• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTERVENSI RUSIA DI OSSETIA SELATAN 2008: ANALISA PERAN AMERIKA SERIKAT DALAM KONFLIK GEORGIA - RUSIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INTERVENSI RUSIA DI OSSETIA SELATAN 2008: ANALISA PERAN AMERIKA SERIKAT DALAM KONFLIK GEORGIA - RUSIA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

0

INTERVENSI RUSIA DI OSSETIA SELATAN 2008: ANALISA

PERAN AMERIKA SERIKAT DALAM KONFLIK GEORGIA -

RUSIA

JURNAL

Diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh Gelar Sarjana dalam Bidang Hubungan Internasional

Oleh

Ramadhana Wulandiani 205000178

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN

UNIVERSITAS PARAMADINA

JAKARTA, 2014

(2)

1 Pendahuluan

Latar Belakang Masalah

Federasi Rusia atau Rusia adalah sebuah negara yang membentang luas di sebelah timur Eropa dan utara Asia. Dengan wilayah seluas 17.075.400 km², Rusia adalah negara terbesar di dunia. Wilayahnya kurang lebih dua kali wilayah Republik Rakyat Cina (RRC), Kanada, atau Amerika Serikat (AS). Penduduknya menduduki peringkat ketujuh terbanyak di dunia setelah RRC, India, AS, Indonesia, Brasil, dan Pakistan. Negara ini pernah menjadi negara bagian terbesar Uni Soviet (US). Rusia adalah ahli waris utama dari US yaitu mewarisi 50% jumlah penduduk, 2/3 luas wilayah, dan ± 50% aset-aset ekonomi dan persenjataan.1 Georgia terletak di wilayah Kaukasus di Eurasia yaitu di persimpangan Eropa Timur dengan Asia Barat dan berbatasan dengan Laut Hitam di sebelah barat, dari utara Rusia, Turki dan Armenia dari selatan, dan Azerbaijan dari timur. Georgia meliputi area seluas 69,700 km2 dan jumlah penduduk 4.385.000 orang.2

Georgia bergabung dalam US pada tahun 1924. Salah satu pemimpin US yang terkenal adalah Stalin. Pada masa itu, Eduard Shevardnadze menempati posisi sebagai menteri kebijakan luar negeri US di era Perestroika zaman mantan Presiden US Mikhail Gorbachev. Pada bulan April 1989, terjadi kerusuhan di Tbilisi, ibukota Georgia antara pasukan US dan demonstran yang mengakibatkan beberapa orang dibunuh. Kejadian itu dianggap sebagai perubahan pertama dalam hubungan antara Moskow dan Georgia. Revolusi itu dimimpin oleh Zviad Gamsakhurdia dimana dideklarasikannya kemerdekaan Georgia pada tahun 1990, satu tahun sebelum keruntuhan US. Pada saat yang bersamaan, perang sipil terjadi di Georgia sebagai akibat dari keputusan pemerintah Georgia mengenai pembatalan otonomi di Abkhazia dan Ossetia Selatan dan Adjara. Wilayah tersebut memisahkan diri dari Georgia. Tbilisi menuduh Moskow mendukung pemisahan ini.

Dengan demikian pada Desember 1991, Georgia menolak untuk bergabung dengan Persemakmuran yang mengumpulkan semua Republik mantan US (kecuali tiga republik Baltik). Pada tahun 1994, Eduard Shevardnadze kembali dari Moskow dan terpilih sebagai presiden Georgia setelah jatuhnya Gamsakhur yang melarikan diri ke Chechnya. Setelah itu,

1

Rusia, http://id.wikipedia.org/wiki/Rusia, diakses pada tanggal 14 November 2010, pukul 23.40 WIB.

2

(3)

2

Shevardnadze dan Presiden Rusia Boris Yeltsin membuat perjanjian "Dagmez" yang mensyaratkan perlunya komitmen dari dua pihak yang bertikai untuk meninggalkan penggunaan kekuatan untuk menyelesaikan konflik di republik separatis. Secara efektif hal ini berarti mempertahankan status quo tanpa solusi.

Terdapat perbedaan antara dua pihak yaitu Eduard Shevardnadze memerlukan akses dari Georgia ke Persemakmuran Republik mantan US untuk dapat mencapai Perjanjian yang sebelumnya tidak dapat dicapai dengan menggunakan kekuatan. Ketika Ia menyadari betapa sulitnya Ia mencari sekutu baru di Barat dan mengumumkan keinginannya untuk bergabung dengan NATO dan Uni Eropa, hal tersebut ditolak oleh Rusia. Periode ini dianggap sebagai akhir hubungan antara Rusia dan Georgia. Pada saat pecahnya “Rose Revolusi” pada tahun 2001 yang merupakan pendahuluan untuk sawal dari sejumlah revolusi yang “berwarna” di negara-negara mantan US.

