• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distribusi Frekuensi Maloklusi Pasien Klinik Spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI Periode

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Distribusi Frekuensi Maloklusi Pasien Klinik Spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI Periode"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Distribusi Frekuensi Maloklusi Pasien Klinik Spesialis Ortodonti RSKGM

FKG UI Periode 2003-2009

Citra Esperanza Hudiyono(1), Erwin Siregar(2), Nada Ismah(2) 1. Undergraduate Student, Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia 2. Department of Orthodontic, Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia

E-mail: citra.esperanza@ui.ac.id

Abstrak

Latar Belakang: Terdapat beberapa klasifikasi maloklusi dalam perkembangan ilmu kedokteran gigi.

Klasifikasi yang banyak digunakan antara lain klasifikasi maloklusi skeletal (klas I, klas II dan klas III), maloklusi dental (neutroklusi, distoklusi dan mesioklusi) dan maloklusi dentoskeletal (kombinasi skeletal dan dental). Tujuan: Mengetahui distribusi frekuensi maloklusi skeletal, dental dan dentoskeletal pasien klinik spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI periode 2003-2009. Metode: Digunakan 335 rekam medis pasien dari klinik spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI tahun 2003-2009. Data diambil dengan mengelompokkan ke dalam maloklusi skeletal, dental dan dentoskeletal. Hasil: Diperoleh maloklusi skeletal klas I (45,2%), klas II (39,8%) dan klas III (15%). Maloklusi dental neutroklusi (36,8%), distoklusi (35,1%) dan mesioklusi (28,1%). Maloklusi dentoskeletal: klas I dengan hubungan molar neutroklusi (19,1%), klas II dengan hubungan molar distoklusi (19,3%) dan klas III dengan hubungan molar mesioklusi (10,1%). Kesimpulan: Distribusi frekuensi urutan tertinggi sampai terendah untuk maloklusi skeletal adalah klas I, klas II dan klas III; urutan untuk maloklusi dental adalah neutroklusi, distoklusi dan mesioklusi; dan maloklusi dentoskeletal terbanyak yaitu maloklusi skeletal klas II dengan hubungan molar distoklusi.

Frequency Distribution Malocclucion of Patients in Orthodontic Specialist Clinic of RSKGM FKG UI period of 2003-2009

Abstract

Background:There are many classification of malocclusion in the development of dentistry. The usual

classifications used are skeletal malocclusion (class I, class II and class III), dental malocclusion (neutrocclusion, distocclusion and mesiocclusion) and dentoskeletal malocclusion (combination of skeletal and dental malocclusion). Purpose: Describe the frecuency distribution of skeletal malocclusion, dental malocclusion and dentoskeletal malocclusion of Orthodontic Clinic’s patient at RSKGM FKG UI from 2003 to 2009. Method: Total sampling from all medical record patient of Orthodontic Clinic at RSKGM FKG UI from 2003 to 2009. The data divided into skeletal malocclusion, dental malocclusion and dentoskeletal malocclusion. Result: Skeletal malocclusion class I (47.5%), class II (38.8%) and clas III (15.5%). Dental malocclusion neutrocclusion (40%), distocclusion (33%) and mesiocclusion (27%). Dentoskeletal malocclusions: skeletal class I malocclusion with neutrocclusion molar relationship (45.8%), skeletal class II malocclusion with distocclusion molar relationship (48.5%) and skeletal class III malocclusion with mesiocclusion molar relationship (65.4%).

Conclusion: Distribution frequencies from the most frequent to the less for skeletal malocclusion are class I,

class II and clas III; for dental malocclusion are neutrocclusion, distocclusion and mesiocclusion; and the most frequent for dentoskeletal malocclusion is skeletal malocclusion class I with neutrocclusion.

(2)

Pendahuluan

Maloklusi adalah kelainan dari oklusi normal. Maloklusi diakibatkan oleh malrelasi antara pertumbuhan, ukuran dan posisi gigi (Thomson, 1990). Maloklusi dapat dikelompokkan menjadi kelainan hubungan rahang (maloklusi skeletal), kelainan posisi gigi-geligi (maloklusi dental) dan kelainan yang melibatkan hubungan rahang dan posisi gigi-geligi (maloklusi dentoskeletal) (Graber et al., 2012). Angle mengklasifikasikan maloklusi berdasarkan hubungan gigi molar pertama rahang atas dan rahang bawah menjadi maloklusi klas I, II dan III (Bishara, 2001; Foster, 1990; Graber, Vanarsdall, & Vig, 2012; Moyers, 1988; Proffit, Fields, & Sarver, 2013).

