Makalah Komprehensif
Disusun Guna Memenuhi Ujian Komprehensif Jurusan Al-Ahwalusyahsiyyah Disusun Oleh : MOCH. ASRORI NIM. 052111037
JURUSAN AL-AHWALUSYAHSIYYAH
FAKULTAS SYARI‟AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
iii
NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (eksemplar)
Hal : Naskah Skripsi
an. (Moch. Asrori)
KepadaYth.
Bapak Dekan Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo Semarang di Semarang
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Setelah membaca, mengadakan koreksi dan perbaikan sebagaimana mestinya, maka kami menyatakan bahwa skripsi saudara:
Nama : Moch. Asrori
NIM : 052111037
Jurusan : Ahwal al-Syakhs hiyyah
Judul Skripsi : “ANALISIS PENDAPAT IBNU ABIDIN TENTANG
TIDAK ADA „IDDAH WANITA HAMIL KARENA ZINA”
Dengan ini telah kami setujui dan mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqosyahkan. Demikian atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Semarang, 10 Januari 2011
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag Dr. H. Ali Imron, M.Ag NIP. 19590413 198703 2 001 NIP. 19730730 200312 1 003
iv
“Hai orang-orang yang beriman, ruku‟ dan sujud dan sembahlah Tuhan kamu dan perbuatlah kebaikan, supaya kamu mendapat kejayaan”.
v
Kupersembahkan skripsi ini untuk :
Ayahanda dan ibundaku tercinta, yang telah berjuang dengan keras untuk
mendidik dan membesarkan serta mencurahkan seluruh hidupnya, kasih
sayangnya, pengorbanannya, cintanya dan do’anya hanya untuk
keberhasilanku dan tak lupa adik-adikku yang selalu memberi semangat dan
mendoakanku.
Teristimewa buat kekasihku tercinta dan tersayang yang selalu mendorong dan
memotivasiku.
Pembimbing skripsi yang senantiasa memberikan petunjuk, arahan dan tak
henti-hentinya memberikan nasehat yang membangun demi kesuksesanku.
Sahabat-sahabatku yang selalu memberikan bantuan dan motivasi demi
terselesaikannya skripsi ini.
Semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu
Semoga semua pengorbanan yang telah di berikan dengan tulus ikhlas di beri
balasan yang berlipat oleh Allah SWT. Amin…
vi
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga dengan skripsi ini tidak berisi dari pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan dalam pembuatan skripsi ini.
Semarang, Januari 2010 Deklarator,
Moch. Asrori NIM. 052111037
vii
tersebut dihadapkan pada suatu peristiwa yang tidak lazim, seperti seorang
perempuan yang hamil karena zina maka „iddah tersebut membuat
perbedaan pendapat di kalangan para ulama’.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti dan menelusuri kembali permasalahan-permasalahan hukum tersebut bagaimana Pendapat Ibnu Abidin tentang tidak ada iddah wanita hami karena zina.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research)
yaitu dengan mengadakan telaah terhadap dua sumber di antaranya sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh langsung dari sumbernya dalam hal ini adalah Kitab Radd al-Muhtar. Sumber data sekunder adalah sumber data yang diperoleh dari sumber-sumber lain yang berkaitan.
Data yang penulis gunakan dalam sekripsi ini merupakan data kualitatif, sedangkan dalam menganalisis penelitian ini penulis menggunakan diskriptis analisis. Ibnu Abidin menyatakan tentang tidak adanya iddah untuk wanita hamil karena zina, dalam arti boleh dinikahi oleh orang lain akan tetapi dilarang untuk melakukan hubungan intim sampai wanita hamil karena zina tersebut melahirkan, dengan alasan untuk menjaga kesucian rahim dan agar tidak berkumpul dua sper ma atau lebih dalam satu rahim yang mengakibatkan tercampurnya nasab dan menjadi rusak. Metode istinbath hukum yang digunakan adalah istihsan. karena didalam al Qur’an dan sunah Rosulullah tidak ada keterangan yang mengaturnya, akan teapi ada persamaan illat sama-sama hamil.
Penulis sependapat dengan Pendapat Ibnu Abidin tentang tidak ada iddah wanita hamil karen zina, karena iddah adalah akibat dari putusnya perkawinan, tidak diperbolehkannya disetubuhi setelah dinikah dengan alasan menjaga rahim dan nasap adalah pendapat yang hati- hati dalam pengambilan hukum, memperhatian kepada wanita tersebut agar tidak melakukan zina lagi, dan supaya lembaran baru yang dibuka dengan laki-laki yang menikahi bisa jelas.
viii
junjungan kita Nabi besar Muhammad saw, segenap keluarga, shahabat dan seluruh umatnya.
Adalah suatu kebanggaan tersendiri, jika suatu tugas dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya. Bagi penulis, penyusunan skripsi merupakan suatu tugas yang tidak ringan. Penulis sadar banyak hambatan yang menghadang dalam proses penyusunan skripsi ini, dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis sendiri. Kalaupun akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan, juga karena jasa banyak pihak yang telah mambantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Untuk itu, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan bantuaannya, khususnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang.
2. Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag., selaku Pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan kepada penulis dari awal hingga terselesaikannya skripsi ini.
3. Dr. H. Ali Imron, M.Ag., selaku Pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan kepada penulis dari awal hingga terselesaikannya skripsi ini
4. Kedua orangtuaku tercinta, terima kasih atas cinta tulus yang kau berikan dan
atas curahan segala kasih sayang murni yang tiada habis kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan berhasil meraih gelar sarjana strata satu (S-1).
5. Adik-adikku yang telah memberi semangat selama ini sehingga terdorong
untuk menyusun skripsi ini.
6. ”Seseorang” yang telah memberikan dukungan dan semangat hingga
terselesaikannya skripsi ini.
7. Sahabat-sahabatku dan teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis
ix berkesempatan membacanya.
Pada akhirnya penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa penulisan skripsi ini belum mencapai kesempurnaan dalam arti yang sebenarnya. Namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khusus nya dan
para pembaca umumnya. Amin ....
Semarang, Januari 2010 Penulis
Moch. Asrori NIM. 052111037
i
NOTA PEMBIMBING... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN... v
DEKLARASI... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Tinjauan Pustaka ... 6
E. Metode Penelitian ... 8
F. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG „IDDAH ... 14
A. Pengertian dan Dasar Hukum ’Iddah ... 14
B. Macam- macam ’Iddah ... 19
C. Hikmah ’Iddah ... 24
D. ‘Iddah Perempuan Hamil Karena Zina Dalam Pandangan Ulama. 26 BAB III : PENDAPAT IBNU ABIDIN TENTANG TIDAK ADA „IDDAH WANITA HAMIL KARENA ZINA………. 31
A. Biografi Ibnu Abidin ... 31
B. Pemikiran Ibnu Abidin Tentang Tidak Ada ‘Iddah Bagi Perempuan Hamil Karena Zina ………. 35
ii
TIDAK ADA „IDDAH WANITA HAMIL KARENA ZINA... 46
A. Analisis Terhadap Pendapat Ibnu Abidin Tentang Tidak Ada ‘Iddah Wanita Hamil Karena Zina ... 46
B. Analisis Terhadap Istinbath Hukum Ibnu Abidin Tentang Tidak Ada ‘Iddah Wanita Hamil Karena Zina ... 58
BAB V : PENUTUP ... 64 A. Kesimpulan ... 64 B. Saran-saran ... 65 C. Penutup ... 66 Daftar Pustaka Lampiran-Lampiran
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam mengajak dan menganjurkan umatnya untuk menikah karena itu merupakan cara yang paling tepat untuk menyalurkan kebutuhan biologis seseorang. Selain itu, pernikahan merupakan cara yang ideal bagi suami istri untuk mendapatkan keturunan yang dapat mereka bina secara langsung. Keduanya pun memiliki komitmen untuk menjaga buah hati mereka, menaburkan benih-benih cinta, kasih sayang, kebaikan, kemurahan hati, kesucian, kemuliaan, ketinggian harga diri, dan kemulian jiwa, dengan tujuan agar keturunan mereka itu dapat bangkit menghadapi perkembangan hidup mereka dan memberikan kontribusi positif dalam membangun dan meningkatkan kualitas hidup.
