Implementasi Protokol Optimized Link State
Routing (OLSR) pada Jaringan Mesh WLAN
Standar IEEE 802.11g untuk Akses Broadband
Internet
Sutrisno
Program Studi Teknik Telekomunikasi Jurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Bandung Jl.Gegerkalong Hilir Ds Ciwaruga Bandung, Indonesia
ABSTRAK
Pada penelitian ini telah diimplementasikan protokol routing Optimized Link State Routing (OLSR) pada jaringan mesh Wireless Local Area Network (mesh WLAN) standar IEEE 802.11g. Protokol routing OLSR ini termasuk dalam protokol routing proaktif untuk jaringan mobile ad hoc (MANET) yang memiliki keuntungan yaitu waktu tunda yang relatif kecil karena routing yang diperlukan telah ada sebelum dibutuhkan, namun kekurangan dari protokol routing ini adalah banyaknya overhead. Pengujian unjuk kerja protokol routing OLSR dilaksanakan dengan empat skenario, yaitu skenario single cell, multi cell, self configure dan self healing. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai throughput menurun, sebaliknya packet loss, latency, dan expected transmission count (ETX) semakin membesar bergantung pada jumlah mesh router dilaluinya. Kerja OLSR didasarkan pada Link Quality (LQ), Neighbour Link Quality (NLQ) dan Cost dari routing yang dihitung dengan algoritma Dijkstra.
Kata kunci : Mesh WLAN, OLSR, LQ, NLQ, Cost, MPR
I. PENDAHULUAN
Aplikasi Wireless Local Area Network (WLAN) saat ini telah banyak digunakan. Salah satu topologi yang dapat digunakan adalah bentuk mesh atau lebih dikenal dengan Wireless Mesh Network (WMN). Jaringan WMN memiliki sifat self configured dan self healing [1]. Self configured adalah kemampuan mesh router nirkabel untuk bergabung dengan WMN yang telah ada secara otomatis, sedangkan self healing adalah kemampuan mesh router nirkabel mencari jalur routing yang baru apabila pada jalur yang akan dilalui terdapat gangguan. Dengan kata lain WMN ini mampu menjaga konektivitasnya apabila terjadi kerusakan pada salah satu mesh router.
Ada 3 jenis protokol routing yang dikenal yaitu protokol routing proaktif, reaktif dan hybrid [2]. Protokol routing proaktif melakukan pencarian routing sebelum sebuah routing diperlukan, sehingga delay transmisi menjadi kecil. Tetapi overhead routing yang dihasilkan
cukup besar. Di sisi lain, routing reaktif (on demand) akan melakukan pencarian path hanya pada saat dibutuhkan, sehingga menimbulkan delay yang lebih besar bila dibandingkan dengan routing proaktif. Namun bila terjadi kegagalan link maka dibutuhkan lagi paket kontrol khusus untuk memperbaiki link tersebut. Keadaan ini tentunya dapat menimbulkan overhead yang cukup banyak jika kegagalan link terjadi berulang-ulang pada jaringan dengan densitas tinggi. Pada keadaan ini pendekatan proaktif lebih baik dari reaktif dikarenakan sifatnya yang selalu memperbaharui informasi routing sehingga keadaan jaringan selalu terbaharui dan selalu siap pada saat path dibutuhkan.
Pertanyaan penelitian ini dapat diformulasikan sebagai berikut: Apakah peran Optimized Link State Routing (OLSR) protocol yang diimplementasikan pada jaringan mesh WLAN standar IEEE 802.11g dapat meningkatkan kehandalan jaringan dimana konektivitas trafik harus tetap terjaga meskipun terjadi gangguan pada hop yang disebabkan oleh gangguan propagasi atau kerusakan pada mesh router nirkabelnya?. Jaringan mesh WLAN yang telah dibangun terdiri dari beberapa mesh router nirkabel yang satu sama lainnya terhubung melalui media gelombang radio atau nirkabel. Dalam pengujian unjuk kerja dan kehandalan jaringan perlu mempertimbangkan dan memperhatikan tentang testbed dimana jaringan tersebut akan diuji. Testbed harus memiliki lingkungan yang tidak menghalangi atau mengganggu propagasi gelombang radio sehingga lintasan propagasi gelombang radio memenuhi syarat kondisi line of sight (LOS).