Terdapat banyak penelitian mengenai distribusi frekuensi untuk berbagai klasifikasi maloklusi. Penelitian di India yang dilakukan pada 2400 anak usia 13-17 tahun menunjukkan bahwa 87.79% sampel mengalami maloklusi dengan maloklusi terbanyak adalah maloklusi klas I Angle (Kaur, Pavithra, & Abraham, 2013).Penelitian di Jepang menunjukkan bahwa kasus yang paling banyak ditemui adalah maloklusi klas III skeletal (Kavitha & Karthik, 2012). Penelitian Andi pada 270 anak usia 12-14 tahun di Jakarta menghasilkan 83,4% dari sampel mengalami maloklusi dental (Wijanarko, 1999). Natamiharja dalam penelitiannya terhadap 213 anak usia 12-17 tahun di Medan menunjukkan 86,38% subjek mengalami maloklusi (Natamiharja & Lubis, 1999).Tahun 1978, Sadoso melakukan penelitian pada 172 pasien yang dirawat oleh mahasiswa kedokteran gigi FKG UI di bagian Ortodonti FKG UI menunjukkan sebanyak 58,72% memiliki gigi berjejal, sedangkan untuk gigi protusi adalah 59,30% (Sadoso, 1979).

Adanya berbagai variasi distribusi frekuensi maloklusi yang dilakukan oleh peneliti-peneliti, menjadikan penulis ingin meneliti tentang besarnya distribusi frekuensi maloklusi pada pasien-pasien yang datang ke klinik spesialis ortodonti RSKGM FKG UI periode 2003-2009. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran besarnya distribusi frekuensi maloklusi skeletal, dental dan dentoskeletal pada pasien di klinik spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI dan sebagai database bagi Departemen Ortodonti dan RSKGM FKG UI.

(3)

Tinjauan Teoritis

Oklusi adalah pertemuan antara gigi-gigi rahang atas dan rahang bawah. Oklusi melibatkan gigi, otot pengunyahan, struktur tulang, sendi temporomandibular, dan pergerakan fungsional rahang. Selain itu, oklusi juga melibatkan hubungan gigi saat oklusi sentris, relasi oklusi dan selama berfungsi, serta sistem neuromuscular (Bishara, 2001).

Menurut Angle, oklusi normal yaitu posisi saat gigi berada pada lengkung rahang dengan keseimbangan antara lengkung rahang atas dan bawah. Angle menambahkan, kunci oklusi normal pada orang dewasa adalah hubungan antero-posterior molar pertama rahang bawah dan rahang atas. Terdapat tiga faktor yang berguna untuk menjaga oklusi normal, yaitu inklinasi bidang oklusal, dukungan dari keseimbangan ukuran lengkung rahang atas dan bawah, serta pengaruh otot-otot sistem mastikasi (Bishara, 2001).

Maloklusi adalah kelainan dari oklusi normal. Maloklusi diakibatkan oleh malrelasi pada pertumbuhan, ukuran dan posisi gigi (Thomson, 1990).Maloklusi dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu maloklusi skeletal (kelainan hubungan rahang), maloklusi dental (kelainan posisi gigi-geligi) dan maloklusi dentoskeletal (kelainan yang melibatkan hubungan rahang dan posisi gigi-geligi) (Graber et al., 2012).

Maloklusi dapat disebabkan oleh berbagai hal. Penyebab maloklusi dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu umum dan lokal (McDonald, Avery, & Dean, 2011; Singh, 2007). Secara umum (general), faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya maloklusi yaitu keturunan atau herediter, bawaan lahir atau congenital, lingkungan, penyakit metabolisme, defisiensi nutrisi, kebiasaan buruk, postur, dan trauma. Selain itu, faktor-faktor penyebab maloklusi juga dapat disebabkan oleh adanya kelainan lokal, seperti anomali jumlah gigi, anomali ukuran dan bentuk gigi, anomali labial frenulum, premature loss gigi sulung, persistensi gigi sulung, keterlambatan erupsi gigi permanen, kesalahan jalur erupsi, ankilosis, karies, dan restorasi gigi yang buruk.

Maloklusi berdasarkan hubungan skeletal (hubungan rahang) dibagi menjadi klas I (hubungan rahang bawah terhadap rahang atas berada dalam posisi ideal pada saat oklusi), klas II (hubungan rahang bawah berada lebih ke posterior terhadap rahang atas pada saat oklusi) dan klas III (hubungan rahang bawah berada lebih ke anterior terhadap rahang atas pada saat oklusi) (Foster, 1990). Penilaian hubungan rahang dilakukan melalui analisa sefalometri

(4)

