• Tidak ada hasil yang ditemukan

WAWANCARA DENGAN BHANTE SADDHANYANO MENGENAI TEMA PELAYANAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "WAWANCARA DENGAN BHANTE SADDHANYANO MENGENAI TEMA PELAYANAN"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

WAWANCARA DENGAN BHANTE SADDHANYANO MENGENAI TEMA PELAYANAN

Tgl 16 Des 2013 pkl.19.20 – 20.30 di Vihara Dharma Bhakti

Namo Buddhaya, Bhante, mohon kiranya dapat berbagi cerita bagaimana Bhante bisa berkenalan dengan agama Buddha, dan secara khusus apa motivasinya sampai akhirnya memutuskan bergabung dalam komunitas Sangha?

Dulunya ketika masih kecil, pada waktu belum bersekolah, saya sempat diajak orang-tua ke Vihara dan ke kelenteng. Namun ketika sudah memasuki sekolah SD dan SMP saya tidak mendapat pendidikan agama Buddha, jadi yang didapatkan adalah pendidikan agama lain. Setelah bersekolah saya tidak ke Vihara lagi, karena mengikuti pendidikan agama lain. Setelah tamat SMP, barulah saya sekolah di sekolah agama Buddha, jurusan pendidikan guru Agama Buddha. Nah di situlah saya kenal agama Buddha secara mendalam. Mulai dari yang basic tentang makna berlindung, tentang hukum-hukum alam yang diajarkan Buddha, sampai konsep-konsep tentang Ketuhanan. Beruntung sekali selama pendidikan 3 tahun ini saya mendapatkan komunitas teman-teman sekolah yang baik. Sekolah saya jauh di Banyumas, kita semua siswa-siswi tinggal di asrama sekolah. Jadi walaupun status kita pelajar, tapi kita di sana sudah layaknya seperti saudara. Suasana di sana membuat saya jadi betah, merasakan adanya penerimaan dari teman-teman, termasuk dari kakak kelas yang sangat bersahabat, mereka menganggap kita seperti adik sendiri. Selama di PGA ini saya mendapat berkah karena kita sering ketemu dengan Bhikkhu. Seringkali ada Bhante dari Mahayana dan Theravada yang datang ke sana memberikan ceramah atau mengajar di kelas. Ketika melihat para Bhante, di dalam hati ini ada tersirat keinginan untuk menjadi seperti mereka. Kesan yang saya rasakan ketika bertemu dengan para Bhante itu. Mereka tampak bahagia, tenang, hidupnya jelas, banyak menolong orang. Itu membuat saya

tertarik. Karena dulu saya aktif di Pramuka, maka saya senang dengan kegiatan yang sifatnya pelayanan dan petualangan. Akhirnya setelah saya lulus sekolah, tahun 1989 saya mengajar di Sibolga, Sumatera-Utara. Saya juga sering bertemu Bhikkhu di sana. Sebelum mengajar di Sibolga, saya sempat ke Medan dan aktif di Vihara mengikuti Bhante untuk berkelilling memberikan pelayanan. Saya semakin

termotivasi, karena saya melihat jadwal Bhante jelas, setiap hari bangun jam 4 pagi, ada meditasi, sembahyang, ceramah, dan melayani umat. Jadi saya berpikir bahwa hidup itu harus begini, jelas, dan yang dilakukan berguna. Sehingga, dalam benak saya muncul kembali keinginan untuk menjadi Bhikkhu. Tapi saya terlanjur harus mengajar karena sudah diterima menjadi guru di Sibolga. Pada waktu

mengajar, saya sempat bertemu Bhante Ariyamaitri. Saat itu Beliau sedang memberikan ceramah yang sangat bagus. Saya melihat kalau Beliau terkesan sangat terpelajar dan sangat menarik. Sehingga saya memberanikan diri menyampaikan niat untuk menjadi Samanera, dan itu diterima. Faktor utama yang membuat saya kemudian memutuskan menjadi Bhikkhu, selain karena sering mengenal Bhikkhu-bhikkhu, lingkungan teman saya juga mendukung. Guru-guru yang juga teman saya hampir semuanya sudah pernah menjadi Samanera, sedangkan saya belum. Dari sanalah saya makin semangat untuk ingin menjadi Samanera.