Metode pengukuran dan pengujian dilaksanakan dengan merancang beberapa skenario pengukuran dan pengujian untuk melihat karakteristik routing dan re-routing semua mesh router yang terlibat dalam jaringan mesh WLAN tersebut. Selain itu perlu mempertimbangkan tentang tool apa yang dibutuhkan untuk mengukur parameter-parameter jaringan seperti packet loss,througput,
latency, Expected Transmission Count (ET Noise Ratio (SNR).
II. KAJIAN TEKNOLOGI A. Wireless Mesh Network (WMN)
Wireless Mesh Network (WMN) dikembangkan untuk mengatasi kelemahan dan keterbatasa
jaringan adhoc, WLAN, Wireless Personal Area Network (WPAN), dan Wireless Metropolitan Area Network (WMAN) [4]. Dalam teknologi jaringan
konvensional, semua pengguna atau
harus berada dalam jangkauan transmisi dari agar setiap pengguna dapat terhubung ke
Apabila sebuah pengguna sudah tidak terjangkau lagi oleh base station, maka pengguna tersebut tidak dapat dilayan Dalam jaringan WMN, jangkauan tidak dibatasi oleh ketersediaan koneksi secara langsung ke
namun dapat terhubung melalui pengguna lain yang masuk kedalam jangkauan gateway. Namun pada WMN ini, setiap klien/pengguna tidak hanya berfungsi se
juga sebagai mesh router untuk meneruskan (forwarding) paket ke pengguna lain yang tidak terhubung secara langsung ke gateway.
B. Jaringan Ad hoc nirkabel
Jaringan WMN yang menggunakan standar 802.11 memiliki fitur yang memungkinkan para klien di dalamnya dapat saling berkomunikasi satu sama lain dengan metode peer-to-peer langsung melalui perangkat
mereka. Fitur yang satu ini sering disebut dengan istilah hoc. Pada sistem Adhoc tidak lagi mengenal
(yang biasanya difungsikan pada Access Point penghubung antara jaringan kabel dengan
Dalam topologi Adhoc ini, masing PDA, atau perangkat yang berkemampuan dapat bertindak sebagai sebuah mesh router
tergantung satu sama lain dan membentuk sebuah jaringan tersendiri, terlepas dari apa yang telah disediakan oleh AP sekitarnya.
Gambar 2.1 komunikasi WLAN mode Adhoc
Gambar 2.1 menunjukan bagaimana W
mode Adhoc bekerja. Laptop B berada diantara laptop A dan C. A dan C secara normal tidak dap
berkomunikasi sebabnya kedua-duanya berada diluar jangkauan gelombang radio masing-masing.
berkomunikasi jika B difungsikan untuk komunikasi dari A ke C tersebut. Hal ini
dilakukan apabila B mengimplementasikan fungsi router, yakni menambahkan protocol routing te
mampu meneruskan paket atau informasi
Count (ETX), dan Signal to AJIAN TEKNOLOGI
dikembangkan untuk mengatasi kelemahan dan keterbatasan yang ada pada WLAN, Wireless Personal Area Network ropolitan Area Network ]. Dalam teknologi jaringan nirkabel yang AccessPoint/Router harus berada dalam jangkauan transmisi dari base station terhubung ke internet gateway. Apabila sebuah pengguna sudah tidak terjangkau lagi oleh una tersebut tidak dapat dilayani. , jangkauan tidak dibatasi oleh ketersediaan koneksi secara langsung ke base station, namun dapat terhubung melalui pengguna lain yang masuk . Namun pada WMN ini, setiap ebagai host, namun untuk meneruskan (forwarding) paket ke pengguna lain yang tidak terhubung secara
yang menggunakan standar IEEE memiliki fitur yang memungkinkan para klien di dalamnya dapat saling berkomunikasi satu sama lain dengan langsung melalui perangkat nirkabel mereka. Fitur yang satu ini sering disebut dengan istilah Ad k lagi mengenal sistem central Access Point (AP) sebagai
dengan nirkabel [5]. ini, masing-masing laptop, berkemampuan nirkabel lainnya mesh router yang tidak dan membentuk sebuah jaringan sendiri, terlepas dari apa yang telah disediakan oleh AP di
Gambar 2.1 komunikasi WLAN mode Adhoc
bagaimana WMN dengan Laptop B berada diantara laptop A . A dan C secara normal tidak dapat langsung duanya berada diluar masing. A dan C dapat untuk menghubungkan tersebut. Hal ini hanya dapat B mengimplementasikan fungsi router, yakni menambahkan protocol routing tertentu sehingga
paket atau informasi dari A ke C.
