• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Kondisi Komunitas Konservasi Mangrove: Studi Kasus Lembaga Pelestari Mangrove dan Pesisir Wana Tirta Kulon Progo DIY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Kondisi Komunitas Konservasi Mangrove: Studi Kasus Lembaga Pelestari Mangrove dan Pesisir Wana Tirta Kulon Progo DIY"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI KONDISI KOMUNITAS KONSERVASI

MANGROVE: STUDI KASUS LEMBAGA PELESTARI

MANGROVE DAN PESISIR WANA TIRTA

KULON PROGO DIY

Arie Budiyarto

Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Kulon Progo DIY E-mail:ariebudiyarto2013@gmail.com

ABSTRAK

Mangrove adalah salah satu sumberdaya alam dan salah satu Common Pool Resources/CPR yang sangat penting karena menyediakan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia secara langsung maupun tidak langsung. Pengelolaan mangrove yang telah terbukti sukses di berbagai wilayah baik di dalam negeri maupun mancanegara menunjukkan bahwa komunitas masyarakat lokal di sekitar ekosistem mangrove memiliki peran yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan pengelolaan ekosistem tersebut. Salah satu komunitas konservasi mangrove yang cukup terkenal di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah Lembaga Konservasi Mangrove Wana Tirta (Wana Tirta) di Pedukuhan Pasir Mendit Kabupaten Kulon Progo. Namun demikian, selama ini belum banyak studi mengenai evaluasi terhadap kondisi Wana Tirta sebagai komunitas kunci dalam konservasi mangrove di DIY khususnya di Kabupaten Kulon Progo. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kondisi Wana Tirta dalam rangka meningkatkan kinerja pengelolaan ekosistem mangrove di Kabupaten Kulon Progo DIY. Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni hingga Agustus 2016 dengan menggunakan semi-structured, in-depth interviews sebagai metode pengambilan data. Transkrip wawancara kemudian dianalisa menggunakan Thematic Content Analysis (TCA) yang sudah dimodifikasi berdasarkan Burnard (1991) dan Nilsson, Skär and Söderberg (2015). Hasil TCA kemudian dianalisa lebih lanjut menggunakan 8 (delapan) desain prinsip Ostrom (Ostrom 1990: 90) untuk mengevaluasi kondisi Wana Tirta. Narasumber penelitian berjumlah 17 orang, dipilih secara purposive dari berbagai institusi terkait pengelolaan mangrove di Kabupaten Kulon Progo yang pernah berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung dengan Wana Tirta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor penunjang dan penghambat perkembangan Wana Tirta sebagai aktor penting dalam pengelolaan mangrove di Kulon Progo. Faktor-faktor tersebut berasal dari dalam Wana Tirta sendiri (internal Faktor-faktor) dan dari luar Wana Tirta (eksternal faktor). Untuk dapat mengembangkan dirinya, Wana Tirta harus dapat mengatasi faktor penghambat dan secara bersamaan meningkatkan kualitas faktor pendukung yang dimilikinya. Dukungan berkelanjutan dari berbagai pihak sangat diperlukan dalam pengembangan Wana Tirta terutama oleh bridging institutions yang telah terbukti sebagai salah satu aktor kunci dalam menunjang perkembangan Wana Tirta hingga saat ini.

(2)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Mangrove adalah salah satu jenis ekosistem yang memiliki nilai yang sangat penting baik bagi manusia maupun lingkungan sekitar. Banyak penelitian telah membuktikan bahwa mangrove mampu melindungi masyarakat sekitar dari bahaya angin kencang. Masyarakat di sekitar mangrove juga telah lama memanfaatkan berbagai jenis flora dan fauna mangrove untuk dikonsumsi, dijual atau dijadikan sebagai sumber energi dan bahan material bangunan tambahan. Selain itu, mangrove juga merupakan habitat ideal bagi banyak jenis flora dan fauna seperti ikan, udang dan kepiting. Beberapa jenis ikan dan udang dilaporkan menggunakan mangrove sebagai habitat bertelur dan pembesaran telurnya (hatcing and nursering ground) (Alongi, 2008, Primavera, 2006).

