KAJIAN MAKNA DALAM LINGUISTIK
Eddy Setia
Universitas Sumatera Utara, Medan AbstractThe study of meaning of a language in linguistics is generally devided in practice into two fields, semantics and pragmatics. Semantics deals with the literal meaning of words and the meaning of the way they are combined, which has taken together form the core of meaning, or the starting point from which the whole meaning of a particular utterance is constructed. Pragmatics as the new field of studying meaning deals with all the ways in which literal meaning must be refined, enriched or extended to arrive at an understanding of what a speaker meant in uttering a particular expression. This paper tries to look through the various aspects of studying meaning, including denotative and associative meanings, meaning varieties, illocusional meaning, universal semantic metalanguage, meaning in context of situation. It also discusses the structure of semantic especially those that are related to universal semantic metalanguage and the discussion on cross linguistic syntax from semantics point of view.
1. PENDAHULUAN
Semantik dan pragmatik adalah dua disiplin dalam linguistik yang bertanggung jawab dalam mengkaji dan menganalisis makna bahasa. Semantik dan pragmatik berbeda tetapi saling melengkapi (komplementer) dan saling berhubungan, mudah untuk dipahami secara subyektif, tetapi agak sulit untuk dibenarkan secara obyektif (Leech 1993: 8). Begitu kompleksnya permasalahan makna ini sehingga banyak bermunculan teori dan pendekatan yang dilakukan, tidak hanya di kalangan para ahli bahasa tetapi juga ahli‐ahli filsafat, psikologi, dan antropologi. Semantik sendiri merupakan bidang yang berkaitan erat dengan
bidang lain seperti psikologi (dengan
memanfaatkan gejala kejiwaan manusia secara verbal maupun non‐verbal), filsafat (karena makna dijelaskan secara filosofis), antropologi (dengan menyajikan klasifikasi budaya pemakai bahasa secara praktis), sosiologi (karena ungkapan dan ekspresi dapat menandai kelompok sosial atau identitas sosial tertentu.
Penggabungan antara semantik dan
antropologi melahirkan bidang baru yang sering disebut dengan ethnosemantics atau ethnoscience. Etnosemantik mengungkapkan cara‐cara manusia yang berbeda‐beda mengatur dan menggunakan budaya mereka (Palmer 1996). Bidang yang paling menonjol pada etnosematik adalah pada semantik leksikon yang menekankan pada kognitif, yaitu seperti yang dilakukan oleh Tyler (1969), Anthony F.C. Wallace (1969), Micheal Agar (1973), dan Charles O. Frake (1977).
Makalah ini memaparkan kajian tentang makna secara umum dengan mengkaitkan beberapa aspek yang berkaitan, dengan harapan
dapat memberikan pencerahan perhatian
terhadap kajian ini serta tindak lanjut kajian yang lebih mendalam.
2. MAKNA
Pengertian makna dalam bahasa Indonesia (‘meaning’ dalam bahasa Inggris) sangat beragam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993: 619), makna berarti: 1) ‘arti’, 2)
‘maksud pembicara atau penutur’, dan 3) ‘pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan’. Dalam bahasa Inggris diilustrasikan: (1) makna sebuah kata, ungkapan, atau gerakan adalah sesuatu atau ide yang merujuk pada
atau merepresentasikan dan yang bisa
dijelaskan dengan menggunakan kata‐kata, (2) makna yang dikatakan seseorang atau yang tersebut dalam buku, film, dan lain sebagainya adalah berupa pikiran atau ide yang diharapkan untuk diungkapkan, (3) makna adalah kualitas yang membuat seseorang merasakan bahwa apa yang ia lakukan mempunyai tujuan dan berguna, (4) kalau sesuatu yang kita lakukan memiliki makna, maka sesuatu itu akan
memiliki kepentingan khusus berkenaan
dengan pengaruh emosional pada orang atau pada nilai praktisnya (CCELD 1988: 900).
Terdapat bermacam‐macam makna yaitu makna denotasi, makna emotatif, makna emotif, makna ekstensi, makna gramatikal, makna intensi, makna khusus, makna kiasan, makna kognitif, makna konotatif, makna kontektual, makna leksikal, makna lokusi, makna luas, makna pusat, makna sempit, makna suratan, dan makna tak berciri.
Leech (1997: 30) membagi makna
berdasarkan nilai komunikatif (Communicative Value) karena dia memandang bahasa sebagai alat komunikasi yang merupakan sarana untuk
menginterpretasikan lingkungan,
mengklasifikasikan atau mengkonseptualisasikan pengalaman dan menentukan struktur tentang realitas yang digunakan untuk mempelajari dan mengamati masa kini dan masa yang akan datang. Makna yang diajukan Leech terdiri dari
7 tipe makna, yaitu makna konseptual, makna asosiatif yang terdiri dari makna konotatif, makna stilistik, makna afektif, makna refleksi, dan makna kolokatif, serta makna tematik. Tabel 1 di bawah ini merupakan contoh penggolongan makna yang diberikan oleh Leech.
Sehubungan dengan pengertian makna pada Tabel 1, banyak teori telah dikembangkan
dan setiap teori memiliki penjelasan
argumentatif tersendiri. Beberapa teori
mengenai konsep makna, diawali oleh
pandangan Ferdinand de Saussure dengan teorinya yang terkenal yaitu tanda linguistik. Saussure (1959) menjelaskan bahwa tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifiant (penanda) dan komponen signifie (petanda). Komponen signifiant (penanda) adalah komponen ‘yang mengartikan’, wujudnya berupa rangkaian bunyi. Komponen signifie (petanda) adalah komponen ‘yang diartikan’, wujudnya berupa pengertian atau konsep. Dengan demikian, makna menurut Saussure adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’.
Ullmann (1977: 63) memberi rumusan bahwa hubungan antara name ‘nama’ dengan sense ‘makna/arti’ adalah hubungan timbal balik. Sebagai ilustrasi, apabila seseorang
mendengar kata tertentu, maka ia
membayangkan bendanya/sesuatu yang diacu. Kemudian apabila seseorang membayangkan sesuatu, maka ia segera dapat menyatakan pengertiannya itu. Hubungan antara nama dan pengertian ini, oleh Ullmann, disebut makna. Tabel 1: Tujuh Tipe Makna 1. Makna Konseptual atau Pengertian Isi yang logis, kognitif atau denotatif Makna asosiatif 2. Makna Konotatif Yang dikomunikasikan dengan apa yang diacu oleh bahasa 3. Makna Stilistik Yang dikomunikasikan dari keadaan sosial mengenai penggunaan bahasa 4. Makna Afektif Yang terungkap dari perasaan dan tingkah laku pembicara/ penulis 5. Makna Refleksi Yang disampaikan melalui asosiasi dengan pengertian yang lain dari ungkapan yang sama 6. Makna Kolokatif Yang disampaikan melalui asosiasi dengan kata yang cenderung terjadi pada lingkup kata yang lain 7. Makna Tematik Yang dikomunikasikan dengan cara di mana pesannya disusun atas dasar urutan dan tekanan
Reference or Thought
Symbol Referen t
Ogden dan Richard (1923: 99) mengembangkan konsep makna dengan menghubungkan tiga hal, yaitu: symbol, reference, dan referent (lihat gambar).
