• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI JENIS JAMUR MIKORIZA DI HUTAN ALAM DAN LAHAN PASCA TAMBANG BATU BARA PT TRUBAINDO COAL MINING MUARA LAWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IDENTIFIKASI JENIS JAMUR MIKORIZA DI HUTAN ALAM DAN LAHAN PASCA TAMBANG BATU BARA PT TRUBAINDO COAL MINING MUARA LAWA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PT TRUBAINDO COAL MINING MUARA LAWA

Djumali Mardji

Laboratorium Perlindungan Hutan, Fahutan Unmul, Samarinda

ABSTRACT. Identification of Species of Mycorrhizal Fungi In Natural Forest and Coal Mining Land-over of PT Trubaindo Coal Mining Muara Lawa. The purpose of this research was to determine the diversity of fungal

species of ectomycorrhiza on natural forest and coal mining land-over that had been planted (rehabilitated); to determine the dominant species of ectomycorrhizal fungus, both in natural forests as well as in land that had been rehabilitated and to determine the extent to which the success of coal mining land-over rehabilitation related with the presence of endomycorrhizal fungi. The diversity of fungal species and the potential of ectomycorrhizal fungi in natural secondary forests were still quite high, whereas in the area of rehabilitation could not find ectomycorrhizal fungi, but endomycorrhizal fungi on the root of rehabilitation plants. The number of ectomycorrhizal fungi were 49 species with 129 individuals. It was possible when examined with a longer time and in different seasons, especially the rainy season, it will find many more species and individual. The most dominant ectomycorrhizal fungi was Russula spp., it meant that the kinds of trees in natural secondary forests of PT TCM in the family of Dipterocarpaceae dominated by Shorea spp. were associated with this fungi. Disease occured in plants in the area of rehabilitation of the most detrimental was the abiotic factors of nutrient deficiencies that resulted in chlorotic and stunted plants. In addition, an open area caused high soil temperatures, so the soil dried quickly, which was not so favorable conditions for plant growth and mycorrhizal fungi. Biotic factors were also found as a cause of disease in plant rehabilitation, but did not cause significant damage, such as stem borers and root rot in Gmelina and termite attack on the roots of durian. In the area of rehabilitation there were many Acacia mangium growing naturally with better growth than plants of rehabilitation, this showed that the species could fertilize the soil in site where it grew up, because A. mangium root formed nodules and associated with endomycorrizal and ectomycorrizal fungi.

Kata kunci: mikoriza, rehabilitasi, Trubaindo, Gmelina arborea, Acacia mangium

PT Trubaindo Coal Mining (TCM) adalah salah satu perusahaan pertambangan batu bara PKP2B (Perusahaan Kerja Sama Pengusahaan Pertambangan Batu Bara) generasi II yang sudah berproduksi sejak Februari 2005. Konsesi perusahaan ini secara administrasi berada di Kecamatan Muara Lawa, Kecamatan Melak, Kecamatan Damai dan Kecamatan Bentian Besar Kabupaten Kutai Barat, Propinsi Kalimantan Timur dan menurut Anonim (2009) luas konsesinya 50.170 ha.

Rehabilitasi lahan merupakan salah satu program pengelolaan lingkungan yang menjadi prioritas perusahaan yang meliputi kegiatan pengisian kembali areal bekas

(2)

tambang (backfill area) dan areal bekas kolam pengendapan, kegiatan pengaturan permukaan lahan dan penanaman kembali areal terbuka/revegetasi. Dalam kegiatan penambangan terjadi proses perubahan yang radikal dalam lingkungan, baik hayati maupun non hayati. Banyak sumber daya alam hayati hilang dalam proses tersebut, begitu juga jamur yang merupakan salah satu komponen keanekaragaman hayati juga turut hilang dalam proses tersebut. Menurut Suriawiria (1993) jamur/cendawan/fungi terdiri atas ratusan ribu jenis dan varietas, setiap saat jamur yang diketahui bertambah karena adanya penemuan-penemuan baru maupun yang sebelumnya belum pernah terjamah.

Usher (1979) memberikan pengertian, jamur adalah tumbuhan yang mempunyai inti sel, tidak mempunyai klorofil, bersifat parasit dan atau saprofit, tubuhnya terdiri atas sel-sel filamen sederhana berupa hifa, reproduksi berlangsung secara asexual dan atau sexual yang menghasilkan spora; dengan tidak adanya klorofil, maka jamur tidak dapat melakukan fotosintesis, sehingga mengambil makanan dari bahan organik hidup ataupun mati. Menurut Boyce (1961), Bigelow (1979), Nonis (1982), jamur terdiri atas berbagai jenis dan bentuk, seperti jenis-jenis agarics (jamur bila/insang), boletes (jamur berongga), polypores (jamur berpori), hydnum (jamur bergerigi), clavarias (seperti bunga karang), puffballs (seperti bola), earth stars (seperti bintang), stink horns (seperti tanduk) dan bird’s nest (seperti sarang burung). Banyak jenis jamur yang tumbuh di hutan, baik di tanah, serasah (daun, ranting dan cabang-cabang kecil), pohon dan kayu mati, di antaranya ada yang berguna bagi tumbuhan dan makhluk hidup lainnya seperti jamur mikoriza, jamur yang bisa dimakan, untuk obat serta untuk industri makanan dan minuman. Manfaat lain disebutkan oleh Anonim (1997), bahwa kota Hiroshima di Jepang yang hancur akibat bom atom yang dijatuhkan oleh Amerika pada perang dunia kedua diperkirakan oleh para ahli tidak akan ada kehidupan selama beberapa abad, sehingga memerlukan waktu ratusan tahun untuk menghilangkan efek radioaktif secara menyeluruh. Tetapi dengan adanya jamur (dan juga bakteri) yang telah mendegradasi bahan organik yang terkontaminasi oleh radioaktif, maka efek radioaktif berangsur-angsur hilang dan tanahnya dapat ditanami kembali, sehingga kota tersebut pulih kembali dalam waktu kurang dari 30 tahun dengan pemukiman dan taman-tamannya yang hijau.

