SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1)
Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI)
Oleh :
Moch. Anas Zakaria NIM: A0.22.13.054
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
viii
Mansoer, (2) Bagaimana sejarah pendirian IPNU dan (3) Bagaimana peran K.H Moh Tolchah Mansoer terhadap perkembangan IPNU pada periode 1955-1961.
Penulisan skripsi ini menggunakan metode sejarah dengan menggunakan beberapa langkah yaitu heuristik (mengumpulkan arsip-arsip terkait dengan pembahasan yang ditujukan), verifikasi (kritik terhadap data), penafsiran serta bagaimana cara penulisan sejarahnya. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis. Pendekatan historis digunakan untuk mendeskripsikan peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Selain itu penulis menggunakan teori kepemimpinan Max Webber.
Skripsi ini menyimpulkan bahwa (1) K.H. Moh. Tolchah Mansoer lahir pada tanggal 10 September 1930 di Malang. Ia putra dari pasangan Mansoer dan Siti Nur Khatidjah. Tolchah merupakan pakar Hukum Tata Negara di Indonesia dan orang pertama di kalangan NU yang memiliki gelar doktor. Saat Tolchah pindah ke Yogyakarta, ia diangkat sebagai anggota DPRD Yogyakarta dan juga anggota Badan Pengurus Harian Provinsi Jawa Tengah. (2) IPNU berdiri pada 24
ix
IPNU’s establisment and (3) how is the role of K.H. Moh Tolchah Mansoer in development of IPNU 1955-1961 AD.
Writing this thesis uses historical method with few steps are heuristic (collecting archives that related to this discussion), verification (criticism of the data), interpretation and historiography (how to write the history). As for the approach that used in this research is historical approach. Historical approach is used to describes the events that have occured in past. Author use a leadership theory of Max Weber.
This thesis conclude that (1) K.H. Moh. Tolchah Mansoer was born on September 10, 1930 at Malang. He is a son of Mansoer dan Siti Nur Khatidjah. Tolchah is an expert of Constitutional Law in Indonesia and the first people among NU who has a doctorate. When Tolchah move to Yogyakarta, he is appointed as a member of DPRD Yogyakarta and also member of BPH province of Central Java. (2) IPNU standing on February 24, 1954 at the time of the Great
Congress of Ma’arif. IPNU established by Sufyan Cholil, Mustafa, Abdul Ghani Farida and Tolchah Mansoer. The purpose of the establishment of IPNU is unite the general students, santri and also college students in one organizational. (3)
K.H. Moh Tolchah Mansoer have an important role in IPNU’s progress, among
xiii
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ... v
HALAMAN MOTTO ... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii
ABSTRAK ...viii
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI...xiii
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian... 8
D. Kegunaan Penelitian... 8
E. Penelitian Terdahulu ... 10
F. Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 12
G. Metode Penelitian... 14
H. Sistematika Pembahasan ... 17
xiv
BAB III: LATAR BELAKANG BERDIRINYA IPNU
A. Organisasi Pelajar NU sebelum Berdirinya IPNU ... 37
B. Proses Lahirnya IPNU ... 40
C. Hubungan antara IPNU dengan IPPNU ... 52
BAB IV: PERAN K.H. MOH. TOLCHAH MANSOER DALAM PROSES PERKEMBANGAN PP IPNU (1955-1961)
A. Perintis Berdirinya IPNU... 54
B. Ketua Pimpinan Pusat IPNU ... 57
C. Pendirian Cabang-cabang Organisasi IPNU... 65
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ... 69
B. Saran ... 70
A. Latar Belakang Masalah.
Islam adalah agama dakwah. Suatu agama yang menugaskan
kepada umatnya untuk menyebarkan dan menyiarkan ajaranya terhadap
seluruh umat manusia. Apabila ajaran Islam yang mencakup segala aspek
kehidupan tersebut dijadikan sebagai pedoman hidup dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh, maka umat Islam akan menyadari bahwa Islam dapat
menjamin terwujudnya kebahagian dan kesejahteraan baik di dunia
maupun di akhirat kelak.
Islam yang secara obyektif dengan jelas mengajarkan kepada
manusia bagaimana harus berkeyakinan kepada tuhan disebut iman, dari
sumber iman akan terwujud sikap mental ketaatan yang nantinya akan
menyebabkan seseorang melakukan apa yang diperintahkan oleh Tuhan
dan meninggalkan apa yang dilarangnya tanpa mengenyampingkan tata
cara yang baik dalam berkomunikasi secara vertikal dengan Tuhan
maupun secara horisontal dengan sesama dan lingkungan sekitarnya
menuju satu titik sentral yang tinggi nilainya, yaitu penyerahan diri
terhadap Tuhan yang berintikan ketauhidan.1
Berkenaan dengan hal tersebut diatas, maka agama Islam
merupakan inti dasar untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagian hidup
yang sebenarnya, baik berupa ibadah atau amalan baik lainnya yang perlu
ditanamkan disetiap jiwa insani agar mendapatkan hasanah dalam agama,
dunia dan keberuntungan di akhirat kelak.
Jujur harus diakui, bagaimanapun bagusnya suatu ajaran,
sempurnanya konsep, tanpa adanya gerakan untuk merealisasikan dan
menterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari, maka yang ada hanyalah
tumpukan ajaran yang tanpa makna dan arti. Atas latar belakang inilah
Islam menempatkan gerakan dakwah sebagai kewajiban bagi umatnya,
baik untuk individu maupun kelompok, dengan kadar kemampuan yang
dimilikinya masing-masing.
Dakwah juga disebut sebagai agen perubahan sosial
kemasyarakatan, maka sungguh banyak hubungan dakwah dengan
kegiatan-kegiatan manusia dalam kehidupan sehari-hari, terlebih lagi jika
dilihat dari kinginan manusia untuk mencukupi kepuasanya yang
berdimensi 3 masalah, yaitu kepuasan jasmaniah, kepuasan rohanniah dan
kepuasan sosial, yang kesemuanya harus terlingkup dalam wadah nyata,
dalam arti terwujudnya individu-individu yang berkepribadian muslim,
yang sanggup menegakkan ajaran ajaran Islam pada dirinya dan
masyarakat luas untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan akhirat.
Sesungguhnya dakwah bukanlah tugas kelompok khusus, dimana
orang lain terbebas dari tanggung jawab, seperti halnya seorang muslim
dibebankan tugas sholat, zakat, maka setiap muslim juga dibebani untuk
menyampaikan Islam kepada orang lain. Karena itu, dakwah kejalan Allah
khusus hanya seorang muslim saja, melainkan mencakup semua muslim.
Memang sebagai muslim memiliki minat khusus serta pengetahuan dan
keterampilan yang lebih dari yang lain, akan tetapi kelebihan ini tidaklah
membatasi keumuman dakwah bagi tiap tiap muslim. Mekanisme dakwah
memungkinkan terjadinya perubahan, baik itu pola pikir, sikap dan prilaku
yang kesemuanya merupakan inti kemajuan manusia dalam
mengembangkan budaya dari berbagai peradaban.
