• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIMBOL DALAM SENI MERUPAKAN JENIS SIMBOL PRESENTASIONAL ARIFNI NETRIROSA, SST. Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SIMBOL DALAM SENI MERUPAKAN JENIS SIMBOL PRESENTASIONAL ARIFNI NETRIROSA, SST. Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

SIMBOL DALAM SENI MERUPAKAN JENIS SIMBOL PRESENTASIONAL ARIFNI NETRIROSA, SST

Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

A. PENDAHULUAN

Seperti yang kita ketahui dalam semua kegiatan manusia umumnya melibatkan simbolisme, oleh sebab itu manusia bukan saja animal rationale, tetapi juga animal simbolicum atau makhluk yang bermain dengan simbol-simbol (Cassirer,1990: 40). Disamping itu manusia adalah homo estheticus, disadari atau tidak setiap manusia memiliki rasa indah, dan manusia selalu bermain dengan simbol yang sesuai dengan pengalaman keindahan dan simbol tiap-tiap orang tersebut. Seorang Antro olog Belanda, J. Van Baal (1986: 46) mengatakan:

“Manusia dapat membedakan mana yang indah dan mana yang jelek dan selalu menyatakan dirinya dalam simbol-simbol: dalam perkataan, dalam mitos, dan juga dalam seni, dimana ia menemukan pernyataan yang murni dari dorongan hatinya sendiri untuk bebas menciptakan”.

Salah satu yang sudah merupakan budaya manusia adalah simbol, dengan peran simbol budaya dapat berkembang. Manusia dituntut kemampuannya untuk memahami simbol sebagai jembatan baginya untuk tanggap terhadap segala sesuatu yang dihadapi dalam hidupnya. Oleh sebab itu dalam rangka pengembangan budaya, funsi simbol sangatlah penting, sebab tanpa memahami simbol sulit bagi manusia untuk dapat memahami perubahan. Simbol-simbol merupakan tugu-tugu yang menandai proses belajar manusia, penunjuk ke arahpembaharuan danpenyusunan kembali (Peursen, 1993: 149).

Sungguh diluar jangkauan pemikiran kita adanya sekelompok masyarakat dan kebudayaan tanpa seni. Sudah merupakan salah satu unsur yang terdapat secara umum pada setiap kebudayaan dan masyarakat di manapun, bahwa kebutuhan akan ekspresi estetis selalu berkaitan dengan kekhususan fundamental manusia.

Dilihat dari masyarakat yang masih sangat sederhanapun ternyata hubungan antara simbol dan seni sangat erat, terlebih jika diingat bahwa seni pada kelompok masyarakat yang sederhana umumnya berhubungan erat dengan religi dalam mengungkapkan gejala fisik berupa tarian, patung, dan lukisan dalam bentuk-bentuk simbol. Gejala ini merupakan bentuk kesenian yang muncul karena adanya niat tertentu yang akan disampaikan atau sebagai ungkapan dalam bentuk dan tujuan magis religius. Karena itu muncullah seni allegoris sebagai alat komunikasi bagi seseorang.

Herbert Read dalam Pranjoto Setjoatmodjo (ed) (1988: 76) dalam bukunya "Bacaan Pilihan Tentang Estetika" bertanya bahwa dengan dasar apakah mesyarakat purba kita gemar meninggalkan kesan-kesan berupa garis, atau coretan-coretan pada dinding dan setiap benda-benda ? Read mengatakan jika seseorang mengalami sesuatu perasaan yang pernah dialaminya, dan setelah itu dengan perantaraan gerakan, garis, warna, suara, atau bentuk-bentuk yang diekspresikan secara verbal

(2)

dapat mengubah perasaan tersebut sedemikian rupa, sehingga orang lain dapat memahami dan mengalami perasaan yang sama. Hal inilah yang dikatakan aktifitas seni yang disampaikan dalam bentuk simbol.

