• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Aliran Ekspor Komoditas Kakao Indonesia ke Kawasan Uni Eropa

Di dalam subbab ini akan dibahas hasil dari estimasi faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor komoditas kakao Indonesia ke kawasan Uni Eropa. Negara tujuan ekspor yang diteliti berjumlah 10 negara, diantaranya Belgia, Estonia, Prancis, Jerman, Italia, Lituania, Belanda, Polandia, Spanyol dan Inggris yang tergabung di dalam ICCO (International Cocoa Organization), dengan periode analisis selama 2002-2010.

Variabel independen yang digunakan dalam analisis ini adalah GDP negara tujuan ekspor (GDPjt) , GDP negara Indonesia (GDPIjt), jarak ekonomi antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor (DISTij), nilai tukar negara tujuan ekspor terhadap Dolar Amerika Serikat (ERij), serta populasi negara tujuan ekspor (POPjt). Sedangkan variabel dependennya adalah nilai ekspor komoditas kakao Indonesia ke negara tujuan (Xijt). Melalui analisis ini dapat diketahui faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor komoditas kakao yang dilihat dari variabel apa saja yang memberikan pengaruh besar bagi ekspor komoditas kakao Indonesia. Produk yang digunakan dalam estimasi model ini adalah cocoa and cocoa preparations (kode Harmonized System 18). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan metode efek tetap (fixed effect).

5.1.1 Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Aliran Ekspor Komoditas Kakao Indonesia Periode 2002-2010

Sebelum dilakukan regresi terhadap data panel, perlu diketahui terlebih dahulu model yang akan digunakan. Kemudian dilakukanlah uji Chow guna memilih model yang terbaik, antara pooled least square dan fixed effect, dengan hasil yang dapat dilihat pada Tabel 5.1. Berdasarkan hasil uji Chow, didapatkan nilai probabilitas (0,0000) lebih kecil dari taraf nyata 5 persen, maka disimpulkan bahwa model yang digunakan adalah model fixed effect.

(2)

Tabel 5.1. Hasil Uji Chow

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 22.431409 (9,75) 0,0000

Sumber: Lampiran 3

Berdasarkan hasil analisis regresi gravity model aliran ekspor komoditas kakao Indonesia, diperoleh persamaan :

Ln Xijt = 113,55 – 3,42 Ln GDPjt – 4,32 Ln ERjt + 2,88 Ln DISTijt – 4,61 POPjt + 1,12 Ln GDPIt + εit

dimana:

Xijt = Nilai ekspor komoditas kakao Indonesia ke negara tujuan ekspor pada tahun t (1000 US$),

ln αo = βo,

GDPjt = GDP negara tujuan ekspor pada tahun t (US$),

ERij = Nilai tukar mata uang negara tujuan ekspor terhadap US$ (mata uang negara tujuan/US$),

DISTij = Jarak ekonomi antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor (Kilometer),

POPjt = Jumlah populasi negara tujuan ekspor (Jiwa), GDPIt = GDP Indonesia pada waktu t (US$),

ε = Galat (pengaruh variabel lain yang tidak termasuk di dalam model). Tabel 5.2. merangkum hasil regresi model aliran ekspor komoditas kakao Indonesia, dimana dari hasil regresi diperoleh nilai koefisien determinasi R2 sebesar 0,836 yang menunjukkan bahwa variabel-variabel independen di dalam model yang dibangun telah mampu menjelaskan 83,6 persen perubahan yang terjadi pada nilai ekspor komoditas kakao Indonesia ke 10 negara tujuan kawasan Uni Eropa. Sedangkan sisanya sebesar 16,4 persen diterangkan oleh faktor lain di luar model. Nilai F-hitung yang dihasilkan dari hasil analisis regresi sebesar 27,43067 dan nilai tersebut lebih besar dari F-tabelnya yaitu 6,26. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semua variabel independen di dalam model secara bersama-sama dapat menjelaskan perubahan yang terjadi pada ekspor komoditas kakao Indonesia.

(3)

Tabel 5.2. Hasil Estimasi Model Aliran Ekspor Kakao Indonesia

Variable Coefficient Prob.

LN GDP -3.425119* 0.0004 LN ER -4.322859* 0.0005 LN DIST 2.885709** 0.0109 LN POP -4.614851 0.4137 LN GDPI 1.124380* 0.0001 C 113.5523 0.1521

Fixed Effects Cross

Belgia -6.682778 Estonia -25.60490 Prancis 14.48606 Jerman 16.33314 Italia 7.086869 Lituania -26.13172 Belanda 0.241160 Polandia 1.510403 Spanyol 7.764050 Inggris 10.99773 Weighted Statistics

R-squared 0.836612 Sum squared resid 105.5996

F-statistic 27.43067 Durbin-Watson stat 1.844088

Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.765110 Mean dependent var 7.898943

Sum squared resid 127.4490 Durbin-Watson stat 1.604869 Sumber: Lampiran 2 dan 4

(4)

Nilai t-statistik menunjukkan bahwa dari lima variabel bebas yang digunakan dalam penelitian terdapat satu variabel yang tidak signifikan pada taraf nyata lima persen (0,05) yaitu variabel jarak populasi negara tujuan ekspor. Nilai probabilitas t-statistik (0.4137) yang lebih besar dari taraf nyata lima persen menunjukkan bahwa variabel tersebut tidak berpengaruh nyata pada model.

5.1.2. Hasil Uji Asumsi Model

Setelah menganalisis aliran ekspor komoditas kakao Indonesia ke kawasan Uni Eropa dengan model fixed effect, diharapkan mampu memenuhi asumsi multikolinearitas, heteroskedastisitas, autokorelasi, dan normalitas. Pendeteksian multikolinearitas, dapat dilihat dari nilai R2. Nilai R2 yang diperoleh cukup tinggi yaitu sebesar 0.836612 dan empat dari lima variabel yang digunakan memiliki koefisien dugaan yang signifikan pada taraf nyata 1 persen dan 5 persen. Artinya model yang digunakan tidak memiliki masalah multikolinearitas. Hasil estimasi pada Tabel 5.2. menunjukkan bahwa Residual Sum Squared pada Weighted Statistic (105.59) lebih kecil dari Residual Sum Squared pada Unweighted Statistic (127.44), maka dapat disimpulkan terjadi heteroskedastisitas. Namun masalah data yang tidak homoskedastisistas ini telah dapat diatasi dengan menggunakan cross-section weights sebagai pembobot pada model. Penggunaan data time series diduga dapat menimbulkan pelanggaran asumsi yaitu autokorelasi. Ada atau tidaknya korelasi dapat diamati dari nilai Durbin Watsonstat. Nilai Durbin Watsonstat (weighted) sebesar 1.844088 dan nilai tersebut masih berkisar antara 1,55-2,46 sehingga dapat disimpulkan bahwa model yang diestimasi terbebas dari autokorelasi. Hasil uji normalitas diperlihatkan pada Tabel 5.3, yang menunjukkan bahwa probabilitas Jarque Bera lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (1,908 > 0,05). Hal tersebut menunjukkan sudah cukup bukti menerima Ho, yang artinya residual dalam model sudah menyebar normal.