menggunakan titik Landmarks (Cobourne et al., 2012; Foster, 1990). Titik tersebut menggambarkan hubungan antero-posterior antara rahang atas dan rahang bawah yang dinilai berdasarkan kedudukan basis cranium. Digunakan sudut SNA, SNB dan ANB. SNA menggambarkan posisi rahang atas terhadap basis kranii. Besar sudut ideal SNA sekitar 82º dengan deviasi sudut ±2º. Besar sudut SNA lebih dari 84º menggambarkan kedudukan rahang atas terhadap basis kranii protruded. Besar sudut SNA kurang dari 80º menggambarkan kedudukan rahang atas terhadap basis kranii retruded. SNB menggambarkan posisi rahang bawah terhadap basis kranii. Besar sudut ideal SNB sekitar 80º dengan deviasi sudut ±2º. Besar sudut SNB lebih dari 82º menggambarkan kedudukan rahang atas terhadap basis kranii protruded. Besar sudut SNB kurang dari 78º menggambarkan kedudukan rahang atas terhadap basis kranii retruded. ANB merupakan posisi relatif rahang bawah terhadap rahang atas. Sudut ANB didapatkan dari selisih sudut SNA dan SNB. Besar sudut normal dari ANB adalah 2º dengan deviasi sudut ±2º. Maloklusi skeletal klas I memiliki sudut ANB 0º - 4º. Maloklusi skeletal klas II memiliki sudut ANB lebih besar dari 4º. Maloklusi skeletal klas III memiliki sudut ANB lebih kecil dari 0º (Cobourne et al., 2012; Foster, 1990; Jacobson, 1995). Klasifikasi dental yang sering digunakan adalah klasifikasi menurut Angle. Klasifikasi berdasarkan hubungan antero-posterior dilihat dari hubungan gigi molar pertama rahang bawah dan rahang atas. Klasifikasi maloklusi menurut Angle dibagi menjadi klas I (neutroklusi), klas II (distoklusi) dan klas III (mesioklusi). Maloklusi klas I Angle yaitu groove gigi molar pertama rahang bawah berartikulasi dengan triangular cusp mesiobukal dari molar pertama rahang atas. Maloklusi Klas II (distoklusi) yaitu posisi molar pertama rahang bawah lebih ke distal dari molar pertama rahang atas atau groove molar pertama rahang bawah berartikulasi lebih ke posterior dari triangular cusp mesiobukal molar pertama rahang atas. Maloklusi klas II Angle ini dibagi menjadi divisi 1, divisi 2 dan subdivisi. Maloklusi Klas III (mesioklusi) yaitu posisi molar pertama rahang bawah lebih ke mesial dari rahang atas atau groove molar pertama rahang bawah berartikulasi lebih ke anterior dari triangular cusp mesiobukal molar pertama rahang atas. Maloklusi klas III Angle memiliki subdivisi (Bishara, 2001; Foster, 1990; Graber et al., 2012; Moyers, 1988; Proffit et al., 2013). Klasifikasi Angle ini juga dimodifikasi oleh Dewey pada klas I (tipe 1 - 5) dan klas III (tipe 1 - 3). Modifikasi Dewey pada klas I yaitu hubungan molar neutroklusi dengan gigi anterior yang berjejal (tipe 1), gigi insisif yang protrusif (tipe 2), crossbite anterior (tipe 3), crossbite posterior (tipe 4) dan mesioversi gigi molar akibat premature loss dari gigi desidius molar dua atau premolar dua (tipe 5). Modifikasi Dewey pada klas III yaitu hubungan molar mesioklusi

(5)

dengan edge-to-edge anterior (tipe 1), anterior rahang bawah yang berjejal dan berada di lingual rahang atas (tipe 2) dan crossbite anterior (tipe 3) (Phulari, 2011; Salzman, 1957). Adapun klasifikasi dentoskeletal yang digunakan adalah kombinasi dari maloklusi skeletal dan dental. Maloklusi klas I (hubungan skeletal ortognati dengan hubungan molar neutroklusi dan profil yang lurus), maloklusi klas II (hubungan skeletal retrognati dengan hubungan molar distoklusi dan profil cembung) dan maloklusi klas III (hubungan skeletal prognati dengan hubungan molar mesioklusi dan profil cekung) (Moyers, 1988).

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif cross sectional. Penelitian dilakukan di klinik spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI pada bulan November-Desember 2014. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 367 rekam medis pasien klinik spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI tahun 2003 sampai 2009 yang tersimpan di Departemen Ortodonti FKG UI dan memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusi sampel penelitian ini yaitu pasien belum pernah dilakukan perawatan ortodonti, gigi molar pertama lengkap, terdapat data lengkap pada tabel Sefalometri dan kolom hubungan molar, rekam medis tahun 2003-2009 yang telah disetujui oleh pembimbing diskusi. Kriteria eksklusinya yaitu pasien dengan hubungan molar klas II pada satu sisi rahang dan klas III pada sisi rahang lainnya.