C. Arsitektur Jaringan Mesh Nirkabel (WMN)
Jaringan nirkabel tradisional mempunyai topologi seperti pada gambar 2.2 di
berfungsi melayani klien atau hanya sebagai saja. AP-AP tersebut tidak dapat secara l berkomunikasi antara satu dengan yang lain melalui transmisi gelombang radionya, sehingga AP
dihubungkan antara satu dengan yang lain melalui jaringan wired ke awan/ backbone internet
Gambar 2.2. Topologi jaringan
Teknologi yang digunakan dalam Distribution System (WDS)
menggunakan teknologi yang memungkinkan AP saling terkoneksi secara nirkabel,
menjadi seperti jaringan yang ditunjukkan Teknologi WDS ini memungkinkankan AP terkoneksi tanpa membutuhkan
AP-AP tersebut. Kelemahan topologi WDS ini adalah apabila ada salah satu AP yang mati maka konektivitas akan terputus.
Gambar 2.3. Topologi
Gambar 2.4 Topologi
ingan Mesh Nirkabel (WMN)
tradisional mempunyai topologi bawah ini dimana AP hanya atau hanya sebagai access link tidak dapat secara langsung tu dengan yang lain melalui transmisi gelombang radionya, sehingga AP-AP ini harus dihubungkan antara satu dengan yang lain melalui jaringan
internet.
Gambar 2.2. Topologi jaringan nirkabel Tradisonal.
Teknologi yang digunakan dalam Wireless (WDS) sedikit lebih maju, yakni teknologi yang memungkinkan AP dapat nirkabel, topologi jaringan dapat jaringan yang ditunjukkan pada gambar 2.3. Teknologi WDS ini memungkinkankan AP-AP tersebut terkoneksi tanpa membutuhkan wired backbone diantara Kelemahan topologi WDS ini adalah apabila ada salah satu AP yang mati maka konektivitas akan
Gambar 2.3. Topologi jaringan dengan WDS.
Gambar 2.4 Topologi jaringan mesh nirkabel
Berbeda dengan jaringan mesh nirkabel (WMN) pada topologi seperti yang ditunjukan pada gambar 2.4 di atas. Apabila ada salah satu AP yang mati, AP dibelakangnya masih bisa terkoneksi secara otomatis ke AP yang lain. Hal ini bisa dimungkinkan karena adanya peranan protokol adaptive routing yang memang diberdayakan pada WMN. D. Routing pada WMN
Routing menjadi hal yang sangat penting dalam jaringan mesh. Protokol routing dibagi menjadi tiga bagian seperti gambar 2.5 yaitu: reaktif, proaktif dan hybrid.
Gambar 2.5. Macam-macam Protokol Routing
Protokol routing proaktif lebih bersifat table driven, dimana setiap mesh router menyimpan tabel yang berisi informasi routing semua mesh router yang diketahui, dan informasi routing diperbaharui secara berkala. Protokol routing reaktif adalah on-demand yang berbasis pada sebuah routing yang dibentuk selama ada permintaan (request). Protokol routing hybrid adalah kombinasi dari dua protokol routing reaktif dan proaktif. Penggunaan protokol routing proaktif secara umum memberikan solusi end-to-end delay terpendek karena informasi routing selalu tersedia dan up to date jika dibandingkan dengan protokol routing reaktif. Kekurangan dari protokol routing proaktif adalah terlalu banyak penggunaan sumber daya (resource), seperti overhead disaat melakukan update informasi routing [6]. E. OLSR (Optimized Link State Routing)
Elemen-Elemen OLSR
Protokol routing ini termasuk dalam protokol routing proaktif untuk jaringan Mobile Adhoc Network (MANET). Protokol ini memiliki keuntungan dalam delay karena route yang diperlukan telah ada sebelum dibutuhkan, namun kekurangan dari protokol routing ini adalah banyaknya overhead. Untuk mengurangi overhead, maka OLSR menggunakan teknik flooding Multipath Path Relaying (MPR), dimana hanya mesh router-mesh router yang dipilih sebagai mesh router MPR saja yang dapat meneruskan paket control yang diterima. Teknik ini cukup mengurangi overhead yang dihasilkan secara signifikan [7].
