• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL. Dr. dr. Ahmad Suryawan, SpA(K)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROFIL. Dr. dr. Ahmad Suryawan, SpA(K)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Dokter Ahmad Suryawan merupakan dokter spesialis anak

konsultan tumbuh kembang lulusan Fakultas Kedokteran

Universitas Airlangga. Dikenal oleh rekan-rekan sejawatnya, yang

saat ini menjabat sebagai Ketua UKK Tumbuh Kembang Pediatri

Sosial IDAI, beliau merupakan dokter anak pertama di Indonesia yang tersertifikasi resmi sebagai ‘general movement expert’ di level Basic dan Advance setelah menyelesaikan program fellowship

tahun 2006 dan 2009 di University Medical Centre Groningen

Belanda. Pengalaman tersebut membawa dokter kelahiran

Malang ini untuk mendirikan ‘Pusat Pengembangan Kualitas Anak

Usia Dini’ Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya sebagai ‘centre of

excellence’ di bidang tumbuh kembang anak. Di luar aktivitasnya

sebagai seorang ahli kesehatan anak dan peneliti, Dokter Wawan juga seringkali dipercaya sebagai narasumber pada konferensi-konferensi tingkat nasional maupun internasional. Berbagai penghargaan sudah didapatkan oleh Dr. Wawan, termasuk

the ‘Winner of Young Researcher Award’ dari Asian Pediatric

Conference tahun 2002 dan ‘Travel Scholarship Award’ dari

International Pediatric Association di Melbourne tahun 2013.

Dr. dr. Ahmad Suryawan, SpA(K)

(2)
(3)

Pendahuluan

Perkembangan perilaku merupakan salah satu aspek fundamental pada

perkembangan anak. Pada konteks biologis berdasarkan studi meta-analisis, perilaku dapat diartikan sebagai koordinasi respons secara internal (untuk beraksi atau tidak beraksi) dari seorang anak (baik secara individual atau berkelompok) terhadap berbagai stimulus internal dan/ atau eksternal, baik merupakan hasil bawaan atau proses belajar dari lingkungan (Levitis, 2009).

Secara umum, kompleksitas perilaku anak mencerminkan kompleksitas susunan saraf pusat yang mayoritas terbentuk pada periode sensitif di masa usia dini. Proses belajar selama periode sensitif, mempunyai dampak jangka panjang untuk perkembangan perilaku emosi dan sosial seorang anak. Pembentukan perilaku sosial anak selama periode sensitif, ditentukan oleh keberhasilan pembentukan sirkuit otak pada periode tersebut sebagai komponen biologisnya. Pembentukan sirkuit otak anak, terbentuk dari perpaduan faktor genetik (nature) dan proses belajar (nurture) yang memodulasi berbagai mekanisme biokimiawi neurotransmiter selama pembentukan sirkuit dan plastisitas otak seorang anak.

Dengan demikian, pembentukan sirkuit otak yang mendasari perkembangan perilaku jangka panjang seorang anak, sangat sensitif terhadap berbagai sinyal endogen dan eksogen. Salah satu sumber sinyal tersebut, berasal dari sistem pencernaan. Semakin banyak studi yang membuktikan adanya hubungan dua arah antara saluran pencernaan dengan otak, yang memengaruhi pembentukan sirkuit otak dan berdampak jangka panjang terhadap kecerdasan dan perilaku anak. Dengan memahami mekanisme hubungan antara saluran cerna dan otak pada periode sensitif perkembangan anak, diharapkan dapat membuka pengetahuan baru yang lebih detail tentang manajemen gangguan perilaku pada anak.

Teori Gut-Brain Axis

Teori tentang adanya hubungan interaksi dua arah antara sistem pencernaan dan otak telah dikenal sejak pertengahan abad 19. Beberapa pioner, seperti Claude Bernard, Ivan Pavlov, William Beaumont, William James, dan Carl Lange. Bahkan pada tahun 1872, Charles Darwin telah mengenalkan adanya interaksi tersebut dalam sebuah manuskrip The Expression of the Emotions in Man and Animals. Pada akhir tahun 1920, Waltor Cannon, seorang pioner dalam studi motilitas gastro-intestinal, menekankan salah satu aspek penting aktivitas otak dalam memodulasi fungsi saluran pencernaan (El-Ansary, 2013).

