• Tidak ada hasil yang ditemukan

K.H. Moh Tolchah Mansoer dan perannya terhadap perkembangan pimpinan pusat ikatan pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) tahun 1955-1961.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "K.H. Moh Tolchah Mansoer dan perannya terhadap perkembangan pimpinan pusat ikatan pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) tahun 1955-1961."

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1)

Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI)

Oleh :

Moch. Anas Zakaria NIM: A0.22.13.054

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

viii

Mansoer, (2) Bagaimana sejarah pendirian IPNU dan (3) Bagaimana peran K.H Moh Tolchah Mansoer terhadap perkembangan IPNU pada periode 1955-1961.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode sejarah dengan menggunakan beberapa langkah yaitu heuristik (mengumpulkan arsip-arsip terkait dengan pembahasan yang ditujukan), verifikasi (kritik terhadap data), penafsiran serta bagaimana cara penulisan sejarahnya. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis. Pendekatan historis digunakan untuk mendeskripsikan peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Selain itu penulis menggunakan teori kepemimpinan Max Webber.

Skripsi ini menyimpulkan bahwa (1) K.H. Moh. Tolchah Mansoer lahir pada tanggal 10 September 1930 di Malang. Ia putra dari pasangan Mansoer dan Siti Nur Khatidjah. Tolchah merupakan pakar Hukum Tata Negara di Indonesia dan orang pertama di kalangan NU yang memiliki gelar doktor. Saat Tolchah pindah ke Yogyakarta, ia diangkat sebagai anggota DPRD Yogyakarta dan juga anggota Badan Pengurus Harian Provinsi Jawa Tengah. (2) IPNU berdiri pada 24

(7)

ix

IPNU’s establisment and (3) how is the role of K.H. Moh Tolchah Mansoer in development of IPNU 1955-1961 AD.

Writing this thesis uses historical method with few steps are heuristic (collecting archives that related to this discussion), verification (criticism of the data), interpretation and historiography (how to write the history). As for the approach that used in this research is historical approach. Historical approach is used to describes the events that have occured in past. Author use a leadership theory of Max Weber.

This thesis conclude that (1) K.H. Moh. Tolchah Mansoer was born on September 10, 1930 at Malang. He is a son of Mansoer dan Siti Nur Khatidjah. Tolchah is an expert of Constitutional Law in Indonesia and the first people among NU who has a doctorate. When Tolchah move to Yogyakarta, he is appointed as a member of DPRD Yogyakarta and also member of BPH province of Central Java. (2) IPNU standing on February 24, 1954 at the time of the Great

Congress of Ma’arif. IPNU established by Sufyan Cholil, Mustafa, Abdul Ghani Farida and Tolchah Mansoer. The purpose of the establishment of IPNU is unite the general students, santri and also college students in one organizational. (3)

K.H. Moh Tolchah Mansoer have an important role in IPNU’s progress, among

(8)

xiii

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

HALAMAN MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ...viii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI...xiii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian... 8

D. Kegunaan Penelitian... 8

E. Penelitian Terdahulu ... 10

F. Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 12

G. Metode Penelitian... 14

H. Sistematika Pembahasan ... 17

(9)

xiv

BAB III: LATAR BELAKANG BERDIRINYA IPNU

A. Organisasi Pelajar NU sebelum Berdirinya IPNU ... 37

B. Proses Lahirnya IPNU ... 40

C. Hubungan antara IPNU dengan IPPNU ... 52

BAB IV: PERAN K.H. MOH. TOLCHAH MANSOER DALAM PROSES PERKEMBANGAN PP IPNU (1955-1961)

A. Perintis Berdirinya IPNU... 54

B. Ketua Pimpinan Pusat IPNU ... 57

C. Pendirian Cabang-cabang Organisasi IPNU... 65

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 69

B. Saran ... 70

(10)

A. Latar Belakang Masalah.

Islam adalah agama dakwah. Suatu agama yang menugaskan

kepada umatnya untuk menyebarkan dan menyiarkan ajaranya terhadap

seluruh umat manusia. Apabila ajaran Islam yang mencakup segala aspek

kehidupan tersebut dijadikan sebagai pedoman hidup dilaksanakan dengan

sungguh-sungguh, maka umat Islam akan menyadari bahwa Islam dapat

menjamin terwujudnya kebahagian dan kesejahteraan baik di dunia

maupun di akhirat kelak.

Islam yang secara obyektif dengan jelas mengajarkan kepada

manusia bagaimana harus berkeyakinan kepada tuhan disebut iman, dari

sumber iman akan terwujud sikap mental ketaatan yang nantinya akan

menyebabkan seseorang melakukan apa yang diperintahkan oleh Tuhan

dan meninggalkan apa yang dilarangnya tanpa mengenyampingkan tata

cara yang baik dalam berkomunikasi secara vertikal dengan Tuhan

maupun secara horisontal dengan sesama dan lingkungan sekitarnya

menuju satu titik sentral yang tinggi nilainya, yaitu penyerahan diri

terhadap Tuhan yang berintikan ketauhidan.1

Berkenaan dengan hal tersebut diatas, maka agama Islam

merupakan inti dasar untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagian hidup

yang sebenarnya, baik berupa ibadah atau amalan baik lainnya yang perlu

(11)

ditanamkan disetiap jiwa insani agar mendapatkan hasanah dalam agama,

dunia dan keberuntungan di akhirat kelak.

Jujur harus diakui, bagaimanapun bagusnya suatu ajaran,

sempurnanya konsep, tanpa adanya gerakan untuk merealisasikan dan

menterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari, maka yang ada hanyalah

tumpukan ajaran yang tanpa makna dan arti. Atas latar belakang inilah

Islam menempatkan gerakan dakwah sebagai kewajiban bagi umatnya,

baik untuk individu maupun kelompok, dengan kadar kemampuan yang

dimilikinya masing-masing.

Dakwah juga disebut sebagai agen perubahan sosial

kemasyarakatan, maka sungguh banyak hubungan dakwah dengan

kegiatan-kegiatan manusia dalam kehidupan sehari-hari, terlebih lagi jika

dilihat dari kinginan manusia untuk mencukupi kepuasanya yang

berdimensi 3 masalah, yaitu kepuasan jasmaniah, kepuasan rohanniah dan

kepuasan sosial, yang kesemuanya harus terlingkup dalam wadah nyata,

dalam arti terwujudnya individu-individu yang berkepribadian muslim,

yang sanggup menegakkan ajaran ajaran Islam pada dirinya dan

masyarakat luas untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan akhirat.

Sesungguhnya dakwah bukanlah tugas kelompok khusus, dimana

orang lain terbebas dari tanggung jawab, seperti halnya seorang muslim

dibebankan tugas sholat, zakat, maka setiap muslim juga dibebani untuk

menyampaikan Islam kepada orang lain. Karena itu, dakwah kejalan Allah

(12)

khusus hanya seorang muslim saja, melainkan mencakup semua muslim.

Memang sebagai muslim memiliki minat khusus serta pengetahuan dan

keterampilan yang lebih dari yang lain, akan tetapi kelebihan ini tidaklah

membatasi keumuman dakwah bagi tiap tiap muslim. Mekanisme dakwah

memungkinkan terjadinya perubahan, baik itu pola pikir, sikap dan prilaku

yang kesemuanya merupakan inti kemajuan manusia dalam

mengembangkan budaya dari berbagai peradaban.

Namun, rumus dunia tak dapat dipungkiri, dimana ada kebaikan

disana juga ada kejahatan yang dilakukan oleh pihak lain. Dipertegas

kartini kartono ; bahwa kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang

bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, asosial

sifatnya dan melanggar hukum baik hukum agama maupun hukum

pidana.2Apalagi kalau kejahatan itu dilakukan oleh pelajar, sesuai dengan

sebutannya “pelajar” adalah pelaku belajar di mana memiliki hak dan kewajiban setara dalam hal pendidikan dan pengembangan potensi, sudah

barang tentu akan merugikan masa depan bangsa dan agama. Oleh karena

itu, untuk menetralisir kemungkinan yang tidak diinginkan, maka perlu

adanya wacana yang bersifat kreatif, dinamis, agamis dan termasuk

didalamnya adalah organisasi pelajar.

Pesatnya kemunculan organisasi-organisasi berbasis pelajar yang

ada saat ini adalah lahan potensial dalam “penggarapan” minat, bakat, dan potensi pelajar. Kisaran target usia antara 12-23 tahun yang dapat disebut

2Kartini Kartono, Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis: Apakah Pendidikan Masih di Perlukan

(13)

sebagai masa-masa produktif organisasi. Melalui kegiatan-kegiatan yang

megangkat peran pelajar dalam pengembangan potensi, sangat

berimplikasi positif terhadap kemajuan dunia kepelajaran dan

pertumbuhan prestasi, baik akademik maupun non akademik.

Peran dan keberadaan organisasi pelajar, juga merupakan bagian

dari kekuatan masyarakat sipil, yang tidak bisa dianggap remeh.

Keberadaannya, menjadi ujung tombak pengkaderan bangsa, sebab

disadari bahwa untuk menjamin kelangsungan bangsa dibutuhkan kader

bangsa masa depan. Pelajar adalah tumpuan masa depan suatu bangsa, dan

mereka merupakan komponen penting dalam setiap perubahan.

