• Tidak ada hasil yang ditemukan

QANUN KABUPATEN ACEH BARAT DAYA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG IZIN USAHA PERIKANAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "QANUN KABUPATEN ACEH BARAT DAYA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG IZIN USAHA PERIKANAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

S AP

EUE KHE UEN SA HO U L ANG KAH

QANUN KABUPATEN ACEH BARAT DAYA NOMOR 14 TAHUN 2012

TENTANG

IZIN USAHA PERIKANAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH BARAT DAYA,

Menimbang : a. bahwa untuk menindak lanjuti amanat MoU Helsinki antara Pemerintah

Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 15 Agustus 2005 diperlukan sisitem pemerintah yang diatur dalam bentuk Qanun

antara lain dan pasal 162 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh, sumber daya perikanan yang dimiliki oleh Kabupaten Aceh Barat Daya merupakan Rahmat Allah SWT yang harus dilestarikan, dikelola dan dimanfaatkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat;

b. bahwa bidang usaha perikanan merupakan mata pencaharian bagi sebagian masyarakat, oleh karenanya Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya berwenang mengatur usaha penangkapan, budidaya, pengumpulan dan pengangkutan ikan;

c. bahwa berdasarkan Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu diatur dan ditetapkan dalam Qanun.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4355);

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Gayo Luwes, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Tamiang di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4179); 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419); 4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647);

5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);

6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4400);

(2)

7. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389);

8. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5049);

9. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan undang undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5073)

10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4844); 11. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438);

12. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4633);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1998 Tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1998 Tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak;

14. Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2002 tentang Usaha Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 4230);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 Tentang Perkapalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 95 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4227);

16. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 591, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);

17. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2002 Tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Kelautan dan Perikanan;

18. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. /14/MEN/ 2011 Tentang Usaha Perikanan Tangkap sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 49/MEN/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan Nomor : PER/14/MEN/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap;

(3)

19. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2007 tentang Rencana Usaha dan atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan AMDAL;

20. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 815/Kpts/IK.120/11/1990 tentang Perizinan Usaha Perikanan;

21. Keputusan Menteri Kelautan dan Pertanian Nomor 392/ Kpts/IK.120/4/99 Tentang Jalur – jalur Penangkapan Ikan Menteri Pertanian;

22. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP. 11/ MEN/2004 Tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal Perikanan;

23. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP. 10/ MEN/2004 Tentang Pelabuhan Perikanan;

24. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 187/KMK.02/2007 Tentang Persetujuan Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara bukan Pajak yang berasal dari Penerimaan Negara bukan Pajak ( diluar Sumber Daya Alam Perikanan) di lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan; 25. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP. 06/MEN/2010

Tentang Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia;

26. Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2010 tentang Perikanan (Lembaran Daerah Aceh Tahun 2010 Nomor----);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN ACEH BARAT DAYA dan

BUPATI ACEH BARAT DAYA MEMUTUSKAN :

Menetapkan : QANUN KABUPATEN ACEH BARAT DAYA TENTANG IZIN

USAHA PERIKANAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Aceh Barat Daya;

2. Pemerintahan Kabupaten adalah Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing;

3. Pemerintah Daerah adalah Bupati beserta perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah;

(4)

5. Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten yang selanjutnya disingkat DPRK adalah DPRK Aceh Barat Daya;

6. Dinas adalah Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Barat Daya; 7. Ikan adalah Semua Jenis Ikan termasuk Biota Perairan lainnya;

8. Usaha Perikanan adalah semua jenis usaha Perorangan atau Badan Hukum untuk menangkap atau membudidayakan ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial;

9. Perusahaan Perikanan adalah Perusahaan yang melakukan usaha perikanan dan dilakukan oleh warga Negara Republik Indonesia atau Badan Hukum Indonesia;

10. Usaha Penangkapan Ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah atau mengawetkannya untuk tujuan komersial;