Namun, rumus dunia tak dapat dipungkiri, dimana ada kebaikan
disana juga ada kejahatan yang dilakukan oleh pihak lain. Dipertegas
kartini kartono ; bahwa kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang
bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, asosial
sifatnya dan melanggar hukum baik hukum agama maupun hukum
pidana.2Apalagi kalau kejahatan itu dilakukan oleh pelajar, sesuai dengan
sebutannya “pelajar” adalah pelaku belajar di mana memiliki hak dan kewajiban setara dalam hal pendidikan dan pengembangan potensi, sudah
barang tentu akan merugikan masa depan bangsa dan agama. Oleh karena
itu, untuk menetralisir kemungkinan yang tidak diinginkan, maka perlu
adanya wacana yang bersifat kreatif, dinamis, agamis dan termasuk
didalamnya adalah organisasi pelajar.
Pesatnya kemunculan organisasi-organisasi berbasis pelajar yang
ada saat ini adalah lahan potensial dalam “penggarapan” minat, bakat, dan potensi pelajar. Kisaran target usia antara 12-23 tahun yang dapat disebut
2Kartini Kartono, Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis: Apakah Pendidikan Masih di Perlukan
sebagai masa-masa produktif organisasi. Melalui kegiatan-kegiatan yang
megangkat peran pelajar dalam pengembangan potensi, sangat
berimplikasi positif terhadap kemajuan dunia kepelajaran dan
pertumbuhan prestasi, baik akademik maupun non akademik.
Peran dan keberadaan organisasi pelajar, juga merupakan bagian
dari kekuatan masyarakat sipil, yang tidak bisa dianggap remeh.
Keberadaannya, menjadi ujung tombak pengkaderan bangsa, sebab
disadari bahwa untuk menjamin kelangsungan bangsa dibutuhkan kader
bangsa masa depan. Pelajar adalah tumpuan masa depan suatu bangsa, dan
mereka merupakan komponen penting dalam setiap perubahan.
Pentingnya peran organisasi bagi pelajar, antara lain sebagai
gerbong besar transformasi kesadaran dalam meluruskan gernerasi muda
agar tidak tergerus pada pragmatisme jangka pendek kalangan pelajar atau
jebakan implikatif dari arus besar globaisasi. Karena harus disadari bahwa
pesatnya perkembangan peradaban modern seperti sekarang ini,
mengakibatkan tumpukan problematika yang kian lama kian sulit untuk
diatasi, utamanya problematika yang menggerus dunia remaja dan pelajar.
Diawali dari tingginya tingkat stres, ketidaktahuan mengatasi persoalan
pubertas, hingga munculnya split personality, pelajar dan remaja. Telah
lari kian jauh dari nilai–nilai moralitas yang telah diyakini bangsa ini
selama berabad-abad. Tabu seksualitas telah dilanggar dengan maraknya
seks bebas, akal sehat telah diporak-porandakkan oleh kegemaran
dan kemanusiaan telah dilanggar dengan munculnya berbagai aksi tawuran
dan kekerasan, yang sering diberitakan media akhir akhir ini. Perbuatan
anak–anak muda yang nyata melawan hukum dan ati sosial tersebut pada
dasarnya tidak disukai oleh masayarakat, dan menjadi problem sosial yang
berkepanjangan.
Hal tersebut, kemudian ikut dirasakan dan menjadikan kegelisahan
salah satu organisasi sosial keagamaan di Indonesia, yakni Nahdlatul
Ulama. Organisasi yang dilahirkan oleh K.H. Hasyim Asy’arie pada tahun
1926 ini merupakan salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di
Indonesia, dimana di kliam bahwa umat Nahdliyyin keanggotaannya
mencapai 40-60 juta jiwa.3 Sebagai salah satu organisasi keagamaan di Indonesia, turut serta membantu pemerintah dalam mengembangkan
prestasi belajar dan kemajuan pendidikan di Indonesia. Untuk
membentengi para pelajar NU dan pelajar pada umumnya dari berbagai
penyimpangan sosial serta untuk mengembangkan potensi para pelajar,
kemudian NU melahirkan suatu organisasi pelajar dan pemuda, yang
disebut Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU).
Organisasi yang lahir pada tahun 1954 ini merupakan salah satu
organisasi kader yang bergerak dalam bidang keagamaan, kemasyarakatan,
kepelajaran dan kepemudaan. Yang sebenarnya tidak jauh dengan
Muhammadiyah yang juga memiliki Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
dan Ikatan remaja Muhammadiyah. Kelahiran organisasi NU ini
3Acep Zamzam Noor et al, Dari Kiai Kampung ke NU Miring (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media,
merupakan sebuah hal sangat penting dalam dinamika sosial pelajar dan
pemuda di negeri ini, karena bertolak pada asumsi bahwa organisasi
merupakan sebuah wadah yang tepat dalam mengambangkan intelektual
dan skill para pelajar dan pemuda. Karena dengan membangun hubungan
dengan sesama, dan menjaganya agar terus berlangsung sepanjang waktu,
orang mampu bekerja bersama-sama untuk mencapai berbagai hal yang
tidak dapat mereka lakukan sendirian, atau yang dapat mereka capai tapi
dengan susah payah. Orang berhubungan melalui serangkaian jaringan
atau organisasi dan mereka cenderung memiliki kesamaan nilai dengan
anggota lain dalam jaringan tersebut serta menjadi sumber daya tersendiri
bagi mereka.4
Seperti halnya IPNU, dalam konteks kaderisasi di tubuh Nahdlatul
Ulama, IPNU dalah “garda terdepan kaderisasi” atau bisa dikatakan
sebagai pintu masuk pertama NU. Frasa ini patut disematkan kepada IPNU
sebagai tulang punggung kaderisasi NU, sekaligus kaderisasi bangsa.
Karena IPNU sejak awal kelahirannya yang diketuahi oleh Tolchah
Mansoer telah mengemban amanat luhur sebagai lembaga pengkaderan
pelajar dan santri yang merupakan basis generasi muda NU. Hal ini yang
membedakan IPNU dengan organisasi lain, diamana IPNU merupakan
organisasi kader bukan organisasi massa, akan tetapi juga memberdayakan
serta memiliki intelektual dan religiusitas yang tinggi berpaham
Ahlusunnah Wal Jama’ah yang menjadi ideologi Nahdliyin. Selain itu
4Arsip Museum NU,IPNU dari Muktamar ke Muktamar, Cirebon: Panitia Mu’tamar ke III & POR
I IPNU, 1958, 1. Lihat juga Arsip Museum NU, Buku Panduan Mu’tamar Pertama IPNU ,
keberadaan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) sebagai badan otonom
Nahdlatul Ulama (NU) tidak dapat dipisahkan darigrand designNahdlatul
Ulama, oleh karena itu IPNU dituntut untuk senantiasa mengembangkan
peran dan fungsinya sebagai pelaksana kebijakan dan program Nahdlatul
Ulama yang berkaitan dengan kelompok masyarakat santri, pelajar dan
mahasiswa, sembari terus mengikhtiarkan teguhnya orientasi gerakan
IPNU sebagaimana mandat dan misi awal berdirinya.