(2)

Oh ya Bhante, bagaimana secara struktural di dalam Sangha, yang kemudian sampai Bhante saat ini dapat menjabat sebagai Maha Nayaka?

Kalau secara struktur organisasi, Sangha Agung dipimpin oleh Maha Nayaka, Ketua Umum dan Maha Adhikari. Saya bergabung di SAGIN menjadi Samanera tahun 1990 di Bandung, lalu dikirim ke Pacet menjadi Bhikkhu pada tahun 1991. Dalam organisasi Sangha, dulu waktu Bhante Ashin (Sukong) masih hidup, beliau adalah Maha Nayaka. Istilah ini sama dengan Ketua umum, membawahi nayaka-nayaka dari sekte yang ada dari Theravada, Mahayana dan Tantra. Tapi di luar itu, Sangha ada pembinaan ke umat yang dibantu MBI. Bhikkhu-bhikkhu yang melayani di daerah-daerah dibuat rayon-rayon, waktu itu berjumlah 12 rayon. Susunan organisasi saat itu sempat berubah. Bhante Ashin sebagai Maha Nayaka dibantu Sekjen. Kemudian, berubah dengan ada yang disebut dengan wakil Maha Nayaka (Anu Maha Nayaka). Setelah Sukong meninggal, Maha Nayaka nya digantikan oleh Bhante Vimala. Namun

perkembangan selanjutnya, kalo dulu pelayanan ke umat Buddha tetap ditangani Sukong sebagai yang tertinggi, begitu juga pembinaan kepada bhikkhu/bhikkhuni. Namun setelah Sukong meninggal, khusus pendidikan bhikkhu Sangha dibawah tanggung-jawab Maha Nayaka, sedangkan pembinaan dan

pelayanan di Vihara-vihara, majelis dan umat ditangani oleh Ketua Umum. Di tahun 2011 akhir, ada Sangha Samaya, karena Bhante Vimala jabatannya berakhir, Beliau tidak melanjutkan sebagai Maha Nayaka, dan memberikan kesempatan kepada yang lain. Dan, para bhikkhu kemudian menunjuk saya untuk menjadi Maha Nayaka, yang bertanggung-jawab atas kelangsungan anggota Sangha Agung, bekerjasama dengan nayaka-nayaka dari Sangha lainnya, dan termasuk mengadakan pelatihan bagi umat untuk menjadi Samanera dan Bhikkhu. Sebelum jadi Maha Nayaka, saya cukup lama menjadi ketua SAGIN untuk wilayah Jakarta, dari tahun 1995 sampai tahun 2011.

Apakah Bhante dapat menceritakan sedikit sejarah Vihara Dharma Bhakti, visi-misinya dan terutama bagaimana Bhante bisa bergabung dan melayani Vihara Dharma Bhakti?

Vihara Dharma Bhakti berada di bawah Yayasan Karya Dharma Bhakti Indonesia yang diketuai oleh Pak Hasan. Saat itu, Pak Hasan cukup dekat dengan Bhante Ashin (Sukong). Ketika itu, Yayasan

membutuhkan dan meminta adanya Bhikkhu Sangha di Jakarta. Saat itu bulan Maret 1990 saya menjadi Samanera, dan setelah bertugas di Sukabumi, untuk pertama kalinya saya diminta bertugas ke Jakarta. Saya bertugas sekitar 4-5 bulan di Jakarta dan ditempatkan di Vihara ini, kemudian ditugaskan ke Lampung. Setelah 3 bulan di Lampung, saya menjadi Bhikkhu pada bulan Februari 1991 di Vihara Sakyavanaram. Setelah menjadi Bhikkhu, saya dikirim lagi ke Jakarta. Saat di Jakarta, terutama jika ada acara-acara perayaan atau undangan ceramah, saya tinggal di Vihara Dharma Bhakti. Seringkali saya juga tinggal di rumah umat di Tebet atau di Tomang yang memang khusus disiapkan umat untuk tempat tinggal Bhikkhu. Waktu itu, Vihara Dharma Bhakti hanya memiliki 1 kamar menginap, sehingga jika ada Bhikkhu dari luar yang datang ke Jakarta, mereka menginap terpaksa di rumah umat. Tahun 1995 setelah Vihara Ekayana dibangun, saya menetap di Vihara Ekayana sampai tahun 1998. Singkat cerita, pada tahun 1998, terjadi kerusuhan, keadaan mencekam, saat itu saya ditugaskan lagi dan menetap di Vihara Dharma Bhakti. Sebelumnya hanya sebentar-sebentar saja, hanya tinggal 1 atau 2 bulan, dan pergi keliling Indonesia. Saya menetap di Vihara Dharma Bhakti sampai tahun 2002, ketika itu Sukong