Ketiga unsur ini dihubungkan sehingga menghasilkan sebuah teori yang kemudian dinamakan segi tiga makna Ogden dan Richard (the ‘semiotic triangle’ of Ogden and Richard). Pandangan ini menyangkal adanya suatu hubungan langsung antara kata dan benda.
Symbol merupakan kata yang
dibangun oleh satuan fonologis dalam
bahasa tertentu. Kata‐kata yang
merujuk pada benda, orang, kejadian, dan peristiwa melalui pikiran itulah symbol. Reference adalah konsep yang terpikirkan di benak penutur suatu bahasa. Sementara itu referent adalah sesuatu yang dirujuk. Lebih lanjut,
Odgen dan Richards (1936)
menguraikan beberapa konsep tentang makna sebagai berikut.
1. Sesuatu yang bersifat intrinsik. 2. Hubungan dengan benda‐benda
lain yang unik, yang tidak dapat dianalisis.
3. Kata lain tentang suatu kata yang terdapat dalam kamus.
4. Konotasi kata. 5. Suatu esensi.
6. Suatu aktivitas yang diproyeksikan ke dalam suatu obyek.
7. (a) suatu peristiwa yang dimaksud, (b) keinginan.
Kritik utama dari pendekatan Ogden dan Richard ini ialah kesulitan yang tak dapat diatasi dalam mengidentifikasi ‘konsep’. Konsep yang mendasari sebuah kata, misalnya kata tradisi, tidak lebih mudah untuk mengidentifikasinya dibandingkan dengan benda yang dikaitkan dengan tradisi itu sendiri. Banyak kata yang memiliki makna yang dengan mudah untuk 8. Terdapat sesuatu dalam suatu
sistem.
9. Konsekuensi praktis suatu benda dalam pengamalan kita untuk waktu mendatang. 10. Konsekuensi teoretis yang terkandung dalam
suatu pertanyaan.
11. Emosi yang ditimbulkan oleh sesuatu.
12. Sesuatu yang secara aktual dihubungkan dengan suatu lambang oleh hubungan yang telah dipilih.
13. (a) Pengaruh yang membantu ingatan kalau mendapat rangsangan. Asosiasi‐asosiasi yang diperoleh.
(b) Beberapa kejadian lain yang membantu ingatan terhadap kejadian yang sesuai. (c) Suatu lambang yang ditafsirkan. (d) Sesuatu yang disarankan.
Dalam hubungannya sebagai lambang, makna adalah sebagai berikut:
14. Penggunaan lambang yang dapat mengacu pada apa yang dimaksudkan.
15. Kepercayaan penggunaan lambang sesuai dengan yang dimaksudkan.
16. Tafsiran lambang yang berkaitan dengan: (a) hubungan‐hubungannya,
(b) yakin tentang apa yang diacu, dan
(c) yakin pada pembicara apa yang
dimaksudkan.
Argumentasinya adalah hubungan tersebut dapat dibuat hanya melalui penggunaan pikiran kita. Untuk setiap kata, ada sebuah konsep yang mengikutinya.
mengkonsep‐tualisasikannya, tetapi kita tidak memiliki imajinasi visual yang dekat berhubungan dengan setiap kata yang kita ucapkan. Bahkan kita tidak mempunyai jaminan bahwa konsep yang bisa muncul di pikiran kita ketika kita menggunakan kata mobil akan sama dengan konsep yang dipikirkan orang lain.
3. VARIETAS MAKNA
Seperti disebutkan di atas bahwa kajian makna begitu luas. Berikut ini
makna dikaji berkaitan dengan
pertuturan (speech events). Dari sudut
analisis tingkah laku, makna
mempunyai ciri ganda. Dalam
rangkaian tingkah laku pertuturan terjadi sebagai respons terhadap stimuli
anteseden dan dapat dikaji dan
dianalisis. Pertuturan juga dapat sebagai stimuli yang menghadirkan atau dalam sisi lain menentukan subsekuen respons tingkah laku, dan dapat dipandang
dalam peran dan analisis yang
semestinya. Proses ini dapat
digambarkan dalam diagram berikut ini:
S → R (ling.) S (ling.) → R
Kajian selengkapnya tentang
bahasa tidak dapat mengabaikan begitu saja dua peran tindak tutur tersebut, meskipun tentu saja ini merupakan legimitasi untuk berkonsentrasi pada pertuturan itu pada suatu waktu tertentu atau mengenalkan bagian kerja dalam kajiannya.
Respons linguistik berdasarkan atas konsekuensi akustik dan/atau perangkat kinestetik, juga menjadi stimulus linguistik, baik terhadap individu (seorang pendengar) maupun
terhadap individu yang sama
(pendengar itu sendiri). Diagram di atas kemudian dapat dihubungkan, dengan
menunjukkan fungsi mediasi ujaran dalam tingkah laku sosial dan individu.
S → R (ling.) = S (ling.) → R
Pertuturan biasanya berhubungan dalam suatu rantai; pertuturan merupakan bagian dari rangkaian yang berkelanjutan –dengan gangguan dan jeda, untuk meyakinkan, dan kadang‐kadang secara lahiriah tetapi juga kadang secara batiniah sepanjang sejarah masyarakat bahasa. Turunan (anteseden) dan akibat pertuturan merupakan data yang relevan untuk kajian pertuturan ini, khususnya yang berkaitan dengan kajian makna.
Posisi mediasi tindak tutur ini – posisinya sebagai suatu penghubung dalam rantai tingkah laku, dan sifat ganda baik sebagai sebuah respons stimuli anteseden maupun sebagai stimulus keberhasilan respons yang ditandai oleh para filsuf, linguis, dan psikolog dan membentuk perkembangan teori umum tentang tanda (signs).
Charles Morris (1938) membedakan tiga aspek semiosis: aspek semantik, aspek pragmatik,
dan aspek sintaksis. Kajian semantik,
sebagaimana yang didefinisikan oleh Morris, fokus perhatiannya pada hubungan tanda (signs) dengan benda yang ditandakan (signified). Diikuti secara sistematis, hal ini mengarah pada kajian tentang hubungan antara tanda sebagai respons
dan perangkat situasi stimulus yang
mendatangkannya. Kajian pragmatik, dalam kerangka ini, dikaitkan dengan hubungan antara tanda sebagai stimuli dan respons yang dimunculkan. Terakhir, sintaktik (syntactics), dikaitkan dengan hubungan tanda dengan tanda dalam sebuah sistem tanda (the relations of signs to signs within a system of signs). Kalau kajian bahasa ditempatkan bertentangan dengan kerangka ini, kelihatannya bahwa sintaktik gagasan Morris benar‐benar serupa dengan linguistik struktural,
bahwa semantik gagasannya menerapkan
varietas makna referensial tertentu, dan pragmatiknya bisa meliputi banyak hal dari mulai kajian makna konotatif sampai etnologi.