Dengan dilatar belakangi oleh uraian diatas, maka penulis
termotivasi untuk mendeskripsikan lebih lanjut dan lebih mendalam
mengenai berdirinya IPNU pada tahun 1955, dan apa saja dampak yang
ditimbulkan dari adanya organisasi ini, untuk itu penulis mengambil judul
“K.H. Moh. Tolchah Mansoer dan Perannya Terhadap Perkembangan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) Tahun 1955-1961.
Alasan mengapa biografi K.H. Moh. Tolchah Mansoer dan sejarah
lahirnya IPNU ini penting untuk diteliti adalah pertama, IPNU merupakan
bagian dari organisasi NU yang merupakan mayoritas di kalangan warga
muslim di Indonesia. Kedua, IPNU merupakan organisasi yang cukup tua
di Indonesia serta telah melalui proses dan dinamika yang panjang dari
masa ke masa hingga sampai pada masa globalisasi seperti sekarang.
Ketiga, IPNU merupakan wadah dari aktualisasi dan aktivitas para pelajar
Indonesia yang menyongsong moralitas dan intelektualitas anggotanya,
juga merupakan ulama yang terkemuka, dan juga memiliki peranan
penting dalam terbentuknya organisasi IPNU ini.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang
akan diajukan peneliti adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana biografi K.H. Moh. Tolchah Mansoer?
2. Bagaimana sejarah berdirinya IPNU?
3. Bagaimana peran K.H. Moh. Tolchah Mansoer terhadap pekembangan
IPNU pada periode 1955-1961?
C. Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini yang sesuai
dengan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut:
1. Untuk menegetahui bagaimana biografi K.H. Moh. Tolchah Mansoer.
2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah berdirinya IPNU.
3. Untuk mengetahui peran K.H. Moh. Tolchah Mansoer dalam proses
perkembangan IPNU pada periode 1955-1961.
D. Kegunaan Penelitian.
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat positif bagi masyarakat
baik dari sisi keilmuan akademis maupun sisi praktis. Berikut diantaranya
1. Sisi Teoritis.
a. Bagi dunia organisasi.
Sebagai input wawasan pengetahuan tentang organisasi sehingga
dapat mewujudkan sistem organisasi yang ideal dan sesuai
dengan ajaran islam.
b. Bagi UIN Sunan Ampel Surabaya.
Sebagai bahan acuan referensi utama bagi mahasiswa yang
memilih jurusan Sejarah Peradaban Islam. Sehingga dapat
berkompeten di bidangnya.
c. Bagi Perpustakaan.
Merupakan input atau masukan yang sangat penting sebagai
temuan yang ilmiah yang kemudian dapat menambah koleksi
perpustakaan yang dapat dijadikan bahan bacaan dan referensi
bagi kalangan yang membutuhkan.
2. Secara Praktis
a. Bagi Penulis.
penelitian ini bermanfaat dalam rangka memenuhi tugas akhir
jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan
Humaniora, UIN Sunan Ampel Surabaya.
b. Skripsi ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pemahaman
yang tepat tentang K.H. Moh. Tolchah Mansur Dan Peranya
E. Penelitian Terdahulu.
Merujuk pada judul penelitian yang penulis kemukakan di atas,
peneliti menemukan beberapa judul penelitian terdahulu yang serupa
dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Berikut akan dikemukakan
penelitian tersebut beserta penjelasannya sebagai bahan perbandingan,
sehingga mampu menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukan ini bukan
merupakan pengulangan atau duplikasi dari penelitian yang telah ada
sebelumnya :
1. Isnainissholihah, “Dinamika Pelajar Nahdlatul Ulama di Kabupaten
Purworejo”, Yogyakarta : Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora
UIN Sunan Kalijaga, 2013. Membahas tentang gambaran umum sosial
dan keagamaa Kabupaten Purworejo yang terdiri dari kondisi Geografi
dan demografi, kondisi perekonomian, keagamaan, sejarah IPNU dan
IPPNU, landasan aktivitas dan gerakan IPNU dan IPPNU serta latar
belakang sosial lahirnya IPNU dan IPPNU di kabupaten Purworejo.
Skripsi tersebut juga membahas tentang perkembangan IPNU dan
IPPNU di kabupaten Purworejo, yang terdiri dari, kondisi organisasi,
kondisi kepengurusan, kondisi kaderisasi, kondisi kepengurusan,
kondisi kaderisasi dan juga aktivitas dan gerakan apa saja yang
dilakukan oleh IPNU dan IPPNU di Kabupaten Purworejo, yang terdiri
dari aktivitas dan gerakan di bidang pengkaderan, bidang spiritual,
2. Asyufah Nur Hidayanti, “Pembinaan Akhlak Remaja (Studi Kasus pada
Organisasi Ikatan Pelajar nahdlatul Ulama dan Ikatan Pelajar Putri
Nahdlatul Ulama Pimpinan Anak Cabang Kabupaten Purbalingga)”,
Purwokerto: Skripsi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Iain
Purwokerto, 2016. Membahas tentang proses pelaksanaan pembinaan
akhlak remaja dari kegiatan, metode, model, media dalam pembinaan
akhlak hingga faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan
pembinaan akhlak dan juga meliputi profil organisasi, sejarah
berdirinya, visi dan misi, struktur organisasi, dan tenaga pendidik dan
kependidikan.
3. Syamsul Anwar, “Peran Pengurus PAC IPNU-IPPNU Gedangan
Kabupaten Sidoarjo dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam
Nonformal bagi Anggota yang Putus Sekolah”, Surabaya: Skripsi
fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya, 2011.
Membahas tentang tingkat putus sekolah anggota IPNU-IPPNU
Gedangan, bentuk pendidikan non formal yang dimiliki pengurus PAC
IPNU-IPPNU Gedangan bagi anggota yang putus sekolah, dan juga
peran PAC IPNU-IPPNU Gedangan dalam pengembangan pendidikan
F. Pendekatan dan Kerangka Teoritik.
Dalam penelitian yang berjudul “K.H. Moh. Tolchah Mansoer dan
Perannya Terhadap Perkembangan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar
Nahdlatul Ulama (PP IPNU) Tahun 1955-1961” ini, penulis menggunakan
pendekatan historis. Pendekatan ini bertujuan untuk menjelaskan
bagaimana sejarah hidup K.H. Moh. Tolchah Mansoer, dimulai dari
genealogi, kelahiran, pendidikan yang ditempuh serta kondisi sosial dalam
masyarakat di sekitarnya hingga perubahan-perubahan yang terjadi dalam
kehidupannya. Dari sini akan diketahui kondisi sosial dan lingkungan
tersebut yang mempengaruhi tokoh yang akan ditulis. Dalam penelitian ini
penulis menggunakan sejarah naratif yang menurut Sartono Kartodirdjo
adalah sejarah yang mendeskripsikan tentang masa lampau dengan
merekonstruksi peristiwa yang terjadi, serta diuraikan sebagai cerita,
dengan perkataan lain kejadian–kejadian penting diseleksi dan diatur
menurut poros waktu sedemikian sehingga tersusun sebagai cerita
(History).5
Sedangkan kerangka teori dalam penulisan skripsi ini
menggunakan teori kepemimpinan, Max Weber seperti dikutip Soerjono
Soekanto mengklarifikaikan kepemimpinan menjadi tiga jenis:
1. Otoritas Kharismatik yakni berdasarkan pengaruh dan kewibawaan
pribadi.