(4)

Hypothalamus Pituitary ACTH Adrenals Circulation Cortisol Cytokines Immune cells Enteric Muscles Epithelium Gut Microbiota Intestinal Lumen Neurotransmitters SCFAs Tryptophan metabolism Vagus Nerve Mood, cognition, emotion CRF

Komunikasi dua arah (bi-directional) antara sistem pencernaan dan otak (Gut-Brain Axis) (Crayn, 2012)

Gambar 10.1

terdapat aksis antara sistem pencernaan dan otak, atau yang dikenal dengan istilah “gut-brain axis” (GBA), yaitu adanya sebuah komunikasi homeostatik dua arah (bidirectional) dengan melibatkan jalur persarafan, hormonal, dan immunologi (Mayer, 2011; Cryan, 2012) (Gambar 10.1). Pemahaman bagaimana otak dapat memodulasi sistem saraf di pencernaan (enteric nervous system atau ENS) dan berbagai fungsi gastro-intestinal, dapat dijelaskan melalui peran ENS dalam mekanisme signaling antara saluran cerna

dan otak. Adanya gangguan dalam proses interaksi otak-saluran cerna mempunyai kaitan erat dengan berbagai keadaan: inflamasi saluran cerna, sindroma nyeri perut kronis (chronic abdominal pain syndromes) dan gangguan pola makan (Mayer, 2011). Sementara itu, modulasi fungsi aksis saluran cerna-otak terkait dengan respons terhadap stres dan perkembangan perilaku (Rhee, 2009).

(5)

Peranan Mikrobiota Saluran Cerna

dalam Teori Gut-Brain Axis

Salah satu perhatian utama dalam konsep GBA saat ini adalah semakin diketahuinya peran mikrobiota saluran cerna dalam perkembangan dan fungsi sistem saraf pusat (Bercik et al., 2010 dan 2011). Saluran cerna berisi ekosistem mikroba yang sangat kompleks, dikenal dengan istilah “gut microbiome” untuk menggambarkan komposisi mikrobiota, mulai dari gen hingga protein dan metabolitnya. Mikrobiota saluran cerna berguna bagi host untuk melindungi diri terhadap bakteri patogen, berpartisipasi dalam asupan nutrisi makanan, metabolisme obat-obatan tertentu, dan bahan-bahan karsinogenik (Al-Asmakh, 2012).

Mikrobiota di dalam saluran cerna manusia diperkirakan sebanyak 1x1013–1014,

yang berarti sepuluh kali lebih banyak dibandingkan dengan jumlah sel tubuh dan mengandung lebih dari 150 gen. Jumlah spesies mikrobiota saluran cerna bervariasi, lebih dari 1000 spesies dan lebih dari 7000 strain, mayoritas adalah spesies Bacteriodetes dan Firmicutes (Eckburg, 2005). Studi membuktikan bahwa kolonisasi

mikrobiota saluran cerna saat ibu hamil ternyata mempunyai efek jangka panjang terhadap keadaan anak di kemudian hari. Pada saat di dalam kandungan, janin hidup dalam kondisi relatif steril. Metabolit mikrobiota ibu memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan otak janin melalui

mediator plasenta. Plasenta berperan sangat penting bagi pertumbuhan otak janin, terlebih ketika dalam keadaan bahaya seperti malnutrisi. Plasenta dapat melalukan pemecahan jaringan sendiri (otofagi) untuk memberikan energi dan nutrien penting ke otak janin (Bildiricia, 2012).

Plasenta merupakan sumber serotonin, neurotransmiter penting untuk

perkembangan sirkuit otak janin. Uji coba pada binatang menunjukkan bahwa pada masa mid-gestasi, plasenta mengonversi triptofan ibu menjadi serotonin (5-hydroxytryptophan; 5-HT) yang menjadi sumber 5-HT bagi perkembangan otak janin (Bonnin, 2012). Perkembangan otak janin pada keadaan stres, melibatkan jalur hormonal antara plasenta dan HPA-aksis janin. Aktivasi HPA-HPA-aksis prenatal berdampak pada penurunan glococorticoid binding capacity di hipokamus, sehinga mempunyai efek jangka panjang terhadap respons stres, perilaku kecemasan, ketakutan dan penurunan kognitif (Maccaria, 2003).