Jamur mikoriza adalah jamur yang bersimbiosis dengan akar tumbuhan tingkat tinggi, sehingga terbentuk mikoriza (mykes = jamur, rhiza = akar). Di tiga lokasi yaitu di Bukit Soeharto, Wanariset di Samboja dan PT International Timber Cooperation of Indonesia (ITCI) di Kenangan ditemukan 60 jenis jamur mikoriza (Jülich, 1988). Pada hutan yang tidak terbakar di Hutan Lindung Sungai Wain ditemukan lebih banyak jenis jamur mikoriza dibandingkan dengan di hutan yang telah terbakar, masing-masing 16 jenis dan 6 jenis (Noor, 2002). Mardji dan Noor (2006) melaporkan, bahwa di Hutan Lindung Gunung Lumut (Kabupaten Paser) pada habitat dengan kerusakan ringan, jenis jamur mikoriza tumbuh lebih banyak (45 jenis) daripada di habitat yang rusak berat (14 jenis), di mana kerusakan hutan yang berat tersebut diakibatkan oleh penebangan liar (illegal logging). Srisusila (2007) menemukan sebanyak 31 jenis jamur mikoriza di kawasan Malinau Research Forest (MRF) Cifor atau sekitar 11% dari jumlah seluruh jenis yang dikoleksi dari

(3)

petak-petak penelitian di MRF. Dari 31 jenis jamur mikoriza yang terdapat di kawasan MRF tersebut, 13 jenis terdapat pada petak Reduced Impact Logging (RIL), 22 jenis pada petak Convensional (CNV) dan 2 jenis pada petak Ladang (LDG). Perbedaan jumlah jenis jamur mikoriza tersebut mengindikasikan keadaan hutan yang bersangkutan. Petak LDG merupakan petak yang paling sedikit jumlah jenis jamur mikorizanya, karena memang areal perladangan merupakan areal yang kondisi hutannya sudah buruk (terbuka), sudah sangat jarang ditemukan pohon yang merupakan inang bagi jamur mikoriza, begitu juga suhu udaranya yang rata-rata 32,6C, jadi lebih tinggi daripada di petak RIL dan CNV, sehingga tidak mendukung pertumbuhan jamur mikoriza. Menurut Jülich (1988), jamur mikoriza dapat berkembang dengan baik pada suhu 25–29C.

Oleh karena itu, jamur mikoriza dapat dijadikan indikator kondisi hutan, bila banyak ditemukan jenis jamur mikoriza, berarti hutan tersebut masih baik yang ditandai dengan adanya pohon-pohon besar sebagai inangnya, sebaliknya bila jamur mikoriza sedikit atau tidak ditemukan sama sekali, maka hutan tersebut telah rusak yang ditandai dengan jarang atau tidak ada pohon-pohon besar untuk inang jamur mikoriza.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman jenis jamur ektomikoriza yang ada pada lahan yang telah ditanami (direhabilitasi), baik pada lokasi pasca tambang maupun di hutan alam; untuk mengetahui jenis jamur ektomikoriza yang dominan, baik di lahan yang telah direhabilitasi maupun di hutan alam dan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan rehabilitasi lahan pasca tambang, hubungannya dengan kehadiran jamur endomikoriza.

Hasil yang diharapkan sebagai bahan informasi tentang keanekaragaman jenis jamur ektomikoriza di lokasi penelitian; dengan ditemukannya jenis jamur ektomikoriza yang dominan, maka dapat dimanfaatkan sebagai inokulum (bahan penular) pada jenis pohon tertentu yang digunakan untuk menghutankan kembali lahan pasca tambang dan memberi masukan kepada PT TCM tentang pentingnya mikoriza di lahan pasca tambang, baik endomikoriza maupun ektomikoriza.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di konsesi PT Trubaindo Coal Mining (TCM) Kabupaten Kutai Barat, Propinsi Kalimantan Timur. Plot-plot penelitian berbentuk bujur sangkar di hutan alam sekunder dibuat di antara 002’43,4”0043,0’4,0” LS dan 11541’31,3”11541’40,5” BT.

Penelitian lapangan dilakukan selama 9 hari yang dimulai dari tanggal 8 sampai 16 Juni 2009, dilanjutkan dengan identifikasi jenis jamur di Laboratorium Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda selama satu bulan.

Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tali nilon 25 m untuk mengukur plot penelitian, kompas untuk menentukan arah plot, parang untuk merintis jalur di dalam plot, naphthalene untuk mengawetkan jamur, kantong plastik untuk tempat jamur, kamera digital untuk memotret jamur, pisau cutter, untuk

(4)

mengiris tubuh buah jamur dalam proses identifikasi jenis, mikroskop untuk melihat miselium jamur endomikoriza pada tanaman rehabilitasi.

Untuk mendapatkan tubuh buah jamur ektomikoriza di hutan alam, maka dibuat plot-plot penelitian yang tersebar secara merata di lokasi penelitian. Jumlah plot penelitian adalah sebanyak 5 plot dengan luas setiap plot adalah 1 ha. Arah plot dibuat sama, yaitu utara-selatan dan masing-masing plot dibatasi dengan rintisan selebar 1 m.

Di areal rehabilitasi tidak dibuat plot penelitian, melainkan sesuai dengan luas masing-masing areal yang ada, yaitu yang berumur 1, 2 dan 3 tahun. Selain arealnya datar, juga mudah dilalui dengan menelusurinya untuk melakukan pengamatan keberadaan jamur ektomikoriza.