Mangrove sebagai sebuah Common Pool Resource (CPR)

Selain sebagai ekosistem yang bernilai penting bagi manusia dan lingkungan, mangrove juga merupakan salah satu jenis CPR yang memerlukan penanganan khusus dalam pengelolaannya. Sebuah CPR didefinisikan oleh Ostrom (1990), Ostrom (1997) sebagai sebuah sistem sumber daya alam, alami ataupun buatan manusia, memiliki karakteristik khusus yaitu penerima manfaat CPR bersifat umum/tidak dapat dibatasi dan adanya keterbatasan kuantitas sumber daya dari CPR itu sendiri.

Pengelolaan CPR telah lama menjadi objek kajian yang menarik sejak pertama kali diperkenalkan oleh Hardin pada tahun 1968. Hal itu disebabkan karena adanya kekhawatiran bahwa pengelolaan CPR yang tidak tepat akan menyebabkan terjadinya kemusnahan dari CPR tersebut (Hardin, 1968). Masalah utama dalam pengelolaan CPR adalah rumitnya pengaturan terkait pembatasan pemakai sumber daya dan keterbatasan kuantitas sumber daya CPR. Lebih lanjut, upaya mengatasi permasalahan utama pengelolaan CPR membuat perkembangan pengelolaan CPR menjadi sangat dinamis (Ostrom, 1997).

(3)

Pengelolaan CPR dengan berdasarkan pada pemikiran the tragedy of the commons dalam perkembangannya mengalami berbagai kritik yaitu terlalu bersifat top-down dan dianggap tidak mampu mencegah laju kerusakan lingkungan yang cukup tinggi terutama di ekosistem hutan hujan tropis dan hutan mangrove. Selain itu, aplikasi pemikiran Hardin pada pengelolaan CPR juga dianggap melanggar hak asasi manusia karena dalam prakteknya sering meninggalkan hak-hak masyarakat lokal yang telah lama menghuni daerah di dan atau sekitar CPR (Blaikie, 2006, Brosius et al., 1998).

Pengelolaan CPR kemudian mengalami perubahan yang fundamental ketika Ostrom (1990), Ostrom (1997) membuktikan bahwa tragedy of the commons tidak terjadi pada kondisi dimana para pemakai sumber daya CPR ternyata mampu mengorganisasi diri untuk memanfaatkan sumber daya CPR secara berkelanjutan. Ostrom melakukan penelitian terhadap berbagai komunitas pemakai sumber daya CPR secara langsung di Nepal dan melalui studi pustaka terhadap penelitian sejenis, Ostrom kemudian mengidentifikasi dan merangkum berbagai kondisi yang menunjang keberhasilan komunitas-komunitas tersebut di dalam 8 (delapan) desain prinsip yang dapat dilihat dalam Tabel 1.

Desain prinsip Ostrom sendiri tidak terlepas dari berbagai kritik seperti terlalu kaku dan terlalu menyederhanakan kondisi di lapangan dengan mengesampingkan beberapa faktor eksternal penting seperti multi-level governance antara pemerintah dan komunitas pemakai sumber daya CPR. Namun demikian, desain prinsip Ostrom tetap dapat digunakan sebagai landasan awal untuk mengevaluasi kondisi suatu komunitas dalam hubungannya dengan pengelolaan sumber daya CPR (Agrawal, 2001, Cox et al., 2010).

Tabel 1.Desain prinsip Ostrom untuk komunitas pemakai sumber daya CPR

No. Prinsip Penjelasan

1 Kejelasan batasan Terdapat kejelasan terhadap siapa saja yang mampu memanfaatkan sumber daya CPR. Selain itu juga terdapat kejelasan mengenai batasan-batasan dari CPR yang dikelola.

2 Kesesuaian a Keuntungan yang diperoleh oleh penegak peraturan pengelolaan CPR seimbang dengan biaya yang dikeluarkan untuk menegakkan peraturan.

b Terdapat kesesuaian antara peraturan pengelolaan CPR dengan kondisi masyarakat local

3 Kesepakatan kolektif Setiap individu dalam komunitas yang terikat dengan peraturan pengelolaan CPR dapat berpartisipasi dalam merubah peraturan

(4)

No. Prinsip Penjelasan

5 Sangsi yang berskala Terdapat sangsi untuk setiap pemakai sumber daya CPR. Jenis sangsi disesuaikan dengan skala keseriusan yang telah disepakati bersama

6 Mekanisme

mengatasi konflik Terdapat mekanisme untuk mengatasi konflik baikdiantara pemakai sumber daya CPR ataupun dengan pihak luar.