Presiden Saakashvili memimpin revolusi baru untuk bergabung dengan NATO dan Uni Eropa. Sejak Ia menjadi presiden, Saakashvili mengumumkan keinginannya untuk menyatukan kembali Georgia dan mengontrol daerah Abkhazia dan Ossetia Selatan, serta mengadopsi kebijakan melawan Rusia. Ia juga berusaha untuk memobilisasi semua kekuatan konfrontasi dengan Rusia dan membentuk aliansi yang disebut sebagai negara (GUAM), yang meliputi (Georgia, Ukraina, Azerbaijan, Moldova) serta aliansi dengan Polandia dan negara-negara Baltik yang mempunyai hubungan regang dengan Rusia3

Runtuhnya US pada tahun 1991 merupakan waktu yang tepat bagi masing-masing negara untuk membangun pemerintahannya yang baik dan memiliki hubungan yang harmonis. Namun, pasca runtuhnya US, hubungan Rusia dan Georgia justru mengalami masalah karena adanya pertikaian dan ketegangan konflik bersenjata. Ketegangan yang terjadi antara Rusia dan Georgia adalah masalah Ossetia Selatan yang merupakan daerah yang berada di perbatasan antara Georgia dan Rusia. Ossetia Selatan merupakan wilayah teritorial Georgia namun penduduknya yang terdiri dari etnis Rusia menginginkan kedekatan dengan etnis Rusia yang memang berada di wilayah Rusia.

3

Hubungan Rusia-Georgia masa lalu dan sekarang, http://www.aawsat.com/, diakses pada 16 November 2010, pukul 11.34 WIB.

(4)

3

Identifikasi Masalah

Ossetia Selatan terletak di pusat Georgia dari utara dan punya perbatasan dengan Republik Ossetia Utara. Mayoritas penduduknya beragama Kristen. Luas wilayahnya diperkirakan (3900) km². Pertanian merupakan sumber ekonomi utama. Ibukotanya yaitu Tskhinvali dan 90% dari populasinya yang jumlahnya 70,000 orang memakai paspor Rusia, karena Ossetia sebuah republik merdeka tidak diakui kecuali Rusia, Nikaragua, Venezuela

and Nauru.4

Pada era Tsar Rusia Ossetia bernama kabupaten (okrug). Pada periode dari tahun (1918 -1921) Ossetia Selatan menjadi bagian dari Republik Demokratik Georgia. Pada tahun 1920 Ossetia Selatan menjadi salah satu Republik Soviet. Pada tahun 1922, nama Ossetia diganti untuk menjadi Oblast (pembagian administratif untuk daerah otonomi yang mengikuti Republik Sosialis), setelah Tentara Merah Rusia menyerbu Georgia pada tahun 1921.

Pada tahun 1936, Ossetia menjadi bagian dari wilayah Republik Georgia. Saat ini, 23% orang-orang yang berasal dari Rusia berada di Ossetia Utara, terletak dalam batas-batas politik formal Federasi Rusia sekitar dan di Ossetia Selatan kurang dari 5%.5 Pada tahun 1878 Rusia menduduki semua wilayah Ossetia dan membagi wilayahnya setelah revolusi Bolshevik untuk menjadi dua entitas, yang utara menjadi bagian dari Federasi Rusia dan yang Selatan menjadi bagian dari Georgia.

Amerika Serikat di Asia Tengah

Meskipun akhir Perang Dingin antara Timur dan Barat ditandai dengan runtuhnya US dan Pakta Warsawa, tetapi AS masih menganggap Federasi Rusia sebagai pengganti US dan dianggap sebagai musuh utama Washington, khususnya dalam bidang militer dan keamanan karena Rusia masih memiliki gudang senjata nuklir yang terbesar di dunia yang merupakan

4

South Ossetia, http://en.wikipedia.org/wiki/South_Ossetia, diakses pada 16 November 2010, pukul 13. 30 WIB.

5

Obaidi,Qais. Conflik Rusia Georgia di Ossetia Selatan, http://www.ahewar.org, diakses pada 15 November 2010, pukul 23.33 WIB.

(5)

4

ancaman bagi keamanan nasional AS. Setelah runtuhnya US, AS mengidentifikasi prioritas strategis dalam dokumen Pentagon pada tahun 1992 yang bertujuan untuk mencegah kembali munculnya pesaing baru di wilayah US atau di tempat lain di dunia dan memperlemah Rusia dalam bidang militer6. Pada era Yeltsin AS mampu untuk memperluas pengaruhnya di kawasan Asia Tengah dan di beberapa republik mantan US dalam rangka mencapai tujuan berikut, yaitu:

1. Pengendalian sumber energi dan menyediakan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan AS untuk memonopoli ekstraksi minyak dan pemasaran minyak dan gas. 2. Pengepungan Rusia dan berusaha untuk merusak stabilitas melalui promosi minoritas

di dalamnya untuk memisahkan diri (model Chechnya), dan memprovokasi kerusuhan dan masalah dengan republik-republik mantan US, serta untuk menyibukkan Rusia dalam konflik. Sehingga Rusia tidak akan mendapatkan kembali posisi internasional sebagai negara kuat dan besar di masa depan.

3. Mencegah komunikasi antara republik-republik mantan US dengan Rusia, Iran, Cina dan India untuk mencegah munculnya pusat internasional yang dapat mengakhiri monopoli AS.

Sesuai dengan tujuan tersebut, pada tahun 1997 AS menciptakan inisiatif untuk membentuk Majelis negara oposisi Rusia yang disebut dengan GUMA (Georgia, Ukraina, Azerbaijan dan Moldova. Pada tahun 2002, AS menempatkan penasihat militer di Georgia, yang telah menjadi jembatan untuk transfer minyak dan energi lainnya dari Laut Kaspia ke Barat. Rusia mengetahui sisi kelemahannya dan menyadari kebijakan AS di daerah Asia Tengah, sehingga Rusia mengakhiri era Yeltsin dan memulai era baru yang dianggap dapat mengembalikan keseimbangan internal Rusia dan meningkatkan perannya di tingkat regional dan internasional. Dalam konteks ini, munculnya Putin yang mengikuti kebijakan didasarkan pada tiga pilar, yaitu mengakhiri kelompok oligarki dan pengaruh mereka di Kremlin dan media, minyak dan uang7, keseimbangan kembali ekonomi dan mendistribusikan kekayaan supaya mengurangi kesenjangan sosial dan mengembalikan wilayah Rusia sebagai negara adidaya.

