A.
Rita
Penerbit
Karya Cinta
MENGURUNG BIDADARI Oleh: A. Rita Copyright © 2014 by A. Rita Penerbit (Karya Cinta) (karyacinta-rita.blogspot.com) ([email protected]) Desain Sampul: (A. Rita)
Diterbitkan melalui:
Thanks to:
My Lord, Allah SWT,
My Parents, Brother and Sister
And All of you who read this book
Bab 1
Devil
Erris berdiri di depan rumah, dekat Honda Jazz putih yang parkir di depan pagar rumah kontrakan kecil milik sahabatnya. Ia tampak nggak sabar sambil sesekali melihat jam tangannya dan mulai menggerutu sendiri sambil mencak-mencak. Sama sekali nggak ada tanda-tanda seseorang akan muncul dari balik pintu kayu yang lusuh itu.
Hanya gorden yang bergerak sedikit, dan yang ditunggu menunjukan batang hidungnya dari balik jendela tapi malah menyuruhnya menunggu sebentar lagi.
Itu dia, Rory yang baru saja mengintip dari balik jendela, berisyarat pada Erris, sambil menunjuk handphone yang ada di telinganya dan berbicara pada seseorang. Lalu ia bergegas masuk ke kamar, melempar hadndphone ke tempat tidur yang berantakan. Perhatiannya tertuju ke satu-satunya lemari untuk memilih pakaian dari sana, t-shirt dan celana jeans robek, juga jaket kulit hitam. Rory menurunkan celana boxer-nya lalu melemparnya ke gundukan di sudut kamar yang sudah jadi tumpukan baju kotor dan belum sempat dibawa ke laundry.
Setelah merasa lengkap, Rory berlari keluar, memakai sepatu hitam bergaris putih yang baru dia beli. Tapi, ups! Rory kembali ke kamar karena meninggalkan handphone, benda terpenting setelah nyawa, sebelum uang.
“Lama amat. Lo dandan ya?”, cetusnya, gusar sambil memperhatikan Rory sejenak sebelum menyalakan mesin. “Ah, lo kali!”, Rory mendecak kesal, sambil buru-buru memakai sabuk pengaman, dan ‘ngeeeeeng!’ tanpa ragu Erris langsung menginjak gas, melaju dengan kecepatan maksimum.
“Damar mana?”, tanya Rory, melirik ke belakang, rupanya hanya ada mereka berdua di dalam. Dan biasanya mobil ini selalu berisi tiga orang cowok kesepian yang sering melayap nggak jelas tanpa tujuan. Erris, Damar, dan Rory. Rory bercermin di kaca yang ada di depannya untuk merapikan rambut pirang buatannya yang sudah gondrong dan merasa cukup ganteng dengan membiarkan sedikit ujung rambut menutupi dahinya. Ia mengernyit, kenapa lama-lama model rambut ini jadi menggelikan sekarang? Ia lebih terlihat seperti personel boyband Korea daripada preman -image-nya selama ini, di kampus bahkan di keluarganya-.
“Dia nggak mau ikut...”, jawab Erris, lalu melirik jam tangannya lagi, “Kayaknya kita telat deh…”
“Suruh dia sabar sebentar kenapa sih?”, celetuk Rory acuh tak acuh, dalam mobil yang melaju lebih kencang di jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta.
Mereka berbeda dalam segala hal.
Di samping Rory saat ini, Errisman Kurniawan, panggilannya Erris. Ia mengambil jurusan psikologi dan sedang berjuang di semester akhir . Seperti yang bisa dijelaskan, bertubuh tinggi dan agak kurus. Kulitnya putih dan matanya sipit. Dia satu-satunya anak lelaki dalam keluarga yang sangat berantakan, antara ibunya yang
keturunan Betawi asli dan Papa-nya orang Tionghwa. Tampilannya sih terlihat lebih pintar dari Damar dan Rory, karena berkaca mata, tenang, dan serius, juga pendiam. Kata-kata terakhir, dia tipe yang sulit untuk didekati oleh cewek mana pun. Dan yang paling membuat orang nggak percaya, Erris belum pernah pacaran!
Tapi, hampir sama dengan Erris, Rory juga belum pernah pacaran, paling nggak secara serius. Tapi, dunia tahu bahwa dia cuma tergila-gila sama seseorang dan itu Uki, adik kelas mereka waktu SMA. Rory yang badannya tegap dan berotot dan agak ‘kecoklatan’ terkenal berandal. Selain karena bertato, ia dikenal sebagai pembuat masalah yang nggak pernah jera. Pembangkang dan pemberontak sejati.
---
“Brengsek! Telat satu jam tau!”, sembur seorang cewek yang memperhatikan mereka dari kejauhan begitu Erris sampai di depannya.
Satu lagi, Laras, sahabat lama yang jarang kelihatan bersama karena harus tinggal di luar negeri. Dia satu-satunya alasan kenapa mereka ke bandara hari ini.
Erris menghela nafas, “Setelah tiga tahun nggak ketemu malah bilang gue brengsek?”, celetuknya, mengernyit tapi ia tetap menghampiri cewek urakan itu untuk memeluknya dengan kerinduan.
Cewek itu malah nyengir, dengan wajah gembira ia membalas pelukan Erris sebentar, “Lo tambah keren aja, Ris...”, katanya.
Nama lengkapnya Ayu Laras Suwandhi. Tipe yang keras kepala dan tomboy. Satu-satunya perempuan di antara
mereka. Dia baru kembali dari Australia dan sama sekali nggak berubah dari cara berpakaian ataupun bicaranya. Hanya rambutnya yang sudah terlalu panjang yang membuatnya beda dari tiga tahun yang lalu.