Pentingnya peran organisasi bagi pelajar, antara lain sebagai

gerbong besar transformasi kesadaran dalam meluruskan gernerasi muda

agar tidak tergerus pada pragmatisme jangka pendek kalangan pelajar atau

jebakan implikatif dari arus besar globaisasi. Karena harus disadari bahwa

pesatnya perkembangan peradaban modern seperti sekarang ini,

mengakibatkan tumpukan problematika yang kian lama kian sulit untuk

diatasi, utamanya problematika yang menggerus dunia remaja dan pelajar.

Diawali dari tingginya tingkat stres, ketidaktahuan mengatasi persoalan

pubertas, hingga munculnya split personality, pelajar dan remaja. Telah

lari kian jauh dari nilai–nilai moralitas yang telah diyakini bangsa ini

selama berabad-abad. Tabu seksualitas telah dilanggar dengan maraknya

seks bebas, akal sehat telah diporak-porandakkan oleh kegemaran

(14)

dan kemanusiaan telah dilanggar dengan munculnya berbagai aksi tawuran

dan kekerasan, yang sering diberitakan media akhir akhir ini. Perbuatan

anak–anak muda yang nyata melawan hukum dan ati sosial tersebut pada

dasarnya tidak disukai oleh masayarakat, dan menjadi problem sosial yang

berkepanjangan.

Hal tersebut, kemudian ikut dirasakan dan menjadikan kegelisahan

salah satu organisasi sosial keagamaan di Indonesia, yakni Nahdlatul

Ulama. Organisasi yang dilahirkan oleh K.H. Hasyim Asy’arie pada tahun

1926 ini merupakan salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di

Indonesia, dimana di kliam bahwa umat Nahdliyyin keanggotaannya

mencapai 40-60 juta jiwa.3 Sebagai salah satu organisasi keagamaan di Indonesia, turut serta membantu pemerintah dalam mengembangkan

prestasi belajar dan kemajuan pendidikan di Indonesia. Untuk

membentengi para pelajar NU dan pelajar pada umumnya dari berbagai

penyimpangan sosial serta untuk mengembangkan potensi para pelajar,

kemudian NU melahirkan suatu organisasi pelajar dan pemuda, yang

disebut Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU).

Organisasi yang lahir pada tahun 1954 ini merupakan salah satu

organisasi kader yang bergerak dalam bidang keagamaan, kemasyarakatan,

kepelajaran dan kepemudaan. Yang sebenarnya tidak jauh dengan

Muhammadiyah yang juga memiliki Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

dan Ikatan remaja Muhammadiyah. Kelahiran organisasi NU ini

3Acep Zamzam Noor et al, Dari Kiai Kampung ke NU Miring (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media,

(15)

merupakan sebuah hal sangat penting dalam dinamika sosial pelajar dan

pemuda di negeri ini, karena bertolak pada asumsi bahwa organisasi

merupakan sebuah wadah yang tepat dalam mengambangkan intelektual

dan skill para pelajar dan pemuda. Karena dengan membangun hubungan

dengan sesama, dan menjaganya agar terus berlangsung sepanjang waktu,

orang mampu bekerja bersama-sama untuk mencapai berbagai hal yang

tidak dapat mereka lakukan sendirian, atau yang dapat mereka capai tapi

dengan susah payah. Orang berhubungan melalui serangkaian jaringan

atau organisasi dan mereka cenderung memiliki kesamaan nilai dengan

anggota lain dalam jaringan tersebut serta menjadi sumber daya tersendiri

bagi mereka.4

Seperti halnya IPNU, dalam konteks kaderisasi di tubuh Nahdlatul

Ulama, IPNU dalah “garda terdepan kaderisasi” atau bisa dikatakan

sebagai pintu masuk pertama NU. Frasa ini patut disematkan kepada IPNU

sebagai tulang punggung kaderisasi NU, sekaligus kaderisasi bangsa.

Karena IPNU sejak awal kelahirannya yang diketuahi oleh Tolchah

Mansoer telah mengemban amanat luhur sebagai lembaga pengkaderan

pelajar dan santri yang merupakan basis generasi muda NU. Hal ini yang

membedakan IPNU dengan organisasi lain, diamana IPNU merupakan

organisasi kader bukan organisasi massa, akan tetapi juga memberdayakan

serta memiliki intelektual dan religiusitas yang tinggi berpaham

Ahlusunnah Wal Jama’ah yang menjadi ideologi Nahdliyin. Selain itu

4Arsip Museum NU,IPNU dari Muktamar ke Muktamar, Cirebon: Panitia Mu’tamar ke III & POR

I IPNU, 1958, 1. Lihat juga Arsip Museum NU, Buku Panduan Mu’tamar Pertama IPNU ,

(16)

keberadaan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) sebagai badan otonom

Nahdlatul Ulama (NU) tidak dapat dipisahkan darigrand designNahdlatul

Ulama, oleh karena itu IPNU dituntut untuk senantiasa mengembangkan

peran dan fungsinya sebagai pelaksana kebijakan dan program Nahdlatul

Ulama yang berkaitan dengan kelompok masyarakat santri, pelajar dan

mahasiswa, sembari terus mengikhtiarkan teguhnya orientasi gerakan

IPNU sebagaimana mandat dan misi awal berdirinya.

Dengan dilatar belakangi oleh uraian diatas, maka penulis

termotivasi untuk mendeskripsikan lebih lanjut dan lebih mendalam

mengenai berdirinya IPNU pada tahun 1955, dan apa saja dampak yang

ditimbulkan dari adanya organisasi ini, untuk itu penulis mengambil judul

“K.H. Moh. Tolchah Mansoer dan Perannya Terhadap Perkembangan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) Tahun 1955-1961.

Alasan mengapa biografi K.H. Moh. Tolchah Mansoer dan sejarah

lahirnya IPNU ini penting untuk diteliti adalah pertama, IPNU merupakan

bagian dari organisasi NU yang merupakan mayoritas di kalangan warga

muslim di Indonesia. Kedua, IPNU merupakan organisasi yang cukup tua

di Indonesia serta telah melalui proses dan dinamika yang panjang dari

masa ke masa hingga sampai pada masa globalisasi seperti sekarang.

Ketiga, IPNU merupakan wadah dari aktualisasi dan aktivitas para pelajar

Indonesia yang menyongsong moralitas dan intelektualitas anggotanya,

(17)

juga merupakan ulama yang terkemuka, dan juga memiliki peranan

penting dalam terbentuknya organisasi IPNU ini.

B. Rumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang

akan diajukan peneliti adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana biografi K.H. Moh. Tolchah Mansoer?

2. Bagaimana sejarah berdirinya IPNU?

3. Bagaimana peran K.H. Moh. Tolchah Mansoer terhadap pekembangan

IPNU pada periode 1955-1961?

C. Tujuan Penelitian.

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini yang sesuai

dengan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut:

1. Untuk menegetahui bagaimana biografi K.H. Moh. Tolchah Mansoer.

2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah berdirinya IPNU.

3. Untuk mengetahui peran K.H. Moh. Tolchah Mansoer dalam proses

perkembangan IPNU pada periode 1955-1961.

D. Kegunaan Penelitian.

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat positif bagi masyarakat

baik dari sisi keilmuan akademis maupun sisi praktis. Berikut diantaranya

(18)

1. Sisi Teoritis.

a. Bagi dunia organisasi.

Sebagai input wawasan pengetahuan tentang organisasi sehingga

dapat mewujudkan sistem organisasi yang ideal dan sesuai

dengan ajaran islam.

b. Bagi UIN Sunan Ampel Surabaya.

Sebagai bahan acuan referensi utama bagi mahasiswa yang

memilih jurusan Sejarah Peradaban Islam. Sehingga dapat

berkompeten di bidangnya.

c. Bagi Perpustakaan.

Merupakan input atau masukan yang sangat penting sebagai

temuan yang ilmiah yang kemudian dapat menambah koleksi

perpustakaan yang dapat dijadikan bahan bacaan dan referensi

bagi kalangan yang membutuhkan.

2. Secara Praktis

a. Bagi Penulis.

penelitian ini bermanfaat dalam rangka memenuhi tugas akhir

jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan

Humaniora, UIN Sunan Ampel Surabaya.

b. Skripsi ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pemahaman

yang tepat tentang K.H. Moh. Tolchah Mansur Dan Peranya

(19)

E. Penelitian Terdahulu.

Merujuk pada judul penelitian yang penulis kemukakan di atas,

peneliti menemukan beberapa judul penelitian terdahulu yang serupa

dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Berikut akan dikemukakan

penelitian tersebut beserta penjelasannya sebagai bahan perbandingan,

sehingga mampu menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukan ini bukan

merupakan pengulangan atau duplikasi dari penelitian yang telah ada

sebelumnya :

1. Isnainissholihah, “Dinamika Pelajar Nahdlatul Ulama di Kabupaten

Purworejo”, Yogyakarta : Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora

UIN Sunan Kalijaga, 2013. Membahas tentang gambaran umum sosial

dan keagamaa Kabupaten Purworejo yang terdiri dari kondisi Geografi

dan demografi, kondisi perekonomian, keagamaan, sejarah IPNU dan

IPPNU, landasan aktivitas dan gerakan IPNU dan IPPNU serta latar

belakang sosial lahirnya IPNU dan IPPNU di kabupaten Purworejo.