6

Hardan, Hasan. Latar belakang krisis Rusia-Georgia tanda kembalinya Perang Dingin, http://www.al-akhbar.com/ar/, diakses pada 15 November 2010, pukul 23.48 WIB.

7

(6)

5

Pemerintahan Putin menghasilkan tiga keuntungan, yaitu memperoleh keseimbangan kembali ekonomi melalui pembayaran utang yang diakumulasi oleh Yeltsin, yang diuntungkan dari kenaikan harga minyak dan gas, Rusia kembali menjual senjata baru kepada banyak negara dan menjaga peran tentara Rusia dan keperluannya. Putin juga melakukan langkah besar dengan memulihkan hubungan US dengan Suriah, Aljazair, Kuba, Korea Utara, Iran dan Venezuela serta membangun hubungan strategis dengan Cina dan bekerjasama dalam Organisasi kerjasama Shanghai, yang diantaranya beranggotakan India dan republik-republik mantan US seperti Uzbekistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, Tajikistan, Iran. Organisasi ini mulai membentuk polar ekonomi dan politik Asia yang bertujuan untuk membersihkan Asia Tengah dari pengaruh AS dan menciptakan jaringan kerjasama ekonomi, minyak dan kerjasama teknologi antara anggotanya. Rusia memperingatkan pemerintah AS dan menolak perluasan NATO, termasuk Georgia dan Ukraina, yang mengeksploitasi kelemahan Rusia setelah runtuhnya US untuk mengubah peta geopolitik daerah Asia Tengah, sehingga mereka berada di luar pengaruh Rusia.

Melalui penjelasan tersebut LBM, dapat lihat bahwa hubungan antara pihak-pihak yang muncul dari Perang Dingin akibat situasi di daerah Asia Tengah menjadi daerah rawan konflik. Khususnya dengan kebijakan AS yang ditujukan untuk melemahkan Rusia dalam segala hal, di sinilah muncul pentingnya Georgia dalam kebijakan luar negeri AS.

Perumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang masalah dalam makalah ini, maka akan difokuskan pada masalah:

Bagaimana peran intervensi Rusia dan pengaruh AS dalam ketegangan antara Georgia dan Ossetia Selatan? (periode 2008)

Kerangka Pemikiran

Dalam menganalisa perumusan masalah, topik makalah ini akan mengacu pada perspektif neo-realis (struktural realis). Tokoh dari perspektif ini adalah Kenneth Waltz. Bahwa penyelesaian konflik antara Georgia dan Rusia dapat diselesaikan dengan adanya peran dominan negara. Kemudian terjadinya konflik ini tidak dapat dipisahkan dari kausalitas dimana intervensi Rusia di Ossetia Selatan dapat terjadi karena adanya keinginan masyarakat

(7)

6

Rusia yang berada di Ossetia Selatan menginginkan bergabung ke Rusia dan 90% dari mereka memiliki paspor Rusia. 8

Perubahan struktur internasional membawa dampak kepada perubahan interaksi antar negara, dan setelah itu menimbulkan dampak baru dari interaksi yang baru terbentuk. Hal ini, tercermin dalam perubahan sistem internasional pasca runtuhnya Uni Soviet yang secara otomatis muncul aktor-aktor baru di dalam politik internasional. Sehingga menimbulkan pola interaksi baru. Konsep intervensi militer. Bentuk akhir dari intervensi militer adalah tindakan pengiriman tentara dalam jumlah besar yang dilakukan untuk menjaga stabilitas rezim yang berkuasa terhadap protes kelompok pemberontak atau dilakukan untuk membantu kelompok pemberontak dalam menggulingkan pemerintah yang berkuasa. Intervensi juga dapat dilakukan sebagai sarana untuk mendukung sekutu terhadap ancaman pemberontakan.9

Untuk menilik legalitas intervensi Rusia di Ossetia Selatan dari segi hukum, sebaiknya dikembalikan kepada konsep intervensi humaniter yang terdapat dalam Hukum Humaniter Internasional. Dukungan politis bagi intervensi humaniter hanya sah dalam beberapa kriteria, seperti disebutkan dalam tulisan Viotti dan Kauppi (2010). Ada beberapa pertimbangan yang dipikirkan oleh para pengambil kebijakan terkait dengan kepentingan nasional mereka dalam keterlibatannya terhadap intervensi militer di suatu negara10. Beberapa kriteria tersebut antara lain :

1. Kedaulatan. Di bawah Piagam PBB, intervensi sah dilakukan, asalkan dilancarkan dengan motif collective security11 dan berada di bawah otorisasi PBB. Hal ini dikarenakan aksi intervensi akan melanggar kedaulatan negara, yang paling sederhana adalah kedaulatan teritorialnya.

2. Kepentingan Nasional. Intervensi boleh dilakukan hanya bila terdapat kepentingan nasional yang sangat vital untuk segera dicapai. Misalnya untuk pertahanan dalam negeri secara kolektif maupun invividual seperti disebutkan dalam Piagam PBB pasal 51.

