• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Proses Produksi dan Fermentasi Tempe oleh Pengrajin Tempe di Desa Cikeruh-Jatinangor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kajian Proses Produksi dan Fermentasi Tempe oleh Pengrajin Tempe di Desa Cikeruh-Jatinangor"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH TEKNOLOGI FERMENTASI MAKANAN DAN MINUMAN Kajian Proses Produksi Dan Fermentasi Tempe oleh Pengrajin Tempe di

Desa Cikeruh-Jatinangor

Oleh: Kelompok 4B

Hera Liana 240210110069

Nisrina Putri Rahayu 240210110071 Sylvia Harnah 240210110073 Khairunisa Aliyatin N. 240210110075

Vicki Avila 240210110084

Yessiana Yulinda P. 240210110096

UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN

JATINANGOR 2014

(2)

ii KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah hasil kunjungan industri pengolahan makanan fermentasi yang berjudul “Kajian Proses Produksi dan Fermentasi Tempe oleh Pengrajin Tempe di Desa Cikeruh-Jatinangor” yang diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Fermentasi Makanan dan Minuman.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan bagi semua pihak yang membacanya.

Jatinangor, April 2014

(3)

iii DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

I. PENDAHULUAN ...1

1.1. Latar Belakang Kegiatan Kunjungan ...1

1.2. Tujuan Kegiatan Kunjungan ...1

II. TINJAUAN PUSTAKA ...2

2.1. Tempe ...2

2.2. Tahap Pembuatan Tempe ...3

2.3. Syarat Mutu Tempe ...4

2.4. Perubahan Komposisi selama Fermentasi Tempe ...6

2.5. Manfaat Tempe ...7

III. PEMBAHASAN ...9

3.1. Tinjauan Umum Industri ...9

3.2. Bahan Baku Produksi Tempe ...9

3.3. Prosedur Pembuatan Tempe...11

3.4. Mikroorganisme yang Berperan pada Pembuatan Tempe ...18

3.5. Perubahan yang Terjadi pada Pembuatan Tempe ...19

IV. KESIMPULAN ...22

(4)

1 I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Kegiatan Kunjungan

Proses fermentasi dalam pengolahan pangan adalah proses pengolahan pangan dengan menggunakan aktivitas mikroorganisme secara terkontrol untuk meningkatkan keawetan pangan dengan dioproduksinya asam dan/atau alkohol, untuk menghasilkan produk dengan karekateristik flavor dan aroma yang khas, atau untuk menghasilkan pangan dengan mutu dan nilai yang lebih baik. Contoh-contoh produk pangan fermentasi ini bermacam-macam; mulai dari produk tradisional (misalnya tempe, tauco, tape, dll) sampai kepada produk yang modern (misalnya salami dan yoghurt) (Koswara, 2006).

Pengetahuan praktis mengenai bahan pangan fermentasi yang dilakukan pada indutri skala kecil atau pun besar sebagai produsen pangan fermentasi harus diketahui oleh ahli teknologi pangan, sehingga untuk memenuhi pemahaman terhadap proses pengolahan fermentasi terhadap berbagai macam produk pangan perlu dilakukan kunjungan terhadap industri pengolahan makanan fermentasi.

Tempe merupakan makanan fermentasi yang sangat umum dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, baik tua maupun muda dan berbagai strata ekonomi sudah mengakui bahwa tempe merupakan makanan khas Indonesia yang memiliki nilai gizi terutama proteinnya yang tinggi serta memiliki daya cerna protein yang sangat baik. Tempe umumnya diproduksi pada skala UKM atau pengrajin tempe. Tempe dapat ditemui hampir di seluruh wilayah di Indonesia, baik dengan jenis yang umum yaitu tempe kedelai atau tempe yang khas dari suatu daerah yaitu seperti tempe bongkrek. Berdasarkan hal tersebut, proses pembuatan tempe menarik untuk ditinjau, sehingga dilakukan kunjungan industri ke pengrajin tempe di daerah Cikeruh, Jatinangor, Kabupaten Sumedang.

1.2. Tujuan Kegiatan Kunjungan

Tujuan kegiatan kunjungan ke pabrik atau pengrajin makanan fermentasi yaitu untuk mengetahui proses fermentasi pada berbagai macam produk fermentasi skala industri kecil atau besar, perlakuan yang umumnya diberikan pada produk fermentasi komersial dan faktor-faktor selama proses pengolahan produk, salah satunya yaitu pada pengrajin tempe di daerah Cikeruh.

(5)

2 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tempe

Tempe adalah makanan hasil fermentasi yang sangat terkenal di Indonesia. Tempe yang biasa dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah tempe yang menggunakan bahan baku kedelai. Fermentasi kedelai dalam proses pembuatan tempe menyebabkan perubahan kimia maupun fisik pada biji kedelai, menjadikan tempe lebih mudah dicerna oleh tubuh. Tempe segar tidak dapat disimpan lama, karena tempe tahan hanya selama 2 x 24 jam, lewat masa itu, kapang tempe mati dan selanjutnya akan tumbuh bakteri atau mikroba perombak protein, akibatnya tempe cepat busuk (Sarwono, 2005).

Tempe adalah makanan yang dibuat dari fermentasi terhadap biji kedelai atau beberapa bahan lain yang menggunakan beberapa jenis kapang Rhizopus, seperti Rhizopus oligosporus, Rh. oryzae, Rh. stolonifer (kapang roti), atau Rh.

arrhizus. Sediaan fermentasi ini secara umum dikenal sebagai "ragi tempe".

Kapang yang tumbuh pada kedelai menghidrolisis senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang mudah dicerna oleh manusia. Tempe kaya akan serat pangan, kalsium, vitamin B dan zat besi. Berbagai macam kandungan dalam tempe mempunyai nilai obat, seperti antibiotika untuk menyembuhkan infeksi dan antioksidan pencegah penyakit degeneratif. Secara umum, tempe berwarna putih karena pertumbuhan miselia kapang yang merekatkan biji-biji kedelai sehingga terbentuk tekstur yang memadat. Degradasi komponen-komponen kedelai pada fermentasi membuat tempe memiliki rasa dan aroma khas (Widianarko, 2002).

