• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. Sesuai dengan variabel yang hendak diteliti maka berikut akan disajikan kajian tentang:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. Sesuai dengan variabel yang hendak diteliti maka berikut akan disajikan kajian tentang:"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN TEORI

Sesuai dengan variabel yang hendak diteliti maka berikut akan disajikan kajian tentang:

2.1 Manajemen Pendidikan Karakter

2.1.1 Konsep Pendidikan Karakter

“Pendidikan merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang” (Hasan, 2010: 3).

Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat pada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa (Hasan, 2010: 3).

Suyanto (2014) menyatakan bahwa: Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. (www.pendidikankarakter.org. Diunduh Senin, 2 Juni 2014)

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang terencana dalam membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik dengan menginternalisasi berbagai kebajikan sehingga

(2)

menghasilkan pribadi yang cerdas emosinya, bermoral sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh seluruh warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.

2.1.2 Metodologi Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter memerlukan metodologi yang efektif, aplikatif dan produktif untuk mempermudah dalam mencapai tujuannya. Menurut Doni Koesoemo A dalam Asmani (2011: 67-70), metodologi pendidikan karakter adalah sebagai berikut:

a) Pengajaran

Mengajarkan pendidikan karakter dalam rangka memperkenalkan pengetahuan teoritis tentang konsep-konsep nilai. Anak-anak akan banyak belajar dari pemahaman dan pengertian tentang nilai-nilai yang dipahami olah para pendidik dalam setiap perjumpaan mereka.

(3)

b) Keteladanan

Keteladanan menjadi salah satu hal klasik bagi berhasilnya sebuah tujuan pendidikan karakter. Tumpuan pendidikan karakter ada pada pundak pendidik. Karakter pendidik (meskipun tidak selalu) menentukan warna kepribadian peserta didik.

c) Menentukan Prioritas

Lembaga pendidikan memiliki prioritas dan tuntutan dasar atas karakter yang ingin ditetapkan di lingkungan mereka. Pendidikan karakter menghimpun banyak kumpulan nilai yang dianggap penting bagi pelaksanaan dan realisasi atas visi lembaga pendidikan.

d) Praksis Prioritas

Unsur lain yang sangat penting bagi pendidikan karakter adalah bukti dilaksanakannya prioritas nilai pendidikan karakter tersebut. Berkaitan dengan tuntutan lembaga pendidikan atas prioritas nilai yang menjadi visi kinerja pendidikannya, lembaga pendidikan mesti mampu membuat verifikasi sejauh mana visi sekolah telah dapat direalisasikan.

e) Refleksi

Karakter yang ingin dibentuk oleh lembaga pendidikan melalui berbagai macam program dan kebijakan senantiasa perlu dievaluasi dan direfleksikan secara berkesinambungan dan kritis. Jadi, setelah diadakan dan praksis pendidikan karakter itu terjadi, perlulah diadakan semacam pendalaman dan refleksi untuk melihat sejauh mana lembaga pendidikan telah berhasil atau gagal dalam melaksanakan pendidikan karakter.

Berdasarkan Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter yang dikembangkan Kemendiknas (2011: 9), “Proses pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, psikomotorik) dan fungsi totalitas sosio-kultural pada konteks interaksi dalam keluarga, satuan pendidikan serta masyarakat”.

Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosio-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik

(4)

(Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut (Kemdiknas, 2011: 9):

Gambar 2.1

Konfigurasi Pendidikan Karakter

Menurut Ki Hadjar Dewantara dalam Haryanto (2010), “pembentukan karakter seseorang dapat dilakukan melalui Tripusat Pendidikan yaitu: 1) Pendidikan di lingkungan keluarga, 2) Pendidikan di lingkunan perguruan, dan 3)

(5)

Pendidikan di lingkungan kemasyarakatan atau alam pemuda”.

Berdasar paparan di atas tentang pandangan pembentukan karakter seseorang perlu melibatkan keluarga, sekolah dan masyarakat. Pengembangan karakter peserta didik perlu memperhatikan konteks totalitas psikologis dan sosio-kultural yang meliputi pengetahuan, sikap dan keterampilan, melalui olah hati, olah pikir, olah raga dan kinestetik serta olah rasa dan karsa. Kesemunya itu dapat diusahakan dalam bentuk pengajaran dan pendidikan, keteladanan, penentuan skala prioritas serta refleksi dan evaluasi.

