KEWAJIBAN USAHA MEMPERTEGUH IMAN (1)
H. Ahmad DimyatiRasulullah saw bersabda: “Barangsiapa diantara kalian melihat kemunkaran, maka hendaknya dia merubahnya dengan tangannya. Lalu kalau ia tidak mampu, maka hendaknya dia (merubahnya) dengan lisan/ucapannya. Lalu kalau ia tidak mampu, maka hendaknya ia (merubah) dengan hatinya. Dan yang demikian itu (menunjukkan) iman yang paling lemah”. (HR Ahmad, Muslim dari Abi Sa’id).
Secara tegas hadits menunjukkan perintah kepada siapapun yang melihat atau mengetahui kemunkaran/kejahatan yang terjadi di mukanya, supaya dia mengubah atau menghentikannya. Caranya ialah dengan tangannya/perbuatan/amal. Kalau dengan perbuatan/amal dia tidak bisa/mampu, maka dengan lisan/ucapan. Kalau tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Artinya, hatinya ketika merasakan ada kemunkaran/kejahatan, dia prihatin dan mengharapkan agar kemunkaran tersebut lekas hilang. Cara ini berupa/menunjukkan iman yang paling lemah. Dan iman yang lemah kalau tidak diperteguh, maka mungkin bisa lepas dan mental bisa terpuruk kepada mentah yang rendah. Na’udzu billaah min dzalik.
Adapun secara syarah, kalimat hadits terakhir “…… iman yang paling lemah”, menunjukkan perintah halus , yaitu setiap muslim mukmin supaya berusaha memperteguh iman secara rutin dan kontinu sesuai dengan kemampuan. Sebab orang yang lemah imannya – apalagi tidak beriman – itu karena kurang/sedikit sekali ilmunya tentang ajaran Islam atau tentang ilmu pengetahuan. Allah SWT berfirman:
……….. dan tidaklah kamu diberi ilmu melainkan sedikit. (QS Al Israa’: 85).
Ayat menunjukkan salah satu ketentuan Allah SWT terhadap manusia. Yaitu bahwa setiap manusia diberi ilmu hanya sedikit. Maka andai kata seseorang memiliki predikat/titel kesarjanaan banyak, misalnya Prof. DR, dr.SH, Drs, S.Ag, SPd dsb itu tetap dinilai bahwa ilmunya tetap sedikit. Jika ketentuan ini dilanggar dengan merasa bahwa dia paling pandai, maka sanksi pelanggaran timbul, yaitu dia bisa kibir/sombong (menolak kebenaran) dan menghina orang lain. (HR Muslim, dari Ibnu Mas’ud).
Dengan ketentuan Allah SWT tersebut, manusia terutama muslim diwajibkan mencari dan menambah ilmu. Rasulullah saw bersabda:
Menuntut /mencari ilmu wajib bagi setiap muslim. (HR Baihaqi)
Kewajiban menuntut/menambah ilmu itu juga wajib bagi Rasulullah saw. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:
……… dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.(QS Thaaha: 114).
Berdasarkan dua ayat tersebut, pelajaran penting yang dapat diambil diantaranya ialah bahwa semua manusia itu sedikit ilmunya, meskipun titel kesarjanaannya banyak berderet. Karena itu, manusia diwajibkan untuk belajar menuntut/menambah ilmu semampunya. Ilmu yang dituntut itu harus bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah/hadits atau ilmu pengetahuan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan bila diamalkan tidak menimbulkan kerusakan atau bahaya baginya dan bagi orang lain/masyarakat. Rasulullah saw bersabda:
Secara syarah, hadits menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kalimat meninggalkan ilmu ialah: Pertama, orang yang berilmu dalam keadaan mampu tidak mau mengamalkannya. Kedua, orang yang mengerjakan suatu pekerjaan tetapi ia tidak mempunyai ilmu tentang pekerjaan tersebut. Ketiga, orang yang mengerti/mengetahui hukum/undang-undang/peraturan tetapi ia tidak mau mentaatinya, bahkan melanggarnya. Kalau yang ketiga ini dicontohkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang berbuat KKN, merampok, mencuri, membunuh, berjudi, berzina/melacur dan semua kejahatan. Dengan demikian, akibat yang muncul secara berproses dan bertahap ialah kerugian, kekacauan, kehancuran, kebinasaan, penderitaan dan kesengsaraan bagi orang yang meninggalkan ilmu, bahkan bisa bagi masyarakat, bangsa dan negara. Na’uudzubillaahi min dzaalik.
Kemudian hadits itu menunjukkan bahwa penyebab kerusakan ummat ialah menimbun harta sebagai materialistis. Penimbun harta yang demikian termasuk tidak Islami dan bernaung di bawah sistem kapitalisme: “ialah nafsu sesuatu negara/bangsa untuk menumpuk-numpuk kekayaan sendiri di atas tumpukan kesengsaraan rakyat. Alat-alat produksi dan semua sarana produksi dikuasai oleh negara/bangsa/perorangan, dimana negara dikemudikan atas dasar sistem ekonomi liberal (bebas dalam usaha, bebas bersaing dan sebagainya), hingga golongan yang lemah akan tertindas selamanya. Kapitalisme terhadap dunia luar adalah mengadakan penanaman modal di negara jajahan, karena di negara ini diperoleh tenaga-tenaga kerja yang murah, dengan demikian keuntungan akan mengalir ke negara/bangsa yang kapitalis” (Kamus Populer: 183). Dalam konteks akibat buruk dari materialisme, Allah SWT berfirman:
Kecelakaan bagi pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. (QS Al-Humazah: 1-3).