Fermentasi adalah perubahan kimia dalam bahan makanan yang disebabkan oleh enzim dari kedelai yang mengandung enzim lipoksidase. Bahan pangan umumnya merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan berbagai jenis mikroorganisme (Buckle, 2007). Selain meningkatkan mutu gizi, fermentasi kedelai menjadi tempe juga mengubah aroma kedelai yang berbau langu menjadi aroma khas tempe. Jamur yang berperanan dalam proses fermentasi tersebut adalah Rhizopus oligosporus. Beberapa sifat penting dari Rhizopus oligosporus

antara lain meliputi: aktivitas enzimatiknya, kemampuan menghasilkan antibiotika, biosintesa vitamin vitamin B, kebutuhannya akan senyawa sumber

(6)

3 karbon dan nitrogen, perkecambahan spora, dan penertisi miselia jamur tempe ke dalam jaringan biji kedelai (Kasmidjo, 1990).

Tabel 1. Komposisi Kimia dalam 100 gr Tempe Kedelai

Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI, 1992. 2.2. Tahap Pembuatan Tempe

Proses pembuatan tempe pada umumnya meliputi 2 tahap yaitu, tahap perlakuan pendahuluan dan tahap fermentasi. Perlakuan pendahuluan adalah menyiapkan biji mentah menjadi biji matang tanpa kulit dan cocok untuk pertumbuhan kapang (Susanto, 1996). Pada tahap fermentasi hal yang perlu diperhatikan yaitu, pengaturan suhu ruang fermentasi agar mencapai suhu ideal fermentasi 30º C (Suprapti, 2003). Tahap pembuatan tempe diatas secara lebih jelasnya sebagai berikut (Cahyadi, 2006):

a. Biji yang dipilih atau dibersihkan dari kotoran, dicuci dengan air bersih. b. Masukkan biji kedelai ke dalam panci berisi air, kemudian rebus selama 30

menit.

c. Biji yang direbus kemudian direndam selama ± 24 jam dengan air rebusan tadi.

d. Kedelai ditiriskan dan dicuci dengan air untuk mengupas kulitnya dengan cara di remas - remas hingga akhirnya didapatkan keping - keping kedelai.

e. Kemudian biji kedelai dicuci kembali, lalu direbus lagi selama 20 menit. f. Biji kedelai rebus ini lalu ditiriskan.

g. Proses selanjutnya pencampuran biji dengan penambahan ragi. Setelah itu, bungkus kedelai yang sudah bercampur rata dengan ragi menggunakan daun

(7)

4 pisang atau plastik yang sebelumnya plastik dilubangi dengan jarak 1-2 cm, untuk memberikan udara supaya jamur yang tumbuh berwarna putih.

h. Lakukan pemeraman (fermentasi) selama 2 hari.

Proses fermentasi pembuatan tempe memakan waktu 36 – 48 jam. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan kapang yang hampir tetap dan tekstur yang lebih kompak. Jika proses fermentasi terlalu lama, menyebabkan terjadinya kenaikan jumlah bakteri, jumlah asam lemak bebas, pertumbuhan jamur juga menurun dan menyebabkan degradasi protein lanjut sehingga terbentuk amoniak. Akibatnya, tempe yang dihasilkan mengalami proses pembusukan dan aromanya menjadi tidak enak. Hal ini terjadi karena senyawa yang dipecah dalam proses fermentasi adalah karbohidrat (Winarno, 1980). Tempe segar mempunyai aroma lembut seperti jamur yang berasal dari aroma miselium kapang bercampur dengan aroma lezat dari asam amino bebas dan aroma yang ditimbulkan karena penguraian lemak makin lama fermentasi berlangsung, aroma yang lembut berubah menjadi tajam karena terjadi pelepasan amonia (Astawan, 2004).

Kapang tempe bersifat aerob obligat membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya sehingga apabila dalam proses fermentasi itu kurang oksigen, maka pertumbuhan kapang akan terhambat dan proses fermentasinya pun tidak berjalan lancar. Oleh karena itu, pada pembungkus tempe biasanya dilakukan penusukan dengan lidi yang bertujuan agar oksigen dapat masuk dalam bahan tempe. Sebaliknya, jika dalam proses fermentasinya kelebihan oksigen, dapat menyebabkan proses metabolismenya terlalu cepat, sehingga suhu naik dan pertumbuhan kapang terhambat (Kusharyanto dan Budiyanto, 1995).

2.3. Syarat Mutu Tempe

Syarat mutu tempe yang digunakan merupakan syarat mutu yang berlaku secara umum di Indonesia berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3144-2009), seperti tercantum pada tabel 2. Berdasarkan tabel di bawah ini dapat di lihat bahwa persyaratan untuk bau, warna, dan rasa adalah normal. Besarnya kadar air, abu dan protein secara berturut-turut yaitu maksimal 65% (b/b), maksimal 1,5% (b/b), dan minimal 16% (b/b). Sedangkan untuk cemaran mikroba

(8)

5 Tabel 2. Syarat Mutu Tempe menurut SNI 01-3144-2009

Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2009.

Menurut Kasmidjo (1990) tempe yang baik harus memenuhi syarat mutu secara fisik dan kimiawi. Tempe dikatakan memiliki mutu fisik jika tempe itu sudah memenuhi ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut : a. Warna Putih

Warna putih ini disebabkan adanya miselia kapang yang tumbuh pada permukaan biji kedelai.

b. Tekstur Tempe Kompak

Tempe yang baik mempunyai bentuk kompak yang terikat oleh miselium sehingga terlihat berwarna putih dan bila diiris terlihat keping kedelainya (Lestari, 2005).

c. Aroma dan rasa khas tempe

Terbentuk aroma dan rasa yang khas pada tempe disebabkan terjadinya degradasi komponen – komponen dalam tempe selama berlangsungnya proses fermentasi.