2.1.3 Strategi Pendidikan Karakter

Pendekatan yang digunakan Kementerian Pendidikan Nasional (2011: 11) dalam pengembangan pendidikan karakter, yaitu: “pertama melalui stream top down; kedua melalui stream bottom up; dan ketiga melalui stream revitalisasi program”. Ketiga alur tersebut digambarkan dalam diagram yang berikut:

(6)

Gambar 2.2

Strategi Kebijakan Pendidikan Karakter

Strategi yang dimaksud secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: (Kemdiknas, 2011: 11-12)

1. Intervensi melalui kebijakan (Top - Down)

Jalur/aliran pertama inisiatif lebih banyak diambil oleh Pemerintah/Kementerian Pendidikan Nasional dan didukung secara sinergis oleh Pemerintah daerah dalam hal ini Dinas pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam strategi ini pemerintah menggunakan lima strategi yang dilakukan secara koheren, yaitu:

(7)

Kegiatan ini bertujuan untuk membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya pendidikan karakter pada lingkup/tingkat nasional, melakukan gerakan kolektif dan pencanangan pendidikan karakter untuk semua. b. Pengembangan regulasi

Untuk terus mengakselerasikan dan membumikan Gerakan Nasional Pendikan Karakter, Kementerian Pendidikan Nasional bergerak mengkonsolidasi diri di tingkat internal dengan melakukan upaya-upaya pengembangan regulasi untuk memberikan payung hukum yang kuat bagi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan pendidikan karakter.

c. Pengembangan kapasitas

Kementerian Pendidikan Nasional secara komprehensif

dan massif akan melakukan upaya-upaya

pengembangan kapasitas sumber daya pendidikan karakter. Perlu disiapkan satu sistem pelatihan bagi para pemangku kepentingan pendidikan karakter yang akan menjadi pelaku terdepan dalam mengembangkan dan mensosialisikan nilai-nilai karakter.

d. Implementasi dan kerjasama

Kementerian Pendidikan Nasional mensinergikan berbagai hal yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan karakter di lingkup tugas pokok, fungsi, dan sasaran unit utama.

e. Monitoring dan evaluasi

Secara komprehensif Kementerian Pendidikan Nasional akan melakukan monitoring dan evaluasi terfokus pada

(8)

tugas, pokok, dan fungsi serta sasaran masing-masing unit kerja baik di Unit Utama maupun Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, serta pemangku kepentingan pendidikan lainnya. Monitoring dan evaluasi sangat berperan dalam mengontrol dan mengendalikan pelaksanaan pendidikan karakter di setiap unit kerja.

2. Pengalaman Praktisi (Bottom - Up)

Pembangunan pada jalur/tingkat ini diharapkan dari inisiatif yang datang dari satuan pendidikan. Pemerintah memberikan bantuan teknis kepada sekolah-sekolah yang telah mengembangkan dan melaksanakan pendidikan karakter sesuai dengan ciri khas di lingkungan sekolah tersebut.

3. Revitalisasi Program

Pada jalur/tingkat ketiga, merevitalisasi kembali program-program kegiatan pendidikan karakter di mana pada umumnya banyak terdapat pada kegiatan ekstrakurikuler yang sudah ada dan sarat dengan nilai-nilai karakter.

2.2 Evaluasi Program dan Model-modelnya

2.2.1 Evaluasi Program

Evaluasi merupakan suatu aktivitas pengendalian yang memungkinkan intervensi yang positif. Evaluasi memeriksa arah yang diambil dan mengevaluasi hasil atau penyimpangannya dari perencanaan sebelumnya. Evaluasi harus bersifat komprehensif dan terbuka terhadap berbagai kritikan (Sa’ud dan Makmun ,2009: 228).

“Evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya

(9)

informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan” (Arikunto dan Jabar, 2014: 2).

“Evaluasi program adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan program” (Arikunto, 2002: 290).

Menurut Ralph Tyler dalam Arikunto dan Jabar (2014: 5) mengatakan bahwa “evaluasi program adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan sudah dapat terealisasikan”.

Berdasarkan paparan tersebut maka pengertian evaluasi program adalah suatu kegiatan yang berupa proses mengukur dan menilai suatu program dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan program, apakah di atas standar, sama dengan standar ataukah di bawah standar.