Seperti kita ketahui, Islam memang telah menetapkan cara terbaik untuk menyalurkan kebutuhan biologis, tetapi pada saat yang sama ia melarang umatnya untuk menyalurkan kebutuhan itu dengan cara yang tidak benar. Islam juga melarang umatnya untuk merangsang insting seks dengan segala cara. Hal itu agar insting itu tidak keluar dari jalan yang telah ditetapkan. Karena itu pula, Islam melarang umatnya untuk melakukan pergaulan bebas antar lawan jenis, berdansa, mendengar lagu lagu yang dapat merangsang syahwat, melihat segala sesuatu yang dapat menimbulkan gairah seks, serta semua hal yang dapat memengaruhi
insting seks seseorang, atau memancingnya untuk melakukan zina. Hal itu dilakukan agar dapat mencegah faktor- faktor yang dapat melemahkan pundi-pundi kehidupan rumah tangga, yang sekaligus menjadi faktor
penyebab kerusakan moral.1
Pada dewasa ini pembaharuan hukum Islam telah menjadi suatu kebutuhan di negara-negara muslim. Meskipun pada kenyataannya pembaharuan hukum Islam di negara- negara muslim masih terbatas pada wilayah hukum keluarga, setidaknya fenomena tersebut mencerminkan bahwa aktifitas ijtihad masih tetap hidup pada era globalisasi ini. Karena tanpa adanya ijtihad pasti hukum Islam akan kehilangan sifat elastis dan akomodatifnya dalam merespon permasalahan baru yang muncul seiring dengan perubahan zaman.
Sejalan dengan tuntutan perkembangan jaman, manusia semakin banyak kehilangan nilai- nilai yang diyakini sebelumnya. Manusia semakin dihadapkan pada perbenturan dan erosi nilai- nilai moral dan keluhuran. Budaya yang serba terbuka menjebak manusia hingga berkubang di dunia kemaksiatan.
Pergaulan bebas hingga free sex melanda kalangan muda- mudi
hingga resiko kehamilan di luar nikah. Sementara pihak yang mengalami selalu berusaha untuk menutupi kehamilan di luar nikah tersebut dengan
1Sayyid
terpaksa mengawinkan anak perempuannya dengan laki- laki yang
menghamili maupun yang bukan menghamili.2
Sebenarnya masalah ‘iddah secara umum adalah sesuatu yang
sudah disepakati oleh para ulama selain juga telah dijelaskan di dalam nass
al-Qur‟an maupun Sunnah. Akan tetapi ketika ‘iddah tersebut dihadapkan
pada suatu peristiwa yang tidak lazim, seperti seorang perempuan yang
hamil karena zina maka ‘iddah tersebut menjadi sebuah masalah yang
membutuhkan pengkajian secara cermat.
Bagaimanapun ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina tersebut
akan membawa implikasi pada kebolehan akad nikah, dalam arti syah atau
tidaknya perkawinan tersebut. Selain itu ‘iddah perempuan hamil karena
zina tidak dijelaskan di dalam al-Qur‟an maupun Sunnah sehingga mengundang perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Sementara itu jika meninjau hukum positif di Indonesia ‘iddah bagi
perempuan hamil karena zina secara implisit diatur dalam pasal 53 KHI (Kompilasi Hukum Islam) sebagai berikut :
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria
yang menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
2ibid, hlm . 232.
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.3
Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa perempuan yang dicampuri dalam bentuk zina sama hukumnya dengan perempuan yang dicampuri
secara syubhat, berdasarkan akad yang batil maupun fasid yaitu dia harus
menyucikan dirinya dalam waktu yang sama dengan ‘iddah kecuali jika
dikehendaki untuk dilakukan hadd atas dirinya, maka ia cukup
menyucikan dirinya dengan satu kali haid.4
Ulama Hanabilah menyatakan bahwa ‘iddah perempuan hamil
karena zina seperti halnya ‘iddah yang berlaku bagi isteri yang dicerai oleh
suaminya dalam keadaan hamil yaitu sampai dengan melahirkan.5
Syafi‟iyyah dan Hanafiyyah berpendapat perempuan hamil karena
zina tidak diwajibkan untuk menjalankan ‘iddah, karena ‘iddah bertujuan
untuk menjaga nasab sementara persetubuhan dalam bentuk zina tidak
menyebabkan hubungan nasab dengan laki- laki yang menyebabkan hamil.
Ada pun menurut Syafi‟iyyah tidak ada larangan untuk menggauli
istrinya tersebut meskipun masih dalam keadaan hamil.6
Dari beberapa pendapat Ulama di atas pendapat ibnu abidin yang
berbeda. Tidak ada iddah bagi wanita hamil karena zina tetapi tidak boleh
3
Tim Redaksi FOKUSM EDIA, Kompilasi Hukum Islam, cet. II, (Bandung: Fokusmedia, 2007), hal. 20.
4Muhammad Jawad
Mugniyyah, Al Fiqh ‘Ala Al-Mazhahib Al-Khamsah, Masykur A.B., et al.,” fiqih lima mazhab” cet.III, (Ja karta : PT Lentera Basrita ma,1964), ha l. 474.
5 Ibid.
6 Ibid.
disetubuhi sampai wanita tersebut melahirkan, dengan kata lain akad nikah
wanita hamil karena zina itu syah tetapi tidak halal untuk disetubuhi,
sedangkan dalam hukum pernikahan, wanita yang boleh dinikah dan setelah akad nikah dilaksanakan wanita tersebut halal untuk disetubuhi,
adapun ‘iddah bertujuan untuk menjaga nasab sementara persetubuhan
dalam bentuk zina tidak menyebabkan hubungan nasab dengan laki- laki
yang menyebabkan hamil.
Berangkat dari permasalahan di atas penyusun akan melakukan
analisis terhadap pendapat Ibnu Abidin tentang tidak ada iddah wanita
hamil karena zina.
B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana pendapat Ibnu Abidin tentang tidak adanya iddah wanita
hamil karena zina?
2) Bagaimana istinbath hukum Ibnu Abidin tentang tidak adanya iddah
wanita hamil karena zina?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui lebih dalam mengenai pendapat Ibnu Abidin
tentang tidak ada Iddah perempuan hamil karena zina.
2) Untuk mengetahui istinbath hukum Ibnu Abidin tentang tidak ada
D. Tinjauan Pustaka
Bahan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini membahas
tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina. Dan diantara bahan pustaka
yang akan penulis paparkan di dalam penelitian ini di antaranya adalah
buku Radd al Muhtar. Dalam buku tersebut dijelaskan pendapat Ibnu
Abidin tentang tidak ada iddah bagi wanita hamil karena zina tetapi tidak
boleh di setubuhi sebelum wanita tersebut melahirkan anak yang
dikandungnya.7
Dalam buku Hukum Perkawinan Islam dijelaskan perbedaan
pendapat yang berkembang di kalangan fuqaha’ tentang ‘iddah perempuan
hamil karena zina. Menurut pendapat Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan dan Syafi‟i perkawinan wanita hamil karena zina dengan laki-laki kawan
berzinanya itu dapat dilakukan seketika tanpa harus menunggu sampai melahirkan kandunganya. Sedangkan Abu Yusuf, Zufar, Malik, dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa perempuan yang hamil karena zina
wajib menjalankan ‘iddahyaitu sampai melahirkan. 8
Dalam buku Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, juga
dijelaskan perbedaan pendapat fuqaha’ berkaitan dengan ‘iddah
perempuan hamil karena zina. Selain menjelaskan pendapat fuqaha’
sebagaimana telah dijelaskan dalam buku-buku sebelumnya, dalam buku
7
Ibnu abidin, „Radd al-Muk htar’ala al-Dur al-Muk htar, (Be irut:Dar a l-Ihya‟ al-Turu ki al-„Arabiy,1407 H/1987 M ), 5 ju z. Hlm. 179.