7 Pengakuan dari pemerintah untuk berorganisasi

Semua instansi pemerintah tidak mempermasalahkan keorganisasian dari pemakai sumber daya CPR

8 Hubungan yang saling terkait (Nested enterprises)

Terdapat hubungan terorganisir yang bersifat multiple-layers dari berbagai pihak yang mengelola CPR

Sumber: Ostrom (1990), Ostrom (1997)

Pengelolaan mangrove di Kabupaten Kulon Progo

Mangrove di Kabupaten Kulon Progo dapat ditemukan di daerah sekitar muara Sungai Bogowonto terutama di daerah Pedukuhan Pasir Mendit dan Pasir Kadilangu. Djohan (2007) menginformasikan bahwa, berdasarkan hasil observasi ke masyarakat sekitar, pada awalnya mangrove banyak terdapat di sepanjang muara Sungai Bogowonto, akan tetapi karena adanya eksploitasi mangrove yang berlebihan oleh masyarakat untuk berbagai tujuan maka mangrove saat ini hanya dapat ditemukan di daerah Pasir Mendit dan Pasir Kadilangu dalam jumlah yang terbatas (Djohan, 2007, Sawitri, 2012).

Pengelolaan mangrove di Kabupaten Kulon Progo pada awalnya hanya difokuskan kepada penambahan luasan mangrove saja dengan jenis mangrove yang ditanam mayoritas adalah Avicennia sp. dan Rhizopora sp. Kegiatan ini mulai berlangsung dari tahun 1989 yang diinisiasi oleh Universitas Gadjah Mada. Puncak dari kegiatan penanaman ini adalah adanya penanaman sekitar 50.000 batang Avicennia sp. dan Rhizopora sp.oleh salah satu LSM di Jawa Tengah (Amry, 2009). Budiyarto (2016) melaporkan bahwa hasil dari berbagai kegiatan penanaman tersebut adalah sampai dengan tahun 2015 luasan mangrove di Pasir Mendit dan Pasir Kadilangu adalah seluas sekitar 5,92 ha. Hal ini berarti terdapat penambahan sekitar 400% dari luas area mangrove ditempat yang sama dibandingkan dengan kondisi tahun 2007 (Gambar 1).

(5)

Hal yang membanggakan adalah, walaupun komunitas ini tidak memiliki power karena latar belakang pendidikan dan pekerjaan anggotanya, namun mereka banyak mendapat dukungan dari berbagai pihak, terutama oleh pemerintah, akademisi dan LSM, dalam melaksanakan kegiatan konservasi mangrove karena konsistensi mereka dalam menanam dan memelihara mangrove. Dampak dari konsistensi Wana Tirta ditunjang dengan berbagai bantuan tersebut menyebabkan akhirnya luasan mangrove di Kabupaten Kulon Progo dapat meningkat secara signifikan (Budiyarto, 2016).

Sumber: Budiyarto (2016) Gambar 1.Lokasi dan luasan persebaran mangrove di Kabupaten Kulon Progo

(6)

biodiversitas flora dan fauna (Alqudsy, 2015, Djohan, 2007, Nahdi and Kurniawan, 2014) Hanya beberapa penelitian yang difokuskan kepada menejemen mangrove (Anggraeni and Tandjung, 2007, Sawitri, 2012, Suhadi et al., 2013) dan persepsi terhadap fungsi dan kondisi mangrove (Sawitri, 2012). Kondisi tersebut adalah gap yang coba dilengkapi oleh penelitian ini.

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan penting terkait komunitas masyarakat pelestari mangrove di Kabupaten Kulon Progo, yaitu menganalisa factor pendukung dan penghambat kinerja Wana Tirta sebagai salah satu aktor kunci kegiatan konservasi mangrove di Kabupaten Kulon Progo.

METODE

Lokasi dan jangka waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pedukuhan Pasir Mendit, Desa Jangkaran, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta dari bulan Juni hingga Agustus 2016.