Jamur yang diambil adalah tubuh buah jamur ektomikoriza yang kasat mata. Pengumpulan tubuh buah jamur dilakukan secara sensus di dalam plot-plot yang telah dibuat, dengan cara mengamati keberadaan tubuh buah jamur di lantai hutan. Tubuh buah jamur yang telah ditemukan diberi nomor plot dan nomor jamur, difoto dan dimasukkan dalam kantong plastik untuk dibawa ke guest house PT TCM. Setelah itu dideskripsi morfologinya dan diidentifikasi dalam keadaan masih segar, karena bila sudah kering ukuran dan warnanya bisa berubah yang bisa mengakibatkan kesalahan. Setelah diidentifikasi, kemudian dimasukkan di dalam kulkas agar tetap awet. Kemudian tubuh buah jamur dibawa ke Laboratorium Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Samarinda untuk dikeringkan dengan menggunakan oven pada temperatur 50C. Setelah kering, jamur dimasukkan dalam kantong plastik berisi naphthalene untuk mencegah kerusakan oleh organisme lain.

Dalam mengidentifikasi jenis jamur digunakan beberapa literatur yang dilengkapi dengan foto-foto berwarna. Baik dalam keadaan masih segar maupun berupa foto tubuh buah jamur yang telah dikumpulkan dibandingkan dengan yang ada di literatur. Literatur yang digunakan adalah karangan Bigelow (1979), Nonis (1982), Imazeki dkk. (1988), Jülich (1988), Bresinsky dan Besl (1990), Breitenbach dan Kränzlin (1991), Læssøe dan Lincoff (1998), Pace (1998). Identifikasi dilakukan di Laboratorium Perlindungan Hutan.

Data morfologi yang dideskripsikan adalah tudung (cap, pileus): ukuran,

bentuk, warna, permukaan, tepi, kekenyalan dan kelembapan/kebasahan;

bilah (gills, lamellae): warna dan alat tambahan; pori-pori (pores): warna dan alat tambahan; tangkai (stem, stipe): ukuran, bentuk, warna, permukaan, kekenyalan, kekakuan. kekenyalan bila dipatah dan kelembapan/kebasahan; cincin (annulus, cortina): ada atau tidak dan bentuknya; cawan (volva): ada atau tidak dan bentuknya; bau (odor): lemah, kuat/tajam.

Tanaman yang digunakan untuk rehabilitasi lahan pasca tambang adalah jenis tanaman buah-buahan seperti: cempedak, durian, langsat, lengkeng, mangga dan rambutan; tanaman perkebunan yang ditanam adalah karet dan tanaman kehutanannya adalah Gmelina arborea. Tanaman-tanaman tersebut biasanya bersimbiosis dengan jamur endomikoriza (Jülich, 1988). Untuk membuktikan apakah tanaman-tanaman itu bersimbiosis dengan jamur endomikoriza, maka tanah di sekitar tanaman-tanaman tersebut digali dan contoh akar dari masing-masing jenis

(5)

tanaman itu diambil untuk diperiksa dengan menggunakan mikroskop kemudian difoto.

Data hasil penelitian ditampilkan dalam bentuk daftar jenis jamur yang diikuti dengan morfologinya. Jumlah tubuh buah semua jenis jamur yang ditemukan dan jumlah individu setiap jenis dihitung.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman Jenis Jamur Ektomikoriza

Dari hasil penelitian diketahui, bahwa di lahan rehabilitasi tidak ditemukan tubuh buah jamur ektomikoriza, melainkan miselium jamur endomikoriza pada akar tanaman, sedangkan di hutan alam sekunder ditemukan sejumlah tubuh buah jamur ektomikoriza.

Jumlah jenis jamur ektomikoriza yang ditemukan di hutan alam ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Jenis dan Individu Jamur Ektomikoriza yang Ditemukan di Hutan Alam Sekunder PT Trubaindo Coal Mining

Plot Jenis Individu

I 11 51 II 6 13 III 9 11 IV 9 14 V 18 40 Jumlah 49 129

Pada Tabel 1 terlihat, bahwa jumlah jenis jamur ektomikoriza pada masing-masing plot penelitian berbeda, yaitu berkisar antara 6 sampai 18 jenis dan yang paling banyak ditemukan adalah pada plot V. Perbedaan jumlah jenis pada masing-masing plot tersebut bisa disebabkan karena perbedaan temperatur udara, kelembapan udara, ketebalan serasah di lantai hutan dan jenis vegetasi yang ada di dalam plot. Temperatur dan kelembapan udara tampaknya tidak ada perbedaan yang mencolok, karena ketinggian tempat tidak jauh berbeda, yaitu berkisar antara 5271 m dpl. Ketebalan serasah di masing-masing plot juga kurang lebih sama. Pada tempat-tempat yang mempunyai lapisan serasah tebal, maka tubuh buah jamur sulit mengangkatnya, sehingga tidak terlihat oleh pencari jamur atau bahkan tubuh buah sulit terbentuk, atau bisa juga terjadi bahwa tubuh buah sudah terbentuk tetapi segera dimakan oleh pemangsa seperti jenis-jenis serangga, ulat dan busuk karena terserang bakteri. Faktor keempat yaitu jenis vegetasi juga menjadi penyebab perbedaan jumlah jenis yang ditemukan di setiap plot. Di plot V pada umumnya tidak terdapat tumbuhan bawah yang rimbun seperti jenis-jenis semak, laos hutan dan jenis-jenis lain yang bukan inang jamur ektomikoriza, melainkan jenis-jenis pohon besar terutama dipterokarpa yang menyebabkan sinar matahari lebih banyak sampai ke lantai hutan. Pada umumnya untuk pembentukan tubuh buah, jamur

(6)

membutuhkan sinar walaupun sinar yang diperlukan tidak tinggi intensitasnya. Oleh karena itu pada tempat-tempat yang ditumbuhi oleh semak-semak, laos hutan dan tumbuhan bawah lainnya sehingga tampak rimbun dan gelap tidak ditemukan tubuh buah jamur ektomikoriza.

