• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membaca Kritik Sastra Sunda Ajip Rosidi. Teddy A.N. Muhtadin *)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Membaca Kritik Sastra Sunda Ajip Rosidi. Teddy A.N. Muhtadin *)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Membaca Kritik Sastra Sunda Ajip Rosidi

Teddy A.N. Muhtadin

*)

*) Penulis adalah Magister Humaniora (M.Hum.), dosen tetap di Jurusan Sastra Sunda,

Universitas Padjadjaran, Bandung.

Abstract: This research, by postcolonial perspective, is intended for to reveal the concept of Ajip Rosidi (AR)’s literary criticism and related to the “literary” terminology’s Dutch colonialism. From result of this research obtained conclusion that the concept of AR’s literary criticism was modern literary and was treated Sundanese literature by universal criterion, measure, and valuable. This concept do not different from literary concept was used by Sundanese literary expert included

Dutch scholars. In the postcolonial context AR has performed mimicry. Keywords: Ajip Rosidi,

postcolonial, Sundanese literary.

Pendahuluan

Sastra Sunda memiliki sejarahnya sendiri, walaupun mungkin bukan sejarah yang panjang seperti sastra Arab atau India. Ia lahir entah kapan, entah pada zaman yang mana, namun jejak-jejak

tertulisnya sudah tampak sejak abad ke-16.1 Dalam rentang lima abad tersebut kehidupan sastra

Sunda memperlihatkan wajah yang beragam, baik genre maupun ideologi yang ada di dalamnya.

Hal ini merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan karena kebudayaan Sunda sendiri tumbuh di

wilayah strategis yang mudah menjadi ajang pertarungan berbagai kekuatan.2 Sebelum Islam

tersebar luas di Sunda, Budha dan Hindu pernah menjadi anutan mereka. Rosidi mengatakan bahwa kita masih menemukan pengaruh yang kuat dari kedua agama ini dalam mantra-mantra. Begitu pula tokoh-tokoh cerita Anbiya yang berasal dari kebudayaan Arab seperti Amir Hamzah, Rengganis, dan Imam Suwangsa sudah diterima sebagai orang Sunda sebagaimana tokoh-tokoh Pandawa. Tidak terkecuali tembang Cianjuran yang menjadi salah satu kesenian khas Sunda sampai

sekarang tetap menggunakan jenis puisi dangding warisan Jawa-Mataram.

Begitu zaman berubah dan kekuatan berpindah, khazanah kesusastraan Sunda pun

bertambah. Dari Belanda, yang datang sebagai kolonialis, sastra Sunda menerima genre-genre baru

seperti novel dan cerpen. Bukan hanya itu, bahkan “pencarian” dan “perumusan” terhadap sastra

Sunda pun pertama-tama dilakukan oleh Belanda. Mikihiro Moriyama3 dalam salah satu tulisannya

mendedahkan secara luas hal tersebut. Menurutnya, kesusastraan Sunda “diciptakan” oleh Belanda untuk kepentingan Belanda, namun pada akhirnya menjadi milik orang Sunda yang keberadaannya terus-menerus dipertahankan dan diperjuangkan. Padahal, menurut Moriyama, para sarjana Belanda yang memakai kacamata kaum Romantik itu sebenarnya gagal menemukan wujud kesusastraan yang ada pada masyarakat tutur bahasa Sunda. Akibatnya, mereka membangun sastra

(2)

Sunda yang berbeda dengan “tradisi” sastra Sunda yang hidup sebelumnya. Menurutnya, hal ini kemudian memerangkap para intelektual Sunda dalam mendefinisikan kesusastraan bangsanya.

Untuk memahami eksistensi kesusastraan Sunda secara utuh diperlukan pemahaman menyeluruh atas karya sastra Sunda yang hidup pada masa kini dan masa lalu, baik lisan maupun tulisan. Akan tetapi, cita-cita seperti ini bukan sesuatu yang mudah diwujudkan. Perlu perencanaan yang matang, ketekunan, dan dukungan tenaga serta dana yang tidak kecil. Walaupun begitu, penelitian yang menyeluruh terhadap kekayaan sastra Sunda tetap merupakan agenda penting. Namun, sebelum hal itu memungkinkan untuk diwujudkan, banyak kegiatan yang dapat dilakukan. Penelitian terhadap kritik sastra Sunda, di antaranya merupakan pekerjaan yang penting karena kritik sastra bukan hanya mereproduksi dari karya sastra, namun juga memproduksi karya sastra. Kritik sastra bukan hanya tafsiran, namun juga panduan. Dalam kritik sastra akan tampak bagaimana karya sastra dimaknai dan diarahkan.