Skripsi tersebut juga membahas tentang perkembangan IPNU dan

IPPNU di kabupaten Purworejo, yang terdiri dari, kondisi organisasi,

kondisi kepengurusan, kondisi kaderisasi, kondisi kepengurusan,

kondisi kaderisasi dan juga aktivitas dan gerakan apa saja yang

dilakukan oleh IPNU dan IPPNU di Kabupaten Purworejo, yang terdiri

dari aktivitas dan gerakan di bidang pengkaderan, bidang spiritual,

(20)

2. Asyufah Nur Hidayanti, “Pembinaan Akhlak Remaja (Studi Kasus pada

Organisasi Ikatan Pelajar nahdlatul Ulama dan Ikatan Pelajar Putri

Nahdlatul Ulama Pimpinan Anak Cabang Kabupaten Purbalingga)”,

Purwokerto: Skripsi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Iain

Purwokerto, 2016. Membahas tentang proses pelaksanaan pembinaan

akhlak remaja dari kegiatan, metode, model, media dalam pembinaan

akhlak hingga faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan

pembinaan akhlak dan juga meliputi profil organisasi, sejarah

berdirinya, visi dan misi, struktur organisasi, dan tenaga pendidik dan

kependidikan.

3. Syamsul Anwar, “Peran Pengurus PAC IPNU-IPPNU Gedangan

Kabupaten Sidoarjo dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam

Nonformal bagi Anggota yang Putus Sekolah”, Surabaya: Skripsi

fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya, 2011.

Membahas tentang tingkat putus sekolah anggota IPNU-IPPNU

Gedangan, bentuk pendidikan non formal yang dimiliki pengurus PAC

IPNU-IPPNU Gedangan bagi anggota yang putus sekolah, dan juga

peran PAC IPNU-IPPNU Gedangan dalam pengembangan pendidikan

(21)

F. Pendekatan dan Kerangka Teoritik.

Dalam penelitian yang berjudul “K.H. Moh. Tolchah Mansoer dan

Perannya Terhadap Perkembangan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar

Nahdlatul Ulama (PP IPNU) Tahun 1955-1961” ini, penulis menggunakan

pendekatan historis. Pendekatan ini bertujuan untuk menjelaskan

bagaimana sejarah hidup K.H. Moh. Tolchah Mansoer, dimulai dari

genealogi, kelahiran, pendidikan yang ditempuh serta kondisi sosial dalam

masyarakat di sekitarnya hingga perubahan-perubahan yang terjadi dalam

kehidupannya. Dari sini akan diketahui kondisi sosial dan lingkungan

tersebut yang mempengaruhi tokoh yang akan ditulis. Dalam penelitian ini

penulis menggunakan sejarah naratif yang menurut Sartono Kartodirdjo

adalah sejarah yang mendeskripsikan tentang masa lampau dengan

merekonstruksi peristiwa yang terjadi, serta diuraikan sebagai cerita,

dengan perkataan lain kejadian–kejadian penting diseleksi dan diatur

menurut poros waktu sedemikian sehingga tersusun sebagai cerita

(History).5

Sedangkan kerangka teori dalam penulisan skripsi ini

menggunakan teori kepemimpinan, Max Weber seperti dikutip Soerjono

Soekanto mengklarifikaikan kepemimpinan menjadi tiga jenis:

1. Otoritas Kharismatik yakni berdasarkan pengaruh dan kewibawaan

pribadi.

2. Otoritas tradisional yang dimiliki berdasrkan pewarisan.

5Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia

(22)

3. Otoritas legal-rasional yakni yang dimiliki berdasarkan jabatan serta

kemampuan.6

Berdasarkan beberapa pengertian yang dijelaskan oleh Max Weber,

penulis menyimpulkan bahwa K.H. Tolchah Mansoer masuk dalam

klasifikasi kepemimpinan rasional (rasionality leader). Tipe ini, pemimpin

yang dipilih berdasarkan pada dua prinsip, yaitu secara rasional dan legal.

Rasional, karena pemimpin dipilih berdasarkan kriteria tertentu, misalnya

tingkat pendidikan, kecakapan dan pengalaman, serta syarat lainnya. K.H.

Tolchah Mansoer dikatakan relevan dengan teori kepemimpinan rasional

sebab beliau merupakan seorang Ketua Umum Pimpinan Pusat IPNU yang

dipilih dan ditetapkan sebagai ketua PP IPNU secara legal (sah menurut

hukum). Beliau juga dipilih karena beliau memiliki kemampuan serta

wawasan yang luar biasa dalam bidang tata negara.

Otoritas atau wewenag legal-rasional adalah wewenang yang

disandarkan pada sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat. Sistem

hukum disini dipahamkan sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui serta

ditaati masyarakat dan bahkan telah diperkuat oleh negara. Secara ringkas,

otoritas legal-rasional diartikan Weber sebagai kekuasaan yang jelas

legalitasnya. Weber memberikan pandangannya bahwa otoritas

legal-rasional yang paling murni adalah birokrasi. Terdapat wadah atau sarana

dalam “pemerintahan” dalam sebuah masyarakat yang sah dan memiliki

legalitas. Birokrasi ini sebagai wadah dalam suatu struktur masyarakat

(23)

yang cakupannya luas. Seperti dalam suatu masyarakat terdapat kepala

desa, sekretaris desa, atau pun ketua RT (Rukun Tetangga) dan lain

sebagainya. Selain itu cakupan makronya seperti Presiden,

menteri-menteri, dan para Wakil Rakyat yang keseluruhannya mempunyai

legal-rasional.

G. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, agar lebih mudahnya penulis menggunakan

metode penelitian sejarah yang terbagi menjadi empat tahap. 7 sebagai berikut:

1. Heuristik (pengumpulan data) , adalah kegiatan untuk mencari data

atau menghimpun bahan-bahan sumber sejarah. Sumber sejarah adalah

segala sesuatu yang berlangsung atau tidak langsung menceritakan

tentang suatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lampau.8 Metode heuristik merupakan tahap pertama yang harus ditempuh oleh

peneliti. Adapun metode yang ditempuh dalam menghimpun data-data

sumber sejarah dalam penulisan ini adalah dengan menggunakan

sumber data tertulis baik berupa sumber primer maupun sumber

sekunder.

7Nugroho Notosusanto,Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer(Jakarta: Yayasan Idayu, 1978),

38.

8Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah Islam (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2011),

(24)

a. Sumber Primer

Sumber primer adalah sumber yang ditulis oleh pihak yang

terlibat langsung dalam peristiwa sejarah atau pihak yang menjadi

saksi mata peristiwa sejarah. Sumber primer yang digunakan

penulis untuk tulisan ini adalah :

1. Buku panduan Mu’tamar Pertama IPNU. Diterbitkan Oleh

Panitia Pusat Mu’tamar IPNU Pertama.

2. IPNU dari Mu’tamar ke Mu’tamar, Panitia Mu’tamar ke III &

POR I IPNU.

3. Laporan Pertanggungan Djawab Pimpinan Pusat IPNU, pada

Muktamar IV di Yogyakarta 1961.

4. Buku karangan Moh. Tolchah Mansoer yang Berjudul:

Sedjarah Perdjuangan IPNU dari Masa ke Masa.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder digunakan sebagai pendukung dalam

penelitian ini. Sumber-sumber sekunder didapatkan dari beberapa

buku maupun literatur yang berkaitan dengan tema yang dibahas

penulis, dalam hal ini penulis menggunakan:

1. Buku karangan Caswiyono Rusydie Cakrawangsa dkk yang

berjudul: KH. Tolchah Mansoer, Biografi Profesor NU yang

Terlupakan.

2. Buku karangan Soelaiman Fadeli dan Mohammad Subhan yang

(25)

3. Lintas Generasi IPNU-IPPNU Jawa Timur,PWNU Jatim.

4. Buku karangan Asrorun Niam Sholeh dan Sulthan Fatoni yang

berjudul: Kaum Muda NU dalam Lintas Sejarah, 50 Tahun

Pergulatan dan Kiprah IPNU Dalam Mengabdi Ibu Pertiwi.

2. Verifikasi (kritik), adalah proses seleksi pada sumber-sumber yang

telah dikumpulkan dengan cara melakukan kritik sumber. Kritik

sumber merupakan usaha untuk mendapatkan sumber-sumber yang

relevan dengan cerita sejarah yang ingin disusun. Selain itu, kritik

sumber dimaksudkan sebagai penggunaaan dan penerapan dari

sejumlah prinsip-prinsip untuk menilai atau menguji kebenaran

nilai-nilai sejarah dalam bentuk aslinya dan menerapkan pengertian

sebenarnya. Kritik sumber terdiri dari dua jenis, yaitu kritik ekstern

dan kritik intern. Kritik eksteren adalah proses untuk melihat apakah

sumber yang didapatkan tersebut asli atau tidak, dengan kritik ekstern

penulis melihat fisik daripada arsip-arsip yang telah didapatkan,

sedangkan kritik intern penulis berusaha untuk melihat isi daripada

arsip-arsip tersebut.

3. Interpretasi (penafsiran), yaitu menetapkan makna yang saling

berhubungan atau menafsirkan fakta-fakta sejarah yang telah

diperoleh. Tujuannya agar fakta yang ada mampu untuk mengungkap

permasalahan yang ada, sehingga diperoleh pemecahannya. Dalam

(26)

lain, sehingga dapat ditetapkan makna dari fakta yang diperoleh untuk

menjawab permasalahan yang ada.

