• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM SOLVING (CPS) DENGAN TEKNIK SCAFFOLDING TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM SOLVING (CPS) DENGAN TEKNIK SCAFFOLDING TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM

SOLVING (CPS) DENGAN TEKNIK SCAFFOLDING

TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA

Nurul Aeni

1

, Deti Rostika

2

, Nenden Ineu Herawati

3

Program Studi PGSD Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Cibiru Aeninurul778@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kemampuan berpikir kritis siswa yang masih harus dikembangkan, terutama dalam bidang matematika. Hal tersebut disebabkan oleh pembelajaran matematika yang masih berpusat pada guru, sehingga siswa kurang aktif dalam membangun pengetahuan dan kemampuan berpikir kritisnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis dan perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh model Creative Problem Solving

dengan teknik Scaffolding dan konvensional. Model Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding merupakan model pembelajaran yang menuntut siswa untuk terlibat aktif dalam menyelesaikan permasalahan secara kreatif dengan bimbingan yang diberikan guru. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuasi eksperimen

nonequivalent control group design. Sampel dalam penelitian yaitu 35 siswa kelas V-A SDN Panyileukan 1 sebagai kelas eksperimen dan 31 siswa kelas V-C SDN Panyileukan 3 sebagai kelas kontrol. Instrumen dalam penelitian ini adalah tes kemampuan berpikir kritis (pretest-posttest). Hasil analisis data kuantitatif terhadap gain ternormalisasi dari kelas eksperimen menunjukkan adanya peningkatan kemampuan berpikir kritis sebesar 0,50 dengan interpretasi sedang, sedangkan kelas kontrol sebesar 0,30 dengan interpretasi rendah. Hal tersebut diperkuat dengan perolehan kesimpulan berdasarkan uji hipotesis yaitu: 1) terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh model pembelajaran Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding; 2) terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang memperoleh model pembelajaran Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Berdasarkan pemaparan tersebut maka model pembelajaran Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa secara signifikan. Oleh karena itu model Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding, dapat dijadikan sebagai alternatif dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

(2)

EFFECT OF CREATIVE PROBLEM SOLVING LEARNING

MODEL (CPS) WITH SCAFFOLDING TECHNIQUE FOR

STUDENT’S CRITICAL THINKING SKILLS

Nurul Aeni

1

, Deti Rostika

2

, Nenden Ineu Herawati

3

Program Studi PGSD Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Cibiru Aeninurul778@yahoo.com

ABSTRACT

This research is motivated by the critical thinking skills of students who are still to be developed, especially in the subject of mathematics. This was caused by the learning of mathematics is still centered on the teacher, so that students are less active in building knowledge and critical thinking skills. The purpose of this study was to determine the increase in critical thinking skills and critical thinking abilities difference of students who received the Creative Problem Solving models with Scaffolding and conventional learning. Creative Problem Solving model with technique Scaffolding is a learning model that requires students to be actively involved in solving problems creatively with the guidance provided by the teacher. The method used in this study is a quasi-experimental nonequivalent control group design. The samples are 35 students of class V-A SDN Panyileukan 1 as an experimental class and 31 students of class V-C SDN Panyileukan 3 as the control class. Instruments in this research is to test the ability of critical thinking (pretest-posttest). Results of the analysis of quantitative data to gain normalized from the experimental class showed an increase of 0.50 critical thinking skills with medium interpretation, while the control class of 0.30 to a low of interpretation. It is strengthened by the acquisition of conclusions based on test the hypothesis that: 1) there is an increased critical thinking skills students acquire learning model Creative Problem Solving with Scaffolding techniques; 2) there is a difference between the critical thinking skills students acquire learning model Creative Problem Solving techniques Scaffolding and students who received conventional learning. Based on the exposure of the Creative Problem Solving learning model with Scaffolding techniques can enhance students' critical thinking skills significantly. Therefore the model of Creative Problem Solving with Scaffolding techniques, can be used as an alternative to improve students' critical thinking skills.

Keywords: Creative Problem Solving, Scaffolding, Critical Thinking

Dalam menghadapi berbagai tantangan di masa mendatang yang semakin kompleks, maka sejak usia sekolah dasar (SD) siswa harus dibekali berbagai kemampuan berpikir tingkat tinggi. Salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi tersebut adalah kemampuan berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis dibutuhkan dalam kehidupan siswa, tak terkecuali dalam proses pembelajaran

matematika siswa yang didalamnya terdapat kegiatan memecahkan masalah.