Leonard Bloomfield (1887 – 1949) secara implisit menandai perbedaan yang sama ketika dia memberikan definisinya tentang “the meaning of a linguistic form” (‘makna sebuah bentuk linguistik’) sebagai “situasi” di mana penutur
mengujarkannya dan respons yang ditimbulkannya oleh pendengar. Makna bentuk linguistik, atau tanda apa saja, dalam pengertiannya yang luas diambil
sebagai konteks relevansi total
linguistik atau tanda lain. Makna, bagi Bloomfield, adalah sesuatu yang dapat disimpulkan semata‐mata dari sebuah kajian tentang situasi di mana ujaran
digunakan – stimulus (S) yang
merangsang seseorang untuk berbicara (r), dan respons (R) yang dihasilkan dari ujaran ini (s). Rumusan Bloomfield yang terkenal adalah sebagai berikut: S r ………… s R Dicontohkan oleh Bloomfield, Jill is hungry, sees an apple (S) and asks Jack to get it for her (r); stimulus linguistik ini (s) merangsang Jack mengambil apel (R). Dia membantah bahwa kita tidak dapat mengatakan apa makna r …. s yang semestinya hanya dengan meneliti kejadian yang menyertainya. Tentu saja di banyak situasi hal ini sangat sulit untuk mendemonstrasikan apa ciri‐ciri stimulus/ respons yang relevan – sebuah masalah yang nyata ketika kejadian‐kejadian tersebut secara kasat mata nyata dalam istilah fisik (seperti ungkapan atau perasaan).
Kalau kajian makna dimulai dari definisi yang sangat luas mengenai makna suatu bentuk, yang disebut dengan konteks relevansi total tentang bentuk, harus dibuat suatu dikotomi antara stimulus yang berkaitan dengan bagian konteks ini yang disebut dengan makna situasional (situational meaning) dan porsi responsnya yang disebut dengan makna tingkah laku (behavioral meaning).
Dikotomi kedua dibentuk antara porsi linguistik dan porsi nonlinguistik atau ekstralinguistik dari konteks menyeluruh. Jadi harus dibedakan antara makna linguistik (linguistic meaning) dan makna ekstralinguistik
(extralinguistic meaning). Dikotomi ini membelah dikotomi pertama, karena sebagaimana situasi stimulus yang menimbulkan bentuk linguistik tertentu bisa terdiri dari bagian‐bagian nonlinguistik dan linguistik, dan juga selama respons selanjutnya bisa jadi bagian dari bagian linguistik dan bisa bagian nonlinguistic, atau bisa dilihat dengan cara lain. Mengenai lingkungan konteks linguistik bentuk yang ada, bagian ini bisa berupa turunan dan bagian lain berupa subsekuen. Porsi konteks linguistis kemudian
berupa “situasional” sebagaimana telah
didefinisikan sebelumnya. Selanjutnya, dan sekali lagi berkaitan dengan fakta struktur linguistik, keberadaan bentuk yang diberikan menggunakan beberapa pengaruh pengkondisian pada porsi konteks linguistis yang mengikuti. Porsi‐porsi yang dimaksudkan antara lain tingkah laku (behavioral) dalam pengertian yang dinyatakan sebelumnya.
Persimpangan kedua dikotomisasi ini harus
menghasilkan empat subvariasi makna.
Trikotomi “semantic” yang digagas Morris, “syntactic”, dan “pragmatic” berhubungan dengan ini dengan cara berikut ini. Perbedaan antara sintaktik pada satu sisi, dan semantik dan
pragmatik bersama‐sama pada sisi lain,
berhubungan dengan perbedaan antara makna linguistik dan makna ekstralinguistik. Perbedaan selanjutnya antara semantik dan pragmatik sepertinya dapat disejajarkan seperti halnya antara varietas makna behavioral ekstralinguistik dan varietas makna situasional ekstralinguistik .
Dikotomi ketiga mengenali bahwa fenomena internal terhadap organ individu penutur atau pendengar yang merupakan bagian penting makna suatu bentuk linguistik. Dikotomi ini membedakan antara stimuli eksternal dan internal yang menentukan kejadian respons linguistik yang diberikan. Kemudian juga
membedakan antara respons yang
tersembunyi/dakhil (covert) dan respons lahiriah (overt) yang bisa dibuat untuk stimulus linguistik yang diberikan. Makna didikotomi oleh kriteria ini bisa merujuk pada makna intraorgasmik
(intraorgasmic meaning) dan makna
ekstraorgasmik (extraorgasmic meaning). Stimuli internal dan respons internal tidak dapat diteliti. Salah satu tujuan psikologi bahasa adalah untuk
mempelajari stimuli dan respons internal ini sebanyak mungkin yang diiringi dan merupakan bagian dari
tingkah laku bahasa. Metodenya
sebagian diperoleh dari analisis tingkah
laku lahiriah, sebagian lain
menggunakan alat‐alat listrik yang mendata rekaman berkesinambungan
mengenai perubahan‐perubahan
tertentu dalam peristiwa internal, dan sebagian lagi, tentu saja penggunaan data dengan arif.
Secara pasti, dikotomi sederhana mengenai internal versus eksternal terhadap organisme berkelakuan secara berlebihan kasar. Di antara varietas
makna intraorgasmik perbedaan
penting selanjutnya dapat dibuat sesuai dengan apakah lokus (tempat)nya kortikal atau somatik. Maka seseorang dapat membedakan makna kognitif dan varietas tertentu lainnya yang lokusnya berupa somatik.
Dikotomi yang baru saja dijelaskan bersimpangan dengan yang sekarang.
Oleh karenanya, perbedaan yang
situasional dan behavioral bisa
diaplikasikan pada kategorisasi makna
kognitif, demikian juga dengan
perbedaan antara linguistik dan
ekstralinguistik. Dikotomi linguistik
versus ekstralinguistik, ketika
diaplikasikan pada situasi internal dan respons lokus somatik, menghasilkan subvarietas yang penting. Satu sisi kita memiliki ujaran yang tersembunyi atau artikulasi subliminal yang mengikuti dan memfasilitasi pikiran. Satu sisi lagi kita memiliki ungkapan psikologis, khususnya isi rongga perut (viscera) atau kulit, yang digabungkan dengan dalam peran respons dan dalam peran stimulus dengan ujaran juga dengan bentuk tingkah laku lain. Ketika fenomena somatik ini digabungkan dengan keberadaan bentuk linguistik yang diberikan apakah sebagai bagian
dari situasi stimulus yang
mendatangkannya, atau sebagai bagian
dari respons total yang dibuat untuknya – kedua‐ duanya merupakan bagian makna dari bentuk itu. Varietas yang satu, yang memiliki alat ujar sebagai lokusnya, bisa dikaitkan dengan makna linguistik yang tersembunyi (covert linguistic meaning). Varietas lainnya, lokus yang ada di dalam tubuh, bisa dikaitkan dengan makna afektif (affective meaning). Kedua varietas ini diketahui dari introspeksi, dan varietas ini
diverifikasikan sedemikian rupa melalui
pekerjaan yang didesain secara khusus dengan menggunakan perlengkapan laboratorium.