4. Historiografi (penulisan sejarah) adalah tahap akhir langkah-langkah

penulisan sejarah yang menyajikan cerita dan dapat dipertanggung

jawabkan kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh. Penulisan

dalam penelitian ini juga menggunakan metode penulisan sejarah

secara kronologis (penyusunan sejumlah kejadian atau peristiwa). Hal

ini terlihat dari pengambilan bahasan pada rentang waktu antara tahun

1955-1961. Pada tahun tersebut IPNU mengalami perkembangan awal

yang cukup signifikan.

H. Sistematika pembahasan

Secara garis besar, sistematika pembahasan ini disusun dalam

rangka mempermudah pemahaman terhadap penulisan ini. Pemaparan bab

demi bab bukan merupakan ringkasan dari keseluruhan bab yang ada

dalam tulisan hasil penelitian ini, melainkan suatu deskripsi mengenai

hubungan pasal demi pasal atau bab demi bab dalam pembahasan ini.

Adapun sistematika penulisan hasil penelitian ini secara umum

terdiri dari pendahuluan, isi, dan penutup. Di bawah ini akan dipaparkan

secara lebih jelas uraian pembahasannya:

Bab pertama, merupakan bab pendahuluan: berisi latar belakang

(27)

pendekatan dan kerangka teori, penelitian terdahulu, metode penelitian,

dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, menjelaskan tentang Biografi Moh. Tolchah Mansoer,

yang membahas tentang, latar belakang keluarga, latar belakang

pendidikan serta karier dan karyanya.

Bab ketiga, menjelaskan tentang sejarah berdirinya IPNU, yang

membahas tentang organisasi pelajar NU sebelum lahirnya IPNU dan

proses lahirnya IPNU, dan juga kaitannya IPNU dengan IPPNU.

Bab keempat, menjelaskan tentang K.H. Moh. Tolchah Mansoer

dalam proses perkembangan IPNU pada periode 1955-1961, yang

membahas dia sebagai perintis berdirinya IPNU, sebagai Ketua Pimpinan

Pusat IPNU, dan juga pembentukan cabang-cabang organisasi IPNU.

(28)

A. Latar Belakang Keluarga Moh Tolchah Mansoer.

Tolchah Mansoer dilahirkan pada tanggal 10 September 1930 di kota

Malang Jawa Timur.1 Ia dilahirkan dari keluarga yang sederhana. Ayahnya bernama Mansoer, seorang rantau dari Madura, tepatnya berasal dari daerah

Blegah, Bangkalan. Mansoer merantau ke Malang untuk berdagang, dia

bedagang tikar, keranjang dan berbagai peralatan lain yang terbuat dari bambu.

Ibunya bernama Siti Nur Khatidjah, seorang putri dari saudagar kaya di

Madura, beliau juga berasal dari daerah Blegah, Madura.

Pertemuan keduanya terjadi di Pasar Besar Malang. Mansoer yang sudah

lebih awal berjualan disitu, berkenalan dengan Khatidjah yang saat itu sudah

menjanda. Khatidja pertama kali menikah dengan Jalaluddin Krama Asmara,

salah seorang keluarga kerajaan di Bangkalan Madura. Dari pernikahan

tersebut lahir seorang anak yang bernama Raden Isman, yang nanti akan

dikenal dengan nama Usman Mansoer. Usman lahir di Madura pada tahun

1924. Namun tak lama setelah kelahiran anaknya tersebut, Jalaluddin dan

Khatidjah bercerai. Setelah bercerai, Khatidja memutuskan untuk merantau ke

Jawa bersama bayinya.

1Soelaiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU: Sejarah, Istilah, Amalia, Uswah

(29)

Kedua orang tersebut memiliki kesamaan nasib, mereka sama-sama

berasal dari Blega , Bangkalan, Madura. Merasa memiliki nasib yang sama

diperantauan, timbul rasa simpati satu sama lain. Dari pertemuan tersebut,

mereka akhirnya menikah pada tahun 1927. Setelah menikah mereka bertempat

tinggal di kampung kidul pasar. Tempat ini dipilih dengan alasan supaya akses

menjadi lebih dekat karena notabene Mansoer adalah seorang pedagang. Dari

pernikahan tersebut, Mansoer dan Nur Khatidjah memiliki 3 orang anak.

Mereka adalah Ahmad yang meninggal saat masih bayi, Tolchah, dan

Mardhiyah yang lahir beberapa tahun setelah Tolchah.2

Tolchah kecil adalah seorang bocah yang suka membaca buku,

dikarenakan lingkungan tempat ia tinggal adalah kawasan yang padat

penduduk, dan batas antara rumah satu dengan yang lain hanyalah

lorong-lorong kecil. Tidak ada lapangan yang bisa digunakan untuk berkumpul dan

bermain bersama teman sebayanya. Dengan kondisi yang seperti itu, akhirnya

Tolchah lebih sering menghabiskan waktunya dirumah untuk sekedar membaca

tumpukan-tumpukan buku milik kakak nya yang memang saat itu sudah

bersekolah lebih dahulu.

Saat mulai beranjak dewasa, dengan berbekal izin kedua orang tuanya,

Tolchah memilih untuk meninggalkan kota kelahirannya Malang dan

memutuskan merantau ke Yogyakarta dengan tujuan menuntut ilmu, ia

berangkat pada tahun 1951. Sesampainya di Yogyakarta, ia memilih untuk

2Caswiyono Rusydie Cakrawangsa et al, KH. Tolchah Mansoer: Biografi Profesor NU Yang

(30)

menetap di jantung kota tepatnya di selatan perempatan Tugu Jogja. Disanalah

Tolchah menghabiskan masa mudanya. Selain fokus terhadap pendidikan,

Tolchah juga senang berorganisasi, di Jogja beliau aktif di organisasi Pelajar

Islam Indonesia (PII) dan juga Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), bahkan ia

juga adalah salah satu perintis berdirinya Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama,

organisasi pelajar NU tersebut didirikan oleh Tolchah bersama

teman-temannya. Tolchah juga sempat menjadi ketua umum IPNU hingga tiga

periode. Bersama IPNU, intelektualisme Tolchah semakin terbentuk. Ia dikenal

sebagai pemuda yang memiliki Idealisme tinggi, meskipun dikenal sebagai

orang yang tekun, tapi ia juga pandai bergaul dengan siapa saja, humoris dan

menyenangkan.3

Masa muda yang terus difokuskan untuk mencari ilmu dan sibuk

berorganisasi, membuat Tolchah tak sempat untuk memikirkan apa yang

biasanya dipikirkan oleh anak muda pada seusianya, urusan asmara misalnya.

Oleh karena itu, teman-temannya seringkali menggodanya dan

menjodoh-jodohkannya dengan Umroh Mahfudzoh, cucu dari K.H. Abdul Wahab

Chasbullah, Kiai agung yang tersohor akan peranannya dalam mendirikan

Nahdlatul Ulama. Pada saat itu Umroh Mahfudzoh juga terkenal sebagai

perintis berdirinya organisasi pelajar putri NU. Tolchah dan Umroh bertemu

pertama kali di forum Konferensi Segi Lima di Solo pada tahun 1954.4 Pada

3Subhan,Antologi NU, 288.

4Konferensi Segi Lima ialah pertemuan yang dihadiri oleh lima daerah yaitu Jombang, Kediri,

(31)

saat itu pelajar putri bermaksud akan bergabung, namun Tolchah menolak.

Dalam pandangan Tolchah, kalau Muslimat dan Fatayat saja bisa berdiri

sendiri, mengapa pelajar putri NU tidak bisa mendirikan organisasi sendiri.

Perdebatan pendapat ini menjadi awal pertautan keduanya. Sejak saat itu

teman-temannya memberi semangat, namun Tolchah sedikit minder karena ia

anak orang biasa, sedangkan Umroh adalah anak seorang Menteri Agama dan

tokoh NU. Karena sering mendapat ledekan dari teman-temannya, Akhirnya

Tolchah memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanya terhadap

Umroh.

Pada tanggal 5 Desember 1957 Tolchah dan Umroh akhirnya menikah,

pernikahan mereka dilaksanakan di Jombang. Meskipun awalnya K.H Wahib

Wahab, ayah Umroh, tidak menyetujui hubungan tersebut. Dikarenakan pada

saat itu, pandangan banyak orang menganggap bahwa orang Madura itu keras.

Namun Umroh terlanjur jatuh hati terhadap Tolchah. Dalam pandangannya,

meskipun Tolchah hitam tapi hitam manis, umroh memilih Tolchah juga

karena ia punya karakter yang tegas. keputusan tersebut juga didukung kuat

oleh sang kakek, K.H Abdul Wahab Chasbullah dan juga neneknya, Nyai

Wahib.5

Dari pernikahan tersebut, Tolchah dan Umroh memiliki 7 orang anak.

Tolchah sangat perhatian terhadap pendidikan anak-anaknya dan selalu

memberi semangat kepada mereka. Tolchah seringkali mengumpulkan

anaknya setelah pulang dari sekolah. Saat itu ia akan meminta kepada

(32)

anaknya untuk menjelaskan kembali pelajaran yang didapat waktu di sekolah.

