• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk. penyimpangan lainnya semakin meningkat di tengah upaya pembangunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk. penyimpangan lainnya semakin meningkat di tengah upaya pembangunan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, karena dalam kenyataannya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.1

Tindak pidana korupsi menjadi salah satu penyebab krisis multidimensional di Indonesia. Berdasarkan Konvensi Anti-Korupsi tahun 2003 telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006, secara tegas diatur bahwa korupsi merupakan salah satu kejahatan yang terorganisasi dan bersifat lintas batas teritorial (trans-nasional), disamping pencucian uang, perdagangan manusia, penyelundupan migran dan penyelundupan senjata api.2

Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah mendapat putusan hakim di pengadilan. Penegakan hukum ini diharapkan mampu menjadi faktor penangkal terhadap merebaknya praktek-praktek korupsi di Indonesia, tapi pada kenyataannya

1

Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK: Kajian Yuridis Normatif Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Versi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 25.

2

(2)

semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula praktek-praktek tindak pidana korupsi tersebut.

Pembahasan mengenai sebuah produk hukum suatu negara yang akan dilakukan, maka terdapat beberapa hal yang dapat dikaji dan menarik perhatian bagi banyak kalangan. Namun saat ini yang banyak dibicarakan dan menjadi perhatian masyarakat adalah mengenai hukum pidana. Hukum pidana merupakan salah satu bagian aturan hukum sebagai alat untuk melindungi masyarakat dalam suatu negara, dalam hal ini peranan negara menjadi besar sekali. Permasalahan dalam hukum pidana sendiri juga banyak yang dapat menjadi bahan pembahasan, salah satunya yaitu mengenai masalah pemidanaan.

Menurut Sudarto bahwa sejarah hukum pidana pada hakikatnya adalah sejarah dari pidana dan pemidanaan, pidana termasuk juga tindakan (maatregel, masznahme), yang menimbulkan suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak enak oleh yang dikenai, oleh karena itu orang tidak henti-hentinya untuk mencari dasar, hakikat dan tujuan pidana dan pemidanaan untuk memberikan alasan pembenar (justification) pidana itu.3

Berdasarkan pendapat tersebut maka jelas nampak bahwa apabila akan membahas sebuah hukum pidana, maka tidak dapat dipisahkan dari pembahasan mengenai sanksi pidana yang dikenakan bagi para pelanggarnya. Sanksi pidana untuk hukum pidana Indonesia dikenal dengan pidana tersebut, akan sangat menarik untuk dikaji di Indonesia. Berkaitan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memberikan suatu kebebasan bagi aparat penegak hukum, antara lain jaksa sebagai penuntut umum untuk menuntut seorang

3

Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 1

(3)

terdakwa, yang menurutnya secara sah dan meyakinkan telah melakukan sebuah tindakan pidana, dengan ancaman minimal yang sangat rendah, yaitu satu hari dan ancaman maksimal tertentu sesuai dengan ketentuan hukum yang mengaturnya.

Ketentuan tersebut juga berlaku untuk hakim sebagai pemberi keputusan atas suatu tindak pidana. Namun dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara, terutama perkara pidana, hakim harus mempertimbangkan banyak hal. Pertimbangan yang harus dimiliki hakim dalam melaksanakan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan tidak boleh menyimpang dari aturan normatif yang berlaku, tetapi di pihak lain ia juga harus dapat memutus dengan memandang keadaan sosiologis dari perkara tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas, jelas nampak bahwa dalam melakukan penegakan hukum, tidak dapat hanya mengandalkan komponen penegak hukum semata tetapi juga harus dikaitkan dengan aturan hukum yang berlaku.

Keputusan seorang hakim akan dipuji dan dapat diikuti oleh para juniornya apabila keputusan tersebut dapat mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia, sebagaimana dicantumkan dalam penjelasan pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.4 Berkaitan dengan hal tersebut, maka pengadilan sebagai lembaga yang bertugas untuk menjatuhkan pidana harus menyadari betul, apakah pidana yang dijatuhkan itu membawa dampak positif bagi terpidana atau tidak. Oleh karena itu, penjatuhan pidana bukan sekedar berat ringannya pidana, akan tetapi juga pidana itu efektif atau tidak dan pidana itu sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya dan struktural yang hidup dan berkembang di masyarakat.