Evaluasi merupakan penerapan prosedur ilmiah yang sistematis untuk mengukur dan menilai perencanaan, implementasi dan keberhasilan suatu program. Hasil evaluasi digunakan untuk penyempurnaan program dan implementasi suatu program secara keseluruhan

2.2.2 Tujuan Evaluasi Program

Tujuan evaluasi program diarahkan dan dirumuskan bertitik tolak pada tujuan program untuk dapat diperoleh rekomendasi, setelah evaluasi program dilaksanakan.

“Evaluasi program biasanya dilakukan untuk kepentingan pengambil kebijaksanaan untuk menentukan kebijaksanaan selanjutnya” (Arikunto, 2002: 292). “Evaluasi program sangat bermanfaat bagi pengambil keputusan karena

(10)

dengan masukan hasil evaluasi program itulah para pengambil keputusan akan menentukan tindak lanjut dari program yang sedang atau telah dilaksanakan”. (Arikunto, 2014: 29).

“Evaluasi memeriksa arah yang diambil dan mengevaluasi hasil atau penyimpangan dari perencanaan sebelumnya”. (Sa’ud dan Makmun, 2009: 228).

Berdasarkan paparan tersebut disimpulkan bahwa tujuan evalusi program adalah tindakan yang dirumuskan dan diarahkan untuk mengevaluasi tujuan program yang telah direncanakan sebelumnya, apakah hasilnya sesuai dengan perencanaan ataukah terdapat penyimpangan sebagai masukan kepada pengambil keputusan dari program tersebut dalam bentuk rekomendasi.

Evaluasi program bertujuan untuk mengetahui pencapaian tujuan program yang telah dilaksanakan. Selanjutnya, hasil evaluasi program digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan tindak lanjut atau untuk melakukan pengambilan keputusan berikutnya.

2.2.3 Model-model Evaluasi Program

Menurut Kaufan dan Thomas dalam Arikunto dan Jabar (2014: 40-41) membedakan model evaluasi program menjadi delapan, yaitu:

a) Goal Oriented Eavaluation Model, dikembangkan oleh Tyler. Objek pengamatan model ini adalah tujuan dari program. Evaluasi dilaksanakan berkesinambungan, terus-menerus untuk mengetahui ketercapaian pelaksanaan program.

(11)

b) Goal Free Eavaluation Model, dikembangkan oleh Scriven. Dalam melaksanakan evaluasi tidak memperhatikan tujuan khusus program, melainkan bagaimana terlaksananya program dan mencatat hal-hal yang positif maupun negatif.

c) Formatif Summatif Evaluation Model, dikembangkan oleh Michael Scriven. Model evaluasi ini dilaksanakan ketika program masih berjalan (evaluasi formatif) dan ketika program sudah selesai (evaluasi sumatif).

d) Countenance Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake. Model ini juga disebut model evaluasi pertimbangan. Evaluator mempertimbangkan program dengan membandingkan kondisi hasil evaluasi program dengan yang terjadi di program lain, dengan objek sasaran yang sama dan membandingkan kondisi hasil pelaksanaan program dengan standar yang ditentukan oleh program tersebut.

e) Responsisive Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake. Dalam model evaluasi ini Stake mendefinisikan evaluasi sebagai suatu nilai pengamatan dibandingkan dengan keahlian. Model ini berdasarkan pada apa yang biasa individu lakukan untuk menilai suatu perkara. f) CSE-UCLA Evaluation Model, menekankan pada

“kapan” evaluasi dilakukan. Model ini meliputi empat tahap, yaitu:

Needs assessment, memusatkan pada penentuan

(12)

program, kebutuhan uang dibutuhkan oleh program, dan tujuan yang dapat dicapai.

Program planning, perencanaan program dievaluasi untuk mengetahui program disusun sesuai analisis kebutuhan atau tidak.

Formative evaluation, evaluasi dilakukan pada

saat program berjalan.

Summative program, evaluasi untuk mengetahui

hasil dan dampak dari program serta untuk mengetahui ketercapaian program.

g) CIPP Evaluation Model (Context Input Process Product), yang dikembangkan oleh Stufflebeam. Masing-masing istilah menurut Arikunto dan Jabar (2014: 46-47) dijelaskan sebagai berikut:

Context evaluation (Evaluasi terhadap Konteks).