(5)

Tabel 5.3 Hasil Uji Normalitas Aliran Ekspor Komoditas Kakao Indonesia

Model Jarque Bera Probability

Aliran Ekspor Komoditas Kakao 1.908449 0.385111

Sumber: Lampiran 5

5.1.3. Intepretasi Model Aliran Ekspor Komoditas Kakao Indonesia Periode 2002-2010

A. Gross Domestic Product Negara Tujuan Ekspor (GDPjt)

GDP sering dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja ekonomi. Semakin besar GDP suatu negara menunjukkan semakin besarnya kemampuan dari negara tersebut untuk melakukan perdagangan dengan negara lain. Hasil analisis regresi gravity model aliran ekspor kakao Indonesia menunjukkan koefisien variabel GDP negara mitra dagang (GDPjt) memberikan pengaruh negatif terhadap peningkatan nilai ekspor kakao Indonesia ke negara tujuan dengan nilai koefisien sebesar -3,425119. Nilai koefisien tersebut mengintepretasikan bahwa apabila terjadi peningkatan GDP 10 negara mitra dagang ekspor kakao sebesar 1 persen maka akan terjadi penurunan nilai ekspor kakao Indonesia sebesar 3,42 persen dari nilai sebelumnya (cateris paribus). Hasil ini tidak sesuai dengan hipotesis, dimana diharapkan variabel GDP negara mitra dagang berpengaruh positif pada peningkatan nilai ekspor kakao Indonesia. Meskipun hasil ini tidak sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, namun variabel ini berpengaruh signifikan terhadap peningkatan nilai ekspor kakao pada selang kepercayaan 99 persen yang ditunjukkan oleh P-value yaitu sebesar 0,0004.

Peningkatan GDP negara mitra dagang tidak mendorong meningkatnya permintaan ekspor akan komoditas kakao Indonesia karena adanya penurunan daya beli dari negara mitra dagang kakao Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaku industri yang semula menggunakan komoditas kakao Indonesia sebagai bahan baku, mulai beralih ke komoditas kakao dari negara lain yang bisa menggantikan kakao Indonesia. Peralihan komoditas ini dapat disebabkan oleh pelaku industri yang ingin meningkatkan standar produk industri mereka sehingga mulai beralih ke komoditas

(6)

kakao dari negara lain yang memilki kualitas lebih tinggi dibandingkan komoditas kakao Indonesia.

B. Nilai Tukar Mata Uang Negara Tujuan Ekspor terhadap US$ (ERij)

Nilai tukar antara dua negara adalah tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan. Hasil analisis regresi gravity model aliran ekspor kakao Indonesia menunjukkan koefisien nilai tukar (ERjt) memberikan pengaruh negatif terhadap peningkatan nilai ekspor kakao Indonesia ke negara tujuan dengan nilai koefisien sebesar -4,322859. Nilai koefisien tersebut mengintepretasikan bahwa apabila rupiah mengalami apresiasi sebesar 1 persen maka akan terjadi penurunan nilai ekspor kakao Indonesia sebesar 4,32 persen dari nilai sebelumnya (cateris paribus). Berarti dapat disimpulkan jika nilai tukar negara Indonesia sebagai negara pengekspor mengalami apresiasi, maka akan menyebabkan penurunan permintaan ekspor komoditas kakao. Dengan nilai tukar yang mengalami apresiasi, harga komoditas kakao Indonesia di pasar internasional meningkat, dan hal inilah yang menjadi pemicu dari turunnya permintaan ekspor komoditas kakao. Negara mitra dagang akan lebih memilih untuk mengekspor komoditas kakao dari negara lain yang harganya lebih terjangkau dari komoditas kakao Indonesia. Hasil ini tidak sesuai dengan hipotesis, dimana diharapkan variabel nilai tukar berpengaruh positif pada peningkatan nilai ekspor kakao Indonesia. Meskipun hasil ini tidak sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, namun variabel ini berpengaruh signifikan terhadap peningkatan nilai ekspor kakao pada selang kepercayaan 99 persen yang ditunjukkan oleh P-value yaitu sebesar 0,0005.

C. Jarak Ekonomi antara Indonesia dengan Negara Tujuan Ekspor (DISTij)

Hasil estimasi model menunjukkan koefisien variabel jarak ekonomi antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor bernilai positif sebesar 2,88 yang berarti semakin jauh jarak ekonomi antara Indonesia dengan negara mitra dagang, maka nilai ekspor komoditas kakao semakin bertambah. Nilai koefisien tersebut mengintepretasikan bahwa apabila jarak ekonomi antara Indonesia dan negara tujuan ekspor semakin jauh, dengan

(7)

jarak yang semakin meningkat sebesar 1 persen, maka akan terjadi peningkatan nilai ekspor kakao Indonesia sebesar 2,88 persen dari nilai sebelumnya (cateris paribus).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa negara tujuan ekspor dengan jarak ekonomi yang lebih tinggi justru lebih meminati komoditas kakao Indonesia, tanpa terlalu mempertimbangkan semakin tingginya biaya transportasi. Hasil ini tidak sesuai dengan hipotesis, dimana diharapkan variabel jarak ekonomi antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor berpengaruh negatif terhadap peningkatan nilai ekspor kakao Indonesia. Meskipun hasil ini tidak sesuai dengan hipotesis yang diharapkan, namun variabel ini berpengaruh signifikan pada peningkatan nilai ekspor kakao pada taraf nyata 5 persen yang ditunjukkan oleh P-value yaitu sebesar 0,0109.

D. Populasi Negara Tujuan Ekspor (POPjt)

Hasil estimasi model menunjukkan koefisien variabel populasi negara tujuan ekspor bernilai negatif (-4,614851), yang berarti semakin tinggi jumlah populasi negara tujuan ekspor, maka nilai ekspor komoditas kakao Indonesia semakin menurun. Namun, nilai probabilitas dari variabel ini (0.4137) lebih besar dari taraf nyata 5 persen, yang menunjukkan bahwa variabel populasi negara tujuan ekspor tidak signifikan atau tidak berpengaruh nyata terhadap aliran ekspor komoditas kakao Indonesia.

E. Gross Domestic Product Negara Indonesia (GDPIt)

GDP mempresentasikan ukuran daya beli masyarakat di suatu negara terhadap barang dan jasa. Hasil analisis regresi gravity model aliran ekspor kakao Indonesia menunjukkan bahwa variabel GDP negara Indonesia sebagai negara eksportir berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen yang dilihat dari P-value sebesar 0,0001 dengan nilai koefisien sebesar 1,124380. Nilai koefisien tersebut mengintepretasikan bahwa apabila terjadi kenaikan satu persen GDP negara Indonesia, maka akan meningkatkan aliran ekspor komoditas kakao sebesar 1,12 persen dari nilai sebelumnya (cateris paribus). GDP dari negara eksportir mengukur kapasitas produksi negara tersebut. Jadi semakin besar GDP negara Indonesia menunjukkan semakin besar

(8)

pula kapasitas produksi yang dimiliki, sehingga ekspor semakin meningkat. Hal ini konsisten dengan hipotesis yang diharapkan.