11. Usaha Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan dan atau membiakkan ikan dan memanen hasilnya dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkannya untuk tujuan komersial;

12. Perluasan Usaha Penangkapan Ikan adalah Penambahan jumlah kapal perikanan dan atau penambahan jenis kegiatan usaha yang berkaitan, yang belum tercantum dalam IUP;

13. Perluasan Usaha Pembudidayaan Ikan adalah Penambahan areal lahan dan atau penambahan jenis kegiatan usaha diluar yang tercantum dalam IUP;

14. Sertifikat Kelayakan Pengolahan yang selanjutnya disingkat SKP adalah surat keterangan yang dikeluarkan Bupati yang menerangkan bahwa unit pengolahan telah memenuhi persyaratan yang ditentukan;

15. Kapal Perikanan adalah kapal atau perahu atau alat pengapung lainnya yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan termasuk untuk melakukan survey atau ekplorasi perikanan;

16. Surat Izin Penangkapan Ikan yang selanjutnya disingkat SIPI adalah surat izin yang harus dimiliki setiap kapal perikanan berbendera Indonesia untuk melakukan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Kabupaten Aceh Barat Daya dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari IUP;

17. Wilayah Pengelolaan Perikanan Kabupaten Aceh Barat Daya adalah wilayah pengelolaan perikanan sesuai Yuridiksi Kabupaten;

18. Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan yang selanjutnya disingkat SIKPI yaitu surat izin yang harus dimiliki oleh setiap kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia untuk melakukan kegiatan pengangkutan ikan yang digunakan oleh perusahaan perikanan;

BAB II

JENIS USAHA PERIKANAN Pasal 2

(1) Izin Usaha Perikanan Tangkap terdiri dari :

a. Izin Usaha Perikanan yang di terbitkan dalam bentuk SIUP;

b. Izin Usaha Penanggapan Ikan yang di terbitkan dalam bentuk SIPI.

(2) Usaha pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b meliputi jenis kegiatan :

a. pembudidayaan ikan air tawar ; b. pembudidayaan ikan air payau; dan c. pembudidayaan ikan air laut.

(5)

BAB III

TATA CARA MEMPEROLEH SURAT IZIN USAHA PERIKANAN (SIUP), SURAT IZIN PENANGKAPAN IKAN (SIPI) DAN

SURAT IZIN KAPAL PENGANGKUTAN IKAN (SIKPI) Pasal 3

(1) Usaha perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Kabupaten dilakukan oleh perorangan, Warga Negara Indonesia, Badan Hukum dan Koperasi yang berdomisili dalam Wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya;

(2) Setiap orang atau Badan Usaha yang melakukan kegiatan usaha perikanan dalam wilayah kabupaten Aceh Barat Daya wajib memiliki SIUP.

Pasal 4

(1) SIUP sebagaimana dimaksud pada pasal 3 ayat (2) diberikan setelah memenuhi persyaratan : a. Permohonan;

b. rencana usaha;

c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan atau Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD);

d. akte pendirian perusahaan atau koperasi; e. Rekomendasi dari Dinas;

f. dokumen teknis kapal yang telah dimiliki (bagi usaha Penangkapan dan pengangkutan); g. Izin lokasi dari Pemerintah Daerah (bagi usaha pembudidayaan ikan);

h. Surat Kelaikan Pengolahan (bagi usaha Pengolahan Ikan);

i. Penyampaian informasi lingkungan atau Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) bagi usaha pembudidayaan ikan sesuai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku;

j. Surat Izin Tempat Usaha dan atau Surat Keterangan Usaha (bagi usaha pemasaran); k. Tanda Daftar Perusahaan (TDP);

l. pasphoto berwarna pemilik dan atau penanggung jawab perusahan sebanyak 2 (dua) lembar ukuran 4 x 6 cm; dan

m. fotocopi KTP pemilik dan atau penanggung jawab. Pasal 5

(1) SIUP untuk usaha Pembudidayaan dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya, meliputi :

a. budidaya air tawar yang memiliki luas areal 2 Ha sampai dengan 10 Ha; b. budidaya air payau yang memiliki luas areal 4 Ha sampai 10 Ha;

c. budidaya air laut diatas 0,5 Ha.