Rekam medis yang terdapat di Departemen Ortodonti dikumpulkan dan diseleksi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan data dari rekam medis yang dilakukan meliputi data maloklusi skeletal, dental dan dentoskeletal. Maloklusi skeletal ditentukan dengan melihat besar sudut ANB. Sudut ANB sebesar 0º- 4º dikategorikan sebagai maloklusi skeletal klas I. Apabila sudut ANB >4ºdikategorikan sebagai maloklusi klas II. Apabila sudut ANB <0º dikategorikan sebagai maloklusi klas III (Jacobson, 1995). Maloklusi dental ditentukan berdasarkan hubungan molar pertama rahang bawah dan rahang atas yang tercantum pada rekam medis di kolom hubungan molar pertama. Hubungan molar pertama disebut klas I yaitu neutroklusi, klas II yaitu distoklusi dan klas III yaitu mesioklusi. Maloklusi dentoskeletal merupakan kombinasi dari maloklusi skeletal dan dental. Kemudian data diolah dan dianalisis serta disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

(6)

Hasil Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi frekuensi maloklusi pasien di klinik spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI tahun 2003-2009. Diperoleh sampel sebanyak 367 rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi dari keseluruhan rekam medis yang tersimpan di Departemen Ortodonti. Didapatkan sampel terbanyak terdapat pada tahun 2006 sejumlah 92 rekam medis. Sampel dengan jumlah paling sedikit terdapat pada tahun 2009 sejumlah 15 rekam medis. Pada data yang dikumpulkan, jenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan jenis kelamin laki-laki. Diperoleh jenis kelamin perempuan sebanyak 290 sampel (81,5%) dan laki-laki sebanyak 68 sampel (18,5%). (Gambar 1)

Gambar 1. Diagram jumlah pasien di klinik spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI tahun 2003-2009 berdasarkan jenis kelamin

Berdasarkan data yang diperoleh, didapatkan distribusi frekuensi maloklusi skeletal pada pasien di klinik spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI tahun 2003-2009. Sampel sejumlah 367 buah terdapat maloklusi skeletal klas I sebanyak 166 sampel (45,2%), klas II sebanyak 146 sampel (39,8%) dan klas III sebanyak 55 sampel (15%). (Gambar 2)

Berdasarkan data yang diperoleh, didapatkan distribusi frekuensi maloklusi dental pasien klinik spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI tahun 2003-2009. Sampel sejumlah 367 buah terdapat hubungan molar neutroklusi sebanyak 135 sampel (36,8%), distoklusi sebanyak 129 sampel (35,1%) dan mesioklusi sebesar 103 sampel (28,1%). (Gambar 3)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jumlah Pasien Tahun Laki-laki Perempuan

(7)

Gambar 2. Distribusi frekuensi maloklusi skeletal pasien di klinik spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI tahun 2003-2009

Gambar 3. Distribusi frekuensi maloklusi dental pasien di klinik spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI tahun 2003-2009

Temuan lainnya pada maloklusi dental, hubungan molar neutroklusi sebanyak 135 sampel terdiri dari crowding anterior (tipe 1) sebanyak 99 sampel (27%), insisif rahang atas yang protrusif (tipe 2) sebanyak 33 sampel (9%) dan crossbite anterior (tipe 3) sebanyak 3 sampel (0,8%). Hubungan molar distoklusi sebanyak 129 terdiri dari divisi 1 sebanyak 50 sampel (13,6%), divisi 2 sebanyak 24 sampel (6,5%) dan subdivisi klas II sebanyak 55 sampel (15%). Hubungan molar mesioklusi sebanyak 103 sampel terdiri dari edge to edge gigi anterior (tipe 1) sebanyak 14 sampel (3,8%), insisif rahang bawah berjejal dan berada di lingual terhadap

45.2%   39.8%   15.0%   klas  I   klas  II   klas  III   36.8% 35.1% 28.1% Neutroklusi Distoklusi Mesioklusi

(8)

rahang atas (tipe 2) sebanyak 27 sampel (7,4%), crossbite anterior (tipe 3) sebanyak 21 sampel (5,7%) dan subdivisi klas III sebanyak 41 sampel (11,2%). (Gambar 4)

Gambar 4. Distribusi frekuensi maloklusi dental modifikasi Dewey dari pasien di klinik spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI tahun 2003-2009

Berdasarkan data yang diperoleh, didapatkan distribusi frekuensi maloklusi dentoskeletal pasien klinik spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI tahun 2003-2009. Maloklusi skeletal klas I terdapat 166 sampel (45,2%) dari seluruh sampel. Pada keadaan maloklusi ini, jumlah sampel yang memiliki hubungan molar neutroklusi sebanyak 70 sampel (19,1%), hubungan molar distoklusi sebanyak 55 sampel (15,0%) dan hubungan molar mesioklusi sebanyak 41 sampel (11,2%). Maloklusi skeletal klas II terdapat 146 sampel (39,8%) dari seluruh sampel. Pada keadaan maloklusi ini, jumlah sampel yang memiliki hubungan molar neutroklusi sebanyak 49 sampel (13,4%), hubungan molar distoklusi sebanyak 71 sampel (19,3%) dan hubungan molar mesioklusi sebanyak 25 sampel (6,8%). Maloklusi skeletal klas III terdapat 55 sampel (15%) dari seluruh sampel. Pada keadaan maloklusi ini, jumlah sampel yang memiliki hubungan molar neutroklusi sebanyak 16 sampel (4,4%), hubungan molar distoklusi sebanyak 2 sampel (0,5%) dan hubungan molar mesioklusi sebanyak 37 sampel (10,1%). (Gambar 5)

