APRESIASI
APRESIASI
DAN KAJIAN
DAN KAJIAN
PUISI
PUISI
Kelompok 1 : Kelompok 1 : Ainul Inayah Ainul InayahRia Septin Anggraeni
Ria Septin Anggraeni
Risma Ayu Pebriana
Risma Ayu Pebriana
Yarisan
APRESIASI DAN KAJIAN PUISI
APRESIASI DAN KAJIAN PUISI
BEBERAPA KONSEP
BEBERAPA KONSEP
DASAR
DASAR
PENGERTIAN DAN
PENGERTIAN DAN
RAGAM PUISI
RAGAM PUISI
APRESIASI DAN KAJIAN PUISI
APRESIASI DAN KAJIAN PUISI
BEBERAPA KONSEP
BEBERAPA KONSEP
DASAR
DASAR
PENGERTIAN DAN
PENGERTIAN DAN
RAGAM PUISI
RAGAM PUISI
APRESIASI DAN KAJIAN
APRESIASI DAN KAJIAN
PUISI
PUISI
BEBERAP
BEBERAPA KONSEP A KONSEP DASARDASAR
MimesisdanDiegesis MimesisdanDiegesis Puisisebagaisebuah Puisisebagaisebuah StrukturAbstrakdan StrukturAbstrakdan UpayaMemahaminya UpayaMemahaminya Te Teororii MeMembmbacacaa TzTzvevetatann Todorov Todorov Pema
Pemaknaknaanan BenBentuktuk
Lew
Lewatat SemSemiotiotikaika
PemaknaanTeksLewat PemaknaanTeksLewat Post-Structuralism Post-Structuralism BeberapaPenyimpulan BeberapaPenyimpulan
PENGERTIAN DAN RAGAM
PENGERTIAN DAN RAGAM
PUISI
1. Mimesis dan Diegesis
MenurutPlato Mimesis adalah semacam cermin yang menjadiperepresentasi dari realitas itu sendiri.
Menurut Aristoteles
Mimesis bukan sekedar tiruan, bukan sekedar potret dari realitas, melainkan telah melalui kesadaran personal batin pengarangnya.
MenurutPlato
Diegesis adalah pengisahan yang berkembang dari ilusi pengarang tanpa diikat oleh pelaku, tempat, dan waktu.
Jadi apabila mimesis adalah penciptaan yang semata-mata bertumpu pada realitas yang ada atau mewujud di luar diri pengarang, maka diegesis
adalah penciptaan yang semata-mata bertumpu pada kesadaran batin personal pengarangnya.
Dalam proses kreatif penciptaan karya sastra juga dikenal
adanya aliran yang biasa disebut impresionisme dan
ekspresionisme. Dalam impresionisme, penciptaan mengutamakan
adanya impresi atau kesan yang diperoleh pengarang setelah
mengamati suatu realitas. Lebih lanjut ekspresionisme, beranggapan
bahwa sebuah kreasi penciptaan tidak harus bertolak dari kesan
atau pengamatan terhadap realitas, tetapi bertolak sepenuhnya dari
kesadaran batin personal pengarangnya.
Tiga gradasi yang mempengaruhi gaya pengungkapan menurut Genette yaitu : 1. Gaya pengungkapan secara langsung sehingga acuan maknanya tidak
bersifat konotatif.
2. Gaya pengungkapan secara tidak langsung atau ujaran yang telah disesuaikan dengan tanggapan, sikap, dan kesadaran subjektif pengarangnya.
3. Ujaran yang diceritakan. Pada gaya pengungkapan ini, paparan hanya berisi tindakan yang semata-mata terdapat dalam batin pengarang
sendiri.
Dari ketiga gaya pengungkapan di atas, gaya pengungkapan yang sering kali
mendatangkan kesulitan pembaca dalam upaya memahami isi paparan adalah gaya pengungkapan secara tidak langsung atau paparan yang disugestikan serta gaya pengungkapan melalui ujaran yang diceritakan.
2. Puisi sebagai sebuah Struktur Abstrak dan Upaya Memahaminya
• Terdapatnya unsur abstrak dalam kesusastraan itulah yang melatarbelakangi timbulnya interpretasi sehingga respon yang diberikan pembaca terhadap isi teks, terutama puisi tidak lagi sepenuhnya murni.
