• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Telaah pustaka

2.1.1. Tuberkulosis paru A. Definisi tuberkulosis paru.

Tuberkulosis merupakan jenis penyakit yang menular pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh spesies mycobacterium tuberkulosis atau mycobacterium bovis yang ditandai dengan adanya pembentukan tuberkel dan jaringan yang mengalami nekrosis (Dorland, 2010)

Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang menyerang saluran pernafasan bagian bawah disebabkan oleh basil micobakterium tuberkulosis (Alsaggaf, 2006). Tuberkulosis paru merupakan penyakit yang hanya menyerang jaringan parenkim paru disebabkan kerena adanya infeksi kuman micobacterium tuberculosis dilihat dari hasil pemeriksaan sputum (Djojodibroto, 2009;Aziz dkk., 2005). Tuberkulosis paru adalah penyakit yang ditularkan secara langsung disebabkan karena kuman micobacterium tuberculosis yang sebagian besar menyerang paru-paru, akan tetapi dapat menyerang bagian tubuh lainnya dengan gejala dan tanda yang sangat bervariasi.

B. Epidemiologi

Kasus tuberkulosis semakin meningkat di dunia, menurut laporan WHO (2005), lebih dari 5 milyar kasus baru tuberkulosis baik tuberkulosis pulmonal maupun extrapulmonal (Isselbacher et al., 2012).

Kasus tuberkulosis paru di Indonesia saat ini dengan jumlah prevalensi 285/100.000 jiwa per tahun menduduki peringkat ke lima di dunia setelah India, Cina, Sounth Afrika, dan Nigeria menurut laporan WHO tahun 2010, peringkat ini menurun setelah pada tahun 2006 Indonesia menduduki peringkat ke tiga

(2)

setelah India dan Cina dengan jumlah prevalensi kasus 539/100.000 jiwa per tahun (Kemenkes, 2011; Narain et al., 2002).

C. Etiologi

Penyebab Tuberkulosis paru adalah mycobacterium tuberculosae, mycobacterium merupakan jenis bakteri berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 um dan tebal 0,3-0,6 um sehingga bentuknya tipis dan lurus (Sudoyo dkk., 2006). Bakteri ini dapat hidup pada udara yang kering maupun basah karena bakteri mycobacterium mempunyai sifat dormant, karena sifat dormant tersebut dapat menghidupkan lagi bakteri mycobacterium yang awalnya inaktif menjadi aktif. Mycobacterium tuberkulosaetinggal pada daerah atau keadaan dengan kadar oksingen tinggi atau pada daerah yang lembab, di dalam paru-paru bakteri ini sering dijumpai pada daerah apikal karena daerah tersebut mempunyai tekanan oksigen tinggi dibandingkan jaringan paru lainnya. Struktur Mycobacterium tuberculosae terdiri dari asam lemak atau lipid, peptidoglikan, dan arabinomanan. Adanya lipid yang menjadikan mycobacterium mempunyai sifat tahan asam atau asam alkohol sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) (Brooks, 2007).

D. Patogenesis & cara penularan tuberkulosis paru.

Terjadinya tuberkulosis paru banyak disebabkan oleh berbagai hal diantaranya penularan infeksi, penularan infeksi tuberkulosis paru ini dapat terjadi dengan berbagai cara yaitu dapat melalui saluran pernafasan, saluran pencernaan dan adanya luka terbuka pada kulit. Kebanyakan kasus tuberkulosis paru ditularkan oleh udara atau saluran pernafasan yaitu melalui droplet yang di batukan oleh penderita tuberkulosis, droplet tersebut mengandung basil tuberkel, partikel droplet ini dapat menetap di udara bebas selama 1 sampai 2 jam, dalam keadaan suasana yang lembab dan gelap tanpa adanya ventilasi udara dan cahaya kuman tersebut dapat tahan selama berhari-hari sampai bulan (Price et al, 2006). Masuknya partikel infeksi ke dalam saluran pernafasan orang sehat, basil tuberkel yang

(3)

masuk akan menempel di permukaan alveolus, partikel yang dapat masuk ke alveolus dengan ukuran < 5 mikrometer apabila basil ukurannya besar akan tertahan di saluran hidung dan cabang besar dari bronkus yang tidak menyebabkan penyakit, basil yag dapat mencapai alvelous dengan unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil (Sudoyo dkk, 2006).