(3)

meninggal, dan kebetulan saat itu banjir besar, Vihara kebanjiran, sehingga saya terpaksa mengungsi. Lalu ada rencana Vihara akan direhab, otomatis saya pindah kembali ke Vihara Ekayana. Tahun 2003, Vihara direnovasi atau dipugar, --dirubuhkan dan dibangun kembali. Pada tahun 2004 saya diminta Pak Hasan, selaku Ketua Yayasan dan saat itu ada Mami Aisiang, Cikiong dan Yohan, selaku Pengurus Vihara, untuk meminta saya kembali ke Vihara Dharma Bhakti menjadi Ketua Vihara melalui surat tugas resmi dari SAGIN pada tahun 2005. Sampai sekarang saya menetap di Vihara Dharma Bhakti. SK berlaku 5 tahun s/d tahun 2010, namun kemudian pengurus yang baru, Cikiong, meminta saya untuk diperpanjang dan tetap berada di Vihara Dharma Bhakti sampai sekarang. Bhikkhu di Jakarta memang kurang,

kebetulan pengurus dan umat mengenal saya sejak tahun 1990 itu, sudah sangat lama dari jaman Mami Aisiang, Cikiong, termasuk Ci Aching itu pengurus-pengurus lama dan mengenal saya. Sehingga jika cerita tentang GRBDB, mulai dari jaman Che An, Suyanto, Devi, Irianto, dan selanjutnya dari Yohan, Agus, Vira, Rizal, Teni, Liliana, Agustina sampai sekarang, Budi, saya mengetahui dan mengalaminya.

Bhante, bagaimana dengan visi-misi Vihara dan mengapa organisasi di Vihara ini menjadi banyak?

Dulu ketika saya datang, organisasi di Vihara ini yang eksis cuma satu, hanya GRBDB. Tetapi dulu Vihara ini belum ada pengurus, maka Pak Hasan selaku Yayasan langsung terjun menangani Vihara ini.

Beberapa tahun kemudian, dibuatlah BPH (Badan Pengurus Harian). Mami Aisiang dan teman-teman dipercaya mengurus sehari-harinya, misalnya jika ada Bhikkhu menginap, BPH ini yang mengetahui dan mengatur akomodasi, transport, konsumsi, dan lain-lainnya. Termasuk misalnya pembayaran listrik, air, dan pengeluaran rutin Vihara lainnya. Jadi, Yayasan menyerahkan tanggung-jawab ke BPH. Sebelum adanya BPH ini semua kebutuhan Vihara dibantu dari Yayasan. Dengan adanya BPH, maka semua menjadi lebih terkontrol. Kemudian, di tahun-tahun berikutnya muncul satu wadah lagi, yaitu Gelanggang Anak Buddhis Dharma Bhakti. Seiring semakin banyaknya umat, kemudian muncul