• Bagi Tzvetan Todorov, meskipun teks sastra umumnya mengandung struktur abstrak, interpretasi yang diberikan pembaca diharapkan bertolak dari realitas yang ada dalam teks. Biarkanlah teks itu yang berbicara sendiri, agar setiap teks sastra mampu menjadi deskripsinya sendiri yang paling baik.
• Cara terbaik untuk memahami dunia yang diciptakan pengarang adalah melalui kontemplasi dan dialog secara terus-menerus. Dari kontlempasi dan dialog itulah akhirnya realitas yang dipaparkan pengarang juga mampu memberikan makna tertentu kepada pembaca.
Hermeneutika sebagai salah satu aliran dalam telaah sastra terbagi dalam beberapa pandangan, yaitu :
Hirsch
Gadamer
Dilthey
Menurut Hirsch makna dalam teks sastra sebagai sesuatu yang absolut, hadir dari peristiwa dalam batin pengarang yang sepenuhnya disadari. Untuk memahami makna
dalam teks, pembaca harus mampu memahami bahasa yang digunakan dalam teks itu sendiri tanpa
menautkannya dengan konvensi-konvensi di luar bahasa.
Bagi Gadamer makna dalam sebuah teks sastra bersifat relatif. Disebut demikian karena makna dalam teks sastra permuncunlannya sangat ditentukan oleh subjek yang memaknai teks sastra tersebut.
Menurut Dilthey, pemahaman makna dalam sebuah teks sastra ditentukan oleh adanya vicarious experience atau keterlibatan pengalaman yang dimiliki pembaca dengan pengalaman yang dipaparkan pengarangnya.
3. Teori Membaca Tzvetan Todorov
Dalam teori membaca model Tzvetan Todorov disebutkan adanya tiga unsur yang hadir dalam kegiatan membaca, meliputi :
Proyeksi
•Dalam proyeksi, kegiatan
pembaca adalah berusaha memahami unsur-unsur di luar teks dan secara
kongruen atau secara laras
dan bersama-sama
menunjang kehadiran teks.
Komentar
•Dalam komentar, pembaca berusaha
memahai isi paparan dalam teks itu sendiri. Sasaran komentar tidak berlaku untuk seluruh paparan, tetapi terbatas pada bentuk paparan yang tersisa dari jangkauan pemahaman pembaca.
•Dalam komentar kegiatan yang
dilaksanakan pembaca adalah :
•Eksplikasi, yakni menguraikan isi paparan
yang belum dipahami dengan jalan menghubungkannya dengan isi bagian paparan lain yang sudah dipahami
•Elusidasi, yaitu menerangkan atau
menjelaskan hasil uraian isi paparan yang belum dipahami dalam kaitannya dengan bagian isi paparan yang lainnya secara
umum
•Précis, yakni meringkas uraian panjang
lebar tentang isi paparan yang belum dipahami sesuai dengan ketepatan dan keselarasannya dengan isi dalam bagian lain dari teks itu sendiri. Kegiatan terakhir
Puitika
•Dalam tahap puitika,
pembaca berusaha
memahami kaidah-kaidah abstrak yang secara
intrinsik terdapat dalam teks sastra itu sendiri.
Dalam upaya memahami makna yang terkandung dalam struktur abstrak terdapat dua kegiatan, yakni :
Interpretasi
• Dalam menginterpretasi
sebuah karya sastra harus bertolak atau berbeda dari realitas yang ada dalam teks sastra itu sendiri.
Deskripsi
• Bila dalam penelitian ilmiah
metode deskriptif adalah metode yang bertujuan memberikan perolehan realitas yang diteliti apa adanya, maka pada tahap pendeskripsian makna dalam teks sastra diharapkan
sepenuhnya berbeda dari
makna yang terkandung dalam teks sastra itu sendiri.
4. Pemaknaan Bentuk Lewat Semiotika
Semiotika Studi tentang sistem lambang
Lambang kebahasaan dalam teks sastra sebagai sesuatu yang hadir lewat motivasi subjektif pengarang, pemaknannya dengan demikian juga menunjuk pada sesuatu yang lain di luar struktur yang terdapat dalam teks sastra itu sendiri.