Setelah basil tuberkel masuk kedalam alveolus yang terletak di bagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas lobus bawah akan menyebabkan reaksi peradangan yaitu basil tuberkel pertama dihadapi oleh neutrofil, kemudian diganti oleh makrofag, apabila basil tuberkel mati akan di makrofag dan dibersihkan keluar dari cabang trakeobrokial, apabila basil berhasil menetap di jaringan paru akan berkembang biak dan tumbuh didalam sitoplasma makrofag dan akan menyebar ke jaringan lain melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional. Bakteri yang berkembang di jaringan akan menimbulkan nekrosis di bagian sentral sehingga muncul gambaran seperti keju yang di sebut nekrosis kaseosa, lesi primer atau sarang primer di sebut focus ghon dan gabungan dari penyebaran kelenjar getah bening regional dan lesi akan menyebabkan komplek ghon(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

Faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya infeksi diantaranya: adanya sumber infeksi berupa penderita maupun dari hewan yang menderita TB paru, jumlah basil yang dapat menyebabkan infeksi, virulensi yang tinggi dari basil tuberkulosis, dan daya tahan tubuh yang menurun yang dapat menyebabkan terinfeksi basil tuberkel (Alsagaff, 2006).

E. Klasifikasi Tubekulosis

Menurut Depkes RI (2011), Menentukan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan empat hal yang menunjang diantaranya :

(4)

2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopik) : BTA positif atau BTA negative.

3. Riwayat pengobatan TB sebelumnya : pasien baru atau sudah pernah diobati.

4. Status pasien HIV.

Klasifikasi Tuberkulosis berdasarkan anatomis (organ yang terkena) dibagi menjadi :

1. Tuberkulosis paru

Tuberkulosis paru merupakan tuberkulosis yang hanya menyerang bagian pada jaringan paru, tidak termasuk bagian diluar paru atau pleura.

Berdasarkan pemeriksaan dahak TB paru dibagi dalam : a. TB Paru BTA positif

1) Pada pemeriksaan specimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan pada pemeriksaan foto rontgen dada menunjukan adanya gambaran tuberkulosis aktif.

2) Pada setiap pemeriksaan dahak SPS sekurang-kurangnya ada 2 dari 3 spesimen yang menunjukan hasil BTA positif.

b. TB Paru BTA Negatif

Pada pemeriksaan dahak SPS 3 kali menunjukan hasil BTA negatif meskipun pada pemeriksaan foto rontgen dada menunjukan hasil tuberkulosis yang aktif.

2. Tuberkulosis ekstraparu (Ekstra pulmonal)

Tuberkulosis eksta paru merupakan infeksi tuberkulosis yang menyerang organ tubuh selain paru-paru, terjadi diluar paru-paru seperti pleura, pericardium, selaput otak, tulang, kelenjar limfe, sendi, kulit, usus, ginjal dan organ tubuh lainnya.

(5)

Tuberkulosis ekstra paru berdasarkan berat ringannya dibagi menjadi : a. TB ekstra paru ringan

Misalnya pada kelenjar limfa, pleuritis eksudative unilateral, tulang, sendi dan kelenjar adrenal.

b. TB ekstra paru berat

Misalnya pada meningitis, milier, perikarditis, pleuritis, eksudatif dupleks, dan lain sebagainya.

F. Diagnosis Tuberkulosis paru

Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2002), Diagnosis TB dapat ditegakan berdasarkan keluhan klinis, gejala fisik, dan pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan bakteriologi (sputum) sampai dengan pemeriksaan radiologi. Pada gejala klinis yang penting diketahui adalah adanya batuk secara terus-menerus selama 3 minggu disertai adanya sputum dan berkurangnya berat badan. Sedangkan pemeriksaan penunjang untuk memastikan positif terkena tuberkulosis paru dilihat dari hasil pemeriksaan.