Tempe dengan kualitas baik mempunyai ciri-ciri berwarna putih bersih yang merata pada permukaannya memiliki struktur yang homogen dan kompak serta berasa berbau dan beraroma khas tempe. Tempe dengan kualitas buruk ditandai dengan permukaannya yang basah struktur tidak kompak adanya bercak bercak hitam, adanya bau amoniak dan alkohol serta beracun (Astawan 2004).

(9)

6 2.4. Perubahan Komposisi Selama Fermentasi Tempe

Tempe merupakan produk olahan kedelai yang terbentuk atas jasa kapang jenis Rhizopus sp melalui proses fermentasi. Banyak perubahan yang terjadi selamaproses fermentasi kedelai menjadi tempe, baik yang menyangkut perubahan fisik, biokimia maupun mikrobiologi, yang semuanya berdampak sangat menguntungkan terhadap sumbangan gizi dan kesehatan. Kerja Rhizopus sp mampu mengubah kedelai menjadi tempe yang berasa lebih enak, lebih bergizi dan berfungsi sebagai makanan sehat (Astawan 2009).

Tabel 3. menunjukkan bahwa terjadi peningkatan asam amino selama pembuatan tempe. Hal ini juga ditegaskan dalam Astuti dkk (2000) bahwa kandungan protein tempe menurun tetapi kandungan asam amino meningkat. Kedelai merupakan bahan pangan nabati yang mempunyai nilai protein yang tinggi, namun protein kedelai mempunyai faktor pembatas yaitu asam amino metionin dan sistein, sehingga pemanfaatan protein kedelai oleh tubuh tidaklah efisien. Salah satu cara untuk menghilangkan faktor pembatas yang ada pada protein kedelai adalah dengan mengkombinasikannya dengan beras yang memiliki kandungan asam amino metionin dan sistein yang cukup besar, sedangkan kekurangan asam amino lisin pada beras dapat dilengkapi oleh kelebihan lisin dari kedelai (Then, 1992).

Tabel 3. Kandungan Asam Amino Essensial Kedelai dan Tempe (mg/g Nitrogen)

Asam Amino Kedelai Tempe

Metionin – sistein 165 171 Treonin 247 267 Valin 291 349 Lisin 391 404 Leusin 494 538 Fenilalanin – tirosin 506 475 Isoleusin 290 340 Triptofan 76 84 Sumber : Hidayat, 2008.

Proses pembuatan tempe umumnya masih dilakukan secara tradisional dalam skala industri kecil. Secara garis besar, tahap-tahapan penting dalam pembuatan tempe adalah: pembersihan biji kedelai, perebusan/pengukusan dan fermentasi. Proses fermentasi adalah tahap terpenting pada pembuatan tempe,

(10)

7 dimana pada tahap ini dilakukan pemeraman kedelai selama beberapa hari (umumnya 36 – 48 jam) menggunakan laru (kapang tempe). Selama proses fermentasi tempe terdapat tendensi adanya peningkatan derajat ketidakjenuhan terhadap lemak, sehingga asam lemak tidak jenuh majemuk (Polyunsaturated

6 fatty acids=PUFA) meningkat jumlahnya. Asam palmitat dan asam linoleat

sedikit mengalami penurunan, sedangkan kenaikkan terjadi pada asam lemak oleatdan linolenat (Astawan 2009).

Dibandingkan kedelai, kadar protein, lemak dan karbohidrat tempe tidak banyak berubah. Akan tetapi, karena adanya enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, protein, lemak, dan karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh dibandingkan yang terdapat dalam kedelai. Dua kelompok vitamin yang terdapat pada tempe, yaitu vitamin larut air (vitamin B kompleks) dan vitamin larut lemak (vitamin A, D, E, dan K). Tempe merupakan sumber vitamin B yang sangat potensial. Jenis vitamin yang terkadung dalam tempe antara lain; vitamin B1 (thiamin), vitamin B2 (riboflavin), asam pantotenat, asam nikotinat (niasin), vitamin B6 (piridoksin) dan vitamin B12 (sianokobalamin). Vitamin B12 aktivitasnya meningkat sampai 33 kali selama fermentasi, riboflavin naik sekitar 8-47 kali, piridoksin 4-14 kali, niasin 2-5 kali, asam folat 4-5 kali, dan asam pantotenat meningkat 2 kali lipat (Astawan 2009). Tabel 1 di bawah ini menunjukkan komposisi zat gizi kedelai dan tempe dalam 100 gram bahan kering.

(11)

8 Sumber: Hermana et al, 1996 diacu dalam Astawan, 2009.

Dibandingkan kedelai, terjadi beberapa hal yang menguntungkan pada tempe. Secara kimiawi hal ini bisa dilihat dari meningkatnya kadar padatan terlarut, nitrogen terlarut, asam amino bebas, asam lemak bebas, nilai cerna, nilai efisiensi protein serta skor proteinnya.

Tabel 5. Komposisi dan nilai gizi kedelai dan tempe (per 100 gram)

Tabel 2 Kompos is i dan nilai g izi kedelai dan tempe (pe r 100 gra m)

Sumber: Hermana et al, 1996 diacu dalam Astawan, 2009.

Menurut Widianarko (2002), bahwa secara kuantitatif, nilai gizi tempe sedikit lebih rendah dari pada nilai gizi kedelai. Namun, secara kualitatif nilai gizi tempe lebih tinggi karena tempe mempunyai nilai cerna yang lebih baik. Hal ini disebabkan kadar protein yang larut dalam air akan meningkat akibat aktivitas enzim proteolitik.