Terdapat empat dimensi dalam sastra, yakni : 1. Sastra sebagai kreasi ekspresi
2. Sastra sebagai pemapar realitas
3. Sastra sebagai kreasi penciptaan yang menggunakan media berupa bahasa
Dalam upaya memahami lambang tersebut terdapat empat pendekatan yang menurut Teew telah memadai untuk digunakan. Pendekatan itu meliputi :
Pendekatan ekspresif
Pendekatan objektif
Pendekatan pragmatis
Pendekatan yang mengutamakan pada peranan penyair sebagai subjek ekspresi. Dalam
pendekatan ini, nilai sastra dikembalikan pada kedalaman emosi serta suasana batin penyair. Seseorang hanya melihat pada karya itu sendiri lepas dari dunia nyata pengarang maupun
pembaca.
Pendekatan yang ditekankan pada adanya fungsi yang diberikan oleh teks sastra itu sendiri
C.S.Pierce dalam hubungannya dengan lambang tersebut
membedakannya antara :
• Iconic, yakni bilamana lambang
itu sedikit banyak mnyerupai apa yang dilambangkan, seperti foto dari seseorang
atau ilustrasi.
• Indexical, yakni bila lambang
itu masih mengasosiasikan adanya hubungan dengan lambang yang lain, misalnya rokok dengan api atau kumis dengan laki-laki.
• Symbolic, yakni bila secara
arbitrer maupun konvensional, la,bang itu masih menunjuk pada referen tertentu dengan acuan makna yang berlainan.
Dalam pemaknaan lebih lanjut masih dibedakan antara :
• Denotation, yakni bila lambang
itu menjadi gambar dari sesuatu yang dilambangkan itu
sendiri.
• Connotation, yakni bila
lambang itu masih mengasosiasikan adanya hubungan makna yang dikandung oleh lambing yang lain.
5. Pemaknaan Teks Lewat Post-Structuralism
Apabila kita diminta untuk memaknai kata batu, misalnnya, kita sudah sering kali
merasa bingung. Kesulitan terjadi karena kata hanya merupakan lambang yang
mewakili sesuatu yang berada di luar dirinya. Andai kata batu tersebut
dirangkaikan dengan bentuk lain, pemaknaannya menjadi tambah rumit. Batu akik,
batu baterai, batu mulia, batu bata, dan berbagai batu dalam hubungan gramatik
kata yang lain tetap saja sulit dimaknai. Seperti diungkapkan oleh Derrida via
Jefferson, “The word is of Derrida’s own coinage and is deliberately ambigious
and therefore not translatable . . . ” Jarak pembeda demikian oleh Derrida
diistilahkan dengan differance yang secara singkat oleh Derrida disebutnya . . .
the non-full, non-unitary origin; it is the structured and differing/deffering
(differente) origin of difference.
Dari kenyataan seperti diatas, analisis makna teks sastra menurut Derrida tidak mungkin bila hanya dilaksanakan secara sinkronis. Dalam situasi demikian itulah konsep struktural yang semata-mata
membatatasi dirinya pada realitas kekinian yang simultan mengalami “bahaya”. Hal itu
sebenarnya juga telah menjadi perhatian aliran Prahab (Prague School) yang berpendapat bahwa sebagai suatu totalitas, struktur memiliki elemen-elemen yang
berhubungan secara hierarkis dan teleologis .
Dalam proses kreatif penciptaan teks sastra, misalnya, ilmu yang melatari tidak dapat disebut sebagai
pengetahuan menulis atau writing , tetapi oleh Derrida disebutnya dengan istilah
grammatology . Ilmu tentang tanda atau semiology dalam hal itu juga harus didudukkan
sejajar dengan grammatology .