Monodualis adalah makhluk yang dikenal sebagai manusia yang terdiri atas budi dan badan tidak dapat mengungkapkan pengalamannya secara memadai dengan akal murni saja. Rasa ternyata mempunyai kepekaan terhadap kenyataan yang tidak ditemukan oleh akal (Bakker, 1990:46). Untuk mengungkapkan rasa dan karsanya, manusia bermain dengan simbol. Manusia tidak saja sebagai makhluk berfikir (animal rationale), tetapi disebut juga makhluk bersimbol (animal simbolicum). Manusia selalu bermain dengan simbol, manusia mampu mengutarakan pikiran-pikiran dan perasaannya dalam bentuk-bentuk simbol, oleh sebab itu budaya manusia dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.

B. PERMASALAHAN

Sejauh mana pengertian dari simbol seni itu, dan bagaimana bentuk-bentuk simbol itu dalam sebuah kesenian.

C. PEMBAHASAN 1. Pengertian simbol

Secara etimologis, simbol berasal dari kata kerja Yunani sumballo (sumballein) (symbolos) yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Bentuk simbol adalah penyatuan dua hal luluh menjadi satu. Dalam simbolisasi, subjek menyatukan dua hal menjadi satu (Dibyasuharda,1990:11).

2. Persoalan Simbol dan Tanda

Simbol pada dasarnya berbeda dengan tanda karena keduanya berada dalam bidang yang berlainan. Perbedaan keduanya terletak dalam segi fungsionalnya. Susanne Langer memberikan gambaran yang lebih tegas berdasarkan penggunaan istilah itu sebagai subjek dan hubungannya dengan fungsi makna. Dalam hal ini pengaertian simbol menjadi lebih dinamis dibandingkan dengan tanda. Perbedaan yang mendasar antara simbol dan tanda adalah pada pengabungan subjek, tanda memberitahukan objek-objeknya kepada manusia, sedangkan simbol mengarahkan manusia untuk memahami objek-objek itu.

Simbol merupakan pengatar pemahaman objek-objek. Memahami suatu hal atau keadaan, adalah tidak sama dengan bereaksi terhadap sesuatu tersebut secara terbuka atau menyadari hadirnya sesuatu tersebut (Langer, 1976:60). Dalam membicarakan suatu benda kita mempunyai pemahaman dari benda tersebut, simbol tidak langsung menunjuk pada objek tertentu. Pemahaman inilah yang disebut simbol.

Perbedaan yang mendasar antara tanda dan simbol adalah bahwa tanda itu menerangkan, mengartikan atau memberitahukan objek-objek kepada subjek. Tanda merangsang subjek untuk segera bertindak, sedangkan simbol tidak. Subjek menangkap simbol kemudian mengadakan konsepsi tentang objeknya, simbol memimpin subjek menuju pemahaman objek-objek. Subyect denotes object, subjek menunjukan objek melalui suatu konsepsi.

Tanda dibedakan antara tanda alamiah (natural sign) dan tanda buatan (artficial sign). Tanda alamiah merupakan sebagian dari hubungan alamiah tertentu dan menunjuk pada bagian lain, (mendung-hujan, kilat-guntur) atau menunjuk pada

(3)

keseluruhan keadaan, yaitu cuaca buruk. Tanda alami adalah tanda yang datangnya dari alam, menunjuk pada eksistensi suatu kejadian, benda atau keadaan di masa lalu, kini, dan akan datang. Tanda buatan (artificial sign) dibuat berdasarkan kemauan dan kesepakatan manusia, yang berarti dalam hubungan manusia yang satu dengan yang lain.

Tanda alamiah dan tanda buatan keduanya menunjuk kepada sesuatu yang riil (benda, kejadian, atau tindakan). Tanda mempunyai hubungan logis dengan objek, antara keduanya terjadi jalinan hubungan yang sederhana. Satu tanda menunjuk kepada satu objek. Masing-masing tanda berkesesuian dengan satu hal tertentu yang merupakan objeknya, kejadian atau keadaan yang ditandai (Langer, 1976:57).