Pada hasil estimasi Tabel 5.2. terdapat Fixed Effect (Cross) yang menunjukkan pembeda dari setiap cross-section (negara). Jerman merupakan negara yang memiliki nilai pembeda tertinggi, yang ditunjukkan dari nilai ekspor komoditas kakao Indonesia ke negara tersebut memiliki rata-rata perubahan yang paling tinggi sebesar 16,33314. Negara yang memiliki efek paling kecil adalah Lituania dengan rata-rata nilai perubahan sebesar -26,13172. Sehingga dapat disimpulkan dari fixed effect (cross) bahwa Jerman merupakan pasar tujuan ekspor komoditas kakao yang potensial, sedangkan Lituania relatif bukanlah pasar komoditas kakao Indonesia yang potensial di kawasan Uni Eropa.

5.2. Analisis Keunggulan Kompetitif Export Product Dynamic (EPD) Komoditas Kakao ke Sepuluh Negara Kawasan Uni Eropa

Export Product Dynamic (EPD) digunakan untuk mengidentifikasi dinamika produk pada ekspor. Ekspor yang diteliti pada penelitian ini yaitu komoditas kakao. Keunggulan kompetitif komoditas kakao di Pasar Uni Eropa berdasarkan hasil estimasi EPD ditunjukkan pada Gambar 5.1. Masing-masing kuadran pada gambar menunjukkan posisi yang berbeda-beda. Kuadran I menempati posisi Rising Star, kuadran II menempati posisi Lost Opportunity, kuadran III menempati posisi Retreat, dan kuadran IV menempati posisi Falling Star.

Berdasarkan Gambar 5.1, dapat dilihat bahwa posisi daya saing komositas kakao di Pasar Belgia berada pada kuadran Retreat dimana pertumbuhan pangsa pasar ekspor dan produknya bernilai negatif. Kondisi ini menandakan komoditas kakao merupakan komoditas yang tidak dinamis dan tidak kompetitif di Pasar Belgia, yang selanjutnya mengindikasikan bahwa komoditas kakao sudah tidak diinginkan lagi di pasar Belgia.

Posisi daya saing komoditas kakao di Pasar Estonia, Prancis, Belanda, Polandia, dan Inggris berada pada kuadran Falling Star, yang menandakan komoditas kakao di pasar tersebut memiliki keunggulan kompetitif, namun permintaan pangsa pasar akan komoditas kakao mengalami penurunan. Hal ini menandakan bahwa komoditas kakao di pasar tersebut tidaklah dinamis, dan tentu saja kondisi ini menjadi tidak menguntungkan

(9)

bagi Indonesia. Sehingga diperlukan intelejen pasar guna melihat selera pasar dari konsumen di negara Estonia, Prancis, Belanda, Polandia, serta Inggris, untuk meningkatkan permintaan pangsa pasar.

Gambar 5.1. Hasil Estimasi EPD Komoditas Indonesia dan Negara Pengekspor di Kawasan Uni Eropa Tahun 2002

Sumber: COMTRADE (2012), diolah

Posisi daya saing komoditas kakao di Pasar Jerman, Italia, Lituania, dan Spanyol berada pada posisi kuadran yang paling baik, yaitu

kakao mempunyai daya saing secara kompetitif, komoditas kakao memiliki pertumbuhan yang cepat (

pangsa pasar dari komoditas kakao di Pasar Jerman, Italia, Lituania, dan Spanyol. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan impor komoditas kakao berada di posisi y

dipertahankan oleh Indonesia.

bagi Indonesia. Sehingga diperlukan intelejen pasar guna melihat selera pasar dari konsumen di negara Estonia, Prancis, Belanda, Polandia, serta Inggris, untuk meningkatkan permintaan pangsa pasar.

Gambar 5.1. Hasil Estimasi EPD Komoditas Indonesia dan Negara Pengekspor di Kawasan Uni Eropa Tahun 2002-2010

Sumber: COMTRADE (2012), diolah

Posisi daya saing komoditas kakao di Pasar Jerman, Italia, Lituania, dan Spanyol berada pada posisi kuadran yang paling baik, yaitu Rising Star, yang berarti komoditas kakao mempunyai daya saing secara kompetitif, komoditas kakao memiliki cepat (fast-growing product) dan Indonesia memperoleh tambahan pangsa pasar dari komoditas kakao di Pasar Jerman, Italia, Lituania, dan Spanyol. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan impor komoditas kakao berada di posisi yang dinamis. Kondisi pasar seperti ini haruslah dipertahankan oleh Indonesia.

bagi Indonesia. Sehingga diperlukan intelejen pasar guna melihat selera pasar dari konsumen di negara Estonia, Prancis, Belanda, Polandia, serta Inggris, untuk

Gambar 5.1. Hasil Estimasi EPD Komoditas Indonesia dan Negara-Negara 2010

Posisi daya saing komoditas kakao di Pasar Jerman, Italia, Lituania, dan Spanyol , yang berarti komoditas kakao mempunyai daya saing secara kompetitif, komoditas kakao memiliki ) dan Indonesia memperoleh tambahan pangsa pasar dari komoditas kakao di Pasar Jerman, Italia, Lituania, dan Spanyol. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan impor ang dinamis. Kondisi pasar seperti ini haruslah

(10)

5.3. Analisis Keunggulan Kompetitif Porter’s Diamond Theory Komoditas Kakao ke Sepuluh Negara Kawasan Uni Eropa

5.3.1 Kondisi Faktor

Semakin tinggi kualitas faktor input, maka semakin besar pula peluang industri dan negara untuk meningkatkan daya saing suatu komoditi tertentu.

A. Sumberdaya Alam

Theobroma cacao adalah nama biologi yang diberikan pada pohon kakao oleh Linnaeus pada tahun 1753. Tanaman kakao berasal dari hutan hujan tropis di Amerika Tengah dan bagian utara Amerika Selatan. Di Indonesia, tanaman kakao diperkenalkan oleh orang Spanyol pada tahun 1560 di Minahasa, Sulawesi. Tempat alamiah dari tanaman kakao adalah di bagian hutan tropis dengan banyak curah hujan, tingkat kelembaban tinggi, dan teduh. Berdasarkan daerah asalnya kakao tumbuh di bawah naungan pohon-pohon yang tinggi sebagai pohon pelindung yang juga berfungsi sebagai penahan angin sebab pohon kakao tidak tahan angin kencang. Kakao mutlak membutuhkan naungan sejak masa tanam sampai umur 2-3 tahun. Tanaman muda yang kurang naungan pertumbuhannya akan terhambat (Poedjiwidodo, 1996).