OLSR secara terus menerus menjaga routing ke seluruh tujuan dalam jaringan. Keuntungan lain protokol routing ini adalah protokol ini tidak membutuhkan pengiriman paket kontrol yang handal karena paket-paket tersebut akan terus dibangkitkan secara periodik oleh setiap mesh router
Protokol OLSR memiliki 4 elemen umum berdasarkan konsepnya, yaitu:
 Mekanisme untuk neighbor sensing
 Mekanisme pendifusian trafik kontrol dilakukan secara efektif.
 Mekanisme untuk memilih dan mendifusikan informasi topologi jaringan untuk perhitungan routing yang optimal.
 Pendeteksian mesh router tetangga
III. IMPLEMENTASI OLSR PADA Mesh WLAN A. Link-state routing protocols
Konsep dasar dari protokol link-state routing adalah semua mesh route memiliki peta topologi. Peta ini digunakan untuk menghitung routing ke segala mesh router tujuan. Status dari link yang dilewati akan selalu diperbaharui, maka protokol routing ini dinamakan link-state routing. Pendekatan ini berbeda dengan distance-vector routing, dimana hanya mendeteksi mesh router tujuan yang merupakan mesh router tetangga saja.
B. Neighbourhood discovery
Neighbourhood discovery merupakan proses yang berkesinambungan, dimana suatu mesh router menentukan himpunan mesh router lain yang berada dalam jangkauan transmisi. Hal ini dilakukan dengan cara mengirimkan pesan HELLO yang berkala dari setiap mesh router. Tujuan dari pesan-pesan ini adalah untuk memberi informasi mengenai mesh router tetangganya.
C. Link sensing
Untuk selalu mendapatkan informasi tentang link mana saja yang ada di sekitarnya dan di sekitar mesh router tetangganya, link ini akan selalu memantau dalam pesan HELLO. Sebuah mesh router memancarkan semua informasi tentang link ke semua tetangga dari mesh router tempat HELLO ditransmisikan. Ketika link menyatakan alamat IP mesh router tujuannya, maka link akan langsung terbentuk. Ketika mesh router tetangganya tidak dapat dijangkau oleh interface yang mentransmisikan HELLO, maka mesh router tetangga yang lain akan digunakan untuk membangun topologi jaringan tersebut.
D. Instalasi OLSR config file pada router LinksysWRT54GL. Tipe/model router nirkabel yang digunakan pada penelitian ini adalah Linksys WRT54GL. Pada penelitian ini, firmware yang digunakan untuk meng-upgrade router tersebut adalah freifunk package version 1.6.37 dengan nama binary filenya adalah openwrt-g-freifunk1.6.37-en.bin (versi terbaru yang sekarang sudah tersedia yaitu freifunk package version 1.4.7). Sedangkan protocol routing OLSR yang berada pada olsr config file sudah terpasang pada paket firmware versi 1.6.37 tersebut. Pemilihan router Linksys WRT54GL untuk jaringan mesh WLAN ini didasarkan kepada beberapa pertimbangan sebagai berikut:
 Linksys WRT54GL adalah perangkat keras yang cukup murah harganya.
 Perangkat ini juga banyak tersedia di pasar local.  Jaringan mesh nirkabel berbasis wireless
AP/Router lebih kecil dalam hal konsumsi daya
dibanding dengan yang berbasis komputer hanya sekitar 4 Watt.
 Mendukung tiga (3) mode komunikasi (Master Mode/AP Mode, Managed Mode/Client Mode, dan Adhoc Mode)
 Memungkinkan implementasi di luar ruangan (outdoor)
 Cukup memenuhi syarat untuk sistem jaringan yang ingin diperluas.