Selain zat-zat di atas, kedelai dan tempe sebagai hasil olahannya juga mengandung senyawa aktif dari golongan isoflavon. Isoflavon utama yang ditemukan di dalam kedelai dan produk fermentasinya diantaranya daidzein (7,4’-dihidroksi isoflavon), genistein trihidroksi isoflavon) dan faktor II (5,7,4’-trihidroksi isoflavon) (Brata-Arbai, 2001). Selama proses fermentasi terjadi sintesa antioksidan di tempe yang diketahui sebagai faktor II (5,7,4’-trihidroksi isoflavon) (Brata-Arbai, 2001).

Selama fermentasi juga terjadi peningkatan kandungan mineral tempe, seperti meningkatnya kandungan kalsium dan zink. Selain mengandung mineral, tempe sebagai bahan makanan yang dapat menurunkan kolesterol juga mengandung alpha dan gamma tocopherol (vitamin E) sebagai antioksidan yang menjaga sel dari kerusakan akibat proses oksidasi. Antioksidan dapat didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, mencegah dan memperlambat proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus, antioksidan adalah zat

(12)

9 yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi oksidasi oleh radikal bebas dalam oksidasi lipid (Kochhar & Rossell, 1990).

Antioksidan yang telah berhasil diisolasi dari kedelai dan olahannya salah satunya adalah isoflavon dari senyawa flavonoid. Isoflavon lain dari kedelai adalah trihidroksi isoflavon yang hanya terdapat pada produk kedelai terfermentasi (Pratt, 1992). Selain isoflavon, kedelai dan produk olahannya merupakan sumber berbagai macam senyawa antioksidan yang termasuk kedalam golongan dari turunan asam sianat, fosfolipida, tokoferol, asam amino dan peptida (Shahidi & Naczk, 1995). Isoflavon adalah senyawa bioaktif, banyak ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada kedelai sampai 3099 mikrogram/g (Klump et al, 2001). Isoflavon yang berasal dari tempe diketahui bersifat hipolipidemik, antidiare dan anti infeksi terhadap E.Coli (Karyadi, 2000).

Aktivitas antibakterial untuk pertama kali dikemukakan oleh Wang et al (1969) diacu dalam Karyadi (1985). Beberapa jenis bakteri gram positif seperti

Staphylococcus aureus, Streptococcus cremoris, Bacillus subtilis, Clostridium

perfringen, dan Clostridium sporogenes terhambat pertumbuhannya. Mahmud et

al (1982) diacu dalam Karyadi (1985) mengamati aktivitas antibakterial dalam beberapa jenis tempe. Dalam tempe yang dibuat dengan biakan murni Rhizopuz

oligosporus terdapat aktivitas antibakterial yang menghambat pertumbuhan

Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Salmonella typhii dan Shigella flexneri.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa zat gizi tempe lebih mudah dicerna, diserap dan dimanfaatkan tubuh dibandingkan yang ada dalam kedelai. Ini telah dibuktikan pada bayi dan anak balita penderita gizi buruk dan diare kronis. Dengan pemberian tempe, pertumbuhan berat badan penderita gizi buruk akan meningkat dan diare menjadi sembuh dalam waktu singkat. Pengolahan kedelai menjadi tempe akan menurunkan kadar raffinosa dan stakiosa, yaitu senyawa penyebab timbulnya gejala flatulensi (Astawan, 2009).

2.5. Manfaat Tempe

Tempe memiliki banyak manfaat. Selain memiliki kandungan serat tidak larut yang tinggi dan protein, tempe juga mengandung zat antioksidan berupa karoten, vitamin E, dan isoflavon. Itulah sebabnya tempe sering disebut-sebut sebagai bahan makanan yang dapat mencegah kanker (Wardlaw, 1999).

(13)

10 Adanya kandungan vitamin B12 pada tempe, dipandang sebagai sesuatu yang unik oleh para ahli. Sampai saat ini penyebab atau asal vitamin itu belum diketahui dengan pasti. Ada yang menduga vitamin B12 itu berasal dari kapang yang tumbuh pada tempe, tetapi ada pula yang mengatakan berasal dari unsur lain. Bakteri ini sebenarnya merupakan mikroba kontaminasi. Vitamin B12 sangat berguna untuk membentuk sel-sel darah merah dalam tubuh sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit anemia (kurang darah). Selain itu, tempe juga banyak mengandung mineral, kalsium dan fosfor (Supriyono, 2003).

Tempe juga mengandung superoksida desmutase yang dapat menghambat kerusakan sel dan proses penuaan. Dalam sepotong tempe, terkandung berbagai unsur yang bermanfaat, seperti protein, lemak, hidrat arang, serat, vitamin, enzim, daidzein, genestein serta komponen antibakteri dan zat antioksidan yang berkhasiat sebagai obat, diantaranya genestein, daidzein, fitosterol, asam fitat, asam fenolat, lesitin dan inhibitor protease (Cahyadi, 2006).

(14)

11 III. PEMBAHASAN

3.1. Tinjauan Umum Industri

UKM Sumber Gizi ini adalah Usaha Kecil Menengah (UKM) yang bergerak dalam bidang produksi tempe. Pemilik UKM tersebut adalah Bapak Muhtadin. Beliau telah memulai terjun dalam industri pengolahan tempe sejak tahun 1995 di daerah Gunung Djati. Selanjutnya, usaha tersebut berpindah lokasi ke daerah Cileunyi pada tahun 2004 dan sejak tahun 2011 sampai sekarang UKM ini meneruskan produksi tempenya dengan membangun pabrik di Desa Cikeruh, Jatinangor. Industri tempe kecil berskala rumah tangga tersebut hanya memiliki satu orang pegawai yang membantu dalam proses produksi tempe.