4

Undang-undang tentang Kekuasaan kehakiman, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358.

(4)

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus. Sebagaimana tindak pidana khusus, hakim diperbolehkan untuk menghukum dua pidana pokok sekaligus, pada umumnya hukuman badan dan denda. Hukuman badan berupa pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara. Tujuannya agar pemidanaan itu memberatkan pelakunya supaya kejahatan dapat ditanggulangi di masyarakat, karena tindak pidana korupsi sangat membahayakan kepentingan bangsa dan negara.

Sanksi pidana yang dijatuhkan oleh para hakim terhadap para pelaku kejahatan masih dinilai belum memberikan rasa takut dan dipengaruhi oleh norma-norma di luar hukum, tampaknya masih melekat dan menjadi kendala terhadap penegakan hukum secara konsekuen. 5 Juga otoritas hakim yang begitu besar dalam memutuskan perkara mengakibatkan banyak terjadi disparitas putusan dalam perkara yang sejenis. Hal ini ditandai dengan adanya perbedaan secara substansial yang tajam antara putusan hakim pengadilan yang satu dengan yang lainnya mengenai perkara yang sama, padahal semua mengacu pada peraturan yang sama.6

Suatu proses peradilan pidana, termasuk peradilan tindak pidana korupsi, tidak jarang terlihat bahwa seseorang yang dinyatakan bersalah dan dihukum melalui sebuah putusan pengadilan, namun orang tersebut tidak perlu masuk penjara. Hal inilah yang dalam hukum positif Indonesia dikenal dengan dengan putusan pidana bersyarat. Pidana bersyarat adalah sebuah lembaga pemidanaan,

5

Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum dalam Kajian Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 9.

6

Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Press, 2007), hal. 32.

(5)

hal ini diketahui melalui undang Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).7

Salah satu putusan pengadilan yang telah berkekutan hukum tetap yang menjatuhkan pidana bersyarat pada terdakwa terlihat pada putusan Mahkamah Agung Nomor 356/Pid.Sus/2008. Majelis hakim pada tingkat kasasi dalam kasus ini menjatuhkan pidana bersyarat (masa percobaan) selama satu tahun enam bulan kepada terdakwa tindak pidana korupsi. Penjatuhan pidana bersyarat kepada para terdakwa yang didakwa dengan pasal tindak pidana korupsi ini tentunya menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat, khususnya masyarakat praktisi hukum. Hal ini dikarenakan tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk extra ordinary crime yang seharusnya mendapatkan hukuman berat dari pengambil keputusan, namun pemberian pidana bersyarat telah menimbulkan persepsi lain tentang tindak pidana korupsi sebagai salah satu bentuk tindak pidana luar biasa.

Upaya penegakan hukum dan pencapaian prinsip keadilan dalam sebuah perkara pidana, termasuk perkara pidana korupsi, maka hakikat yang harus dicapai oleh hakim sebagai pemberi keputusan yang berkeadilan, dalam hal ini orang sering beranggapan bahwa keadilan hanya berhak diterima oleh korban kejahatan saja, padahal harus dipahami bahwa pelaku kejahatan juga berhak dan pantas untuk menerima keadilan sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya, termasuk pelaku tindak pidana khusus seperti tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu maka hakim harus dapat menganalisis secara tajam perkara pidana yang

7

(6)

dihadapinya, agar dapat memecahkan persoalan tersebut secara rasional, sehingga terhindar dari hal-hal yang bersifat merugikan kepentingan keadilan.8

B. Permasalahan

Permasalahan yang akan diangkat untuk dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan pidana bersyarat menurut hukum pidana positif di Indonesia?

2. Bagaimanakah analisis yuridis terhadap pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi (Studi Putusan MA No. 356/Pid.Sus/2008)?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan

a. Untuk mengetahui pengaturan pidana bersyarat menurut hukum pidana positif di Indonesia

b. Untuk mengetahui analisis yuridis terhadap pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi (Studi Putusan MA No. 356/Pid.Sus/2008)

2. Manfaat

a. Secara Teoritis

Diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan ilmu hukum pidana umumnya.