Gambar 3.3. Router Linksys WRT54GL
E. OLSR daemon Link Quality Extensions
Olsrd release 0.4.8 menawarkan implementasi dari ETX. Ketika menghitung tabel routing, RFC-compliant akan meminimalkan jumlah hop antara dirinya sendiri dan mesh router lain di MANET, bahkan routing melalui satu link yang buruk akan lebih disukai dibandingkan dengan melalui dua link yang baik.[8]
Untuk mengatasi masalah tersebut, maka harus diajarkan bagaimana cara memberitahu link yang baik dari link yang buruk. Hali ini telah dilakukan dengan mengukur packet loss untuk OLSR yang diterima mesh router tetangga. Jika suatu mesh router menerima pesan HELLO secara periodik setiap 2 detik, packet yang dimiliki oleh mesh router tersebut sudah cukup untuk mengetahui banyaknya packet loss dari packet yg dikirimkan mesh router tetangga tersebut. Probabilitas packet data yang berhasil dikirim adalah NLQ x LQ, dimana NLQ adalah Neighbor Link Quality dari suatu link dan LQ adalah Link Quality itu sendiri. Sebagai contoh, jika kita memiliki NLQ 60% dan LQ 70%, probabilitas round trip yang berhasil adalah 60% x 70% = 0.6 x 0.7 = 0.42 = 42%.
Transmisi ulang dari suatu paket dapat terjadi jika mesh router pengirim paket tidak menerima kembali paket yang telah dikirimkan. Hal ini dapat terjadi ketika paket yang dikirimkan oleh mesh route pengirim tidak sampai kepada mesh router tujuan atau sampai ke mesh router tujuan, namun ketika mesh router tujuan mengirimkan kembali paket tersebut ke mesh router pengirim, mesh router pengirim tidak menerima paket yang dikirim balik oleh mesh router tujuan akibat adanya kegagalan pengiriman.
IV. PENGUJIAN DAN PENGUKURAN Lokasi testbed yang dipilih untuk pengujian dan pengukuran berada di lingkungan kampus Politeknik Negeri Bandung seperti yang ditunjukan pada gambar 4.1. Pengujian OLSR pada jaringan mesh WLAN ini menggunakan empat (4) buah router nirkabel Linksys
WRT54GL yang satu sama lainnya terhubung dalam cakupan gelombang radionya secara Line Of Sight (LOS). Namun karena keterbatasan ketinggian tiang dimana router-router tersebut dipasang dan banyaknya gedung dan pepohonan maka keempat router ini tidak terhubung sempurna secara LOS namun sedikit agak terhalang (slightly obstructed). Data yang diambil dalam pengukuran adalah signal to noise ratio (SNR), throughput, packet loss, dan latency. Selain itu akan diuji pula kemampuan dari jaringan mesh WLAN ini dalam melakukan fungsi self healing dan self configure. Pengukuran dan pengujian dilaksanakan dengan menggunakan 4 (empat) macam skenario yaitu skenario single cell, multi cell, self configure dan self healing seperti yang ditunjukan pada gambar 4.1 dan 4.2 dibawah.
Gambar 4.1. Testbed untuk pengujian dengan skenario single
cell dan self configure
Gambar 4.2 Testbed untuk pengujian dengan skenario multi
Cell dan self healing
A. Pengukuran dan Analisa
Dalam pengukuran jaringan mesh WLAN pada penelitian ini, konfigurasi alamat IP yang digunakan adalah sebagai berikut :
Router 1 :IP WLAN : 10.1.1.1
IP LAN : 10.2.1.1
Subnet Mask : 255.255.255.0 Router 2 :IP WLAN : 10.1.1.2
IP LAN : 10.2.2.1
Subnet Mask : 255.255.255.0 Router 3 :IP WLAN : 10.1.1.3
IP LAN : 10.2.3.1
Subnet Mask : 255.255.255.0 Router 4 :IP WLAN : 10.1.1.4
IP LAN : 10.2.4.1
Subnet Mask : 255.255.255.0 Skenario 1 - Konfigurasi single cell
a. Hasil pengukuran Signal
Gambar 4.3 Grafik SNR untuk skenario 1
Pada grafik terlihat bahwa setiap meshbox router) memiliki nilai SNR yang berbeda, meshbox 1 memiliki nilai SNR yang paling rendah yaitu 37dB. Maka Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai SNR bergantung pada jarak fisik dimana router itu dipasang dan apakah ada tidaknya interferensi dari SSID lain.
