Menurut World Health Organizatin (WHO) dinegara berkembang,
kematian maternal berkisar antara 750-1000 per 100.000 kelahiran hidup,
dibandingkan dengan Negara maju, kematian maternal berkisar antara 5-10
perkelahiran hidup (Hartono, 2010). Kesehatan ibu dan anak perlu mendapat
perhatian karena ibu hamil dan bersalin yang memiliki resiko terjadinya
kematian. Mortalitas dan morbiditas wanita hamil dan bersalin merupakan
masalah besar Negara miskin dan berkembang seperti Indonesia. Komplikasi
kehamilan, persalina, dan nifas merupakan penyebab terbesar kematian ibu di
Indonesia (Retnowaty, 2005).
Di Indonesia kematian ibu tergolong tinggi yaitu 420 per 100.000
kelahiran hidup. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, AKI di
Singapura 14 per 100.000 kelahiran hidup, di Malaysia 62 per 100.000
kelahiran hidup di Thailand 110 per 100.000 kelahiran hidup, di Vietnam 150
per 100.000 kelahiran hidup dan Myanmar 380 per 100.000 kelahiran hidup
(WAD, 2009). Di ruang bersalin RSUD KRT Setjonegoro tahun 2012 ibu
dengan PEB/PER/eklamsia sekitar 18,91%,post term 16,98%, IUFD 16,21%,
presbo 14,51%,KPD 13,33%, dan perdarahan post partum 5,64%. Sedangkan
presentas tindakan yang dilakukan di ruang bersalin RSUD KRT Setjonegoro
paling tinggi tindakan persalinan spontan 33,98%, induksi 23,31%, SC
22,34%, vakum ekstraksi 5,53%, dan bracht/manual aid 3,36%.
Hermiyanti (2010), mengatakan penyebab langsung kematian ibu
(24%), infeksi (11%), partus lama (5%), dan abortus (5%). Penyebab
perdarahan pasca persalinan yaitu karena gangguan pada rahim, pelepasan
plasenta, ruptur jalan lahir, dan gangguan pembekuan darah. Resiko akan
meningkat pada ibu hamil yang menderita anemia dan rahim teregang terlalu
besar karena bayi besar.
Persalinan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologis pada wanita
hamil. Persalinan adalah proses dimana bayi, plasenta, dan selaput ketuban
yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir
dengan bantuan atau tanpa bantuan (Manuaba, 2010; h.125). Persalinan
normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup
bulan (37- 42 minggu) lahir spontan dengan presentasi belakang kepala
dalam waktu 18 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin.
Persalinan tidak selalu normal tetapi bisa menjadi patologi walaupun
pemeriksaan ANC dan riwayat kesehatan ibu dalam keadaan normal.
Faktor asuhan persalinan normal adalah persalinan bersih, aman dan
mencegah komplikasi. Paradigma pencegahan, episiotomy tidak dilakukan
karena penolong persalinan akan mengatur kepala, bahu, dan seluruh tubuh
bayi untuk mencegah laserasi atau hanya ruptur minimal pada perineum
(Wiknjosastro, 2008). Rupture perineum merupakan salah satu trauma yang
sering diderita perempuan saat persalinan (Oxorn, 2010). Rupture perineum
adalah luka pada perineum diakibatkan rusaknya jaringan karena proses
penurunan kepala janin atau bahu saat persalinan (Hamilton, 2012).
Ruptur perineum umumnya terjadi digaris tengah dan biasanya menjadi
luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat. Ruptur perineum dibagi menjadi 4
mukosa vagina, tingkat kedua ruptur terjadi pada dinding belakang vagina dan
jaringan ikat yang menghubungkan otot- otot diafragma rogenitalis, ruptur
tingkat tiga dari perineum sampai muskulus sfingter ani, sedangkan ruptur
tingkat empat mengenai mukosarektum (Prawirohardjo, 2006; h. 432). Ruptur
perineum merupakan komplikasi pada persalinan. Ruptur perineum terjadi di
garis tengah dan meluas apabila kepala janin lahir terlalu cepat dan sudut
arkus pubis lebih kecil dari normal, sehingga kepala janin lahir lebih
kebelakang dari pada melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang
lebih besar dari pada sikum ferensi asuboksipito-brekmatika. Ruptur perineum
disebabkan oleh faktor ibu dan janin. Ruptur perineum dari faktor ibu meliputi
inpartus presipitatus, mengejan yang tidak efektif, dorongan fundus yang
berlebih, edema dan kerapuhan pada perineum, varikositas vulva, arcus pubis
sempit dengan pintu bawah panggul yang sempit, serta perluasan episiotomy.
Sedangkan faktor dari janin yaitu bayi besar, posisi kepala yang abnormal,
presentasi bokong, ekstraksi forceps, dystocia bahu, hidrochepalus (Harry dan
William, 2010; h. 112-115)
Ruptur perineum dapat terjadi karena adanya ruptur spontan maupun
episiotomi. Ruptur spontan yaitu luka pada perineum yang terjadi karena
sebab-sebab tertentu tanpa dilakukan tindakan perobekan atau disengaja.