Berbicara mengenai kritik dalam sastra Sunda kita akan bertemu dengan Ajip Rosidi (AR). Ia bukan hanya orang pertama yang menulis kritik dalam kehidupan sastra Sunda, tetapi ia pun merupakan pribadi yang konsisten dalam lapangan tersebut. Ia mulai menulis kritik Sastra Sunda sejak akhir tahun 1950-an dan berlanjut sampai sekarang. Oleh karena itu, banyak karya sastra Sunda yang telah dikritiknya. Ia menulis secara fragmentaris pada koran atau majalah kemudian mengumpulkannya dalam bentuk buku. Kritik pertama AR tentang sastra Sunda yang ditulis dalam

bahasa Sunda berjudul “Kasusastraan Sunda Mikabutuh Dasar Kasadaran” ditulis tahun 1956 dan

dimuat dalam surat kabar Siliwangi.

Buku kritik sastra AR pertama dalam bahasa Sunda tentang sastra Sunda terbit tahun 1964

berjudul Beber Lajar! Dan dicetak ulang tahun 1989 dan 2002. Setelah buku ini ia menulis

buku-buku yang berisi kritik lainnya mengenai sastra Sunda, di antaranya: Dur Pandjak (1966),

Ngalanglang Kasusastran Sunda (1983), Dengkleung Dengdek (1986), Pancakaki (1996), dan Eundeuk-eundeukan (1998). Selain itu, dalam bahasa Sunda ia pun menulis kritik mengenai sastra

Sunda dalam bahasa Indonesia, seperti dapat kita baca pada buku Kesusastran Sunda Dewasa Ini

(1966), Pembinaan Minat Baca, Bahasa dan Sastra (1983). Sastra dan Budaya: Kedaerahan dalam

Keindonesiaan (1995), dan Bahasa Indonesia Bahasa Kita (2001). Sebuah buku yang ditulis dalam

dua bahasa, yakni bahasa Sunda dan Indonesia ialah 10 Tahun Hadiah Sastera “Rancage” (1998)

yang merupakan kumpulan hasil penilaian AR sebagai juri Hadiah Sastra “Rancage”.

Sebenarnya, banyak bidang yang telah dikerjakan AR dalam hubungannya dengan sastra Sunda. Selain itu, menulis kritik mengenai sastra Sunda. Ia pun menulis puisi dan drama, banyak menerjemahkan karya sastra Sunda ke dalam bahasa Indonesia, menyusun antologi, mengadakan penelitian tentang cerita pantun, dan sejak tahun 1988 bersama dengan Yayasan Kebudayaan “Rancage” secara rutin setiap tahun memberikan hadiah kepada para pengarang yang karya sastranya dianggap unggul. Khusus mengenai sastra Sunda, AR menjadi juri tunggal. Selain itu, ia pun aktif dalam bidang penerbitan buku-buku Sunda dan kelompok yang berhubungan dengan sastra atau kebudayaan Sunda. Melihat luasnya wilayah perhatian AR, seolah-olah ia menjadi pintu gerbang yang mesti dilalui oleh siapa pun yang ingin mengetahui kesusastraan Sunda.

(3)

Oleh karena konsistensi dan luasnya wilayah pandangan AR dalam kesusastraan Sunda, tidaklah mengherankan jika kemudian gagasan-gagasan AR akhirnya menghiasi buku-buku mengenai kesusastraan Sunda, baik untuk mata kuliah di perguruan tinggi maupun dalam buku-buku pelajaran di sekolah. Dalam rentang waktu lebih dari 50 tahun hampir tidak ada upaya kritik yang berarti terhadap gagasan-gagasan AR dalam sastra Sunda. Tulisan-tulisan AR seolah-olah sudah dianggap sebagai kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Atau, dapat dikatakan bahwa sastra Sunda telah terhegemoni oleh gagasan-gagasan AR.

Dengan penelitian ini penulis berusaha mengkaji karya kritik AR mengenai sastra Sunda dengan perspektif pascakolonialisme. Kajian ini berusaha menemukan dasar- pemikiran AR dalam kritik sastra Sunda serta hubungannya dengan pemikiran Kolonialisme seperti yang disinyalir oleh Moriyama. Jika dirumuskan dalam pertanyaan ada dua hal yang ingin penulis jawab dengan penelitian ini; (1) apakah konsep, gagasan dasar (ideologi) kritik sastra AR? dan (2) Bagaimanakah hubungan konsep kritik AR dengan terminologi “kesusastraan” yang digariskan oleh kolonialisme Belanda?

Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan; (1) mendeskripsikan konsepsi dan gagasan dasar kritik sastra AR dalam sastra Sunda dan (2) mendeskripsikan hubungan konsepsi kritik sastra AR dengan terminologi “Kesusateraan” yang digariskan oleh kolonialisme Belanda.

Untuk memahami karya kritik AR tersebut penulis menggunakan perspektif pascakolonial.

Dalam Encyclopedia of Contemporary Literary Theory dijelaskan bahwa teori pascakolonial

mengacu pada sekumpulan teori dan strategi-strategi kritis yang digunakan untuk menyelidiki kebudayaan (sastra, politik, sejarah, dan seterusnya) koloni-koloni bekas imperium Eropa, dan

relasi mereka dengan the rest of the world (dunia yang lainnya). Dalam ensiklopedi tersebut

dijelaskan pula bahwa walaupun teori pascakolonial mencakup tidak hanya satu metode atau fakultas, tetapi sama-sama berasumsi bahwa mereka meragukan efek-efek yang bermanfaat dari imperium dan mengangkat isu-isu seperti rasisme dan eksploitasi. Pusat dari semuanya, menurut ensiklopedi tersebut, walaupun tidak selalu dipresentasikan dalam setiap istilah ialah posisi subjek kolonial atau pasca-kolonial.