Evaluasi konteks adalah upaya untuk menggambarkan terhadap kebutuhan, tujuan pernenuhan dan karakteristik individu yang menangani. Seorang evaluator harus sanggup menentukan prioritas kebutuhan dan memilih tujuan yang paling menunjang kesuksesan proyek/program.

Input evaluation (Evaluasi terhadap Masukan).

Evaluasi masukan mempertimbangkan kemampuan awal atau kondisi awal yang dimiliki oleh institusi untuk melaksanakan sebuah program.

Process evaluation (Evaluasi terhadap Proses).

Evaluasi proses menunjuk pada apa, siapa dan kapan serta diarahkan pada sejauh mana program dilakukan dan sudah terlaksana sesuai dengan rencana.

Product evaluation (Evaluasi terhadap Hasil). Ini

merupakan tahap akhir dari serangkaian evaluasi program dan akan diketahui ketercapaian tujuan,

(13)

kesesuaian proses dengan pencapaian tujuan, dan ketepatan tindakan yang diberikan, serta dampak dari program.

h) Discrepancy Model, yang dikembangkan oleh Malcolm Provus. Model ini ditekankan untuk mengetahui kesenjangan yang terjadi pada setiap komponen program. Evaluasi kesenjangan dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara standar yang sudah ditentukan dalam program dengan penampilan aktual dari program tersebut.

2.2.4 Model Evaluasi Program yang akan Digunakan

Evaluasi merupakan proses mengumpulkan informasi sehingga evaluasi harus mempunyai komponen-komponen, tahapan serta teknik/strategi yang akan digunakan. Model evaluasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model evaluasi CIPP (context, input, process, product).

Peneliti mencari data dan informasi dari informan yang terdiri dari manajemen sekolah SMP Negeri 1 Limbangan (TIM Pengembang Sekolah I/ II) dari unsur konteks untuk mengetahui latar belakang kebijakan program pendidikan karakter, apakah program pendidikan karakter merupakan kebutuhan yang mendesak/utama/pokok.

Peneliti mencari data dan informasi dari informan yang terdiri dari manajemen sekolah SMP Negeri 1 Limbangan (Tim Pengembang Sekolah I/II) dari unsur input untuk mengetahui kondisi awal yang dimiliki (kesiapan Sumber Daya Manusia, komitmen pimpinan, sarpras, RKAS).

(14)

Peneliti mencari data dan informasi dari informan yang terdiri dari manajemen sekolah SMP Negeri 1 Limbangan (Tim Pengembang Sekolah I/II) dari unsur proses untuk mengetahui apa, siapa dan kapan serta sejauh mana program telah dilaksanakan dan hambatan apa yang dijumpai selama pelaksanaan program dan bagaimanakah solusinya.

Karena evaluasi dalam penelitian ini, peneliti menggunakan evaluasi formatif yakni program masih berlangsung, maka cakupan model evaluasi CIPP hanya meliputi: context, input, process (Konteks, Input, dan Proses).

Argumentasi pemilihan model evaluasi CIPP adalah sebagai berikut:

 Untuk mengetahui gambaran kebutuhan terhadap program pendidikan karakter, gambaran tenaga dan sarana pendukung terhadap program pendidikan karakter serta gambaran proses pelaksanaan program pendidikan karakter.

 Untuk mengetahui ada tidaknya kendala/hambatan terhadap program pendidikan karakter dan bagaimanakah upaya-upaya untuk mengatasinya.

 Untuk memberikan informasi sebagai rekomendasi kepada kepala sekolah sehingga dapat menentukan tindak lanjut dari program pendidikan karakter.

2.3 Penelitian yang Relevan

Penelitian ini mengacu pada penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pendidikan karakter baik yang terjadi di lingkungan Pendidikan Dasar (SD dan

(15)

SMP/MTs), Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi. Hasil penelitian terdahulu baik dalam bentuk tesis maupun yang dimuat di Jurnal menunjukkan pentingnya pembentukan karakter peserta didik, seperti di SMA Negeri 3 Semarang yang diintegrasikan dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam secara Intrakurikuler dan Ekstrakurikuler. Bahkan dalam jurnal pendidikan disebutkan bahwa “generasi 2045 disebut berkarakter generasi emas” (Manullang, 2013: 1).