Sedangkan dekonstruksi adalah bentuk
perwujudan teks lewat grammatology yang
dalam kehadirannya nanti meimiliki cirri-ciri
spesifik. Kekhususan itu ditentukan oleh sikap, intensitas, maupun pengolahan bentuk oleh pengarangnya. Pada sisi lain, membaca teks juga harus memiliki sifat dekonstruktif . Perolehan makna lewat bentuk teks harus diangkat ke luar, dibandingkan dengan logika berpikir maupun kemungkinan tanggapan yang doberikan
pengarang terhadap
6. Beberapa Penyimpulan
Puisi dapat mengandung isi yang bersifat faktual serta sesuatu yang sifatnya abstrak.
Sebagai wacana, puisi memiliki dua struktur: kongkret dan abstrak.
Keterlibatan unsur-unsur luar yang secara struktural sebenarnya masih merupakan mata rantai teks, dalam
interpretasi makna akan membantu pemaknaan lambang lewat projection rule serta pemaknaan baris atau kalimat lewat presuposisi.
Dalam proses memaknai yang melibatkan kegiatan penafsiran yang cukup kompleks, akan tertempuh langkah kegiatan meliputi (1) pengidentifikasian makna yang terkandung dalam struktur kongkret, (2)
pengidentifikasian relasi makna antarkata serta baris yang satu dengan lainnya, (3) pelaksanaan abstraksi dari berbagai kemungkinan makna yang erdapat dalam suatu lambang, (4) penghubungan proyeksi makna bentuk atau lambang yang satu dengan yang lain, (5) pemaknaan baris atau kalimat dengan atau tanpa presuposisi, (6) pengidentifikasian makna dalam unsur intrinsik puisi yang lain, (7) penentuan satuan-satuan pokok pikirannya, (8) penentuan totalitas makna yang ada, serta (9) penentuan tema yang dikandungnya
Pengertian dan Ragam Puisi
Bahasa Yunani Poeima = membuat atau Poeisis = pembuatan
Bahasa Inggris Poem atau poetry
Dengan mengutip pendapat Mc Caulay, Hudson mengungkapkan bahwa :
Puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata
sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi.
Ragam Puisi
Puisi Epik, yakni suatu puisi yang di dalamnya mengandung cerita kepahlawanan Puisi Naratif, yakni puisi yang di dalamnya mengandung suatu cerita
Puisi Lirik, puisi yang berisi luapang batin individual penyairnya
Puisi Dramatik, puisi yang secara objektif menggambarkan perilaku seseorang Puisi Didaktik, puisi yang mengandung nilai-nilai kependidikan
Puisi Satirik, puisi yang mengandung sindiran atau kritik Romance, puisi yang berisi luapan rasa cinta seseorang Elegi, puisi yang mengungkapkan rasa pedih seseorang
Ode, puisi yang berisi pujian terhadap seseorang yang memilki jasa
Himne, puisi yang berisi pujian kepada Tuhan maupun ungkapan cinta bangsa dan tanah air
1. Bangun Struktur Puisi
Bangun struktur puisi adalah unsur pembentuk puisi yang dapat diamati secara visual.
Unsur tersebut meliputi :
Bunyi Kata
Larik atau baris Bait
Unsur Bunyi dalam Puisi
Bila berbicara tentang masalah bunyi dalam puisi, kita harus memahami konsep tentang :
Rima adalah bunyi yang berselang/berulang, baik di dalam larik puisi maupun pada akhir larik-larik puisi, yang di dalamnya masih mengandung berbagai aspek, meliputi (a) asonansi atau runtun vocal, (b) aliterasi atau purwakanti, (c) rima akhir, (d) rima dalam, (e) rima rupa, (f) rima identik, dan (g) rima sempurna.
Irama, yakni paduan bunyi yang menimbulkan unsur musikalitas, baik berupa alunan keras-lunak, tinggi-rendah, panjang-pendek, dan kuat-lemah, yang keseluruhannya mampu
menumbuhkan kemerduan, kesan suasana serta nuansa makna tertentu.
Perhatikan penggalan puisi berikut
Pada contoh puisi di atas, misalnya, adanya perulangan bunyi vokal (e) seperti tampak pada larik “ke manakah pergi”. Perulangan bunyi demikian disebut asonansi . Selain itu, juga dapat diamati adanya perulangan bunyi konsonan (n) seperti nampak pada larik “pohon kehilangan daun”. Perulangan bunyi konsonan itu disebut aliterasi . Perulangan bunyi seperti contoh di atas berlaku di antara kata-kata dalam satu larik. Rima demikian itu disebut rima dalam .