Kesadaran dalam Sastra

Pertama-tama, yang memukau saya ketika membaca esai sastra AR adalah kata “kasadaran”

(kesadaran). Kata ini mula-mula muncul sebagai judul esai pertamanya dalam bahasa Sunda

mengenal sastra Sunda yang bertitimangsa 23 Agustus 1956, yaitu “Sastra Sunda Mikabutuh Hiji

Dasar Kasadaran” (Sastra Sunda Membutuhkan Satu Dasar Kesadaran). Kemudian, kata ini muncul berkali-kali pada tulisan itu dan tulisan lainnya, baik dengan kata yang sama, maupun dengan

perubahan morfologis atau sinonimnya. Misalnya dengan kata “sadar”, “insap”, “waras”, atau “nu

buleud-bileud luhureun tenggek”, dsb. Ketika esai-esainya dikumpulkan dalam buku BeberLayar!,

kata “kasadaran” tetap dipakai sebagai benang merah pengikatnya. Dalam kata pengantar buku

yang memuat karya-karya yang ditulis antara tahun 1956 sampai dengan tahun 1960 tersebut ia

(4)

yen kasusastran Sunda mikabutuh dasar-dasar kasadaran anu leuwih tohaga.” (Setelah mengikuti dari dekat dengan intensif, terasa sekali bahwa kesusastraan Sunda membutuhkan dasar-dasar kesadaran yang lebih tangguh). (Cetak tebal dan penulis).

Ternyata bukan dalam buku Beber Layar! saja kata “kasadaran” kerap kali muncul, tetapi

dapat pula ditemukan dalam buku lainnya mengenai sastra Sunda. Misalnya, dalam kata pembuka

buku Dur Pandjak! tertulis “Dina sawatara tulisan anu dimuat dina ieu buku nu ngarangna sadar

hayang nulis esey.” (Dalam beberapa tulisan yang dimuat dalam buku ini pengarangnya sadar

ingin menulis esai). Juga dalam kata pembuka Kandjutkundang, antologi prosa dan puisi Sunda

setelah Perang, AR dan Rusman Sutiasumarga memperuntukkan bukunya “... keur bekel si jabang

kumelendang di pawenangan, supaya sacara sadar milu nerapkeun ukuran kasusastran Sunda anu kiwari masih kacida samarna.” (untuk bekal hidup si bayi di dunia, agar secara sadar ikut serta menetapkan ukuran kesusastraan Sunda yang sekarang masih samar sekali). Buku semacam memoar yang diperuntukkan sebagai upaya mencari arti kesusastraan dalam hidup AR juga

menggunakan judul Hurip Waras! yang mengindikasikan adanya kesadaran. Dari intensitas

penggunaan dan maknanya yang mendasar, maka saya menggunakan kata “kasadaran” ini sebagai kata kunci untuk memahami gagasan-gagasan kesusastraan AR.

Apakah yang dimaksud dengan kesadaran oleh AR? Tidak ada penjelasan mengenai hal ini.

Akan tetapi, dalam esai yang berjudul “Sajak Sunda” yang merupakan pembelaan AR terhadap

sajak Sunda modern yang ditulis oleh sastrawan muda, ia menyinggung kesadaran dalam kaitannya

dengan modernisme. Dalam tulisan tersebut dikatakan bahwa “hakekat modernismeu nu ngakar

dina jiwa manusa-sadar” (hakikat modernisme yang mengakar pada jiwa manusia-sadar) (1989: 95). Sampai di sini tampak bahwa yang dimaksud dengan kesadaran oleh AR adalah kesadaran dalam alam pikiran modern. Untuk selanjutnya, saya berasumsi bahwa “kesadaran modern” inilah yang digunakan AR dalam memandang, menilai, dan merumuskan konsepsinya mengenai kesusastraan Sunda.

Dalam esai-esai awal AR, seperti yang terkumpul dalam buku BeberLayar! dan Dur Pandjak!

ihwal kesadaran ini begitu menonjol. Tampaknya, sekali kesadaran modern ini terbit dalam gagasan AR dan digunakan untuk menerangi jagat kesusastraan Sunda, maka tampaklah kekalutan atau kekacauan istilah, konsep-konsep, dasar-dasar penilaian, serta arah tujuan kesusastraan. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa esai-esai yang terkumpul dalam kedua buku tersebut merupakan “pelurusan” dari berbagai kekacauan berpikir yang menimpa kehidupan sastra Sunda dengan berpegang teguh pada kesadaran sastra modem yang diandaikan bersifat universal.