27.0% 9.0% 0.8% 13.6% 6.5% 15.0% 3.8% 7.4% 5.7% 11.2% Neutroklusi-tipe 1 Neutroklusi-tipe 2 Neutroklusi-tipe 3 Distoklusi-divisi 1 Distoklusi-divisi 2 Distoklusi-subdivisi Mesioklusi-tipe 1 Mesioklusi-tipe 2 Mesioklusi-tipe 3

(9)

Gambar 5. Distribusi frekuensi maloklusi dentoskeletal pasien di klinik spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI tahun 2003-2009

Pada maloklusi skeletal klas I dengan hubungan molar neutroklusi didapatkan sebanyak 70 sampel yang terdiri dari crowding anterior (tipe 1) sebanyak 59 sampel (35,5%), insisif yang protrusif (tipe 2) sebanyak 10 sampel (6,0%) dan crossbite anterior (tipe 3) sebanyak 1 sampel (0,6%). Maloklusi skeletal klas I dengan hubungan molar distoklusi didapatkan sebanyak 55 sampel yang terdiri dari divisi 1 sebanyak 21 sampel (12,7%), divisi 2 sebanyak 9 sampel (5,4%) dan subdivisi klas II sebanyak 25 sampel (15,1%). Maloklusi skeletal klas I

dengan hubungan molar mesioklusi didapatkan sebanyak 41 sampel yang terdiri dari

edge-to-edge anterior (tipe 1) sebanyak 4 sampel (2,4%), anterior rahang bawah berjejal dan berada di lingual rahang atas (tipe 2) sebanyak 14 sampel (8,4%), crossbite anterior (tipe 3) sebanyak 3 sampel (1,8%) dan subdivisi klas III sebanyak 20 sampel (12,0%). (Gambar 6)

Pada maloklusi skeletal klas II dengan hubungan molar neutroklusi didapatkan sebanyak 49 sampel yang terdiri dari crowding anterior (tipe 1) sebanyak 29 sampel (19,9%), insisif protrusif (tipe 2) sebanyak 18 sampel (12,3%) dan crossbite anterior (tipe 3) sebanyak 1 sampel (0,7%). Maloklusi skeletal klas II dengan hubungan molar distoklusi didapatkan sebanyak 71 sampel yang terdiri dari divisi 1 sejumlah 28 sampel (19,2%), divisi 2 sebanyak 16 sampel (11,0%) dan subdivisi klas II sebanyak 27 sampel (18,5%). Maloklusi skeletal

klas II dengan hubungan molar mesioklusi didapatkan sebanyak 25 sampel yang terdiri

dari edge-to-edge anterior (tipe 1) sebanyak 2 sampel (1,4%), anterior rahang bawah berjejal dan berada di lingual rahang atas (tipe 2) sebanyak 7 sampel (4,8%), crossbite anterior (tipe 3) sebanyak 2 sampel (1,4%) dan subdivisi klas III sebanyak 14 sampel (9,6%). (Gambar 7)

0 5 10 15 20 25

klas I klas II klas III

Persentase

Maloklusi Skeletal

(10)

Gambar 6. Distribusi frekuensi maloklusi dentoskeletal dengan keadaan maloklusi skeletal klas I dengan hubungan molar neutroklusi, distoklusi dan mesioklusi dari pasien di klinik spesialis Ortodonti

RSKGM FKG UI tahun 2003-2009

Gambar 7. Distribusi frekuensi maloklusi dentoskeletal dengan keadaan maloklusi skeletal klas II dengan hubungan molar neutroklusi, distoklusi dan mesioklusi dari pasien di klinik spesialis Ortodonti

RSKGM FKG UI tahun 2003-2009

Pada maloklusi skeletal klas III dengan hubungan molar neutroklusi didapatkan sebanyak 16 sampel yang terdiri dari crowding anterior (tipe 1) sebanyak 11 sampel (20,0%), insisif yang protrusif (tipe 2) sebanyak 4 sampel (7,3%) dan crossbite anterior (tipe 3) sebanyak 1 sampel (1,8%). Maloklusi skeletal klas III dengan hubungan molar distoklusi didapatkan sebanyak 2 sampel yang terdiri dari divisi 2 sebanyak 1 sampel (1,8%) dan subdivisi klas II sebanyak 1 sampel (1,8%). Maloklusi skeletal klas III dengan hubungan molar mesioklusi

35.5% 6.0% 0.6% 12.7% 5.4% 15.1% 2.4% 8.4% 1.8% 12.0% Neutroklusi-tipe 1 Neutroklusi-tipe 2 Neutroklusi-tipe 3 Distoklusi-divisi 1 Distoklusi-divisi 2 Distoklusi-subdivisi Mesioklusi-tipe 1 Mesioklusi-tipe 2 Mesioklusi-tipe 3 Mesioklusi-subdivisi 20.1% 12.5% 0.7% 19.4% 11.1% 18.8% 1.4% 4.9% 1.4% 9.7% Neutroklusi-tipe 1 Neutroklusi-tipe 2 Neutroklusi-tipe 3 Distoklusi-divisi 1 Distoklusi-divisi 2 Distoklusi-subdivisi Mesioklusi-tipe 1 Mesioklusi-tipe 2 Mesioklusi-tipe 3