Jenis jamur ektomikoriza yang ditemukan pada plot satu ada yang sama dengan plot lainnya atau pada tempat yang berbeda di plot yang sama. Hal ini dapat terjadi bila jenis jamur tersebut mampu beradaptasi dengan tempat tumbuh yang berbeda atau inangnya sama atau inangnya lebih dari satu, sehingga jamur demikian dapat ditemukan di tempat yang berbeda di hutan alam tersebut. Contohnya seperti

Calostoma fuscum, Russula fragilis, Russula sp.2 dan R. virescens. Jumlah seluruh

jenis jamur ektomikoriza yang ditemukan di hutan alam sekunder adalah 49 jenis dengan 129 individu. Hanya 2 jenis jamur ektomikoriza yang tidak dapat dideskripsi karena telah hancur dalam perjalanan, sehingga tidak dapat diidentifikasi dan tidak dimasukkan dalam jumlah jenis yang ditemukan tersebut. Jumlah jenis tersebut bisa bertambah bila penelitian dilakukan pada waktu yang berbeda dan di areal yang lebih luas. Waktu yang berbeda tersebut misalnya pada musim kemarau dan musim penghujan. Pada saat penelitian ini dilakukan, curah hujan di lokasi penelitian sudah mulai berkurang sebagai indikasi mulai memasuki musim kemarau. Jülich (1988) menemukan jenis jamur ektomikoriza yang tahan terhadap kekeringan tanah, yaitu

Laccaria dan Scleroderma, maka disarankan kedua jenis jamur ini untuk digunakan

pada areal reboisasi, sehingga pada waktu musim kemarau, tanaman dapat bertahan karena adanya simbiosis dengan jamur tersebut.

Bila dibandingkan dengan lokasi lain, maka keanekaragaman jenis jamur ektomikoriza di hutan alam sekunder PT TCM cukup tinggi. Jülich (1988) menemukan, bahwa jumlah jenis jamur ektomikoriza di tiga lokasi yaitu di Bukit Soeharto, Wanariset di Samboja dan International Timber Cooperation of Indonesia (ITCI) di Kenangan adalah 60 jenis. Chalermpongse (1992) melaporkan, bahwa jumlah jenis jamur ektomikoriza di hutan dipterokarpa di Thailand sebanyak 68 jenis. Noor (2002) menemukan pada hutan yang tidak terbakar di Hutan Lindung Sungai Wain lebih banyak jenis jamur ektomikoriza dibandingkan dengan di hutan yang telah terbakar, masing-masing 16 jenis dan 6 jenis. Mardji dan Noor (2006) melaporkan, bahwa di Hutan Lindung Gunung Lumut (Kabupaten Paser) pada habitat dengan kerusakan ringan, jenis jamur ektomikoriza tumbuh lebih banyak (45 jenis) daripada di habitat yang rusak berat akibat illegal logging (14 jenis). Srisusila (2007) menemukan sebanyak 31 jenis jamur ektomikoriza di Malinau Research Forest (MRF) Cifor, yang mana dari 31 jenis jamur yang terdapat di MRF tersebut, 13 jenis di antaranya terdapat pada petak Reduced Impact Logging (RIL), 22 jenis pada petak Convensional (CNV) dan 2 jenis pada petak Ladang (LDG). Perbedaan jumlah jenis jamur ektomikoriza tersebut menggambarkan, bahwa semakin baik keadaan hutan yang bersangkutan, maka semakin tinggi keanekaragaman jenis jamur ektomikorizanya. Petak LDG merupakan petak yang paling sedikit jumlah jenis jamur ektomikorizanya, karena memang ladang merupakan areal yang kondisi hutannya sudah buruk (terbuka), pohon yang merupakan inang bagi jamur ektomikoriza sudah jarang disisakan atau tidak ada sama sekali karena ditebang habis, sehingga temperatur udaranya relatif tinggi, yaitu pada siang hari rata-rata 32,6C, lebih tinggi daripada di petak RIL dan CNV, sehingga tidak mendukung

(7)

pertumbuhan jamur ektomikoriza. Menurut Jülich (1988), jamur ektomikoriza dapat berkembang dengan baik pada suhu 25–29C.

Jumlah individu masing jenis jamur juga berbeda-beda di masing-masing plot. penelitian, tetapi pada umumnya hanya ditemukan satu tubuh buah. Pada dasarnya tubuh buah jamur bisa tumbuh berkelompok, kecuali jenis-jenis

Amanita yang biasanya tumbuh soliter, tetapi di dalam dan di permukaan tanah juga

terdapat pesaing dan pemangsa yang mengakibatkan terhambatnya pembentukan dan hilangnya tubuh buah. Namun demikian jumlah individu jamur ektomikoriza di lima plot cukup banyak, yaitu 137 individu. Tidak menutup kemungkinan bahwa jumlah tersebut akan bertambah bila penelitian dilakukan secara periodik, lebih lama dan dengan jangkauan yang lebih luas, karena tubuh buah setiap jenis jamur ektomikoriza berbeda-beda waktu terbentuknya. Bisa juga terjadi bahwa saat tubuh buah muncul ke permukaan tanah langsung dimakan pemangsa, sehingga saat dicari sudah terlambat. Dengan jumlah tersebut, maka hal ini berarti bahwa potensi jamur ektomikoriza di hutan alam sekunder PT TCM masih sangat besar, asalkan habitatnya tidak diganggu, mengingat kegiatan penambangan masih berlanjut sampai beberapa tahun ke depan. Dengan demikian dikhawatirkan temperatur di luar hutan akan naik menjadi lebih tinggi dan kelembapan udara menjadi lebih rendah yang dapat berpengaruh pada temperatur udara di dalam hutan dan akhirnya dapat menyebabkan keanekaragaman jenis jamur ektomikoriza berangsur-angsur menurun, hanya jenis-jenis yang mampu beradaptasi dengan temperatur tinggi dengan kelembapan rendah saja yang nantinya bisa membentuk tubuh buah. Bila suatu jenis jamur ektomikoriza tidak dapat membentuk tubuh buah dalam jangka waktu lama, maka akan mengakibatkan kepunahannya, karena jamur demikian berkembang biak dengan sporanya, di mana spora tersebut dibentuk di dalam tubuh buah.