Walaupun dalam tulisan-tulisan AR yang termuat dalam buku Beber Layar! sudah tersirat

konsepsi kesusastraan yang mendasar, namun baru pada esainya berjudul “Kritik Sastra” yang ada

dalam buku Dur Pandjak! ia merumuskan konsepsinya secara definitif. Dalam penjelasannya AR

menempatkan konsepsi sastra ini di dalam konteks seni dan kebudayaan sebab sastra merupakan

bagian dari seni dan seni merupakan bagian dari kebudayaan. Rumusan sastra menurut AR4 adalah

sebagai berikut.

“gelaran kreasi estetis manusa nu sacara rohaniah ngahudangkeun kainsapan kana jangkar-jangkarjeung kondisi kahirupan-kahirupan kamanusaan kalawan ngagunakeun basa. Nyaeta hiji wujud

(5)

kagiatan rohaniah manusa nu kalawan ngagunakeun basa ngagelarkeun realitas anyar nu rasional, suprarasional jeung visional mangrupa katunggalan mikrokosmos nu ngahudangkeun kainsapan kana katunggalan makrokosmos.

(ekspresi kreasi estetis manusia yang secara rohaniah membangunkan keinsyafan kepada akar-akar dan kondisi kemanusiaan dengan menggunakan bahasa, yaitu satu wujud kegiatan rohaniah manusia yang dengan menggunakan bahasa melahirkan realitas baru yang rasional, suprarasional dan visional berupa kesatuan mikrokosmos yang membangunkan keinsyafan kepada kesatuan makrokosmos)

Perlu digarisbawahi bahwa dalam konsepsi ini terdapat dualisme antara “ekspresi kreasi estetis” dan “akar-akar dan kondisi kemanusiaan” atau “kesatuan mikrokosmos” dan “kesatuan makrokosmos”. Kedua hal ini dihubungkan dengan “keinsyafan” atau kesadaran. Selain itu, dalam konsepsi sastra AR tersebut ditegaskan bahwa realitas baru yang lahir dari kegiatan rohaniah tersebut harus rasional, supranasional, dan visional. Dengan begitu, secara tidak langsung, AR sudah sejak awal menutup pintu pada hal-hal yang irasional atau ketaksadaran dalam sastra. Salah satu contoh, dalam penulisan kembali cerita pantun ke dalam bahasa Indonesia AR sengaja meninggalkan bagian-bagian yang bersifat mitos. Sebaliknya, memasukkan unsur-unsur yang bersifat psikologis dan “karakterisasi” yang berasal dan roman modern.5

Kemudian AR6 memberi penjelasan bahwa sastra adalah seni yang menggunakan bahasa

sebagai alat ekspresi, baik bahasa lisan maupun tulisan. Selain itu, ia pun menjelaskan bahwa keterangan estetis dalam rumusannya penting sebab karangan-karangan yang membangunkan keinsyafan kepada akar-akar dan kondisi kemanusiaan seperti filsafat dan ilmu pengetahuan tidak dikatakan seni. Begitu pula karangan-karangan yang hanya berupa hasil estetis yang tidak menggugah keinsyafan kepada akar-akar kehidupan, tidak mampu mewujudkan kesatuan mikrokosmos yang menggugah keinsyafan kepada kesatuan makrokosmos, yang hanya sampai

pada taraf menghibur, bukanlah sastra. Oleh karena itu, wawacan-wawacan yang hanya

merupakan hasil kerajinan atau cerita-cenita fantasi bukanlah sastra.

Jika dibandingkan dengan konsepsi sastra dari Pangarang Kantor Pangadjaran (Pengarang Kantor Pengajaran) atau M.A Salmun, konsepsi sastra AR jauh lebih maju. Pangarang Kantor Pangadjaran (1954: 7) hanya mengartikan kesusastraan sebagai “basa (carita) nu alus “ (... bahasa

[cerita] yang bagus), sedangkan M.A. Salmun (1958: 5) mendefinisikan kesusastraan sebagai “...

hasil-hasil tulisan anu ngandung ajen kaendahan ku kabinangkitan nyusun carita, ngareka ungkara jeung ngagunakeun kecap.” (... hasil-hasil tulisan yang mengandung nilai keindahan dengan kemampuan menyusun cerita, mereka-reka ujaran, dan menggunakan kata). Kedua konsepsi sastra ini masih kabur dan hanya menitikberatkan nilai estetis tanpa sama sekali mem-pertimbangkan kesadaran atau keinsyafan kepada akan-akar kehidupan. Konsepsi sastra AR merangkum keduanya; bukan hanya mampu membedakan sastra dan bukan sastra, tetapi dapat pula membedakan karya-karya yang bernilai dari karya-karya yang hanya merupakan kerajinan.