8
Ahmad Azhar Basyir, Huk um Perkawinan Islam, cet. IX (Yogyakarta: UII Press, 1999), hlm.35-36.
ini dijelaskan pendapat An-Nawawi bahwa seorang wanita yang berzina
tidak wajib ber’iddah baik sedang dalam keadaan hamil atau tidak. 9
Ada beberapa kitab fiqh yang menjelaskan masalah ‘iddah
perempuan hamil karena zina, antara lain adalah Kitab al-Fiqh ‘ala
Madhabil al-Arba’ah, dalam juz IV Kitab at-Thalaq. Dijelaskan perbedaan
pendapat tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina. Dari keempat
Imam Mazhab Sunni sebagaimana yang telah dijelaskan dalam buku-buku
sebelumnya. 10
Dalam kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid,
dijelaskan bahwa terjadinya perbedaan pendapat antara yuris Malikiyah
dengan yuris-yuris pada umumnya (jumhur) dalam masalah ‘iddah
perempuan hamil karena zina disebabkan karena perbedaan mereka dalam memahami larangan mengawini wanita yang berzina (Q.S.An-Nur (24): 3), apakah hanya bersifat mencela atau mengharamkan. Sebagian besar mereka menangkap pesan ayat tersebut sebagai celaan saja dengan bukti bahwa pernah terjadi kasus penyelewenga n seorang istri yang disarankan oleh Nabi agar diceraikan tetapi suaminya merasa keberatan hingga
akhirnya Nabi merestui meneruskan rumah tangganya tanpa istibra’ lagi.11
Dalam kitab al-Mughni, dijelaskan pendapat Ulama Hanabilah
bahwa ‘iddah perempuan hamil karena zina seperti ‘iddah yang berlaku
9 Mukhlisin
Muzarie, Kontroversi Pekawinan Wanita Hamil, cet.I(Yogyakarta :Pustaka Dina mika, 2002), hlm. 105-107
10
Abd ar-Rah man a l-Ja ziri, Kitab al-Fiqh ala Mazhahib Arba’ah, (Mesir: Maktabah al-tijariyah al kubra, 1969), jusIV hlm. 519-532.
11
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid,cetII(Be irut : Dar a l-Fikr, 1995), hlm. 32-33.
bagi istri yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil yaitu sampai
melahirkan.12 Kemudian Fiqh as-Sunnah, dalam kitab ini dijelaskan
bahwa menurut Ulama Hanafiyyah dan Syafi‟iyyah perempuan hamil
karena zina tidak diwajibkan ‘iddah karena ‘iddah bertujuan untuk
menjaga nasab sedangkan persetubuhan dalam bentuk zina tidak
menyebabkan hubungan nasab dengan laki- laki yang menyebabkan
hamil.13 Sedangkan menurut Malik dan Ahmad perempuan hamil karena
zina wajib menjalankan ‘iddah, baik dengan tiga kali haid atau cukup
sekali haid untuk mengetahui kebersihan rahim.
Buku Hukum islam di Indonesia.14 Dalam tulisan ahmad rofiq
tentang “Materi KHI (Kompilasi Hukum Islam)” dijelaskan kebolehan
mengawini wanita hamil karna zina dengan laki- laki yang menghamilinya tanpa menunggu kelahiran anak yang dikandungnya. Selain itu tujuan utama kebolehan kawin hamil adalah untuk memberikan perlindungan hukum kepada anak yang berada dalam kandungan.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research),
yaitu suatu jenis penelitian yang di dalam memperoleh bahan
12
Ibn Qudamah, al-Mughni, (Bairut, Maktabah al Ju mhuriyah al Arabiyah, 1986), jus VI, hlm. 601-602.
13As-Sayyid Sabiq,Fiqh as-Sunnah
, cet IV (Beirut: Dar al fikr, 1983), jus II, hlm. 282-283.
14
Ahmad rofiq, Huk um Islam Di Indonesia, cet. III, (Jaka rta, PT Raja Gra findo Persada, 1998), hal. 164.
dilakukan dengan cara menelusuri bahan-bahan pustaka.15 Dalam penelitian ini cukup ditempuh dengan penelitian pustaka karena sebagian besar data yang diperlukan berasal dari bahan pustaka, baik berupa buku maupun hasil penelitian. Misalnya untuk mendiskripsikan
‘iddah perempuan hamil karena zina dapat diperoleh dari kitab-kitab
fiqih dan buku-buku yang membahas tentang hukum perkawinan.
2. Sumber Data
Untuk memudahkan mengidentifikasi sumber data, maka penulis mengklasifikasikan sumber data tersebut menjad i dua jenis sumber data, yaitu:
a. Sumber Data Primer
Data primer adalah data penelitian langsung pada subyek
sebagai sumber informasi yang diteliti.16 Adapun sumber data
dalam penelitian skripsi ini adalah buku tentang pengertian iddah
dan pendapat Ibnu Abidin tentang tidak ada iddah bagi wanita
hamil karena zina dalam Kitab Radd al-Muhtar. Data primer ini penulis paparkan di bab III.
b. Sumber Data Sekunder
Yakni data yang mendukung atau data tambahan bagi data primer. Data sekunder merupakan data yang tidak langsung diperolah oleh peneliti dari subyek penelitiannya. Sebagai data
15 Sutrisno Hadi, Metodologi Resesrch, Jilid I, (Yogyaka rta: Penerbit Andi, 2001), hlm 9
16 Ba mbang Sunggono, Metodologi Penelitin Hukum, ( Jaka rta: PT. Raja Gra findo Persada, 2005),hlm.185
sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku lain yang berisi
tentang hukum perkawinan Islam, ketentuan iddah wanita hamil
menurut Islam, dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) serta buku-buku yang ada kaitanya dengan permasalahan yang penulis bahas dalam sekripsi ini.
Data-data skripsi ini penulis paparkan di bab II dan bab I.
3. Metode Pengumpulan Data
Data yang penulis perlukan dalam sekripsi ini merupakan data kualitatif, dan pemaparan tidak menggunakan angka dan statistik. Untuk pendapatkan data tersebut penulis menggunakan metode dokumentasi, yaitu dengan cara mengumpulkan berbagai informasi dari buku-buku atau karya ilmiah yang berkaitan dengan pembahasan
sekripsi ini.17
4. Metode Analisis Data
Secara garis besar, analisis yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan diskriptis analisis,18 yakni suatu metode dalam meneliti
status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian dengan metode deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi atau gambaran, atau lukisan secara s istematis, factual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara
17 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Prak tek , (Jaka rta: Rineka Cipta, 2006), h lm.4
18 Le xy J. Mo leong, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet XIII, (Bandung: Re ma ja Rosada Karya, 2000), hlm. 6
fenomena yang diselidiki.19 setelah penulis mendapatkan data-data yang relevan tentang bagaimana pendapat Ibnu Abidin tentang tidak ada iddah wanita hamil karena zina dan juga informasi tentang istimbat hukum yang digunakan, juga pendapat para ahli hukum islam yang relevan dengan kajian skripsi ini, kemudian penulis menganalisis. Hasil analisis data ini penulis paparkan di babIV.
E. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam memahami, mencerna dan mengkaji masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini, maka penulis menyusun skripsi ini dengan sistematika sebagai berikut:
1. Bagian muka
Pada bagian muka ini dimuat: halaman judul, nota pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, halaman deklarasi, abstrak, kata pengantar, daftar isi.
2. Bagian Isi (Batang Tubuh)
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang permasalahan; permasalahan skripsi; tujuan penelitian; telaah
pustaka; metode penelitian; serta sistematika
penulisan.
19
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG „IDDAH
Bab ini meliputi: Pengertian dan dasar hukum „iddah; Macam- macam „iddah; hikmah „iddah; „iddah perempuan hamil karena zina dalam pandangan ulama
BAB III PENDAPAT IBNU ABIDIN TENTANG TIDAK
ADA IDDAH PEREMPUAN HAMIL KARENA ZINA
Bab ini memaparkan mengenai biografi Ibnu Abidin; pemikiran Ibnu Abidin tentang tidak ada „iddah bagi perempuan hamil karena zina; Metode Istinbath hukum Ibnu Abidin tentang tidak ada „iddah bagi perempuan hamil karena zina.