Tanaman kakao dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang memiliki jumlah curah hujan 1500-2500 mm per tahun dengan bulan kering tidak lebih dari 3 bulan, suhu udara harian sekitar 28 derajat Celsius, dan ketinggian 0-800 m dpl. Tekstur tanah yang diperlukan adalah lempung liat berpasir dengan komposisi 30-40 persen fraksi liat, 50 persen fraksi pasir, dan 10-20 persen fraksi debu. Tanah yang banyak mengandung humus dan bahan organik dengan pH antara 5,6-6,8, kedalaman air 3 meter dan berdrainase baik, cocok bagi pertumbuhan kakao (Susanto, 1994). Ketika tanaman masih muda, intensitas naungan yang diberikan cukup tinggi, selanjutnya dikurangi secara bertahap seiring dengan semakin tuanya tanaman atau bergantung pada berbagai faktor tumbuh yang tersedia.

Tanaman kakao dikenal sebagai inang berbagai jenis hama dan penyakit. Adanya hama penyakit dapat menjadi kendala penting dalam budi daya kakao. Untuk mengatasi kendala tersebut, penggunaan bahan tanam unggul yang toleran (salah satu komponen

(11)

dalam pengendalian hama penyakit secara terpadu) akan memiliki peran yang penting. Alasannya selain dapat mengurangi kehilangan hasil akibat serangan hama dan penyakit, penggunaan bahan tanam unggul yang toleran dapat mengurangi penggunaan pestisida sehingga akan mengurangi biaya pemeliharaan tanaman secara keseluruhan serta mengurangi dampak pencemaran lingkungan.

Benih diambil dari tanaman kakao yang sudah berproduksi, baik dari pertanaman kakao klonal maupun kakao hibrida. Biji kakao yang baik untuk benih adalah berukuran besar, bernas (tidak kosong), bebas dari hama penyakit dan biji tidak kadaluarsa (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004). Tanaman kakao ditanam hampir di seluruh pelosok tanah air dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Irian Jaya.

B. Sumberdaya Manusia

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian petani kakao masih kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk menerapkan cara-cara pengelolaan kebun kakao yang baik. Dengan demikian keterbatasan pengetahuan dan kesadaran petani dalam menerapkan standar budi daya tanaman kakao perlu mendapatkan perhatian. Sekitar 72 persen produksi kakao nasional berasal dari Sulawesi, sehingga kakao merupakan komoditi andalan petani di Sulawesi dan kakao telah memberikan kesejahteraan bagi petani (Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, 2012).

Isdijoso et al. (1990) mengemukakan bahwa ada beberapa aspek yang memengaruhi keterampilan petani dalam mengelola usahataninya, antara lain umur, pendidikan, status, dan jumlah anggota keluarga. Sebagian besar petani berada dalam kisaran umur produktif, yaitu antara 20-50 tahun, dan tingkat pendidikan sekolah dasar (SD) hingga sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) dengan presentase 37,93 persen. Rata-rata jumlah tanggungan anggota keluarga petani kakao adalah 4 orang dengan kisaran 2-8 orang.

Tingkat pendapatan petani kakao tergantung dari sistem usaha tani kakao dan sistem pengelolaan agribisnis kakao di Indonesia. Sistem usaha tani kakao yang

(12)

diterapkan di daerah sentra kakao di Indonesia selama ini masih memiliki banyak kelemahan. Petani kakao selama ini kebanyakan masih menggunakan bibit tanaman kakao yang berasal dari bibit lokal (asalan). Selain itu, pemupukan yang tidak berimbang, kelemahan dalam sistem pemangkasan, penanganan pascapanen, sanitasi lingkungan serta pengendalian hama dan penyakit. Petani kakao Indonesia mendapatkan pendapatan sekitar Rp 8 juta per tahun per hektar, jauh lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan dari perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet yang lebih dari Rp 20 juta per tahun per hektar. Sebagai tambahan, Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia dan penghasil kedua untuk karet.

C. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia melakukan berbagai inovasi teknologi yang dilakukan melalui kerja sama kemitraan yang melibatkan perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, perkebunan besar swasta, perguruan tinggi maupun lembaga penelitian guna meningkatkan potensi nilai komersial dari kakao.

Inovasi teknologi yang telah berlangsung diantaranya teknik perbanyakan kakao klonal, penciptaan berbagai klon unggul kakao ICCRI produksi tinggi dan tahan busuk buah, pelestarian plasma nutfah kakao, serta pembuatan alat pengendali proses hulu dan hilir produk kakao dengan sistem digital. Dengan adanya inovasi ini, produksi dan mutu kakao dapat ditingkatkan, berlangsungnya perakitan bahan tanam unggul, serta menurunkan serangan hama penggerek buah kakao (PBK).

D. Sumberdaya Modal

Departemen Pertanian telah memperjuangkan permodalan untuk petani melalui sistem perbankan syariah tanpa agunan sejak 2005, tetapi dalam prosesnya muncul hambatan legislatif, yaitu pemberlakuan aturan agunan yang disyaratkan oleh Bank Indonesia. Aturan ini dilakukan oleh pihak perbankan guna melakukan berbagai analisa kesanggupan pihak peminjam dana dalam membayar kembali hutangnya.

Dengan adanya aturan agunan ini membuat banyak petani kakao yang ingin memulai usaha perkebunannya tidak bisa menyerap sumber modal yang berasal dari

(13)

perbankan. Sehingga mereka lebih memilih menggunakan dana pribadi untuk memulai usaha perkebunannya karena modal yang dibutuhkan pun cenderung kecil, yaitu Rp 5 - 6 juta per musim panen. Usaha perkebunan kakao merupakan tanaman tahunan yang cukup menjanjikan, meskipun begitu usaha ini baru bisa menghasilkan setelah lima tahun. Namun lain halnya bagi petani yang ingin mengembangkan usaha perkebunan kakao milik mereka. Perkebunan yang diolah telah menghasilkan, sehingga dapat dijadikan sebagai agunan untuk melakukan peminjaman dana perbankan bagi permodalan pengembangan usaha perkebunan.

Di Makassar, guna meningkatkan kesejahteraan petani kakao dan kualitas produksi yang dihasilkan, maka PT Permodalan Niaga Mandani (PNM) melakukan penandatanganan dengan Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Sulsel dalam membantu meningkatkan kesejahteraan petani kakao. Selain untuk meningkatkan kesejahteraan petani kakao, kerjasama ini akan memudahkan para petani kakao untuk mengakses Lembaga Keuangan (LK) guna mendapatkan modal kerja, sehingga produksi kakao dapat meningkat.

E. Sumberdaya Infrastruktur

Indonesia tercatat sebagai salah satu negara pengekspor kakao yang besar bagi Amerika Serikat, namun jumlah ekspor produk tersebut ke Amerika Serikat cenderung menurun. Produk biji kakao Indonesia yang diekspor ke wilayah Pantai Timur Amerika Serikat pada akhirnya berlabuh di Pier 84, nama salah satu dari puluhan terminal di kota Philadelphia, guna diproses lebih lanjut untuk dijual kembali kepada konsumennya.