Konsepsi Sastra Sunda dan Kolonialisme

Masalah kedua adalah apakah konsepsi sastra AR ini sudah mampu mengatasi konsepsi sastra Sunda sebelumnya, seperti yang dipakai oleh para sarjana Belanda atau R. Memed

(6)

Sastrahadiprawira? Dalam serba keterbatasannya, makalah ini tidak bisa menjangkau secara langsung tulisan-tulisan para sarjana Belanda juga tulisan R. Memed Sastrahadiprawina. Akan tetapi, studi Mikihiro Moriyama mengenai percarian “bahasa” dan “kesusastraan” di Jawa Barat

sangatlah membantu. Dalam tulisan tersebut Moriyama7 menyatakan bahwa kecenderungan

sarjana Belanda dan Eropa yang meneliti kesusastraan Sunda umumnya dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Romantik abad XIX. Salah satu asumsi penting yang mereka kemukakan tentang “kesusasteraan” ialah kesusasteraan harus dalam bentuk tertulis. Dalam praktiknya mereka gagal pada pencariannya dan kecewa dengan apa yang mereka temukan. Pada akhir tulisannya, Moriyama mengungkapkan bahwa kegagalan ini memengaruhi sarjana-sanjana Sunda selanjutnya, di antananya R. Memed Sastrahadiprawira yang membela keberadaan sastra Sunda dengan

menggunakan paradigma kolonial Belanda. Selengkapnya Moriyama8 menulis sebagai berikut.

“Sastrahadiprawira mendiskusikan ‘kesusastraan’ Sunda hanya dalam konteks konsepsi Belanda mengenai “litteratuur”. Dia tidak mengklaim kesusastraan penulisan Sunda dalam terminologinya sendiri. Konsepsi ‘kesusatraan’ Sunda inilah yang kemudian diambil alih oleh pengganti-pengganti Sastrahadiprawira yang juga gagal mendalami dan menuliskan tradisi penulisannya sendiri dalam terminologi yang berbeda dari Belanda. Mereka mentransformasikan “litterature” kepada “sastra” tanpa mendefinisikan dengan jelas kategorinya. Tradisi ini diwariskan dari tuan besar kolonial, dan dilanjutkan untuk memengaruhi pemikiran orang Sunda”.

Secara sadar AR9 mengakui bahwa konsepsinya tentang kesusastraan juga mengacu pada

pengertian “literature” atau “wortkunst” yang di dalamnya mencakup karya-karya sastra tertulis dan lisan seperti pantun atau dongeng-dongeng. Akan tetapi, jika kita perhatikan analisis dan pemahamannya tentang sastra lisan, seperti pantun atau mantra masih didominasi oleh paradigma keberaksaraan. Sebagai contoh ketika ia membahas otentisitas dalam pantun.

Sebagai produk budaya lisan pantun tentu tunduk pada paradigma budaya lisan karena sound

menjadi sarana komunikasi yang terpenting. Konkretnya, suara yang dihasilkan oleh mulut (oral) langsung disambut oleh kuping aural.10

Dalam paradigma budaya lisan, suara (pendengaran) adalah indera pemersatu yang mampu mewujudkan harmoni dan bersifat menggabungkan. Selain itu, kebudayaan lisan sangat

mementingkan aspek mimesis.11 Mimesis artinya meniru, meneladan, membayangkan kenyataan

atau representasi. Dengan kenyataan seperti itu, otentisitas dalam pantun, sebagaimana yang dikemukakan AR, menjadi sesuatu yang mustahil sebab tugas penyair dalam tradisi ini hanyalah

meneladani kenyataan atau meniru konvensi pencipta-pencipta sebelumnya dengan formula12 dan

formulaik.13

Adapun otentisitas hidup dalam tradisi keberaksaraan atau milik budaya tulis. Berbeda dengan tradisi lisan, penglihatan dalam tradisi tulis (dan pembacaan sebagai aktivitas yang khusus

ditentukan oleh penglihatan) melakukan pemecahbelahan dan pengindividualan.14 Tradisi tulis

memungkinkan penyair untuk mencipta secara individual sesuatu yang baru, yang otentik. Dalam kebudayaan Sunda hal ini belum mengakar. Berbeda dengan kebudayaan Barat, yang menunut

Teeuw,15 proses pembatinan kebudayaan membacanya, dengan segala konsekuenasinya, telah maju

(7)

Pertanyaan lain, apakah konsepsi AR mengenai kesusastraan menggunakan terminologi kesusastraan Sunda sendiri? Konsepsi sastra AR tidak didasarkan pada terminologi kesusastraan Sunda. Jika R. Memed Sastrahadiprawina, secara “tidak sadar” mendiskusikan sastra Sunda dengan konsepsi Belanda mengenai “litterature”, AR malah secara “sadar” menggunakan konsepsi sastra modern dalam mendiskusikan sastra Sunda.

Perbedaan ini, mungkin berhubungan dengan konteks zaman. AR tidak menghadapi konflik seperti yang dialami oleh R. Memed Sastrahadiprawira yang merasa direndahkan oleh kaum kolonial sehingga merasa perlu membela keberadaan sastra Sunda. (Sastrahadiprawira menulis pembelaannya dalam bahasa Belanda). Yang dihadapi AR adalah orang-orang Sunda sendiri, yaitu ahli-ahli sastra Sunda yang dianggap kolot yang harus ditumbangkan dan sastrawan-sastrawan muda yang harus didukung perkembangannya. Jika Sunda pada masa R. Memed Sastrahadiprawira adalah Sunda yang menjadi wilayah jajahan Belanda, Sunda pada masa AR adalah Sunda yang menjadi bagian wilayah Indonesia merdeka. Ditinjau dari sisi ini, baik R. Memed Sastrahadiprawira maupun AR sama-sama tidak menggunakan konsepsi sastra yang didasarkan pada terminologi sastra Sunda sendiri. Dalam perspektif pascakolonial, baik R. Memed Sastrahadiprawira maupun AR sama-sama melakukan mimikri.