Kebaktian Mahayana setiap Ce It dan Cap Go, dan kebaktian Mahayana setiap Minggu sore. Selanjutnya, Mami Aicen bersedia diminta bantuan untuk mengurusi Kebaktian Mahayana Mandarin untuk ibu-ibu yang terbiasa Liam Keng. Dalam perkembangannya, setelah adanya sarasehan nasional yang

membentuk wadah IGABI (Ikatan Gelanggang Anak-anak Buddhis Indonesia), maka otomatis di Vihara ini berdiri organisasi yang kemudian dinamakan GABDB untuk sekolah minggu anak-anak yang sebelumnya menjadi tanggung-jawab dari GRBDB. Sedangkan yang muda-mudi yang biasanya Kebaktian Ce it Cap go dan Jumat malam, umumnya mereka bekerja dan bukan remaja lagi, kemudian mereka ingin memiliki wadah sendiri, maka lahirlah KMBDB, yaitu Keluarga Muda-mudi Buddhis Dharma Bhakti (redaksi: lebih dikenal kemudian sebagai KMVDB). Itulah mengapa di Vihara Dharma Bhakti sekarang banyak

organisasi. Akibat banyak organisasi ini, menyebabkan mereka fokus dengan keluarga organisasinya sendiri, sehingga hubungan dengan keluarga yang lain agak masalah. Misalnya, yang muda mungkin terlalu cuek dengan yang senior, yang ibu-ibu, jadi terkesan seolah-olah kurang respek. Begitu juga yang ibu-ibu, yang senior terkesan hanya fokus kepada urusan ibu-ibu, sehingga terkesan seolah-olah kurang sayang dengan yang remaja. Masalah ini dulu sempat muncul, namun belakangan dapat diatasi berkat adanya Dayaka Sabha yang lahir sekitar tahun 2005 (dulunya BPH kemudian berganti nama). Dayaka Sabha adalah team khusus untuk membantu Sangha dalam menangani kegiatan-kegiatan Vihara, sehingga masalah koordinasi ini dapat diselesaikan. Sejak saya di sini, saya diminta untuk memperjelas

(4)

visi-misi Vihara, dan akhirnya dicetuskan ada beberapa point penting. Yang pasti untuk visinya sejak dulu adalah untuk pendidikan, pelatihan dan pelayanan. Misinya untuk membantu MBI dan Sangha Agung dalam mengembangkan semangat Buddhayana. Pendidikannya secara spesifik adalah pendidikan Buddhis seperti ceramah-ceramah, dharmaclass, seminar atau kursus-kursus. Untuk pelatihan, sering diadakan retret, workshop, pabbaja, binawidya atau buddhis camp, dan lain-lain yang sifatnya pelatihan. Lalu, pelayanan sosial misalnya baksos, donor darah, dll. Kalo dulu masing-masing program terserah pada pengurus, dan kebanyakan jika ada liburan pasti jalan-jalan, seperti camping, tour, dll.

Pelatihannya masih kurang. Kemudian pelan-pelan berubah, setiap kepengurusan baru selalu diingatkan untuk memperhatikan 3 point penting ini. Dulu belum ada kegiatan meditasi dan seminar. Kalo kegiatan sosialnya sudah sering, sedangkan pelatihannya kurang. Nah, kalo sekarang sudah balance, karena pengurus Vihara sudah mulai banyak yang mengikuti retret atau pun vipassana. Seminar atau

dharmatalk juga sudah sering diadakan. Jadi sekarang semua pengurus sudah mengerti visi-misi Vihara Dharma Bhakti. Yang utama membantu mengembangkan semangat Buddhayana (non sektarian, inklusive, pluraris dan universal).

Menurut Bhante, apa yang dimaksud dengan Pelayanan? Dan, apa tujuan dan manfaat dari Pelayanan?

Pelayanan menurut saya adalah bekerja dengan tulus untuk kebahagiaan orang banyak. Seperti di waktu awal, Pak Hasan memberikan kesempatan kepada aktivis yang ada di Vihara Dharma Bhakti ini, saya mencoba menyambung apa yang Beliau lakukan, sehingga ketika saya terpilih sebagai Ketua Sangha Agung wilayah Jakarta, saya juga memberikan kesempatan diri saya untuk melayani. Bhikkhu melayani dengan memberikan ceramah dharma ke umat, pelayanan untuk orang sakit, orang meninggal, termasuk mengisi acara dharmatalk atau seminar, dan sebagainya. Jika berbicara tentang pelayanan, saya ingin agar setiap pengurus yang terpilih, juga memberikan kesempatan kepada diri sendiri bahwa inilah saatnya untuk ber-dharma bhakti. Jadi, harus ada kesadaran dari dalam, ketika ada tugas kepengurusan, kita tidak boleh menuntut sesuatu kepada Yayasan atau menuntut pengurus Vihara, tetapi justru inilah memberi kesempatan kepada diri sendiri untuk melayani sesuai dengan tugasnya. Misalnya, jika ada pengurus yang mendapat tugas di dalam sie kerohanian, inilah kesempatan mereka untuk berbuat sesuatu melalui sie kerohanian. Ada nilai-nilai dari dalam diri ini yang menjadi