Setiap harinya usaha ini dapat mengolah sekitar satu kuintal atau 100 kilogram kedelai untuk diolah dan difermentasi menjadi tempe. UKM Sumber Gizi memproduksi 4 variasi tempe berdasarkan bentuk dan ukurannya, yaitu tempe yang berukuran balok besar, tempe berukuran balok sedang, tempe berukuran balok panjang dan tempe berbentuk silinder memanjang. Produksi tempe di UKM Sumber Gizi secara umum masih dilakukan secara tradisional, tetapi pada proses penggilingan sudah menggunakan mesin penggiling modern untuk memudahkan penggilingan kedelai dalam jumlah yang banyak.

3.2. Bahan Baku Produksi Tempe

Bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan tempe adalah kacang kedelai. Kacang kedelai yang digunakan merupakan varietas kedelai impor yang biasa digunakan untuk membuat tempe, kedelai tersebut diperoleh dari daerah sekitar Bandung. Kedelai (Glycine max) merupakan sumber protein yang paling murah di dunia sebab berbagai varietas kedelai yang ada di Indonesia mempunyai kadar protein 30,53 - 44 %. Biji kedelai tersusun atas tiga komponen utama, yaitu kulit biji, daging (kotiledon), dan hipokotil dengan perbandingan 8:90:2. Sedangkan komposisi kimia kedelai adalah 40,5% protein, 20,5% lemak, karbohidrat 22,2%, serat kasar 4,3%, abu 4,5%, dan air 6,6% (Snyder and Kwon, 1987).

Kedelai merupakan sumber gizi yang sangat penting. Komposisi gizi kedelai bervariasi tergantung varietas yang dikembangkan dan juga warna kulit

(15)

12 maupun kotiledonnya. Kandungan protein dalam kedelai kuning bervariasi antara 31-48% sedangkan kandungan lemaknya bervariasi antara 11-21%. Antosianin kulit kedelai mampu menghambat oksidasi LDL kolesterol yang merupakan awal terbentuknya plak dalam pembuluh darah yang akan memicu berkembangnya penyakit tekanan darah tinggi dan berkembangnya penyakit jantung koroner (Astuti, 2000). Komposisi kimiawi kedelai kering per 100 g biji dapat di lihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 6. Komposisi Kimiawi Kedelai Kering per 100 gram Biji Komposisi Jumlah (*) Jumlah (**)

Kalori (kkal) 331 - Protein (g) 34,9 46,2 Lemak (g) 18,1 19,1 Karbohidrat (g) 34,8 28,2 Kalsium (mg) 227 254 Fosfor (mg) 585 781 Besi (mg) 8,0 - Vitamin A (SI) 110 - Vitamin B1 (mg) 1,1 - Air (g) 7,5 -

Sumber : * Direktorat Gizi Depkes RI (1972) dalam Koswara (1992). ** Sutomo (2008).

Kandungan gizi yang tinggi, terutama protein menyebabkan kedelai diminati oleh masyarakat. Protein kedelai mengandung asam amino yang paling lengkap dibandingkan dengan jenis kacang-kacangan lainnya (Wolf and Cowan, 1971).

Pembuatan tempe tidak dapat terlepas dari penggunaan ragi tempe yang berperan dalam proses fermentasi. Ragi tempe yang digunakan UKM Sumber Gizi adalah jenis ragi tempe komersial yang terbuat dari campuran tepung beras dan kapang tempe.

Gambar 1. Ragi tempe komersial yang digunakan UKM Sumber Gizi (Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014)

(16)

13 Ragi tempe merupakan bibit yang dipergunakan untuk pembuatan tempe. Oleh karena itu sering pula disebut sebagai starter tempe. Ragi tempe mengandung jamur Rhizopus sp. yang dikenal pula sebagai jamur tempe. Secara tradisional, jamur untuk starter pembuatan tempe biasanya diambil dari daun pisang bekas pembungkus tempe pada waktu pembuatan, atau daun laru atau jati yang dikenal dengan sebutan “usar”. Namun demikian, penggunaan daun pisang atau usar ini sangat terbatas dan hanyau ntuk produksi kecil-kecilan. Untuk produksi yang lebih besar, starter tempe dibuat dengan memperbanyak jamur tempe (Rhizopus sp.) pada media tertentu. Selanjutnya, spora yang dihasilkannya diawetkan dalam keadaam kering bersama medium tempat tumbuh jamur tempe tersebut. Dengan teknik seperti ini kualitas tempe yang diproduksi akan terjamin, karena dosis penggunaan starter dapat diatur.

3.3. Prosedur Pembuatan Tempe

Pembuatan tempe pada UKM Sumber Gizi dilakukan secara tradisional. Prosedur pertama pada pembuatan tempe di UKM Sumber Gizi adalah sortasi terhadap kacang kedelai yang akan digunakan pada pembuatan tempe. Kacang kedelai yang telah disortasi dilakukan pencucian, lalu dilakukan perendaman selama 1 jam. Perendaman awal bertujuan agar biji kacang kedelai mengembang dan memiliki tekstur yang lunak.

A B

Gambar 2. A: Bak pencucian dan B: Bak perendaman di UKM Sumber Gizi (Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014)

Setelah perendaman awal, dilakukan perebusan dalam air mendidih selama 150 menit atau sampai biji kedelai tersebut setengah matang. Perebusan kacang kedelai pada UKM Sumber Gizi masih dilakukan secara tradisional yaitu menggunakan bahan bakar berupa batok kelapa. Waktu kecukupan perebusan ditandai dengan biji kacang kedelai tersebut dalam keadaan setengah matang.

(17)

14 Gambar 3. Perebusan kedelai di UKM Sumber Gizi

(Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014)

Setelah perebusan, dilakukan perendaman selama 12 jam dan menambahkan air jika kacang kedelai tidak terendam seluruhnya. Perebusan dan perendaman kacang kedelai bertujuan agar biji kacang kedelai tersebut mengembang dan menjadi lebih lunak. Selain itu, fungsi perendaman yang paling penting adalah untuk menonaktifkan bakteri yang tidak diinginkan. Kedelai mengandung senyawa rafinosa dan stakiosa yang menyebabkan perut kembung. Namun selama proses perendaman, beberapa bakteri mampu merombak rafinosa dan stakiosa menjadi senyawa yang lebih sederhana, sehingga dapat mencegah terjadinya gangguan pencernaan dan perut kembung.