2. Otoritas tradisional yang dimiliki berdasrkan pewarisan.
5Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia
3. Otoritas legal-rasional yakni yang dimiliki berdasarkan jabatan serta
kemampuan.6
Berdasarkan beberapa pengertian yang dijelaskan oleh Max Weber,
penulis menyimpulkan bahwa K.H. Tolchah Mansoer masuk dalam
klasifikasi kepemimpinan rasional (rasionality leader). Tipe ini, pemimpin
yang dipilih berdasarkan pada dua prinsip, yaitu secara rasional dan legal.
Rasional, karena pemimpin dipilih berdasarkan kriteria tertentu, misalnya
tingkat pendidikan, kecakapan dan pengalaman, serta syarat lainnya. K.H.
Tolchah Mansoer dikatakan relevan dengan teori kepemimpinan rasional
sebab beliau merupakan seorang Ketua Umum Pimpinan Pusat IPNU yang
dipilih dan ditetapkan sebagai ketua PP IPNU secara legal (sah menurut
hukum). Beliau juga dipilih karena beliau memiliki kemampuan serta
wawasan yang luar biasa dalam bidang tata negara.
Otoritas atau wewenag legal-rasional adalah wewenang yang
disandarkan pada sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat. Sistem
hukum disini dipahamkan sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui serta
ditaati masyarakat dan bahkan telah diperkuat oleh negara. Secara ringkas,
otoritas legal-rasional diartikan Weber sebagai kekuasaan yang jelas
legalitasnya. Weber memberikan pandangannya bahwa otoritas
legal-rasional yang paling murni adalah birokrasi. Terdapat wadah atau sarana
dalam “pemerintahan” dalam sebuah masyarakat yang sah dan memiliki
legalitas. Birokrasi ini sebagai wadah dalam suatu struktur masyarakat
yang cakupannya luas. Seperti dalam suatu masyarakat terdapat kepala
desa, sekretaris desa, atau pun ketua RT (Rukun Tetangga) dan lain
sebagainya. Selain itu cakupan makronya seperti Presiden,
menteri-menteri, dan para Wakil Rakyat yang keseluruhannya mempunyai
legal-rasional.
G. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, agar lebih mudahnya penulis menggunakan
metode penelitian sejarah yang terbagi menjadi empat tahap. 7 sebagai berikut:
1. Heuristik (pengumpulan data) , adalah kegiatan untuk mencari data
atau menghimpun bahan-bahan sumber sejarah. Sumber sejarah adalah
segala sesuatu yang berlangsung atau tidak langsung menceritakan
tentang suatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lampau.8 Metode heuristik merupakan tahap pertama yang harus ditempuh oleh
peneliti. Adapun metode yang ditempuh dalam menghimpun data-data
sumber sejarah dalam penulisan ini adalah dengan menggunakan
sumber data tertulis baik berupa sumber primer maupun sumber
sekunder.
7Nugroho Notosusanto,Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer(Jakarta: Yayasan Idayu, 1978),
38.
8Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah Islam (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2011),
a. Sumber Primer
Sumber primer adalah sumber yang ditulis oleh pihak yang
terlibat langsung dalam peristiwa sejarah atau pihak yang menjadi
saksi mata peristiwa sejarah. Sumber primer yang digunakan
penulis untuk tulisan ini adalah :
1. Buku panduan Mu’tamar Pertama IPNU. Diterbitkan Oleh
Panitia Pusat Mu’tamar IPNU Pertama.
2. IPNU dari Mu’tamar ke Mu’tamar, Panitia Mu’tamar ke III &
POR I IPNU.
3. Laporan Pertanggungan Djawab Pimpinan Pusat IPNU, pada
Muktamar IV di Yogyakarta 1961.
4. Buku karangan Moh. Tolchah Mansoer yang Berjudul:
Sedjarah Perdjuangan IPNU dari Masa ke Masa.
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder digunakan sebagai pendukung dalam
penelitian ini. Sumber-sumber sekunder didapatkan dari beberapa
buku maupun literatur yang berkaitan dengan tema yang dibahas
penulis, dalam hal ini penulis menggunakan:
1. Buku karangan Caswiyono Rusydie Cakrawangsa dkk yang
berjudul: KH. Tolchah Mansoer, Biografi Profesor NU yang
Terlupakan.
2. Buku karangan Soelaiman Fadeli dan Mohammad Subhan yang
3. Lintas Generasi IPNU-IPPNU Jawa Timur,PWNU Jatim.
4. Buku karangan Asrorun Niam Sholeh dan Sulthan Fatoni yang
berjudul: Kaum Muda NU dalam Lintas Sejarah, 50 Tahun
Pergulatan dan Kiprah IPNU Dalam Mengabdi Ibu Pertiwi.
2. Verifikasi (kritik), adalah proses seleksi pada sumber-sumber yang
telah dikumpulkan dengan cara melakukan kritik sumber. Kritik
sumber merupakan usaha untuk mendapatkan sumber-sumber yang
relevan dengan cerita sejarah yang ingin disusun. Selain itu, kritik
sumber dimaksudkan sebagai penggunaaan dan penerapan dari
sejumlah prinsip-prinsip untuk menilai atau menguji kebenaran
nilai-nilai sejarah dalam bentuk aslinya dan menerapkan pengertian
sebenarnya. Kritik sumber terdiri dari dua jenis, yaitu kritik ekstern
dan kritik intern. Kritik eksteren adalah proses untuk melihat apakah
sumber yang didapatkan tersebut asli atau tidak, dengan kritik ekstern
penulis melihat fisik daripada arsip-arsip yang telah didapatkan,
sedangkan kritik intern penulis berusaha untuk melihat isi daripada
arsip-arsip tersebut.
3. Interpretasi (penafsiran), yaitu menetapkan makna yang saling
berhubungan atau menafsirkan fakta-fakta sejarah yang telah
diperoleh. Tujuannya agar fakta yang ada mampu untuk mengungkap
permasalahan yang ada, sehingga diperoleh pemecahannya. Dalam
lain, sehingga dapat ditetapkan makna dari fakta yang diperoleh untuk
menjawab permasalahan yang ada.
4. Historiografi (penulisan sejarah) adalah tahap akhir langkah-langkah
penulisan sejarah yang menyajikan cerita dan dapat dipertanggung
jawabkan kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh. Penulisan
dalam penelitian ini juga menggunakan metode penulisan sejarah
secara kronologis (penyusunan sejumlah kejadian atau peristiwa). Hal
ini terlihat dari pengambilan bahasan pada rentang waktu antara tahun
1955-1961. Pada tahun tersebut IPNU mengalami perkembangan awal
yang cukup signifikan.