(2) SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh Bupati atau Pejabat yang ditunjuk.

Pasal 6

(1) Permohonan SIUP sebagaimana dimaksud Pasal 4 huruf a disampaikan kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk.

(6)

(2) Selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah diterimanya laporan hasil penelitian, Bupati atau pejabat yang ditunjuk memberikan, menunda dan atau menolak permohonan IUP.

Pasal 7

(1) Penundaan pemberian IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dilakukan apabila menurut hasil penelitian terdapat dokumen permohonan yang masih perlu disempurnakan. (2) Dalam hal penundaan, kepada perusahaan perikanan diberikan kesempatan

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak penundaan untuk menyampaikan dokumen yang telah disempurnakan.

(3) Apabila kesempatan yang diberikan tidak dipenuhi maka permohonan IUP ditolak. Pasal 8

(1) Terhadap penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3), perusahaan perikanan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak menerima surat penolakan yang dibuktikan dengan tanda terima, dapat mengajukan Permohonan Banding kepada Bupati dengan tembusan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan;

(2) Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak menerima permohonan banding, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk memberikan, menunda atau menolak secara tertulis dengan mencantumkan alasannya.

Pasal 9

(1) Perusahaan perikanan yang telah memiliki SIUP dapat melakukan perluasan usaha penangkapan ikan dan usaha pembudidayaan ikan setelah memperoleh izin dimaksud; (2) Tata cara permohonan dan pemberian persetujuan perluasan berlaku ketentuan tata cara

sebagaimana dimaksud pada Pasal 4;

(3) Dalam hal perluasan disetujui, Bupati atau pejabat yang di tunjuk memberikan SIUP baru sebagai pengganti SIUP lama.

(4) Berdasarkan SIUP baru, maka :

a. usaha pembudidayaan ikan dapat langsung melakukan kegiatan; dan

b. usaha penangkapan ikan yang menggunakan kapal perikanan Berbendera Indonesia, selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) tahun sejak IUP diberikan, perusahaan perikanan diharuskan merealisasikan seluruh rencana usaha.

Pasal 10

(1) Setiap kapal perikanan yang digunakan oleh usaha perikanan untuk melakukan penangkapan ikan wajib memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI);

(2) Setiap pengeluaran SIPI dikenakan Retribusi daerah;

(3) SIPI bagi kapal Perikanan yang berukuran 5 GT sampai dengan 30 GT dan atau menggunakan mesin dengan kekuatan diatas 16 PK dikeluarkan oleh Bupati.

Pasal 11

(1) SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dikeluarkan apabila : a. telah memiliki SIUP;

(7)

c. menyampaikan surat ukuran kapal; d. menyampaikan sertifikat kesempurnaan;

e. surat keterangan lulus cek fisik kapal oleh pejabat yang ditunjuk; dan f. menyampaikan bukti pembayaran Retribusi daerah.

(2) SIPI diberikan kepada usaha perikanan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

(3) Permohonan SIPI disampaikan kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dengan tembusan disampaikan kepada Camat dan Panglima Laot.

(4) Berdasarkan hasil penelitian petugas, Bupati selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja telah memberikan, menunda atau menolak SIPI.

(5) Dalam hal penolakan, kepada perusahaan perikanan diberikan kesempatan untuk mengajukan kembali permohonan SIPI sesuai dengan rencana usaha.

(6) Bagi kapal perikanan yang telah siap dioperasikan dapat mengajukan permohonan SIPI dan SIUP serta pemberian SIPI dikeluarkan bersama dengan SIUP.