1. Gambaran klinik

Pada penyakit tuberkulosis paru menyebabkan berbagai macam gejala klinis yang berbeda-beda tiap individu, gejala klinis tuberkulosis dibagi menjadi 2 yaitu : gejala respiratori dan gejala umum.

a. Gejala respiratorik diantaranya : Batuk, gejala yang sering timbul dan muncul lebih dari 3 minggu merupakan awalan dari gejala yang menyertai lainnya. Dahak, berawal dari dahak bersifat mukoid dengan jumlah yang sedikit kemudian berubah menjadi dahan mukopurulen (kekuningan/ kuning hijau) sampai purulen. Batuk darah, darah yang dikeluarkan penderita bersamaan dengan batuk dapat berupa bercak darah maupun gumpalan darah segar dengan jumlah yang banyak. Nyeri dada, merupakan jenis nyeri pleuritik yang ringan. Wheezing, adanya

(6)

bunyi pada pemeriksaan auskultasi yang disebabkan karena adanya penyempitan lumen bronkus. Dispneu, merupakan proses lanjutan dari penyakit tuberkulosis yang disebabkan karena adanya obstuksi pada saluran pernafasan(Alsagaff, 2006).Gejala respiratorik muncul dengan berbagai variasi mulai dari tidak terdapat gejala sampai dengan gejala yang berat tergantung dari seberapa luas lesi yang muncul.

b. Gejala umum diantaranya : Demam, suhu badan akan meningkat pada siang maupun sore hari, semakin berkembangnya kuman tuberkulosis akan menyebabkan suhu badan makin meningkat. Mengigil, terjadi ketika suhu badan meningkat dengan cepat. Keringat malam, muncul ketika penyakit sudah lanjut. Anoreksia, susah makan sehingga menurunkan berat badan terjadi ketika penyakit TBC mulai berkembang dengan cepat. (Depkes RI, 2007).

2. Diagnosis.

a. Pemeriksaan bakteriologis sputum

Pada pemeriksaan bakteriologi ini untuk melihat adanya bakteri mycobacterium tuberkulosae yang ada di dalam sputum penderita, pemeriksaan bakteriologi ini penting terutama menggunakan spesiman dahak untuk menentukan diagnosis TB Paru (Aditama dkk., 2002). Selain menggunakan specimen dahak dapat menggunakan specimen lain seperti cairan pleura, LCS, bilasan bronkus, maupun bilasan lambung. Cara mengumpulkan spesimen dengan mengumpulkan 3 spesimen yang di kumpulkan dalam 2 x kunjungan secara berturut-turut dengan metode Sewaktu pagi sewaktu (SPS) yaitu :

1) S (Sewaktu) : dahak yang dikumpulkan saat kunjungan pertama kali. Dan saat pasien pulang membawa pot untuk mengumpulkan dahak esok harinya sewaktu pagi hari.

(7)

2) P (Pagi) : dahak yang dikumpulkan pada saat pasien bangun tidur pagi hari dengan menggunakan pot yang di bawa saat kunjungan pertama kali.

3) S (Sewaktu) : dahak yang dikumpulkan, pada saat pasien menyerahkan dahak pagi.

Interpretasi hasi dari pemeriksaan mikroskopis sputum yang sudah dikumpulkan 3 kali pemeriksaan yaitu :

1) Jika 2 atau 3 spesimen terdapat BTA +, maka dinyatakan sebagai penderita TB Paru.

2) Jika hanya 1 spesimen dengan hasil BTA +, diperlukan pemeriksaan ulang SPS. Dan jika hasilnya masih sama diperlukan pemeriksaan radiologi.