Ennis (1993, hlm. 180) menyatakan bahwa “Critical thinking is reasonable, reflective thinking that is focused on deciding what to believe or do”. Berpikir kritis merupakan suatu proses berpikir yang bertujuan untuk membuat keputusan yang masuk akal tentang apa yang harus diyakini dan

(3)

dilakukan. Lebih lanjut Edward (dalam Kowiyah, 2012, hlm. 176) menyatakan bahwa “the ability to think critically involves three things : (1) an attitude of being disposed to consider in a thoughtful way the problems and subject that come within he range of one’s experiences, (2) knowledge of the methods of logical inquiry and reasoning, and (3) some skill in applying those methods. Critical thinking calls for a presistent effort to examine any belief or supposed form of knowledge in the light of the edvice that supports it and the further conclusion to which it tends. Definisi tersebut menjelaskan bahwa berpikir kritis itu melibatkan tiga hal diantaranya, (1) sikap mau untuk berpikir secara lebih mendalam mengenai masalah-masalah dan hal-hal yang masih berada dalam jangkauan pengalaman seseorang, (2) pengetahuan mengenai metode-metode pemeriksaan dan penalaran logis, dan (3) semacam keterampilan yang digunakan untuk menerapkan metode-metode tersebut. Berpikir kritis ini mengharuskan upaya yang gigih untuk memeriksa setiap keyakinan atau pengetahuan yang seharusnya berdasarkan bukti-bukti yang mendukung dan kesimpulan lebih lanjut yang diakibatkannya.

Berdasarkan beberapa pernyataan di atas mengenai berpikir kritis maka dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis merupakan suatu keadaan atau proses dimana seseorang mau berpikir secara lebih mendalam untuk menyelesaikan suatu permasalahan, serta berusaha mencari berbagai informasi yang relevan atau dapat membantu dirinya dalam menyelesaikan masalah tersebut sehingga dapat mengambil keputusan sesuai dengan yang apa yang diyakini .

Kemampuan berpikir kritis memiliki beberapa indikator yang terdiri dari lima kelompok besar indiktor. Ennis (dalam Novitasari, 2014, hlm. 22) mengungkapkan indikator-indikator kemampuan berpikir kritis tersebut

diantaranya memberikan penjelasan sederhana, membangun keterampilan dasar, menyimpulkan, memberikan penjelasan lanjut, dan strategi dan taktik.

Kegiatan pembelajaran matematika saat ini khusunya di sekolah dasar (SD) masih kurang mengembangkan kemampuan berpikir dan keterlibatan siswa. Pembelajaran tersebut merupakan pembelajaran konvensional guru yang mendominasi proses pembelajaran. Guru menyampaikan materi lebih banyak dengan metode ceramah dan siswa bertugas untuk mendengar dan mencatat apa yang guru sampaikan. Dalam pembelajaran konvensional pun siswa akan mengerjakan tugas yang diberikan sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh guru sama persis, hal ini yang menyebabkan kemampuan berpikir siswa sulit untuk berkembang.

Berdasarkan kegiatan

pembelajaran yang masih sering terjadi seperti ini, maka diperlukan model pembelajaran dapat memfasilitasi siswa untuk aktif dalam pembelajaran sehingga kemampuan berpikir kritis siswa dapat dikembangkan. Salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru adalah model Creative Problem Solving (CPS) dengan teknik Scaffolding.

Pepkin (2004, hlm. 1) mengemukakan bahwa pembelajaran creative problem solving merupakan pembelajaran yang berpusat pada pengajaran dan keterampilan kreatif pemecahan masalah yang diikuti dengan penguatan keterampilan. Penerapan pembelajaran ini diharapkan dapat menimbulkan minat siswa dalam proses pembelajaran dan memotivasi siswa untuk dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi dengan berbagai ide yang dimiliki. Sedangkan menurut Lawson (2002, hlm. 2) “Scaffolding in an educational context is a process by which a teacher provides students with a temporary framework for learning” yang berarti bahwa scaffolding ini merupakan

(4)

pemberian kerangka belajar atau bantuan dari guru kepada siswa pada saat proses pembelajaran.