8

Kenneth Waltz, Journal of International Affairs, Realist thought and NeoRealist theory. Hlm 21.

9

K.J.Holsti, Politik Internasional Suatu Kerangka Analisis, USA: Binacipta, 1977, hlm. 377.

10 Dalam bab Normative IR Theory, Ethics and Morality. Halaman 419-422 11

Suatu persekutuan yang didasarkan pada adanya kepentingan bersama antarnegara baik di bidang kerja sama keamanan maupun bidang lainnya.

(8)

7

3. Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan basis Universal Declaration of Human Rights,

segala agresi militer yang melanggar HAM wajib untuk ditumpas, baik dalam segi sipil, politik, sosial ekonomi; maupun untuk mencegah genosida dan tipe-tipe kejahatan perang lainnya.

4. Perkiraan Efek Akhirnya pada Kondisi Kemanusiaan. Intervensi bersenjata tentu saja menghabiskan sumber daya yang banyak, maka pihak-pihak partisipan berusaha meminimalisir kerugian. Kelemahannya, kerugian non-fisik sulit untuk diidentifikasi apalagi direkonstruksi, misalnya kebencian dan sentimen-sentimen yang muncul pasca-konflik, serta rusaknya tatanan sosial budaya.

5. Tingkatan Multilateralism. Para pengambil kebijakan luar negeri cenderung untuk mencari dukungan multilateral dalam melancarkan intervensi militer. Misalnya AS yang mencari dukungan dari Dewan Keamanan PBB untuk melakukan agresi militer ke Irak demi mencari senjata pemusnah massal.

Jika melihat dari kriteria tersebut nampaknya keabsahan intervensi Rusia terhadap konflik Georgia-Ossetia Selatan menjadi lebih teryakinkan. Namun dalam menganalia kepentingan nasional yang tercakup dalam keputusan Rusia untuk mengintervensi perlu dipertimbangkan kembali. Rusia memiliki kepentingan nasional yang jelas karena adanya konflik tersebut, baik dari segi teritorial maupun humanitarian.

Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui mengenai latar belakang terjadinya intervensi militer oleh Rusia terhadap Georgia dan sejauh mana intervensi Rusia terhadap Georgia. Georgia terlibat dalam konflik dengan wilayah otonom Ossetia Selatan yang ingin bergabung dengan Rusia. Rusia melakukan intervensi sebagai respon atas upaya Georgia untuk menyelesaikan konflik tersebut. Pembaca diharapkan dapat memperoleh gambaran mengenai bentuk intervensi yang terjadi terhadap Georgia dan mengetahui konflik yang terjadi antara Rusia dan Georgia yang dimulai pada tahun 1991.

(9)

8

Awal Konflik di Ossetia Selatan 2008

Pasukan Georgia yang didukung oleh tank, pesawat tempur dan artileri berat menyerang Ossetia Selatan pada Agustus 7-8 Agustus 2008 malam. Pada 8 Agustus 2008, pasukan Georgia menyerbu beberapa desa di Ossetia Selatan dan memasuki wilayah ibukota, Tskhinvali yang penduduknya berjumlah 35.000 warga . Menurut komandan militer Georgia di kawasan itu, Georgia terpaksa pindah untuk mendirikan tatanan konstitusional di wilayah tersebut. Saakashvili, Presiden Georgia, telah lama berjanji untuk merebut kembali Ossetia Selatan dan Abkhazia, dua provinsi separatis yang memisahkan diri dari Georgia setelah konflik bersenjata berdarah di awal 1990.

Tindakan Rusia

Sebagai reaksi Rusia menyiapkan tank dan pasukan ke Ossetia selatan untuk melindungi warga negaranya dan menjaga perdamaian setelah pasukan Georgia mulai melakukan serangan militer terhadap wilayahnya yang memisahkan diri tersebut. Madvedev, Presiden Rusia, mengutuk serangan Georgia sebagai tindakan agresi dan bersumpah untuk membela warga Rusia di Ossetia Selatan. Mayoritas penduduk Georgia sebesar 70.000 di kawasan itu memegang paspor Rusia. Pasukan Rusia pun menghentikan serangan besar-besaran Georgia terhadap Ossetia Selatan. Mereka mengambil kendali penuh atas ibukota Tskhinvali dan mengusir pasukan Georgia di luar zona konflik pada 9 Agustus. Pada tanggal 10 Agustus 2008, penyebaran konflik menyebar ke wilayah lain yang memiliki keinginan untuk memisahkan diri dari Georgia, Abkhazia, dengan melancarkan operasi militer untuk mengusir pasukan Georgia dari Kodori Gorge, zona demiliterisasi dimana telah dikerahkan pasukan Georgia yang melanggar perjanjian gencatan senjata 1994. Pasukan Rusia juga menyerbu kota strategis Georgia Gori pada 11 Agustus 2008 (tempat kelahiran Stalin), yang resmi disebut sebagai "serangan total".12

Alasan dan motif yang menyebabkan perang di Ossetia Selatan: Kemerdekaan Kosovo:

Pada tahun 2006 AS berusaha untuk mencapai kemerdekaan Kosovo dari Serbia sekutu Rusia di Balkan dan mendiskusikan kemungkinan pengakuan kemerdekaan dari

12

(10)

9

Washington dan Uni Eropa, serta akan menjalin hubungan diplomatik penuh dengan Kosovo karena kemerdekaan tersebut akan membawa perdamaian ke Balkan. Tindakan itu dianggap sebagai tujuan pemerintah AS untuk mencegah kembalinya dominasi Rusia di daerah Balkan.13 Di sisi lain, Rusia menganggap tindakan ini sebagai tantangan yang jelas terhadap kepentingannya di Balkan.