Penanganan data tentang makna
menimbulkan permasalahan pengklasifikasian, sama
dengan penanganan data bentuk‐bentuk
linguistik lainnya. Dalam bidang fonemik diperoleh pengenalan istilah‐istilah fonem, alofon, dan penentuan ciri‐ciri fonem. Pembedaan yang sama dibuat dalam bidang morfemik dan
juga dalam bidang tagmemik. Perbedaan‐
perbedaannya antara lain (a) kelas yang ditentukan, (b) anggota kelas tertentu, (c) ciri‐ciri “pokok” atau “pembeda” atau “penentu” kelas.
4. MAKNA DENOTASI DAN MAKNA ASOSIASI
Makna sebuah tanda bahasa
berkembang dalam suatu sistem, yaitu makna
primer/inti (core meaning) dan makna
sekunder/noninti (peripheral meaning). Yang termasuk dalam makna primer/inti, antara lain makna denotasi/literal, konseptual, kognitif, dan lain‐lain. Kemudian, yang termasuk dalam makna sekunder/noninti antara lain makna asosiasi, makna konotasi, dan lain‐lain (Lyon 1981; Palmer 1999: 242).
Makna inti yang juga lazim disebut makna primer adalah makna yang timbul/ dimiliki oleh sebuah tanda karena faktor internal kebahasaan (linguistik). Kemudian, makna sekunder adalah makna yang timbul karena faktor‐faktor di luar bahasa (nonlinguistik), seperti faktor sosial, faktor situasional, faktor budaya, dan lain‐lain.
5. MAKNA ILOKUSIONARI
Tindak tutur merupakan kajian pragmatik. Tindak tutur merupakan bagian dari peristiwa
tutur. Peristiwa tutur merupakan bagian dari situasi tutur. Leech (1983: 19 – 21) menyebutkan beberapa kriteria dalam aspek situasi tutur, yang meliputi penyapa dan pesapa, konteks tuturan, tujuan tuturan, dan tuturan sebagai bentuk tindakan dan produk tindak verbal.
Searle (1969: 23 – 24)
mengemukakan bahwa secara
pragmatis ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh penutur, yaitu tindak lokusional (locutionary act), tindak ilokusional (ilocutionary act) dan tindak perlokusional (perlocutionary act). Tindak lokusional adalah tindak tutur yang dimaksudkan untuk menyatakan sesuatu. Tindak lokusional semata‐mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi petutur. Tindak ilokusional merupakan sebuah tuturan, selain untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga
dipergunakan untuk melakukan
sesuatu. Tindak perlokusional
merupakan sebuah tuturan yang
mempunyai daya pengaruh
(perlocutionary force) atau efek terhadap petutur. Daya pengaruh atau efek ini dapat secara sengaja atau tidak dikreasikan oleh penutur.
Makna ilokusional berkaitan
dengan fungsi‐fungsi tindak tutur. Leech (1983: 164) mengklasifikasikan makna ilokusional menjadi empat jenis. Pengklasifikasian ini didasarkan pada fungsi‐fungsi dengan tujuan‐tujuan sosial berupa pemeliharaan perilaku yang sopan dan terhormat. Keempat makna ilokusional tersebut yaitu kompetitif (competitive), menyenangkan (convinal), bekerja sama (collaborative), dan bertentangan (conflictive). Makna kompetitif adalah tujuan ilokusional bersaing dengan tujuan sosial, misalnya:
memerintah, meminta, menuntut,
mengemis. Makna menyenangkan
adalah tujuan ilokusional sejalan
dengan tujuan sosial, misalnya: menawarkan, mengajak, menyapa, mengundang, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat. Makna bekerja sama adalah tujuan ilokusional yang tidak
menghiraukan tujuan sosial, misalnya:
menyatakan, melapor, mengumumkan,
mengajarkan. Makna bertentangan adalah tujuan ilokusional yang bertentangan dengan tujuan
sosial, misalnya: mengancam, menuduh,
menyumpahi, memarahi.
Searle (1969: 12 – 17) mengklasifikasikan makna ilokusional menjadi lima jenis. Kelima pengklasifikasian Searle adalah: asertif (assertives), direktif (directives), komisif (commissives), ekspresif (expressives), dan deklarasi (declaratives). Makna asertif adalah makna ilokusional yang menunjukkan penutur (n) terikat pada kebenaran proposisi yang diungkapkan. Yang tergolong makna asertif, misalnya: menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan. Makna direktif adalah makna ilokusional yang bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan oleh petutur (t). Yang termasuk makna direktif, misalnya: memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasihat. Makna komisif adalah makna ilokusional yang menyatakan n (sedikit banyak) terikat pada suatu tindakan di masa depan. Yang termasuk makna komisif misalnya: menjanjikan, menawarkan. Makna ekspresif adalah makna ilokusional yang berfungsi mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis n terhadap keadaan yang tersirat di dalam ilokusional. Yang digolongkan ke dalam makna ekspresif misalnya: mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji, mengucapkan belasungkawa, dan sebagainya. Makna deklaratif adalah makna ilokusional yang menunjukkan keberhasilan pelaksanaan ilokusional akan mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi proposisi dengan realitas. Yang tergolong makna deklarasi misalnya: mengundurkan diri, membaptis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan atau membuang, dan mengangkat.
Leech (1983: 7) menyebutkan bahwa makna ilokusional adalah makna yang timbul dari hubungan antara ujaran (utterence) dengan daya pragmatik (pragmatic force). Oleh karena itu,
pragmatik, yang pengkajiannya berlandaskan pada penggunaan bahasa dalam konteks, bukan berdasarkan kategori gramatikal.
Dikaitkan dengan teori tindak tutur, makna ilokusional merupakan fungsi‐fungsi tindak tutur. Tutur
ilokusional adalah suatu tindak
pertuturan yang memenuhi suatu sistem interaksi masyarakat bahasa. Ilokusional adalah tindak bahasa yang dibatasi oleh konvensi sosial.
6. MAKNA ASALI
Makna asali merupakan konsep penting yang ada dalam Teori Metabahasa Semantik Alami (MSA).
Teori MSA digunakan untuk
menganalisis makna asali dan struktur semantis pada sebuah bahasa. Makna asali dikatakan bukan merupakan
konsep baru dalam semantik.