(11)

didapatkan sebanyak 37 sampel yang terdiri dari edge-toedge anterior (tipe 1) sebanyak 9 sampel (16,4%), anterior rahang bawah berjejal dan berada di lingual rahang atas (tipe 2) sebanyak 6 sampel (10,9%), crossbite anterior (tipe 3) sebanyak 15 sampel (27,3%) dan subdivisi klas III sebanyak 7 sampel (12,7%). (Gambar 8)

Gambar 8. Distribusi frekuensi maloklusi dentoskeletal dengan keadaan maloklusi skeletal klas III dengan hubungan molar neutroklusi, distoklusi dan mesioklusi dari pasien di klinik spesialis Ortodonti

RSKGM FKG UI tahun 2003-2009

Pembahasan

Penelitian ini mengamati tentang distribusi frekuensi maloklusi pasien di klinik spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI tahun 2003-2009. Penelitian ini dilakukan di departemen Ortodonti FKG UI pada November 2014. Data diambil dari rekam medis pasien klinik spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI tahun 2003-2009. Rekam medis pasien klinik spesialis Ortodonti tahun 2003-2009 berjumlah 530. Dari 530 rekam medis, didapatkan 367 rekam medis yang sesuai dengan kriteria inklusi. Jumlah sampel tahun 2003 sebanyak 45 sampel, tahun 2004 sebanyak 63 sampel, tahun 2005 sebanyak 57 sampel, tahun 2006 sebanyak 91 sampel, tahun 2007 sebanyak 51 sampel, tahun 2008 sebanyak 45 sampel dan tahun 2009 sebanyak 15 sampel.

Sampel dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan sampel dengan jenis kelamin laki. Diperoleh jenis kelamin perempuan sebanyak 290 sampel (81,5%) dan laki-laki sebanyak 68 sampel (18,5%). Pada penelitian ini didapatkan bahwa peminatan untuk

20.0% 7.3% 1.8% 1.8% 1.8% 16.4% 10.9% 27.3% 12.7% Neutroklusi-tipe 1 Neutroklusi-tipe 2 Neutroklusi-tipe 3 Distoklusi-divisi 2 Distoklusi-subdivisi Mesioklusi-tipe 1 Mesioklusi-tipe 2 Mesioklusi-tipe 3 Mesioklusi-subdivisi

(12)

perawatan ortodonti lebih banyak pada pasien perempuan dibandingkan pasien laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan karena perempuan lebih memperhatikan faktor estetik.

Pada penelitian ini didapatkan distribusi frekuensi maloklusi skeletal klas I sebanyak 166 sampel (45,2%), klas II sebanyak 146 sampel (39,8%) dan klas III sebanyak 55 sampel (15%). Hal ini sejalan dengan penelitian di India dan Saudi Arabia pada pasien Ortodonti. Pada penelitian di India diperoleh maloklusi skeletal terbanyak merupakan klas I sebesar 53,6% (Nanjannawar, Agrawal, & Agrawal, 2012). Penelitian di Saudi Arabia diperoleh maloklusi skeletal terbanyak merupakan klas I sebesar 52,1% (Al-Jaba’a, 2010).

Pada penelitian ini didapatkan distribusi frekuensi maloklusi dental neutroklusi sebanyak 135 sampel (36,8%), distoklusi sebanyak 129 sampel (35,1%) dan mesioklusi sebanyak 103 sampel (28,1%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian pada pasien Ortodonti di beberapa Negara seperti di Nepal (Shrestha & Shrestha, 2013), Arab Saudi (Al-Balkhi & Zahrani, 1994) dan Rwanda (Sandeep & Sonia, 2012) yang menghasilkan lebih dari 50% sampel memiliki maloklusi dental neutroklusi.

Temuan lainnya pada maloklusi dental, dari 367 sampel, hubungan molar neutroklusi sebanyak 135 sampel terdiri dari crowding anterior sebanyak 27%, insisif rahang atas yang protrusif sebanyak 9% dan crossbite anterior sebanyak 0,8%. Hubungan molar distoklusi sebanyak 129 sampel terdiri dari divisi 1 sebanyak 13,6%, divisi 2 sebanyak 6,5% dan subdivisi klas II sebanyak 15%. Hubungan molar mesioklusi sebanyak 103 sampel terdiri dari edge to edge anterior sebanyak 3,8%, insisif rahang bawah berjejal sebanyak 7,4%, crossbite anterior sebanyak 5,7% dan subdivisi klas III sebanyak 11,2%. Penelitian oleh Sadoso tahun 1978 pada 172 sampel yang dirawat oleh mahasiswa kedokteran gigi FKG UI di bagian Ortodonti FKG UI menunjukkan sebanyak 58,72% memiliki gigi berjejal, sedangkan untuk gigi protusi adalah 59,30% (Sadoso, 1979).