Pembelajaran yang menggunakan model creative problem solving membiasakan siswa untuk memecahkan suatu permasalahan dengan kreatif dan dengan teknik scaffolding ini guru memberikan bantuan belajar kepada siswa untuk menyelesaikan tugas yang dirasa sulit apabila diselesaikan sendiri, namun setelah siswa memperoleh pemahaman yang cukup terhadap permasalahan yang harus diselesaikan maka semakin lama scaffolding ini dikurangi.

Model Creative Problem Solving ini memiliki 6 tahapan dalam proses pembelajarannya yaitu objective finding, fact finding, problem finding, idea finding, solution finding dan acceptance finding (Huda, 2013, hlm. 298). Berikut ini penjelasan keenam tahapan model cretaive problem solving:

a. Objective-finding, tahap mengidentifikasi suatu situasi yang dihadapi; dalam tahapan ini siswa dibagi menjadi beberapa kelompok kemudian siswa mendiskusikan situasi pemasalahan yang diajukan guru dan siswa melakukan brainstroming sejumlah tujuan atau sasaran yang bisa digunakan dalam kerja kreatif mereka. Pada tahapan ini, diharapkan siswa membuat suatu tujuan mengenai sasaran yang hendak dicapai oleh kelompok.

b. Fact-finding, tahap mendata semua fakta yang diketahui dan berhubungan dengan situasi tersebut dengan tujuan untuk menemukan informasi yang tidak diketahui namun sangat esensial pada situasi yang sedang dihadapi. c. Problem-finding, tahap dimana siswa

diharapkan mampu menemukan berbagai kemungkinan masalah dan menentukkan apa yang dianggap paling penting, dalam tahap ini siswa diharapkan dapat memperjelas

masalah apa yang sebenarnya sedang mereka hadapi.

d. Idea-finding, upaya yang dilakukan siswa untuk menemukan beberapa ide yang memungkinkan dapat memecahkan masalah yang dihadapi, semua ide atau gagasan-gagasan siswa pada tahap ini didaftar sehingga bisa terlihat kemungkinan gagasan yang dapat digunakan sebagai solusi dari permasalahan.

e. Solution-finding, ide yang telah ditemukan sebelumnya diseleksi kembali untuk menemukan ide yang paling tepat digunakan untuk memecahkan masalah.

f. Acceptance-finding, tahap dimana siswa menerapkan solusi yang telah ditentukkan untuk memecahkan masalah, sehingga masalah tersebut dapat diselesaikan.

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh model pembelajaran Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding ?” dan “Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang memperoleh model pembelajaran Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional sebagai kelas kontrol ?”

Berdasarkan rumusan masalah yang diatas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh model pembelajaran Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding dan perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh model Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding dan konvensional.

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kuasi

(5)

eksperimen nonequivalent control group design. Metode ini melibatkan dua kelompok sampel yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen merupakan kelompok yang diberi perlakuan menggunakan model pembelajaran Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding. Sedangkan kelompok kontrol merupakan kelompok yang memperoleh pembelajaran secara konvensional. Menurut Sugiyono (2014, hlm. 116) menyatakan bahwa kuasi eksperimen nonequivalent control group design ini dalam menentukkan kelompok eksperimen dan kontrolnya tidak dipilih secara acak. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah siswa kelas V sekolah dasar (SD) di Gugus 40 Kecamatan Panyileukan Kota Bandung. Sampel dalam penelitian dipilih dua kelas V dari Gugus 40 Kecamatan Panyileukan yaitu kelas V-A SDN Panyileukan 1 sebagai kelas eksperimen dan kelas V-C SDN Panyileukan 3 sebagai kelas kontrol.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu soal tes kemampuan berpikir kritis dan lembar observasi. Hasil tes kemampuan berpikir kritis yaitu berupa nilai pretest dan posttest untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa. Pretest diberikan sebelum kedua kelompok mendapatkan perlakuan dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan awal berpikir kritis siswa. Sedangkan posttest diberikan setelah kedua kelompok mendapatkan perlakuan baik itu siswa yang mendapatkan model pembelajaran Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding maupun siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Pemberian posttest pada kedua kelas ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Soal yang digunakan dalam pretest dan posttest meupakan soal bentuk uraian sebanyak 10 butir soal. Sebelum soal kemampuan berpikir kritis tersebut digunakan dalam