Tampak juga adanya paduan bunyi antara setiap akhir larik sehingga menimbulkan pola persajakan vokal /i/ -- vokal /i/ dengan konsonan /n/ -- konsonan /n/ seperti tampak pada bentuk . . . pergi/ . . . matahari/ . . . turun/ . . . daun . Rima demikian itu, yakni rima yang terdapat pada akhir larik puisi, disebut rima akhir
Ke manakah pergi mencari matahari ketika salju turun
Pada contoh puisi di atas juga dapat kita jumpai adanya pengulangan kata “ketika” di antara bait-bait. Ulangan kata demikian disebut rima identik. Contoh lain, misalnya, dapat diamati pada puisi berjudul “Sajak Samar” karya Abdul Hadi W.M. seperti berikut.
Disebut rima sempurna bila perulangan bunyi meliputi bsaik pengulangan konsonan maupun vokal, seperti tampak pada bentuk “pergi” dan “sendiri” larik 3 dan 4 puisi di atas.
dayang memisahkan kita jam dinding in ad yang mengisahka kita bumibisik-bisikin ad . Tapi ta ad kuciumwang kainmu sebelu
Dan disebut rima rupa bila pengulangan hanya tampak pada penulisan suatu bunyi, sedangkan pelafalannya tidak sama. Misalnya rima antara bunyi vokal /u/ dalam bentuk “bulan” serta bunyi vokal /u/ dalam “belum”, seperti tampak pada salah satu
puisi Abdul Hadi W.M. berjudul “Dan Bajumu” di bawah ini.
Euphony sebagai salah satu ragam bunyi yang mampu menuansakan suasana keriangan, vitalitas maupun gerak. Bunyi euphony umumnya berupa bunyi-bunyi
vokal. Seperti pada kata “gembira”, “bernyanyi”, “berlari”, dan lain-lain. Pasan bajumu. Dingin aka lal melewat
menyusu dekat semak-sema pohon kay
tapi bula be kelihatan puncak-puncak bukit
Sedangkan bunyi cacophony adalah bunyi yang menuansakan suasana ketertekanan batin, kebekuan, kesepian ataupun kesedihan. Bunyi cacophony umumnya berupa
bunyi-bunyi konsonan yang berada di akhir kata. Bunyi konsonan itu dapat berupa bunyi-bunyi bilabial , seperti nampak pada larik-larik ketika tubuh kuyup/ dan pintu tertutup.
Mungkin juga berupa bunyi dorso velar , misalnya /k/ dan /n/, seperti dalam penggalan puisi berjudul “Hampa” karya Chairil Anwar di bawah ini.
Sepi di luar. Sep meneka mendes Lurus ka pohonan. Tak bergera
Sampai ke punc . Sep memag Ta satukuas melepas-renggu
Ragam bunyi berikutnya anomatopoeia atau sering disebut onomatope,
sebagai bunyi dalam puisi yang umumnya hanya memberikan sugesti suara
yang sebenarnya. Bunyi yang disugestikan itu bisa berupa bunyi binatang,
tik-tik air hujan, gemuruh ombak, dan lain-lainnya. Sapardi Djokodamono
misalnya, cukup mengungkapan, “. . . kuda-kuda meringkik di bukit-bukit
jauh”. Penyugestian itu dapat dimaklumi karena memang sulit menirukan
Kata dalam Puisi
Berdasarkan bentuk dan isi, kata-kata dalam puisi dapat dibedakan antara
• Lambang, yakni bila kata-kata itu mengandung makana seperti makna dalam kamus (makna leksikal) sehingga acuan maknanya tidak menunjuk pada berbagai macam kemungkinan lain (makna denotatif).
• Ulterance atau indice, yakni kata-kata yang mengandung makna sesuai dengan keberadaan dalam konteks pemakaian.Kata “ jelang” dalam baris puisi Chairil, “Aku ini binatang jalang”, telah berbeda maknanya dengan “wanita jalang itu telah berjanji mengubah nasibnya”.