berkembang, jadi kita menggunakan waktu juga berguna untuk orang lain, supaya merasakan manfaatnya, supaya tidak menjadi beban ketika mendapat kerjaan. Dan, juga tidak terjebak dalam keinginan untuk diperhatikan, karena ini kesempatan kita untuk praktek kebajikan. Seperti kehidupan Sangha yang saya jalani, kita tidak pernah mengharapkan mendapatkan penghargaan apapun, bukan itu tujuan kita. Meksi hanya bertemu umat yang senang dan senyum, itu sudah lebih dari cukup. Walaupun ada organisasi yang secara formal ingin memberikan sertifikat, penghargaan atau piagam atas

pengabdiannya, tapi saya rasa hal-hal tersebut jangan sampai menjadi mengganggu pikiran. Jadi, saya mengharapkan kesempatan melayani ini dijadikan kesempatan berbuat baik untuk kebahagiaan orang banyak.

(5)

Bhante, dalam satu pelayanan organisasi, seringkali terjadi perbedaan pendapat dan konflik. Apakah Bhante memiliki saran atau tips untuk mengatasinya?

Jadi begini, semua yang mau menjadi pengurus Vihara Dharma Bhakti, saya melihat mereka datang dengan kerelaan. Setiap dari mereka ditempatkan di pos masing-masing, ada yang sebagai dayaka sabha, ada yang di bagian pemuda, sekolah minggu, dan lain-lain. Sebenarnya secara wewenang atau tanggung-jawab, sudah jelas wilayah masing-masing. Jadi, di sini harus saling memahami bahwa orang yang kita anggap harusnya peduli sama kita, dan lain-lain, itu sebetulnya juga dalam kondisi yang sama bahwa dia sebetulnya juga ingin melihat yang lain peduli sama dia. Kadang-kadang kita yang tidak menyadari, kalau semua yang menjadi pengurus ini, sebetulnya hanya punya satu kekuatan yang membuat mereka mau, bukan karena dia mampu atau hebat, melainkan karena dia ada hati, yaitu hati untuk melayani. Jadi kalo ada konflik antara si A dan si B, antara kelompok A dan B, saya melihat karena komunikasi kurang, saya melihat ada pengurus yang sudah capek di sana-sini, lalu merasa kurang diperhatikan. Maka kita harus ingat bahwa alasan kita mau jadi pengurus, bukan karena ingin

diperhatikan, tetapi sebetulnya adalah kesempatan untuk memperhatikan. Kalau seperti ini, tentu kita tidak akan menjadi kecewa. Yang membuat kita kecewa karena kita sudah merasa menjadi pengurus, sudah capek dan tidak mendapat perhatian. Itulah yang menjadi masalah. Padahal kita semua sama-sama kurang perhatian. Kenapa kurang perhatian? Karena semua merasa ingin diperhatikan. Jika semua ingin diperhatikan, siapa yang akan memberikan perhatian? Tapi kalo kita datang dengan tujuan ingin memperhatikan, pasti semua akan mendapat perhatiannya. Nah ini sekarang terbalik, jadi kalo saya sejak semula ke Vihara Dharma Bhakti, niatnya memang mau melayani, memberi kesempatan seperti Pak Hasan memberi kesempatan kepada saya. Makanya saya tidak terlibat terlalu jauh, saya selalu memberi kepercayaan kepada semua organisasi yang ada di Vihara ini, yang penting programnya ini sesuai dengan visi-misi tadi, yaitu pendidikan, pelatihan dan pelayanan sosial. Tapi jenis kegiatannya saya serahkan kepada masing-masing. Beberapa pengurus di Vihara lain, mereka merasa dicampuri Yayasan dan Sangha, sehingga tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi di sini kita memberikan kebebasan, sehingga bagi yang tidak mengerti seolah-olah seperti dibiarkan. Sebetulnya tidak begitu, sebab kalo saya terlalu jauh mencampuri, nanti akhirnya malah pengurus-pengurus menjadi takut sama saya, karena saya termasuk perfectionis, yang jika sudah dilibatkan tanggung-jawab maka harus komitmen. Tapi saya tidak mau terlalu mencampuri, tapi memberikan kepercayaan, yang penting kegiatannya tidak menyimpang dari visi-misi Vihara. Karena saya merasakan bahwa Pak Hasan memberikan kepercayaan kepada saya, dan Beliau tidak pernah mencampuri. Beliau cuma berpesan satu hal: Vihara ini jangan menjadi tempat judi, hanya itu. Sepanjang itu kegiatan positif, apa saja silahkan. Dengan demikian, saya tidak merasa bersalah. Setiap organisasi pasti ada masalah, tapi kalau ada komunikasi dan ada saling pengertian maka ada jalan keluar. Jika ada masalah sesama teman atau pengurus, atau dengan