BAB IV ANALISIS PENDAPAT IBNU ABIDIN
TENTANG TIDAK ADA IDDAH PEREMPUAN
HAMIL KARENA ZINA
Merupakan Bab yang akan menjadi obyek kajian analisis. Analisis ini meliputi: Analisis Terhadap
Pendapat Ibnu Abidin Tentang Tidak Ada Iddah
Wanita Hamil Karena Zina; Analisis Terhadap Istinbath Hukum Ibnu Abidin Tentang Tidak Ada
BAB V PENUTUP
Pada bab ini diuraikan kesimpulan akhir dari keseluruhan isi skripsi, saran-saran, dan penutup
3. Bagian Penutup
Pada bagian akhir skripsi ini berisi: daftar pustaka, lampiran-lampiran, dan daftar riwayat hidup penulis
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ‘IDDAH
Bagi seorang perempuan yang putus perkawinannya baik karena talak,
fasakh, khulu‟, li‟an maupun ditinggal mati oleh suaminya maka wajib
menjalankan „iddah. Akan tetapi ketentuan ini tidak berlaku bagi laki- laki
berdasarkan makna „iddah menurut istilah, sehingga dibolehkan bagi laki- laki
untuk menikah secara langsung dengan perempuan lain setelah perceraian selama tidak ada larangan syara‟. Secara sepintas memang tampak adanya diskriminasi
terhadap perempuan berkaitan dengan masalah kewajiban „iddah ini, akan tetapi
sebenarnya terdapat hikmah yang agung dibalik penetapan „iddah bagi
perempuan.1
Untuk dapat memahami hikmah tersebut maka di dalam bab kedua ini akan
diberikan gambaran umum tentang „iddah yang mencakup pengertian dan dasar
hukum „iddah, macam- macam „iddah, hikmah „iddah dan „iddah perempuan
hamil karena zina dalam pandangan ulama.
A. Pengertian Dan Dasar Hukum Iddah
Menurut bahasa kata „iddah berasal dari kata al-„adad. Sedangkan
kata al-„adad merupakan bentuk masdar dari kata kerja „adda-ya‟uddu yang
berarti menghitung. Kata al-„adad memiliki arti ukuran dari sesuatu yang
dihitung dan jumlahnya. Adapun bentuk jama‟ dari kata al-„adad adalah
1
Abdul Moqsith Ghaza li dkk,Tubuh, Sek sualitas,dan Kedaulatan Perempuan, editor : Amiruddin Arani dan Faqihudin Abdul Qodir,cet.I(Yogyakarta:LKIS,2002), h lm.162 -167.
a’dad begitu pula bentuk jama‟ dari kata „iddah adalah al-„idad. Secara (etimologi) berarti: “menghitung” atau “hitungan”. Kata ini digunakan untuk maksud Iddah karena masa itu si perempuan yang beriddah menunggu
berlakunya waktu.2
Menurut Sayyid Sabiq yang dimaksud dengan „iddah dari segi bahasa
adalah perempuan (isteri) menghitung hari-harinya dan masa bersihnya.3
Sementara al-Jaziri menyatakan bahwa kata „iddah mutlak digunakan untuk
menyebut hari-hari haid perempuan atau hari- hari sucinya.4
Dari sisi terminologi maka terdapat beberapa definisi „iddah yang
dikemukakan oleh para fuqaha. Meskipun dalam redaksi yang berbeda, berbagai definisi tersebut memiliki kesamaan secara garis besarnya.
Menurut al-Jaziri„iddah secara syar‟i memiliki makna yang lebih luas
dari pada makna bahasa yaitu masa tunggu seorang perempuan yang t idak hanya didasarkan pada masa haid atau sucinya tetapi kadang-kadang juga didasarkan pada bilangan bulan atau dengan melahirkan dan selama masa
tersebut seorang perempuan dilarang untuk menikah dengan laki- laki lain.5
Sementara itu Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa „iddah merupakan
sebuah nama bagi masa lamanya perempuan (isteri) menunggu dan tidak
boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah pisah dari suaminya.6
2
Amir Syarifuddin, Huku m Perkawinan Isla m di Indonesia, (Ja karta: Kencana, 2006), hlm. 303
3
As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, II (Jaka rta:PT Pena Pundi Aksara),h lm. 277.
4
Abd ar-Rah man al-Jaziri, Kitab al-Fiqh,(mesir: maktabah at tijariyah al kubra,1969), IV , hlm. 513
5 Ibid 6
Abu Yahya Zakariyya al-Ansari memberikan definisi „iddah sebagai masa tunggu seorang perempuan untuk mengetahui kesucian rahim atau
untuk ta‟abbud (beribadah) atau untuk tafajju‟ (bela sungkawa) terhadap
suaminya.7
Muhammad Zaid al-Ibyani menjelaskan bahwa „iddah memiliki tiga
makna yaitu makna secara bahasa, secara syar‟i dan dalam istilah fuqaha. Menurut makna bahasa berarti menghitung sedangkan secara syar‟i adalah masa tunggu yang diwajibkan bagi perempuan ketika terdapat sebab. Adapun
dalam istilah fuqaha, „iddah yaitu masa tunggu yang diwajibkan bagi
perempuan ketika putus perkawinan atau karena perkawinannya syubhat.8
Dari berbagai definisi „iddah yang telah dikemukakan diatas maka
dapat dirumuskan sebuah pengertian yang komprehensif tentang „iddah yaitu
masa tunggu yang ditetapkan bagi perempuan setelah kematian suami atau putus perkawinan baik berdasarkan masa haid atau suci, bilangan bulan atau
dengan melahirkan untuk mengetahui kesucian rahim, beribadah (ta‟abbud)
maupun bela sungkawa atas suaminya. Selama masa tersebut perempuan (isteri) dilarang menikah dengan laki- laki lain.
Kewajiban menjalankan „iddah bagi seorang perempuan setelah
kematian suaminya atau setelah berpisah dengan suaminya dijelaskan di
dalam al-Qur‟an maupun Sunnah. Diantara nash al-Qur‟an yang menjelaskan
tentang „iddah antara lain :
7
Abu Yahya Zakariyya al-Ansari, Fath al-Wahhab, cet. II, (Se marang : Toha Putra, 1998), hal. 103.
8
Muhammad Za id a l-Ibyani, Syarh al-Ahk am asy-Syari‟ah fi Ahwal asy-Syak hsiyyah,( Be irut : Maktabah an-Nahdah, t.t), I : 426
Q. S. Al-Baqarah ayat 228.
Artinya : “Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka
(menunggu) tiga kali quru‟.”9 Q. S. Al-Baqarah ayat 234.
Artinya : “Dan orang-orang mati diantara kamu serta meninggalkan
istri-istri hendaklah mereka (istri-istri-istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari”.10 Q. S. Al-Ahzab ayat 49.
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa iddah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan”.11
Q. S. Al- Talaq ayat 4.
Artinya :“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di
antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungnnya”.12
9
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Jakarta:CV. Pustaka Agung Harapan, 2006), hlm.228 10 Ibid, hlm. 234 11 Ibid, hlm. 49 12 Ibid, hlm. 4
Sementara itu masalah „iddah juga dijelaskan dalam Sunnah Nabi :
رهشا ةعبرا جوز ىلع لاا لاًل ثلاث قىف تًم ىلع دتح نا رخلاا مىًلاو للهااب نمؤت ةأرملإ ليح لا
ارشعو
.
Artinya : “Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman pada Allah
dan hari akhir untuk berhias diri atas seorang manyit lebih dari tiga malam kecuali atas seorang suami yaitu empat bulan sepuluh hari”. 13
Nash al-Qur‟an maupun Sunnah diatas merupakan dasar hukum
penetapan „iddah. Berdasarkan Nash al-Qur‟an dan Sunnah tersebut maka
para ulama telah sepakat (ijma‟) bahwa „iddah hukumnya wajib. Mereka
hanya berbeda dalam masalah tafsil (perincian ) dalam beberapa persoalan saja.