Keberadaan konsep makna asali telah diakui pada abad ke‐17 oleh para ahli seperti Descrates, Pascal, Arnauld, dan Leibniz (Goddard 1994: 2; Wierzbicka
1996d: 12). Kemudian teori ini
dikembangkan oleh Anna Wierzbicka dan pengikutnya, di antaranya Goddard dan Felix. Pengembangan teori ini
dilakukan dengan mengadakan
penelitian secara lintas bahasa terlebih dahulu. Teori MSA merupakan teori
tentang analisis makna yang
menyatukan tradisi filsafat dan logika dalam kajian makna dengan ancangan tipologi untuk kajian bahasa. Asumsi teori ini berkaitan dengan prinsip semiotik. Prinsip ini menyatakan bahwa:
A sign cannot be reduced to or analysed into any combination to things which are not themselves sign, consequently, it is imposible to reduce meanings to any combination of things which are not themselves meanings (Goddard 1994: 1).
Sebuah tanda tidak dapat dianalisis ke dalam bentuk yang bukan merupakan tanda itu sendiri, akibatnya tidak mungkin menganalisis makna pada kombinasi bentuk yang bukan
merupakan makna bentuk itu sendiri.
Berdasarkan prinsip di atas, dikatakan bahwa analisis makna akan tuntas. Dengan prinsip itu, makna kompleks apapun dapat dijelaskan tanpa harus berputar‐putar dan tanpa residu. Asumsi ini berangkat dari prinsip semiotik, yaitu teori tentang tanda (Goddard 1994: 1) yang asumsi utamanya adalah bahwa makna belum dapat dideskripsikan secara tuntas tanpa adanya seperangkat makna asali. Ini berarti makna sebuah kata merupakan konfigurasi dari “makna asli”. Pemilihan teori MSA pada penelitian kebahasaan biasanya didasarkan atas beberapa pertimbangan, antara lain:
(1) teori ini dapat mengeksplikasi semua makna,
(2) pendukung teori ini yakin pada prinsip bahwa kondisi alamiah sebuah bahasa adalah mempertahankan satu bentuk untuk satu makna dan sebaliknya (prinsip ini tidak hanya dapat diterapkan pada konstruksi gramatikal, tetapi juga pada kata), dan
(3) eksplikasi makna dalam teori MSA
dibingkai dalam sebuah metabahasa yang bersumber dari bahasa alamiah.
Dalam teori MSA, ada sejumlah konsep teoretis yang penting, seperti konsep (1) makna asali, (2) polisemi takkomposisi, dan (3) sintaksis universal. Berikut ini diuraikan konsep‐ konsep tersebut secara berurutan.
(1) Salah satu asumsi teori makna asali adalah bahwa makna tidak dapat dideskripsikan tanpa memakai perangkat “makna asali”. Makna asali ini adalah perangkat makna yang tidak dapat berubah dan telah diwarisi oleh manusia sejak manusia lahir (innate) sehingga dapat dikatakan makna ini merupakan refleksi dari pikiran dasar manusia (Goddard 1994: 2). Wierzbicka (1996b: 31) menyebutkan dalam merepresen‐tasikan sebuah makna, makna asali dapat dieksplikasi dari bahasa alamiah (ordinary language). Pengeksplikasian makna menggunakan kata‐kata yang secara intuitif berhubungan dan
memiliki sekurang‐kurangnya medan makna yang sama. Makna asali terdiri atas daftar leksikon dan memiliki pola
sintaksis universal yang
penganalisisannya dilakukan dengan
parafrase dalam bahasa alamiah
sehingga diharapkan makna asali dapat menerangkan makna kata kompleks sekalipun menjadi lebih sederhana tanpa harus berputar‐putar. Wierzbicka mengusulkan sejumlah makna asali
berdasarkan penelitian terhadap
sejumlah bahasa di dunia. Menurut Goddard (1996: 24) pada tahun 1972 ada
empat belas elemen yang telah
ditemukan oleh Wierzbicka.
Selanjutnya, tahun 1980 jumlah tersebut menjadi lima belas elemen. Terakhir Wierzbicka dan Goddard mengusulkan lima puluh lima makna asali. Makna asali tersebut dapat diuraikan dalam beberapa versi, antara lain versi Inggris, Spanyol, dan Melayu. Berikut ini makna asali versi Melayu (Malay Version) yang diuraikan oleh Wierzbicka (1999: 37 – 38): Substantive: AKU, KAU, SESEORANG, SESUATU, ORANG, BADAN Determiners: INI, (YANG) SAMA, LAIN Quantifiers: SATU, DUA, BEBERAPA, BANYAK, SEMUA Atributes: BAIK, BURUK, BESAR, KECIL Mental Predicates:
PIKIR, TAHU, MAHU, RASA, LIHAT, DENGAR Speech: KATA, PERKATAAN, BENAR Action, Events, Movement: BUAT, TERJADI, BERGERAK Existence and possession: ADA1, ADA2 Live and death: HIDUP, MATI Logical Concepts: TIDAK, MUNGKIN, BOLEH, SEBAB, KALAU Time: BILA (MASA), SEKARANG, SELEPAS, SEBELUM, LAMA, SEKEJAP, SEBENTAR Space:
MANA (TEMPAT), (DI) SINI, (DI) ATAS), (DI) BAWAH, JAUH DEKAT; SEBELAH, DALAM Internsifiers, Augmentor: SANGAT, LAGI Taxonomy, Partonomy: JENIS, BAHAGIAN Similarity: MACAM Selanjutnya, Wierzbicka telah mengusulkan sejumlah makna asali dengan terlebih dahulu mengadakan penelitian terhadap sejumlah bahasa dunia, seperti bahasa Jepang, bahasa Inggris, bahasa Aceh, dan bahasa Aborijin. Dalam suatu bahasa tiap elemen yang dikandungnya memiliki jaringan yang unik dan menduduki tempat khusus dalam jaringan itu. Jika dua bahasa atau lebih dibandingkan, maka sulit ditemukan jaringan semantis yang sama. Bagi Wierzbicka, yang lebih memungkinkan adalah menemukan perangkat makna asali sehingga yang dimaksud dengan struktur semantis dalam kerangka teori MSA ini adalah konfigurasi “makna asali” tersebut. Hasil konfigurasi tersebut membentuk apa yang disebut dengan “bahasa mini” (mini language).
Struktur semantis sebuah bahasa dapat
diformulasikan jika makna sebuah kata
dibandingkan dengan makna kata‐kata lain yang secara intuitif dirasakan ada hubungannya. Lebih lanjut, mekanisme ini merupakan syarat utama dalam menemukan persamaan dan perbedaan komponen semantis kata‐kata itu, kemudian pada tingkatan berikutnya menemukan persamaan dan perbedaan struktur semantisnya. Sebagai contoh, struktur semantis bahasa Indonesia ‘burung’ maknanya dapat dibandingkan dengan bentuk yang lain dalam bahasa yang sama yang tergolong dalam medan makna yang sama, seperti ‘ayam’, ‘itik’, dan lain‐lain. Bertolak dari hal tersebut akan diperoleh hasil, yaitu adanya
kesamaan dan keteraturan struktur
semantis bahasa tersebut atau
sebaliknya.