Posisi Rusia yang menolak kemerdekaan Kosovo didasarkan pada kebutuhan untuk menghormati aturan hukum internasional yang memerlukan penghargaan perbatasan antara negara dan pentingnya integritas wilayah semua negara. Rusia menganggap pemberian kemerdekaan Kosovo dan pengakuan dari AS dan Negara Barat lainnya merupakan tindakan yang berbahaya karena Kosovo akan mendukung terjadinya separatisme dimana-mana. Kosovo adalah daerah otonomi, jika negaranya menginginkankan kemerdekaan, hal ini dapat terjadi melalui koordinasi dengan otoritas pusat atau melalui persetujuan Dewan Keamanan PBB. Tanpa legitimasi, kemerdekaan Kosovo dianggap sebagai pemberontakan dan ketidaktaatan serta tidak boleh ada pihak luar yang melakukan campur tangan dalam urusan internal kecuali untuk transaksi yang diizinkan oleh undang-undang dan peraturan internasional 14. Rusia juga memperingatkan Negara Barat dan AS bahwa Rusia akan mengakui kemerdekaan Ossetia Selatan dan Abkhazia jika pengakuan kemerdekaan terjadi.15 Perisai rudal AS:

Sejak kedatangan Vladimir Putin, keregangan antara Moskow dan Washington terus meningkat. Ketika AS memutuskan untuk membuat peraturan untuk rudal di perbatasan Rusia di Republik Ceko dan Polandia sebagai sekutu Moskow sebelumnya, muncul ancaman dari Rusia untuk mengembangkan sistem anti-rudal untuk mengatasi serangan rudal. Penolakan Rusia karena menganggap tindakan itu sebagai ancaman langsung terhadap kepentingan Rusia. Namun, Rusia tetap diam mengetahui keamanan strategisnya yang

13

Salah, Hani. tantangan pasca kemerdekaan, Jurnal Politik Internasional, nomor:, 172 April 2008, Volume: 43,170-173.

14

Dahir, Faris. Pergeseran dalam hubungan Rusia-AS setelah perang di Kaukasus, http://blog.amin.org, diakses pada 17 November 2010, pukul 12.45 WIB.

15

Cornell, Svante E. & Starr, S. Frederick. 2009 The guns of August 2008: Russia's war in Georgia. New York:M.E. Sharpe.143-144.

(11)

10

terancam. Situasi menjadi rumit karena negara Eropa Timur tidak mau kembali lagi ke kekuasaan Rusia.16

Masalah perisai rudal menyebabkan ketegangan antara AS dan Rusia, melalui penguatan AS untuk posisinya di wilayah ini, terutama setelah persetujuan Polandia untuk meletakan perisai rudal di wilayahnya pada tahun 2011-2012. Rusia menolak pembangunan perisai rudal milik AS dan stasiun radar di Polandia dan Republik Ceko yang dianggap ancaman terhadap keamanan nasional Rusia, dan ditujukan terhadap Rusia, bukan Iran. Saat Washington mengklaim bahwa pembangunan pertahanan rudal akan melindunginya dari rudal balistik nuklir Iran. Rusia menentang proyek ini dan menyatakan telah siap untuk menghadapi posisi AS dan siap untuk menerima kemungkinan konfrontasi militer sebagai respon terhadap pembangunan sistem pertahanan rudal AS di Eropa.

Provokasi Georgia terhadap Rusia:

Georgia memprovokasi Rusia secara militer dan Rusia bereaksi berlebihan secara militer yang pada akhirnya mengherankan Georgia, AS dan Uni Eropa, terutama ketika Rusia meluncurkan pasukannya di Georgia. Sementara Rusia menuduh Georgia menggunakan kekerasan yang berlebihan di wilayah Ossetia Selatan dan memperingatkan eskalasi krisis disana, dan menyerukan aksi militer di kawasan itu yang melancarkan perang untuk menyatakan pemisahan diri Ossetia Selatan dan Abkhazia dan pengakuan atas keduanya sebagai negara independen. Reaksi Rusia membuat marah AS yang menganggap tindakan Rusia sebagai eskalasi tidak dibenarkan, karena Georgia, sekutu dan pijakan di kawasan itu, yang menyebabkan pertukaran tuduhan antara Moskow dan Washington. Rusia melihat perang sebagai suatu tindakan yang sah untuk melindungi warga negaranya dan pelaksanaan hak ini adalah suatu yang wajar. Rusia dalam tindakan ini mengirim pesan untuk NATO dan AS bahwa Rusia memiliki pilihan terbuka untuk menghadapi apa yang akan dilakukan dalam adanya ancaman keutuhan wilayahnya, termasuk konfrontasi bersenjata untuk mempertahankan stabilitas situasi saat ini dalam lingkungannya yang strategis dan keamanannya yang berdekatan.

16

Perisai rudal AS dan krisis AS-Rusia, http://www.moqatel.com, diakses pada tanggal 17 November 2010, pukul 13.07 WIB.