Sumber: Google earth diambil pada tanggal 21-05-2017 Gambar 2.Lokasi penelitian

A = Daerah Istimewa Yogyakarta B = Desa Jangkaran

(7)

Cara pengambilan dan analisis data

Data diperoleh dengan menggunakansemi-structured, in-depth interviewsterhadap 17 orang narasumber yang dipilih secarapurposivedari berbagai institusi, baik pemereintah maupun non-pemerintah, terkait pengelolaan mangrove di Kabupaten Kulon Progo yang pernah berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung dengan Wana Tirta. Kriteria narasumber adalah sebagai berikut:

1. Berusia lebih dari 18 tahun;

2. Bekerja dibidang terkait mangrove dan pengelolaan lingkungan hidup; 3. dan atau Bekerja dibidang konservasi mangrove;

4. dan atau Merupakan anggota Wana Tirta; 5. dan atau bekerja di pemerintah lokal.

Transkrip wawancara kemudian dianalisa menggunakan Thematic Content Analysis(TCA) yang sudah dimodifikasi berdasarkan Burnard (1991) dan Nilsson et al. (2015). Hasil TCA kemudian dianalisa lebih lanjut menggunakan 8 (delapan) desain prinsip Ostrom (Ostrom, 1990) untuk mengevaluasi kondisi Wana Tirta.

HASIL

Penelitian ini mampu memberikan gambaran mengenai kondisi yang dapat menunjang dan menghambat perkembangan Wana Tirta sebagai salah satu aktor penting dalam konservasi mangrove di Kabupaten Kulon Progo. Hasil analisa transkrip wawancara terkait kondisi penunjang dan penghambat Wana Tirta tersebut disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2.Kondisi penunjang dan penghambat perkembangan Wana Tirta

Penunjang Penghambat

1. Kejelasan batasan

- Memiliki kriteria yang jelas untuk anggota dan calon anggota

- Batasan area kerja tidak jelas

2. Kesesuaian

- Aktivitas Wana Tirta terutama aktivitas ekowisata sangat didukung oleh anggota dan sesuai dengan kebutuhan anggota untuk

menambah penghasilan ekonomi

- Mayoritas anggota merasa tidak adil dengan anggota kelompok lain yang tidak menanam dan memelihara mangrove tetapi memanfaatkan mangrove tanpa seijin Wana tirta untuk dijadikan objek wisata 3. Kesepakatan kolektif

- Setiap anggota berhak ikut serta apabila terjadi revisi peraturan Wana Tirta. Hal ini sudah

(8)

-dicantumkan di dalam AD/ART Wana Tirta

4. Monitoring

- Wana Tirta rutin melakukan monitoring

-5. Sangsi yang berskala

- Sudah memiliki sangsi untuk terhadap perusak mangrove

- Penerapan sangsi sangat lemah

6. Mekanisme mengatasi konflik - Sudah mengembangkan mekanisme

untuk mengatasi konflik, diatur dalam AD/ART

-7. Pengakuan dari pemerintah untuk berorganisasi - Diakuinya eksistensi Wana Tirta

oleh semua instansi pemerintah

-8. Hubungan yang saling terkait (Nested enterprises) - Memiliki hubungan yang cukup baik

dengan pemerintah daerah dan pihak lainnya/non-pemerintah (Gambar 3)

-Memiliki hubungan yang kurang baik dengan 3 (tiga) kelompok pemanfaat mangrove di Kabupaten Kulonprogo.

Memiliki sedikit ketidakpercayaan dengan instansi pemerintah tertentu, begitu pula sebailknya

Sumber: Budiyarto 2016

(9)

Sumber: Budiyarto (2016)

Gambar 3.Hubungan antara Wana tirta dengan pemerintah dan pihak lainnya

PEMBAHASAN

Lembaaga pelestari mangrove dan pesisir adalah salah satu actor penting dalam kegiatan konservasi mangrove di Kabupaten Kulon Progo. Pada Tabel 2, terlihat factor penunjang dan penghambat perkembangan Wana Tirta agar dapat mengelola mangrove secara berkesinambungan.