Di saat-saat seperti ini pula, putra-putrinya sering menyampaikan keluh

kesahnya kepada sang ayah. Tolchah memiliki pendirian untuk membebaskan

anak-anaknya dalam memilih pendidikan yang mereka inginkan dan tidak

mengharuskan anaknya belajar di pesantren. Bukan karena tidak memercayai

pengajaran di pesantren, namun karena ia ingin lebih dekat dan mengerti

perkembangan putra-putrinya. Pada akhirnya anak-anaknya lebih memilih

untuk menempuh jalur pendidikan umum, namun tetap belajar agama.

Pelajaran agama tersebut rutin disampaikan Tolchah pada setiap ba’da

maghrib.

Karena pendirian tersebut, anak-anaknya memiliki disiplin ilmu yang

berbeda-beda. Anak pertama, Fajrul Falaakh, mendapatkan gelar sarjana

Hukum dari Universitas Gajah Mada, gelar MA di University of London, dan

gelar MSc dari London School of Econimics and Political Science.

Zuhrufussurur memperoleh gelar sarjana Elektro dari IKIP Yogyakarta.

Nisrinun Ni’mah menyelesaikan Sarjana Pendidikan di IAIN Sunan Kalijaga.

Zunatul Mafruhah memperoleh gelar sarjana hukum di Universitas Islam

Indonesia. Safrotul Machrusah menyelesaikan Sarjananya di IAIN Yogyakarta

dan gelar Masternya diperoleh dari Australian National University di Australia.

Choirotun Chisan memperoleh gelar sarjana Hukum dari IAIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta dan mendapat master di Universitas Sanata Darma di Yogyakarta.

(33)

Bandung dan gelar master dari Teknik Industri dari perguruan tinggi yang

sama.6

Keluarga Tolchah adalah keluarga yang sangat peduli terhadap

pendidikan, bukan hanya peduli terhadap pendidikan di dalam keluarganya,

namun juga pendidikan di masyararakat. Hal itu terbukti ketika Umroh

mendirikan sebuah Taman Kanak-Kanak (TK) dan sampai sekarang sekolah

tersebut masih ada. Bukti lainnya adalah ketika Tolchah merintis pendirian

Pondok Pesantren As-Sunni Darussalam pada tahun 1984, saat itu ia menerima

tanah wakaf dari Hj. Rodhiah seluas 1000 m2 di daerah Tempelsari

Maguwoharjo Sleman. Diatas tanah itu awalnya dibangun sebuah masjid yang

sekarang dikenal sebagai Masjid Sunan Ampel, sampai tahun 1993, tempat

tersebut dikembangkan oleh Kiai Abbas, tokoh masyarakat di daerah tersebut,

sebagai Pesantren Sunan Ampel. Namun, pada perkembangan selanjutnya,

Pesantren tersebut dijadikan Pesantren As-Sunni Darussalam, atas saran

Umroh dan anak-anaknya. Pihak kelurga juga mendapatkan tanah wakaf lagi

di daerah setempat seluas 245 m2. Tanah tersebut selanjutnya dijadikan gedung

Madrasah Diniyah As-Sunni Darussalam. Selain itu, Umroh menambah lagi

luas tanah wakaf tersebut dengan membeli tanah seluas 1800 m2. Akhirnya

pada tahun 1999 gedung pesantren tersebut mulai dibangun. Saat ini pesantren

As-Sunni Darussalam sudah berdiri megah dan ditempati oleh santri-santri

yang merupakan mahasiswa di berbagai kampus di Yogyakarta.7

(34)

Pada saat menyelesaikan disertasinya, kesehatan Tolchah sudah sering

menurun. Hampir kesehariannya digunakan untuk membaca dan menulis

disertasi dan kondisi tubuh Tolchah yang paling parah terjadi saat ia

melakukan ujian disertasi tersebut. Saat ujian, ia dikawal oleh beberapa tim

dokter untuk berjaga-jaga agar tidak terjadi hal yang tidak di inginkan.

Meskipun dalam keadaan capek dan sakit-sakitan, Tolchah tetap bersemangat

menjalani ujian. Dikarenakan saat itu, sang ibunda, Siti Nur Khatidjah datang

dari Malang untuk menyaksikan putranya meraih gelar doktor. Ujian tersebut

dilaksanakan pada 17 Desember 1969.

Pada puncak keemasan karir intelektual ini, K.H. Moh. Tolchah

Mansoer dipanggil ke rahmatulloh, setelah sempat dirawat di RS. Dr. Sardjito

Yogyakarta. Ia akhirnya meninggal dikarenakan penyakit jantung yang

dibawanya sejak lahir. Bertepatan dengan tanggal 20 Oktober 1986, Tolchah

menghadap sang Khaliq.8 Tokoh yang mempunyai kehidupan sederhana ini meninggalkan keluarga, murid, organisasi dan puluhan karyanya akan selalu

dikenang sepanjang zaman. Malam itu juga, KH. Ali Ma’sum (Rais Syuriah

PBNU 1989-1994) bermusyawarah dengan pihak keluarga tentang tempat

pemakaman Almarhum K.H. Moh. Tolchah Manoser. Akhirnya, setelah

mendapat saran dari KH. Ali Ma’sum, jenazahnya dimakamkan di makam

keluarga Pesantren Krapyak. Pagi harinya, ribuan pelayat mengantar dari

rumahnya yang berada di Colombo no. 21. Jenazah K.H. Moh. Tolchah

Mansoer di sholatkan di masjid kampus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

8Mastuqi HS dan M. Ishom El-Saha, Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala

(35)

Jalan panjang Tolchah telah berakhir. Bukan hanya keluarga, namun

sahabat serta santri-santri beliau juga merasa kehilangan sosok pentingnya.

Akan tetapi, sejarah tentangnya tidak akan terlupakan, karakter, idealisme, dan

cita-citanya akan terus berkibar. ia adalah cahaya yang masih terus menerangi

hingga saat ini.

B. Latar Belakang Pendidikan Moh. Tolchah Mansoer.

Pendidikan pertama KH. Tolchah Mansur di peroleh di Sekolah

Rakyat Nahdlatul Ulama Malang pada tahun 1937.9 Madrasah tersebut didirikan oleh KH. Nahrawi Thahir (Ketua Umum PBNU periode

1944-1951). Madrasah tersebut mendatangkan guru-guru yang mumpuni dan

terpilih dari berbagai daerah, salah satu guru yang mempunyai pengaruh besar

bagi Tolchah ialah K.H. Muhammad Syukri Ghazali (Ketua Umum MUI

periode 1981-1984). Kebetulan rumah Tolchah tidak jauh dari madrasah dan

rumah K.H. Muhammad Syukri Ghazali. Selesai sekolah ia langsung

mengaji. Mata pelajaran yang diajarkan di madrasah tersebut cukup beragam,

bukan hanya pelajaran agama seperti nahwu dan fiqih, tetapi juga pelajaran

umum seperti ilmu hitung dan juga bahasa Belanda. Pengetahuan tentang

bahasa Belanda tersebut yang nantinya menjadi bekal bagi Tolchah untuk

mempelajari hukum tata negara.10

9Subhan,Antologi NU, 288.

(36)

Setelah lulus dari sekolah rakyat, Tolchah meneruskan pendidikannya

di SMP Islam hingga lulus pada tahun 1947.11 Pada saat itu, proses menuntut

ilmunya sempat terhenti ketika terjadi Agresi Militer Belanda, pelajar usia 17

tahun ini menjadi sekretaris Sabilillah sehingga ia harus meninggalkan

sekolahnya. Ia akhirnya mengungsi bersama warga sekitar ke Malang Selatan

yang relatif aman dari serbuan tentara Belanda. Baru setelah perang

kemerdekaan usai, ia meneruskan sekolah di Taman Madya Malang sampai

lulus tahun 1951.

Bukan hanya itu Tolchah juga mengaji posonan (bulan Ramadhan) ke

beberapa pondok pesantren. Diantaranya, di Pondok Pesantren Tebuireng dan

Pondok Pesantren Al-Hidayah, Soditan Lasem. dibawah asuhan K.H.

Ma’shum. Karena ia memang santri yang cerdas dan otodidak, maka wajarlah

bila kelak Tolchah Mansoer akhirnya menjadi seorang ulama besar

Setelah lulus Taman Dewasa, dengan berbekal Iijazah dan dorongan

semangat dari ibunya, Tolchah berangkat ke Yogyakarta, sang ibu juga

meyakinkan Tolchah, bahwa beliau bisa membiayainya selama kuliah di

yogyakarta. Di Yogyakarta, Tolchah kembali menuntut ilmu di bidang umum

dengan masuk Fakultas Hukum Ekonomi Sosial dan Politik (HESP),

Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Kuliahnya tidak berjalan lancar, karena

ia memang aktivis organisasi. Pada tahun 1953, Tolchah berhenti kuliah

untuk sementara waktu. Hari-hari beliau habiskan untuk fokus terhadap

kegiatan organisasinya. Apalagi saat-saat tersebut Tolchah dan juga

(37)

sahabatnya sudah mulai merintis awal berdirinya Ikatan Pelajar Nahdlatul

Ulama. Selain itu, pada tahun tersebut ia juga ikut menyiapkan NU memasuki

medan politik pada pemilu 1955. Namun pada tahun 1959 Tolchah kembali

ke bangku kuliah. Semangatnya untuk belajar tidak pernah surut, walaupun

telah menikah ia tetap kembali ke bangku kuliah untuk menyelesaikan

studinya, hingga kemudian ia mampu menyelesaikan jenjang sarjana dan

menjadi Sarjana Hukum pada tahun 1964.12

Meskipun waktu yang diperlukan oleh Tolchah untuk menempuh

sarjana hukum memakan waktu 13 tahun. Namun, berkat kegemarannya

membaca beliau mampu menyelesaikan gelar Doktor Ilmu Hukum ( Jurusan

Hukum Tata Negara) dalam waktu relatif singkat. Yakni dalam waktu hanya

lima tahun. Dengan Promotor Prof. Abdul Gaffar Pringgodigdo, S.H,

akhirnya Moh. Tolchah Mansoer berhasil meraih gelar Doktor Ilmu Hukum

Universitas Gajah Mada dengan judul disertasi “Pembahasan Beberapa Aspek

Tentang Kekuasaan-kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Negara Indonesia (17

Desember 1969)”. Disertasi ini kemudian diterbitkan menjadi buku oleh

penerbit Radya Indria, Yogyakarta(1970).