(12)

11

Intervensi Bersenjata Rusia di Ossetia Selatan sebagai Bentuk Eskalasi Konflik ke Ranah Regional

Rusia berdalih bahwa campur tangannya di Ossetia Selatan adalah untuk melindungi warga di sana yang berkewarganegaraan Rusia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun merasa bahwa tindakan Rusia adalah ilegal, karena negara tersebut tidak mendapat mandat PBB dan pada akhirnya memperkeruh konflik antara Ossetia Selatan dan Georgia sendiri. Georgia secara sepihak memohon pada AS untuk menekan Rusia untuk “menghentikan agresi militer bersenjata” di Ossetia Selatan17

.

Nampaknya Georgia berusaha mengimbangi langkah Rusia untuk melibatkan diri dalam konflik internalnya. Sungguhpun demikian, untuk mendapatkan dukungan dari AS nampaknya cukup sulit, karena Georgia juga menarik pasukannya dari Irak untuk berkonsentrasi menangani konflik ini. Di sisi lain, para pengungsi dari Ossetia Selatan banyak yang merangsek masuk ke wilayah Rusia dan semakin memanaskan perseteruan tersebut. Rusia juga telah memberi bantuan medis dan suaka bagi mereka sekaligus meneguhkan keikutsertaannya yang lebih dalam lagi.

Eskalasi konflik domestik ke ranah internasional rasanya tidak mungkin dihindari. Pasalnya, para pengungsi yang hijrah ke Rusia dari Ossetia Selatan tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Terlebih lagi, perseteruan ini telah mengganggu stabilitas kawasan negara-negara sekitarnya. Namun Rusia sebagai aktor besar dalam konflik ini telah membuat posisi Georgia terdesak sehingga perlu melakukan langkah balancing dengan mencari dukungan AS dan negara lain yang dianggap memiliki power. Sebagai gambaran, beberapa pihak yang memiliki kepentingan dalam konflik ini antara lain : Georgia, Rusia,

Northern Atlantic Treaty Organization (NATO) yang cenderung menolak bergabungnya Georgia dalam lembaga itu, AS dan Israel yang dituduh Iran berusaha membantu Georgia dalam upayanya mengamankan wilayah udara Georgia untuk menyerang fasilitas nuklir Iran. Rusia maupun Georgia, masing-masing memiliki peacekeeping force atau pasukan perdamaian sendiri untuk menurunkan tensi ketegangan antara pihak-pihak yang bertikai. Namun bukan berarti mereka memiliki netralitas, mereka sempat terlibat kontak bersenjata

17

Menurut pemberitaan http://rt.com/news yang diakses pada Selasa, 16 November 2010. Time line : Georgia-South Ossetia Armed Conflict, August 8.

(13)

12

yang belum diketahui bagaimana clash tersebut menyulut ke permukaan hingga melibatkan penggunaan artileri dan tank18. Padahal dalam Hukum Humaniter Internasional, pasukan perdamaian hanya dapat melakukan inisiasi bersenjata demi tujuan membela diri dan melindungi kepentingan sipil.

Kepentingan Rusia dalam intrusi ini dapat dilihat dari berbagai sisi. Komplikasi kepentingan tersebut dapat dirangkum dalam beberapa pilar utama, yang pertama antara lain banyaknya warga Ossetia Selatan yang memiliki paspor Rusia sebesar 90% seperti dikatakan presiden Rusia Dimitry Medvedev. Selain itu perusahaan minyak Rusia, Gazprom, juga memiliki basis infrastruktur dan pipa gas dan minyak di Ossetia Selatan yang berarti kepentingan ekonominya di sana semakin krusial. Ossetia Selatan dan Georgia juga merupakan lokasi persilangan strategis antara Timur Tengah dan Eropa, di mana lalu lintas perdagangan sumber daya minyak menjadi cukup ramai. Sedangkan Ossetia Selatan sendiri cukup tergantung pada Rusia, walaupun berada dalam teritori . Cukup banyak penduduknya yang bermata pencaharian di Rusia.

Beberapa hal yang dapat dipetik dari peristiwa ini dapat dilihat dari kacamata interaksi dalam hubungan internasional, terutama secara makro dapat ditinjau sebagai berikut :

1. Menurut teori ciri struktur politik dari Kenneth M. Waltz (1979) terdapat dua level analisa yaitu domestik dan internasional. Dalam segi ordering principles atau tata urutan pengaruhnya, dalam level domestik Ossetia Selatan berada dalam subordinasi Georgia, yang berarti hubungan memerintah dan diperintah, sementara Georgia menuntut kemerdekaan penuh.

2. Aspek-aspek untuk alat analisa dinamika eskalasi konflik ini menurut Holsti (1977) ditentukan dari beberapa faktor, antara lain boundaries, karakteristik unit politik, struktur yang defineable, bentuk-bentuk interaksi dan seperangkat peraturan dan norma-norma yang membentuknya.

a. Dari segi boundaries, wilayah Ossetia Selatan yang dekat secara budaya dengan Rusia ternyata memiliki determinasi politik sendiri, selain juga secara georgrafis sangat dekat dengan Ossetia Utara yang merupakan daerah yang dikuasai Rusia.

18

South Ossetia Claims Hundreds of Loss of The Bloodshed, http://rt.com/news, diakses pada tanggal 17 November 2010, pukul 13.20 WIB.