Kolonisasi mikrobiota saluran cerna post-natal, dipengaruhi oleh cara persalinan dan pola diet setelah lahir (Al-Asmakh, 2012) (Gambar 10.2). Mikrobiota saluran cerna adalah bakteri komensal pada saat bayi baru lahir. Kolonisasi mikrobiota bayi baru lahir, terbentuk saat lahir spontan pervaginam. Pada saat tersebut, mikrobiota bayi sampai dengan umur 1 tahun, memiliki sifat yang sama dengan mikrobiota ibu.

(6)

Dari berbagai fakta tersebut di atas, para ahli saat ini berpendapat bahwa kolonisasi mikrobiota saluran cerna di masa awal kehidupan anak akan sangat menentukan pembentukan sirkuit dan fungsi otak anak pada periode kritis atau sensitif perkembangan otak. Mekanisme peran mikrobiota terhadap fungsi otak dapat melalui berbagai cara (Cryan, 2012), antara lain:

1. Perubahan Komposisi Mikrobiota

Pemberian bakteri potensial seperti probiotik atau berbagai agen infeksi secara eksogen, dapat memengaruhi komposisi mikrobiota saluran cerna melalui berbagai jalur, yaitu:

• berkompetisi sebagai substrat

pertumbuhan;

Setelah usia 1 tahun, mikrobiota saluran cerna anak akan mempunyai karakteristik yang menyerupai manusia dewasa (Mackie, 1999). Pola diet atau nutrisi, dapat merubah susunan komposisi mikrobiota saluran cerna.

Prenatal

Postnatal Infant Microbiota Delivering

Mode

Feeding Patterns Mother Microbiota

Interaksi mikrobiota saluran cerna pada prenatal dan postnatal dengan otak (Al-Asmakh, 2012)

Gambar 10.2

Misalnya: makanan tinggi lemak berkorelasi dengan kolonisasi mikrobiota Bacteroides. spp, dan makanan tinggi karbohidrat berkorelasi dengan mikrobiota Prevotella. spp (Grenham, 2011).

• biokonversi dari produk gula ke

produk fermentasi;

• memproduksi berbagai

substrat pertumbuhan (mis: vitamin atau polisakarida eksoseluler) untuk bakteri lain;

• memproduksi bakteriosins

• berkompetisi pada sisi ikatan di dinding

saluran cerna;

• memperbaiki fungsi barier

saluran cerna;

• mengurangi proses inflamasi; • menstimulasi respons imun innate. Semua cara di atas, berefek pada mekanisme signaling antara saluran cerna dan otak (O’Toole, 2008).

(7)

2. Aktivasi Sistem Imun

Berbagai mikrobiota dan agen probiotik dapat berefek secara langsung dalam sistem imun. Sistem imun innate dan adaptif secara bersama akan mempertahankan hosmestasis pada permukaan lumen saluran cerna tempat kolonisasi mikrobiota. Sistem imun juga berperan dalam memperlancar proses komunikasi dua arah dengan otak, sehingga sistem tersebut menjadi sebuah target utama untuk memperkuat efek mikrobiota terhadap fungsi otak. Selain itu, efek indirect dari mikrobiota saluran cerna dan probiotik dalam sistem imun dapat memengaruhi level sitokin pro-dan anti-inflamasi di dalam sirkulasi darah yang secara langsung akan memengaruhi fungsi otak (Forsythe, 2010; Duerkop, 2009; Sternberg, 2006; Dantzer, 2008).

3. Aktivasi Nervus Vagus

Nervus vagus (N. X) dapat bersifat eferen dan aferen. Nervus vagus adalah saraf utama parasimpatis dari sistem saraf otonom dan meregulasi fungsi berbagai organ, termasuk konstriksi bronkus, denyut jantung dan motilitas usus. Aktivasi nervus vagus mempunyai efek anti-infamatori, sehingga mencegah terjadinya sepsis yang diinduksi oleh mikrobiota pada nicotinic acetylcholine receptor α7 subunit-dependent. Mayoritas jaras saraf nervus vagus bersifat sensoris (80%), yang membawa informasi dari berbagai organ yang dipersarafi ke otak. Beberapa efek mikrobiota usus

dan probiotik terhadap otak, tergantung aktivasi nervus vagus. Namun,

mekanisme interaksi mikrobiota-otak juga melibatkan mekanisme yang tidak tergantung aktivasi nervus vagus, terbukti bila dilakukan vagotomi tidak dapat mencegah efek mikrobiota terhadap otak dan perilaku (Bercik, 2011). Mekanisme aktivasi jaras nervus vagus aferen oleh mikrobiota sampai saat ini belum jelas sepenuhnya.