Selama dalam ketentuan „iddah yang telah dijelaskan oleh Nash
al-Qur‟an maupun Sunnah tidak banyak mengundang perbedaan pendapat
dikalangan ulama. Tetapi ketika ketentuan „iddah tersebut dihadapkan pada
suatu persoalan yang belum ada penjelasannya baik dalam al-Qur‟an maupun
Sunnah seperti „iddah bagi perempuan hamil karena zina telah menimbulkan
perbedaan pendapat dikalangan ulama sebagaimana akan dibahas nanti.
B. Macam–macam ‘Iddah
Berdasarkan penjelasan tentang „iddah yang terdapat dalam nas
al-Qur‟an maka para fuqaha dalam kitab-kitab fikih membagi „iddah menjadi
tiga yaitu berdasarkan masa haid atau suci, bilangan bulan dan dengan
melahirkan. Kalau dicermati penentuan „iddah itu sendiri sebenarnya
13
Tirmizi, Sunan at-Tirmizi, (Makkah : Maktabah al Tijariyyah, t.t), jus III, hlm. 500. Hadis nomor 1196. Hadis diriwayatkan oleh Zainab.
disesuaikan dengan sebab putusnnya perkawinan, keadaan isteri dan akad
perkawinan.14
Sebab putusnya perkawinan dapat dibedakan karena kematian suami,
talaq bain sughra maupun kubra dan faskh (pembatalan) seperti murtadnya
suami atau khiyar bulug perempuan.
Keadaan isteri dapat dibedakan menjadi isteri yang sudah dicampuri atau belum, isteri masih mengalami haid atau belum bahkan sudah menopause, isteri dalam keadaan hamil atau tidak, isteri seorang yang merdeka atau dari hamba sahaya, dan isteri seorang muslim atau kitabiyah.
Sedangkan ditinjau dari jenis akad maka dapat dibagi menjadi akad shahih dan akad fasid.
Secara umum maka „iddah dapat dibedakan sebagai berikut :
„Iddah seorang isteri yang masih mengalami haid yaitu dengan tiga kali haid
„Iddah seorang isteri yang sudah tidak haid (menopause) yaitu tiga bulan
„Iddah seorang isteri yang ditinggal mati oleh suaminya adalah empat bulan sepuluh hari jika ia tidak dalam keadaan hamil
„Iddah seorang isteri yang hamil yaitu sampai melahirkan.15
Adapun secara rinci pembagian „iddah dapat dijelaskan sebagai
berikut:
14
Muhammad Zaid a l-Ibyani, Syarh al-ahk am asy-syari‟ah fi ahwal asy-syak hsiyyah, (Be irut:Ma ktabah an nahdah, t.t), jus I, h lm. 429
15
1. „Iddah berdasarkan haid
Apabila terjadi putus perkawinan disebabkan karena talaq baik raj‟i maupun bain, baik bain sughra maupun kubra atau karena fasakh
seperti murtadnya suami atau khiyar bulug dari perempuan sedangkan
isteri masih mengalami haid maka „iddahnya dengan tiga kali haid. Akan
tetapi hal tersebut berlaku bagi seorang isteri yang memenuhi syarat-syarat diantaranya :
a. Isteri yang merdeka, sedangkan bagi isteri yang hamba sahaya
„iddahnya selesai dengan dua kali haid.
b. Isteri tersebut dalam keadaan tidak hamil. Sedangkan apabila ia
hamil „iddahnya selesai sampai ia melahirkan.
c. Isteri tersebut telah dicampuri secara hakiki berdasarkan akad yang
shahih. Ulama Hanafiyyah, Hanabilah, dan Khulafa ar-Rasyidun berpendapat bahwa khalwat berdasarkan akad yang sahih dianggap
dukhul yang mewajibkan „iddah. Sedangkan ulama Syafi‟iyyah
dalam mazhab yang baru (qaul al-jadid) berpendapat bahwa
khalwat tidak mewajibkan „iddah.16
Penetapan „iddah dengan haid ini juga berlaku bagi isteri yang
ditinggal mati oleh suaminya dan ia tidak dalam keadaan hamil dalam
dua keadaan. Pertama, apabila ia dicampuri secara syubhat dan sebelum
putus perkawinannya suaminya meninggal maka ia wajib ber‟iddah
berdasarkan haid. Kedua, apabila akadnya fasid dan suaminya meninggal
16
maka ia ber‟iddah dengan berdasarkan haid tidak dengan empat bulan sepuluh hari yang merupakan „iddah atas kematian suami karena hikmah
„iddah di sini adalah untuk mengetahui kebersihan rahim dan tidak untuk berduka terhadap suami karena dalam hal mencampuri secara syubhat tidak ada suami dan dalam akad yang fasid tidak ada suami secara syar‟i
maka tidak wajib berduka atas suami. 2. „Iddah berdasarkan bilangan bulan.
Apabila perempuan (isteri) merdeka dalam keadaan tidak hamil dan telah dicampuri baik secara hakiki atau hukmi dalam bentuk perkawinan sahih dan dia tidak mengalami haid karena sebab apapun baik karena dia masih belum dewasa atau sudah dewasa tetapi telah menopause yaitu sekitar umur 55 tahun atau telah mencapai umur 15 tahun dan belum haid kemudian putus perkawinan antara dia dengan suaminya karena talak, atau fasakh atau berdasarkan sebab-sebab yang
lain maka „iddahnya adalah tiga bulan penuh berdasarkan firman Allah
dalam Surat at-Talaq (65): 4. Dalam hal ini bagi perempuan yang
ditinggal mati oleh suaminya dan ia tidak dalam keadaan hamil dan
masih mengalami haid „iddahnya empat bulan sepuluh hari berdasarkan
firman Allah dalam Surat al- Baqarah (2) : 234. 3. „Iddah karena kematian suaminya.
Sementara itu jika putusnya perkawinan disebabkan karena
kematian suami maka apabila isteri dalam keadaan hamil „iddahnya
bahwa masa „iddah perempuan tersebut adalah sampai melahirkan, meskipun selisih waktu kematian suami hingga ia melahirkan hanya setengah bulan atau kurang dari empat bulan sepuluh hari. Sementara
menurut Malik dan Ibn „Abbas dan Ali bin Abi Talib masa „iddah
perempuan tersebut diambil waktu yang terlama dari dua jenis „iddah
tersebut apakah empat bulan sepuluh hari atau sampai mela hirkan.17
Menurut jumhur ulama antara lain Hanafiyyah dan jumhur shahabat telah diriwayatkan bahwa Umar dan Abdullah bin Mas‟ud dan Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Umar dan Abu Hurairah mengatakan : “
„iddahnya ialah dengan melahirkan kandungan yang ada d i dalam perutnya meskipun suaminya ketika itu masih berada di atas kasur tempat membaringkan mayatnya.” Ini berarti bahwa ayat dari Surat at-Talaq
mentakhsis ayat Surat al- Baqarah yang menjelaskan „iddah bagi isteri
yang ditinggal mati oleh suaminya adalah empat bulan sepuluh hari. Hal
ini karena ayat Surat at-Talaq diturunkan setelah ayat Surat al-Baqarah.18
Dan bagi isteri yang tidak dalam keadaan hamil „iddahnya adalah
empat bulan sepuluh hari berdasarkan Surat al-Baqarah (2) : 234. Dalam hal ini tidak ada perbedaan baik isteri masih kecil atau sudah dewasa, muslim atau kitabiyah begitu pula apakah sudah melakukan hubungan
atau belum karena „iddah dalam kondisi seperti ini adalah untuk
menunjukkan kesedihan dan rasa belas kasih atas kematian suami sehingga disyaratkan bahwa akadnya sahih, jika akadnya fasid maka
17
Ibn Rusyd, Bidayatul mujtahid, cet. II, (Ja karta : Pustaka A min, 2006), hlm. 77.