(2) Istilah atau konsep polisemi takkomposisi ini juga bukan merupakan istilah yang baru dalam kajian ini (Goddard 1996: 29). Polisemi takkomposisi merupakan suatu bentuk
leksikon tunggal yang dapat
mengekspresikan dua buah makna asali yang berbeda dan bahkan tidak memiliki hubungan komposisi antara eksponennya karena memiliki kerangka gramatika yang berbeda (Wierzbicka
1996c: 27 – 29). Pada tingkatan
yang sederhana, eksponen dari makna asali yang sama mungkin menjadi polisemi dengan cara berbeda pada bahasa yang berbeda. Berkaitan dengan pernyataan itu Goddad (1996a: 29) memberikan contoh eksponen‐eksponen mukuringanyi ‘ingin’ dalam bahasa Yankunytjatjara yang makna keduanya menyerupai like, be fond of, dan need dalam bahasa Inggris, padahal ranah penggunaannya tidak berhubungan dengan ranah want bahasa Inggris. Lebih lanjut Goddard (1996a: 31) menyatakan bahwa ada dua ‘hubungan nonkomposisi’ yang paling kuat, yaitu
hubungan yang ‘menyerupai
pengartian’ (entailment‐like relationship) dan ‘hubungan implikasi (implicational relationship). Lebih lanjut, ‘hubungan yang menyerupai pengertian’ tampak pada melakukan/terjadi dan melakukan pada/terjadi. Seseorang yang melakukan sesuatu pada orang lain atau melakukan sesuatu pada sesuatu dapat dilihat dari sudut pandang ‘pasien’. Seperti contoh berikut: 1) X melakukan sesuatu pada Y. Sesuatu terjadi pada Y. 2) Jika X merasakan sesuatu. Maka sesuatu terjadi pada X.
Perbedaan sintaktis yang penting di antara melakukan dan terjadi adalah bahwa melakukan memerlukan dua
argumen referensial, sedangkan terjadi hanya memerlukan satu argumen saja. Hubungan implikasi terdapat pada eksponen terjadi dan merasakan, misalnya jika X merasakan sesuatu, maka sesuatu terjadi pada X.
(3) Sintaksis universal yang dikembangkan oleh Anna Wierzbicka pada akhir tahun 1980 merupakan perluasan dari sistem makna asali. Lebih lanjut, dikatakan bahwa makna memiliki struktur yang sangat kompleks dan bukan hanya berupa bentukan dari elemen sederhana, seperti seseorang, ingin tahu. Akan tetapi, makna terbentuk dari komponen yang memiliki struktur yang kompleks. Sintaksis universal ini terdiri atas kombinasi leksikon butir makna asali universal yang kemudian membentuk sebuah proposisi
sederhana sesuai dengan perangkat
morfosintaksis bahasa yang bersangkutan.
Sebagai contoh: ingin memiliki kaidah universal tertentu dalam konteks: Saya ingin melakukan ini. Selanjutnya, unit dasar sintaksis universal ini dapat disamakan dengan sebuah klausa yang dibentuk oleh substantif, predikat, dan elemen‐
elemen tambahan yang dibutuhkan oleh
predikatnya. Kombinasi atau rangkaian elemen tersebut di atas kemudian akan membentuk sebuah sintaksis universal yang dalam teori MSA dikenal dengan sebutan ‘kalimat kanonis’ (canonical sentence). Kalimat kanonis ini dikatakan
sebagai konteks tempat leksikon asali
diperkirakan muncul secara universal (Goddard 1996: 27 ‐‐ 34: Wierzbicka 1996d: 30 – 44). Parafrase harus menggunakan sejumlah makna asali yang telah diusulkan oleh Wierzbicka.
Kombinasi sejumlah makna asali diperlukan terkait dengan anggapan dalam teori MSA bahwa suatu bentuk tidak dapat diuraikan hanya dengan memakai satu makna asali saja.
Parafase dapat dilakukan dengan
menggunakan unsur yang merupakan ciri khas sebuah bahasa. Hal ini dilakukan dengan menggabungkan unsur‐unsur yang menjadi keunikan bahasa itu sendiri untuk menguraikan makna.
Kalimat parafrase harus mengikuti kaidah sintaksis bahasa yang digunakan untuk memparafrase.
Parafrase selalu menggunakan bahasa yang sederhana.
Kalimat parafrase kadang‐kadang memerlukan identasi dan spasi khusus.
Berikut ini contoh parafrase dengan menggunakan kaidah yang telah disebutkan di atas. X melakukan sesuatu pada Y. Karena ini, sesuatu terjadi pada Y. X menginginkan ini. X melakukan sesuatu seperti ini. 7. MAKNA ASOSIASI
Makna asosiasi ini berhubungan dengan nilai‐nilai budaya, moral, dan pandangan hidup yang berlaku dalam masyarakat bahasa, yang berarti pula
berhubungan dengan nilai rasa
pemakaian bahasa. Oleh karena itu, dalam makna asosiasi tercakup pula makna konotatif, makna stilistika, makna afektif, dan makna kolokatif (Leech 1981). Makna asosiatif adalah makna yang didasarkan atas perasaan
atau pikiran yang timbul atau
ditimbulkan pada pembicara/penulis
dan pendengar/ pembaca. Makna
stilistika berupa makna yang
berhubungan dengan gaya bahasa. Makna afektif berhubungan dengan sikap dan emosi. Makna kolokatif berupa makna yang berasosiasi tetap antara kata dengan kata lain yang berdampingan dalam kalimat.
8. MAKNA DALAM TEORI KONTEKS SITUASI
Bahasa digunakan untuk
membentuk pengertian dari
pengalaman yang diperoleh, dan untuk melakukan interaksi dengan yang lain. Ini berarti bahwa tata bahasa harus berhadapan dengan apa yang terjadi di
luar bahasa; misalnya saling
berhadapan dengan kejadian‐kejadian dan keadaan alam sekeliling, dan dengan proses sosial tempat atau
wadah penutur bahasa itu terlibat di dalamnya. Tetapi pada waktu bersamaan pula, tata bahasa juga harus mengatur/mengorganisir tafsiran pengalaman dan aturan‐aturan proses sosial, sehingga tafsiran pengalaman dan aturan sosial tersebut dapat ditransformasikan ke dalam kata‐ kata. Cara untuk melakukan transformasi ini yaitu dengan memisahkan tugas ini menjadi dua. Langkah pertama, bagian yang dihadapkan,
pengalaman, dan hubungan interpersonal
ditransformasikan ke dalam makna; inilah yang disebut stratum semantik. Pada langkah kedua, makna selanjutnya ditransformasikan ke dalam
kata‐kata; inilah yang disebut stratum
leksikogramatika.