4. Metabolisme Triptofan

Triptofan adalah sebuah asam amino yang bekerja sebagai prekusor berbagai agen biologis aktif, termasuk neurotransmiter serotonin. Disregulasi metabolik triptofan pada jalur struktur kynurenine terbukti berperan pada berbagai gangguan otak dan saluran cerna (Ruddick, 2006). Dua enzim yang berfungsi sebagai katalisator pada kaskade metabolisme kynurenine adalah indoleamine-2,3-dioxygenase atau hepatic-based tryptophan 2,3-dioxygenase. Aktivitas kedua enzim tersebut diinduksi oleh beberapa mediator inflamatori dan juga oleh kortikosteroid. Terdapat berbagai bukti studi yang menunjukkan bahwa probiotik Bifidobacterium infantis dapat memengaruhi kadar kynurenine (Desbonnet, 2008). Tetapi, hal tersebut tidak terbukti untuk semua strain Bifidobacterium, karena pemberian Bifidobacterium longum tidak memengaruhi kadar kynurenine (Lyte, 2006).

(8)

5. Neurometabolit Mikrobiota

Mikrobiota saluran cerna dapat memodulasi berbagai reaksi metabolik untuk menghasilkan berbagai metabolit seperti asam empedu, kolin, dan asam lemak rantai pendek (short-chain fatty acids) yang sangat dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan kesehatan host. Karbohidrat kompleks seperti diet berserat dapat dipecah dan difermentasi di dalam kolon oleh mikro-organisme saluran cerna menjadi asam lemak rantai pendek seperti n-butirat, asetat dan propionat, yang diketahui mempunyai efek sebagai zat neuroaktif. Beberapa mikrobiota yang mempunyai kapasitas untuk memproduksi

neurotransmiter dan neuromodulator antara lain (Lyte, 2011; Barrett, 2012): - Lactobacillus spp dan Bifidobacterium spp., memproduksi GABA

- Escherichia spp., Bacillus spp. dan Saccharomyces spp., memproduksi noradrenalin

- Candida spp., Streptococcus spp., Escherichia spp. and Enterococcus spp. memproduksi serotonin

- Bacillus spp. memproduksi dopamine - Lactobacillus spp. memproduksi

asetilkolin (acetylcholine)

Neurotransmiter yang diproduksi oleh mikrobiota di dalam lumen intestinal tersebut, akan menginduksi lapisan sel epitelial untuk melepas berbagai molekul yang memodulasi sinyal persarafan didalam sistem saraf saluran cerna, atau bekerja secara langsung pada berbagai akson aferen primer (Forsythe, 2012).

6. Lapisan Dinding Sel Mikrobiota

Lapisan polisakarida dinding sel bagian luar yang menyelimuti bakteri probiotik mempunyai efek terhadap keseimbangan kesehatan. Lapisan polisakarida eksoseluler dari Bifidobacterium breve UCC2003 melindungi bakteri dari cairan asam dan empedu di dalam saluran cerna dan juga dari berbagai respons imun (Fanning, 2012). Sebagai metabolit yang bersifat neuro-aktif, komponen dinding sel dari mikrobiota di dalam lumen intestinal atau yang terikat dengan sel epitelial akan menginduksi pelepasan berbagai molekul yang memodulasi sinyal persarafan atau bekerja langsung pada akson aferen primer untuk memengaruhi fungsi otak.

Gangguan Perilaku Berdasar

Paradigma Gut-Brain Axis

Studi penelitian saat ini terfokus pada efek mikrobiota terhadap fungsi otak dan mekanisme perilaku stres. Pengaruh perilaku stres terhadap komposisi mikrobiota usus, yang melibatkan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal (HPA-axis) telah diketahui dengan lebih jelas sebelumnya. Konsekuensi klinis dari pengaruh tersebut, saat ini masih terus diteliti dan dikembangkan.