18
Muhammad Yusuf Musa, Ahk am al-Ahwal asy-Syakhsiyyah fi Fiqh al-Islami, cetI (Mesir : Dar a l-Kitab al-„Arabi, 1957M/1376H), hlm.349
„iddahnya dengan haid karena untuk mengetahui kebersihan rahim. Semua ketentuan ini adalah bagi isteri yang merdeka sementara jika isteri
adalah hamba sahaya dan hamil maka „iddahnya sama dengan isteri yang
merdeka yaitu sampai melahirkan dan jika tidak hamil dan masih
mengalami haid „iddahnya adalah dua kali haid berdasarkan hadis Nabi :
Artinya : “Bilangan talaq untuk perempuan hamba sahaya adalah dua kali
dan iddahnya dua kali haid”.19
4. „Iddah bagi isteri qabla ad-dukhul
Adapun jika putusnya perkawinan terjadi sebelum dukhul
(hubungan seks) apabila disebabkan oleh kematian suami maka wajib bagi isteri untuk ber‟iddah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Dan jika putusnya perkawinan disebabkan karena talaq atau fasakh maka
tidak ada kewajiban „iddah bagi isteri. Jika nikahnya berdasarkan akad
sahih tidak disyaratkan adanya hubungan seks (dukhul) hakiki akan tetapi
adanya khalwat shahih sudah mewajibkan untuk ber‟iddah sebaliknya
jika berdasarkan akad fasid maka tidak wajib ber‟iddah kecuali telah
terjadi dukhul hakiki (hubungan seks). Dan tidak ada kewajiban „iddah
bagi isteri yang dicerai sebelum dicampuri (qabla ad-dukhul)
berdasarkan firman Allah dalam Surat al-Ahzab (33) : 49.20
19
Amir Syarifuddin, Huk um Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: kencana,2006), hlm. 315
20
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa iddah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan”.21
C. Hikmah ‘Iddah
Perlu dimengerti bahwa Allah tidaklah meninggalkan perintah bagi kita maupun kaidah-kaidah penetapan hukum kecuali di dalamnya terdapat hikmah yang tinggi untuk menolong manusia di dunia maupun akhirat.
Adapun hikmah disyari‟atkannya „iddah antara lain :
1. Mengetahui kebersihan rahim dan kesuciannya sehingga tidak
berkumpul benih dua laki- laki dalam satu rahim yang menyebabkan bercampurnya keturunan.
2. Menunjukkan penghormatan terhadap akad dan mengagungkannya.
3. Memperpanjang waktu untuk ruju‟ bagi suami yang menjatuhkan talaq
raj‟i.
4. Menghormati hak suami yang meninggal dengan menunjukkan rasa
sedih atas kepergiannya.
5. Kehati- hatian (ihtiyat) terhadap hak suami yang kedua.
6. Memberikan kesempatan kepada keduanya secara bersama-sama untuk
memulai kehidupan keluarga dengan akad baru jika dalam bentuk talak ba‟in.
21
7. Ihdad bagi isteri atas kematian suaminya.
8. Memuliakan isteri merdeka dari pada isteri hamba sahaya.
9. Perlindungan terhadap penyakit seks menular.
Sebenarnya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam bidang kedokteran, untuk mengetahui hamil atau tidaknya seorang perempuan tidak harus menunggu minimal sampai satu kali haid, akan tetapi dalam hal ini terdapat hikmah bahwa diantara maksud
ditetapkannya „iddah adalah untuk memberikan waktu bagi kedua belah pihak
untuk saling berpikir dan introspeksi terhadap diri sehingga dapat membenahi dan mewujudkan kembali kehidupan rumah tangga yang bahagia. Selain itu dengan ditetapkannya „iddah menunjukkan bahwa ikatan perkawinan adalah
ikatan yang kokoh dan suci ( misaqan galizan) yang tidak mudah putus hanya
dengan jatuhnya talak. 22
D. ‘Iddah Pere mpuan Hamil Karena Zina dalam Pandangan Ulama
Sepanjang kedua jenis „iddah bagi perempuan hamil sebagai akibat
dari perkawinan yang sah, baik karena kematian suaminya atau talak tidak begitu banyak mengundang kontroversi karena masing- masing telah
dijelaskan oleh nass secara eksplisit. Akan tetapi dalam hal ‟iddah bagi
perempuan hamil karena zina maka tidak ada penjelasan secara eksplisit oleh
nass. Sebagai konsekuensinya maka muncul perbedaan pendapat di kalangan
ulama tentang ada tidaknya kewajiban „iddah bagi perempuan tersebut
22
Ali Ah mad al-Jurjawi, Hik mah at-Tasyri‟ wa Falsafatuh, (Bairut : Da r a l-Fikr,t.t), jus II , hal. 84-85.
ataupun tenggang waktu masa „iddah tersebut. Pada dasarnya ulama telah sepakat bahwa jika perempuan hamil karena zina menikah dengan orang yang
menghamilinya tidak berlaku kewajiban „iddah. Sedangkan jika perempuan
hamil karena zina menikah dengan laki- laki yang tidak menghamilinya maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama sebagai berikut :
1. Pandangan ulama Malikiyyah terhadap „iddah perempuan hamil karena
zina.
Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa perempuan yang dicampuri dalam bentuk zina sama hukumnya dengan perempuan yang dicampuri secara syubhat, berdasarkan akad yang batil maupun fasid yaitu dia harus menyucikan dirinya dalam waktu yang sama dengan
„iddah kecuali jika dikehendaki untuk dilakukan hadd atas dirinya, maka
ia cukup menyucikan dirinya dengan satu kali haid.23 Adapun bagi
perempuan hamil karena zina maka perempuan tersebut wajib
menjalankan „iddah dengan tiga kali haid atau dengan tenggang waktu
tiga bulan, baik bagi perempuan yang telah tampak kehamilannya maupun belum.
Sedangkan untuk menghindari bercampurnya keturunan. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa seorang perempuan hamil karena zina
maka ketentuan „iddahnya adalah sampai dengan melahirkan.24
Berdasarkan firman Allah :
23
Muhammad Ja wad al-Mugniyyah, al-Ahwal asy-Syak hsiyyah, cet. I (Bairut : Dar a l-„Ilmi li al-Malay in, 1964), hlm. 152-153.
24
Q.S. At-Talaq ayat 4.
…
….Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka
itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”25
2. Pandangan ulama Hanafiyyah terhadap „iddah perempuan hamil karena
zina
Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa perempuan hamil karena
zina tidak diwajibkan untuk menjalankan „iddah, karena „iddah bertujuan
untuk menjaga nasab sementara persetubuhan dalam bentuk zina tidak menyebabkan hubungan nasab dengan laki–laki yang menyebabkan hamil. Sehingga boleh menikahi perempuan hamil karena zina tanpa
harus menunggu „iddah.26
Sebagian ulama Hanafiyyah menambahkan bahwa terdapat larangan bagi suami untuk menggauli isterinya itu selama masih dalam
keadaan hamil sampai isterinya melahirkan.27 Adapun larangan untuk
mencampuri selama perempuan tersebut masih dalam keadaan hamil didasarkan pada hadis:
هيرغ دلو هأم ٌقسي لاف رخ لاا مىًلاو للهاب نمؤي ناك نم
Artinya : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir
janganlah menyiramkan air seperma kepada anak orang lain”.28
25
Depag RI, Op.Cit. hlm. 817
26
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara), jusII, h lm. 282-283.