Suatu kata dapat berlaku dalam dua kemampuan sebagai tanda dan sebagai simbol hanya dinyatakan oleh sesuatu yang khusus, misalmya gerakan anggota tubuh tertentu dan nada suara. Kalau pada tanda ada tiga hal, yaitu (tanda-objek-pemahaman-subjek). Hubungan logis antara simbol dan objek tidak sesederhana hubungan tanda dengan objek, oleh sebab itu diperlukan pemahaman. Begitu banyaknya tanda dan simbol yang dibuat dan dihadapi manusia, sehingga memungkinkan sering terjadi kesalahan dalam menangkap pengertiannya. Apalagi suatu tanda bisa mewakili lebih dari tiga objek, bunyi sirene bisa diartikan pejabat sedang lewat, tanda kebakaran, ada yang meninggal dunia, peresmian suatu proyek, dan banyak lagi.

3. Jenis Simbol

Susanne Langer membuat dua macam cara pembedaan simbol, pertama simbol diskursif (discursive symbol) dan kedua simbol presentasional atau penghadir (presentational symbol).

Simbol diskursif adalah simbol yang cera penangkapannya mempergunakan nalar atau intelek, oleh sebab itu disebut juga simbol nalar. Penyampaian hal apa yang akan diungkapkan berlangsung secara berurutan, tidak spontan. Simbol dengan logika modern menganalisis pertanyaan-pertanyaan. Bahasa adalah satu-satunya yang tergolong dalam simbol diskursif, baik itu bahasa sehari-hari (languange of ordinary thought), bahasa ilmu (languange of scientific knowledge) ataupun bahasa filsafat (languange of philosophical thought). Keempat bahasa ini memiliki konstruksi secara konsekwen. Dalam simbol diskursif terkandung suatu struktur yang dibangun oleh kata-kata menurut hukum tata bahasa dan sintaksis. Pengabaian terhadap hukum tersebut menyebabkan kalimat kehilangan maknanya atau tak dapat dipahami, terjadi kekaburan makna.

Simbol presentasional ialah simbol yang cara pengungkapannya tidak memerlukan intelek, dengan spontan ia menghadirkan apa yang dikembangkannya (Wibisono,1977:147). Pemahaman simbolisme persentasional tidak tergantung kepada hukum yang mengatur hubungan unsur-unsurnya, akan tetapi dengan intuisi atau perasaan. Simbol presentasional dapat berdiri sendiri sebagai simbol yang penuh, artinya bukan dibangun deri suatu konstruksi atau secara bertahap, melainkan suatu kesatuan yang bulat dan utuh. Simbol seperti inilah yang kita jumpai dalam alam dan kreasi manusia, seperti tarian, lukisan, ornamen, dan lain sebagainya, maknanya tidak ditangkap dengan logika, tetapi dengan intuisi langsung. Bentuk kesenian tidak berupa suatu konstruksi atau susunan yang bisa diuraikan unsur-unsurnya, melainkan suatu kesatuan yang utuh. Tarian atau lukisan itu ditangkap hanya melalui arti keseluruhan, melalui hubungan antara elemen-elemen simbol dalam struktur keseluruhan. Sebagai suatu kesatuan yang bulat dan

(4)

utuh, bentuk representasional berbicara langsung kepada indra manusia. Hal ini pertama-tama dan terutama adalah kehadiran langsung dari suatu objek individual, oleh sebab itu simbol ini tidak dapat diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk yang lain.