pengurus yang lain, yang terpenting adalah jangan sampai ada dendam, harus saling memaafkan. Itulah harapan saya.

(6)

Pertanyaan terakhir Bhante, terkait dengan pergantian kepengurusan, mungkin Bhante memiliki kesan-pesan untuk pengurus lama, dan ada pesan-pesan yang ingin disampaikan untuk kepengurusan baru mendatang?

Sebenarnya dari semua yang saya lihat, terutama sejak saya di sini tahun 2005, masing-masing

kepengurusan punya keistimewaan. Saya melihat semua pengurus sudah bekerja dengan sepenuh hati, semaksimal dan semampunya. Tapi memang khusus di jaman Budi ini sangat baik, saya melihat apa yang sudah dilakukan oleh pengurus-pengurus sebelumnya itu tetap dijalankan, dan ditambah lagi

kelebihannya di jaman Budi ini lebih bergairah. Saya melihat ada semangat, pengurus-pengurusnya bersemangat, ada motivasi untuk bekerja dengan baik, saya melihatnya demikian. Lalu kegiatannya variatif dan banyak kegiatan, itu yang saya sukai. Dan, jika ada acara seminar, acara hari-hari besar, waisak, dll, atau saat acara retret, saya melihat Budi dan teman-teman cukup antusias dan semangat. Jadi, di kepengurusan yang dipegang Budi ini, kelebihannya banyak, dan cukup kompak. Semangatnya yang luar biasa, mau mendengar dan belajar, komunikasi dengan Bhikkhu juga baik, dengan yang lain juga mau merangkul. Kalau di pengurus GRBDB dan yang lain, mereka sudah tertular semangatnya Budi, meskipun mungkin masih kurang percaya diri. Tapi jika dilihat secara keseluruhan sudah baik. Saya berharap di kepengurusan selanjutnya, terus ditingkatkan lagi komunikasi sesama pengurus, menjalin komunikasi antar pengurus organisasi yang ada di Dharma Bhakti. Hal ini sangat penting agar satu sama lain bisa saling memahami masalahnya masing-masing, sehingga tidak ada prasangka buruk terhadap teman pengurus maupun organisasi yang lain, termasuk juga Dayaka Sabha dan Sangha di Vihara ini. Jadi sekali lagi pesan saya untuk pengurus baru, agar komunikasi dengan pengurus, Dayaka-sabha dan Sangha dijaga dengan baik, saling mendukung dan merangkul dengan organisasi yang lain. Saya berharap semua yang terpilih sebagai pengurus menerima ini dengan positif, sebagai kesempatan menumbuhkan parami dan kesempatan memunculkan kebahagiaan bagi orang lain. Menjadi pengurus Vihara tentu capek, tetapi tidak menjadi pengurus Vihara juga capek, tidur aja juga capek. Jadi lebih baik capek jadi pengurus itu berguna, daripada capek tapi tidak berguna, sayang kan? Semoga semua

Referensi

Dokumen terkait