27 Ibid.
28
3. Pandangan ulama Syafi‟iyyah terhadap „iddah perempuan hamil karena zina.
Menurut ulama Syafi‟iyyah perempuan yang dicampuri secara
zina maka tidak ada kewajiban „iddah baginya dan diperbolehkan untuk
menikahi perempuan hamil karena zina serta mencampurinya.29 Pendapat
ini didasarkan pada hadis :
للالحا مارلحا مريحلا
Artinya : “perkara yang haram itu tidak bisa menghalangi perkara
yang halal”.30
Karena mencampuri dalam bentuk zina tidak menyebabkan hubungan nasab maka tidak diharamkan menikahi perempuan tersebut
seperti halnya jika tidak hamil.31
4. Pandangan ulama Hanabilah terhadap „iddah perempuan hamil karena
zina
Ulama Hanabilah menyatakan bahwa „iddah perempuan hamil
karena zina seperti halnya „iddah yang berlaku bagi isteri yang dicerai
oleh suaminya dalam keadaan hamil yaitu sampai dengan melahirkan.32
Selain itu masih terdapat satu syarat lagi yaitu taubat. Konsekuensi dari pendapat ini adalah larangan untuk menikahi perempuan tersebut pada waktu hamil. Pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi :
29
Abd ar-Rah man al-Ja ziri, Kitab al-Fiqh, (mesir: maktabah at tijariyah al kubra,1969), jusIV, hlm. 523.
30
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Beirut : Dar a l-Fikr, t.t.), jus 1, hal. 622, Had is nomor 2041. Hadis diriwayatkan dari Ibn „Umar.
31
Ibn Quda mah, Op. cit., h lm. 601.
32
يرغ عرز هءام ىقسي نا رخلآا مىًلاو للهاب نمؤي ئرملإ ليحلا
Artinya : “tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada allah dan
hari akhir, menyiramkan benih (air sperma) ketanaman orang lain”.33
Perbedaan pendapat yang muncul di kalangan ulama di atas kalau dikelompokkan dapat dibagi menjadi dua yaitu pendapat yang mewajibkan „iddah dan tidak mewajibkan „iddah terhadap perempuan hamil karena zina. Sementara mengenai dengan siapa perempuan hamil tersebut akan dikawinkan, apakah dengan laki- laki yang menghamili atau bukan sehingga mempengaruhi boleh dan tidaknya mencampuri perempuan tersebut pada waktu hamil, tidak ada penjelasan secara eksplisit.
Dari sisi sosiologi memang pendapat yang tidak mewajibkan adanya
„iddah (Hanafi dan Syafi’i) menguntungkan pihak wanita karena dapat
menutup aibnya dan tidak menanggung malu. Sedangkan pendapat Malik dan
Ahmad yang mewajibkan adanya „iddah jika ditinjau dari segi tegaknya
hukum, cukup positif, karena orang lebih berhati- hati dalam pergaulan, baik bagi muda- mudi maupun orang tua dalam mengawasi putera-puteri mereka. Di sini orang yang terlanjur melakukan zina sampai hamil memang dikorbankan, akan tetapi menjaga masyarakat banyak lebih utama dari pada perorangan. Biarlah satu orang menjadi korban, tetapi masyarakat tetap baik
dan kasusnya menjadi pelajaran.34
33
Abi Dawud Sula iman, Sunan Abi Dawud, (t.tp.: Dar a l-Fikr, t.t.), II: 248. Had is nomor 2158. Hadis diriwayatkan oleh Ruwaifi‟ bin Sabit al-Ansari. hal. 113
34
Chuza imah T. Yanggo dan Hafiz Anshary A.Z (ed), Problematik a Huk um Islam Kontemporer II,cet.II ( Jaka rta : Pustaka Firdaus, 1996), hlm.55
BAB III
PENDAPAT IBNU ABIDIN TENTANG TIDAK ADA IDDAH
WANITA HAMIL KARENA ZINA
A. Biografi Ibnu Abidin
Ibnu Abidin nama lengkapnya adalah Muhammad Amin bin Umar ibn Abdul Aziz Abidin Damasqy. Ia dilahirkan pada tahun 1198 H dan wafat pada tahun 1252 H. Beliau merupakan ahli fiqih di Syam, pemuka golongan hanafiyah pada masanya. Ibnu Abidin merupakan tokoh fiqih pada masa keenam (658 H sampai akhir abad ke 13 H) yaitu masa pemerintahan Abdul Hamid I (dinasti Usmaniyah).
Muhammad Amin yang terkenal dengan nama Ibnu Abidin dalam
menulis kitab Radd al muhtar Syarah Tanwir al Absar dalam keadaan
pergolakan politik yang tidak menentu, baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang padawaktu itu terjadi pererangan antara Dinasti umaniyah dan Bangsa Tartar.
Sejak kecil beliu sudah mengenal pendidikan agama secara langsung dari ayahnya yang dilanjutkan oleh gurunya, yaitu Umar ibnu Abdul Aziz. Beliau menghafal Al-Qur‟an pada usia yang masih sangat muda. Ayahnya adalah seorang pedagang, sehingga ibnu Abidin sering diajak ayahnya untuk berdagang sekaligus dilatih berdagang oleh ayahnya.
Pada suatu hari, ketika beliau sedang membaca Al-Qur‟an ditempat ayahnya berdagang, tiba-tiba lewatlah seorang laki- laki dari kalangan orang saleh dan ia (orang saleh itu) mengomentari bacaan Al-Qur‟an Ibnu Abidin
dengan dua komentar, yang akhirnya menghantarkan ibnu Abidin menjadi ulama terkenal. Dua komentar tersebut adalah:
1. Dia (Ibnu Abidin) tidak tartil dalam membaca Al-Qur‟an dan tidak
menggunakan tajwid sesuai dengan hukum- hukumnya.
2. Kebanyakan manusia tidak sempat untuk mendengarkan bacaan
Al-Qur‟an karena kesibukannya dalam berdagang. Jika tidak mendengar bacaan Al-Qur‟an tersebut maka ia berdosa. Begitu juga dengan Ibnu Abidin berdosa karena membuat mereka berdosa tidak mendengarkan bacaan Al-Qur‟an.
Maka bangkitlah Ibnu Abidin seketika itu dan langsung bertanya kepada orang saleh tadi tentang ahli qiraah saat itu, yaitu syaikh al-Hamawi,
maka pergilah Ibnu Abidin kepadanya dan meminta agar diajari ilmu tajwid
dan hukum- hukum qira’ati.
Sejak saat itu ibnu abidin tidak pernah meluangkan waktunya kecuali untuk belajar. Maka Imam Hamawi memerintahkan untuk menghafal Al-Jauziyah dan Syapifibiyah kemudian ia belajar nahwu dan shorof dan tak ketinggalan fiqih. Saat itu ia pertama kali be lajar fiqih adalah fiqih yang
bermadzhab Syafi‟i. 1
Bermula dari seorang guru al- Hamawi itulah beliau menjadi ulama yang sangat terkenal. Setelah ia menguasai dengan matang ilmu tajwid dan hokum qiraah serta ilmu fiqih terutama fiqih dari madzhab Syafi‟i pada imam al- Hamawi, seorang ahli qiraah pada saat itu Ibnu Abidin tidak
1
Muhammad Sahir bi Ibn Abidin, Radd al-Muhtar, (Bairut : Da r a l-Kitab a l-Ilmiah, 1994), jus I, hlm.53
berhenti sampai disitu saja, akan tetapi ia melanjutkan menuntut ilmu
dengan belajar hadits, tafsir dan manteq (logika) kepada seorang guru yaitu
Syaikh Muhammad Al- Salimi al-Amirri al- Aqd. Al-Alimi adalah seorang penghafal hadits, dia menyarankan kepada ibnu Abidin belajar fiqih abu Hanifah. Ibnu Abidin mengikuti nasehat itu dan belajar kitab-kitb fiqih dan ushul fiqih madzhab Hanafi. Ia terus menggali berbagai ilmu sampai menjadi tokoh aliran pada saat itu. Tidak hanya sampai di situ kemudian ia pergi ke Mesir dan belajar pada syaikh al-Amir al-Mughni sebagaimana ia belajar kepada syaikh ahli hadits dari syam, yaitu syaikh Muhammad al-Kasbari, ia tak henti- hentinya meraih keluasan dalam mengembangkan ilmu dengan mengkaji dan mengarang, sampai pada suatu ketika ia ditunjukkan pada suatu daerah yaitu Bannan. Di daerah Bannan ini ia mendapatkan pelajaran dari para tokoh ulama seperti syaikh Abdul Mughni al-Madani,
Ahmad Affandi al-Istambuli dan lain- lain.2
Dasar yang melatarbelakangi masyhurnya/terkenalnya Ibnu Abidin adalah pendidikan yang keras dan disiplin dari orang tuanya dan didukung oleh sikap dan kemauannya yang sangat keras dalam menuntut ilmu, diskusi-diskusi dia lakukan dengan para ulama terkenal pada saat itu. Hal itulah yang menjadikannya seorang tokoh ulama yang sangat terkenal di masanya.