Dengan masih tingginya keanekaragaman jenis dan potensi jamur mikoriza di hutan alam sekunder PT TCM, maka hal ini penting untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan rehabilitasi lahan pasca tambang bila akan ditanam jenis-jenis tanaman yang memang membutuhkan simbiosis dengan jamur ektomikoriza. Jenis-jenis Dipterocarpaceae dan Pinaceae merupakan Jenis-jenis tanaman yang bersifat obligate host, artinya jenis-jenis yang tidak dapat hidup tanpa bersimbiosis dengan jamur ektomikoriza, sedangkan jenis-jenis lain masih dapat hidup tanpa simbiosis dengan jamur, walaupun hidupnya tidak sebaik yang bersimbiosis, yang mana jenis-jenis ini disebut facultative host.

Di antara jenis jamur ektomikoriza yang ditemukan, jenis-jenis Russula adalah yang paling dominan. Chalermpongse (1992) juga melaporkan hasil yang sama di hutan dipterokarpa di Thailand. Hal ini menunjukkan, bahwa hutan alam PT TCM paling sesuai untuk pertumbuhan jenis-jenis Russula, sehingga bila diinginkan untuk keperluan inokulasi semai jenis-jenis Dipterocarpaceae dapat digunakan jenis-jenis

Russula. Tetapi jumlah tubuh buah yang terbentuk pada setiap periode biasanya

sedikit, hal ini tidak akan mencukupi untuk bahan inokulasi bila jumlah semai yang akan diinokulasi sangat banyak. Oleh karena itu dapat digunakan bahan inokulasi lain dari jenis jamur yang sama, yaitu dalam bentuk biakan murni miselium jamur yang bisa disediakan dalam jumlah besar di laboratorium.

(8)

Kondisi Tanaman Rehabilitasi di PT Trubaindo Coal Mining

Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan rehabilitasi lahan pasca tambang di PT Trubaindo Coal Mining dihubungkan dengan keberadaan jamur endomikoriza, maka telah dilakukan penelitian dengan melihat dari dekat kondisi tanaman rehabilitasi tersebut. Pada umumnya kondisi tanaman yang berumur 1 sampai 3 tahun kurang baik pertumbuhannya. Daunnya klorosis, tingginya sangat kurang bila dibandingkan dengan umurnya dan banyak tanaman yang mati. Contoh rambutan umur 3 tahun tingginya hanya berkisar antara 30–140 cm, mangga 44–200 cm, karet 33–150 cm, gmelina 150–500 cm, sehingga dapat dikatakan bahwa rehabilitasinya kurang berhasil.

Gejala sakit yang ditunjukkan oleh tanaman mengindikasikan bahwa penyebabnya sebagian besar adalah dari faktor abiotik, yaitu unsur hara yang rendah di dalam tanah. Rendahnya kandungan hara di dalam tanah dimungkinkan telah tercampurnya lapisan top soil dengan sub soil. Biasanya top soil lebih subur daripada sub soil, tetapi karena pada saat dilakukan penggalian dan pemindahan ke tempat lain, kemungkinan top soil tidak dipisahkan terlebih dahulu.

Hanya beberapa tanaman saja yang menunjukkan gejala sakit akibat faktor biotik, seperti gmelina yang batangnya terserang larva Xyleutes ceramicus, ada juga yang akarnya terserang rayap dan akar durian yang terserang jamur pembusuk, sehingga mengakibatkan tanaman menjadi lebih merana karena penyebabnya adalah kombinasi antara faktor abiotik dan biotik.

Hanya sebagian kecil saja dari tanaman rehabilitasi yang pertumbuhannya agak baik, daunnya hijau dan lebih tinggi daripada tanaman yang daunnya klorosis. Bila dilihat pada perakarannya, maka akar tanaman yang pertumbuhannya jelek terdapat miselium jamur endomikoriza yang belum diketahui jenisnya, tetapi tidak sebanyak pada akar tanaman yang lebih bagus pertumbuhannya. Akar tanaman rehabilitasi yang pertumbuhannya jelek (kurus) masih dapat bersimbiosis dengan jamur endomikoriza, tetapi pada umumnya jamurnya kurang berkembang, miselium jamur tidak tebal. Hal ini disebabkan tanaman inangnya kurus akibat kurangnya kandungan hara di dalam tanah. Pertumbuhan jamur endomikoriza tergantung dari pertumbuhan inangnya, bila inangnya tumbuh dengan subur, berarti banyak membentuk karbohidrat, yang mana karbohidrat ini diperlukan oleh jamur untuk pertumbuhannya, bila suplai karbohidrat dari inangnya relatif banyak, maka pertumbuhan jamurnya juga bagus, akar tanaman rehabilitasi yang pertumbuhannya agak subur juga bersimbiosis dengan jamur endomikoriza dengan lapisan miselium yang lebih banyak daripada akar tanaman yang kurus. Hal ini dimungkinkan pada tanah tempat tumbuhnya lebih banyak kandungan haranya, atau pupuk yang sengaja diberikan telah terserap oleh akarnya, sehingga akar tanaman dan miselium jamur menyerap lebih banyak hara dan dengan demikian karbohidrat yang terbentuk melalui proses fotosintesis juga lebih banyak.