H. Sistematika pembahasan
Secara garis besar, sistematika pembahasan ini disusun dalam
rangka mempermudah pemahaman terhadap penulisan ini. Pemaparan bab
demi bab bukan merupakan ringkasan dari keseluruhan bab yang ada
dalam tulisan hasil penelitian ini, melainkan suatu deskripsi mengenai
hubungan pasal demi pasal atau bab demi bab dalam pembahasan ini.
Adapun sistematika penulisan hasil penelitian ini secara umum
terdiri dari pendahuluan, isi, dan penutup. Di bawah ini akan dipaparkan
secara lebih jelas uraian pembahasannya:
Bab pertama, merupakan bab pendahuluan: berisi latar belakang
pendekatan dan kerangka teori, penelitian terdahulu, metode penelitian,
dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, menjelaskan tentang Biografi Moh. Tolchah Mansoer,
yang membahas tentang, latar belakang keluarga, latar belakang
pendidikan serta karier dan karyanya.
Bab ketiga, menjelaskan tentang sejarah berdirinya IPNU, yang
membahas tentang organisasi pelajar NU sebelum lahirnya IPNU dan
proses lahirnya IPNU, dan juga kaitannya IPNU dengan IPPNU.
Bab keempat, menjelaskan tentang K.H. Moh. Tolchah Mansoer
dalam proses perkembangan IPNU pada periode 1955-1961, yang
membahas dia sebagai perintis berdirinya IPNU, sebagai Ketua Pimpinan
Pusat IPNU, dan juga pembentukan cabang-cabang organisasi IPNU.
A. Latar Belakang Keluarga Moh Tolchah Mansoer.
Tolchah Mansoer dilahirkan pada tanggal 10 September 1930 di kota
Malang Jawa Timur.1 Ia dilahirkan dari keluarga yang sederhana. Ayahnya bernama Mansoer, seorang rantau dari Madura, tepatnya berasal dari daerah
Blegah, Bangkalan. Mansoer merantau ke Malang untuk berdagang, dia
bedagang tikar, keranjang dan berbagai peralatan lain yang terbuat dari bambu.
Ibunya bernama Siti Nur Khatidjah, seorang putri dari saudagar kaya di
Madura, beliau juga berasal dari daerah Blegah, Madura.
Pertemuan keduanya terjadi di Pasar Besar Malang. Mansoer yang sudah
lebih awal berjualan disitu, berkenalan dengan Khatidjah yang saat itu sudah
menjanda. Khatidja pertama kali menikah dengan Jalaluddin Krama Asmara,
salah seorang keluarga kerajaan di Bangkalan Madura. Dari pernikahan
tersebut lahir seorang anak yang bernama Raden Isman, yang nanti akan
dikenal dengan nama Usman Mansoer. Usman lahir di Madura pada tahun
1924. Namun tak lama setelah kelahiran anaknya tersebut, Jalaluddin dan
Khatidjah bercerai. Setelah bercerai, Khatidja memutuskan untuk merantau ke
Jawa bersama bayinya.
1Soelaiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU: Sejarah, Istilah, Amalia, Uswah
Kedua orang tersebut memiliki kesamaan nasib, mereka sama-sama
berasal dari Blega , Bangkalan, Madura. Merasa memiliki nasib yang sama
diperantauan, timbul rasa simpati satu sama lain. Dari pertemuan tersebut,
mereka akhirnya menikah pada tahun 1927. Setelah menikah mereka bertempat
tinggal di kampung kidul pasar. Tempat ini dipilih dengan alasan supaya akses
menjadi lebih dekat karena notabene Mansoer adalah seorang pedagang. Dari
pernikahan tersebut, Mansoer dan Nur Khatidjah memiliki 3 orang anak.
Mereka adalah Ahmad yang meninggal saat masih bayi, Tolchah, dan
Mardhiyah yang lahir beberapa tahun setelah Tolchah.2
Tolchah kecil adalah seorang bocah yang suka membaca buku,
dikarenakan lingkungan tempat ia tinggal adalah kawasan yang padat
penduduk, dan batas antara rumah satu dengan yang lain hanyalah
lorong-lorong kecil. Tidak ada lapangan yang bisa digunakan untuk berkumpul dan
bermain bersama teman sebayanya. Dengan kondisi yang seperti itu, akhirnya
Tolchah lebih sering menghabiskan waktunya dirumah untuk sekedar membaca
tumpukan-tumpukan buku milik kakak nya yang memang saat itu sudah
bersekolah lebih dahulu.
Saat mulai beranjak dewasa, dengan berbekal izin kedua orang tuanya,
Tolchah memilih untuk meninggalkan kota kelahirannya Malang dan
memutuskan merantau ke Yogyakarta dengan tujuan menuntut ilmu, ia
berangkat pada tahun 1951. Sesampainya di Yogyakarta, ia memilih untuk
2Caswiyono Rusydie Cakrawangsa et al, KH. Tolchah Mansoer: Biografi Profesor NU Yang
menetap di jantung kota tepatnya di selatan perempatan Tugu Jogja. Disanalah
Tolchah menghabiskan masa mudanya. Selain fokus terhadap pendidikan,
Tolchah juga senang berorganisasi, di Jogja beliau aktif di organisasi Pelajar
Islam Indonesia (PII) dan juga Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), bahkan ia
juga adalah salah satu perintis berdirinya Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama,
organisasi pelajar NU tersebut didirikan oleh Tolchah bersama
teman-temannya. Tolchah juga sempat menjadi ketua umum IPNU hingga tiga
periode. Bersama IPNU, intelektualisme Tolchah semakin terbentuk. Ia dikenal
sebagai pemuda yang memiliki Idealisme tinggi, meskipun dikenal sebagai
orang yang tekun, tapi ia juga pandai bergaul dengan siapa saja, humoris dan
menyenangkan.3
Masa muda yang terus difokuskan untuk mencari ilmu dan sibuk
berorganisasi, membuat Tolchah tak sempat untuk memikirkan apa yang
biasanya dipikirkan oleh anak muda pada seusianya, urusan asmara misalnya.
Oleh karena itu, teman-temannya seringkali menggodanya dan
menjodoh-jodohkannya dengan Umroh Mahfudzoh, cucu dari K.H. Abdul Wahab
Chasbullah, Kiai agung yang tersohor akan peranannya dalam mendirikan
Nahdlatul Ulama. Pada saat itu Umroh Mahfudzoh juga terkenal sebagai
perintis berdirinya organisasi pelajar putri NU. Tolchah dan Umroh bertemu
pertama kali di forum Konferensi Segi Lima di Solo pada tahun 1954.4 Pada
3Subhan,Antologi NU, 288.
4Konferensi Segi Lima ialah pertemuan yang dihadiri oleh lima daerah yaitu Jombang, Kediri,
saat itu pelajar putri bermaksud akan bergabung, namun Tolchah menolak.
Dalam pandangan Tolchah, kalau Muslimat dan Fatayat saja bisa berdiri
sendiri, mengapa pelajar putri NU tidak bisa mendirikan organisasi sendiri.