3) Jika 3 spesimen hasilnya BTA – , pasien diberikan antibiotic spectrum luas selama 1-2 minggu dan kemudian lakukan pemeriksaan SPS dan pemeriksaan radiologi.

b. Pemeriksaan radilogi

Pada pemeriksaan radiologi sebagai penunjang diagnosis TB paru, selain dilihat dari manifestasi klinis dan gejala yang muncul pada pasien gambaran paru yang muncul saat dilakukan pemeriksaan foto thorak berupa gambaran konsolidasi parenkim yang biasanya bersifat unifokal pada daerah multilobar sekitar 25% terjadi di lobus mana pun, akan tetapi sering terjadi pada daerah lobus bawah. Selain itu juga ditemukan efusi pleura yang bersifat unilateral. Adanya infiltrate atau nodular pada lapangan atas paru. Adanya bayangan coin lesion atau sering disebut tuberkuloma (Djojodibroto, 2009).

Menurut Mansjoer (2008), gambaran khas pada penderita TB Paru adanya lesi pada bagian apeks paru atau bagian segmen apical lobus atas atau bawah. Adanya kelainan yang uncul pada foto tergantung dari stadium penyakit saat penderita melakukan foto thorak, jadi setiap

(8)

penderita TB paru mempunyai gambaran yang berbeda tergantung dari stadium yang dideritanya.

c. Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah pada penderita TB baru (aktif) akan ditemukan pada pemeriksaan darah jumlah leukosit yang meningkat disertai jumlah limfosit masih dibawah normal, sedangkan Laju endap darah (LED) mulai meningkat ketika dalam keadaan aktif / eksaserbasi, apabila penyakit sudah mulaisembuh / regresi laju endap darah (LED) mulai menurun dan jumlah leukositkembali normal (Aditamadkk, 2002).

d. Tes tuberkulin

Pada tes tuberkulin menggunakan jenis tes mantoux yang disarankan oleh WHO dan IUATLD . Hasil tes tuberkulin terdapat indurasi yang dapat diinterpretasikan :

1) Diameter indurasi < 10 mm, dinyatakan negatif. Akan tetapi diagnosis TB Paru perlu pemeriksaan lainnya untuk menunjang. Hasil negatif juga dapat disebabkan karena adanya kondisi pada pasien seperti malnutrisi, atau kondisi yang disebabkan karena tuberkulosis berat. 2) Diameter ≥ 10 mm yang belum pernah mendapatkan vaksin BCG

(9)

Alur diagnosis TB paru berdasarkan KEMENKES RI (2011)

(10)

2.1.2. Pengawas minum obat (PMO)

Pengawas minum obat (PMO) adalah seseorang yang dapat mengawasi penderita tuberkulosis paru selama masa pengobatan dengan tujuan untuk mengawasi dan memastikan penderita minum obat dengan teratur dan benar sampai pengobatan selesai. Pengawas minum obat (PMO) merupakan salah satu komponen DOTS (Directly Observed Treatment Shoutcourse).

A. Pesyaratan Pengawas Minum Obat (PMO)

1. Merupakan seseorang yang dikenal, dipercaya, dan disetujui oleh petugas kesehatan maupun penderita, serta harus di segani dan di hormati oleh penderita.

2. Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita. 3. Bersedia dengan sukarela membantu penderita.

4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita.

Pengawas Minum Obat (PMO) sebaiknya adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, Juru Imunisasi, dan petugas kesehatan lainnya. Apabila tidak terdapat petugas kesehatan yang memungkinkan Pengawas Minum Obat (PMO) dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga (WHO, 2002; Depkes RI, 2007).