Dijualnya kembali kakao Indonesia kepada konsumen terjadi akibat masalah kualitas produk yang bersangkutan, sebagian besar biji cokelat yang diterima dari Indonesia dalam keadaan mouldy atau berjamur. Hal tersebut dapat disebabkan oleh proses pengeringan yang tidak dilakukan dengan sempurna. Disamping itu, biji kakao Indonesia rentan dengan serangan Cocoa Pod Borer, yaitu sejenis hama yang memakan biji kakao.

Jamur merupakan kontaminan [kotoran] mikrobiologis yang tidak disukai oleh industri. Jamur selain merusak cita-rasa dan aroma khas cokelat, juga berpotensi

(14)

memproduksi senyawa racun yang berbahaya bagi kesehatan konsumen. Serangan jamur dianggap serius jika pertumbuhan jamur sudah masuk ke dalam keping biji. Serangan jamur dianggap ringan, jika jamur hanya tumbuh di permukaan biji dan bisa dihilangkan dengan cara pencucian. Namun, serangan dianggap berat, jika warna putih sudah masuk ke dalam keping biji disertai bau yang kurang sedap (Mulato, 2011).

Perjalanan selama 40 hari dan perubahan cuaca yang terjadi akan mengakibatkan telur hama pada biji kakao menetas, sehingga produk ini dikenakan Automatic Detention oleh pihak Amerika Serikat, yaitu produk yang masuk tidak memenuhi persyaratan sehingga dimusnahkan atau dikembalikan ke negara importir. Automatic Detention itu sendiri tidak memakan biaya yang besar, yaitu sebesar US$ 4 per ton dan dibebankan kepada pihak importir. Berbeda dengan Indonesia, negara Pantai Gading selain memiliki kualitas biji kakao yang cukup baik, proses pengirimannya ke Amerika Serikat hanya memakan waktu 14 hari, sehingga produknya tidak terlalu lama berada dalam kondisi cuaca yang berubah-ubah (Kedutaan Besar Republik Indonesia, 2005).

Mutu biji kakao sebagai bahan baku utama industri pengolahan kakao akan sangat berpengaruh pada perolehan profit, daya saing produk, dan kelangsungan usaha. Untuk menghasilkan biji kakao yang bermutu baik, maka diperlukan adanya seleksi dan penanganan biji kakao yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI ini sangat penting diterapkan sebagai acuan petani untuk dapat menghasilkan biji kakao yang berkualitas dan sesuai dengan tuntutan pasar. Ketentuan SNI untuk biji kakao tercantum dalam peraturan Badan Standardisasi Nasional (BSN) No 86/KEP/BSN/9/2008 dengan persyaratan umum dan persyaratan khusus yang tertera pada SNI 2323-2008, sebagai berikut:

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

1 Serangga hidup - tidak ada

2 Kadar air % fraksi massa maks. 7,5

3 Biji berbau asap dan atau hammy dan atau berbau asing

% tidak ada

4 Kadar benda asing - tidak ada

Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2010)

(15)

Jenis mutu Persyaratan Kakao Mulia (Fine Cocoa) Kakao Lindak (Bulk Cocoa) Kadar biji berjamur (biji/biji) Kadar biji slaty (biji/biji) Kadar biji berserangga (biji/biji) Kadar kotoran waste (biji/biji) Kadar biji berkecambah (biji/biji)

I - F I - B Maks. 2 Maks. 3 Maks. 1 Maks. 1,5 Maks. 2 II - F II - B Maks. 4 Maks. 8 Maks. 2 Maks. 2,0 Maks. 3 III - F III - B Maks. 4 Maks. 20 Maks. 2 Maks. 3,0 Maks. 3 Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2010)

Tabel 5.5. Persyaratan Khusus Mutu Biji Kakao

Prosedur pengujian biji kakao ini dimulai dengan menyiapkan contoh uji sebanyak 300 biji yang diambil secara acak. Kemudian mengamati satu persatu adanya biji fermentasi, biji berkapang, biji tidak terfermentasi, biji berserangga, biji berkecambah, dan biji ungu yang tampak. Khusus dalam penentuan biji slaty, apabila terdapat keraguan terhadap warna, sebaiknya keping biji tersebut digigit dan dicicipi, rasa pahit dan sepat yang ditimbulkan menandakan bahwa biji slaty. Selanjutnya memisahkan biji-biji cacat menurut jenis cacatnya dan menghitung jumlahnya.

Apabila pada suatu biji terdapat lebih dari satu jenis cacat, maka biji tersebut dianggap mempunyai jenis cacat yang terberat sesuai dengan tingkat resiko yang ditimbulkan, tingkatan tersebut adalah jamur, serangga, kecambah, dan biji yang slaty. Apabila ditemukan adanya biji pipih yang melekat, maka biji tersebut dipisahkan kemudian dikategorikan sesuai dengan jenis cacatnya. Biji kakao dinyatakan lulus uji apabila telah memenuhi persyaratan dalam syarat mutu pada Tabel 5.4. dan Tabel 5.5 (Badan Standardisasi Nasional, 2010).

Saat ini masih terdapat beberapa hambatan dalam hal jalur distribusi kakao. Diantaranya masalah jarak tempuh dari areal perkebunan ke lokasi pasar dan pelabuhan yang relatif jauh, kondisi jalan yang kurang memadai, dan alat transportasi yang terbatas. Sehingga menyebabkan mata rantai perdagangan kakao menjadi panjang. Akibatnya biaya operasional menjadi mahal, sementara petani hanya menerima harga yang sudah ditentukan pihak pedagang.

(16)

5.3.2 Kondisi Permintaan

Sejak tahun 2002 hingga 2009 ekspor biji kakao menunjukkan trend yang berfluktuatif, namun cenderung meningkat. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5.2. Di pasar dalam negeri sendiri, permintaan cokelat olahan selalu mengalami peni

karena semakin membaiknya daya beli masyarakat, yang dapat dilihat dari tingginya permintaan menjelang Hari Valentine di bulan Februari. Tidak hanya di dalam negeri, setiap tahun permintaan dunia pun terus meningkat, setidaknya berdasarkan data Internasional Cocoa Organization

permintaan cokelat hingga 5 persen setiap menjelang perayaan tersebut.

Sumber : Badan Pusat Statistik (2010)

Gambar 5.2. Perkembangan Ekspor Biji Kakao Tahun 2002

Sejak diberlakukannya bea keluar kakao sejak tahun 2010, minat investor asing akan komoditas kakao meningkat. Dengan adanya bea keluar untuk kakao, secara otomatis jika produksi dilakukan di luar negeri maka akan dikenakan pajak ekspor sebesar 10 persen. Guna meng

memilih untuk melakukan investasi di Indonesia. Banyak investor asing yang berminat menanamkan modalnya di sektor pengolahan kakao. Terdapat lima industri dari berbagai negara yang tertarik mengolah

Chocolate, Armajaro, dan Olam, selain itu ada dua perusahaan dari Amerika Serikat dan Malaysia (Asosiasi Industri Kakao, 2011).