Perdebatan pendapat ini menjadi awal pertautan keduanya. Sejak saat itu
teman-temannya memberi semangat, namun Tolchah sedikit minder karena ia
anak orang biasa, sedangkan Umroh adalah anak seorang Menteri Agama dan
tokoh NU. Karena sering mendapat ledekan dari teman-temannya, Akhirnya
Tolchah memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanya terhadap
Umroh.
Pada tanggal 5 Desember 1957 Tolchah dan Umroh akhirnya menikah,
pernikahan mereka dilaksanakan di Jombang. Meskipun awalnya K.H Wahib
Wahab, ayah Umroh, tidak menyetujui hubungan tersebut. Dikarenakan pada
saat itu, pandangan banyak orang menganggap bahwa orang Madura itu keras.
Namun Umroh terlanjur jatuh hati terhadap Tolchah. Dalam pandangannya,
meskipun Tolchah hitam tapi hitam manis, umroh memilih Tolchah juga
karena ia punya karakter yang tegas. keputusan tersebut juga didukung kuat
oleh sang kakek, K.H Abdul Wahab Chasbullah dan juga neneknya, Nyai
Wahib.5
Dari pernikahan tersebut, Tolchah dan Umroh memiliki 7 orang anak.
Tolchah sangat perhatian terhadap pendidikan anak-anaknya dan selalu
memberi semangat kepada mereka. Tolchah seringkali mengumpulkan
anaknya setelah pulang dari sekolah. Saat itu ia akan meminta kepada
anaknya untuk menjelaskan kembali pelajaran yang didapat waktu di sekolah.
Di saat-saat seperti ini pula, putra-putrinya sering menyampaikan keluh
kesahnya kepada sang ayah. Tolchah memiliki pendirian untuk membebaskan
anak-anaknya dalam memilih pendidikan yang mereka inginkan dan tidak
mengharuskan anaknya belajar di pesantren. Bukan karena tidak memercayai
pengajaran di pesantren, namun karena ia ingin lebih dekat dan mengerti
perkembangan putra-putrinya. Pada akhirnya anak-anaknya lebih memilih
untuk menempuh jalur pendidikan umum, namun tetap belajar agama.
Pelajaran agama tersebut rutin disampaikan Tolchah pada setiap ba’da
maghrib.
Karena pendirian tersebut, anak-anaknya memiliki disiplin ilmu yang
berbeda-beda. Anak pertama, Fajrul Falaakh, mendapatkan gelar sarjana
Hukum dari Universitas Gajah Mada, gelar MA di University of London, dan
gelar MSc dari London School of Econimics and Political Science.
Zuhrufussurur memperoleh gelar sarjana Elektro dari IKIP Yogyakarta.
Nisrinun Ni’mah menyelesaikan Sarjana Pendidikan di IAIN Sunan Kalijaga.
Zunatul Mafruhah memperoleh gelar sarjana hukum di Universitas Islam
Indonesia. Safrotul Machrusah menyelesaikan Sarjananya di IAIN Yogyakarta
dan gelar Masternya diperoleh dari Australian National University di Australia.
Choirotun Chisan memperoleh gelar sarjana Hukum dari IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta dan mendapat master di Universitas Sanata Darma di Yogyakarta.
Bandung dan gelar master dari Teknik Industri dari perguruan tinggi yang
sama.6
Keluarga Tolchah adalah keluarga yang sangat peduli terhadap
pendidikan, bukan hanya peduli terhadap pendidikan di dalam keluarganya,
namun juga pendidikan di masyararakat. Hal itu terbukti ketika Umroh
mendirikan sebuah Taman Kanak-Kanak (TK) dan sampai sekarang sekolah
tersebut masih ada. Bukti lainnya adalah ketika Tolchah merintis pendirian
Pondok Pesantren As-Sunni Darussalam pada tahun 1984, saat itu ia menerima
tanah wakaf dari Hj. Rodhiah seluas 1000 m2 di daerah Tempelsari
Maguwoharjo Sleman. Diatas tanah itu awalnya dibangun sebuah masjid yang
sekarang dikenal sebagai Masjid Sunan Ampel, sampai tahun 1993, tempat
tersebut dikembangkan oleh Kiai Abbas, tokoh masyarakat di daerah tersebut,
sebagai Pesantren Sunan Ampel. Namun, pada perkembangan selanjutnya,
Pesantren tersebut dijadikan Pesantren As-Sunni Darussalam, atas saran
Umroh dan anak-anaknya. Pihak kelurga juga mendapatkan tanah wakaf lagi
di daerah setempat seluas 245 m2. Tanah tersebut selanjutnya dijadikan gedung
Madrasah Diniyah As-Sunni Darussalam. Selain itu, Umroh menambah lagi
luas tanah wakaf tersebut dengan membeli tanah seluas 1800 m2. Akhirnya
pada tahun 1999 gedung pesantren tersebut mulai dibangun. Saat ini pesantren
As-Sunni Darussalam sudah berdiri megah dan ditempati oleh santri-santri
yang merupakan mahasiswa di berbagai kampus di Yogyakarta.7
Pada saat menyelesaikan disertasinya, kesehatan Tolchah sudah sering
menurun. Hampir kesehariannya digunakan untuk membaca dan menulis
disertasi dan kondisi tubuh Tolchah yang paling parah terjadi saat ia
melakukan ujian disertasi tersebut. Saat ujian, ia dikawal oleh beberapa tim
dokter untuk berjaga-jaga agar tidak terjadi hal yang tidak di inginkan.
Meskipun dalam keadaan capek dan sakit-sakitan, Tolchah tetap bersemangat
menjalani ujian. Dikarenakan saat itu, sang ibunda, Siti Nur Khatidjah datang
dari Malang untuk menyaksikan putranya meraih gelar doktor. Ujian tersebut
dilaksanakan pada 17 Desember 1969.
Pada puncak keemasan karir intelektual ini, K.H. Moh. Tolchah
Mansoer dipanggil ke rahmatulloh, setelah sempat dirawat di RS. Dr. Sardjito
Yogyakarta. Ia akhirnya meninggal dikarenakan penyakit jantung yang
dibawanya sejak lahir. Bertepatan dengan tanggal 20 Oktober 1986, Tolchah
menghadap sang Khaliq.8 Tokoh yang mempunyai kehidupan sederhana ini meninggalkan keluarga, murid, organisasi dan puluhan karyanya akan selalu
dikenang sepanjang zaman. Malam itu juga, KH. Ali Ma’sum (Rais Syuriah
PBNU 1989-1994) bermusyawarah dengan pihak keluarga tentang tempat
pemakaman Almarhum K.H. Moh. Tolchah Manoser. Akhirnya, setelah
mendapat saran dari KH. Ali Ma’sum, jenazahnya dimakamkan di makam
keluarga Pesantren Krapyak. Pagi harinya, ribuan pelayat mengantar dari
rumahnya yang berada di Colombo no. 21. Jenazah K.H. Moh. Tolchah
Mansoer di sholatkan di masjid kampus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
8Mastuqi HS dan M. Ishom El-Saha, Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala
Jalan panjang Tolchah telah berakhir. Bukan hanya keluarga, namun
sahabat serta santri-santri beliau juga merasa kehilangan sosok pentingnya.