Ruptur perineum yang disengaja (episiotomi) harus dilakukan atas indikasi
antara lain: bayi besar, perineum kaku, persalinan yang kelainan letak,
persalinan dengan menggunakan alat baik forcep ekstraksi maupun vacum
ekstraksi. Apabila episiotomi tidak dilakukan atas indikasi, maka akan
menyebabkan peningkatan kejadian dan beratnya kerusakan pada daerah
Umumnya distosia bahu terjadi pada bayi besar (makrosomia), yakni
suatu keadaan yang ditandai oleh ukuran badan bayi yang relatif lebih besar
darinormal. Bayi besar (giant baby), yaitu bayi dengan berat badan lahir lebih
dari 4000 gr (Saifuddin, 2002). Kesulitan melahirkan bahu tidak selalu dapat
diduga sebelumnya. Bahu yang lebar selain dijumpai pada janin besar juga
dijumpai pada anensefalus. Apabila kepala sudah lahir sedangkan bahu sulit
dilahirkan, hendaknya dilakukan episitomi mediolateral yang cukup luas
(Winkjosastro, 2006). Kesukaran yang ditimbulkan karena regangan dinding
rahim oleh anak yang sangat besar, dapat timbul inersia uteri dan
kemungkinan perdarahan pasca partum akibat atonia uteri dan robekan jalan
lahir (Sastrawinata.et al, 2003).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah pada penelitian ini
adalah “Bagaimanakah gambaran faktor-faktor penyebab rupture perineum
pada persalinan pervaginam?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuanumum
Guna mengetahui gambaran faktor-faktor penyebab rupture
perineum pada persalinan pervaginam.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui kejadian ruptur perineum bedasarkan faktor paritas
yaitu primipara dan multipara.
b. Untuk mengetahui penyebab rupture perineum berdasarkan faktor
c. Untuk mengetahui penyebab ruptur perineum berdasarkan faktor bayi
besar.
d. Untuk mengetahui penyebab ruptur perineum berdasarkan faktor
distosia bahu.
e. Untuk mengetahui penyebab rupture perineum berdasarkan faktor
ekstraksi vakum.
D. ManfaatPenelitian
1. Manfaat Teoritis
Memperkuat konsep atau teori yang mendukung perkembangan
pengetahuan tentang kebidanan khususnya yang terkait dengan
faktor-faktor penyebab rupture perineum pada persalinan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi masyarakat
Memberikan pengetahuan pada ibu tentang faktor-faktor
penyebab rupture perineum pada persalinan pervaginam.
E. Temapat dan Waktu Penelitian
Sehubungan dengan penelitian yang akan saya lakukan, maka
peneliti akan mengambil data di RSUD KTR SETJONEGORO yang akan
mengambil data dari bulan Agustus 2014 hingga Oktober 2014.
F. Keaslian Penelitian
Berikut ini penelitian yang bersangkutan dengan penelitian tentang
gambaran faktor- faktor penyebab rupture perineum pada persalinan normal.
1. Suprida (2012)
Judul penelitian: hubungan berat badan janin dan paritas dengan kejadian
Palembang tahun 2012. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 14
(16,5%) yang mengalami rupture perineum, 39 (45,9%) dengan berat
badan janin berisiko dan 41 (48,2%) dengan paritas rendah, Melalui
analisis data dengan Uji Statistik Chi-Square didapatkan ada hubungan
yang bermakna berat badan janin dengan kejadian rupture perineum
pada persalinan normal dimana nilai p. value= 0,003 < 0,05. Kesimpulan
dari penelitian ini adalah ada hubungan yang bermakna antara berat
badan janin dengan kejadian rupture perineum persalinan normal.
Perbedaan dengan penelitian yang akan saya lakukan adalah hubungan
terhadap derajad robekan yang bisa terjadi pada faktor-faktor penyebab
rupture perineum.
2. Rosmawar Cut (2012)
Judul faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya laserasi pada
persalinan normal di Puskesmas Tanah Jambo Aye Panton Labu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 6 responden dengan jarak
kelahiran yang beresiko terdapat 5 orang (83,3%) yang pernah
mengalami laserasi dan dari 30 responden dengan jarak kelahiran yang
tidak beresiko terdapat 22 orang (70%) yang pernah mengalami laserasi.
Secara statistik tingkat laserasi perineum dengan jarak kelahiran yang
beresiko tidak ada pengaruh. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang
diungkapkan oleh Depkes, (2004) bahwa jarak kelahiran kurang dari dua
tahun tergolong resiko tinggi karena dapat menimbulkan komplikasi pada
3. Nunung Istianawati, et al, (2011)
Judul hubungan badan bayi lahir dengan kejadian rupture perineum pada
persalinan normal. Hasil penelitian menunjukan ibu multigravida yang
melahirkan bayi dengan berat 2500-4000 gram dan perineum 71,43%.
Sebaliknya ibu multigravida yang melahirkan bayi dengan berat <2500
gram mayoritas tidak mengalami rupture perineum 59,1%. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan berat bayi lahir dengan
kejadian rupture perineum pada persalinan normal.
4. Pravetasari Seva., (2009)
Judul hubungan berat badan lahir dengan rupture perineum di BPS Ny.
Alimah kecamatan Somagede Kabupaten Bayumas tahun 2009. Hasil
penelitian menunjukan angka kejadian rupture perineum spontan yang
dialami ibu bersalin normal di BPS Ny Alimah Kecamatan Somagede
Kabupaten Banyumas bulan Januari tahun 2009 sampai dengan April
tahun 2010 masih cukup tinggi yaitu sebanyak 37,5% (30 orang) dari 80