1. Faktor Penunjang

Wana Tirta memiliki beberapa factor penunjang dalam mengelola mangrove yaitu kekompakan (robustness) struktur organisasi dan hubungan yang baik dengan berbagai pihak. Kekompakan struktur organisasi Wana Tirta disebabkan oleh kesadaran mereka untuk mengembangkan kelembagaan Wana Tirta. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan sejarah Wana Tirta yang lahir dari kekecewaan terhadap komunitas mangrove sebelumnya. Komunitas tersebut saat ini sudah tidak aktif karena banyak anggotanya mengundurkan diri akibat dari menejemen kelompok yang tidak transparan. Belajar dari kasus tersebut, Wana Tirta kemudian mencoba memperbaiki diri dengan melakukan penataan sistem menejemen.

Sumber: Budiyarto (2016)

Gambar 3.Hubungan antara Wana tirta dengan pemerintah dan pihak lainnya

PEMBAHASAN

Lembaaga pelestari mangrove dan pesisir adalah salah satu actor penting dalam kegiatan konservasi mangrove di Kabupaten Kulon Progo. Pada Tabel 2, terlihat factor penunjang dan penghambat perkembangan Wana Tirta agar dapat mengelola mangrove secara berkesinambungan.

1. Faktor Penunjang

Wana Tirta memiliki beberapa factor penunjang dalam mengelola mangrove yaitu kekompakan (robustness) struktur organisasi dan hubungan yang baik dengan berbagai pihak. Kekompakan struktur organisasi Wana Tirta disebabkan oleh kesadaran mereka untuk mengembangkan kelembagaan Wana Tirta. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan sejarah Wana Tirta yang lahir dari kekecewaan terhadap komunitas mangrove sebelumnya. Komunitas tersebut saat ini sudah tidak aktif karena banyak anggotanya mengundurkan diri akibat dari menejemen kelompok yang tidak transparan. Belajar dari kasus tersebut, Wana Tirta kemudian mencoba memperbaiki diri dengan melakukan penataan sistem menejemen.

Sumber: Budiyarto (2016)

Gambar 3.Hubungan antara Wana tirta dengan pemerintah dan pihak lainnya

PEMBAHASAN

Lembaaga pelestari mangrove dan pesisir adalah salah satu actor penting dalam kegiatan konservasi mangrove di Kabupaten Kulon Progo. Pada Tabel 2, terlihat factor penunjang dan penghambat perkembangan Wana Tirta agar dapat mengelola mangrove secara berkesinambungan.

1. Faktor Penunjang

(10)

Lebih lanjut, kekompakan struktur organisasi Wana Tirta juga tidak dapat terlepas dari peran sentral ketua Wana Tirta itu sendiri. Ketua Wana Tirta saat ini dianggap mampu memberikan transparansi, terutama dalam hal kegiatan dan keuangan, sehingga memperoleh kepercayaan yang tinggi dari anggotanya. Selain itu ketua Wana Tirta juga mampu memberikan motivasi kepada pengurus dan anggota Wana Tirta untuk tetap konsisten dalam menanam dan memelihara mangrove. Sikap positip ketua Wana Tirta ini juga didukung oleh pendampingan yang konsisten dari LSM Damar

Damar secara rutin meningkatkan kapasitas kelembagaan dan individu anggota Wana Tirta dalam mengelola mangrove yang mereka tanam dan pelihara. Cara yang digunakan oleh Damar adalah pendekatan partisipatif dengan cara memancing anggota Wana Tirta untuk mengetahui apa saja yang dibutuhkan untuk mengembangkan lembaga dan mangrovenya. Selain itu Damar juga membantu mendampingi Wana Tirta dalam pembuatan Anggran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dan akte notaris lembaga dalam rangka penguatan Wana Tirta.

Faktor penunjang kegiatan Wana Tirta lainnya adalah adanya respon positif dari pemerintah Kabupaten Kulon Progo terhadap komitmen Wana Tirta. Pemerintah Kabupaten Kulon Progo sejak tahun 2012 telah membentuk Kelompok Kerja Mangrove dan Sempadan Pantai (Pokja Mangrove) (KKMSP, 2012). Salah satu tugas Pokja Mangrove adalah menjembatani hubungan antara Wana Tirta dengan pemerintah daerah dan pihak-pihak lainnya. Selain itu Pokja Mangrove juga berfungsi sebagai coordinator kebijakan dan perencanaan terkait pengembangan mangrove di Kulon Progo. Ketua Wana Tirta dan ketua LSM Damar merupakan salah satu anggota Wana Tirta.

