut untuk menanggulanginya hanya dengan sumber-sumber daya masyarakat itu sendiri.

Sungai Logawa merupakan salah satu Sungai yang berada di Kabupaten Banyumas, panjang Sungai Logawa berkisar 25 km. Daerah pengaliran Sungai Logawa secara administrasipemerintahan meliputi kecamatan: Kedungbanteng, Karanglewas, dan Patikraja. Secara geografis daerah pengaliran Sungai Logawa mengalir dari utara (puncak Gunung Slamet) menuju ke selatan (bermuara di Sungai Serayu). Wilayah tersebut terletak pada 109°10’0”sampai 109° 20’0” Bujur Timur dan 7° 10’ sampai 7° 25’ Lintang Selatan, meliputi luas wilayah Sub-DAS seluas 11.628, 83 ha. Secara keseluruhan Sungai Logawa mengalami degradasi (erosi lebihbesar dari sedimentasi), sehingga perlu dilakukan upaya-upaya pengendalian eksploitasi di alur Sungai. Berdasarkan landasan teori diatas dapat disusun kerangka pikir sebagai berikut pada Gambar 2.1.

(18)

KERANGKA PIKIR

Gambar 2.2. Diagram alir Kerangka Pikir penelitian

J. Hipotesis penelitian

Berdasarkan kerangka pikir diatas, maka dapat disusun hipotesis: bahaya longsorlahan di sub das logawa, lebih dari 50% masuk pada klas bahaya sedang.

Karakteristik Satuan Bentuk Lahan Kemiringan Lereng Tekstur Tanah Solum Tanah Kedalaman Pelapukan Permeabilitas Tanah Dinding Terjal Penggunaan Lahan Torehan

Peta Kelas Bahaya Longsor Lahan Di Sub-Das Logawa skala 1 :

100.000 Kelas Bahaya Solum Tanah Banyaknyadinding terjal Torehan Penggunaan lahan Kerapatan vegetasi Kemiringan Lereng Tekstur tanah Permeabilitas tanah Kedalaman Pelapukan Parameter Kelas Bahaya Bahaya Longsorlahan (Melching, 1999)

Gambar

Gambar 2.1. Tipe - tipe tanah longsor (Sutikno, 2000)  a.   Slump, terjadi karena bentuk lereng terlalu curam
Tabel 2.1 Perbedaan penelitian dengan penelitian sebelumnya
Gambar 2.2. Diagram alir Kerangka Pikir penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Pengendalian administrasi pada docking di PPN Palabuhanratu dapat dilakukan dengan cara melakukan pengecekan kesehatan atau kebugaran pekerja sebelum bekerja,

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat di simpulkan bahwa: 1) ada pengaruh positif metode pembelajaran tutor sebaya yang signifikan terhadap

mirasidium dalam waktu 3 minggu  masuk ke tubuh Siput & tumbuh mjd sporokista  redia  serkaria  serkaria keluar dr siput  berenang mencari H.P.II  berkembang

selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penulisan laporan Tugas Akhir Kuliah Kerja Media.. Bapak

Pada foto micro katup buang original bentuk strukturnya lebih jelas dibandingkan dengan bentuk dari foto mikro yang lokal dan struktur pearlite pada foto micro pada

Dari penambahan crumb rubber dalam bahan overlay (lapis ulang) perkerasan jalan pada lapis tipis campuran aspal panas diharapkan dapat mening- katkan mutu perkerasan

Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan sebuah model virtual laboratory pada materi fisika modern dan meningkatkan penguasaan konsep, keterampilan generik sains,