8

Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem Pemidanaan Indonesia, (Bandung: Bina Cipta, 1992), hal. 1.

(7)

b. Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan praktisi dan agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi yang diatur melalui peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang terkait di Indonesia. Penelitian ini juga sedapat mungkin dilakukan agar dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja memenuhi persyaratan-persyaratan formal sebagai suatu peraturan, tetapi menimbulkan rasa keadilan dan kepatutan dan dilaksanakan/ ditegakkan dalam kenyataannya.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Analisis Yuridis terhadap Pidana Bersyarat dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi (Putusan MA No. 356/Pid. Sus/2008)” belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut “asli” sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Tindak Pidana

Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam KUHP tanpa

(8)

memberikan suatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit. Perkataan feit sendiri di dalam bahasa Belanda berarti sebahagian dari suatu kenyataan, sedangkan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan. Hazewinkel-Suringa membuat rumusan yang umum dari strabaar feit sebagai perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus diadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.9

Menurut Pompe, perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang pelaku, dimana penjatuhan terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum, alasan mengapa

strafbaar feit itu harus dirumuskan karena:

a. Untuk adanya suatu strafbar feit itu diisyaratkan bahwa di situ harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum;

9

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 1.

(9)

b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dalam undang-undang;

c. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechtmatige handeling.10

2. Tinjauan Umum tentang Pengertian Pemidanaan

Istilah “Penghukuman” berasal dari kata dasar “hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai “menetapkan hukum ”atau“ memutuskan tentang hukumnya” (berechten).11 Oleh Prof. Sudarto dijelaskan penghukuman berasal dari kata dasar “hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai “menetapkan hukum”, yang dalam perkara pidana kerap kali disama artikan dengan “pemidanaan” atau pemberian/ penjatuhan pidana” oleh hakim.12

Adapun pengenaan sanksi pidana atau pemidanaan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana itu sendiri adalah sebagai akibat mutlak yang harus diterima sebagai suatu pembalasan kepada pelaku yang melakukan tindak pidana karena tidak mematuhi ketentuan undang-undang. Dasar pembenaran dari pemidanaan itu sendiri terletak pada adanya kejahatan itu sendiri sebagai upaya memuaskan rasa keadilan (teori absolut).13

10

Ibid, hal. 2.

11

Moeljatno, Ceramah: “Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Dalam Hukum Pidana”, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1955), hal.7

12

Muladi, Pidana dan Pemidanaan, (Semarang; Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1984), hal. 1-2.

13

(10)

3. Tinjauan Umum Tentang Tujuan Pemidanaan

Tujuan pemidanaan sebagaimana di sampaikan oleh Barda Nawawi Arief dalam suatu seminar menyatakan bahwa tujuan dari pemidanaan tidak terlepas dari tujuan politik kriminil dalam arti keseluruhannya, yaitu “memberikan perlindungan pada masyarakat untuk mencapai kesejahteraan” dan untuk tujuan

“ne peccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).14

Upaya mewujudkan perlindungan kepentingan hukum masyarakat perlu menetapkan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam daripada sanksi yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. Terutama dalam bidang penegakan hukum sangatlah diperlukan mengingat hukum pidana yang dipandang mampu memberikan efek jera terhadap pelanggarnya.15

Perumusan tujuan pemidanaan baru dilakukan dan tampak dalam konsep Rancangan KUHP Nasional (1992), buku yang dirumuskan dalam Pasal 12 ayat (1), yaitu:16

a. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat, dan penduduk.

b. Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota masyarakat yang berguna.

c. Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana. Sementara itu dalam ayat (2) nya dinyatakan bahwa pemidanaan “tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia”

Berdasarkan pada hal-hal tersebut di atas, akan jelas terlihat bahwa tujuan pidana dan pemidanaan adalah untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil

14

Ibid

15

Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung; Alumni, 1981), hal. 78

16

(11)

dan makmur, serta mencegah terjadinya tindak kejahatan.17 Menurut pendapat Sahetapy, bahwa sasaran utama yang dituju oleh pidana adalah “orang” (si pembuat). Dalam pengertian “pembebasan” sebagaimana diutarakannya, yaitu pembuat dibina sedemikian rupa sehingga si pembuat terbebas dari alam pikiran jahat dan terbebas dari kenyataan sosial yang membelenggu.18

Tujuan pemidanaan yang bersifat pembinaan yang berorientasi pada “orang” (pembuat) berpengaruh dalam menetapkan strategi berikutnya, yaitu dalam kebijakan menetapkan sanksi pidana. umumnya meliputi masalah menetapkan jenis dan jumlah berat, di mana melakukan pemilihan tersebut berdasar pada suatu pertimbangan yang rasional.19 Sanksi hukum pidana punya pengaruh preventif (pencegahan) terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran norma hukum, karena itu harus diingat bahwa, sebagai alat “social control”

fungsi hukum pidana adalah sebagai langkah akhir, artinya hukum pidana diterapkan bila usaha-usaha lain kurang memadai.20

4. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam bahasa Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dalam bahasa Sansekerta didalam Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt arti harfiahnya menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur

yang disangkutpautkan dengan keuangan.21

17

Soedarto, Suatu Dilema Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, (Semarang; Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1974), hal. 34.

18

Joko Prakoso, Hukum Penitensier Di Indonesia, (Yogyakarta; Liberty, 1988), hal. 42-43

19

Soedarto, Suatu Dilema Pembaharuan Sistem Pidana Indonesi, Op. cit, hal. 97

20

Sutan Remy Syahdeni, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006), hal. 214.

21

Sudarto, Prof., SH, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, Cetakan Keempat, 1996, hal 115.

(12)

Korupsi menurut Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary

adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.22

Dalam pengertian lain, korupsi dapat diartikan sebagai “perilaku tidak mematuhi prinsip”, dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau pejabat publik. Dan keputusan dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga, korupsi akan timbul, termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme.

Terlepas dari berbagai ragam pengertian korupsi diatas, secara yuridis, pengertian korupsi, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan, di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang sebelumya, yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971.

Dalam pengertian yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan. Oleh karena itu, rumusannya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

22

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Edisi VI, West Publishing , St. Paul Minesota, 1990.

(13)

2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang disuap).

Undang-undang No. 17 Tahun 2003 merumuskan pengertian keuangan negara sebagai berikut:

Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.23

Ruang lingkup keuangan negara sesuai dengan pengertian tersebut diuraikan sebagai berikut:24

a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;

b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c. Penerimaan Negara; d. Pengeluaran Negara; e. Penerimaan Daerah; f. Pengeluaran Daerah;

g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara atau daerah;

h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

23

Pasal 1 angka 1 UU No. 17/2003.

24

(14)

i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.25

F. Metode Penelitian

Pengumpulan data dan informasi untuk penulisan skripsi ini telah dilakukan melalui pengumpulan data-data yang diperlukan untuk dapat mendukung penulisan skripsi ini dan hasil yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulis menerapkan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi (law in book). Penelitian yuridis normatif ini disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) atau hukum dikonsepkan sebagai kaedah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas26.

25

Kekayaan pihak lain ini meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara daerah.

26

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 1.

(15)

2. Jenis Data dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. Data sekunder diperoleh dari :

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.27 Dalam tulisan ini di antaranya Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

27

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 19.

(16)

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:28

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan degan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

c. Mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

4. Analisa Data

Data primer dan sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang

28

Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal. 63.

(17)

berhubungan dengan topik dengan skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II: Bab ini akan membahas tentang pengaturan pidana bersyarat menurut hukum pidana positif di Indonesia, yang mengulas tentang pengaturan pidana bersyarat dalam KUHP dan Rancangan KUHP Nasional, pidana bersyarat dalam KUHP negara lain sebagai perbandingan, dan juga membahas tentang pedoman hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat.

BAB III: Bab ini akan dibahas tentang analisis yuridis terhadap pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi (Studi Putusan MA No. 356/Pid.Sus/2008), yang akan mendiskripsikan putusan kasus dan analisis hukum terhadap kasus.

BAB IV: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.

Referensi

Dokumen terkait