penelitian sebagai soal pretest dan posttest, soal tersebut telah diuji cobakan terlebih dahulu pada siswa kelas VI SDN Mekarsari sebanyak 30 siswa. Soal yang diujicobakan sebanyak 20 soal yang dilakukan dalam dua kali tahapan, dengan waktu pengerjaan 60 menit. Hasil ujicoba soal tersebut kemudin di uji validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembedanya, dengan tujuan agar peneliti mengetahui bahwa soal yang digunakan merupakan soal yang layak dan baik digunakan dalam penelitian. Setelah dilakukan semua pengujian tersebut, maka dipilih 10 soal yang akan digunakan dalam penelitian dengan pertimbangan dari hasil pengujian dan keterwakilan setiap indikator berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian. Selain tes kemampuan berpikir kritis, intrumen lain yang digunakan yaitu lembar observasi. Lembar observasi ini digunakan untuk mengetahui kesesuaian pelaksanaan pembelajaran dengan rencana yang dibuat oleh peneliti.

Analisis data dilakukan terhadap hasil tes kemampuan berpikir kritis siswa. Data tersebut dianalisis menggunaan uji statistik parametrik dan non paramtetrik. Uji statistik parametrik digunakan ketika sampel yang akan dianalisis berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan homogen, sedangkan uji statistik non parametrik digunakan ketika sampel yang akan dianalisis tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

HASIL DAN PEMBAHASAN Temuan Penelitian

Tahap awal penelitian yang dilakukan pada kedua kelompok sampel adalah dengan memberikan soal pretest. Pemberian pretest ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal berpikir kritis siswa kedua kelompok sampel sebelum diberikan perlakuan yang berbeda. Tahapan selanjutnya yaitu kedua kelompok diberikan perlakuan yang berbeda, dimana kelompok eksperimen

(6)

mendapatkan pembelajaran menggunakan model Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding, sedangkan kelompok kontrol mendapatkan pembelajaran konvensional. Setelah dilakukan pembelajaran sebanyak sembilan kali, selanjutnya kedua kelompok melakukan posttest kemampuan berpikir kritis yang merupakan soal yang sama dengan yang diberikan pada saat pretest. Tujuan diberikannya posttest ini adalah untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa setelah memperoleh perlakuan sesuai dengan kelompoknya masing-masing yaitu kelompok eksperimen dan kontrol.

Hasil analisis data pretest dan posttest kedua kelompok dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1

Rekapitulasi Nilai Statistik Kemampuan Berpikir Kritis Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Descriptive Statistics

N Min Max Mean St.

dev Pretest Eksperimen 35 25,00 57,50 39,86 9,76 Pretest Kontrol 31 25,00 65,00 38,15 7,96 Posttest Eksperimen 35 52,50 92,50 69,43 11,38 Posttest Kontrol 31 37,50 75,00 56,77 10,65

Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat terlihat bahwa rata-rata nilai pretest kelas eksperimen sebesar 39,86, sedangkan kelompok kontrol 38,15. Selisih rata-rata nilai pretest kelompok eksperimen dan kontrol sebesar 1,71. Selisih kedua kelompok tersebut tidak jauh berbeda, sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan awal berpikir kritis siswa kedua kelompok adalah setara atau sama.

Kemudian berdasarkan Tabel 1 di atas juga dapat terlihat bahwa nilai rata-rata posttest kelompok eksperimen adalah 69,43, sedangkan kelompok kontrol 56,77. Selisih rata-rata nilai posttest kelompok eksperimen dan kontrol tersebut sebesar 12,65. Selisih nilai posttest kedua kelompok tersebut jauh berbeda, sehingga

dapat dikatakan bahwa kemampuan berpikir kritis kedua kelompok setelah mendapatkan perlakuan adalah berbeda dengan keterangan bahwa kelompok eksperimen lebih tinggi.

Setelah melakukan analisis terhadap data pretest dan posttest kedua kelompok. Selanjutnya peneliti mnghiung gain ternormalisasi pada kedua kelompok (eksperimen dan kontrol). Hasil gain ternormalisasi diperoleh dari pembagian antara selisih nilai posttest dan pretest dengan selisih nilai maksimal dan nilai pretest.

Hasil gain ternormalisasi ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil analisis data gain ternormalisasi kelompok eksperimen dan kontrol, dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2

Rekapitulasi Nilai Statistik Gain Ternormalisasi Kemampuan Berpikir Kritis Kelompok Eksperimen

dan Kelompok Kontrol Descriptive Statistics

N Min Max Mean St.

dev Gain Ternormalisasi Eksperimen 35 0,32 0,84 0,50 0,14 Gain Ternormalisasi Kontrol 31 0,04 0,58 0,30 0,15

Berdasarkan Tabel 2 di atas dapat terlihat bahwa rata-rata gain ternormalisasi kelompok eksperimen adalah sebesar 0,50 yang termasuk dalam interpretasi sedang, kemudian rata-rata gain ternormalisasi kelompok kontrol sebesar 0,30 yang termasuk dalam interpretasi rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis kelompok eksperimen adalah sedang, sedangkan kelompok kontrol peningkatan kemampuan berpikir kritisnya rendah.