Secara tafsir, ayat menunjukkan bahwa orang yang merasa/mengira bahwa harta yang dimiliki itu bisa mengekalkan hidupnya di dunia ini. Dengan demikian, dia bisa menjadi orang materialistis pengumpul/penimbun harta dengan rakus. Karena itu mentalnya menjadi rendah, suka mengumpat dan mencela kepada siapapun yang dianggap menghalangi/merintangi usahanya untuk mengumpulkan harta. Perbuatan yang demikian itu karena dia meninggalkan ilmu ajaran Islam dari Al-Qur’an dan Hadits.
Sebaliknya , orang yang berilmu dari ajaran Islam yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadits menumbuhkan iman pada dirinya. Ini berarti bahwa dia itu memperteguh imannya dengan mempelajari dan memahami ilmu ajaran Islam sebagai salah satu caranya. Dengan kata lain, diantara cara memperteguh iman itu adalah dengan mempelajari dan memahami ilmu ajaran Islam yang ada dalam Al-Qur’an atau/dan Hadits sesuai kemampuan. Cara ini hendaknya senantiasa dilakukan yaitu selalu mempelajari dan memahami ajaran Al-Qur’an dan Hadits. Adapun ajaran Al-Qur’an dan Hadits yang dipelajari:
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan beragama Islam. (QS Ali Imran: 102).
realisasi taqwa itu karena iman yang teguh lagi berfungsi dengan mendapat pertolongan dan ridha Allah SWT.
Dengan demikian, agar iman mukmin makin teguh, maka hendaknya dia memperlajari dan memahami ajaran taqwa yang ada dalam Al-Qur’an semampunya lalu mengamalkannya semampunya dengan mohon pertolongan Allah SWT serta ridha-Nya. Sedangkan tentang pahala dan manfaat taqwa antara lain:
Mendapat jalan keluar dalam menghadapi kesulitan persoalan; mendapat rizki yang tak terduga; mendapat penghapusan/ampunan keburukannya/kesalahannya; mendapat pahala berlipat ganda dari Allah SWT (QS Ath-Thalaq: 2-5). Taqwa demikian tentunya yang menumbuhkan ikhlas demi ridha dari Allah SWT dalam beribadah, beramal shaleh dan berjihad fii sabiililllah. Mendapat rahmat Allah SWT serta ridha-Nya (QS Al A’raf: 156); mendapat furqon (kemampuan memisahkan) antara yang benar dan yang bathil sebagai petunjuk Allah SWT serta pertolongan-Nya dengan mengamalkan yang benar dan meninggalkan yang bathil dan mendapat ampunan dari Allah SWT (QS Al-Anfaal: 29). Mendapat pertolongan Allah SWT dalam menjauhi kekhawatiran dan kesusahan atau kepedihan hati (QS Al-A’raaf: 35); mendapat barokah rizki/kesejahteraan dari Allah SWT (QS Al-A’raaf: 96); mendapat rasa ingat kepada Allah SWT bila digoda setan dan segera sadar atas kesalahannya (QS Al- A’raaf: 201); mendapat keselamatan dari siksa neraka jahannam (QS Maryam: 72).
Selain itu juga mendapat ucapan selamat dari malaikat di muka pintu surga ketika akan memasukinya (QS Az-Zumar: 73); mendapat nur illahi dan ampunan Allah SWT (QS Al-Hadiid: 28) dan mendapat nikmat surga dan ridha Allah SWT (QS Ali Imran: 15).
Syarat untuk mencapai taqwa:
1. Berilmu dalam arti luas terutama yang bersumber dari Al Qur’an (QS Al-Baqarah: 63) dan haditt. Jadi pengamalan ilmu ajaran Islam dengan ikhlas demi ridha Alah SWT itu manifestasi taqwa.
2. Beriman pada Allah dan rasul-Nya (QS Ali Imran: 179).
3. Bersabar/tabah/disiplin (QS Ali Imran: 120) dalam beragama Islam.
4. Berbuat ihsan (kebaikan) Islami dengan ikhlas demi ridha Allah SWT (QS An-Nisaa’: 128) dalam pergaulan berkeluarga dan bermasyarakat.
5. Berbuat ishlah/kerukunan/kedamaian/ketenteraman (QS An-Nisaa’: 129). 6. Beribadah hanya kepada Allah SWT (QS Al-Baqarah: 21) secara luas. 7. Menepati janji terhadap Allah SWT atau manusia (QS Ali Imran: 76).
8. Berdzikir atau mengingatkan dirinya atau orang lain sebagai dzikir (ingat) kepada Allah SWT (QS Al-An’am: 69).
Kalau seorang muslim sudah memenuhi syarat-syarat tersebut, tetapi merasa belum banyak pahala manfaat taqwa yang diperoleh, maka janganlah resah/gelisah apalagi meragukan Al-Qur’an. Justru itu dia hendaknya koreksi diri barangkali ada syarat yang belum terpenuhi, berpikir kontempelatif (banyak/penuh renungan) dan memperbanyak ibadah/amal shaleh/jihad fii sabiilillah semampunya dengan ikhlas demi hanya mengharap ridha Allah SWT semata.
Sumber: SM-14-2002