Hasil penelitian Nugroho (Tesis: 2012) yang berjudul: Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Agama Islam di SMA N 3 Semarang, menyatakan bahwa Implementasi Pendidikan Karakter dalam PAI di SMA 3 Semarang dilaksanakan dengan dua cara, yakni: intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Dalam implementasinya, Pendidikan Karakter dalam PAI tidak jauh berbeda dengan sebelum adanya pendidikan karakter. Perbedaannya dalam perencanaan pembelajaran ditambah dengan kolom pendidikan karakter.

Penelitian Hidayat (Jurnal Inovasi dan Kewirausahaan, 2012) yang berjudul Manajemen Sekolah Berbasis Karakter, menghasilkan kajian sebagai berikut : (1) Strategi implementasi manajemen sekolah berbasis karakter mencakup strategi aspek : Efisiensi Input; Efektivitas Process;) Produktivitas Output; Relevansi Outcome; (2) Hal penting dalam upaya mempersiapkan potensi SDM adalah peningkatan kompetensi spiritual karakter personal; (3) Indikator keberhasilan implementasi manajemen sekolah

(16)

berbasis karakter ini yang mencakup keberhasilan proses dan hasil pada semua aspek komponen manajemen; (4) Desain harus disesuiakan dengan kondisi, target dan tujuan; (5) Strategi evaluasi, dilakukan dua tahapan, yakni tahapan evalusi diri dan tindak lanjut perbaikan; (6) Hambatan terbesar adalah lemahnya komitmen dan potensi karakter pada personal; (7) Komponen-komponen penting pada rumusan kebijakan.

Rianse (Rektor Universitas Haluoleo, 2013) dengan artikelnya yang berjudul: Praktik Pendidikan Karakter di Universitas HALUOLEO, mengemukakana bahwa: Model pendidikan berkarakter Mengelola Hidup Merencanakan Masa Depan (MHMMD). Model pendidikan ini tidak hanya berlaku untuk mahasiswa saja, tetapi juga mencakup semua yang terlibat di lembaga pendidikan kampus. Banyak hal positif yang dihasilkan oleh model pendidikan berkarakter ini. Hampir semua aspek di dalam kampus bisa dikembangkan dengan maksimal. Mulai dari asrama kampus, training kepribadian, kewirausahaan, kesenian, olahraga, dan kebersihan lingkungan.

Manullang (Jurnal Pendidikan Karakter, 2013) dengan artikelnya yang dimuat dalam Grand Desain Pendidikan Karakter Generasi Emas 2045, menyebutkan bahwa: Generasi 2045 disebut “berkarakter generasi emas” haruslah memiliki sikap positif, pola pikir esensial, komitmen normatif dan kompetensiabilitas, dan berlandasan IESQ (kecerdasan intelektual-IQ, emosional-EQ, dan spiritual-SQ). Sikap positif adalah representasi perilaku tentang nilai Pancasila dan nilai

(17)

kemanusiaan. Pola pikir esensial adalah perilaku tidak hanya berlandaskan pertimbangan rasional dan pembuktian empirik, melainkan juga suprarasional. Komitmen normatif adalah kesetiaan atau loyalitas berbasis spirit internal. Kompetensi abilitas adalah profesionalitas pada tingkat seni. Landasan IESQ (kecerdasan intelektual-IQ, emosional-EQ, dan spiritual-SQ) adalah fokus pendidikan pada kecerdasan komprehensif. Karakter Generasi Emas 2045 adalah kekuatan utama membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju, jaya dan bermartabat.

Glenn (European Journal for Education Law and Policy,1999) in “Character-building and freedom in education”: Educators, parents, and policy-makers in the United States, as in other countries, are concerned about the apparent inability of many schools to contribute to the development of character and civic virtue in their pupils. Schools which exhibit a distinctive character based upon a shared understanding of the goals of education are effective not only in teaching academics but also in developing positive character traits in their pupils. Pendidik, orang tua, dan pembuat kebijakan di Amerika Serikat, seperti di Negara-negara lain, prihatin tentang ketidakmampuan banyak sekolah untuk berkontribusi pada pengembangan karakter dan kebajikan sipil murid mereka. Sekolah yang menunjukkan karakter khas yang didasarkan pada pemahaman bersama tentang tujuan-tujuan pendidikan tidak efektif hanya dalam mengajar akademik tetapi juga dalam mengembangkan ciri-ciri karakter positif dalam murid-murid mereka.