Teori konteks situasi atau tautan situasi dikembangkan oleh Halliday (1985). Halliday bukan ahli yang pertama kali mencetuskan gagasan tentang konteks situasi. Akan tetapi, ada beberapa ahli lain, seperti Malinowski, Firth, dan Dell Hymes yang menyatakan gagasan mengenai konteks situasi (context of situation).
Malinowski, seorang antropolog, (1923) megemukakan teori tentang konteks, jauh sebelum teori tentang teks. Teori tentang konteks situasi yang dikemukakan Malinowski ini diawali dengan penelitian yang dilakukannya terhadap teks bahasa Kiriwinian di Kepulauan Trobriand Pasifik Selatan. Malinowski bukan seorang linguis, tetapi ia memiliki ketertarikan yang sangat dalam terhadap bahasa sebagai obyek penelitiannya.
Malinowski menggunakan istilah konteks
situasi untuk mengekspresikan seluruh
lingkungan, termasuk lingkungan verbal dan situasi di mana teks diujarkan (Halliday 1985: 6). Bahasa Kiriwinian yang digunakan sebagai data penelitian oleh Malinowski disebut juga bahasa pragmatik (pragmatic language) atau (language in action). Seseorang tidak mungkin memahami seluruh pesan yang ada dalam teks tersebut hanya dengan mengetahui situasi pada saat teks bahasa tersebut diujarkan walaupun teks tersebut telah direkam pada saat diujarkan. Ada lingkungan lain yang juga penting selain
lingkungan pada saat terjadinya atau
diujarkannya sebuah teks. Malinowski
keseluruhan latar belakang sejarah budaya, yang berada di balik teks dan penutur teks tersebut.
Pada saat Malinowski
mengemukakan konsep tentang konteks situasi, ia menyatakan bahwa konsep tersebut hanya sesuai untuk studi terhadap bahasa ”primitif” seperti bahasa Kiriwinian saja. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian Malinowski menyadari bahwa konsep tentang konteks situasi sangat penting untuk memahami bahasa‐bahasa lain, selain bahasa seperti bahasa Kiriwinian.
Bertolak dari konsep konteks situasi Malinowski, J.R. Firth (1935), seorang linguis sejawat Malinowski membangun teori linguistik umum yang tidak hanya berlaku terhadap teks‐ teks tertentu saja seperti yang dilakukan Malinowski, tetapi terhadap semua teks.
Firth mengemukakan beberapa
komponen kerangka kerja untuk
mendeskripsikan konteks situasi yang dapat digunakan dalam strudi tentang teks sebagai bagian dari teori linguistik umum. Komponen konteks situasi Firth meliputi hal‐hal berikut ini (Halliday dan Hasan 1985: 8).
a. Partisipan dalam situasi (the participants in the situation), yaitu orang atau personal yang terlibat dalam situasi serta peran‐peran partisipan tersebut.
b. Aksi partisipan (the action of the participant), yaitu apa yang
partisipan lakukan, termasuk
tindakan verbal dan nonverbal. c. Ciri‐ciri relevan lain situasi (other
relevant features of the situation), yaitu obyek‐obyek di sekitarnya dan peristiwa, sikap partisipan terhadap apa yang terjadi.
d. Akibat‐akibat tindakan verbal (the effects of the verbal action), yaitu apa yang dikatakan oleh partisipan sebagai akibat dari tindakan verbal sebelumnya.
Selanjutnya, selain Firth, Dell Hymes (1976) juga mengusulkan sejumlah konsep untuk menjelaskan konteks situasi yang dikenal dengan etnografi komunikasi. Ada beberapa konsep yang sama dengan beberapa komponen konteks situasi yang diajukan oleh Firth. Komponen‐ komponen konteks situasi yang dikemukakan Hymes adalah sebagai berikut (Halliday dan Hasan 1985: 9): a. The form and content of the message b. The setting c. The participants d. The intent and effect of communication e. The Key f. The medium g. The genre h. The norms of interaction
Halliday dan Hasan (1985: 5) menyatakan bahwa istilah konteks tidak dapat dipisahkan dengan istilah teks. Definisi teks sangat beragam. Menurut Halliday dan Hasan (1985: 10) teks adalah ‘it is language that is functional’. Selain itu, mereka juga memberikan pengertian teks sebagai ‘essentially semantic unit’. Konteks dalam hal ini dijelaskan sebagai text that is ‘with’ atau yang juga di sebut ‘with the text’, walaupun yang dimaksudkan dengan ‘with’ tersebut adalah segala sesuatu di luar apa yang diujarkan dan yang tertulis, termasuk aspek nonverbal sehingga dikatakan sebagai keseluruhan lingkungan di mana teks itu ada atau diujarkan.
Lebih lanjut, Halliday dan Hasan (1985)
mengusulkan kerangka kerja untuk
mendeskripsikan konteks situasi (tautan situasi) dengan menggunakan kerangka kerja konseptual sederhana yang terdiri atas tiga komponen utama, yaitu field, tenor, dan mode. Ketiga komponen tersebut diuraikan berikut ini:
1. The field of discourse refers to what is happening, to nature of the social action that is taking place: what is it that the participants are engaged in, in which the language figures as some essential component?
2. The tenor of discourse refers to who is taking part, to the nature of the participants, their statuses and roles: what kinds of role relationship obtain among the participants, including permanent and temporary relationships of one kind or another, both the types of speech role that
they are taking on in the dialogue and the whole cluster of socially significant relationships in which they are involved?
3. The mode of discourse refers to what part the language is playing, what it is that the participants are expecting the language to do for them in that situation: The symbolic organization of the text, the status that it has, and its function in the context, including the channel (is it spoken or written or some combination of the two?) and also the rethorical mode, what is being achieved by the text in terms of such categories as persuasive, expository, and the like (Halliday dan Hasan 1985: 12).
Field, tenor, dan mode merupakan komponen deskripsi situasional yang diusulkan Halliday. Lebih lanjut, mereka menyatakan bahwa untuk mengetahui konteks situasi (tautan situasi) sebuah teks, perlu dianalisis mengenai ketiga komponen tersebut.
9. SIMPULAN
Secara praktis kajian makna suatu bahasa dalam linguistik dibedakan ke dalam dua bidang kajian, yaitu bidang semantik dan pragmatik. Semantik khusus yang berhubungan dengan makna harfiah kata dan makna dari kombinasi kata‐kata tersebut, atau titik awal di mana keseluruhan makna suatu ujaran tertentu dibentuk. Pragmatik sebagai disiplin baru tentang kajian makna khusus membahas semua cara di mana makna harfiah tersebut harus
diperhalus, diperkaya atau
dikembangkan untuk memperoleh
suatu pemahaman tentang apa yang dimaksudkan oleh penutur dalam mengujarkan ungkapan tertentu.