C. Karier dan karya K.H. Moh. Tolchah Mansoer.

Dalam kehidupan organisasi, awal karir K.H. Moh. Tolchah Mansoer

dimulai sejak usia remaja, terutama dikalangan NU. Ketika masih duduk

dibangku Tsanawiyah, Ia pernah menjadi Sekretaris Ikatan Murid Nahdlatul

Oelama (IMNO) kota Malang pada 1945. Pada saat itu Ikatan Pelajar

(38)

Nahdlatul Ulama (IPNU) belum lahir, baru pada sembilan tahun kemudian

Tolchah menjadi salah satu penggagas berdirinya IPNU. Selain itu, ia juga

tercatat sebagai anggota Organisasi Putra Indonesia, salah satu organisasi

yang mengadakan perlawanan terhadap Jepang pada ahun 1945-1948. Di

masa yang sama, ia juga menjabat sebagai sekretaris Barisan Sabilillah untuk

daerah pertempuran Malang Selatan.13 Selain berkarir dalam bidang organisasi, Tolchah juga mendedikasikan dirinya untuk dunia pendidikan

dengan menjadi guru di Sekolah Rakyat NU dan Sekolah Menengah Agama

Islam di Malang sejak 1948.

Karier organasisi berikutnya yang diperoleh oleh Tolchah adalah saat

beliau berpindah ke Yogyakarta pada tahun 1950. Saat itu Ia pernah menjabat

sebagai menjadi wakil Departemen Penerangan Pengurus Besar Pelajar Islam

Indonesia (PB PII), selanjutnya pada 1952, Tolchah dipercaya menjadi Ketua

I Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) wilayah Yogyakarta.14

Sesuai dengan aktivitasnya dalam organisasi, maka KH. Tholhah

Mansur pernah beberapa kali memegang jabatan dalam pemerintahan

terutama di Daerah IstimewaYogyakarta. Ia pernah terpilih menjadi anggota

DPR mewakili NU (1958) dan tahun itu juga ia diangkat sebagai anggota

Dewan Pemerintah Daerah (DPD), kemudain badan ini diubah namanya

menjadi BPH (Badan Pemerintah Harian) Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta(1958). BPH Merupakan lembaga eksekutif di daerah yang

(39)

bertugas membantu kepala daerah. Pada saat menjabat sebagai BPH ini, ia

juga aktif melaksanakan kegiatan sosial, serta tentunya menyelesaikan

program doktoralnya.

Saat menjabat sebagai BPH, beberapa fasilitas didapatkan oleh

Tolchah, diantaranya adalah mobil dan rumah dinas yang terletak di

Compleks Colombo No. 21. Namun, mobil dinasnya hanya digunakan saat

akan berangkat kerja, sementara untuk berangkat kuliahnya di UGM ia lebih

memilih berjalan kaki atau mengendarai sepeda dan meninggalkan mobilnya

dirumah. Pada masa akhir jabatannya, mobil dinasnya dikembalikan kepada

negara. Sementara itu, Tolchah memutuskan untuk membeli rumah dinasnya

tersebut dengan cara mencicil. Akhirnya setelah tidak lagi menjabat sebagai

BPH, Rumah tersebut sudah menjadi hak milik pribadi.15

Perjuangan K.H. Moh. Tolchah Mansoer selanjutnya adalah sebagai

ketua Pengurus Wilayah Partai NU Daerah Iistimewa Yogyakarta. Setelah

terjadi fusi empat partai islam (NU, Parmusi, PSII dan Perti) menjadi Partai

Persatuan Pembangunan, ia lebih banyak berperan aktif di Jamiyah Nahdlatul

Ulama, disamping sebagai guru besar di beberapa perguruan tinggi dan

mubaligh. Sebagai gantinya, Umroh Mahfudloh, tampil sebagai aktivis PPP,

bahkan sampai menjadi ketua DPW PPP Daerah Istimewa Yogyakarta dan

beberapa kali menjadi anggota DPRD I Yogyakarta dan DPD/MPR RI.

Tolchah Mansoer, adalah salah seorang tokoh yang ikut membidani

kembalinya ke Khittah 1926, dalam Muktamar NU ke 27 di Pondok

(40)

Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukerejo, Asembagus Situbondo, yang diasuh

oleh K.H. As’ad Syamsul Arifin. Dalam Muktamar tersebut, dia terpilih

sebagai salah seorang Rois Syuriah PBNU dibawah pimpinan Rois Aam K.H.

Ahmad Shiddiq dan Wakil Rois Aam K. H. Rodli Sholeh.

Profesi Utama K.H. Moh. Tolchah Mansoer adalah sebagai pendidik

sekaligus juru dakwah dan penulis. Sewaktu masih kuliah tingkat doktoral, ia

menjadi asisten dosen di IAIN Sunan Kalijaga (Sekarang UIN Sunan

Kalijaga). Setelah lulus Tolchah masih tetap mengajar di IAIN, kemudian

juga di beberapa perguruan tinggi lainnya seperti IKIP Yogyakarta (sekarang

UNY), Akademi Militer di Magelang, IAIN Sunan Ampel Surabaya,

Akademi Administrasi Negara, Universitas Hasyim Asy’ari Jombang,

Universitas Nahdlatul Ulama Solo dan lain-lain.16 Guru Besar Hukum ini

pernah memegang jabatan di beberapa perguruan tinggi , diantaranya

Pembantu Rektor IAIN Sunan Kalijaga, kemudian Dekan Fakultas

Ushuluddin, Direktur Akademi Administrasi Niaga Negeri di Yogyakarta

(1965-1967), Rektor Universitas Hasyim Asy’ari (1970-1983) merangkap

Rektor Institut Agama Islam Imam Puro, Purworejo (1975-1983) dan Dekan

Fakultas Hukum Islam UNU (Universitas Nahdlatul Ulama) Surakarta. Dan

juga pernah menjadi anggota badan Wakaf IAIN Sunan Kalijaga dan Badan

Penyantun Taman Siswa Yogyakarta.

Disamping menjadi akademisi, Tolchah juga adalah seorang kiai,

meskipun beliau bukan keturunan kiai. Kemampuan Tolchah dalam menguasi

(41)

ilmu agama secara mendalam inilah yang membuat Moh. Tolchah Mansoer

dijuluki sebagai kiai. Kharisma keilmuannya terus bersinar menemani

perjalanannya hingga usia senja. Pada tahun 1970, K.H. Tolchah Mansoer

mulai menekuni dunia dakwah, awalnya hal ini mulai dipirkan beliau setelah

mendapat masukan dari teman-temannya yang juga termasuk dosen-dosen

muda di IAIN Sunan Kalijaga, K.H. Tolchah dimintai untuk mengajarkan

kitab-kitab salaf klasik, setelah dipikirkan akhirnya ia menyetujui usulan

tersebut, dan di garasi rumahnya yang berada di Komplek Colombo itu

dibuatkan pengajian kitab kuning yang dipimpin olehnya secara langsung, di

garasi mobil yang tidak terlalu luas tersebut pengajian dilaksanakan setiap

hari senin sampai jum’at setelah Shubuh untuk dosen IAIN Sunan Ampel,

dan setelah Ashar untuk mahasiswa-mahasiswanya.17

Selain itu, ia juga sering mengadakan pengajian dikampung-kampung

diberbagai daerah. Sebagimana seorang kiai pada umumnya, K.H. Tolchah

juga serring mendapatkan undangan dari para jama’ah untuk memberikan

ceramah di berbagai tempat, meski diundang di daerah yang jauh sekalipun,

seperti di Jepara, Lasem, Rembang, Magelang, Cilacap ia akan tetap hadir,

karena ia sangat mencintai jama’ahnya. Meskipun dalam keadaan lelah dan

sering sakit, kegiatan dakwahnya tidak pernah kendor.

Dalam setiap pengajiannya, K.H. Tolchah tetap membawa kitab ke

mimbar sebagai refrensinya. Hal itu dilakukan karena dirinya tidak ingin asal

berbicara, agar apa yang disampaikannya sesuai dengan rujukan. Meski

(42)

Tolchah merupakan seorang intelektual, beliau tetap menggunakan bahasa

yang mudah dipahami semua orang, dikarenakan jama’ah yang dihadapinya

adalah masyarakat biasa. Ia dikenal luwes dalam menyampaikan ceramahnya,

meskipun membawakan tema-tema yang serius, ia membawakannya dengan

rasa humor yang tinggi, akan tetapi humor yang tidak melunturkan kesan

ilmiah.