Studi binatang coba membuktikan bahwa stresor pada usia dini dapat mengakibatkan dampak jangka panjang dalam aktivasi HPA-aksis. Stres pada awal kehidupan juga berdampak jangka panjang pada komposisi mikrobiota usus. Komposisi mikrobiota fekal

(9)

Probiotic studies Antibiotic studies Infection studies

Germ-free studies

Faecal transplantation studies

Uji menggunakan binatang bebas

mikrobiota mempunyai keuntungan dalam hal penilaian langsung peran mikrobiota pada berbagai aspek fisiologis. Hal tersebut didukung oleh fakta bahwa lingkungan rahim masih steril, dan kolonisasi mikrobiota saluran cerna terjadi pada masa awal post-natal (Cryan, 2011).

Studi binatang coba oleh Sudo dkk. (1994) membuktikan peran mikrobiota intestinal dalam pembentukan HPA-axis. Pada binatang bebas kolonisasi mikrobiota (germ-free) yang mengalami stres, hormon adrenokortikotropik dan kortikosteron terinduksi lebih tinggi dibandingkan pada binatang kontrol dengan komposisi mikrobiota yang normal.

pada anak binatang coba yang dipisahkan dengan ibunya, berbeda dengan yang tidak dipisahkan (Bailey, 1999).

Perilaku stres yang berlangsung terus-menerus (kronis), tidak hanya mengubah komposisi mikrobiota usus, tetapi juga mengganggu fungsi barier saluran cerna. Hal tersebut mengakibatkan kebocoran dan dapat meningkatkan kadar komponen lipopolisakarida dinding sel di dalam sirkulasi. Studi menunjukkan bahwa pemberian probiotik Lactobacillus farciminis dapat berefek mencegah kebocoran

tersebut, dan memperbaiki perilaku stres akibat aktivasi HPA-aksis. Hal ini dapat digunakan sebagai dasar adanya peran mikrobiota saluran cerna dalam memodulasi respons stres melalui jalur GBA. Adanya peran mikrobiota saluran cerna pada perilaku dan kognitif, dapat dibuktikan melalui berbagai studi: studi uji binatang bebas mikrobiota, uji binatang coba yang terinfeksi mikrobiota patogen, uji paparan probiotik dan antibiotika, dan uji transplantasi fekal (Gambar 10.3) (Cryan, 2012).

Strategi investigasi peran Gut-Brain Axis terhadap fungsi otak dan perilaku (Cryan, 2012)

(10)

Respons stres kedua hormon tersebut akan membaik sebagian, bila diberikan kolonisasi mikrobiota yang berasal dari feses

binatang kontrol. Respons stres akan pulih sepenuhnya bila diberikan Bifidobacterium infantis. Menariknya, semakin dini diberikan kolonisasi mikrobiota, semakin besar efek membaiknya. Hasil terbaik akan didapatkan bila inokulasi mikrobiota dilakukan sebelum lahir (Sudo, 1994).

Data tersebut semakin memperjelas bahwa mikrobiota saluran cerna di usia dini memengaruhi perkembangan respons stres di usia mendatang. Terlebih, disinyalir terdapat sebuah “periode kritis” kolonisasi mikrobiota yang terkait dengan periode kritis perkembangan anak di usia dini untuk menjamin terbentuknya HPA-axis yang normal. Pada level neuron, binatang bebas mikrobiota mempunyai level brain-derived neurotrophic factor (BDNF) yang rendah. BDNF merupakan neurotrophin utama dalam pertumbuhan dan daya survival neuron. Pada otak binatang bebas mikrobiota, juga terjadi penurunan ekspresi NMDA reseptor subunit 2A (NR2A) di korteks dan hipokampus dibandingkan kontrol (Sudo, 2004).