Gambar 4. Perendaman setelah perebusan kedelai (Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014)

Kacang kedelai yang telah direndam selama 12 jam ditiriskan dan dibuang airnya. Selanjutnya dilakukan penggilingan dengan alat penggiling. Setelah penggilingan, kulit terpisah dari kacang kedelai. Namun, pada UKM Sumber Gizi tidak dilakukan pembuangan kulit tersebut dari kedelai, jadi kacang kedelai beserta kulit akan digunakan bersama dalam pembuatan tempe. Hal ini dikarenakan harga kedelai yang cukup mahal serta alat penggiling yang digunakan tidak dapat memisahkan antara kedelai dan kulitnya serta jika dilakukan

(18)

15 pemisahan secara manual membutuhkan waktu yang lama. Pemisahan kulit secara manual dilakukan dengan perendaman kedelai yang telah digiling dalam air, kulit memiliki berat jenis yang lebih kecil dibandingkan dengan kedelai sehingga akan mengapung dan kedelai berada di dasar bak perendaman. Kulit yang terapung selanjutnya dipisahkan menggunakan saringan. Perbedaan yang dihasilkan pada tempe yang menggunakan kacang kedelai tanpa kulit dengan tempe yang menggunakan kacang kedelai bersama kulitnya terletak pada junmlah ragi yang ditambahkan dan proses penggorengan tempe. Kacang kedelai yang telah dihilangkan kulitnya membutuhkan ragi dalam jumlah yang lebih sedikit dan akan lebih cepat kering saat digoreng sedangkan kacang kedelai yang masih tercampur dengan kulitnya membutuhkan lebih banyak ragi dan pada penggorengan tempe lebih lambat kering.

Gambar 5. Mesin penggiling kedelai di UKM Sumber Gizi (Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014)

Setelah proses penggilingan, dilakukan pencucian untuk menghilangkan lendir yang menempel pada kacang kedelai. Jika lendir tersebut tidak dihilangkan, maka akan mengganggu proses pembuatan tempe. Setelah pencucian, kemudian ditiriskan untuk untuk mengurangi kelebihan air pada kacang kedelai. Air yang terlalu banyak akan mengakibatkan tumbuhnya bakteri yang tidak diinginkan sedangkan air yang terlalu sedikit akan menyebabkan kacang kedelai dehidrasi sehingga menghambat pertumbuhan kapang. Kecukupan proses pencucian ditandai dengan tidak adanya aroma dan rasa asam pada kedelai.

(19)

16 Diagram alir proses pembuatan tempe pada UKM Sumber Gizi dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 6. Diagram Alir Proses Pembuatan Tempe (Sumber : Modifikasi pribadi, 2014)

Setelah penirisan, kacang kedelai tersebut dibiarkan dingin sampai mencapai suhu kamar karena jika suhu yang terlalu tinggi akan menghambat pertumbuhan kapang. Setelah kacang kedelai tersebut dingin, kacang kedelai

Pencetakan Pengemasan Fermentasi (t = 3 hari) Penirisan Air Pencucian Air bersih Air Sortasi Ragi tempe

+ Air Peragian (t = 10 menit)

Tempe Perebusan (t = 150 menit) Perendaman (t = 12 jam) Penirisan Perendaman (t = 1 jam) Kacang kedelai Penggilingan Air kotor & Lendir

(20)

17 tersebut dilakukan peragian dengan menambahkan ragi tempe. Ragi tempe yang ditambahkan harus dalam jumlah yang sesuai. Penambahan ragi pada UKM Sumber Gizi adalah 1 kg ragi untuk 1 kuintal kacang kedelai. Jika kondisi cuaca dalam keadaan dingin, maka penambahan ragi pada kacang kedelai akan bertambah sebanyak 50% dari penambahan ragi biasanya. Penambahan ragi yang terlalu banyak akan menghasilkan rasa yang pahit pada tempe yang dibuat. Secara tradisional, pembuatan ragi tempe adalah dengan menggunakan tempe yang sudah jadi. Tempe tersebut diiris tipis, dikeringkan dan digiling menjadi bubuk halus. Hasilnya digunakan sebagai starter pada proses fermentasi tempe. Ragi lain yang sering digunakan adalah miselium kapang yang tumbuh di permukaan tempe. Laru yang digunakan pada pembuatan tempe adalah laru ragi tempe.

Gambar 7. Pencampuran kedelai dengan ragi (Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014)

Setelah menambahkan ragi pada kacang kedelai, dilakukan pengadukan sampai tercampur rata antara kacang kedelai dengan ragi. Kemudian kacang kedelai tersebut di cetak dengan menggunakan cetakan dan dibungkus dengan plastik yang telah diberi lubang. Jika harga kacang kedelai sedang mengalami kenaikan, maka jumlah kacang kedelai yang dicetak akan dikurangi beratnya dengan harga jual tempe yang sama. Plastik untuk membungkus tempe dilubangi untuk menciptakan kondisi yang aerob. Jika plastik tersebut dilubangi maka ada udara yang masuk ke dalam selama proses fermentasi berlangsung sehingga memenuhi kebutuhan oksigen untuk kapang.

Pada umumnya, kemasan tempe juga dapat menggunakan daun pisang. Akan tetapi, karena ketersediaan daun pisang yang tidak selalu ada serta proses persiapan yang lebih rumit, maka UKM Sumber Gizi tidak menggunakan daun pisang. Syarat kemasan pada tempe adalah dapat memberikan jumlah oksigen

(21)

18 yang cukup untuk pertumbuhan kapang dan memungkinkan pengeluaran uap air sehingga air tidak menempel pada kacang kedelai yang menyebabkan tumbuhnya bakteri kontaminan. Kedelai tersebut difermentasi pada suhu kamar selama 3 hari. Setelah fermentasi, maka dihasilkan tempe seperti pada umumnya.