Keberadaan pihak-pihak yang menjadi motor utama penggerak konservasi mangrove di Kulon Progo tersebut, yaitu ketua Wana Tirta, LSM Damar, dan Pokja Mangrove, dapat disamakan dengan bridging institution . Keberadaan dari bridging institution ini diberbagai negara seperti Thailand dan Bangladesh telah terbukti mampu meningkatkan efektivitas konservasi mangrove di kawasan tersebut (On-prom, 2014, Datta et al., 2012).

2. Faktor penghambat

Faktor penghambat Wana Tirta dapat digolongkan menjadi factor penghambat internal dan eksternal. Faktor penghambat internal berupa batasan wilayah kerja yang tidak jelas dan lemahnya penerapan sangsi bagi pihak-pihak yang melanggar peraturan yang dibuat oleh Wana Tirta. Faktor penghambat ini muncul karena kebijakan dari ketua Wana Tirta yang menerapkan pendekatan persuasive dalam operasional Wana Tirta.

(11)

mencoba menarik simpati dari lingkungan sekitar, mengingat Wana Tirta cenderung tidak memiliki power yang kuat dimasyarakat akibat dari latar belakang pendidikan dan pekerjaan anggotanya. Arias (2015) dalam penelitiannya menerangkan bahwa pendekatan persuasive ini sangat penting dilakukan jika ingin mempertahankan keberadaan dari suatu kelompok.

Faktor penghambat lainnya adalah factor penghambat eksternal yang berasal dari interaksi antara Wana Tirta dengan instansi pemerintah dan kelompok pemakai mangrove. Untuk mengatasi factor penghambat eksternal ini, peran aktif dari bridging institution terutama Pokja mangrove dan LSM Damar mutlak diperlukan. Peran yang dapat diambil oleh kedua lembaga tersebut adalah mencari solusi yang saling menguntungkan semua pihak tanpa harus mengorbankan konservasi mangrove.

Peran serupa pernah dilakukan oleh The Regional Community Forestry Training Centre for Asia and the Pacific (RECOFTC) di Pred Nai Thailand yang membantu menghubungkan antara Pred Nai Community Forest Group (CFG) dengan lembaga lainnya guna mengatasi masalah illegal loging di kawasan hutan mangrovenya (On-prom, 2014).

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor penunjang dan penghambat perkembangan Wana Tirta sebagai aktor penting dalam pengelolaan mangrove di Kulon Progo. Faktor penunjang keberhasilan Wana Tirta yaitu faktor internal berupa struktur organisasi yang kompak (robust). Kekompakan struktur Wana Tirta terlihat dari adanya AD/ART Wana Tirta yang didalamnya termuat penjelasan terperinci mengenai kelembagaan Wana Tirta dan peraturan-peraturan serta sangsi-sangsi. Kekompakan struktur Wana Tirta merupakan akibat dari kepemimpinan ketua Wana Tirta yang diakui dan dihormati oleh semua anggotanya. Faktor penunjang lainnya adalah faktor eksternal berupa adanya bridging institutions yaitu LSM Damar dan Pokja Mangrove. Kedua lembaga tersebut berperan penting dalam pengembangan kapasitas kelembagaan dan perorangan anggota Wana Tirta

Serupa dengan faktor penunjang, faktor penghambat keberhasilan Wana Tirta juga berasal dari internal dan eksternal Wana Tirta. Faktor penghambat internal berupa ketidak jelasan lokasi kerja dan lemahnya pemberian sangsi timbul dari pendekatan persuasif ketua Wana Tirta dalam menyelesaikan konflik dengan lembaga lain. Faktor penghambat eksternal berasal dari hubungan antara Wana Tirta dengan pihak-pihak di luar Wana Tirta. Untuk mengatasi faktor penghambat eksternal ini, diperlukan bantuan dari Pokja Mangrove dan LSM Damar. Keduanya dapat berfungsi sebagai mediator dalam menyelesaikan berbagai masalah terkait eksternal Wana Tirta

(12)

terbukti sebagai salah satu aktor kunci dalam menunjang perkembangan Wana Tirta hingga saat ini.

PENGHARGAAN (acknowledgement)

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Autralian Awards Scholarship yang telah mensponsori penelitian ini sebagai salah satu tahapan dalam penyelesaian studi Master of Environmental Policy and Management di The University of Adelaide, Australia.