Pada penelitian ini, didapatkan distribusi frekuensi maloklusi dentoskeletal diperoleh maloklusi skeletal klas I terdapat 166 sampel (45,2%) dari seluruh sampel dengan terbanyak hubungan molar neutroklusi sebesar 19,1%. Maloklusi skeletal klas II terdapat 146 sampel (39,8%) dari seluruh sampel dengan terbanyak hubungan molar distoklusi sebanyak 71 sampel (19,3%). Maloklusi skeletal klas III terdapat 55 sampel (15%) dari seluruh sampel dengan terbanyak hubungan molar mesioklusi sebanyak 37 sampel (10,1%). Hal ini berbeda dengan penelitian di India pada 125 pasien Ortodonti dan penelitian di Saudi Arabia pada 478

(13)

rekam medis. Pada penelitian di India diperoleh maloklusi skeletal klas I sebanyak 67 sampel (53,6%) dengan terbanyak hubungan molar neutroklusi sebesar 29,6%. Maloklusi skeletal klas II sebanyak 46 sampel (36,8%) dengan terbanyak hubungan molar distoklusi sebesar 24,8%. Maloklusi skeletal klas III sebanyak 12 sampel (9,6%) dengan terbanyak hubungan molar mesioklusi sebesar 3,2% (Nanjannawar et al., 2012). Penelitian lain di Saudi Arabia pada 478 rekam medis diperoleh maloklusi skeletal klas I sebanyak 249 sampel (52,1%) dengan terbanyak hubungan molar pertama neutroklusi sebesar 41,4%. Sebanyak 189 sampel (39,5%) maloklusi skeletal klas II dengan terbanyak hubungan molar pertama distoklusi sebesar 12,1%. Sebanyak 40 sampel (8,4%) maloklusi skeletal klas III dengan terbanyak hubungan molar pertama mesioklusi sebesar 0,4% (Al-Jaba’a, 2010).

Kesimpulan

1. Distribusi frekuensi maloklusi skeletal pada pasien klinik spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI tahun 2003-2009 menunjukkan maloklusi skeletal klas I sebanyak 45,2%, klas II sebanyak 39,8% dan klas III sebanyak 15%.

2. Distribusi frekuensi maloklusi dental pada pasien klinik spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI tahun 2003-2009 menunjukkan maloklusi dental dengan hubungan molar neutroklusi sebanyak 36,8%, distoklusi sebanyak 35,1% dan mesioklusi sebanyak 28,1%. 3. Distribusi frekuensi maloklusi dentoskeletal pada pasien klinik spesialis Ortodonti

RSKGM FKG UI tahun 2003-2009 menunjukkan skeletal klas I sebanyak 45.2% dengan hubungan molar pertama neutroklusi sebanyak 19,1%, skeletal klas II sebanyak 39,8% dengan hubungan molar pertama distoklusi sebanyak 19,3% dan skeletal klas III sebanyak 15% dengan hubungan molar pertama mesioklusi sebanyak 10,1%.

Saran

Perlu dilakukan penelitian serupa untuk mengetahui distribusi frekuensi maloklusi di berbagai daerah di Indonesia agar dapat dilakukan tindakan ortodontik preventif pada periode gigi sulung.

(14)

Kepustakaan

Al-Balkhi, K. M., & Zahrani, A. A. (1994). The pattern of malocclusion in Saudi Arabian patients attending for Orthodontic treatment at the college of dentistry, King Saud University, Riyadh. The Saudi Dental Journal, 6(3), 138-144.

Al-Jaba’a, A. H. (2010). A Study on Dento / Skeletal Discrepancies and Dental Anomalies in a Sample of Saudi Orthodontic Patients. Thesis, Master of Science Degree (Dentistry) College of Dentistry King Saud University, Saudi Arabia

Bishara, S. E. (2001). Textbook of Orthodontics (pp. 99-101). Philadelphia: W. B. Saunders Company.

Cobourne, M. T., Fleming, P. S., DiBiase, A. T., & Ahmad, S. (2012). Clinical Cases in Orthodontics (pp. 15-22). West Sussex: Wiley-Blackwell.

Foster, T. D. (1990). A Textbook of Orthodontics (pp. 78-81). London: Blackwell Scientific Publications.

Graber, L. W., Vanarsdall, R. L., & Vig, K. W. . (2012). Orthodontics Curent Principles and Techniques (pp. 22-25). Philadelphia: Elsevier Mosby.

Jacobson, A. (1995). Radiographic Cephalometry From Basic to Videoimaging (pp. 77-85). Illinois: Quintessence Publishing Co, Inc.