4. Proses Simbolisasi

Kata simbolisasi mengacu kepada suatu proses atau kegiatan, ada gerak pemikiran manusia yang dinamis. Karena merupakan proses, terjadi suatu proses perubahan secaragradual atau bertahap menuju suatu goal (sasaran). Terjadinya simbolisasi karena adanya peralihan dari dunia pasif impresi semata-mata menuju suatu dunia yang lain merupakan ekspresi murni dari ide manusia. Proses simbolisasi menampakkan terjadinya kontak antara manusia sebagai subjek dengan dunia atau realitas. Sasaran dari proses ini menampakkan ide baru dari wadah simbol (suatu realitas baru) yang muncul dari interaksi antara akal manusia dengan bahan mentah yang dipikirkannya.

Proses simbolisasi adalah proses pembentukaD simbol yang merupakan ciri khas manusia. Proses ini tidak terdapat pada binatang, karena tidak mempunyai akal, nalar dan intuisi. Proses yang berlangsung terus-menerus dalam akal budinya, oleh sebab itulah manusia dikatakan makhluk bersimbol. Kebutuhan dasar ini jelas hanya terdapat pada manusia."This basic need, which certainly ISSN obvious only in man, is the need of symbolization" (Langer, 1976:41).

5. Simbol Seni dan Simbol di Dalam Seni

Seni adalah kreasi bentuk-bentuk yang menimbulkan perasaan manusia. Langer memandang hal ini bersifat universal dan representatif. Universal berarti bahwa pernyataan tersebut berlaku pada semua bentuk seni, sedangkan representatif berarti dapat mewakili suatu bentuk seni, sehingga dapat membedakan bahwa hal yang satu adalah karya seni dan yang lainnya bukan karya seni, melainkan karya ketukangan. Langer membedakan kreasi dan produksi, walau sama-sama kegiatan, proses produksi merupakan penyusunan (arrangement), yaitu dengan menyusun bagian yang sudah dipersiapkan (tanpa ekspresi). Proses kreasi adalah proses pengadaan sesuatu yang tadinya belum ada menjadi ada, padanya terjadi proses penciptaan yang lebih dari sekedar menyusun. Seorang seniman dikatakan menciptakan lukisan, bukan menyusun lukisan, walaupun sebelum memulai melukis, seorang Affandi atau Basuki Abdullah terlebih dahulu mempersiapkan perlengkapan lukisanya. Dalam hal ini, baik A atau B bukan menyusun, melainkan mencipta dari yang tidak ada menjadi ada, yaitu sebuah lukisan. Jadi lukisan merupakan gimbal dari ekspresi Affandi atau Basuki Abdullah. Akan tetapi gimbal seni bukanlah suatu susunan, jadi tak dapat dikatakan teratur atau tidak teratur. Simbol seni adalah satu dan utuh, karena itu ia tidak menyampaikan makna (meaning) untuk dimengerti melainkan pesan (import) untuk diserapkan (Sudiardja, 1982:77).

Dalam bukunya Problems of Art, Susanne Langer (1957:27) menyebut bahwa kreasi hanya tepat ditujukan untuk karya seni. Kreasi merupakan unsur kebaruan atau penampakan (apparition) dari yang tidak ada menjadi ada. Unsur kebaruan atau yang ada ini dinamakan gimbal seni sebagai suatu abstraksi yang merupakan suatu bentuk perkembangan yang rampung.

Bentuk simbolis yang diciptakan seniman berawal dari pengalaman yang telah melewati suatu transformasi simbolis. Dengan demikian pengalaman yang dituangkan seniman dalam karya seninya adalah pengalaman yang telah direnungkan menjadi bentuk simbolis. Ekspresi emosi seniman yang telah menjadi karya seni atau simbol merupakan universalisasi pengalaman dan objektifikasi

(5)

realitas subjektif. Dengan demikian, seni tidak hanya dapat dinikmati oleh orang lain. Karya seni itulah kemudian merupakan bentuk simbol dalam penampilan yang lain dari pada yang dihasilkannya.