Kajian makna merupakan kajian yang paling kompleks dalam linguistik.
Karenanya banyak teori yang
bermunculan dalam kajian ini. Teori metabahasa semantik alami (MSA) merupakan salah satunya. Teori yang dikembangkan oleh Anna Wierzbicka dan pengikutnya menganalisis makna dengan menyatukan tradisi filsafat dan logika dengan rancangan tipologi bahasa. Hasil analisisnya menyumbangkan tipologi makna asali – yaitu perangkat makna yang tidak dapat berubah karena diwarisi oleh manusia sejak lahir – dari berbagai bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Bloomfiled, L. 1993. Language. New York: Henry Holt and Co.
Chafe, Wallace L. 1970. Meaning and The Structure of Language. Chicago: The University of Chicago Press.
Collins Cobuild English Language Dictionary (CCELD), 1988. p. 900.
Commrie, Bernard. 1997. Language Universal and Typologi: Syntax and Morpholoy. Oxford: Basil Blackwell.
Crystal. 1993. An Encyclopedia Dictionary of Language and Languages. Oxford: Basil Blacwell.
Cruze, D.A. 1986. Lexical Semantics. Cambridge: Cambridge University Press.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln. Handbook of Qualitative Research. London: SAGE Publications.
Dixon, W. 1992. Linguistic Semantic. USA: Lawrence Erlbaum Associates Publisher. Douglas, Mary. 1992. Purity and Danger: An
Analysis of the Concepts of Pollution and Taboo. New York: Routledge.
Douglas, M. dan Apte. 1994. Taboo. Dalam Asher (e.d). 1994. The Encyclopedia of Language and Linguistics. Edisi I, Volume 9. Oxford: Pergamon Press.
Frawley, William. 1992. Linguistic Semantic. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Givon, Talmy. 1984. Syntax: A Functional‐ Typological Introduction. Vol. 1 Amsterdam/Philadephia: John Benjamins. Goddard, Cliff. 1994. “Semantic Theory and
Semantic Universal”. Goddard (Convenor). 1996. “Cross Linguistic Syntax from Semantic Point of View (NMM Approach)”.
1 – 5. Australia: Australian National University.
Goddard, Cliff. 1996a. “Building a Universal Semantic metalanguage: The Semantic Theory of Anna
Wierzbicka”. Goddard
(Convenor). 1996. “Cross
Linguistic Syntax from Semantic Point of View (NMM approach)”. 24 – 37. Australia: Australian National University.
Goddard, Cliff. 1996b. “Grammatical Categories and Semantic Primes”. Goddard (Convenor). 1996. “Cross Linguistic Syntax from Semantic Point of View (NMM Approach)”. 38 — 57. Australia: Australian National University.
Goddard, Cliff. 1996c. “Culture Value and ‘Culture Scripts’ of Malay”. Cross Cultural Communication. Australia: Australian National University.
Halliday, M.A.K. 1977. Explorations in the Functions of Language. London: Edward Arnold (Publishers) Ltd. Halliday, M.A.K. 1978. Language as
Social Semiotic. London: Edward Arnold (Publishers) Ltd.
Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1985. Language, Context, and Text: Aspects of Language In a Social‐ Semiotic Perspective. Australia: Deakin University Press
Harvey, Keiith, dan Celia Shalom. 1997. Language and Desire. London: Routledge.
Langaker, P. Fundamentals of Linguistic Analysis. New York: Harcourt Brace, Jovanovich.
Leech, Geoffey. 1981. Semantics: The Study of Meaning. London: Pinguisn Books.
Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. USA: Longman Inc. Lyon, John. 1981. Semantics. Volume I/II.
London: Cambridge University Press.
Malinowski, Bronislaw. 1923. “The Problem of
Meaning in Primitive Languages”.
(Supplement) dalam C.K. Odgen dan I.A. Richards. 1936. The Meaning of Meaning. New York: A Harvest Book.
Miles, Matthew B. dan A Michael Huberman. 1994. Data Management and Analysis Methods. Dalam Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln. Handbook of Qualitative Research. London: SAGE Publications. Montagu, Ashley. 1973. The Anatomy of Swearing.
New York: Collier Macmillan Publishers. Morris, C. 1955. Signs, Language, and Behavior.
New York: George Braziller.
Morris, C. 1938. Foundations of the Theory of Signs. International Encyclopedia of United Science, Vol. I, No.2. Chicago: University of Chicago Press.
Ogden, C.K. 1938. Basic English. London: Kegan Paul, Trench, Trubner.
Ogden, C.K. dan I.A. Richards. 1936. The Meaning of Meaning. New York.: A Harvest Book.
Ogden, C.K. 1932. The Basic Dictionary. London: Kegan Paul, Trench, Trubner.
Palmer, Gary B. 1996. Toward a Theory of Cultural Linguistics. USA: University of Texas Press. Palmer, Gary B & Debra J. Occhi. 1999. Language
of Sentiment: Cultural Constructions of Emotional Substrates. John Benjamin B.V. Saussure, Ferdinand de. 1959. Course in General
Linguistics. New York: Philosophical Library.
Searle, J.R. 1969. Speech Act. Cambridge: Cambridge University Press.
Spradley, James P. “Foundation of Culture Knowledge” dalam Culture and Cognition: Rule, Maps, and Plans. USA: Chandler Publishing Company.
Ullmann, Stephen. 1977. Semantics: An Introduction to the Science of Meaning. Oxford: Basil Blackwell.
Wierzbicka, Anna. 1991. Cross‐Cultural Pragmatics: The Semantics of Human Interaction. Berlin: Mouton de Gruyter.
Wierzbicka, Anna. 1992. Semantics, Culture, and Cognition: Universal Human Concept in Culture Spesific Configurations. Oxford: Oxford Universitas Press.
Wierzbicka, Anna. 1994. Semantic Primitive Across Languages: A Critical Review. In Goddard and Wierzbicka.
Wierzbicka, Anna. 1996a. “Different Culture, Different Language, Different Speech Act”. Wierzbicka (Convenor). 1996. Cross‐Cultural Communication, 30 – 50. Canberra: Australia National University. Wierzbicka, Anna. 1996b. Cross‐Culture
Communication. Canberra: Australian National University.
Wierzbicka, Anna. 1996c. “The Syntax of Universal Semantic Primitive”. Goddard (Convenor). 1996. Cross‐Linguistic Syntax from a Semantic Point of View (NSM Approach) 6 – 23. Canberra: Australian National University.
Wierzbicka, Anna. 1996d. Semantics: Primes and Universal. New York: Oxford Univerity Press.
Wierzbicka, Anna. 1999. Emotions Across Language and Culture: Diversity and Universals. Cambridge University Press. .