Pasal 12

Kapal penangkapan ikan pada saat melakukan penangkapan ikan wajib dilengkapi : a. SIPI asli;

b. salinan SIUP yang telah dilegalisir; c. log book perikanan;

d. lembar laik operasi; dan e. surat izin berlayar.

Pasal 13

(1) Setiap usaha perikanan yang telah memperoleh SIUP sebelum melakukan usaha pengangkutan ikan wajib memiliki SIKPI dalam satuan armada penangkapan ikan.

(2) Permohonan SIKPI diajukan oleh usaha perikanan kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dengan dilengkapi :

a. salinan SIUP yang dilegalisir;

b. salinan tanda pendaftaran kapal (Grosse Akte); c. salinan surat ukur kapal;

d. salinan sertifikat kelaikan dan pengawakan; e. hasil pemeriksaan fisik kapal; dan

f. bukti pembayaran retribusi daerah. (3) Dalam setiap SIKPI ditetapkan :

a. kapasitas tempat penampungan ikan (Palka) yang dipergunakan; b. pelabuhan pendaratan ikan;

c. jalur penangkapan ikan yang terlarang; d. identitas kapal;

e. jumlah dan daftar penempatan Anak Buah Kapal (ABK);

f. identitas kapal perikanan yang menjadi anggota satuan armada penangkapan ikan; dan g. kewajiban pemegang SIKPI.

(8)

Pasal 14

(1) SIKPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 diberikan dalam jangka waktu : a. 5 (lima) tahun, untuk ikan permukaan (pelagis) besar; dan

b. 3 (tiga) tahun, untuk ikan permukaan (pelagis) kecil.

(2) SIKPI dapat diperpanjang untuk waktu yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dan laporan penangkapan dan pengangkutan.

Pasal 15

Kapal Pengangkut ikan untuk melakukan pengangkutan ikan wajib dilengkapi : a. SIKPI asli;

b. salinan SIUP yang dilegalisir; c. log book Perikanan;

d. lembar laik operasional; dan e. surat izin berlayar.

Pasal 16

(1) Usaha Perikanan yang telah mempunyai SIKPI dapat mengajukan perubahan SIKPI kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk.

(2) Perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak SIKPI diperoleh dan atau sejak perubahan SIKPI diberikan.

Pasal 17 Pemegang SIUP, SIPI, SIKPI, berkewajiban :

a. melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam SIUP, SIPI, SIKPI;

b. memperoleh persetujuan tertulis dari Bupati dalam hal memindahtangankan SIUP; c. menyampaikan laporan kegiatan usaha setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Bupati; dan d. menunjukkan surat izin yang dimiliki kepada petugas yang berwenang sewaktu-waktu

apabila diperlukan.

Pasal 18

(1) Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak SIUP diberikan, perusahaan perikanan diharuskan merealisasikan seluruh rencana usaha.

(2) Realisasi rencana usaha dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu maksimal 1 (satu) tahun, atas permintaan perorangan dan atau badan hukum berdasarkan alasan yang dapat diterima oleh Bupati.

(3) Apabila perpanjangan jangka waktu telah melampaui batas yang ditentukan, tetapi perorangan dan atau badan hukum belum juga dapat merealisasikan seluruh rencana usahanya, maka SIUP diubah sesuai dengan realisasi usaha yang telah dilaksanakan.

(4) Apabila dalam tahun pertama perorangan dan atau badan hukum yang telah dioperasikan sekurang-kurangnya 30 % dari rencana usaha tahun pertama, Bupati mencabut SIUP yang telah diberikan.

(9)

(5) Apabila terjadi pengurangan jumlah kapal perikanan yang telah dioperasikan dan mengadakan perubahan daerah penangkapan, maka perorangan dan atau badan hukum selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak pengurangan atau pada waktu akan mengajukan perubahan daerah penangkapan, wajib segera melaporkan dan menyerahkan SIUP dan atau SIPI kepada Bupati untuk diadakan penyesuaian.