Erris nggak berkomentar, seolah mati rasa dengan pujian macam apapun dari cewek macam apapun. Apalagi Laras. “Damar sama Rory mana?”, tanya Laras.
“Damar sibuk...”, jawab Erris ragu-ragu lalu menunjuk ke arah toilet di mana Rory menghilang karena sesuatu yang nggak bisa ditunda lagi. Mungkin karena bangun tidur dia nggak sempat ke toilet atau melakukan apa-apa selain cuci muka dan gosok gigi.
Laras kembali menatap Erris dengan perubahan wajah yang begitu drastis, dari gembira menjadi sedih. Seolah Erris baru saja mengatakan hal yang mengecewakan. Erris memandangi gaya terbaik Laras. Celana jeans pendek yang memperlihatkan kaki panjangnya yang mengenakan sepatu kets merah. Atasan kaos longgar berwarna abu-abu serta aksesoris kalung etnik. Rambut merah burgundy-nya digulung ke atas dan helaian-helaiannya yang terlepas menjuntai ke bawah. Serta
sunglasess berwarna kemerahan di atas kepala.
Keramaian bandara yang menjadi hal yang sangat biasa setiap hari. Di mana pertemuan menjadi suka cita tapi nggak sedikit juga yang membawa duka cita dari tempat yang jauh dalam perjalanan dan itu ada di suatu tempat, di sisi yang lain dari sini. Nggak jauh dari tempat Erris dan Laras mengobrol tentang perjalanan dan apa saja yang telah terjadi belakangan.
Rory mulai terlihat di antara orang-orang, mencari jalan untuk menghampiri kedua temannya yang asyik ngobrol. “Asshole!”, suara itu menembus keramaian, melesat bagai
peluru tepat ke telinga Rory.
Saat ini, nggak sedikit orang yang berlalu tapi banyak juga yang melihat ke arah Rory yang terdiam, bingung, dan heran. Tapi, hanya sebagian orang yang tahu bahwa kata itu berarti ‘brengsek’. Kata itu juga diiringi dengan cacian lain dalam bahasa asing yang diartikan seperti “Aku bersumpah akan kuhancurkan hidupmu setelah mencampakan aku, brengsek!”
Siapa sih, yang memaki dengan keras, melengking dan terdengar begitu terluka?
Rory seketika menoleh ke belakang sebelum sempat menghampiri kedua temannya yang sedang menunggu. Apa Rory menyakiti seorang cewek?
Erris dan Laras melongo. Rory membelalak, memelototi cewek itu. Entah bagaimana, suasananya jadi membingungkan.
Seorang gadis berambut panjang dan kecoklatan. Nggak bisa diingkari dia cantik sekali. Tapi, kecantikan itu jadi seakan tak terlihat, seakan sirna oleh makian kasar yang terlontar dari bibirnya.
Seketika gadis itu tersentak, membelalak membalas tatapan Rory.
Gadis ini seolah baru saja membangunkan otaknya yang masih tertidur karena dia nggak pernah dimaki karena mencampakan seorang gadis. Jangankan mencampakan, malah sebaliknya.
“Ada apa sih?”, Laras menanyainya memecah kebisuan mereka dalam keramaian bandara.
Rory nggak menjawab dan sudah memastikan bahwa dia sama sekali nggak mengenalnya. Matanya nggak bisa lepas dari bidadari penuh amarah itu karena dia memiliki tatapan yang nggak semua orang bisa membacanya. Sedih, putus asa dan kecewa. Semua perasaan yang terburuk dan menyedihkan yang pernah ada di dunia ini, yang ingin ia tumpahkan kalau seandainya ia nggak salah mengenali orang.
Tapi, gadis itu tetap mengangkat kepalanya, tampak mempertahankan harga dirinya. Meskipun salah tingkah, dan bingung, itu sikap yang menjengkelkan untuk seseorang yang baru saja tertangkap basah berbuat salah dalam sekejap tapi mencoba untuk nggak peduli. Gadis itu malah pergi! Begitu saja. Pura-pura nggak melakukan apa-apa!
Rory mengernyit, jengkel. Beberapa saat ia berusaha menerima bahwa nggak seorang pun dari mereka yang menginginkan hal ini terjadi. “Cewek sinting...”, gumamnya sambil menggeleng-geleng. Cakep-cakep sinting...
“Lo yakin nggak ada hubungan apa-apa sama cewek itu?”, Laras menjadi sangat penasaran. Sambil menyikut Rory ia tertawa megejek dan Rory berusaha untuk acuh, meskipun kejadian barusan jelas-jelas sangat mengganggunya. Rory tertawa kecil, “Apaan sih?”, cetusnya jenaka, “Cewek model begitu, bisa kurus gue...”
Erris ikut tertawa, mengikuti mereka menuju parkiran. Rory hanya sedang sial.
“Gimana penerbangannya? Lo nggak jetlag kan?”
“Ya enggaklah! Nggak seru-seru amat sih...”, jawab Laras sambil merangkulnya sebentar sambil tersenyum, “Daripada cewek itu balik lagi mending kita cabut aja yuk”
Rory belum bisa melupakan kejadian barusan. Semua orang bisa saja salah mengenali orang. Tapi, sejenak ia menoleh ke belakang tempat gadis itu menghilang di antara orang-orang yang lewat. Ajaibnya Rory bisa dengan mudah menemukannya kembali.
Seorang gadis, bertubuh sedang, mengenakan gaun putih. Ia duduk di salah satu kursi tunggu dengan sebuah koper pink, tampak mencari-cari sesuatu di sekitarnya. Seperti sedang menunggu seseorang yang akan menjemputnya tapi nggak kunjung datang.
Secara keseluruhan, cewek itu cantik. Sisanya, Rory berpikir, dia pasti tipe yang nekat dibalik kelembutan seorang bidadari yang baru terhempas dari surga.