Kurang berkembangnya miselium jamur endomikoriza dimungkinkan juga disebabkan arealnya terbuka, tidak ada pohon-pohon besar sebagai pelindung, sehingga temperatur tanahnya terlalu tinggi yang mengakibatkan air di dalam tanah cepat menguap dan tanahnya menjadi kering. Menurut Jülich (1988), jamur mikoriza

(9)

menyukai tanah-tanah dengan temperatur 2529C serta kelembapan tanah dan udara yang sedang, tidak terlalu basah dan tidak terlalu kering.

Upaya Mengembalikan Kesuburan Tanah

Dalam kondisi tanah yang ekstrim, maka kegiatan yang pertama kali perlu dilakukan adalah mengembalikan kesuburan tanah sebelum ditanami tanaman rehabilitasi. PT TCM telah melaksanakannya dengan menanam tanaman penutup tanah (cover crop) dengan hasil yang cukup baik. Tanaman ini terbukti mampu bersaing dengan gulma, membentuk bintil akar (nodule), tetapi jamur endomikorizanya kurang begitu berkembang, sedangkan pada akar A. mangium, miselium jamur endomikorizanya sangat tebal. Selain itu, cover crop harus sering dipelihara dengan menebasnya di sekeliling tanaman pokok rehabilitasi. Bila terlambat, maka tanaman pokok rehabilitasi akan terlilit dan mati karena tercekik dan daunnya tidak mendapat sinar matahari yang cukup. Oleh karena itu perlu dicari alternatif lain yang lebih aman, tidak memerlukan pemeliharaan dan lebih cepat mengembalikan kesuburan tanah.

Dari hasil pengamatan diketahui, bahwa tanaman alternatif yang memungkinkan untuk dipilih sebagai pengganti cover crop adalah A. mangium. Pada Gambar 5 terlihat, bahwa A. mangium jauh lebih baik pertumbuhannya bila dibandingkan dengan tanaman rehabilitasi (gmelina), padahal tempat tumbuhnya sama dan kemungkinan umur A. mangium lebih muda daripada tanaman rehabilitasi karena tidak ditanam. Di beberapa lokasi penanaman yang berbeda, A. mangium juga menunjukkan pertumbuhan yang jauh lebih baik daripada tanaman rehabilitasi. Bila dilihat perakarannya, bintil akar yang terbentuk jauh lebih banyak dan ukurannya lebih besar dibandingkan dengan bintil akar cover crop. Lapisan miselium jamur endomikorizanya juga lebih tebal. Jamur endomikoriza pada akar A.

mangium mampu membentuk spora yang berarti jamur tersebut dapat berkembang

biak lebih baik dan lebih cepat pada tanah-tanah yang kurang subur, sedangkan pada akar-akar tanaman rehabilitasi tidak ditemukan jamur endomikoriza yang membentuk spora. Selain itu, akar A. mangium juga mampu bersimbiosis dengan jamur ektomikoriza dari kelas Basidiomycetes yang ditandai dengan adanya clamp connection pada sekat-sekat miseliumnya, jadi A. mangium mempunyai ektendomikoriza, hasil ini sesuai dengan pernyataan Harley dan Smith (1983); Julich (1988) bahwa jenis-jenis Acacia mempunyai ektendomikoriza pada perakarannya. Namun jamur endomikoriza maupun ektomikoriza pada A. mangium dalam penelitian ini belum bisa teridentifikasi. Bila kondisi lingkungannya sesuai, maka memungkinkan jamur ektomikoriza untuk membentuk tubuh buah di permukaan tanah dan dengan demikian mudah untuk diidentifikasi jenisnya. Pertumbuhan yang baik tersebut disebabkan A. mangium mampu menghidupi dirinya sendiri, penyerapan hara dan air dari dalam tanah dapat maksimal, karena akarnya mempunyai ektendomikoriza, bintil akar yang terbentuk pada perakarannya mengandung nitrogen (N) hasil pengikatan dari udara yang ada di dalam tanah oleh bakteri Rhizobium yang bersimbiosis dengannya. Nitrogen pada bintil akar akan hancur seiring dengan bertambahnya umur bintil dan N yang ada di dalamnya akan larut di dalam tanah, sehingga tanah menjadi subur. Djiun (1976) menyatakan,

(10)

bahwa bintil akar sangat penting bagi kehidupan tumbuhan terutama di bidang kehutanan; jenis-jenis tumbuhan yang berbintil akar banyak diperlukan dalam program-program reboisasi, penghijauan dan rehabilitasi hutan. Menurut Dwidjoseputro (1981), pengaruh bintil akar bagi kehidupan tumbuhan sangat signifikan, karena bintil akar dapat mengikat nitrogen bebas dari udara yang sangat dibutuhkan oleh tumbuhan. Selain itu tidak kecil pula peranan bintil akar dalam menyuburkan tanah (Pritchett, 1979).