BAB IV

BIAYA IZIN DAN RETRIBUSI DAERAH Pasal 19

(1) Setiap Perizinan dikenakan biaya izin dan Retribusi Daerah yang besarannya ditetapkan sebagaimana tersebut dalam Tabel I dan Tabel II sebagai berikut:

Tabel I

No Uraian (Obyek Kegiatan)/Tahun Harga

(Rp)

1. Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP)

1. Penangkapan Ikan

2. Pengumpulan, Pengolahan, Pengangkutan dan Pemasaran Ikan

3. Budidaya Perikanan

a. Izin Usaha Budidaya Air Tawar 2 s.d 10 Ha b. Izin Usaha Budidaya Air Payau 4 s.d 10 Ha c. Izin Usaha Budidaya Air Laut 0,5 Ha

500.000,- 500.000,- 1.500.000,- 2.500.000,- 1.500.000,- Tabel II 1. 2.

Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) Per Gross Tonage (GT)

- Rawai (longline) - Pukat Udang - Pukat Ikan

- Pukat cincin (Purse seine) Pelagis Kecil - Pukat cincin (Purse seine) Pelagis Besar - Jaring insang (gill net)

- Bagan apung/Jaring angkat (lift net) - Pancing Rawai Dasar

- Jaring kantong Besar (Long Bag Set Net) - Pancing Tonda (trolling net)

- Bubu laut.

Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) - Per Gross Tonage (GT)

30.000,- 100.000,- 98.000,- 11.000,- 30.000,- 20.000,- 20.000,- 16.000,- 10.000,- 30.000,- 31.000,- 20.000,-

(10)

(2) Setiap kegiatan usaha perikanan yang menggunakan fasilitas yang disediakan oleh daerah dipungut Retribusi daerah sebagaimana diatur dalam Tabel sebagai berikut:

No Uraian (Obyek Kegiatan) Harga (Rp)

1.

2.

Jasa Sandar Kapal Luar Daerah/Hari - Kapal 5 s/d 10 GT

- Kapal 10 s/d 20 GT - Kapal diatas 20 GT Biaya Administrasi

- Surat Rekomendasi

- Surat Keterangan Asal (SKA)

10.000,- 15.000,- 20.000,- 25.000,- 50.000,- Pasal 20

(1) Biaya izin dan retribusi daerah sebagaimana tercantum pada Pasal 19 merupakan penerimaan daerah disetor ke kas daerah dan atau melalui Dinas;

(2) Retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 80% disetor langsung ke Kas daerah, sebesar 20% dikembalikan ke Dinas sebagai biaya pelayanan dan pengawasan. (3) Penyetoran retribusi daerah sebagaimana tercantum pada ayat (1) harus disetor ke kas

Daerah dalam jangka waktu 1 x 24 jam.

BAB V

BIMBINGAN DAN PENGAWASAN Pasal 21

(1) Dinas dan atau Petugas yang ditunjuk berwenang melakukan pembinaan, bimbingan teknis dan pengawasan terhadap pelaksanaan izin usaha kelautan dan perikanan serta kegiatan-kegiatan lainnya yang ditetapkan dalam Qanun ini.

(2) Tata cara pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

BAB VI

KETENTUAN PIDANA Pasal 22

(1) Setiap Usaha perikanan yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Qanun ini diancam dengan pidana kurungan dan atau denda sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan yang berlaku.

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. (3) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pendapatan daerah.

(4) Akibat kelalaian dari pengelolaan usaha perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menimbulkan kerugian dalam kehidupan masyarakat, wajib memberikan kompensasi.

