• Tidak ada hasil yang ditemukan

PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

1

PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG

INFO JUDICIAL REVIEW

(Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak

Oleh Mahkamah Konstitusi)

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 12/PUU-XIX/2021

PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960

TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA

TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK

INDONESIA TAHUN 1945

29 JUNI 2021

A. PENDAHULUAN

Bahwa pada hari Selasa tanggal 29 Juni 2021, pukul 11.55 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam sidang virtual Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 12/PUU-XIX/2021. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 12/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI.

B. PEMOHON

Bahwa permohonan pengujian UUPA diajukan oleh Rega Felix, untuk selanjutnya disebut Pemohon.

C. PASAL/AYAT UUPA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN

Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengujikan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) UUPA yang berketentuan sebagai berikut:

Pasal 23 ayat (1)

“Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.”

(2)

2

“Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.”

D. BATU UJI

Bahwa Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) UUPA dianggap Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28H ayat (2), Pasal 29 ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 karena dinilai telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon.

E. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Pemohon yang pada pokoknya mempersoalkan inkonstitusionalitas norma kata “pengalihan” dalam Pasal 23 ayat (1) dan frasa “serta sahnya peralihan” dalam Pasal 23 ayat (2) UUPA yang menurut Pemohon seharusnya pengalihan hak milik atas tanah yang dimaksud oleh kedua norma tersebut tidak diberlakukan secara letterlijk untuk perbankan syariah sebagai berikut: [3.13.1] Bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma a quo, Pemohon mengaitkannya dengan pemberlakuan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 36/SEOJK.03/2015 tentang Produk Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (vide bukti P-14) dan Buku Standar Produk Perbankan Syariah Murabahah (vide bukti P-10), namun tanpa menunjukkan pada bagian mana yang dikutip dari kedua bukti tersebut yang menyatakan bahwa “bukti kepemilikan cukup dengan bukti transaksi tanpa diharuskan adanya bukti legal administrasi”. Selain itu, Pemohon juga mengaitkannya dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah atau PERMA KHES (vide bukti P-12) tetapi Pemohon juga tidak menunjukkan secara pasti pada bagian mana yang dirujuk dari bukti tersebut namun menyatakan “izin penjual kepada pembeli untuk menyerahkan di lokasi” cukup sebagai bukti penyerahan. Dengan mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang Pemohon jadikan bukti tersebut, menurut Pemohon terdapat pertentangan antara ketentuan-ketentuan yang menjadi bukti Pemohon dengan UUPA berikut peraturan pelaksanaanya. Menurut Pemohon dengan adanya ketentuan mengenai Produk Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana bukti-bukti Pemohon di atas maka semestinya ketentuan tersebut menjadi yang bersifat lex specialis dari UUPA dan peraturan pelaksana pendaftaran tanah. Oleh karenanya, Pemohon meminta kepada Mahkamah agar pengalihan hak milik atas tanah di perbankan syariah tidak perlu dilakukan pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUPA; Berkenaan dengan dalil Pemohon tersebut, menurut pendapat Mahkamah Pemohon telah keliru menafsirkan kewenangan Mahkamah dalam UUD 1945 dan UU MK yang berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Permohonan Pemohon pada prinsipnya mempersoalkan atau mempertentangkan ketentuan pada peraturan teknis mengenai Produk Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang ditentukan dalam SEOJK dan PERMA KHES terhadap UUPA dan peraturan pelaksananya. Hal tersebut bukanlah merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Andaipun benar terdapat persoalan pada tataran teknis

(3)

3

mengenai Produk Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dengan UUPA, quod non, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XVI/2018 bertanggal 26 November 2018, putusan tersebut telah berkali-kali juga dikutip oleh Pemohon, Mahkamah telah menyatakan dalam pertimbangannya bahwa tidak ada persoalan konstitusionalitas norma Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUPA sesuai dengan pertimbangan Mahkamah dalam Paragraf [3.10] sebagai berikut:

Jika dikaitkan ketentuan pasal a quo dengan penjelasan di atas, intinya pasal a quo bertujuan untuk memberikan dasar kepastian hukum dalam pendaftaran tanah. Rumusan Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUPA menegaskan bahwa setiap peralihan, hapusnya dan pembebanan hak atas tanah harus didaftarkan, dan pendaftaran dimaksud menjadi alat pembuktian hapusnya dan sahnya peralihan dan pembebanan tersebut. Sebagai benda yang kepemilikannya dapat beralih dan terhadapnya dapat dibebankan berbagai hak dan kewajiban, maka pendaftaran menjadi sangat penting untuk dapat memberikan kepastian hukum kepada semua pihak yang terkait dengan kepemilikan hak atas sebidang tanah. Selain itu, pendaftaran juga penting sebagai bentuk jaminan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas sebidang tanah atau hak-hak lain yang terdaftar agar dapat dengan mudah membuktikan pihak yang sesungguhnya sebagai pemegang hak. Pendaftaran tanah juga penting untuk memberikan informasi kepada pihak-pihak yang terkait dan berkepentingan atas sebidang tanah termasuk pemerintah dalam upaya tertib administrasi pertanahan. Menurut Mahkamah, norma a quo justru merupakan salah satu norma pokok yang menjadi jantung UUPA karena berkaitan dengan pasal-pasal lainnya, terutama Pasal 19 UUPA mengenai prinsip pokok dalam pendaftaran tanah. Oleh karenanya jika dihilangkan justru akan muncul permasalahan mendasar terkait dengan legalitas dari peralihan hak, penghapusan hak, dan pembebanan hak atas tanah, yang pengaturan demikian menjadi sangat penting sebagai bagian dari jaminan kepastian dan perlindungan hukum atas hak milik pribadi sebagaimana diamanatkan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945;

Jika permohonan Pemohon diikuti yang berakibat inkonstitusionalnya Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUPA justru akan menyebabkan hilangnya dasar hukum yang memerintahkan untuk melakukan pendaftaran, peralihan, penghapusan, dan pembebanan hak atas tanah. Hal ini jelas kontraproduktif dengan upaya penataan agraria karena hilangnya kepastian hukum sehingga berpotensi menimbulkan konflik pertanahan di masyarakat. Berdasarkan pertimbangan tersebut Mahkamah menilai tidak ada persoalan konstitusionalitas norma dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUPA.