Studi terbaru juga membuktikan bahwa keadaan bebas mikrobiota menyebabkan peningkatan kadar 5-HT hipokampus dan triptofan. Peningkatan kadar triptofan dalam plasma sebagai pertanda bahwa mikrobiota memengaruhi transmisi serotonin ke otak melalui aktivasi jalur humoral. Kolonisasi mikrobiota saluran cerna yang dilakukan

saat usia dewasa mampu mengembalikan level triptofan plasma ke keadaan normal, namun tidak dapat menormalkan level serotonin di otak yang sudah terinduksi terlebih dahulu pada usia dini (Clarke, 2012). Secara keseluruhan, berbagai studi di atas membuktikan bahwa mikrobiota saluran cerna mempunyai peran spesifik dalam regulasi fungsi otak, respons stres dan berbagai perilaku.

Gut-Brain Axis dan Gangguan

Perilaku Kecemasan

Beberapa studi membuktikan infeksi dan inflamasi saluran cerna dapat menyebabkan perubahan perilaku cemas. Mikrobiota patogen saluran cerna dapat memengaruhi aktivitas berbagai mediator inflamasi melalui sistem vagal. Aktivasi sistem vagal oleh mikrobiota patogen melalui aktivasi makrofag dan jaras visero-sensoris dalam saluran cerna atau aktivasi sistem nukleus brainstem yang menuju hipotalamus dan nukleus amigdala yang menuju korteks, sehingga menyebabkan perubahan perilaku kecemasan (Goehler, 2007).

Pada studi eksperimental pemberian mikrobiota hidup Campylobacter jejuni dalam saluran cerna, ternyata menimbulkan efek perilaku kebingungan dan kecemasan dibanding yang diberikan plasebo. Pada studi tersebut terbukti bahwa mikrobiota patogen dapat memengaruhi fungsi otak bukan karena adanya bakteriemia atau translokasi mikrobiota ke sirkulasi darah,

(11)

tetapi lebih disebabkan karena peningkatan berbagai sitokin mediator pro-inflamasi. Hal tersebut mendukung pendapat bahwa terdapat aksis antara saluran cerna dan otak melalui persarafan visceral sensorik, baik secara intrinsik yang memodulasi fungsi sekresi dan motilitas saluran cerna, maupun secara ekstrinsik nervus vagus yang berkomunikasi dua arah dengan otak melalui inervasi saraf simpatis dan parasimpatis (Goehler, 2008).

Gut-Brain Axis dan Gangguan

Perilaku Autistik

Sejak dikenalkan pertama kali pada tahun 1943 (Kanner, 1943), istilah autisme banyak didiskusikan oleh para ahli perkembangan anak. Hingga pada tahun 2013, berdasarkan DSM V dan American Academy of Pediatrics (AAP), perilaku autistik dimasukkan menjadi satu kriteria baru secara tunggal, yaitu Autisme Spectrum Disorder (ASD) (Hyman, 2013). ASD merupakan serangkaian gejala klinis yang menetap dengan tiga karakteristik utama gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi dan bahasa, dan gangguan repetitif (gerakan berulang-ulang) yang terjadi pada usia anak dini, dan mengganggu fungsional kehidupan sehari-hari.

Anak dengan ASD sering dilaporkan mempunyai gejala gastro-intestinal, sehingga timbul pemikiran untuk

mengetahui apakah komposisi mikrobiota intestinal mempunyai kaitan dengan mekanisme gangguan perilaku autistik.

Terdapat studi yang membuktikan bahwa mikrobiota flora normal pada feses anak ASD mempunyai kandungan bakteri Clostridium histolyticum dibandingkan dengan anak sehat. Komposisi metabolit mikrobiota feses anak ASD, yang berupa asam lemak rantai pendek (SCFA) terbukti memiliki aktivitas neurometabolit yang mungkin terlibat dalam mekanisme Gut-Brain Axis, yang memengaruhi fungsi otak sehingga anak menunjukkan perilaku autistik (Parracho, 2005).

Berbagai hasil studi yang mengaitkan saluran cerna dan gangguan perilaku autistik pada anak ASD, harus ditafsirkan dengan penuh kehati-hatian, karena individu dengan ASD memiliki variasi yang sangat heterogen dalam pola diet dan penggunaan antibiotika, yang dapat memengaruhi komposisi mikrobiota intestinal. Masih diperlukan studi dengan replikasi sampel yang besar secara randomized control trial dengan analisis mikrobiota yang lebih detail untuk mengaitkan adanya hubungan antara mikrobiota saluran cerna dengan gejala gastro-intestinal, perilaku, dan kecerdasan anak ASD (Adams, 2011).