B. Tugas Pengawas Minum Obat (PMO)

Menurut WHO (2002) tugas seorang pengawas minum obat (PMO) diantaranya :

1. Mengawasi penderita TBC agar minum obat secara teratur sampai selesai masa pengobatan

2. Dorogan kepada penderita agar mau berobat secara teratur

3. Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu yang sudah ditentukan oleh petugas kesehatan

(11)

4. Memberikan penyuluhan kepada anggota keluarga penderita TBC yang mempunyai gejala-gejala TBC untuk segera memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan

5. Mengetahui tanda-tanda penyakit TBC

6. Memberikan penyuluhan kepada ppenderita untuk minum obat secara teratur selama 6 bulan

7. Menjelaskan kepada penderita diantaranya : mengapa harus diawasi, mengapa tidak boleh lupa minum obat, dan mengantar penderita untuk pemeriksaan ulang dahak (yaitu seminggu sebelum akhir bulan ke-2 pengobatan, seminggu sebelum akhir bulan ke-5 pengobatan, dan seminggu sebelum akhir bulan ke-6 pengobatan)

8. Mewakili penderita mengambil obat

9. Merujuk penderita untuk segera ke dokter / Unit Pelayanan Kesehatan jia terdapat efek samping obat seperti : pusing, mual, muntah-muntah, gatal-gatal, mata kabur, nyeri otot / tulang, dan telinga mendengunng. Bila air kencing berwarna merah itu masih normal, bukan merupakan efek samping obat. Bila berhenti minum obat, warna merah pada air kencing akan hilang 10. Mengetahui tanda-tanda pengobatan, yaitu sudah lengkap dan sudah

sembuh (obat diminum 6 bulan, berat badan meningkat, dan batuk hilang). 11. Obat TBC boleh diminum ibu hamil, kecuali lewat suntikan.

Catatan: tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban penderita mengambil obat ke Unit Pelayanan Kesehatan.

(12)

C. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan 1. TBC bukan merupakan penyakit keturunan maupun kutukan 2. TBC dapat disembuhkan dengan berobat teratur

3. Tatalaksana pengobatan penderita pada tahap intensif dan lanjutan 4. Pentingnya berobat secara teratur, karena itu pengobatan perlu diawasi 5. Efek samping obat dan tindakan yang harus dilakukan bila terjadi efek

samping tersebut

6. Cara penularan dan mencegah penularan (Depkes RI, 2002). D. Tujuan pengawas minum obat (PMO)

Penderita Tuberkulosis paru harus diawasi PMO karena :

1. Untuk mengetahui dan mengawasi penderita TB paru minum obat atau tidak secara teratur

2. Apabila penderita TB Paru tidak minum OAT sekali, maka PMO akan segera mengetahuinya dan mencari penyebab untuk menemukan solusi agar pengobatannya dapat dilanjutkan

3. Harga OAT yang mahal dan apabila tidak diminum secara teratur akan menimbulkan resistensi dan pasien tidak kunjung sembuh (Widyaningsih, 2004).

Berdasarkan penelitian sebelumnya tentang keberadaan pengawas minum obat (PMO) pasien Tuberkulosis Paru di Indonesia yang dilakukan oleh Murtiwi (2006), Sebagian besar pasien Tuberkulosis paru sekitar 69,9% yang tidak mempunyai keluarga untuk mendampingi sebagai pengawas menelan obat (PMO). Sedangkan pada pasien yang mempunyai PMO hanya 30,1% yang sebagian besar PMO dengan keluarga yaitu 25,3% sedangkan PMO petugas kesehatan hanya 0,6%, hal tersebut menunjukan bahwa tidak semua pasien TB Paru didampingi oleh PMO dalam masa pengobatan TB Paru keadaan tersebut tidak sesuai dengan program pengobatan pemberantasan TBC bahwa setiap pasien TBC yang mendapat pengobatan harus didampingi oleh PMO untuk melakukan observasi langsung (DOTS=

(13)