Simbol seni merupakan simbol dalam pengertian yang agak khusus, karena menyajikan beberapa fungsi simbolik, walaupun tidak seluruhnya, khususnya tidak berarti sesuatu yang lain atau menunjuk pada sesuatu yang terpisah dengannya. Simbol seni tidak menandakan sesuatu tetapi hanya mengartikulasikan dan menjanjikan emosi yang dikandungnya. Karya yang ada secara keseluruhan merupakan citra perasaan yang mungkin disebut simbol seni. Ini merupakan komposisi organis tersendiri, yang berarti elemen-elemennya tidaklah merupakan unsur-unsur pokok yang lepas, ekspresif menurut kemauannya sendiri dalam susunan ragam emosinya. Elemen-elemen dalam suatu karya seni selalu diciptakan secara baru dengan totalitas citranya, dan walaupun adanya analisis dari apa yang disumbangkan bagi citranya, tidaklah dimungkinkan menetapkan apapun makna yang dikandungnya terpisah dari keseluruhannya (Langer, 1957 : 43-135).

Simbol seni adalah simbol tersendiri, dan maknanya tidaklah tergabung dalam nilai-nilai simbolnya secara terpisah. Makna simbol seni bukanlah merupakan gabungan makna yang dikandugnya secara konstributif. Banyak seniman-seniman mengabungkan simbol-simbol itu ada di dalam seni dan merupakan konstribusi secara khusus yang tergabung dalam karya seni. Beberapa seniman berkarya dengan menggabungkan simbol-simbol yang ada, seperti lukisan Guernica misalnya. Lukisan yang merupakan simbol pemberontakan dan kebebasan ini, diciptakan dari kumpulan bentuk simbol-simbol yang lebih terpisah sifatnya.

Simbol-simbol di dalam seni dapat memberikan kandungan arti dalam kesuburan, kesucian, kelahiran kembali kewanitaan, cinta, tirani, dan sebagainya. Pengertian ini masuk di dalam karya seni sebagai elemen-elemen yang menciptakan serta mengartikulasikan bentuk organisnya, sebagaimana pokok persoalan yang dikandungnya (Peursen, 1993:140). Penggunaan simbol seni terletak pada tingkatan semantika yang berbeda dari karya seni yang memuatnya. Arti yang ada bukanlah bagian dari makna yang dikandungnya, namun elemen-elemen di dalam bentuk yang memiliki makna adalah bentuk ekspresifnya. Perbedaan antara simbol seni yang digunakan dalam seni bukanlah hanya pada fungsinya, namun juga dalam hal macamnya. Simbol dalam seni adalah simbol-simbol dalam pengertian umum.

“In summary, "then,it may be said that the difference between the Art Symbol and the symbol used in art is a difference not only of function but of kind. Symbols occuring in art are symbols in the usual sense, though of all degrees of complexity, from simplest directness to extreme indirectness, from singleness to deep interpenetration, from perfect lucidity to the densest overdetermination" (Langer, 1957:139).”

Bentuk seni disisi lain adalah ekspresisi. Ini bukan simbol dalam pengertian yang sepenuhnya dikenal karena tidak menyampaikan sesuatu yang melebihi dirinya sendiri. Oleh sebab itu tidak bisa dikatakan secara tegas mempunyai suatu arti yang maksudnya adalah fungsinya. Hal ini adalah simbol dalam pengrtian khusus dan merupakan pengertian bentuk, karenanya tidak bisa terisi dengan semua fungsi dari simbol yang sebenarnya.

Hal ini merumuskan dan mengobjektifikasikan pengalaman bagi persepsi intelektual secara tepat, atau intuisi namun tidak mengabtraksikan suatu konsep bagi pemikiran dialogis. Makna yang terlihat di dalamnya tidak seperti arti yang ada

(6)

pada simbol aslinya, ini berarti dapat dipisahkan dari isyarat yang ada. Simbol seni adalah metafora, suatu citra yang lahir atau kedalaman makna harafiah yang samar. Simbol seni adalah citra absolut, citra yang sebaliknya irasional, karena secara harafiah tidak terlukiskan kesadaran yang sebenarnya, emosi, vitalitas, identitas pribadi, gejolak hidup yang dirasakan dalam acuan kapasitas batiniahnya.