Adanya mimikri dapat pula dilihat pada cara penjelasan AR mengenai renaisans Sunda dan

gagasannya mengenai periodisasi sejarah sastra Sunda. Menurut AR16 renaisans Sunda ialah

bangunnya kembali jiwa rancage leluhur Sunda, yang aktif dan kreatif dalam menghadapi

tantangan zaman. Renaisans ini mencakup berbagai bidang, baik kebudayaan, pandangan hidup,

bahasa, termasuk renaisans jiwa Sunda. AR17 menjelaskan pula bahwa jiwa rancage ini tidak

pernah puas dengan hanya mengelus-ngelus payung butut untuk dibanggakan kepada anak cucu;

namun bukan berarti tidak merasa bangga; hanya saja, kebanggaan itu mesti disesuaikan dengan tantangan zaman yang berbeda-beda.

Yang menjadi fokus perhatian saya ialah penjelasan AR mengenai jiwa rancage leluhur Sunda

atau jiwa Sunda yang identik dengan penjelasannya mengenai hakikat seni modern, yaitu “...

otentisitas, nya eta nyukcruk hal-hal nu tacan aya, ulah sugema ku ngagunakeun sagala nu geus nyampak” (otentisitas, yaitu mencari hal-hal yang belum ada, jangan puas dengan menggunakan

segala sesuatu yang sudah ada)18 Dengan kalimat yang terasa paradoksal hakikat modemisme yang

berasal dari Barat itu ialah “ingkar ti manehna, hartina, ingkar ti nu geus nyampak di baratna

sorangan.” (mengingkari dirinya, artinya, mengingkari apa yang ada di Barat sendiri). Benarkah jiwa leluhur Sunda atau jiwa Sunda itu demikian identik dengan hakikat modern?

Perihal mimikri ini lebih kentara pada gagasannya mengenai periodisasi sejarah sastra Sunda. Setelah mengevaluasi periodisasi sastra R.I. Adiwidjaja dan M.A. Salmun kemudian AR membuat periodisasi sejarah sastra Sunda atas tiga zaman, yaitu JamanBuhun (Zaman Klasik), Jaman Kamari

(Zaman Kemarin) dan Jaman Kiwari (Zaman Sekarang).19 Menurutnya, hasil sastra pada Zaman

Klasik umumnya memperlihatkan tata susunan kosmos klasik, sebelum ada pengaruh Islam. Hindu sudah masuk, tetapi tidak menghilangkan ciri-ciri kesundaannya. Di sini tampak kebesaran jiwa Sunda yang bebas merdeka sebelum dijajah bangsa lain. Hasil karya sastra yang muncul pada

(8)

zaman ini berupa cerita-cerita pantun, mitologi, fabel, mantra, kawih, serta naskah-naskah seperti Carita Waruga Guru dan Kunjarakarna. Periode kedua menunjukkan hasil-hasil ketika alam Sunda dijajah oleh bangsa lain berturut-turut mulai dari Mataram, Belanda, Inggris, Belanda, dan Jepang. Karya sastra yang muncul ialah wawacan dan guguritan yang merupakan pengaruh Mataram serta bentuk roman, cerpen, dan karya lain yang realistis yang merupakan pengaruh Belanda. Pengarang yang muncul pada zaman ini, di antaranya, H. Muhammad Musa, Kalipah Apo, D.K. Ardiwinata, Suriadiredja, Yuhana (Ahmad Basah), Moh. Ambri, dan R. Memed Sastrahadiprawira. Periode yang ketiga ialah periode pascamerdeka, yakni bangunnya kembali jiwa besar Sunda: renaisans kepribadian Sunda, yang kentara dari karya cipta Sayudi, Surachman R.M., Rusman Sutiasumarga, Ki Umbara, Yus Rusamsi, Wahyu Wibisana, Dudu Prawiraatmadja, Iskandanwassid, dan sebagainya.