b. Hasil pengukuran Throughput
Gambar 4.4 Grafik Throughput untu
Pada grafik di atas terlihat throughput
terbalik dengan banyaknya hop yang dilewati oleh sebuah meshbox.
c. Hasil pengukuran Packet Loss
Gambar 4.5 Grafik Packet Loss untuk skenario 1
37 40 44
20 40 60
meshbox1meshbox2meshbox3 Signal to Noise Ratio (dB) untuk Skenario 1
15,238 12,308 0 10 20 meshbox 1-2 meshbox 1-3
Throughput (Mbps) untuk Skenario 1
2 3
0 10
meshbox 1-2meshbox 1-3meshbox 1 Packet Loss (%) untuk Skenario 1
engukuran jaringan mesh WLAN pada yang digunakan adalah : 10.1.1.1 : 10.2.1.1 : 255.255.255.0 : 10.1.1.2 : 10.2.2.1 : 255.255.255.0 : 10.1.1.3 : 10.2.3.1 : 255.255.255.0 : 10.1.1.4 : 10.2.4.1 255.255.255.0 single cell to Noise Ratio
Gambar 4.3 Grafik SNR untuk skenario 1
Pada grafik terlihat bahwa setiap meshbox (mesh yang berbeda, meshbox 1 paling rendah yaitu 37dB. Maka Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai SNR bergantung pada jarak fisik dimana router itu dipasang dan apakah ada tidaknya interferensi dari SSID lain.
Throughput
Gambar 4.4 Grafik Throughput untuk skenario 1
throughput berbanding yang dilewati oleh sebuah Hasil pengukuran Packet Loss
Gambar 4.5 Grafik Packet Loss untuk skenario 1
Pada grafik di atas didapatkan banyaknya berbanding lurus dengan banyaknya dilewati untuk mencapai mesh router
d. Latency
Gambar 4.6 Grafik Latency untuk skenario 1
Latency dapat diperoleh trip time/2. Dimana round trip diperlukan oleh sebuah meshbox ke meshbox lain.
a. Expected Transmission Count
Gambar 4.7 Grafik Expected Transmission Count
Pada grafik hasil pengukuran Expected Transmission Count dengan banyaknya hop pada suatu Expected Transmission Count
perhitungan 1 / (NLQ x LQ) untuk masing Dengan demikian, meshbox
satu, nilai ETX total adalah jumlah ETX dari semua seperti yang ditunjukan pada persamaan
Dimana: a merupakan banyaknya Skenario 2 - Konfigurasi Multi cell
Pada skenario ini terdapat 4 kondisi, dengan uraian sebagai berikut:
Kondisi 1: meshbox 3 dan 4 dimatikan atau 4 (empat) (outage)
Gambar 4.8 Kondisi 1 pada skenario 2
41 meshbox3meshbox4 Signal to Noise Ratio (dB) untuk Skenario 1
5,766 meshbox
1-4 Throughput (Mbps) untuk Skenario 1
5 meshbox 1-4 Packet Loss (%) untuk Skenario 1
2,1 0
10
meshbox 1-2meshbox 1 Latency (ms) untuk Skenario 1
1,313 0
5
meshbox 1-2meshbox 1 Expected Transmission Count
atas didapatkan banyaknya packet loss berbanding lurus dengan banyaknya hop yang harus mesh router atau meshbox tujuan.