A B

Gambar 8. A: pencetakan tempe dan B: kemasan berlubang pembungkus tempe di UKM Sumber Gizi

(Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014)

Gambar 9. Rak fermentasi tempe di UKM Sumber Gizi (Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014)

3.4. Mikroorganisme yang Berperan pada Pembuatan Tempe

Mikroorganisme mampu membentuk produk melalui metabolisme yang dilakukannya. Pada pembuatan tempe, sedikitnya terdapat empat genus Rhizopus

yang dapat digunakan. Rhizopus oligosporus merupakan genus utama, kemudian

Rhizopus oryzae merupakan genus lainnya yang digunakan pada pembuatan

tempe di Indonesia. Produsen tempe di Indonesia tidak menggunakan inokulum berupa biakan murni kapang Rhizopus sp., namun menggunakan inokulum dalam bentuk bubuk yang disebut laru atau inokulum biakan kapang pada daun waru yang disebut usar. Jamur ini sangat berperan dalam pembuatan tempe. Pada tempe berbahan kedelai, jamur selain berfungsi untuk mengikat atau menyatukan biji kedelai juga menghasilkan berbagai enzim yang dapat meningkatkan nilai cerna saat dikonsumsi.

(22)

19 Kapang merupakan mikroorganisme yang memproduksi enzim a-amylase, yang masih stabil pada suhu 50-60 oC dan stabil pada pH 5,4-7,0, tetapi pH optimumnya adalah 3,6. Menurut Aunstrup (1979), Rhizopus sp. Merupakan mikroorganisme yang mampu memproduksi enzim lipase dan protease. Lipase diproduksi oleh R. arrhizus. R. delemar dan R. japonicas adalah kelompok lipase spesifik yang memisahkan asam lemak dan trigliserida pada posisi 1 dan 3.

3.5. Perubahan yang Terjadi pada Pembuatan Tempe

Selama proses fermentasi berlansung terjadi perubahan sifat fisiko-kimia pada tempe. Pada perubahan fisik, kedelai akan mengalami perubahan terutama tekstur. Tekstur kedelai akan menjadi semakin lunak karena terjadi penurunan selulosa menjadi bentuk yang lebih sederhana. Hifa kapang juga mampu menembus permukaan kedelai sehingga dapat menggunakan nutrisi yang ada pada biji kedelai. Hifa kapang akan mengeluarkan berbagai macam enzim ekstraseluler dan menggunakan komponen biji kedelai sebagai sumber nutrisinya (Hidayat, Masdiana dan Suhartini, 2006).

Gambar 10. Tempe UKM Sumber Gizi (Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014)

Perubahan fisik lainnya adalah peningkatan jumlah hifa kapang yang menyelubungi kedelai. Hifa ini berwarna putih dan semakin lama semakin kompak sehingga mengikat kedelai yang satu dengan kedelai lainnya menjadi satu kesatuan. Pada tempe yang baik akan tampak hifa yang rapat dan kompak serta mengeluarkan aroma yang enak (Indriani, 1990).

Perubahan kimia pada tempe karena adanya bantuan protein yang menghasilkan enzim proteolitik yang menyebabkan degradasi protein kedelai menjadi asam amino, sehingga nitrogen terlarut meningkat dari 0,5 menjadi 2,5% (Limbong, 1981). Adanya lemak menyebabkan kapang akan menguraikan

(23)

20 sebagain besar lemak dalam kedelai selama fermentasi. Pembebasan asam lemak ditandai dengan meningkatnya angka asam 50-70 kali setelah fermentasi. Adanya karbohidrat akan didegradasi oleh kapang Rhizopus oligosporus yang memproduksi enzim pendegradasi karbohidrat seperti amilase, selulase atau xylanase. Selama fermentasi, karbohidrat akan berkurang karena dirombak menjadi gula-gula sederhana (Naruki dan Sarjono, 1984). Secara umum, proses fermentasi pada tempe dapat dibedakan atas tiga fase, yaitu :

1. Fase pertumbuhan cepat (0-30 jam fermentasi) terjadi penaikan jumlah asam lemak bebas, penaikan suhu, pertumbuhan jamur cepat, terlihat dengan terbentuknya miselia pada permukaan biji yang semakin lama semakin lebat sehingga menunjukkan masa yang lebih kompak.

2. Fase transisi (30-50 jam fermentasi) merupakan fase optimal fermentasi tempe dimana tempe siap dipasarkan. Pada fase ini terjadi penurunan suhu, jumlah asam lemak yang dibebaskan dan pertumbuhan jamur hampir tetap atau bertambah sedikit, flavor spesifik tempe optimal, dan tekstur lebih kompak.

3. Fase pembusukan atau fermentasi lanjutan (50-90 jam fermentasi) terjadi penaikan jumlah bakteri dan jumlah asam lemak bebas, pertumbuhan jamur menurun, dan pada kadar air tertentu pertumbuhan jamur terhenti, terjadi perubahan flavor karena degradasi protein lanjut yang membentuk amonia. Sering kali dalam proses pembuatan tempe di UKM Sumber Gizi dihasilkan tempe yang berkualitas kurang baik, seperti pertumbuhan kapang yang tidak merata atau bahkan tidak tumbuh sama sekali. Hal ini dapat disebabkan karena kapang tidak aktif atau sudah mati sehingga tidak terjadi proses fermentasi dan tidak ada pembentukan miselium kapang. Pengadukan laru yang tidak merata dapat menyebabkan pertumbuhan hifa kapang tidak merata di seluruh bagian sehingga tidak semua kacang kedelai menempel dan mengurangi kekompakan tempe yang dihasilkan. Suhu fermentasi tempe yang terlalu rendah juga dapat menjadi sebab kegagalan dalam fermentasi tempe karena kapang Rhizopus

memiliki suhu optimum untuk pertumbuhaannya.