direct observed treatment shortcourse). Sedangkan hasil mengenai peranan PMO dalam menjalankan tugas ditemukan bahwa tidak semua PMO menjalankan tugasnya dengan baik dan benar yaitu mengingatkan minum obat pasien TBC paru setiap hari. Sesuai dengan DOTS PMO harus observasi secara langsung dengan melihat secara pasti bahwa obat telah diminum pasien yang sesuai. Sedangkan pada penelitian lain mengenai penilaiannya terhadap peran PMO sebagian besar menilai peran PMO sesuai sebanyak 54,2% dan sisanya sebanyak 45,8% yang menilai bahwa peran PMO tidak sesuai (Erlinda dkk, 2013).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sri lestari (2012), keberhasilan pengobatan TB Paru dipengaruhi oleh adanya peran dari pengawas minum obat yang mendukung, didapatkan hasil 92,6 % pasien TB Paru yang berhasil dalam pengobatan yang mendapat dukungan dari PMO sama halnya dengan penelitian lain mengenai keberhasilan pengobatan TB paru dengan adanya pengawasan dari pengawas minum obat (PMO) yang mencapai tingkat keberhasilan lebih tinggi dibandingkan tanpa pengawasan dari PMO, hal tersebut berkaitan dengan adanya kepatuhan minum obat pasien dan dukungan yang diberikan oleh PMO untuk mencapai pengobatan yang teratur dan keberhasilan pengobatan.

2.1.3. Terapi Tuberkulosis Paru A. Pengobatan TB paru

Dari pengobatan TB paru adalah untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian akibat kuman tuberculosis, mencegah kekambuhan, menghentikan penularan kuman tuberkulosis, dan menghindari adanya resistensi terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) (WHO, 2010).

Pada pengobatan TB di berikan dalam dua tahapan yaitu tahapan intensif (awal) dan tahapan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) penderita TB paru harus mengkonsumsi obat setiap hari selama 2 sampai 3 bulan dengan

(14)

dipantau terus oleh pengawas minum obat agar tidak lupa atau telat minum obat sehingga tidak menimbulkan resistensi obat. Sedangkan pada pengobatan TB paru tahap lanjutan pasien hanya mengkonsumsi obat dengan jenis lebih sedikit dibandingkan tahap intensip selama 4 atau 7 bulan, tujuan dari pengobatan lanjutan adalah untuk membunuh kuman yang persistenagar tidak terjadi kekambuhan lagi (Fachmi, 2004).

Menurut Kemenkes RI (2013) obat anti tuberkulosis (OAT) yang dipakai diantaranya :

1. OAT Lini pertama

Jenis obat Lini pertama atau utama diantaraya : Rifampisin, INH, Pirazinamid, Streptomisin, Etambutol

2. OAT Lini kedua

Jenis obat tambahan terapi tuberkulosis Paru yaitu : Kanamisin, Kuinolon, derivate amoksisilin dan INH

3. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)

Kombinasi tetap terdiri dari : empat OAT dalam satu tablet yang berisi rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg. Tiga OAT dalam satu tablet yang berisi rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg, dan pirazinamid 400mg.

B. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Menurut Depkes RI (2005) & Fachmi (2004) jenis, dosis, dan efek samping obat anti tuberkulosis (OAT) diantaranya :

1. Isoniasid (INH)

Jenis OAT yang bersifat bakterisid, dapat di gunakan sebagai OAT karena sangat selektif untuk micobakterium dan dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh. Obat ini dimetabolisme oleh hati dan disekresikan lewat urin dalam waktu 24 jam. Dosis

(15)

yang diberikan untuk dewasa 5 mg/kg BB. Efek samping yang dapat muncul berupa hepatotoksik, neuropati perifer.

2. Rifampisin

Mempunyai sifat bakterisid yang dapat membunuh kuman semi dormant yang tidak dapat dimatikan oleh isoniasid, 24etabolism sirkulasi enterohepatik, eksresi melewati empedu dan ginjal. Dosis dewasa 600 mg/kg BB. Efek samping yang di timbulkan yaitu mengubah warna caitan tubuh ( terutama urin) menjadi merah jingga, mual muntah, dan muncul ruam kulit. 3. Pirazinamid

Mempunyai sifat bakteriasid dan dapat aktif pada PH < 6,0, di hidrolisis di hati dieksresikan lewat ginjal. Dosis 15-30 mg/kg. Efek samping yang muncul : hepatotoksik, hiperurisemia, mual, muntah, dan antralgia.

4. Ethambutol

Mempunyai sifat bakteriostatik, 75-80 % diserap melalui saluran cerna dan di eksresikan lewat ginjal stelah 24 jam. Dosis awal 15 mg/kg BB efek samping neuritis optic.