Kalau saya perhatikan, ketiga zaman ini identik dengan periodisasi sejarah sastra Eropa, yang terdiri atas Zaman Klasik, Pertengahan (Kegelapan), dan Renaisans. Periode Klasik dalam sastra Eropa dimulai pada epos Yunani Homerus (kira-kira 880 S.M.) dan berakhir dengan runtuhnya

kerajaan Romawi Barat pada tahun 476 M.20 Abad pertengahan mencakup kurun yang cukup

lama, yaitu tahun 500-1500. Selama kurun ini banyak terjadi pergeseran sosial dan politik. Abad Renaisans mulai sejak abad ke-16. Renaisans artinya periode “kelahiran kembali” budaya klasik. Pada masa ini terdapat minat yang kuat serta meluas terhadap pengarang kuno yang baru ditemukan kembali. Ketika tahun 1550 orang mulai menggunakan kata “renaisans”, maka sekaligus periode sebelumnya dianggap sebagai tengah yang kurang penting di antara Zaman Kuno dan Renaisans, yang disebut Abad Pertengahan.21

Apakah AR secara sadar membuat periodisasi sejarah sastra Sunda yang identik dengan periodisasi sejarah sastra Eropa? Saya kira hal ini merupakan akibat dari penggunaan konsepsi sastra modern dan akibat dan obsesinya mengenai renaisans Sunda. Untuk mewujudkan renaisans Sunda, harus ada tempat kembali, yang diandaikan memiliki kebesaran jiwa, yaitu Sunda yang bebas merdeka, sebelum dijajah bangsa lain, meskipun sudah ada pengaruh Hindu-Budha. Dengan begitu, periode di antara kebesaran leluhur dan periode kebangkitan harus menjadi periode yang tidak/kurang penting.

Menurut hemat saya, periodisasi AR memiliki beberapa kelemahan. Pertama, apa yang disebut

Jaman Buhun (Klasik) yang memiliki kebesaran jiwa Sunda itu kurang meyakinkan. Selain Kunjarakarna dan Carita Waruga Guru yang berupa teks tertulis yang dipengaruhi oleh Hindu-Budha, selebihnya berupa sastra lisan yang keberadaannya hanya merupakan hipotesis. Pencatatan

pantun oleh Pleyte dan Holle baru dilakukan pada awal abad ke-20. Adapun petunjuk dari Siksa

Kandang Karesian mengenai adanya cerita pantun sangatlah tidak memadai. Hal ini berbeda

dengan Zaman KIasik Eropa yang disaksikan dengan karya-karya Homerus, Sophokles, Euripides, dan lainnya. Lalu, bagaimana kita menentukan adanya otentisitas atau jiwa besar Sunda?

Kedua, mengenai hasil sastra Jaman Kamari AR22 mengatakannya sebagai hasil dari “...

hengkerna jiwa Sunda...” (...lemahnya jiwa Sunda...) dengan mengecualikan H. Hasan Mustapa, Suriadiredja, dan Moh. Ambri. Mengapa kualitas karya mereka jauh mengatasi zamannya? Apakah

(9)

mereka merupakan pengarang-pengarang yang tercerabut dari zamannya? Pada akhir tulisan mengenai periodisasi ini AR23 menulis “... ari dina jaman sabada nyosok pangaruh Walanda (Eropa)

timbul wangunan roman nu realistis, sawangan hirup nu rasionalisitis, carita pondok jeung sabangsana.” (... adapun pada zaman pasca masuknya pengaruh Belanda (Eropa) timbul bentuk roman yang realistis, pandangan hidup yang nasionalistis, cerita pendek dan sejenisnya. Saya kira,

pernyataan ini kontradiktif jika ditempatkan pada Jaman Kamari karena “sawangan hirup nu

rasionalistis” ini lebih dekat dengan konsepsi sastra AR sendiri yang baru muncul pada periode yang ketiga.

Ketiga, karena apa yang dinamakan Jaman Buhun hanya hipotesis, maka adanya Jaman Kiwari yang ditandai dengan bangunnya kembali jiwa besar Sunda menjadi rentan. Dengan begitu, adanya Jaman Kamari harus pula disangsikan.

Menurut hemat saya periodisasi sejarah sastra Sunda AR belum membumi dan melingkupi realitas kesusastraan Sunda secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh pemakaian konsepsi yang tidak tumbuh dari realitas kesusastraan Sunda. Konsepsi sastra AR adalah konsepsi sastra modern yang tumbuh dari sejarah Eropa yang berbeda dengan sejarah Sunda. Jika R. Memed menggunakan konsepsi sastra ala kolonialisme Belanda secara tak sadar, AR justru menggunakan konsepsi kesusastraan modern secara sadar. Yang tidak disadari oleh AR adalah konsekuensi-konsekuensi atau implikasi-implikasinya.

Penutup

Sebagai kata akhir dapat dinyatakan bahwa konsepsi sastra AR adalah konsepsi sastra modern, yang memperlakukan kesusastraan Sunda dengan kriteria, ukuran, serta penilaian yang dianggap bersifat universal. Konsepsi ini tidak berbeda dengan konsepsi sastra yang dipakai sebagai landasan diskusi oleh R. Memed Sastrahadipnawina dan para sarjana Belanda. Dalam konteks pascakolonial AR melakukan mimikri: secara sadar AR “membangun” sastra Sunda di atas dasar kebudayaan sendiri, yaitu kebudayaan Sunda lama, tetapi secara taksadar ia telah menggunakan ukuran universal yang berasal dari paradigma sastra modern Eropa.