Bertolak pada pertimbangan Mahkamah tersebut di atas, mengingat pentingnya kepastian hukum terhadap kepemilikan hak atas tanah, in casu hak milik, maka setiap perbuatan hukum yang menyangkut peralihan atau pembebanannya menjadi tidak sah jika tidak dilakukan pendaftaran pada instansi yang berwenang untuk itu. Hal ini bukanlah merupakan bentuk penafsiran atau pemahaman secara letterlijk terhadap norma Pasal 23 UUPA sebagaimana dalil Pemohon tetapi merupakan suatu keharusan yang mesti dilewati sesuai dengan proses dan prosedur yang telah ditentukan oleh

(4)

4

peraturan perundang-undangan demi memperoleh kepastian hukum terhadap kepemilikan hak atas tanah tersebut. Sementara, kuitansi yang didalilkan oleh Pemohon sudah cukup menjadi bukti kepemilikan adalah tidak tepat karena pada hakikatnya kuitansi hanyalah merupakan bukti pembayaran atau transaksi, bahkan akta jual beli yang dibuat di hadapan PPAT pun belum dapat disebut sebagai bukti kepemilikan tetapi baru sebagai salah satu syarat adanya peralihan hak. Oleh karena itu, berkaitan dengan bukti kepemilikan yang sah atas tanah adalah sertifikat hak atas tanah (vide Pasal 3 huruf a, Pasal 4 ayat (1) PP 24/1997), karena melalui pendaftaran tanah dimaksud akan dapat diketahui tentang siapa sesungguhnya pemegang hak atas tanah, kapan diperalihkannya hak atas tanah tersebut serta siapa pemegang hak yang baru termasuk juga jika tanah tersebut dibebani hak tanggungan. Dalam kaitan ini jika kuitansi saja yang dijadikan dasar kepemilikan hak atas tanah sebagaimana dalil Pemohon maka hal tersebut justru dapat mengaburkan esensi kepastian hukum kepemilikan hak atas tanah, yang pada akhirnya justru merugikan perbankan/ kreditor, in casu perbankan syariah sebagai pihak yang memberikan pinjaman atau kredit. Oleh karena itu, dalil Pemohon yang menyatakan proses dan prosedur peralihan serta pendaftaran hak atas tanah yang memerlukan waktu lama dan berbiaya mahal karena dibutuhkan beberapa dokumen yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma. Dengan demikian, dalil Pemohon yang mempersoalkan inkonstitusionalitas norma Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUPA, jika tidak dikecualikan untuk perbankan syariah adalah dalil yang tidak beralasan menurut hukum.

[3.13.2] Bahwa selanjutnya Pemohon meminta kepada Mahkamah agar memerintahkan pembentuk undang-undang untuk melakukan perubahan terhadap UU 21/2008 berkenaan dengan hak kebendaan dalam transaksi perbankan syariah. Permintaan Pemohon ini bukan merupakan objek permohonan Pemohon (objectum litis) yang dinyatakan baik dalam perihal permohonan dan kewenangan Mahkamah. Sementara, dalam menguraikan kerugian konstitusional Pemohon hanya disinggung sekilas tentang keberadaan UU a quo namun tidak menguraikan apa sesungguhnya hak konstitusional Pemohon yang menurut anggapan Pemohon dirugikan dengan berlakunya UU a quo. Terlebih-lebih dalam uraian alasan permohonan (posita), Pemohon tidak menjelaskan pertentangan norma UU 21/2008 dengan UUD 1945 sehingga Mahkamah sulit untuk memahami apa sesungguhnya yang dipersoalkan oleh Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma UU 21/2008 sehingga dalil Pemohon a quo tidak relevan untuk dipertimbangkan. [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, permohonan Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUPA adalah tidak beralasan menurut hukum.

F. AMAR PUTUSAN

(5)

5 G. PENUTUP

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 12/PUU-XIX/2021 yang menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya terhadap pengujian Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) UUPA mengandung arti bahwa ketentuan pasal-pasal a quo tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.

PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG

SEKRETARIAT JENDERAL DAN BADAN KEAHLIAN DPR RI

Referensi

Dokumen terkait

003/PUU-IV/2006 menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

Kegiatan yang dilakukan Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Timur untuk mendukung penyusunan Laporan Keuangan Instansi Vertikal adalah berupa bimbingan teknis maupun

Dalam rumusan tersebut, terdapat dua jenis delik korupsi, yaitu: (1) delik korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah

Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang- undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta

Oleh karena itu, Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan dalil-dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan keberatan terhadap Keputusan Termohon Nomor

meskipun Pemohon tidak memohonkan pengujian Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 namun dikarenakan pertimbangan Mahkamah berdampak terhadap Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU

Oleh karena itu, terhadap Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Kepala desa yang sudah

- Menyatakan frasa “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara” dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran Undang-Undang Nomor 2