Gambar 4.6 Grafik Latency untuk skenario 1
diperoleh dengan perhitungan round round trip time merupakan waktu yang meshbox untuk mengirimkan data Expected Transmission Count (ETX)
Expected Transmission Count untuk skenario 1
Pada grafik hasil pengukuran di atas diperoleh nilai Expected Transmission Count (ETX) berbanding lurus pada suatu meshbox, dimana
Expected Transmission Count diperoleh dengan
perhitungan 1 / (NLQ x LQ) untuk masing-masing hop. yang memiliki hop lebih dari satu, nilai ETX total adalah jumlah ETX dari semua hop seperti yang ditunjukan pada persamaan di bawah.
merupakan banyaknya hop. Konfigurasi Multi cell
Pada skenario ini terdapat 4 kondisi, dengan uraian : meshbox 3 dan 4 dimatikan atau 4 (empat) hop putus
Gambar 4.8 Kondisi 1 pada skenario 2
2,6 5,55
meshbox 1-3meshbox 1-4 Latency (ms) untuk Skenario 1
2,594 3,346
meshbox 1-3meshbox 1-4 Expected Transmission Count - Skenario 1
Kondisi 2: meshbox4 dimatikan atau 2 (dua) hop putus (outage)
Gambar 4.9 Kondisi 2 pada skenario 2
Kondisi 3 : meshbox3 dimatikan atau 2 (dua) hop putus (outage)
Gambar 4.10 Kondisi 3 pada skenario 2
Kondisi 4 : semua meshbox dihidupkan dan semua hop terhubung.
Gambar 4.11 Kondisi 4 pada skenario 2
a. Hasil pengukuran Signal to Noise Ratio
Gambar 4.12 Grafik SNR untuk skenario 2
Nilai SNR pada meshbox1 (kondisi1) masih sama seperti pada skenario 2. Meshbox3 memiliki nilai SNR yang paling tinggi, karena lokasi penempatannya cenderung tidak banyak terhalang oleh bangunan dan pepohonan.
b. Throughput
Gambar 4.13 Grafik Throughput untuk skenario 2
Pada grafik di atas terlihat bahwa throughput berbanding terbalik dengan banyaknya hop yang dilewati oleh sebuah meshbox.
c. Packet Loss
Gambar 4.14 Grafik Packet Loss untuk skenario 2
Pada grafik di atas terlihat bahwa nilai packet loss kondisi 2 dan kondisi 4 adalah 0%, atau tidak ada packet yang hilang. Hal ini disebabkan karena penempatan router yang memenuhi syarat kondisi LOS antara meshbox2 dan meshbox3.
d. Latency
Gambar 4.15 Grafik Latency untuk skenario 2
Dapat terlihat dari grafik di atas, nilai latency untuk kondisi 1 yaitu meshbox2 langsung terhubung ke meshbox1 hanya 2,23 ms karena hanya melalui satu hop, sedangkan untuk kondisi 3 yaitu meshbox2 ke meshbox1 melewati meshbox4 memiliki nilai latency tertinggi karena harus melewati dua hop.
e. Expected Transmission Count (ETX)
Gambar 4.16 Grafik Expected Transmission Count untuk skenario 2
Pada grafik hasil pengukuran di atas diperoleh nilai Expected Transmission Count berbanding lurus dengan banyaknya hop pada suatu meshbox. Dimana ETX didapat
37 43 48 46
0 100
kondisi1 kondisi2 kondisi3 kondisi4 Signal to Noise Ratio (dBm) - Skenario 2
14,349 10,49
9,412 11,428 0
10 20
kondisi1 kondisi2 kondisi3 kondisi4 Throughput (Mbps) untuk Skenario 2
3
0 3 0
0 5
kondisi1 kondisi2 kondisi3 kondisi4 Packet Loss (%) untuk Skenario 2
2,23 3,05 3,4 2,8
0 5
kondisi1 kondisi2 kondisi3 kondisi4 Latency (ms) untuk Skenario 2
3,263 4,029 4,693 3,849 0
5
kondisi1 kondisi2 kondisi3 kondisi4 Expected Transmission Count untuk
Skenario 2
dengan perhitungan 1 / (NLQ x LQ) untuk masing-masing hop.
Skenario 3 – Self configure
Waktu yang diperlukan oleh meshbox1 agar dapat terhubung dengan meshbox lainnya adalah waktu self-configure. Cara yang dilakukan adalah user 1 masuk ke alamat IP meshbox1 melalui PuTTY atau SSH kemudian melakukan ping secara terus menerus terhadap meshbox3. Skenario 4 – Self healing
Ketika meshbox3 dan meshbox 4 dimatikan seperti pada kondisi 1, maka untuk mencapai gateway internet meshbox2 akan langsung terhubung dengan meshbox1 karena tidak ada pilihan hop lain. Lalu pada kondisi 2, meshbox3 dihidupkan, sehingga untuk mencapai gateway internet, meshbox2 akan melewati meshbox3. Meshbox2 melewati meshbox3 karena pada hubungan ini meshbox3 memiliki cost yang lebih kecil daripada apabila meshbox2 langsung terhubung ke meshbox1. Nilai cost suatu hop meshbox dapat dilihat pada halaman status freifunk seperti yang ditunjukan pada gambar 4.17.