Kondisi Permintaan

Sejak tahun 2002 hingga 2009 ekspor biji kakao menunjukkan trend yang berfluktuatif, namun cenderung meningkat. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5.2. Di pasar dalam negeri sendiri, permintaan cokelat olahan selalu mengalami peni

karena semakin membaiknya daya beli masyarakat, yang dapat dilihat dari tingginya permintaan menjelang Hari Valentine di bulan Februari. Tidak hanya di dalam negeri, setiap tahun permintaan dunia pun terus meningkat, setidaknya berdasarkan data ernasional Cocoa Organization (ICCO) di negara-negara Asia akan ada kenaikan permintaan cokelat hingga 5 persen setiap menjelang perayaan tersebut.

Sumber : Badan Pusat Statistik (2010)

Gambar 5.2. Perkembangan Ekspor Biji Kakao Tahun 2002-2009

berlakukannya bea keluar kakao sejak tahun 2010, minat investor asing akan komoditas kakao meningkat. Dengan adanya bea keluar untuk kakao, secara otomatis jika produksi dilakukan di luar negeri maka akan dikenakan pajak ekspor sebesar 10 persen. Guna menghindari pajak ekspor tersebut, para investor asing lebih memilih untuk melakukan investasi di Indonesia. Banyak investor asing yang berminat menanamkan modalnya di sektor pengolahan kakao. Terdapat lima industri dari berbagai negara yang tertarik mengolah kakao di dalam negeri, antara lain Cargill Cocoa and Chocolate, Armajaro, dan Olam, selain itu ada dua perusahaan dari Amerika Serikat dan Malaysia (Asosiasi Industri Kakao, 2011).

Sejak tahun 2002 hingga 2009 ekspor biji kakao menunjukkan trend yang berfluktuatif, namun cenderung meningkat. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5.2. Di pasar dalam negeri sendiri, permintaan cokelat olahan selalu mengalami peningkatan karena semakin membaiknya daya beli masyarakat, yang dapat dilihat dari tingginya permintaan menjelang Hari Valentine di bulan Februari. Tidak hanya di dalam negeri, setiap tahun permintaan dunia pun terus meningkat, setidaknya berdasarkan data negara Asia akan ada kenaikan

berlakukannya bea keluar kakao sejak tahun 2010, minat investor asing akan komoditas kakao meningkat. Dengan adanya bea keluar untuk kakao, secara otomatis jika produksi dilakukan di luar negeri maka akan dikenakan pajak ekspor hindari pajak ekspor tersebut, para investor asing lebih memilih untuk melakukan investasi di Indonesia. Banyak investor asing yang berminat menanamkan modalnya di sektor pengolahan kakao. Terdapat lima industri dari berbagai kakao di dalam negeri, antara lain Cargill Cocoa and Chocolate, Armajaro, dan Olam, selain itu ada dua perusahaan dari Amerika Serikat dan

(17)

Investor dari Amerika Serikat mengalihkan komoditas impor biji kakao menjadi kakao olahan, diantaranya cocoa liquor, cocoa cake, cocoa powder, dan cocoa butter. Peralihan komoditas tersebut menguntungkan bagi industri pengolahan dalam negeri karena kakao yang telah diolah akan memiliki nilai ekspor yang lebih tinggi.

PT Asia Cocoa Indonesia, investor asing asal Malaysia, telah mengoperasikan pabriknya di Batam pada Maret 2011. Nilai investasi tahap pertama USD 24 juta dengan produksi cocoa cake dan cocoa butter dengan nilai investasi diperkirakan sebesar USD 1000 per ton. Selain investor asing, pabrik dalam negeri melakukan perluasan kapasitas, diantaranya PT Bumi Tangerang Cokelat Utama berkapasitas 40 ribu ton menjadi 120 ribu ton, PT General Food Industries berkapasitas 25 ribu ton menjadi 105 ribu ton, dan PT Cocoa Ventures Indonesia berkapasitas 7 ribu ton menjadi 14 ribu ton.

Komoditas kakao menyimpan berbagai manfaat bagi tubuh yang mampu menarik minat konsumen. Kakao mengandung flavonoid dalam jumlah yang tinggi, yang baik bagi jantung dan kesehatan. Studi efek kakao pada suku Panama Kuna Indian yang banyak mengkonsumsi kakao oleh Hollenberg dari Harvard Medical School menyatakan bahwa masyarakat pada suku tersebut memilki tingkat penyakit jantung dan kanker yang rendah. Kakao dipercaya meningkatkan aliran darah sehingga baik untuk jantung dan organ lainnya, secara khusus menyehatkan bagi organ otak sehingga dapat meningkatkan konsentrasi dan ingatan.

Kakao mengandung anti-oksidan tingkat tinggi, berdasarkan penelitian Cornell University bubuk kakao memiliki efek anti-oksidan dua kali lebih tinggi dari red-wine dan tiga kali lebih tinggi daripada teh hijau. Tingginya kadar anti-oksidan dalam kakao dapat mencegah penuaan dini, sehingga tidak mengherankan bila saat ini berkembang lulur cokelat yang sangat baik bagi kecantikan kulit.

Kakao mengandung beberapa vitamin yang berguna bagi tubuh seperti vitamin A, vitamin B1, vitamin C, vitamin D, dan vitamin E. Selain itu, kakao juga mengandung zat maupun nutrisi yang penting bagi tubuh seperti zat besi, kalium, dan kalsium. Kakao sendiri merupakan sumber magnesium alami tertinggi yang mampu mengatasi hipertensi, diabetes, dan sakit persendian

(18)

5.3.3 Industri Terkait dan Industri Pendukung

Keberadaan industri terkait dan industri pendukung yang memiliki daya saing global akan memengaruhi daya saing industri utamanya. Industri terkait memiliki peran sebagai pemasok bahan baku, contohnya perkebunan kakao. Tanaman kakao di Indonesia tersebar hampir di semua kepulauan, namun areal perkebunan kakao paling banyak berada di Pulau Sulawesi yakni 58 persen dari luasan tanam kakao nasional, yang menghasilkan 63 persen kakao nasional, sehingga dikenal sebagai sentra produksi kakao.

Sedangkan untuk industri pendukung, terdapat kelembagaan yang menangani seluruh kepentingan kakao Indonesia yaitu Dewan Kakao Indonesia. Kelembagaan ini didirikan pada 2007 oleh berbagai lembaga yang terkait dengan kakao, diantaranya Asosiasi Kakao Indonesia, Asosiasi Pengusaha Industri Kakao dan Cokelat Indonesia, Asosiasi Petani Kakao Indonesia, dan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Didirikannya kelembagaan ini ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, nilai tambah, dan daya saing perkakaoan nasional secara berkelanjutan dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional. Lembaga ini menyediakan informasi perkakaoan sehingga secara bersama-sama dapat saling menjaga kesinambungan antara penawaran dan permintaan kakao dan produk turunannya di pasar domestik dan internasional.