(14)

13

b. Rusia sempat dituduh akan melakukan aneksasi atau pencaplokan teritorial sehingga menyebabkan terbentuknya unit atau faksi yang berlomba-lomba masuk dalam konflik yang telah keruh tersebut dengan berbagai dalih. Presiden Georgia Mikhail Saakashvilli telah memberi opsi bagi tatanan negara Georgia yang baru dengan menempatkan Georgia sebagai daerah otonomi khusus, yang secara langsung berarti mengubah unit politik dalam Georgia sendiri. Dalam tawar menawar ini rakyat Georgia tidak tertarik, sehingga peran rata-rata warga negara sangat besar dalam terbentuknya unit politik informal ini.

c. Dalam konfigurasi struktur yang defineable, power dan influence sangat berpengaruh dalam pembentukan hubungan dominan-subordinat. Dalam kawasan Georgia dan sekitarnya, Rusia masih menjadi kekuatan yang dominan sebagai pemberi pengaruh dan penyokong aktivitas politik dan ekonomi . Dengan adanya intervensi dari banyak pihak, dapat diasumsikan Rusia maupun Georgia sangat khawatir jika nantinya akan ada dominasi dalam penyelesaian konflik yang akan menguntungkan pihak lawannya.

d. Bentuk interaksi politik internasional seperti ini dapat disimpulkan sebagai bentuk rivalitas antara Rusia-Georgia untuk mendapatkan legitimasi atas pengelolaan wilayah Ossetia Selatan, sekaligus menyangkal upaya deklarasi kemerdekaan Ossetia Selatan secara sepihak. Ossetia Selatan bahkan mengklaim telah terjadi usaha genosida dari pihak Georgia dan mendapat dukungan dari pejuang Abkhazia, wilayah Georgia yang juga menuntut separatisme dari Georgia19.

e. Sementara dari segi norma dan nilai-nilai, serta teknik-teknik dan institusi yang digunakan untuk mengatasi konflik utama dalam unit politiknya, konflik berdarah ini menyisakan minimnya kontrol terhadap masuknya kepentingan yang mungkin mengacaukan upaya resolusi konflik. Rusia bertindak secara sepihak namun Georgia memohon payung keamanan dan NATO juga ikut campur dalam pengamanan kawasan. Georgia menggunakan metode kekerasan untuk meredam pemberontakan Ossetia Selatan namun Rusia

19

Time line : Georgia-South Ossetia Armed Conflict, http://rt.com/news/, diakses pada tanggal 17 November 2010, pukul 13. 39 WIB.

(15)

14

mengklaim ini sebagai upaya pembersihan etnis. Benturan kepentingan ini ternyata mampu menggoyahkan integritas teritori Ossetia Selatan yang telah sah menurut hukum.

Akibat Intervensi Rusia di Ossetia Selatan - Akibat di tingkat politik

Krisis di Ossetia menunjukkan restorasi Rusia sebagai kekuatan mayor yang mampu membela kepentingannya dan memaksakan keinginannya, dan mencerminkan perubahan dalam politik Rusia dan keseimbangan kekuasaan internasional. Selain itu, pimpinan Rusia ingin menegaskan peran Rusia sebagai pemain internasional yang tidak dapat diabaikan atau melanggar keamanan nasionalnya dalam upaya untuk mengembalikan beberapa posisi yang hilang sejatuhnya US, serta memperbaiki ketidakseimbangan dalam keseimbangan kekuatan dengan AS. Hal itu dilakukan untuk menjadikan hubungan yang lebih setara antara mitra sejajar dalam sistem multipolar dan untuk mengakhiri monopoli AS dalam sistem internasional.

- Akibat di tingkat ekonomi

Keamanan energi untuk Rusia dan kebutuhan untuk mengendalikan jalur transmisi minyak dan gas dari Asia Tengah da Laut Kaspia melalui pelabuhan Georgia di Laut Hitam ke Eropa, dan untuk menjamin kelangsungan dibawah pengaruh Rusia. Konflik lokal di masa depan adalah perjuangan Rusia untuk sumber-sumber energi dan minyak meningkat di pasar Eropa seperti yang terlihat untuk membuktikan agar Rusia dipertimbangkan untuk pembentukan proyek-proyek masa depan untuk transfer energi melalui wilayahnya. Mengenai prinsip-prinsip yang terkandung dalam rencana perdamaian yang ditandatangani antara Georgia dan Rusia membuktikan bahwa Moskow dapat memaksakan kehendaknya pada Georgia yang tidak dapat melakukan sesuatu terhadap dominasi Rusia dalam manajemen krisis Ossetia.

- Akibat di tingkat Keamanan dan Militer

Rusia telah dapat memulihkan posisinya sebagai negara terbesar secara militer di kawasan Kaukasus dan memulihkan prestise militer Rusia dan disiplinnya. Selain itu, Rusia mampu mengembangkan militer dan memulihkan kembali posisinya sebagai eksportir senjata terbesar, juga Rusia dapat memunculkan kembali dirinya sebagai kekuatan Eropa yang memiliki pengaruh di Asia, seperti yang terjadi di era Tsaris. Reaksi Rusia untuk menyerang Georgia di Ossetia Selatan mengherankan seluruh

(16)

15

pihak karena Rusia untuk pertama kalinya sejak 1970-an berdiri mengkonfrontasi langsung AS dalam penentuan un

Kesimpulan

Ketegangan yang terjadi antara Rusia dan Georgia didasarkan pada adanya masalah Ossetia Selatan yang merupakan daerah yang berada di perbatasan antara Georgia dan Rusia. Ossetia Selatan merupakan wilayah teritorial Georgia namun penduduknya yang terdiri dari etnis Rusia menginginkan kedekatan dengan etnis Rusia yang memang berada di wilayah Rusia.