(12)

Ringkasan

Teori Gut-Brain Axis, yang menyatakan adanya hubungan dua arah (bi-directional) antara sistem pencernaan dan otak, dapat digunakan untuk menjelaskan mekanisme berbagai gangguan perilaku pada anak. Hubungan komunikasi dua arah tersebut diperankan oleh kolonisasi mikrobiota saluran cerna dan fungsi otak melalui berbagai jalur sistem imun, hormonal, metabolit neuroaktif dan persyarafan nervus vagus. Berbagai studi membuktikan adanya keterkaitan antara komposisi mikrobiota dengan gangguan perilaku tertentu. Namun, interpretasi hasil studi tersebut harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati, karena masih banyak yang belum terungkap ketika dilakukan translasi dari studi binatang coba ke manusia. Sehingga masih dibutuhkan studi lebih jauh untuk menjembatani hal tersebut.

Referensi

1. Adams JB, Johansen LJ, Powell LD, et al., 2011. Gastrointestinal flora and gastrointestinal status in children with autism – comparisons to typical children and correlation with autism severity. BMC Gastroenterology 11:11-22.

2. Al-Asmakh M, Anuar F, Zadjali F, et al., 2012. Gut microbial communities modulating brain development and function. Gut Microbes 3:366-73. 3. Aziz Q, Dore J, Emmanuel A, Guarner

F, Quigley M. 2013. Gut microbiota and gastrointestinal health: current concepts and future directions. Neurogastroenterol Motil 25:4–15.

4. Bailey MT, Coe CL., 1999. Maternal separation disrupts the integrity of the intestinal microflora in infant rhesus monkeys. Dev Phsycobiol 35:146-55 5. Barrett E, Ross RP, O’Toole PW, Fitzgerald

GF, Stanton C, 2011. γ-Aminobutyric acid production by culturable bacteria from the human intestine. J. Appl. Microbiol 113: 411–417

6. Bercik P. et al., 2010. Chronic

gastrointestinal inflammation induces anxiety-like behavior and alters central nervous system biochemistry in mice. Gastroenterology 139: 2102–2112.e1. 7. Bercik P. et al., 2011. The intestinal

microbiota affect central levels of brain-derived neurotropic factor and behavior in mice. Gastroenterology 141: 599–609. e3.

(13)

8. Bildiricia I, Longtineb MS, Chenb B, et al., 2012. Survival by self-destruction: A role for autophagy in the placenta? Placenta 33:591–8.

9. Bonnin A, Levitt P., 2012. Placental Source for 5-HT that Tunes Fetal Brain Development. Neurol Psy Pharm Rev 37:299–300.

10. Clarke G. et al., 2012. The microbiome– gut–brain axis during early-life regulates the hippocampal serotonergic system in a gender-dependent manner. Mol Psychiatry 12 Jun 2012 (doi:10.1038/ mp.2012.77).

11. Collin SM, Bercik P, 2009. The Relationship Between Intestinal Microbiota and the Central Nervous System in Normal Gastrointestinal Function and Disease. Gastroenterology 136:2003–2014

12. Cryan JF, Dinan TG. 2012. Mind-altering microorganisms: the impact of the gut microbiota on brain and behaviour. Nature Rev Neurosci. Published online 12 September 2012; doi:10.1038/nrn3346 13. Cryan JF, O’mahony SM. 2011. The

microbiome-gut-brain axis: from bowel to behavior. Neurogastroenterol Motil 23:187–92.

14. Dantzer R, O’Connor JC, Freund GG, Johnson RW, Kelley KW, 2008. From inflammation to sickness and depression: when the immune system subjugates the brain. Nature Rev Neurosci 9:46–56.

15. Desbonnet L, Garrett L, Clarke G, Bienenstock J, Dinan TG. 2008. The probiotic Bifidobacteria infantis: an

assessment of potential antidepressant properties in the rat. J Psychiatr Res 43:164–174.

16. Duerkop BA, Vaishnava S, Hooper LV, 2009. Immune responses to the microbiota at the intestinal mucosal surface. Immunity 31:368–376.