Data pretest, posttest dan gain ternormalisasi yang telah diperoleh, selanjutnya diuji normalitas dan homogenitasnya terlebih dahulu, sebagai

(7)

prasyarat dalam melakukan uji perbedaan rerata untuk menjawab hipotesis penelitian yang diajukan.

Uji normalitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Sedangkan uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah sampel berasal dari populasi yang variansinya sama atau tidak.

Uji normalitas dilakukan menggunakan uji statistik Saphiro-Wilk dikarenakan data yang digunakan <50. Berdasarkan data hasil uji normalitas pretest kelompok eksperimen dengan signifikansi 0,05 didapatkan hasil pretest Saphiro-Wilk statistik 0,946, dengan df=35 dan signifikansi di atas 0,05 yaitu 0,085. Uji Saphiro-Wilk statistik 0,921 pada kelompok konrol dengan df=31 dan signifikansi di bawah 0,05 yaitu 0,025. Nilai signifikansi pretest kelompok kontrol menunjukkan data tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal, sedangkan kelompok eksperimen menunjukkan data berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

Hasil uji normalitas posttest kelompok eksperimen dengan signifikansi 0,05, didapatkan hasil posttest Saphiro-Wilk statistik 0,923 dengan df=35 dan signifikansi di bawah 0,05 yaitu 0,017. Uji Saphiro-Wilk statistik 0,959 pada kelompok kontrol dengan df=31 dan signifikansi diatas 0,05 yaitu 0,278. Nilai signifikansi posttest kelompok eksperimen menunjukkan data tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal, sedangkan kelompok kontrol menunjukkan data berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

Hasil uji normalitas gain ternormalisasi kelompok eksperimen dengan signifikansi 0,05, didapatkan hasil gain ternormalisasi Saphiro-Wilk statistik 0,890 dengan df=35 dan signifikansi di bawah 0,05 yaitu 0,002. Uji Saphiro-Wilk statistik 0,961 pada kelompok kontrol dengan df=31 dan signifikansi diatas 0,05

yaitu 0,303 Nilai signifikansi gain ternormalisasi kelompok eksperimen menunjukkan data tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal, sedangkan kelompok kontrol menunjukkan data berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

Uji perbedaan rerata bertujuan untuk menguji hipotesis. Dalam menbuktikan bahwa kemampuan awal berpikir kritis matematis siswa kedua kelompok itu sama, maka dilakukan uji rerata terhadap data pretest menggunakan Uji Mann Whitney, dikarenakan data pretest tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Hasil tersebut meunjukkan bahwa 0,525>0,05 sehingga H0 diterima, artinya tidak terdapat

perbedaan keamampuan awal berpikir kritis antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Uji hipotesis untuk menjawab rumusan masalah yang pertama dilakukan untuk membuktikan bahwa terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa pada kelompok eksperimen. Uji hipotesis ini dilakukan dengan menggunakan data gain ternormalisai kelompok eksperimen menggunakan Uji Binomial. Penggunaan uji Binomial ini dikarenakan data gain ternormalisasi kelompok eksperimen tidak berasal dari populasi yang bersistribusi normal. Berdasarkan perhitungan Uji Binomial diperoleh nilai signifikansi 0,000. Hasil tersebut menunjukkan bahwa 0,000<0,05 sehinggan H0 ditolak, artinya terdapat

peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh model pembelajaran creative problem solving dengan teknik scaffolding.

Uji hipotesis untuk menjawab rumusan masalah yang kedua dilakukan untuk membuktikan bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa anatar kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah menerima perlakuan. Uji hipotesis ini dilakukan dengan menggunakan data posttest kedua

(8)

kelompok .Uji hipotesis dilakukan menggunakan uji Mann Whitney dikarenakan data posttest tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Berdasarkan perhitungan uji Mann Whitney diperoleh nilai signfikansi 0,000. Hasil tersebut menunjukkan bahwa 0,000<0,05 sehingga H0 ditolak, artinya

terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis antara siswa yang memperoleh model pembelajaran creative problem solving dengan teknik scaffolding dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

Pembahasan

Penerapan model pembelajaran Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen secara signifikan. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan rata-rata nilai pretest dan posttest kelas eksperimen.

Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan sebelumnya, diperoleh rata-rata nilai pretest sebesar 39,86. Kemudian setelah siswa mendapatkan pembelajaran sembilan kali menggunakan model Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding diperoleh nilai rata-rata posttest siswa sebesar 69,43. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa setelah mendapatkan perlakuan sebesar 29,57. Selain itu hasil analisis uji gain ternormalisasi pada kelas eksperimen diperoleh rata-rata indeks gain sebesar 0,50 yang termasuk dalam kategori sedang. Peningkatan kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen telah diuji dengan melakukan uji hipotesis menggunakan Uji Binomial pada gain ternormalisasi. Berdasarkan hasil perhitungan Uji Binomial pada gain ternormalisasi kelas eksperimen diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000, nilai signifikansi tersebut kurang dari 0,05 (0,000<0,05) maka H0 ditolak. Artinya

terdapat peningkatan kemampuan berpikir

kritis siswa yang memperoleh model pembelajaran Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding.

Selanjutnya untuk menjawab hipotesis yang kedua yaitu terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh model pembelajaran model Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional, dilihat dari hasil posttest kedua kelas.

Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, diperoleh nilai rata-rata posttest kelas eksperimen sebesar 69,43 sedangkan kelas kontrol 56,77. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelompok eksperimen dengan kontrol sebesar 12,65. Namun untuk menguji hipotesis kedua ini perlu dilakukan uji perbedaan rerata menggunakan Uji Mann-Whitney dikarenakan data posttest tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Berdasarkan hasil perhitungan Uji Mann-Whitney pada data posttest kedua kelompok, diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000. Nilai signifikansi tersebut kurang dari 0,05 (0,000<0,05) maka H0

ditolak. Artinya terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang memperoleh model pembelajaran Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang memperoleh model pembelajaran Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding, dan terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang memperoleh model pembelajaran Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional, dengan penjelasan bahwa kemampuan berpikir

(9)

kritis siswa yang menggunakan model Creative Problem Solving lebih tinggi. Hal ini dapat terjadi dikarenakan beberapa kemungkinan yang terjadi pada saat pembelajaran model Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding.

Melalui langkah pembelajaran yang terdapat pada model Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding, siswa diajak untuk mengeluarkan pendapat yang mereka miliki berdasarkan apa yang mereka pahami. Namun bukan hanya dibiasakan untuk mengeluarkan pendapat, tapi siswa pun diajak untuk lebih menganalisis, memilih dan menentukkan cara mana yang paling tepat yang akan mereka gunakan dalam memecahkan permasalahan.

Penerapan model Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding pada proses pembelajaran, dapat menciptakan pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Hal ini ditandai dengan penyajian masalah yang terdapat dalam LKS yang merupakan masalah kontekstual yang dekat dengan siswa. Kemudian pada langkah pembelajaran model Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding, siswa dituntut untuk mengidentifikasi permasalahan, mengungkapkan ide dan mencari ide erbaik yang akan diterapkan untuk memcahkan masalah. Hal ini sejalan dengan teori Ausubel (dalam Rusman, 2012) yang menyatakan bahwa belajar bermakna berarti proses dimana siswa menghubungkan informasi yang telah mereka miliki dengan informasi atau pengetahuan yang baru mereka dapat, dalam hal ini pengetahuan awal dari permasalahan kontekstual yang berperan penting menjadikan pembelajaran bermakna.

Pada pembelajaran model Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding, siswa di setting untuk belajar dalam bentuk berkelompok dan juga klasikal. Dalam keadaan berkelompok

siswa berbagi informasi, ide dan gagasan yang mereka miliki dengan teman kelompoknya. Kemudian pada saat klasikal mereka menanggapi atau melengkapi gagasan yang dikemukakan oleh kelompok lain. Interaksi yang terjadi dalam pembelajaran bukan hanya antar siswa dengan siswa tapi antar siswa dengan guru dan siswa dengan sumber belajar. Interaksi yang terjadi antar siswa dengan guru yaitu ketika guru memberikan pertanyaan-pertanyaan tuntunan yang mengarahkan siswa untuk menyelesaikan masalah ketika mengalami kesulitan (scaffolding) dan juga selam proses pembelajaran berlangsung. Hal ini sejalan dengan teori Vigotsky (dalam Rusman, 2012) yang menyatakan bahwa ketika terjadi interaksi sosial dengan teman dan orang yang lebih dewasa (guru), maka akan terbentuk suatu ide baru yang memperkaya perkembangan intelektual siswa.