Konflik ini telah terjadi sejak 1991, namun kembali memanas sejak Agustus 2008 ketika Georgia menyerang beberapa desa Ossetia Selatan dan memasuki wilayah ibukota Tskhinvali. Latar belakang terjadinya perang di Ossetia Selatan adalah kemerdekaan Kosovo, perisai rudal ketegangan AS dan Rusia dan provokasi Georgia terhadap Rusia.

Dengan adanya intervensi Rusia di Ossetia Selatan, konflik domestik yang telah ada tampaknya menjadi lebih keruh. Namun tanpa adanya intervensi Rusia, korban yang jatuh di Ossetia Selatan mungkin akan lebih besar, karena pemerintah Georgia sangat opresif dalam menumpas pemberontakan masyarakat Ossetia Selatan. Pemerintah Georgia diklaim telah melakukan tekanan bersenjata terhadap Abkhazia dan Ossetia Selatan, padahal kedua wilayah tersebut tidak memiliki kapabilitas senjata yang memadai namun diserang dengan kekuatan yang tidak proporsional. Rusia telah mengirim tank dan pasukan akibat adanya serangan militer dari Georgia yang dianggap sebagai ancaman stabilitas rezim yang ada. Rusia menganggap tindakannya sebagai bentuk perlindungan terhadap warganya yang berada di Ossetia.

Dalam menghadapi Rusia, Georgia dibantu oleh AS dalam menambah kekuatannya untuk mempertahankan Ossetia dalam PBB. Ossetia Selatan dianggap sebagai daerah yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi dengan jalur minyak dan gas. Adanya kepentingan dari negara-negara yang ikut dalam konflik ini, mendukung Ossetia untuk bersikap otonom.

Intervensi Rusia dianggap sah dalam hukum humaniter internasional seperti yang dikemukakan dalam Viotti&Kauppi terkait dengan motif collective security, mempertahankan kepentingan nasional, membela HAM, penghentian destruksi, dan kebijakan yang mendapat dukungan multilateral

(17)

16 DAFTAR PUSTAKA

Buku

Cornell, Svante E. & Starr, S. Frederick. 2009 The guns of August 2008: Russia's war in Georgia. New York:M.E. Sharpe

K.J.Holsti, Politik Internasional Suatu Kerangka Analisis, USA: Binacipta, 1977 Richard Sakwa, Putin: Russia's choice, USA,Canada:routledge, 2004

Jurnal

Georgia-Russia conflict: Russia signs peace Accord , jurnal Pratiyogita Darpan. Salah, Hani. tantangan pasca kemerdekaan, Jurnal Politik Internasional, nomor:, 172 April 2008, Volume: 43

Website

Dahir, Faris. Pergeseran dalam hubungan Rusia-AS setelah perang di Kaukasus,

http://blog.amin.org, diakses pada 17 November 2010, pukul 12.45 WIB. Georgia, http://en.wikipedia.org/wiki/, diakses pada tanggal 16 November 2010, pukul 11.05 WIB.

Hardan, Hasan. Latar belakang krisis Rusia-Georgia tanda kembalinya Perang Dingin,

http://www.al-akhbar.com/ar/, diakses pada 15 November 2010, pukul 23.48 WIB Hubungan Rusia-Georgia masa lalu dan sekarang, http://www.aawsat.com/, diakses pada 16 November 2010, pukul 11.34 WIB.

Obaidi,Qais. Conflik Rusia Georgia di Ossetia Selatan, http://www.ahewar.org, diakses pada 15 November 2010, pukul 23.33 WIB.

Perisai rudal AS dan krisis AS-Rusia, http://www.moqatel.com, diakses pada tanggal 17 November 2010, pukul 13.07 WIB.

Rusia, http://id.wikipedia.org/wiki/Rusia, diakses pada tanggal 14 November 2010, pukul 23.40 WIB.

South Ossetia, http://en.wikipedia.org/wiki/South_Ossetia, diakses pada 16 November 2010, pukul 13.30 WIB.

South Ossetia Claims Hundreds of Loss of The Bloodshed, http://rt.com/news, diakses pada tanggal 17 November 2010, pukul 13.20 WIB

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian latar belakang masalah tersebut, maka pokok permasalahan dari penelitian ini adalah bagaimanakah modal intelektual yang diproksikan dengan Value Added

permasalahan ini pada penelitian ini sintesis nanopartikel perak dilakukan dengan metode reduksi kimia dengan reduktor asam orto hidroksi benzoat dengan variasi

Dewasa ini perkembangan Teknologi Informasi ( TI ) dalam menunjang kehidupan kita sehari – hari dirasa telah mengalami sebuah peningkatan yang begitu pesatnya hal

Brainstorming atau yang biasa dikenal dengan istilah sumbang saran merupakan salah satu cara sejenis musyawarah untuk mengumpulkan ide-ide atau gagasan- gagasan terbaru dari

Tenaga yang digunakan untuk mengangkat sebuah beban besar dapat menggunakan tenaga yang cukup kecil dengan perhitungan mekhanisme pesawat angkat.. Sehingga dengan

Alhamdulillah dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kondisi optimum pengukuran Fe(III), Co(III) dan Ni(II) dengan simultan secara voltammetri stripping adsorptif

Xetedi` siok fnhi` ferusai sefudio tulu` Xetedi` siok fnhi` ferusai sefudio tulu` `ira (ebpit pudu` mui `ira), imi upijiri, `ira (ebpit pudu` mui `ira), imi