5.3.4 Strategi Perusahaan, Struktur, dan Persaingan

Struktur Industri pengolahan kakao Indonesia di dominasi oleh tiga perusahaan pengolahan kakao utama, yaitu PT General Food Industries, PT Bumi Tangerang Mesindotama, dan PT Davomas Abadi, dengan masing-masing kapasitas sebesar 70.000 Ton/tahun, 40.000 Ton/tahun, dan 30.000 Ton /tahun. Dengan dominasi ketiga perusahaan ini membuat persaingan dalam industri pengolahan kakao menjadi tidak kompetitif (Rahmanu, 2009).

Sejak dibelakukannya bea keluar kakao sejak tahun 2010, minat investor asing akan komoditas kakao meningkat. Investor dari Amerika Serikat mengalihkan komoditas impor biji kakao menjadi kakao olahan, diantaranya cocoa liquor, cocoa cake, cocoa powder, dan cocoa butter (Asosiasi Industri Kakao, 2011). Peralihan

(19)

komoditas tersebut selain menguntungkan investor, menguntungkan juga bagi industri pengolahan dalam negeri karena kakao yang telah diolah akan memiliki nilai ekspor yang lebih tinggi. Hal ini seyogyanya menjadi strategi yang cukup baik dalam meningkatkan daya saing kakao nasional. Namun pengenaan tarif bea keluar terhadap biji kakao guna menghidupkan industri hilir di dalam negeri dinilai percuma apabila ekspor ke Uni Eropa masih dikenakan bea masuk, hilirisasi yang dilakukan di dalam negeri berpotensi tidak akan maksimal.

5.3.5 Peran Pemerintah

Kementerian Perdagangan menurunkan Peraturan Menteri Keuangan No. 67/PMK.011/2010 tertanggal 22 Maret 2010 yang memasukkan biji kakao sebagai barang ekspor yang dikenakan Bea Keluar. Penerapan Bea Keluar bertujuan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan bahan baku industri di dalam negeri dan menyeimbangkan dukungan terhadap daya saing industri kakao di dalam negeri yang pada akhirnya berdampak kepada nilai tambah yang diterima petani kakao. Hal ini sesuai Peraturan Pemerintah No. 55/2008 tentang pengenaan Bea Keluar terhadap barang ekspor yang salah satu tujuan pengenaan Bea Keluar adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri. Besarnya tarif Bea Keluar untuk ekspor biji kakao adalah seperti yang tertera pada Tabel 5.4.

No Harga Rata-Rata Internasional* (US$/Ton) Bea Keluar (%) 1 ≤ 2000 0 2 > 2000 - 2.750 5 3 > 2.750 - 3.500 10 4 > 3.500 15

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2010)

Ket: * Harga rata-rata pasar internasional berpedoman pada harga rata-rata CIF New York Board of Trade

Tabel 5.6. Tarif Bea Keluar Ekspor Biji Kakao

Manfaat pengenaan Bea Keluar Ekspor Biji Kakao adalah meningkatkan suplai intermediate product (produk antara) dari industri dalam negeri sehingga dapat mengurangi impor produk kakao (intermediate product Cocoa Liquor, Cocoa Cake,

(20)

Cocoa Butter, dan Cocoa Powder) sebagai bahan industri kakao (end product). Untuk jangka menengah dan panjang ditargetkan meningkatkan investasi di bidang industri pengolahan kakao dalam negeri dan mengoptimalkan kapasitas produksi industri pengolahan kakao dalam negeri, yang pada dasarnya juga berdampak kepada kesejahteraan petani. Dari penerimaan Bea Keluar yang meningkat diharapkan sebagian dapat dikembalikan kepada komoditi terkait (kakao) untuk pengembangan, pembinaan, dan penelitian.

Selain diberlakukannya bea keluar bagi Indonesia, pemerintah melakukan penghapusan PPN atas biji kakao, sehingga perusahaan pengolahan kakao nasional tidak perlu kesulitan memperoleh suplai biji kakao yang bermutu dan berfermentasi. Pemerintah juga menyediakan bibit kakao kualitas unggul bagi petani melalui Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas Kakao). Program ini dimotori oleh Menteri Perindustrian dan bertujuan untuk memperbaiki kondisi kebun kakao yang tanamannya sudah tua, rusak, tidak produktif, dan terserang oleh hama dan penyakit. Gernas Kakao diharapkan mampu membangkitkan industri pengolahan kakao Indonesia secara signifikan.

Kementerian Negara Koperasi dan UKM menggandeng PT Bumi Tangerang sebagai pengolah kakao untuk meningkatkan kualitas produk kakao yang dihasilkan petani individu maupun dalam gabungan kelompok tani (Gapoktan). Selain menggandeng perusahaan swasta sebagai penampung produk kakao di sentra-sentra budi daya tanaman cokelat di Indonesia, instansi tersebut juga bersinergi dengan Lembaga Pengembangan Ekspor Indonesia (LPEI) Kementerian Perdagangan. Peningkatan kualitas produk kakao dilakukan melalui sosialisasi pemanfaatan teknologi fermentasi, dengan sistem fermentasi mampu meningkatkan nilai jual dan aroma kakao. Setelah melalui proses fermentasi, nilai jual kakao dapat meningkat.

5.3.6 Peran Kesempatan

Indonesia merupakan negara produsen kakao terbesar ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana. Hal ini tentu saja membuat Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan berbagai produk olahan kakao dan menjadikan kakao sebagai salah

(21)

satu komoditi ekspor andalan Indonesia. Negara tujuan ekspor komoditas kakao Indonesia di kawasan Uni Eropa yang memiliki pangsa pasar terbesar yaitu Jerman, Italia, Lituania, dan Spanyol. Di negara-negara tersebut kakao menjadi salah satu komoditas yang paling digemari dan berpeluang menjadi pasar yang sangat potensial bagi ekspor komoditas kakao Indonesia di masa depan.

5.3.7 Keunggulan dan Kelemahan Komponen Porter’s Diamond

Dari analisa tiap komponen teori berlian Porter, kakao memiliki keunggulan dan kelemahan. Pada komponen sumberdaya alam memiliki keunggulan yang terlihat dari kekayaan alam yang memadai bagi perkebunan kakao di Indonesia. Dari komponen sumberdaya manusia masih terlihat adanya kelemahan pada rendahnya tingkat pendidikan dari petani kakao membuat sistem usaha tani kakao menjadi kurang baik sehingga menyebabkan kurang baiknya kualitas kakao Indonesia dan pada akhirnya berpengaruh pada kesejahteraan petani kakao.

Komponen ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki keunggulan dimana terdapat inovasi teknologi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Komponen modal memiliki kelemahan dimana terdapat kesulitan bagi petani kakao untuk memperoleh bantuan modal dari pihak perbankan dikarenakan adanya persyaratan agunan.