Proses pembelajaran yang menggunakan model Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding, memfasilitasi siswa untuk berusaha menemukan pengetahuannya sendiri yaitu melalui diskusi yang terdapat dalam langakah pembelajaran. Dengan langkah pembelajaran yang dimulai dari objective finding sampai dengan acceptance finding, siswa bersama dengan teman dalam kelompoknya aktif menganalisis, mengidentifikasi berbagai fakta dan kemungkinan cara untuk meyelesaikan masalah. Dengan adanya langkah kegiatan tersebut maka akan lebih mudah untuk siswa menguasai pengetahuan tersebut. Hal ini sejalan dengan teori Bruner (dalam Pujiadi, 2008) yang menyatakan bahwa ketika siswa aktif untuk menemukan suatu pengetahuan maka siswa akan lebih mudah untuk menguasai bahasan tersebut.

Pada penerapan model Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding, guru tidak lupa memperhatikan tahap perkembangan siswanya. Hal ini sejalan dengan teori

(10)

Piaget (dalam Wardoyo, 2011) yang menyatakan bahwa siswa sekolah dasar berada pada tahap operasional konkret, sehingga untuk memahami suatu konsep mereka membutuhkan benda-benda konktret yang dapat membantu mereka memahami konsep tersebut. Dalam penerapan model Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding, guru selalu memberikan media berupa gambar, kertas lipat dan benda-benda lainnya yang dapat membantu siswa dalam memahami materi pelajaran.

Diberikannya teknik scaffolding yang diberikan guru di awal kegiatan pembelajaran, memberikan dorongan lebih bagi siswa untuk berusaha menemukan situasi yang mereka sedang hadapi dan menemukan berbagai ide yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan. Dengan usaha siswa untuk menemukan berbagai ide yang memungkinkan dapat memecahkan masalah, pada saat itulah siswa meningkatkan kemampuan berpikir kritisnya yang secara tidak langsung telah mengaktifkan daya pikir dan nalar siswa.

KESIMPULAN

Berdsarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh model pembelajaran Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding. Peningkatan ini terlihat dari nilai rata-rata pretest dan posttest. Nilai pretest adalah 39,85, sedangkan setelah diberi pembelajaran Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding nilai rata-rata posttest meningkat menjadi 69,43. Maka selisih nilai pretest dan posttest adalah 29,57. Hasil rata-rata gain ternormalisasi menunjukkan terdapat peningkatan sebesar 0,50 yang termasuk kategori sedang. Hal ini diperkuat dengan hasil

Uji Binomial pada data gain ternormalisasi sebesar 0,000, dengan kriteria pengambilan keputusan Ho diterima jika nilai signifikasinya lebih besar dari 0,05. Karena 0,000<0,05 maka Ho ditolak. Artinya terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh model pembelajaran Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding. 2. Terdapat perbedaan kemampuan

berpikir kritis siswa yang memperoleh model pembelajaran Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari rata-rata posttest kelas eksperimen sebesar 69,43 dan kelas kontrol sebesar 56,77. Selisih posttest kedua kelas sebesar 12,65 dengan keterangan kelas eksperimen lebih tinggi. Indeks gain kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen termasuk dalam kategori sedang, sedangkan indeks gain kemampuan berpikir kritis kelas kontrol termasuk kategori rendah. Hal ini diperkuat dengan hasil Uji Mann-Whitney pada data posttest sebesar 0,000, dengan kriteria pengambilan keputusan Ho diterima jika nilai signifikasinya lebih besar dari 0,05. Karena 0,000<0,05 maka Ho ditolak. Artinya terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh model pembelajaran Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa model pembelajaran Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa, terutama bagi siswa kelas V sekolah dasar dengan bahan ajar geometri. Berdasarkan penelitian dan hasil pengolahan data penelitian, maka peneliti mengajukan

(11)

beberapa implikasi dan rekomendasi terkait dengan penelitian sebagai berikut:

1. Dalam menerapkan model pembelajaran Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding, diperlukan persiapan yang cukup matang terutama dalam hal waktu, media, LKS dan juga perangkat soal pada setiap pembelajarannya. Hal tersebut berimplikasi pada kesiapan dan peran guru dalam mengatur waktu untuk setiap langkah pembelajaran yang terdapat pada model ini. Terutama pada saat siswa berada dalam keadaan berkelompok, scaffolding yang diberikan guru dapat

membantu siswa dalam

menyelesaikan masalah. Scaffolding ini merupakan petunjuk-petunjuk yang mengaitkan pengetahuan awal siswa dengan masalah yang dihadapi, sehingga didapatkan penyelesaiannya. 2. Penerapan model Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding, menuntut siswa untuk berusaha lebih dalam menemukan berbagai gagasan. Sehingga terkadang dalam kegiatan berkelompok terdapat siswa yang tidak mau ikut serta memecahkan masalah. Hal tersebut berimplikasi pada peran guru dalam memberikan motivasi pada siswa, agar siswa tetap dapat terlibat aktif dalam proses pembelajaran.

3. Melalui model Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding, dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Maka peneliti merekomendasikan kepada guru untuk menggunakan model Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding dalam pembelajaran. Kemudian penggunaan model Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding, seyogyanya memperhatikan materi dan indikator pembelajaran yang hendak dicapai sehingga dapat tercapai dengan optimal.

4. Penelitian selanjutnya, diharapkan dapat merancang pembelajaran model Creative Problem Solving dengan teknik Scaffolding lebih baik lagi dan direkomendasikan untuk melakukan penelitian terhadap kemampuan matematika lainnya. Kemudian bagi peneliti yang bermaksud meningkatkan kemampuan berpikir kritis, seyogyanya dapat memilih model yang sesuai dengan indikator yang dicapai. Sehingga data yang dihasilkan dapat lebih akurat dan menghasilkan peningkatan berpikir kritis yang optimal.

REFERENSI

Ennis, R.H. (1993). Critical Thinking Assesment. Theory into practice, 32 (3), hlm. 179-186

Huda, M. (2013). Model-model pengajaran dan pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kowiyah. (2012). Kemampuan Berpikir Kritis. Jurnal Pendidikan Dasar, 3 (5), hlm. 175-179.

Lawson, L. (2002). Scaffolding as a teaching strategy. [Online]. Diakses dari

http://condor.admin.ccny.cuny.edu/g roup4/Lawson/Lawson%20Paper.do c

Novitasari, D. (2014). Penerapan pendekatan creative problem solving (cps) sebagai upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan disposisi matematis siswa. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

Pepkin, K.L. (2004). Creative problem solving in math. [Online]. Diakses darihttp://www.uh.edu.hti/cu/2004/v 02/4.htm

Pujiadi (2008). Pengaruh model pembelajaran matematika creative problem solving (cps) berbantuan cd interaktif terhadap kemampuan

(12)

pemecahan masalah pada siswa sma kelas x. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang, Semarang.

Rusman (2012). Model-model pembelajaran mengembangkan profesionalisme guru. Jakarta : Rajawali Pers.

Sugiyono (2014). Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.

Wardoyo, S. M. (2013). Pembelajaran konstruktivisme teori dan aplikasi pembelajaran dalam pembentukan karakter. Bandung : Alfabeta.

Referensi

Dokumen terkait

(2) untuk mengetahui apakah ada perbedaan kemampuan berpikir kritis dalam menyelesaikan masalah fisika antara siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran problem solving

Penelitian ini bertujuan untuk menelaah perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan Creative

Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa: Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mengikuti pembelajaran matematika dengan model Creative

Tujuan penelitian (1) meningkatkan minat belajar siswa dalam pembelajaran matematika melalui model pembelajaran creative problem solving dengan media visual dan (2)

dimilikinya untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Jika siswa dapat menemukan cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi sehingga dapat.. mencapai tujuannya maka siswa

Memberikan jawaban dengan gagasan baru, proses perhitungan dan hasilnya benar keluwesan 1 Tidak memberikan jawaban atau memberikan jawaban yang salah Soal dapat dikerjakan

Salah satu untuk mengatasi masalah belajar dengan menggunakan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS), sehingga dapat mengatasi masalah dalam belajar.Rumusan

Komponen aljabar sebagai generalisasi aritmatik dapat dilatih dengan menggunakan tahapan klarifikasi masalah, sedangkan komponen aljabar sebagai Bahasa matematika dapat dilatih dengan