Soemarwoto dkk. (1981) menyatakan, bahwa peranan tumbuhan Leguminosae dalam bidang kehutanan demikian penting, tidak saja untuk tujuan produksi, tetapi juga untuk pengawetan tanah, perlindungan hutan dan keseimbangan lingkungan hidup. Pentingnya tumbuhan Leguminosae untuk keseimbangan alam/lingkungan hidup karena dapat mengubah gas nitrogen dari udara menjadi ammoniak, yaitu suatu bentuk larutan nitrogen yang dengan mudah dapat diserap oleh tumbuhan. Leguminosae memproduksi sejumlah besar nitrogen yang diikat secara biologis (Anonim, 1981). Kandungan nitrogen dalam tanah yang dihasilkan oleh tumbuhan Leguminosae tersebut di beberapa daerah di dunia lebih besar daripada yang biasa diperoleh dengan pemupukan. Beijerinck (1901) seorang ahli mikrobiologi Belanda dalam Soemarwoto dkk. (1981) menemukan pengikatan nitrogen dari udara tidak dikerjakan oleh tumbuhan Leguminosae, tetapi oleh bakteri-bakteri yang hidup di dalam akar tumbuhan Leguminosae tersebut. Di dalam akar, bakteri-bakteri tersebut membantu pembentukan bintil-bintil dan menyerap nitrogen.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Keanekaragaman jenis dan potensi jamur ektomikoriza di hutan alam yang telah menjadi hutan sekunder masih cukup tinggi, sedangkan di areal rehabilitasi tidak ditemukan jenis jamur ektomikoriza, melainkan jamur endomikoriza berupa miselium pada perakarannya. Jumlah jenis jamur ektomikoriza yang ditemukan adalah 49 jenis dengan 129 individu. Tidak menutup kemungkinan bila diteliti dengan waktu yang lebih lama dan pada musim yang berbeda terutama musim penghujan, maka akan ditemukan lebih banyak lagi jenis dan individunya.

Jamur ektomikoriza yang paling dominan adalah jenis-jenis Russula, berarti jenis-jenis pohon di hutan alam sekunder PT TCM dari famili Dipterocarpaceae yang didominasi oleh Shorea spp. kebanyakan bersimbiosis dengan jenis-jenis jamur ini.

Penyakit yang terjadi pada tanaman di areal rehabilitasi yang paling merugikan adalah faktor abiotik yaitu kekurangan unsur hara yang mengakibatkan klorosis dan kerdil. Selain itu, areal yang terbuka menyebabkan temperatur tanah tinggi, sehingga tanah cepat mengering, yang mana kondisi demikian tidak menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman dan jamur mikoriza.

Faktor biotik juga ditemukan sebagai penyebab penyakit pada tanaman rehabilitasi, tetapi tidak menyebabkan kerugian yang signifikan, seperti penggerek batang dan busuk akar pada gmelina serta serangan rayap pada akar durian.

Di areal rehabilitasi banyak tumbuh A. mangium secara alami dengan pertumbuhan yang lebih baik daripada tanaman rehabilitasi, hal ini menunjukkan

(11)

bahwa jenis ini mampu beradaptasi bisa menyuburkan tanah disebabkan A. mangium membentuk bintil akar serta bersimbiosis dengan jamur endomikoriza dan ektomikoriza.

Pada umumnya kondisi tanaman yang berumur 1 sampai 3 tahun kurang baik pertumbuhannya. Daunnya klorosis, tingginya sangat kurang bila dibandingkan dengan umurnya dan banyak tanaman yang mati, sehingga dapat dikatakan bahwa rehabilitasinya kurang berhasil.

Saran

Untuk mengetahui keanekaragaman jenis jamur ektomikoriza dan potensinya secara lengkap perlu diadakan penelitian secara periodik pada musim yang berbeda yaitu musim kemarau dan musim penghujan baik di hutan alam maupun di lahan rehabilitasi.

Membuat petak-petak percobaan yang tidak luas dengan menanam jenis-jenis tanaman buah-buahan dan kehutanan yang berbeda untuk mengetahui jenis tanaman mana yang paling sesuai, yaitu yang bisa beradaptasi dengan tempat tumbuhnya dan tumbuh cepat, sehingga bisa bersaing dengan gulma.

Tanaman yang ditanam hendaknya yang sudah terinfeksi oleh jamur mikoriza yang diinokulasi di persemaian dengan bahan inokulasi berupa tanah yang diambil dari hutan alam. Untuk mendapatkan jamur ektomikoriza dalam jumlah yang banyak disarankan untuk mengumpulkan pada waktu musim penghujan di hutan alam yang masih banyak pohon-pohon dengan diameter besar, terutama jenis-jenis dipterokarpa. Bahan inokulasi dalam bentuk biakan murni miselium jamur dapat juga digunakan bila diinginkan dalam jumlah besar yang bisa disediakan di laboratorium dengan jenis jamur yang sama.

Tanah di areal rehabilitasi perlu dipupuk, sehingga dapat diserap oleh tanaman dan jamur mikoriza, karena walaupun ada jamur mikorizanya, tetapi kalau tanahnya tidak subur, maka tanaman tetap akan kurus/merana.

Dari hasil orientasi lapangan ditemukan bahwa A. mangium mampu beradaptasi dengan tempat tumbuhnya, tumbuh cepat dan subur walaupun pada tanah yang tidak subur, maka disarankan menanam A. mangium.

Untuk memberantas rumput-rumputan (herba) dapat ditanam A. mangium dengan jarak yang rapat, misal 3x3 m. Jenis ini selain mampu membunuh herba, juga dapat mengembalikan kesuburan tanah karena mempunyai bintil akar yang mengandung nitrogen (N). Jenis ini juga berfungsi sebagai pelindung tanah agar tidak cepat mengering dan pelindung tanaman pokok dari sengatan sinar matahari, karena banyak jenis tanaman budidaya yang pada waktu tingkat semai masih memerlukan naungan. Oleh karena itu perlu diperhatikan bahwa larikan tanaman searah dengan lintasan matahari (timur-barat).