(18)

Aslan (International Journal of Instruction, 2011) in “Handbook of Moral And Character Education”: The purpose of this handbook is to move beyond discourse to bring together a collection of chapters by the top researchers and scholars in the field that reflects the state of the art in moral and character education. Buku ini bertujuan untuk bergerak melampaui wacana bersama-sama mengoleksi atas bab peneliti yang ahli di bidang seni dan moral yang mencerminkan keadaan pendidikan karakter.

2.4 Kerangka Berpikir

Karakteristik obyek penelitian unik dan berbeda dibandingkan dengan sekolah lain se Kabupaten Kendal, terutama karakter religius dan seni budaya (karakter kebangsaan) dimana sholat berjama’ah di SMPN 1 Limbangan wajib dilaksanakan seluruh warga sekolah yang mayoritas muslim setiap hari secara rutin, sementara di sekolah lain pelaksanaannya dijadwal secara bergiliran. Oleh karena itu kemudian yang religius menjadi salah satu program best practice. Selain karakter religius, seni budaya (karakter kebangsaan) Karakter Peduli Lingkungan juga mempunyai keunikan dengan program Jum’at bersih dan gaya hidup sehat/Senam Kesegaran Jasmani (SKJ) yang dilaksanakan setiap Jum’at dan diikuti seluruh warga sekolah. Seluruh peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan mendapatkan kapling yang kebersihannya manjadi tanggung jawabnya. Setiap kelas dibagi dua kelompok, secara bargantian bertugas di kaplingnya/kelas dan Senam

(19)

Kesegaran Jasmani/SKJ. Demikian juga karakter Nasionalis/Cinta Tanah Air/Kebangsaan juga berbeda dengan sekolah lain yakni Seni Budaya Tari, Keroncong, Karawitan dan Wayang Kulit.

Untuk mengetahui bagaimanakah unsur konteks, input dan proses program perlu diadakan evaluasi dengan tujuan agar sekolah/organisasi tidak mengulang kesalahan yang pernah terjadi, karena tanpa evaluasi tidak dapat mengetahui konteks program, input program, proses program, implementasi program dan kendala-kendala yang ada. Untuk itu dilaksanakanlah evaluasi dengan model evaluasi CIPP (context, input, process, product).

Dalam penelitian ini penggunaan CIPP tidak secara lengkap, karena evaluasi program yang digunakan peneliti evaluasi formatif yakni program masih berlangsung, maka cakupan model evaluasi CIPP hanya meliputi: context, input, process (Konteks, Input, dan Proses).

Gambaran kerangka berpikir jika disajikan dalam bentuk bagan tampak seperti yang berikut:

(20)

Gambar 2.3

Evaluasi Program Pendidikan Karakter dengan Model CIP

Program Pendidikan Karakter Konteks : Latar belakang, kebutuhan , kebijakan manajemen sekolah, mencapai visi dan misi

sekolah

Input : Kesiapan SDM, komitmen pimpinan,

sarpras, program, ,anggaran/ dana, strategi

Proses: Sosialisasi, jadwal, motivasi, evaluasi,

hambatan dan solusi

Feed Back / Rekomendasi Feed Back / Rekomendasi

(21)

Referensi

Dokumen terkait

Tata Usaha pada UPTD Tindak Darurat Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda Eselon

Dengan melalui pleno dua kali yakni pada 17 Mei 2019 dan 20 Mei 2019 maka diper- oleh 25 (dua puluh lima) Unit Kerja yang memenuhi syarat untuk diajukan sebagai predikat WBK dan

Salah satu fungsi utama lembaga keuangan syariah adalah untuk memenuhi berbagai keperluan komersial, investasi dan memberikan pelayanan yang luas kepada nasabah,

sudah banyak yang bersembunyi meninggalkan beban mereka yang kemarin mencuri kekayaan negeri. sudah meninggalkan utang dan lari mencari selamat sendiri rasanya

Dalam buku Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (2003) telah dijelaskan bahwa huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama ilmiah atau ungkapan asing kecuali

(stakeholder), oleh karena itu perlu adanya suatu pengukuran kinerja yang tidak hanya melihat aspek financial tetapi juga aspek non financial, akan tetapi kebanyakan

Skripsi berjudul “Persepsi Masyarakat Tentang Makna Punakawan Dalam Cerita Wayang ( Studi di Desa Ngareanak, Kec. Kendal )” dengan latar belakang bahwa pagelaran