17. Eckburg PB, Bik EM, Bernstein CN, et al., 2005. Diversity of the Human Intestinal Microbial Flora. Science 308:1635-8. 18. El-Ansary A, Shaker GH, Rizk MZ, 2013.

Role of Gut-Brain Axis in the Aetiology of Neurodevelopmental Disorders with Reference to Autism. J Clinic Toxicol S6: 005. doi:10. 4172/2161-0495.S6-005 19. Fanning S. et al., 2012. Bifidobacterial

surfaceexopolysaccharide facilitates commensal–host interaction through immune modulation and pathogen protection. Proc Natl Acad Sci USA 109:2108–2113.

20. Forsythe P, Bienenstock J, 2010. Immunomodulation by commensal and probiotic bacteria. Immunol Invest 39:429–448.

21. Forsythe P, Kunze WA, 2012. Voices from within: gut microbes and the CNS. Cell Mol Life Sci. 26 May 2012 (doI:10.1007/ s00018-012-1028-z).

22.Goehler LE, Lyte M, Gaykema RP, 2007. Infection-induced

viscerosensory signals from the gut enhance anxiety: implications for psychoneuroimmunology. Brain Behav Immun 21:721-6.

23. Goehler LE, Parka SM, Opitzc N, Lyteb M, Gaykemaa RP, 2008. Campylobacter jejuni infection increases anxiety-like

(14)

behavior in the holeboard: possible anatomical substrates for viscerosensory modulation of exploratory behavior. Brain Behav Immun 22:354-66.

24. Grenham S, Clarke G, Cryan JF, et al., 2011. Brain-gut-micobe communication in health and disease. Front Physiol 2:1-11. 25. Hyman SL. 2013. New DSM-5 includes

changes to autism criteria. American Academy of Pediatrics:1-3

26. Kanner L, 1943. Autistic Disturbances of Affective Contact. Nervous Child 2:217-50.

27. Levitis DA, Lidicker WZ, Freund G, 2009. Behavioural biologist do not agree on what constitutes behaviour. Animal Behaviour. 78:103-110.

28. Lyte M, 2011. Probiotics function mechanistically as delivery vehicles for neuroactive compounds: microbial endocrinology in the design and use of probiotics. Bioessays 33: 574–581. 29. Lyte M, Li W, Opitz N, Gaykema R,

Goehler LE, 2006. Induction of anxiety-like behavior in mice during the initial stages of infection with the agent of murine colonic hyperplasia Citrobacter rodentium. Physiol Behav 89:350–357. 30. Maccaria S, Darnauderya M,

Morley-Fletchera S, et al., 2003. Prenatal stress and long-term consequences: implications of glucocorticoid hormones. Neurosci Bio Behavioral 27:119–27. 31. Mackie RI, Sghir A, Gaskins HR. 1999.

Developmental microbial ecology of the neonatal gastrointestinal tract. Am J Clin Nutr 69:1035S–45S

32. Mayer EA, 2011. Gut feelings: the emerging biology of gut–brain communication. Nature Rev Neurosci. 12:453–466.

33. O’Toole PW, Cooney JC. 2008. Probiotic bacteria influence the composition and function of the intestinal microbiota. Interdiscip Perspect. Infect Dis 2008:175-285

34. Parracho HM, Bingham MO, Gibson GR, et al., 2005. Differences between the gut microflora of children with autistic spectrum disorders and that of healthy children. J Med Microbiol 54:987–91. 35. Rhee SH, Pothoulakis C, Mayer EA, 2009.

Principles and clinical implications of the brain–gut–enteric microbiota axis. Nature Rev Gastroenterol Hepatol 6, 306–314. 36.Ruddick J P. et al., 2006. Tryptophan

metabolism in the central nervous system: medical implications. Expert Rev Mol Med 8: 1–27.

37.Sternberg EM, 2006. Neural regulation of innate immunity: a coordinated nonspecific host response to pathogens. Nature Rev Immunol 6:318–328.

38.Sudo N, Chida Y, Aiba Y, et al., 2004. Postnatal microbial colonization programs the hypothalamic-pituitary-adrenal system for stess response in mice. J Physiol 558:263-75

Referensi

Dokumen terkait