Meskipun masa tua K.H. Moh Tolchah Mansoer dihabiskan dengan

berceramah keliling daerah, namun identitas sebagai intelektual dan

akademisi tetap tidak hilang. Dari sisi pemikiran, Tolchah adalah akademisi

yang cerdas, kritis dan konsisten. Pemikirannya tentang ketatanegaraan

Indonesia dikenal sebagai pemikiran yang sangat progresif. Pemikirannya

yang tersebar dalam berbagai buku dan artikel mengupas beragam tema,

mulai dari hukum, negara, pemerintahan, demokrasi, konstitusi negara,

hingga hak asasi manusia. Selain itu, ia juga menulis tentang berbagai

persoalan sosial, keagamaan dan pendidikan.

Dalam satu tulisan Tolchah yang berjudul Peranan Umat Islam

Dalam Proses Pelaksanaan Pemurnian Pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945, K.H. Tolchah memberikan landasan yang kuat bagi demokrasi

berdasarkan ajaran Islam mengenai musyawarah berdasarkan surat

Asy-Syurah ayat 38 yang dengan jelas memerintahkan musyawarah dalam

menjalankan urusan umat manusia. Pelaksanaan perintah-perintah tersebut

dapat dilihat dalam sejarah Rasulullah dan empat khalifah sesudahnya.

(43)

baik sehingga umat dapat turut serta dalam menyusun dan melaksanakan

penyelenggaraan negara.

Tolchah Mansoer Juga mengemukakan tiga kelebihan atau manfaat

yang diberikan oleh demokrasi dalam bentuk musyawarah. Petama, dengan

dasar musyawarah, manusia memperhalus perjuangannya dan bekerja di atas

jalan ketuhanan dengan membuka pikiran dalam melaksanakan musyawarah

sesama manusia. Kedua, melalui musyawarah, negara tidak dijalankan oleh

seorang manusia atau pikiran seorang saja, tapi dilaksanakan oleh semua

golongan. Ketiga, permusyawaratan meminimalisasi atau bahkan

menhilangkan kekhilafan atau penyalahgunaan kekuasaan kekuasaan

seseorang yang berkuasa.18

Bukan hanya dalam bidang tata negara, Tolchah juga memiliki karya

dalam bidang keagamaan, salah satunya yang berjudul, Program Umat Islam.

Dalam pembahasan buku tersebut, ia menjelaskan tentang hubungan dunia

dan akhirat, yang memiliki korelasi diantara keduanya. Tolchah

mengibaratkan sebagaiman sesuatu dengan cermin, apabila sesuatu itu buruk

maka cerminpun akan memantulkan sesuatu yang buruk, namun apabila

sesuatu itu baik maka maka bayangannyapun juga akan baik.19 Baik dan burukpun sudah ditentukan oleh Allah dalam banyak riwayatnya, yang

membahas tentang wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah. Oleh karena

itu, tugas-tugas ummat Islam adalah untuk memprogramkan sesuatu yang

18Tolchah Mansoer,Peranan Umat Islam Dalam Proses Pelaksanaan Pemurnian Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945(Yogyakarta: Lembaga Penerbitan Ilmijah IAIN Sunan Kalijaga, 1971), 44.

(44)

baik-baik, dan apabila tidak mampu untuk memprogramkan hal tersebut,

tinggal mengikuti siapa yang mampu memprogramkan hal tersebut, misalnya

pemerintah.

Dalam buku tersebut Tolchah juga menjelaskan bahwa program

tersebut ada dua. Pertamaadalah program yang bersangkutan dengan akhirat,

yaitu tentang bagaimana ummat Islam tetap baik agamanya, berdakwah

dengan baik, mengajak kepada Islam dengan cara baik, dan juga

memberlakukan syariat Islam dengan baik. Yang kedua adalah program

tentang duniawi, yang terbagi menjadi 4 hal penting, yaitu istri yang sholihah,

tempat tinggal yang baik, tetangga yang baik, dan kendaraan yang baik pula.

Yang kesemuanya itu berkaitan dengan pendidikan, modal dan kecakapan

yang baik juga dari pribadi setiap orang yang harus diperjuangkan,

dikarenakan semua hal itu tidak bia didapatkan secara instan. Semua hal

tersebut juga harus diatur secara bersama, maka disinilah dibutuhkan

pemerintah yang menyelenggarakan seluruhnya. Pemerintah harus stabil,

dengan sistem politik yang baik, serta pertahanan yang kuat. Dan juga harus

ada wakil rakyat yang dinamis dan juga inisiatif memberikan pengawasan

juga konsep–konsep yang masuk akal.20

(45)

Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) adalah salah satu organisasi

dibawah naungan jam’iyah Nahdlatul Ulama, tempat berhimpun dan wadah

komunikasi putra-putri NU, merupakan bagian integral dari potensi generasi muda

Indonesia yang menitikberatkan bidang garapannya pada pembinaan dan

pengembangan pelajar, remaja dan santri.1 IPNU adalah wahana kaderisasi putra

NU sekaligus sebagai alat perjuangan NU dalam menempatkan pemuda sebagai

tiang penyangga, yang dituntut untuk berkiprah lebih banyak dalam pembangunan

bangsa yang bermodalkan ilmu pengetahuan, pengalaman dan keteguhan iman

yang diharapkan mampu mengantarkan cita-cita luhur bangsa.

IPNU beraqidahkan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang berhaluan pada

salah satu dari Mahdzab Empat, yaitu Imam Syafi’i, Maliki, Hambali dan Hanafi,

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, IPNU berdasarkan kepada Pancasila,

dan IPNU adalah organisasi yang bersifat keterpelajaran, kekaderan,

kekeluargaan, kemasyarakatan, kebangsaan dan keagamaan. Tujuan dibentuknya

IPNU adalah untuk terpeliharanya rasa kekeluargaan pelajar-pelajar di pesantren,

madrasah, sekolah umum dan mahasiswa yang sehaluan.2 Tujuan lainnya adalah agar terbentuknya pelajar bangsa yang bertaqwa kepada Allah Subhanallahu Wa

Ta’ala, berilmu, berakhlak mulia, berwawasan kebhinekaan serta bertanggung

1Soelaiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU: Sejarah, Istilah, Amalia, Uswah

(Surabaya: Khalista, 2007), 52.

2Tolchah Mansoer,SambutanKetua Umum P.P IPNU” dalam Buku Panduan Muktamar I IPNU

(46)

jawab atas terlaksananya syari’at Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang

berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 demi tegaknya NKRI.3

IPNU memiliki lambang organisasi berbentuk bulat yang berarti

kontinuitas atau terus menerus. Warna dasar hijau melambangkan subur.

Berlingkar kuning di tepinya melambangkan hikmah yang tinggi, dan diapit dua

lingkaran putih melambangkan kesucian dan cita-cita yang tinggi. Di bagian atas

tercantum kata “IPNU” dengan tiga titik yang berarti Islam, Iman dan Ihsan, dan

diapit enam garis lurus yang berarti rukun iman. Dibawahnya terdapat sembilan

bintang lambang keluarga Nahdlatul Ulama, Lima bintang terletak sejajar dan

yang satu diantaranya lebih besar terletak di tengah melambangkan Nabi

Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin, yakni Abu Bakar as-Shidiq ra, Umar

bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra dan Ali bin Abi Thalib. Empat bintang

dibawahnya melambangkan madzhab 4: yaitu Hambali, Hanafi, Syaf’i dan Maliki.

Diantara bintang yang mengapit terdapat dua kitab yang berarti Al-Qur’an dan

Hadits. Di paling bawah terdapat dua bulu angsa yang bersilang melambangkan

sintesa antara ilmu umum dan ilmu agama.4

A. Organisasi Pelajar NU sebelum lahirnya IPNU.

Pada awalnya IPNU merupakan organisasi pelajar berupa kumpulan

pelajar, sekolah, dan pesantren, yang semula dikelola oleh para Ulama,

dengan jumlahnya yang banyak di beberapa kota. Akan tetapi

perkumpulan-perkumpulan tersebut lahir atas inisiatif sendiri dan namanya pun

(47)

beda, belum ada satu induk organisasi yang mampu untuk mengkoordinir

mereka semua secara nasional.