Akan tetapi, sejarah tentangnya tidak akan terlupakan, karakter, idealisme, dan
cita-citanya akan terus berkibar. ia adalah cahaya yang masih terus menerangi
hingga saat ini.
B. Latar Belakang Pendidikan Moh. Tolchah Mansoer.
Pendidikan pertama KH. Tolchah Mansur di peroleh di Sekolah
Rakyat Nahdlatul Ulama Malang pada tahun 1937.9 Madrasah tersebut didirikan oleh KH. Nahrawi Thahir (Ketua Umum PBNU periode
1944-1951). Madrasah tersebut mendatangkan guru-guru yang mumpuni dan
terpilih dari berbagai daerah, salah satu guru yang mempunyai pengaruh besar
bagi Tolchah ialah K.H. Muhammad Syukri Ghazali (Ketua Umum MUI
periode 1981-1984). Kebetulan rumah Tolchah tidak jauh dari madrasah dan
rumah K.H. Muhammad Syukri Ghazali. Selesai sekolah ia langsung
mengaji. Mata pelajaran yang diajarkan di madrasah tersebut cukup beragam,
bukan hanya pelajaran agama seperti nahwu dan fiqih, tetapi juga pelajaran
umum seperti ilmu hitung dan juga bahasa Belanda. Pengetahuan tentang
bahasa Belanda tersebut yang nantinya menjadi bekal bagi Tolchah untuk
mempelajari hukum tata negara.10
9Subhan,Antologi NU, 288.
Setelah lulus dari sekolah rakyat, Tolchah meneruskan pendidikannya
di SMP Islam hingga lulus pada tahun 1947.11 Pada saat itu, proses menuntut
ilmunya sempat terhenti ketika terjadi Agresi Militer Belanda, pelajar usia 17
tahun ini menjadi sekretaris Sabilillah sehingga ia harus meninggalkan
sekolahnya. Ia akhirnya mengungsi bersama warga sekitar ke Malang Selatan
yang relatif aman dari serbuan tentara Belanda. Baru setelah perang
kemerdekaan usai, ia meneruskan sekolah di Taman Madya Malang sampai
lulus tahun 1951.
Bukan hanya itu Tolchah juga mengaji posonan (bulan Ramadhan) ke
beberapa pondok pesantren. Diantaranya, di Pondok Pesantren Tebuireng dan
Pondok Pesantren Al-Hidayah, Soditan Lasem. dibawah asuhan K.H.
Ma’shum. Karena ia memang santri yang cerdas dan otodidak, maka wajarlah
bila kelak Tolchah Mansoer akhirnya menjadi seorang ulama besar
Setelah lulus Taman Dewasa, dengan berbekal Iijazah dan dorongan
semangat dari ibunya, Tolchah berangkat ke Yogyakarta, sang ibu juga
meyakinkan Tolchah, bahwa beliau bisa membiayainya selama kuliah di
yogyakarta. Di Yogyakarta, Tolchah kembali menuntut ilmu di bidang umum
dengan masuk Fakultas Hukum Ekonomi Sosial dan Politik (HESP),
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Kuliahnya tidak berjalan lancar, karena
ia memang aktivis organisasi. Pada tahun 1953, Tolchah berhenti kuliah
untuk sementara waktu. Hari-hari beliau habiskan untuk fokus terhadap
kegiatan organisasinya. Apalagi saat-saat tersebut Tolchah dan juga
sahabatnya sudah mulai merintis awal berdirinya Ikatan Pelajar Nahdlatul
Ulama. Selain itu, pada tahun tersebut ia juga ikut menyiapkan NU memasuki
medan politik pada pemilu 1955. Namun pada tahun 1959 Tolchah kembali
ke bangku kuliah. Semangatnya untuk belajar tidak pernah surut, walaupun
telah menikah ia tetap kembali ke bangku kuliah untuk menyelesaikan
studinya, hingga kemudian ia mampu menyelesaikan jenjang sarjana dan
menjadi Sarjana Hukum pada tahun 1964.12
Meskipun waktu yang diperlukan oleh Tolchah untuk menempuh
sarjana hukum memakan waktu 13 tahun. Namun, berkat kegemarannya
membaca beliau mampu menyelesaikan gelar Doktor Ilmu Hukum ( Jurusan
Hukum Tata Negara) dalam waktu relatif singkat. Yakni dalam waktu hanya
lima tahun. Dengan Promotor Prof. Abdul Gaffar Pringgodigdo, S.H,
akhirnya Moh. Tolchah Mansoer berhasil meraih gelar Doktor Ilmu Hukum
Universitas Gajah Mada dengan judul disertasi “Pembahasan Beberapa Aspek
Tentang Kekuasaan-kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Negara Indonesia (17
Desember 1969)”. Disertasi ini kemudian diterbitkan menjadi buku oleh
penerbit Radya Indria, Yogyakarta(1970).
C. Karier dan karya K.H. Moh. Tolchah Mansoer.
Dalam kehidupan organisasi, awal karir K.H. Moh. Tolchah Mansoer
dimulai sejak usia remaja, terutama dikalangan NU. Ketika masih duduk
dibangku Tsanawiyah, Ia pernah menjadi Sekretaris Ikatan Murid Nahdlatul
Oelama (IMNO) kota Malang pada 1945. Pada saat itu Ikatan Pelajar
Nahdlatul Ulama (IPNU) belum lahir, baru pada sembilan tahun kemudian
Tolchah menjadi salah satu penggagas berdirinya IPNU. Selain itu, ia juga
tercatat sebagai anggota Organisasi Putra Indonesia, salah satu organisasi
yang mengadakan perlawanan terhadap Jepang pada ahun 1945-1948. Di
masa yang sama, ia juga menjabat sebagai sekretaris Barisan Sabilillah untuk
daerah pertempuran Malang Selatan.13 Selain berkarir dalam bidang organisasi, Tolchah juga mendedikasikan dirinya untuk dunia pendidikan
dengan menjadi guru di Sekolah Rakyat NU dan Sekolah Menengah Agama
Islam di Malang sejak 1948.
Karier organasisi berikutnya yang diperoleh oleh Tolchah adalah saat
beliau berpindah ke Yogyakarta pada tahun 1950. Saat itu Ia pernah menjabat
sebagai menjadi wakil Departemen Penerangan Pengurus Besar Pelajar Islam
Indonesia (PB PII), selanjutnya pada 1952, Tolchah dipercaya menjadi Ketua
I Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) wilayah Yogyakarta.14
Sesuai dengan aktivitasnya dalam organisasi, maka KH. Tholhah
Mansur pernah beberapa kali memegang jabatan dalam pemerintahan
terutama di Daerah IstimewaYogyakarta. Ia pernah terpilih menjadi anggota
DPR mewakili NU (1958) dan tahun itu juga ia diangkat sebagai anggota
Dewan Pemerintah Daerah (DPD), kemudain badan ini diubah namanya
menjadi BPH (Badan Pemerintah Harian) Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta(1958). BPH Merupakan lembaga eksekutif di daerah yang
bertugas membantu kepala daerah. Pada saat menjabat sebagai BPH ini, ia
juga aktif melaksanakan kegiatan sosial, serta tentunya menyelesaikan
program doktoralnya.