D. KESIMPULAN

Simbol seni merupakan jenis simbol presentasional, pemahamannya tanpa mempergunakan nalar, tetapi hanya dengan intuisi atau perasaan. Simbol seni merupakan simbol yang berdiri sendiri yang tidak dapat dibagi lagi dalam bentuk-bentuk simbol yang lain. Karya seni sebagai simbol, tidak berupa suatu konstruksi atau susunan yang bisa diuraikan unsur-unsurnya, melainkan suatu kesatuan yang utuh, maknanya ditangkap dalam arti keseluruhan melalui hubungan antara elemem-elemen simbol dalam struktur keseluruhan.

Kumpulan simbol-simbol yang menjadi simbol yamg utuh tidak dapat diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk yang lain. Simbol seni merupakan suatu kreasi, karena merupakan unsur kebaruan yang sebelumnya tidak ada. Karya seni itulah merupakan simbol yang dibangun dari pengalaman-pengalaman yang direnungkan dalam bentuk-bentuk simbolis sehingga tercipta citra perasaan yang mendalam.

KEPUSTAKAAN

Baal, J. Van, 1988, Sejarah dan Pertemuan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970), jilid 2, Gramedia, Jakarta.

Bakker, Anton, 1885, Manusia dan Simbol, dalam Surjanto Poespowardjo dan K.Bertens, Sekitar Manusia, cetakan kelima, Gramedia, Jakarta.

Cassirer, Ernst, 1990, Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Esei Tentang Manusia, (Di Terjemahkan oleh; Alois A. Nugroho), cetakan kedua, Gramedia, Jakarta.

Dibyasuharda, 1990, Dimensi Metafisik Dalam Simbol, Ontologi Mengenai Akar Simbol, Disertasi, Gadjah Mada, Yogyakarta.

Langer, Susanne, K. 1957, Problems Of Arts, edition-6, Charles Seribners Sons, New York.

---1976 Philosophy in a New Key A Study In the Symbolism of reason, Rite, and Art: third edition, Harvard.

Peursen, C.A.Van, 1993, Strategi Kebudayaan, cetakan keempat Kanisius, Yogyakarta.

Setjoatmodjo, Pranjoto (ed), 1988, Bacaan Pilihan Tentang Estetika, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Jakarta.

Wibisono, I. Wibowo, 1977, Simbol Menurut Susanne K. Langer, dalam seri Driyarkara 4, Dari Sudut-sudut Filsafat, Kanisius, Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Kesalahan Ejaan pada Dokumen Abstrak Skripsi Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan

Melihatnya banyak preposisi dalam bahasa Indonesia seperti yang telah diutarakan diatas, peneliti membatasi analisis kontrastifnya pada preposisi monomorfemis saja, yaitu :

1. Penting bagi konsumen karena image konsumen sendiri, misalnya pembelian mobil sebagai simbol status. Memberikan daya tarik yang terus menerus kepada konsumen, misal dalam

Seandainya pertanyaan ini kita kemukakan kepada warga masyarakat yang tidak memahami bahasa prokem ini sama sekali, sebagian besar akan menjawab bahwa bahasa prokem itu adalah

Penelitian ini bertujuan memperoleh deskripsi objektif yang meliputi metode dan media, evaluasi, faktor pendukung dan penghambat siswa dalam kegiatan pembelajaran seni tari di SMPN

Karena Mies van de Rohe mengembangkan konsep arsitekturnya dengan cara yang logis dari satu bangunan ke bangunan lainnya, karyanya sebagai keseluruhan diberkati suatu kesatuan

Ide dasar dari cara Huffman ini adalah memetakan mulai simbol yang paling banyak terdapat pada sebuah urutan sumber sampai dengan yang jarring muncul menjadi urutan biner..