(11)

BAB VII PENYIDIKAN

Pasal 23

(1) Pejabat aparatur penegak hukum yang berwenang melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Qanun ini dilakukan oleh Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL) yang ditunjuk oleh Panglima TNI dan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pada bidang Perikanan serta penyidik Kepolisian Republik Indonesia di Wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

(2) Dalam melaksanakan tugas penyidikan oleh para pejabat penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan penyidikan di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;

c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penyitaan benda atau surat;

e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

f. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan;

g. menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum tersangka atau keluarganya; dan

h. mengadakan tindakan menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

BAB VIII

KETENTUAN PERALIHAN Pasal 24

Pemegang perizinan yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Qanun ini masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya izin.

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP Pasal 25

Dengan berlakunya Qanun ini, maka segala ketentuan yang telah ada tentang Izin Usaha Perikanan yang bertentangan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 26

Ketentuan yang belum diatur dalam Qanun ini, sepanjang mengenai pelaksanaannya akan diatur dengan Peraturan Bupati.

(12)

Pasal 27 Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Aceh Barat Daya.

Disahkan di Blangpidie

pada tanggal 16 November 2012 M 02 Muharram 1434 H

s

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ACEH BARAT DAYA TAHUN 2012 NOMOR 14 BUPATI ACEH BARAT DAYA,

JUFRI HASANUDDIN

Diundangkan di Blangpidie

pada tanggal 17 November 2012 M 03 Muharram 1434 H

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN ACEH BARAT DAYA

(13)

PENJELASAN

RANCANGAN QANUN KABUPATEN ACEH BARAT DAYA NOMOR 14 TAHUN 2012

TENTANG

IZIN USAHA PERIKANAN

I. PENJELASAN UMUM

1. Bahwa di Kabupaten Aceh Barat Daya kegiatan dibidang perikanan khususnya

kegiatan penangkapan ikan semakin meningkat dan berkembang dari tahun demi tahun. Hasil perikanan sebagai salah satu potensi dari kekayaan laut adalah merupakan sumber mata pencaharian pokok dari sebagian anggota masyarakat dan di sisi lain juga merupakan sumber penerimaan kabupaten.

2.

3. Untuk adanya ketertiban dalam kegiatan usaha penangkapan ikan, budidaya,

pengumpulan dan penyaluran/pengangkutan hasil perikanan, maka pengelolaan sumber daya ikan perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya berdasarkan keadilan dan pemerataan dalam pemanfaatannya, dengan mengutamakan perluasan kesempatan kerja/usaha dalam upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan serta terbinanya pelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya kelautan agar berdaya guna dan berhasil guna serta adanya ketertiban dalam pelaksanaannya, dipandang perlu menetapkan Izin Usaha Perikanan.

II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas

(14)

Pasal 11 Cukup Jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup Jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup Jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian yang telah dilakukan, didapatkan sebaran episenter gempa mikro di sekitar titik mata air panas Cangar dan di sekitar kawah gunung Welirang yang berasosiasi

Hampir 23,1% balita yang tinggal kota Palembang mengalami stunting dimana cakupan WHO yang menyatakan bahwa jika sebuah wilayah mencapai >20% balita dengan

[r]

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nurhidayati dan Bahar (2018) tentang dukungan keluarga meningkatkan kesiapsiagaan lansia dalam menghadapi bencana

Semua orang tua pastinya ingin jika anaknya menjadi anak yang sholeh sholehah, serta mempunyai bekal ilmu agama yang cukup selain dari ilmu-ilmu umum sehingga

Tumor ganas di vertebra lumbosakralis dapat bersifat primer dan sekunder. Tumor primer yang sering dijumpai adalah mieloma multipel. LBP sering menjadi keluhan

Secara keseluruhan, prestasi belajar mahasiswa prodi PAI angkatan 2010 dan 2011 IAIN Palangka Raya berupa angka pada semua mata kuliah yang ditempuh awal semester sampai

Isi buku siswa terdiri dari: tujuan pembelajaran, pengetahuan dasar yang memuat contoh-contoh hal sederhana dalam kehidupan sehai-hari yang ada kaitannya dengan