Di Surabaya didirikan Tsamrotul Mustafidin pada tahun 1936,

selanjutnya PERSANO (Persatuan Santri Nahdlatul Oelama) didirikan pada

tahun 1939. Di Malang, pada tahun 1941 lahir PAMNO (Persatuan Murid

Nahdlatul Oelama), dan pada saat itu banyak para pelajar yang ikut dalam

pergerakan melawan penjajah. Pada tahun 1945 terbentuk IMNO (Ikatan

Murid Nahdlatul Oelama). Di Madura pada tahun 1945 juga terbentuk

Ijtimauth Tolabiah dan Syubbanul Muslim, kesemuanya itu juga ikut dalam

perjuangan melawan penjajah dengan gigih. Di Semarang tahun 1950

berdiri Ikatan Mubhaligh Nahdlatul Oelama dengan beranggotakan remaja

yang masih berstatus pelajar. Sedangkan di Kediri, pada tahun 1953 berdiri

PERPENO (Persatuan Pelajar Nahdlatul Oelama). Dan pada tahun yang

sama, di Bangil berdiri IPENO (Ikatan Pelajar Nahdlatul Oelama). Di

Medan pada tahun selanjutnya yakni 1954 berdiri Ikatan Pelajar Nahdlatul

Oelama atau IPNO.5

Selain bersifat lokal, organisasi-organisasi tersebut hanya

menampung pelajar yang berasal dari sekolah-sekolah NU dan

pesantren-pesantren. Dengan begitu, organisasi-organisasi tersebut belum bisa menjadi

alat konsolidasi pelajar secara nasional, sebab masih memberikan ruang

senjang antara para pelajar yang berasal dari pesantren, madrasah, dan

5Tolchah Mansoer et al, Sedjarah Perdjuangan IPNU dari Masa ke Masa (Yogyakarta: jajasan

(48)

sekolah umum baik negeri maupun swasta. Corak dan watak gerakannya

juga masih bersifak lokal dan parsial. Yang menyatukan mereka hanyalah

imajinasi kolektif yang dibentuk dari tradisi keagamaan Sunni yang sama.

Secara umum, memang gerakan-gerakan pemuda sebelum perang

dunia kedua masih bersifat lokal. Sementara, pada jaman penjajahan Jepang,

gerakan-gerakan tersebut hampir tak terlihat. Hal ini dikarenakan seluruh

kegiatan pemuda pada saat itu dipusatkan pada Gerakan Pemuda Pelopor

(Barisan Pelopor) yang selanjutnya dibentuk Seinendan.6 Namun, tokoh-tokoh NU kala itu masih berkecimpung dalam berbagai ranah kehidupan

masyarakat yang dulu belum pernah mereka masuki. Hal ini tentu saja

mempunyai pengaruh yang tidak kecil bagi pertumbuhan pelajar dan

masyarakat Islam.

Pada masa proklamasi, seluruh bangsa Indonesia bangkit, termasuk

umat Islam umumnya dan kaum Nahdhiyyin khususnya. Gerakan pemuda

juga mulai terbentuk kembali, namun gerakan pelajar saat itu masih belum

bersifat nasional. Gerakan-gerakan pelajar baru memperlihatkan bentuk

kongkretnya dikancah nasional pada tahun 1950-an. Pada periode ini, ada

beberapa organisasi pelajar NU yang muncul, seperti PAPERNO (Persatuan

Pelajar Nahdlatul Oulama’) yang lahir pada 13 Juni 1953 di Kediri,

IKSIMNO (Ikatan Siswa Mubalighin Nahdlatul Oelma’) yang lahir pada

6Seinendan adalah Korps Pemuda yang bersifat semi militer, yang dibentuk oleh Jepang pada

(49)

tahun 1952 di Semarang. Akan tetapi, sekali lagi, organisasi-organisasi

tersebut belum sepenuhnya menjadi organisasi yang bersifat nasional.7

Sementara di luar komunitas NU, sudah lebih dulu terbentuk

berbagai organisasi pelajar dan mahasiswa, seperti Perkumpulan Pemuda

Kristen Indonesia (PPKI), Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia

(GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Sosialis

(GERMASOS), dan Pelajar Islam Indonesia (PII). Organisasi-organisasi

pemuda itu pada umumnya berafiliasi pada kekuatan politik tertentu.

B. Proses Lahirnya IPNU.

Berawal dari keputusan Kongres al-Islam yang dikeluarkan pada

tahun 1949, tentang dinobatkannya PII sebagai satu-satunya organisasi pelajar

muslim dan HMI sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa muslim. Oleh

karena itu pelajar dan mahasiswa yang berlatar belakang Islam, baik dari

kalangan Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyyah, mau tidak mau hanya bisa

menjadikan kedua organisasi ini sebagai wadah kaderisasi dan aktualisasi

gerakan. Namun bagi pelajar nahdliyyin, masuknya mereka ke dalam dua

oraganisasi itu bukan tanpa hambatan. Hambatan ini terkait dengan

persaingan politik anatara kaum Modernis dan Kaum tradisionalis, persaingan

tersebut nampaknya sudah mewabah terhadap kalagan pelajarnya.

Saat itu sudah mulai muncul kekhawatiran terhadap organisasi PII.

Kekhawatiran tersebut terjadi karena organisasi pelajar tersebut tidak

7Caswiyono Rusydie Cakrawangsa et al, KH. Tolchah Mansoer: Biografi Profesor NU Yang

(50)

mendukung dan memfasilitasi pelajar-pelajar dari pesantren, sehingga para

pelajar NU tidak ada yang mengurus. Kegelisahan tersebut bertaut dengan

fakta bahwa organisasi pelajar NU saat itu hanya bersifat kedaerahan. Oleh

karena kegelisahan inilah kesadaran pentingnya pembentukan organisasi

pelajar NU akhirnya menginspirasi para aktivis pelajar NU untuk mendirikan

suatu organisasi yang bisa mengayomi seluruh pelajar umum khusunya para

pelajar pesantren yang bersifat nasional. Setelah didiskusikan secara matang,

gagasan perintisan organisasi Pelajar NU selanjutnya dibawa pada Konferensi

Besar LP. Ma’arif di Semarang pada Februari tahun 1954.

Bagai gayung bersambut, gagasan tentang perlunya pembentukan

organisasi pelajar dikalangan NU ini dijadikan pembahasan dalam

pelaksanaan Konferensi. Akhirnya Konferensi Besar Ma’arif Semarang

tersebut mengesahkan berdirinya Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)

pada tanggal 24 Februari 1954, bertepatan dengan 20 Jumadil Akhir 1373 H.8 Tanggal itu yang pada selanjutnya dijadikan sebagai tanggal kelahiran

organisasi pelajar NU tersebut. Dalam Konferensi tersebut, Tolchah Mansoer

dipilih oleh peserta Konferensi Besar sebagai Ketua Umum IPNU.

Tepat dua bulan setelah resmi dibentuk, selanjutnya diselenggarakan

Konferensi Segi Lima yang diselenggarakan di Solo pada tanggal 30 April –

1 Mei 1954. Pertemuan yang melibatkan perwakilan dari Yogyakarta,

Semarang, Solo, Jombang, dan Kediri tersebut merupakan Musyawarah

8Arsip Musem NU, Buku Panduan Mu’tamar Pertama IPNU (Malang: Panitia Pusat Mu’tamar

(51)

pertama organisasi setelah resmi berdiri.9 Musyawarah ini berhasil merumuskan asas organisasi, yaitu Ahlussunnah Wal Jamaah; tujuan

organisasi, megemban risalah Islamiyah; mendorong kualitas pendidikan; dan

mengakomodasi pelajar. Musyawarah tersebut juga menetapkan yogyakarta

sebagai kantor pusat organisasi, hal itu dikarenakan banyak dari para perintis

IPNU adalah mahasiswa di Yogyakarta, dan Yogya juga adalah kota pelajar.

Selain itu, kantor pusat dari PII juga berada di Yogyakarta.

Kelahiran IPNU menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan

Nahdlatul Ulama. Karena pendirian organisasi ini terjadi saat NU sedang

berkiprah sebagai partai politik, maka keberadaannya jelas tidak bisa

dilepaskan dengan hubungan politik pada masa itu. Akan tetapi, semangat

pendirian organisasi bukan karena semangat politik, namun IPNU memiliki

otonominya sendiri sebagai organisasi pelajar. Untuk menegaskan bahwa

IPNU adalah organisasi kader, maka IPNU memfokuskan diri pada proses

kaderisasi untuk meningkatkan kualitas kader. Hal ini dikarenakan IPNU

didirikan sebagai respon atas adanya kebutuhan kaderisasi, baik sebagai

partai politik maupun sebagai organisasi-organisasi kemasyarakatan.10

Dalam sejarah NU, pendirian IPNU merupakan langkah yang sangat

monumental bagi perkembangan organisasi terbesar di Indonesia ini. Pada

tahun 1952, saat NU menyatakan diri masuk sebagai partai politik, NU tidak

memiliki kader potensial kecuali dari para santri di pesantren-pesantren dan

9Arsip Musem NU,IPNU dari Muktamar ke Muktamar(Cirebon: Panitia Mu’tamar III & POR I

IPNU, 1958), 2.

(52)

madrasah. Dapat dikatakan, bahwa saat NU tengah menempati posisi

menantang, justru belum memiliki perangkat kaderisasi yang dapat menjamin

keberlanjutan organisasi. Dikarenakan pada saat itu, putra-putra NU hampir

semuanya terfokus pada pendidikan agama, padahal kebutuhan NU akan

sumberdaya pada semua bidang sangat mendesak. IPNU didirikan untuk

memenuhi kebutuhan tersebut. Kader-kader perintis IPNU yang saat itu

tumbuh di Yogyakarta merupakan aset yang luar biasa bagi Nahdlatul Ulama.

Merekalah yang kemudian menggerakkan dan mengembangkan IPNU ini.11

Setelah resmi berdiri, para anggota IPNU melakukan musyawarah.

Dan memutuskan untuk sekretariatnya di sebuah masjid sederhana bernama

Masjid An-Nadzar yang beralamatkan di Jl. Gendekan Lor 52 Yogyakarta,

sebagai tempat berkumpul dan pusat aktivitas organisasi. Di masjid yang

tidak terlalu

Referensi

Dokumen terkait