Setelah herba mati, mangium dijarangi, bekas-bekas penjarangan diganti dengan jenis lain yang dikehendaki, misalnya buah-buahan, jenis-jenis tanaman perkebunan seperti karet dan jenis-jenis tanaman kehutanan lainnya. Penanaman cover crop dapat diteruskan, tetapi perlu dikendalikan secara rutin agar tidak menjadi gulma terhadap tanaman pokoknya.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1981. Tropical Legumes. Resources of the Future. National Academy of Sciences, Washington DC. 331 h

Anonim. 1997. Khasiat Ajaib Jamur dari HIV Sampai Sup 1000 Selir. Trubus 327: h 10 dan 13.

Anonim. 2009. Empat Tahun, PKP2B Keruk Rp200Triliun, Kaltim Cuma Dapat Rp4,8T. Pro Kaltim, 24 Juni 2009, Samarinda.

Bigelow, H.E. 1979. Mushroom Pocket Field Guide. Macmillan Publishing Co., Inc., New York. 117 h.

Boyce, J.S. 1961. Forest Pathology. Third Edition. McGraw-Hill Book Company, Inc., New York. 572 h.

Breitenbach, J. and F. Kränzlin. 1991. Fungi of Switzerland. Vol. 3. Boletes and Agarics. Mykologia Lucerne, Switzerland. 361 h.

Bresinsky, A. and H. Besl. 1990. A Colour Atlas of Poisonous Fungi. Wolfe Publishing Ltd., London. 295 h.

Chalermpongse, A. 1992. Biodiversity of Ectomycorrhizal Fungi in the Dipterocarp Forest of Thailand. Proceedings of Tsukuba Workshop May 1921, 1992 in Tsukuba Science City. Biotechnology Assisted Reforestation Project (Bio-Refor)-IUFRO/SPDC. h 143153.

Djiun, H. 1976. Silvikultur Umum. Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan, Ujung Pandang. 206 h.

Dwidjoseputro, D. 1981. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT Gramedia, Jakarta. 200 h. Harley, FRS. J.L. and S.E. Smith. 1983. Mycorrhizal Symbiosis. Academic Press, Toronto. Imazeki, R.; Y. Otani and T. Hongo. 1988. Nihon no Kinoko. Yama-kei Publishers Co. Ltd.,

Tokyo. 623 h.

Jülich, W. 1988. Dipterocarpaceae and Mycorrhizae. Special Issue, GFG Report of Mulawarman University 9: 103 h.

Læssøe, T. and G. Lincoff. 1998. Mushrooms. Dorling Kindersley Limited., London. 304 h. Mardji, D. dan M. Noor. 2006. Keanekaragaman Jenis Jamur Makro di Hutan Lindung

Gunung Lumut. Laporan Penelitian. Tropenbos International Indonesia Programme (MoF  Tropenbos Kalimantan Programme), Samarinda. 53 h.

Nonis, U. 1982. Mushrooms and Toadstools. A Colour Field Guide. David & Charles, London. 229 h.

Noor, M. 2002. Keanekaragaman Jamur Ektomikoriza pada Areal Hutan Bekas Terbakar dan Tidak Terbakar di Hutan Lindung Sungai Wain Kotamadya Balikpapan. Tesis Program Studi Magister Ilmu Kehutanan Program Pascasarjana Unmul, Samarinda. 83 h.

Pace, G. 1998. Mushrooms of the World. Firefly Books Ltd., Spain. 310 h.

Pritchett, W.L. 1979. Properties and Management of Forest Soil. John Wiley and Sons Inc, New York. 500 h.

Soemarwoto, I.; I. Ganjar; E. Guhardja; A.H. Nasoetion; S.S. Soemartono dan L.K. Soemadikarta. 1981. Biologi Umum. Jilid II. PT Gramedia, Jakarta. 321 h.

Srisusila. 2007. Keanekaragaman Jenis Jamur Makro pada Tiga Kondisi Hutan yang Berbeda di Malinau Research Forest (MRF) Cifor Kabupaten Malinau Kalimantan Timur. Tesis Program Studi Magister Ilmu Kehutanan, Program Pascasarjana Unmul, Samarinda. 216 h.

Suriawiria, U. 1993. Pengantar untuk Mengenal dan Menanam Jamur. Penerbit Angkasa, Bandung. 210 h.

(13)

Gambar

Tabel  1.  Jumlah  Jenis  dan  Individu  Jamur  Ektomikoriza  yang  Ditemukan  di  Hutan  Alam  Sekunder PT Trubaindo Coal Mining

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh garam ammonium terhadap keasaman zeolit alam sangat besar sehingga dapat digunakan sebagai katalis asam dalam reaksi perengkahan

Berdasarkan hasil kajian penanganan ruas jalan Bulu - Batas Kota Tuban Provinsi Jawa Timur dengan menggunakan data Falling Weight Deflectometer dan survei mata Garuda,

merger itu batal ( null and void ) dan tidak dapat diratifikasi, hal ini tidaklah merupakan dasar untuk mengabaikan perlindungan hukum terhadap pihak yang lemah

Judul Laporan : POLIMORFISME IKAN KERAPU MACAN (Ephinephelus fuscoguttatus FORSSKÅL) YANG TAHAN BAKTERI Vibrio alginolitycus DAN TOLERAN SALINITAS RENDAH SERTA

Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat ditarik benang kesimpulan bahwa dalam meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mebayar pajak harus dilaksanakan dengan rutin,

Spesifikasi Produk yang Di Dikembangkan Produk yang dihasilkan berupa bahan ajar berbasis demonstrasi yang terdiri atas rangkuman materi serta langkah-langkah dalam

Sampai dengan 31 Desember 2009, jumlah total saham Telkom yang telah dibeli kembali sebanyak 490.574.500 lembar Saham Biasa setara dengan 2,43% dari Saham Biasa

(Ajzen, 2005) Intensi berhenti merokok dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu, sikap individu terhadap perilaku tertentu, norma subyektif (norma sosial yang berpengaruh