Kaur, H., Pavithra, U. S., & Abraham, R. (2013). Prevalence of malocclusion among adolescents in South Indian population. Journal of International Society of Preventive & Community Dentistry, 3(2), 97-102. doi:10.4103/2231-0762.122453

Kavitha, L., & Karthik, K. (2012). Comparison of cephalometric norms of caucasians and non-caucasians: A forensic aid in ethnic determination. Journal of Forensic Dental Sciences, 4(1), 53-5. Retrieved from http://www.pubmedcentral.nih.gov/ articlerender.fcgi?artid=3470420&tool=pmcentrez&rendertype=abstract

McDonald, R. E., Avery, D. R., & Dean, J. A. (2011). Dentistry for the child and adolescent (pp. 73-76).

Medical Dictionary. (n.d.). Retrieved from http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/ Moyers, R. E. (1988). Handbook Of Orthodontics (4th ed., pp. 183-195). Chicago: Year Book

Medical Publishers.

Nanjannawar, L., Agrawal, J. A., & Agrawal, M. (2012). Pattern of Malocclusion and Treatment Need in Orthodontic Patients: An Institution-based Study. World Journal of Dentistry, 3, 136-140. doi:10.5005/jp-journals-10015-1144

(15)

Natamiharja, L., & Lubis, U. A. (1999). Maloklusi pada Remaja Usia 12-17 Tahun di Medan. Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 6(2), 26-30.

Phulari, B. S. (2011). Orthodontics: Principles and Practice (pp. 103-106). New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd.

Proffit, W. R., Fields, H. W., & Sarver, D. M. (2013). Contemporary Orthodontics (5th ed., pp. 203-206). Missouri: Elsevier Mosby.

Sadoso. (1979). Gambaran Penderita yang Dirawat oleh Mahasiswa di Bagian Orthodonti FKG UI. Kumpulan Makalah KPPIKG, 550-555.

Salzman, J. A. (1957). Orthodontics Practice and Technics (pp. 115-117). Philadelphia: JB Lippincontt Company.

Sandeep, G., & Sonia, G. (2012). Pattern of dental malocclusion in Orthodontic patients in Rwanda: a retrospective hospital based study. Rwanda Medical Journal, 69(4), 13-18. Sarig, R., Slon, V., Abbas, J., May, H., Shpack, N., Vardimon, A. D., & Hershkovitz, I.

(2013). Malocclusion in early anatomically modern human: a reflection on the etiology

of modern dental misalignment. PloS One, 8(11), 1-10.

doi:10.1371/journal.pone.0080771

Shrestha, S., & Shrestha, R. M. (2013). An analysis of malocclusion and occlusal characteristics in Nepalese Orthodontic patients. Orthodontic Journal of Nepal, 3(1), 19-25.

Singh, G. (2007). Textbook of Orthodontics (2nd ed., pp. 175-178). New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd.

Thomson, H. (1990). Occlusion (2nd ed., p. 104). London: Butterworth & Co (Publishers) Ltd.

Wijanarko, A. G. (1999). Prevalensi Maloklusi pada Remaja Usia 12-14 Tahun pada Sekolah Menengah Pertama di Jakarta. Universitas Indonesia.

Gambar

Gambar 1. Diagram jumlah pasien di klinik spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI tahun 2003-2009  berdasarkan jenis kelamin
Gambar 2. Distribusi frekuensi maloklusi skeletal pasien di klinik spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI  tahun 2003-2009
Gambar 4. Distribusi frekuensi maloklusi dental modifikasi Dewey dari pasien di klinik spesialis Ortodonti  RSKGM  FKG UI tahun 2003-2009
Gambar 5. Distribusi frekuensi maloklusi dentoskeletal pasien di klinik spesialis Ortodonti RSKGM  FKG UI  tahun 2003-2009
+3

Referensi

Dokumen terkait

Penetapan lokasi sampel untuk penelitian dilakukan secara purposif dengan pertimbangan jumlah sampel lokasi dari 5 lokasi yang memenuhi persyaratan dan 2 lokasi (40%) yang di pilih

Ber dasar kan pengumpulan data ter kait dengan analisis SWOT, kebutuhan calon sar jana ekonomi syar iah IAIN Palangka Raya pada per bankan syar iah Kota Palangka Raya,

Kepribadian Tokoh Utama Alif Fikri Dalam Novel Ranah 3 Warna Karya A. Fuadi: Pendekatan

Semakin banyak produk cacat juga dapat menambah konsumsi bahan baku produksi hal tersebut dapat menyebabkan biaya produksi bertambah, untuk itu perlu dilakukan

JADI SETELAH DIISI, DIBAWA PADA SAAT PELATIHAN / KEGIATAN DIADAKAN, BUKAN DIEMAIL LAGI KEPADA PANITIA.. YANG DIEMAIL LAGI KEPADA PANITIA ADALAH FORMAT

Di dalam Al Qur ’an Alloh member ikan kemuliaan-kemuliaan kepada hambanya yang me- miliki kiner ja baik, yang mengisi kehidupannya dengan per buatan baik seper ti yang

Selain itu pembaruan harga menggunakan kertas label di rak minimarket tidak efisien karena masih menggunakan cara manual sehingga memakan waktu yang lama dengan

Peneliti : Aflah, gambar apakah ini?.