5. Streptomisin

Mempunyai sifat bakteiosid. Dosis dewasa 0,5-1 gr/hari (10-15 mg/kg BB).

WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) merekomendasikan paduan OAT standar, yaitu :

(16)

Tabel 2. Panduan OAT

Kategori 1 Kategori 2 Kategori 3

2HRZE/4H3R3 2HRZE/4HR 2HRZE/5HE 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 2HRZES/HRZE/5HRE 2HRZ/4H3R3 2HRZ/4HR 2HRZ/6HE

Selain dari ketiga kategori diatas, terdapat sediaan paduan obat sisipan (HRZE). Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan (Depkes RI, 2005).

C. Kepatuhan minum obat

Kepatuhan minum obat merupakan suatu perilaku seorang penderita untuk menjalani pengobatan yang sesuai dengan ketetapan unit pelayanan kesehatan (Avy, 2006). Keteraturan atau ketaatan pasien dalam minum OAT sangat penting karena terkain resiko yang mungkin muncul apabila tidak mematuhi aturan yang berlaku.

Menurut standar internasional pelayanan tuberkulosis (2006) terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam minum OAT, diantaranya :

1. Usia penderita dan jenis kelamin 2. Pendidikan dan kebiasaan penderita 3. Ketersediaan obat

(17)

4. Pengawas minum obat (PMO)

5. Tersedianya layanan kesehatan setempat dan petugas kesehatan. 2.2. Kerangka Teori Diagnosis : - Gejala - Pemeriksaan fisik - Pemeriksaan bakteriologis - Foto rontgen - Tes tuberculin. Penyakit tuberkulosis Tuberkulosis paru Faktor predisposisi : Usia Jenis kelamin Pendidikan Pekerjaan Faktor pendukung : Terapi OAT Peran PMO Faktor pendorong : Petugas kesehatan Keluarga Masyarakat.

Perilaku keteraturan minum obat

keberhasilanpengobatan

(18)

-Gambar 2. Skema kerangka teori

2.3. Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 3. Skema kerangka konsep penelitian

2.4. Hipotesis

Peran pengawas minum obat (PMO) berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan pada pasien Tuberkulosis paru.

Penderita Tuberkulosis paru

BTA + BTA -PMO + PMO -BTA + BTA -Variabel bebas Variabel tergantung

Gambar

Gambar 1. Alur diagnosis Tuberkulosis Paru.
Tabel 2. Panduan OAT
Gambar 2. Skema kerangka teori

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian pada lahan masam di Nunukan, Kalimantan Utara menunjukan adanya dua calon varietas yang dapat direkomendasikan sebagai benih alternatif untuk

Hasil penelitian menunjukkan secara simultaan (bersama-sama) menunjukkan perbedaan Keamanan Kerja sebesar 30,0%, Kesehatan Kerja sebesar 43% dibandingkan

Definisi, lingkup, dan syarat kerja sama Gelar Bersama, Gelar Ganda, Kegiatan Alih atau Ambil Kredit wajib mengikuti Panduan Penyelenggaraan Program Kerja Sama Perguruan

spread of local history and culture and which are mainly non-profit are defined as “cultural undertaking facilities.” Profit-oriented facilities which rely on the local

Sebutkan hal-hal yang dianjurkan pada hari raya Idul

Rasio NPF adalah rasio yang digunakan untuk mengukur resiko kegagalan dari pembiayaan, dimana NPF adalah rasio antara pembiayaan bermasalah (yang masuk dalam

Syukur Alhamdulillah kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat dan Hidayah- Nya sehingga skripsi yang berjudul “ MOTIF REMAJA DALAM MENONTON FILM TENDANGAN DARI LANGIT

Total Konsumsi energi listrik di Kabupaten Aceh pada lima sektor adalah pada Tahun 2013 adalah 48,8 GWh, Sedangkan, pada Tahun 2030 total konsumsi energi mencapai 76,5