REFERENSI

AGRAWAL, A. 2001. Common Property Institutions and Sustainable Governance of Resources.World Development,29,1649-1672.

ALONGI, D. M. 2008. Mangrove forests: resilience, protection from tsunamis, and responses to global climate change.Estuarine, Coastal and Shelf Science, 76,1-13.

ALQUDSY, K. A. 2015. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Spesies Burung Di Ekosistem Mangrove Laguna Bogowonto, Kulon Progo Yogyakarta. Bachelor, UIN Sunan Kalijaga.

AMRY, B. 2009. Perkembangan Tanaman Mangrove Kulon Progo. Kulon Progo, Indonesia: Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kulon Progo. ANGGRAENI, R. D. & TANDJUNG, S. D. 2007. Pengaruh pembuangan limbah

tambak udang terhadap densitas dan pola distribusi larva dan juvenil ikan di muara sungai Bogowonto Kabupaten Kulon Progo.Master, Universitas Gadjah Mada.

ARIAS, A. 2015. Understanding and managing compliance in the nature conservation context. Journal of Environmental Management,153, 134-143.

BERKES, F., GEORGE, P. J. & PRESTON, R. J. 1991.Co-management: the evolution of the theory and practice of joint administration of living resources, Program for Technology Assessment in Subarctic Ontario, McMaster University.

BLAIKIE, P. 2006. Is Small Really Beautiful? Community-based Natural Resource Management in Malawi and Botswana. World Development, 34, 1942-1957.

BROSIUS, J. P., TSING, A. L. & ZERNER, C. 1998. Representing communities: Histories and politics of community based natural resource management. Society & Natural Resources,11,157-168.

BUDIYARTO, A. 2016.Assessing The Effectiveness of Community-Based Mangrove Management: Study Case in Jangkaran Village, Kulon Progo Regency, Indonesia.Master degree, The University of Adelaide.

(13)

COX, M., ARNOLD, G. & TOMÁS, S. V. 2010. A review of design principles for community-based natural resource management. Ecology and Society, 15,38.

DATTA, D., CHATTOPADHYAY, R. N. & GUHA, P. 2012. Community based mangrove management: A review on status and sustainability.Journal of Environmental Management,107,84-95.

DJOHAN, T. S. 2007. Mangrove distribution at the Lagoons in the Southern Coast of Yogyakarta.J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN,14,15-25.

HARDIN, G. 1968. The tragedy of the commons.Science,162,1243-1248.

KKMSP 2012. Mangrove Kulon Progo. 2 June 2012 ed. Kulon Progo, Indonesia: Government of Kulon Progo.

NAHDI, M. S. & KURNIAWAN, A. P. 2014. Vegetation Species Abundance in Mangrove Ecosystem of Pasir Mendit at Bogowonto Lagoon, Kulon Progo, Yogyakarta.Journal of Biological Researches,19.

NILSSON, Å., SKÄR, L. & SÖDERBERG, S. 2015. Nurses' views of shortcomings in patent care encounters in one hospital in Sweden. Journal of clinical nursing,24,2807-2814.

ON-PROM, S. 2014. Community-Based Mangrove Forest Management in Thailand: Key Lesson Learned for Environmental Risk Management. Sustainable Living with Environmental Risks.Springer.

OSTROM, E. 1990. Governing the commons: The evolution of institutions for collective actions, Cambridge university press.

OSTROM, E. 1997. Self-governance and forest resources. Local Institution for Forest Management: How Can Research Make a Difference. Bogor, Indonesia: CIFOR (Center for International Forestry Research).

PRIMAVERA, J. H. 2006. Overcoming the impacts of aquaculture on the coastal zone.Ocean & Coastal Management,49,531-545.

SAWITRI, R. 2012.Environmental management strategy of mangrove ecosystem on Bogowonto River estuary, Kulon Progo Regency. Master of Environmental Management, Gadjah Mada University.

Gambar

Gambar 1.Sumber: Budiyarto (2016) Lokasi dan luasan persebaran mangrove di Kabupaten Kulon Progo
Gambar 2. Lokasi penelitian
Tabel 2. Kondisi penunjang dan penghambat perkembangan Wana Tirta
Gambar 3,831
+2

Referensi

Dokumen terkait