Kapang tempe bersifat aerob obligat membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya, sehingga apabila dalam proses fermentasi itu kurang oksigen

(24)

21 maka pertumbuhan kapang akan terhambat dan proses fermentasinya pun tidak berjalan lancar. Oleh karena itu, pada pembungkus tempe biasanya dilakukan penusukan dengan lidi yang bertujuan agar oksigen dapat masuk dalam bahan tempe. Sebaiknya jika dalam proses fermentasinya kelebihan oksigen, dapat menyebabkan proses metabolismenya terlalu cepat sehingga suhu naik dan pertumbuhan kapang terhambat (Nurita Puji Astuti, 2009). Selain itu, pertumbuhan kapang yang tidak merata atau bahkan tidak tumbuh sama sekali juga dapat disebabkan karena laru yang digunakan terlalu sedikit, laru terlalu tua, waktu fermentasi kurang lama dan suhu fermentasi terlalu rendah.

(25)

22 IV. KESIMPULAN

Proses pembuatan tempe di UKM Sumber Gizi secara umum masih dilakukan secara tradisional dengan bahan baku utama kedelai dan menggunakan ragi tempe komersial. Secara garis besar, tahap-tahapan penting dalam pembuatan tempe di UKM Sumber gizi adalah: sortasi dan pembersihan, perendaman awal, perebusan, perendaman akhir, penggilingan, pencucian, peragian dan fermentasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses keberhasilan fermentasi tempe di UKM Sumber Gizi adalah kedelai dan jumlah ragi yang digunakan, adanya pencemar dan suhu lingkungan (cuaca).

(26)

23 DAFTAR PUSTAKA

Astawan, M. 2009. Sehat dengan Hidangan Kacang Biji-bijian. Penebar Swadaya, Jakarta.

Astawan. 2008. Kecipir Langsingkan Tubuh, Tingkatkan Gairah. http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx?x=nutrition&y=cybe rmed%7C0%7C0%7C6%7C458. (Diakses tanggal 18 April 2014).

Astuti, M., Meliala, Andreanyta., Fabien, Dalais., Wahlq, Mark. 2003. Tempe, a nutritious and healthy food from Indonesia. Asia Pacific J Clin Nutr9(4): 322–325.

Astuti, N. P. 2009. Sifat Organoleptik Tempe Kedelai Yang Dibungkus Plastik, Daun Pisang Dan Daun Jati. Karya Tulis Ilmiah Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Available online at : http://etd.eprints.ums.ac.id/5714/1/J _300_ 060_002.pdf. (Diakses tanggal 18 April 2014).

Aunstrup, K.O., Andressen, Falch, and Nielsen. 1979. Production of Microbial Enzymes, Microbial Technology. Vol. 1. Academic Press Inc., New York.

Badan Standardisasi Nasional. 2009. Tempe Kedelai. http://pustan.bpk imi.kemenperin.go.id/files/SNI%203144-2009.pdf. (Diakses tanggal 18 April 2014).

Hidayat, Nur., Masdiana C. Padaga, Sri Suhartini. 2006. Mikrobiologi Industri. Penerbit ANDI Yogyakarta, Yogyakarta.

Indriani, E.A. 1990. Pengaruh Substitusi NaCI dengan KCI Terhadap Sifat Mikrobiologi, Kimiawi dan Sensori Tauco. [Skripsi]. Jurusan PHP. Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Yogyakarta.

Koswara, S. 2006. Teknologi Fermentasi. Available online at : www.ebookpangan.com (Diakses tanggal 18 April 2014).

Koswara, S., 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadikan Makanan. Bermutu. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Limbong, L.N. 1981. Pengaruh Jenis Kedelai, Konsentrasi Larutan Garam dan Waktu Fermentasi dalam Larutan Garam Terhadap Mutu Tauco. [Skripsi]. Departemen Teknologi Hasil dan Mekanisasi Pertanian Fakultas Pertanian USU, Medan.

(27)

24 Naruki, S. dan Sarjono. 1984. Pembuatan Tauco. Jurusan PHP Fakultas Teknologi

Pertanian UGM, Yogyakarta.

Snyder, H.E. and T. W. Kwon. 1987. Soybean Utilization. 346 Seiten, zahlr. Abb und Tab. An AVI Book, published by Van Nostrand Reinhold Company, New York.

Sutomo, B., 2008. Cegah Anemia dengan Tempe.Available online at

http://myhobbyblogs. com/food/files/2008/06/ [Diakses pada tanggal 18 April 2014].

Suwarno, J. 2010. Uji Protein dan Organoleptik Pada Tempe Dengan Bahan Dasar Jagung Manis (Zae Mays Saccharata). Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammaddiyah, Surakata. http://etd.eprints. ums.ac.id/7453/1/A420050034.pdf. (Diakses tanggal 18 April 2014).

Then, K. 1992. Komplementasi Kedelai Dengan Beras Untuk Pembuatan Tempe. Fakultas Teknologi Pertanlan Institut Pertanian Bogor. Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/30926/F92KTH.pdf? sequence=1. (Diakses tanggal 18 April 2014).

Widianarko. 2002. Tips Pangan ”Teknologi, Nutrisi, dan Keamanan Pangan”. Grasindo. Jakarta.

Wolf, W.J., and C. Cowan, J. 1971. Soybean as a Food Source. C.R.C. Press, Ohio.

(28)

25 LAMPIRAN

Gambar

Tabel 1. Komposisi Kimia dalam 100 gr Tempe Kedelai
Tabel  3.  menunjukkan  bahwa  terjadi  peningkatan  asam  amino  selama  pembuatan  tempe
Tabel  1  di  bawah  ini  menunjukkan  komposisi  zat  gizi  kedelai  dan  tempe  dalam  100 gram bahan kering
Tabel 5. Komposisi dan nilai gizi kedelai dan tempe (per 100 gram)
+7

Referensi

Dokumen terkait