Ibnu Abidin juga terkenal sebagai seorang yang kokoh agamanya,
iffah (wirai), alim, dan taqwa dalam beribadah karena kedalaman ilmunya
2 Ibid.
terutama dalam bidang ilmu fiqih. Dan dalam bidang ilmu fiqih ini, ternyata ia lebih cocok dengan fiqih madzhab Hanafi sehingga ia menjadi ulama Hanafiyah yang sangat di segani.
Karena ketinggian ilmunya beliau banyak membuahkan krya-karya ilmiah. Karangan-karangannya banyak dikoleksi oleh pustakawan-pustakawan islam di dunia. Karyanya dapat diterima diberbagai peradaban karena karya-karyanya mempunyai keistimewaan dalam pembahasannya yang mendalam. keilmuan yang mendalam dan menampakkan kefasihan
bahasanya. 3
Diantara karya-karya yang sampai kepada kita antara lain :
1. Kitab fiqih
a) Radd al muhtar Syarah ad dar al-muhtar kitab tersebut adalah kitab yang terkenal, kitab ini membahas masalah- masalah fiqih, yang selanjutnya terkenal dengan nama Hasiyah Ibnu Abidin.
b) Raul Andar, dari karangan yang ditulis dari al-Halbi atas syarah ad dar al- muhtar.
c) Al-Uqhud syarah tanfh al- fatawa al- Hamidiyah Aduriyah. d) Nadmad al-Azhar syarah al- manar
e) Ar-Rahiq al-Mahtum.
2. Kitab tafsir
Kitab Hawasyi ala al-Baidawi, yang dalam hal ini terdapat hal-hal
yang tidak dijelaskan oleh para penafsir.
3
3. Kitab hadits
Dalam karya ilmiahnya tentang hadits Ibnu Abidin menulis kitab
Uqud al-Awali yang berisi sanad-sanad hadits yang bernilai tinggi. Setelah kehidupannya yang membawa berbagai aktivitas ya ng luhur, pengabdian yang mulai dan perjuangan yang sangat berarti bagi umat islam pada umumnya dan khususnya bagi Madzhab Hanafi. Beliau wafat di Damaskus 1252 H dengan meninggalkan warisan yang sangat
berharga. Beliau dimakamkan di pekuburan “Bab al-Saqir” Damaskus.4
B. Pemikiran Ibnu Abidin Tentang Tidak Ada ‘Iddah Bagi Pere mpuan Hamil Karena Zina
Masalah „iddah di Indonesia diatur dalam KHI pada Bab XVII
tentang Akibat Putusnya Perkawinan bagian kedua yaitu waktu tunggu pasal
153, 154, dan 155. Akan tetapi „iddah yang dijelaskan dalam pasal-pasal
tersebut „iddah yang telah terdapat di dalam nash Al-Qur‟an dan Sunnah
Rosululloh SAW dan juga disepakati para ulama‟.
Pasal 153 ayat (2) huruf a, KHI menjelaskan : “ apabila perkawinan
putus karena kematian, walaupun qabla ad-dukhul, waktu tunggu ditetapkan
130 (seratus tiga puluh) hari”.5
Ini berdasarkan Surat al-Baqarah (2) : 234.
4Ibnu Abidin,Radd al-Muhtar, (Bairut Libanon: Daar a l-Fikr, t.th), hlm.1-5
5
Ahmad rofiq, Huk um Islam Di Indonesia, cet. III, (Jaka rta, PT Raja Gra findo Persada, 1998), hlm. 311.
Artinya :“Dan orang-orang mati diantara kamu serta meninggalkan
istri-istri hendaklah mereka (istri-istri-istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari”.6
Ketentuan di atas berlaku bagi isteri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil. Sedangkan apabila isteri tersebut da lam keadaan hamil, maka waktu tunggu bagi mereka adalah sampai ia melahirkan
sebagaimana dijelaskan dalam pasal 153 ayat (2) huruf d KHI.7 Hal ini
didasarkan pada Surat at-Talaq (65) : 4.
Artinya :“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di
antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan yang tidak haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungnnya”.8
Ketentuan „iddah perempuan hamil karena zina dijelaskan dalam
KHI (Kompilasi Hukum Islam) pasal 53 sebagai berikut :
1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
6
Depag RI, Al-Qur’an dan Terje mahannya, (Jakarta :CV. Pustaka Agung Harapan, 2006), hlm. 228.
7
Ahmad rofiq, op cit, hlm. 312.
8
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.9
Ketentuan perempuan hamil karena zina jika menikah dengan
laki-laki yang tidak menghamilinya juga tidak dijelaskan secara eksplisit di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam). Sementara dalam pasal 53 ayat 1 hanya disebutkan wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Dari ketentuan pasal 53 ayat 1 perlu penjelasan hukum bagaimana jika wanita hamil karena zina di nikahi oleh laki- laki yang tidak menghamili, seperti bayak yang terjadi dimasa sekarang.
Dalam pasal 53 ayat 2 diatas dapat diperoleh penjelasan secara implisit bahwa jika perempuan hamil karena zina menikah dengan laki- laki
yang menghamilinya tidak ada kewajiban untuk menjalankan „iddah.
Seperti dijelaskan dalam ayat 2 bahwa perempuan tersebut dapat langsung dikawinkan dengan laki- laki yang menghamilinya tanpa harus menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Ketentuan pasal 53 ayat 2 perlu pemikiran
kusus juga perlu pengkajian ulang tentang „iddah untuk wanita hamil karena
zina, karena di dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rosululloh SAW tidak ada
ketetapan yang mengatur tentang „iddah wanita hamil karena zina.
Memang ketentuan yang terdapat dalam pasal 53 ayat 1dan 2 merupakan suatu bagian integral dari pasal 53. Dalam arti bahwa antara ayat yang satu dengan ayat yang lain merupakan satu kesatuan. Sehingga tidak mungkin terjadi kontradiksi antar ayat dalam pasal 53.
9 Tim Redaksi FOKUSM EDIA, Ko mpilasi Hukum Islam, cet.II, (Bandung, Fokusmed ia,
Dalam menanggapi permasalahan di atas ada sebagian ulama yang kontradiktif dalam menyatakan pendapatnya salah satunya Ibnu Abidin yang merupakan ulama Hanafiyah menyatakan pendapatnya bahwa tidak ada iddah bagi wanita hamil karena zina, akan tetapi sebagai konsekuensinya perempuan tersebut tidak boleh dicampuri (disetubuhi) sampai wanita tersebut melahirkan anak yang dikandungnya, sebagaimana yang telah beliu tulis dalam kitab Radd al-Mukhtar :
Artinya: “(Tidak ada iddah bagi wanita zina), bahkan diperbolehkan
wanita zina tersebut menikah sekalipun ia sedang dalam keadaan hamil, akan tetapi ia dilarang berhubungan intim dengan suaminya.”Apabila ia dalam keadaan tidak hamil, maka disunahkan menunggu agar rahim benar-benar kosong dari benih laki-laki zina.
Pendapat di atas bahwa Ibnu Abidin menyatakan tentang tidak
adanya iddah untuk wanita hamil karena zina, dalam arti boleh dinikahi oleh
orang lain akan tetapi dilarang untuk melakukan hubungan intim sampai wanita hamil karena zina tersebut melahirkan, karena Allah telah
mensyari‟atkan iddah terhadap berbagai aspek hukum dan agar tercapai
kemaslahatan.
10