Komponen infrastruktur memiliki kelemahan dimana masih terdapat beberapa hambatan dalam hal jalur distribusi kakao. Diantaranya masalah jarak tempuh dari areal perkebunan ke lokasi pasar dan pelabuhan yang relatif jauh, kondisi jalan yang kurang memadai, dan alat transportasi yang terbatas. Dalam hal infrastruktur mutu, sudah terdapat penanganan biji kakao yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk menghasilkan biji kakao yang berkualitas baik. Komponen permintaan memiliki keunggulan dimana pertumbuhan ekspor kakao memiliki perkembangan yang sudah cukup baik, meskipun begitu tetap harus ada upaya guna peningkatan kualitas kakao. Selain itu, kakao pun memiliki berbagai manfaat sehingga dapat semakin menarik minat konsumen.

(22)

Komponen industri terkait memiliki keunggulan dimana perkebunan kakao, sebagai pemasok bahan baku, tersebar hampir di seluruh pulau. Dengan begitu luasnya areal perkebunan kakao, maka memungkinkan dalam menghasilkan produksi kakao yang melimpah. Selain itu, terdapat industri pendukung yang menangani seluruh kepentingan kakao nasional yaitu Dewan Kakao Indonesia. Didirikannya kelembagaan ini ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, nilai tambah, dan daya saing kakao nasional secara berkelanjutan dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional.

Komponen struktur, persaingan, dan strategis perusahaan memiliki kelemahan. Struktur industri pengolahan kakao Indonesia di dominasi oleh tiga perusahaan pengolahan kakao utama, yaitu PT General Food Industries, PT Bumi Tangerang Mesindotama, dan PT Davomas Abadi. Dominasi ketiga perusahaan ini membuat persaingan dalam industri pengolahan kakao menjadi tidak kompetitif. Sejak diberlakukannya bea keluar kakao sejak tahun 2010, minat investor asing akan komoditas kakao meningkat. Namun, pengenaan tarif bea keluar terhadap biji kakao di dalam negeri dinilai percuma apabila ekspor ke Uni Eropa masih dikenakan bea masuk, hilirisasi yang dilakukan di dalam negeri berpotensi tidak akan maksimal

Komponen pemerintah memiliki keunggulan dimana pemerintah melakukan intervensi kebijakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas pasar kakao dengan menerapkan Bea Keluar untuk kakao, menghapus pengenaan PPN atas biji kakao, penyediaan bibit kakao kualitas unggul melalui Gernas Kakao, dan kerja sama kemitraan guna meningkatkan kualitas kakao nasional. Komponen kesempatan juga memiliki keunggulan dimana Indonesia memiliki peluang yang cukup besar dalam meningkatkan daya saing.

Pada Gambar 5.3. akan digambarkan faktor apa saja yang menjadi kelemahan dan keunggulan komoditas kakao Indonesia. Tanda (+) menunjukkan faktor tersebut memiliki keunggulan bersaing pada kakao Indonesia, sedangkan tanda (-) menunjukkan kelemahan yang dimiliki kakao Indonesia.

(23)

Gambar 5.3. Keunggulan dan Kelemahan Komponen Porter’s Diamond

Kondisi Faktor (-)

1. SDA (+)

- Curah hujan tinggi

- Kelembapan tinggi, suhu 28˚ C - Ketinggian 0-800 m dpl 2. SDM (-)

- Tingkat keterampilan petani rendah

3. IPTEK (+)

- Pusat Penelitian Kakao & Kopi melakukan berbagai inovasi teknologi

4. Modal (-)

- Akses permodalan dinilai sulit 5. Infrastruktur (-)

- Pendistribusian kakao yang terlalu lama

- Terdapat penanganan biji kakao yang sesuai SNI untuk hasil yang berkualitas

Kondisi Permintaan (+)

- Perkembangan ekspor kakao cenderung meningkat - Permintaan dalam negeri meningkat menjelang Hari Valentine

- Minat investor asing meningkat sejak diberlakukan bea keluar kakao pada 2010

- Kakao menyimpan berbagai manfaat yang mampu menarik minat konsumen

Industri Terkait dan Pendukung (+)

1. Industri Terkait (+)

- Perkebunan kakao sebagai pemasok bahan baku, tersebar di semua pulau, terutama Sulawesi

2. Industri Pendukung (+) - Dibentuknya Dewan Kakao Indonesia

Strategi Perusahaan, Struktur, dan Persaingan (-)

- Struktur industri pengolahan kakao didominasi oleh 3 perusahaan utama, sehingga persaingan menjadi tidak kompetitif

- Pengenaan bea masuk kakao di Eropa membuat strategi bea keluar biji kakao Indonesia dinilai tidak maksimal

Peran Pemerintah (+)

- Bea Keluar - Penghapusan PPN - Gernas Kakao

- Kerjasama antara perusahaan pengelolaan kakao dengan lembaga pemerintah

Peran Kesempatan (+)

- Potensi besar yang dimiliki komoditas kakao Indonesia sebagai produsen kakao terbesar ketiga dunia

Gambar

Tabel 5.2. Hasil Estimasi Model Aliran Ekspor Kakao Indonesia
Gambar  5.1.  Hasil  Estimasi  EPD  Komoditas  Indonesia  dan  Negara Pengekspor di Kawasan Uni Eropa Tahun 2002
Tabel 5.5. Persyaratan Khusus Mutu Biji Kakao
Gambar 5.2. Perkembangan Ekspor Biji Kakao Tahun 2002
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Sidestream Smoke pada Kadar Sgpt Tikus Wistar Jantan (Rattus norvegicus); Nur Pradana Apreliantino, 091610101020; 2013: 43 Halaman; Fakultas Kedokteran

Namun pada penelitian Abdolkarim yang dilakukan di Mashhad, Iran mengenai resistensi antibiotik pada anak dengan diare berdarah dijelaskan bahwa 97% bakteri Shigella

Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis karakteristik mahasiswa berdasarkan kelompok mata kuliah dengan menggunakan analisis klaster K-Means pada alumni

Pasca Kemerdekaan peran Amerika Serikat dalam hal kemanusiaan tidak terlalu mencolok, hal ini dikarenakan dengan bantuan yang diberikan oleh Amerika Serikat kepada

Langkah ke-tiga adalah proses defuzzifikasi yaitu dengan mulai mencari alfa predikat pada masing – masing 18 rule pada metode wall follower yang digunakan dengan

Hasil penilaian yang diberikan oleh kedua validator terhadap lembar penilaian kinerja siswa pengembangan alat penilaian autentik pada pokok bahasan teorema Pythagoras

Uji korelasi untuk mengetahui pengaruh minuman kopi terhadap kekuatan otot atlet sepak bola berdasarkan kelompok perlakuan dan kelompok kontrol di SSB PERSISAC Kota

Faktor-faktor yang menyebabkan tidak berkembangnya sistem agribisnis kelapa di Indragiri Hilir, antara lain adalah: (1) sebagian besar teknologi belum dapat digunakan petani, (2)