• Symbol, yakni bila kata-kata itu mengandung makna ganda (makna konotatif) sehingga untuk memahaminya seseorang harus menafsirkannya (interpretasi) dengan melihat bagaimana hubungan makna kata tersebut dengan makna kata lainnya (analisis kontekstual), sekaligus berusaha menemukan fitur semantisnya lewat kaidah proyeksi .
Symbol dibedakan antara:
Blank symbol, yakni bila symbol itu, meskipun acuan maknanya bersifat
konotatif, pembaca tidak perlu menafsirkannya karena acuan maknanya
sudah bersifat umum
Misalnya “tangan panjang”, “lembah duka”, “mata
keranjang”
Netral symbol, yakni bila symbol itu menggunakan realitas alam
Misalnya “cemara pun gugur daun”, “ganggang menari”, “hutan kelabu dalam hujan”
Private symbol, yakni bila symbol itu secara khusus diciptakan dan digunakan
penyairnya
Misalnya “aku ini binatang jalang”, “mengabut nyanyian”,
Gaya bahasa dalam puisi :
Metafor, yakni pengungkapan yang mengandung makna secara tersirat untuk mengungkapkan acuan makna yang
lain selain makna sebenarnya.
Misalnya, “cemara pun gugur daun” mengungkapkan makna “ketidak abadian
kehidupan”
Metonimi, yakni pengungkapan dengan menggunakan suatu realitas tertentu, baik itu nama orang, benda, atau sesuatu
yang lain untuk menampilkan makna-makna tertentu.
Misalnya, “ Hei! Jangan kau patahkan kuntum bunga itu”. “kuntum bunga” di
situ mewakili makna tentang remaja yang lagi mekar buat mencapai cita-cita
hidupnya.
Anafora, yakni pengulangan kata atau frase pada awal dua larik puisi secara
berurutan untuk penekanan atau keefektifan bahasa.
Misalnya, terdapat dalam salah satu puisi Sapardi Djokodamonno, “Tak ada yang
memerlukan kita lagi. Tak ada yang memanggil kembali”
Oksimoron, yakni gaya bahasa yang menggunakan penggabungan kata yang
sebenarnya acuan maknanya bertentangan.
Misalnya pada salah satu puisi Sapardi Djokodamono, “Begini: kita mesti berpisah. Sebab sudah terlampaui lama
Baris dalam Puisi
Istilah baris atau larik dalam puisi, pada dasarnya sama dengan istilah kalimat dalam karya prosa. Perbedaanya bila kalimat dalam karya prosa secara jelas diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan titik, sedangkan dalam puisi hal
tersebut tidak selamanya dijumpai dalam puisi, selain itu baris dalam puisi juga sering kali mengalami pelesapan, yakni penghilangan salah satu atau beberapa bentuk dalam suatu larik untuk mencapai kepadatan dan keefektifan bahasa. Selain itu struktur kalimat dalam puisi sebagai suatu baris, tidak selamanya sama dengan
struktur kalimat dalam karya prosa.
Baris atau larik puisi adalah satuan yang pada umumnya lebih besar dari kata dan telah mendukung satuan makna tertentu.
Bait dalam Puisi
Bait adalah kesatuan larik yang berada dalam satu kelompok dalam rangka mendukung satu kesatuan pokok pikiran terpisah dari kelompok larik (bait) lainnya.
Peranan bait dalam puisi adalah untuk membentuk suatu kesatuan makna dalam rangka mewujudkan pokok pikiran tertentu yang berbeda dengan satuan makna dalam kelompok larik lainnya. Pada sisi lainnya, bait juga berperan menciptakan
tipografi puisi. Selain itu, bait juga berperan dalam menekankan atau mementingkan suatu gagasan serta menunjukkan adanya loncatan-loncatan
Tipografi dalam Puisi
Tipografi adalah cara penulisan suatu puisi sehingga menampilkan bentuk-bentuk tertentu yang dapat diamati secara visual.
Peranan tipografi dalam puisi, selain untuk menampilkan aspek artistik visual, juga untuk menciptakan nuansa makna dan suasana tertentu. Selain itu, tiprografi juga berperanan dalam menunjukkan adanya loncatan gagasan serta memperjelas adanya