Penelitian ini masih merupakan tahap awal pemahaman atas karya kritik sastra Sunda AR. Oleh karena itu, perlu ada penelitian lanjutan yang bertitik tolak dari penelitian ini. Di antaranya mengenai konsekuensi dari konsep kritik AR terhadap eksistensi sastra Sunda, kedudukan kritik sastra AR dalam sastra Sunda atau penelitian yang mencakup karya kritik sastra AR atas sastra Indonesia.

(10)

1 Dua antologi sastra Sunda yang terbit akhir-akhir ini, yaitu Puisi Sunda I yang disusun oleh Ajip Rosidi

dan Lima Abad Sastra Sunda yang disusun oleh Wahyu Wibisana, dkk. memuat karya sastra tertua dari abad ke-16.

2 Ajip Rosidi, Eundeuk-Eundeukan: Sawatara Esey ngeunaan Sastra Sunda (Jakarta: Girimukti Pasaka,

1998), hal. 12-13.

3 Mikihiro Moriyama, “Pencanian ‘Bahasa’ dan ‘Kesusastraan’ Jawa Barat, Sebuah Pengantar mengenai

Bentuk Penulisan Sunda di Jawa Barat Abad XiX” dalam Bahaya Purisme Sunda. Jurnal Kebudayaan Sunda Dangiang. hal. 5-51.

4 Ajib Rosidi, Dur Pandjak! (Bandung: Pusaka Sunda,1996a), hal.133-134.

5 Ajip Rosidi, Eundeuk-Eundeukan: Sawatara Esey ngeunaan Sastra Sunda (Jakarta: Girimukti

Pasaka,1988), hal. 107.

6 Ajip Rosidi, Dur Pandjak, hal. 134-135. 7 Mikihiro Moriyama, “Pancanian”, hal. 36. 8 Ibid.

9 Ajip Rosidi, Ngalanglang Kasusastran Sunda (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hal. 28. 10 A. Teeuw, Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan (Jakarta: Pustaka Jaya), hal. 26. 11 Ong dalam Teeuw, Indonesia, hal. 28.

12 Formula adalah “a group of words which is regularly employed under the same metrical conditions to

express a given essential idea” (kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan satu ide hakiki) (Parry dan Lord dalam Teeuw, Indonesia: hal. 3.

13 Formulaik adalah “a line or half line constructed on pattern of the formulas” (larik atau separuh larik

yang disusun berdasarkan pola formula) (Parry dan Lord dalam Teeuw, Indonesia, hal. 3.

14 Ibid., hal. 21. 15 Ibid., hal. 40.

16 Ajip Rosidi, Beber Layar! (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1989),hal. 69. 17 Ajip Rosidi, Beber, hal. 70.

18 Ajip Rosidi, Dur Pundjak, hal. 95.

19 Ajip Rosidi, Ngalanglang Kasusastran Sunda (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hal. 30.

20 van Luxemburg, dkk., Tentang Sastra. Terj. Akhadiati Ikram (Jakarta: Intermasa, 1989), hal. 147. 21 Ibid., hal. 155.

22 Ajip Rosidi, Ngalanglang, hal. 30. 23 Ibid., hal. 31.

Daftar Pustaka

Luxemburg, Jan van, Mieke Bal, dan Wihlem G. Weststeijn. 1989. Tentang Sastra. Terj. Akhadiati Ikram. Jakarta: Intermasa.

Makaryk, Irena R., Ed. 1993. Encyclopedia of Contemporary Literary Theory: Approaches, Scholars, Terms. Toronto Buffalo London: University of Toronto Press.

Moriyama, Mikihiro. 2001. “Pencanian ‘Bahasa’ dan ‘Kesusastraan’ Jawa Barat, Sebuah Pengantar mengenai Bentuk Penulisan Sunda di Jawa Barat Abad XIX” dalam Bahaya Purisme Sunda. Jurnal Kebudayaan Sunda Dangiang.

(11)

Pangarang Kantor Pangadjaran. 1954. Kasusastran Sunda I. Djakarta: Perpustakaan Perguruan Kementrian P.P. dan K.

Rosidi, Ajip. 1966a. Dur Pandjak!. Bandung: Pusaka Sunda.

____________. 1966b. Kesusastran Sunda Dewasa Ini: Sebuah Tindjauan. Pasuketan, Djatiwangi, Tjirebon: Tjupumanik.

____________. 1983. Ngalanglang Kasusastran Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.

____________. 1988. Hurip Waras!: Dua Panineungan. Bandung: Pustaka Karsa Sunda. ____________. 1989. Beber Layar!. Jakarta: Girimukti Pasaka.

____________. dan Rusman Sutiasumarga. 1963. Kandjutkundang: Antologi Prosa dan Puisi Setelah Perang. Djakarta: Balai Pustaka.

____________.1998. Eundeuk-Eundeukan: Sawatara Esey ngeunaan Sastra Sunda. Jakarta: Girimukti Pasaka.

Salmun, M.A.. 1958. Kandaga Kasusastran. Bandung, Djakarta: Ganaco.

Referensi

Dokumen terkait