Gambar 4.17 Tampilan halaman status Freifunk untuk melihat nilai LQ, NLQ, dan Cost yang terukur.
V. PENUTUP A. Kesimpulan
Penilitian ini telah berhasil mengimplementasikan, mengukur dan menguji protokol routing OLSR pada jaringan mesh WLAN standar 802.11g dengan menggunakan LinksysWRT54GL sebagai meshbox (router nirkabel) yang diupgrade dengan firmware openwrt-g-freifunk-1.6.37-en.bin. Pengujian karakteristik self healing dan self configure pada jaringan mesh WLAN tersebut dilakukan dengan skenario2 multi cell dan multi hop, menunjukan bahwa jaringan tetap handal dan konektivitas trafik tetap terjaga meskipun terjadi gangguan (outage) pada beberapa hopnya. Trafik tidak putus karena dialirkan (routing) ke hop yang masih terhubung baik. Dari hasil
pengukuran parameter SNR, troughput, packet loss, dan latency menunjukan kesimpulan sebagai berikut:
 Nilai throughput untuk skenario1 single cell dan melibatkan tiga (3) hop dan empat (4) buah ,meshbox (mesh router) diperoleh nilai rata-rata sebesar 11 Mbps. Sedangkan untuk skenario2 multicell yang melibatkan multi hop rata-rata adalah 9 Mbps.
 Nilai Packet loss untuk skenario1 single cell diperoleh nilai rata-rata 3,5 % dan 1,5 % untuk skenario2 multicell.
 Latency untuk skenario1 single cell memperoleh nilai rata-rata 5 ms dan 2,87 ms untuk skenario2 multi cell.
 ETX untuk berbagai macam kondisi topologi jaringan rata-rata diperoleh nilai 4
 SNR untuk skenario1 single cell diperoleh nilai rata-rata sebesar 40 dB dan 43 dB untuk skenario2 multi cell.
B. Saran
Saran untuk pengembangan lebih lanjut adalah sebagai berikut
 Perlunya pengukuran dilakukan pada area testbed yang lebih luas dan memenuhi syarat kondisi LOS.  Harus ada keseimbangan pada spesifikasi
perangkat (PC laptop) di sisi endpoints.
 Perlu adanya pengujian lain dengan menggunakan perangkat yang lebih banyak sehingga dapat diketahui dengan pasti kapasitas (skalabilitas) maksimal yang dapat ditangani oleh jaringan mesh nirkabel.
DAFTAR PUSTAKA
[1]Ashadi Budiawan, “Analisa Unjuk Kerja Wireless Mesh”, Laporan Penelitian, Universitas Indonesia, 2008 [2] Sony Candra Dirgantoro, “Analisis Kinerja Protokol Routing AODV dan OLSR pada Jaringan Mobile Adhoc, Surabaya, 2006
[3] Martina Umlauft, “Routing in Wireless Mesh Networks”, Vienna University of Technology, 2007 [4] Andreas Tonneson,” Implementation of The Optimized Link State Routing Protocol”, University of Toronto, 2006
[5] Josh Broch David, “A Performance Comparison of Multi-Hop Wireless Ad Hoc Network Routing Protocols” , 2007
[6] Jason D. Vivian, “Optimized Link State Routing”, 2010
[7] Ying Ge, “Quality-of-Service Routing in Adhoc Networks Using OLSR”, New York, 2004
[8] Thomas Heide Clausen, “Comparative Study of Routing Protocols for Mobile Adhoc NETworks”, France, 2006
[9] Bained Nyirenda, “Performance Evaluation of Routing Protocols in Mobile Ad hoc Networks (MANETs)”, Blekinge Institute of Technology, 2009