Saat menjabat sebagai BPH, beberapa fasilitas didapatkan oleh
Tolchah, diantaranya adalah mobil dan rumah dinas yang terletak di
Compleks Colombo No. 21. Namun, mobil dinasnya hanya digunakan saat
akan berangkat kerja, sementara untuk berangkat kuliahnya di UGM ia lebih
memilih berjalan kaki atau mengendarai sepeda dan meninggalkan mobilnya
dirumah. Pada masa akhir jabatannya, mobil dinasnya dikembalikan kepada
negara. Sementara itu, Tolchah memutuskan untuk membeli rumah dinasnya
tersebut dengan cara mencicil. Akhirnya setelah tidak lagi menjabat sebagai
BPH, Rumah tersebut sudah menjadi hak milik pribadi.15
Perjuangan K.H. Moh. Tolchah Mansoer selanjutnya adalah sebagai
ketua Pengurus Wilayah Partai NU Daerah Iistimewa Yogyakarta. Setelah
terjadi fusi empat partai islam (NU, Parmusi, PSII dan Perti) menjadi Partai
Persatuan Pembangunan, ia lebih banyak berperan aktif di Jamiyah Nahdlatul
Ulama, disamping sebagai guru besar di beberapa perguruan tinggi dan
mubaligh. Sebagai gantinya, Umroh Mahfudloh, tampil sebagai aktivis PPP,
bahkan sampai menjadi ketua DPW PPP Daerah Istimewa Yogyakarta dan
beberapa kali menjadi anggota DPRD I Yogyakarta dan DPD/MPR RI.
Tolchah Mansoer, adalah salah seorang tokoh yang ikut membidani
kembalinya ke Khittah 1926, dalam Muktamar NU ke 27 di Pondok
Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukerejo, Asembagus Situbondo, yang diasuh
oleh K.H. As’ad Syamsul Arifin. Dalam Muktamar tersebut, dia terpilih
sebagai salah seorang Rois Syuriah PBNU dibawah pimpinan Rois Aam K.H.
Ahmad Shiddiq dan Wakil Rois Aam K. H. Rodli Sholeh.
Profesi Utama K.H. Moh. Tolchah Mansoer adalah sebagai pendidik
sekaligus juru dakwah dan penulis. Sewaktu masih kuliah tingkat doktoral, ia
menjadi asisten dosen di IAIN Sunan Kalijaga (Sekarang UIN Sunan
Kalijaga). Setelah lulus Tolchah masih tetap mengajar di IAIN, kemudian
juga di beberapa perguruan tinggi lainnya seperti IKIP Yogyakarta (sekarang
UNY), Akademi Militer di Magelang, IAIN Sunan Ampel Surabaya,
Akademi Administrasi Negara, Universitas Hasyim Asy’ari Jombang,
Universitas Nahdlatul Ulama Solo dan lain-lain.16 Guru Besar Hukum ini
pernah memegang jabatan di beberapa perguruan tinggi , diantaranya
Pembantu Rektor IAIN Sunan Kalijaga, kemudian Dekan Fakultas
Ushuluddin, Direktur Akademi Administrasi Niaga Negeri di Yogyakarta
(1965-1967), Rektor Universitas Hasyim Asy’ari (1970-1983) merangkap
Rektor Institut Agama Islam Imam Puro, Purworejo (1975-1983) dan Dekan
Fakultas Hukum Islam UNU (Universitas Nahdlatul Ulama) Surakarta. Dan
juga pernah menjadi anggota badan Wakaf IAIN Sunan Kalijaga dan Badan
Penyantun Taman Siswa Yogyakarta.
Disamping menjadi akademisi, Tolchah juga adalah seorang kiai,
meskipun beliau bukan keturunan kiai. Kemampuan Tolchah dalam menguasi
ilmu agama secara mendalam inilah yang membuat Moh. Tolchah Mansoer
dijuluki sebagai kiai. Kharisma keilmuannya terus bersinar menemani
perjalanannya hingga usia senja. Pada tahun 1970, K.H. Tolchah Mansoer
mulai menekuni dunia dakwah, awalnya hal ini mulai dipirkan beliau setelah
mendapat masukan dari teman-temannya yang juga termasuk dosen-dosen
muda di IAIN Sunan Kalijaga, K.H. Tolchah dimintai untuk mengajarkan
kitab-kitab salaf klasik, setelah dipikirkan akhirnya ia menyetujui usulan
tersebut, dan di garasi rumahnya yang berada di Komplek Colombo itu
dibuatkan pengajian kitab kuning yang dipimpin olehnya secara langsung, di
garasi mobil yang tidak terlalu luas tersebut pengajian dilaksanakan setiap
hari senin sampai jum’at setelah Shubuh untuk dosen IAIN Sunan Ampel,
dan setelah Ashar untuk mahasiswa-mahasiswanya.17
Selain itu, ia juga sering mengadakan pengajian dikampung-kampung
diberbagai daerah. Sebagimana seorang kiai pada umumnya, K.H. Tolchah
juga serring mendapatkan undangan dari para jama’ah untuk memberikan
ceramah di berbagai tempat, meski diundang di daerah yang jauh sekalipun,
seperti di Jepara, Lasem, Rembang, Magelang, Cilacap ia akan tetap hadir,
karena ia sangat mencintai jama’ahnya. Meskipun dalam keadaan lelah dan
sering sakit, kegiatan dakwahnya tidak pernah kendor.
Dalam setiap pengajiannya, K.H. Tolchah tetap membawa kitab ke
mimbar sebagai refrensinya. Hal itu dilakukan karena dirinya tidak ingin asal
berbicara, agar apa yang disampaikannya sesuai dengan rujukan. Meski
Tolchah merupakan seorang intelektual, beliau tetap menggunakan bahasa
yang mudah dipahami semua orang, dikarenakan jama’ah yang dihadapinya
adalah masyarakat biasa. Ia dikenal luwes dalam menyampaikan ceramahnya,
meskipun membawakan tema-tema yang serius, ia membawakannya dengan
rasa humor yang tinggi, akan tetapi humor yang tidak melunturkan kesan
ilmiah.
Meskipun masa tua K.H. Moh Tolchah Mansoer dihabiskan dengan
berceramah keliling daerah, namun identitas sebagai intelektual dan
akademisi tetap tidak hilang. Dari sisi pemikiran, Tolchah adalah akademisi
yang cerdas, kritis dan konsisten. Pemikirannya tentang ketatanegaraan
Indonesia dikenal sebagai pemikiran yang sangat progresif. Pemikirannya
yang tersebar dalam berbagai buku dan artikel mengupas beragam tema,
mulai dari hukum, negara, pemerintahan, demokrasi, konstitusi negara,
hingga hak asasi manusia. Selain itu, ia juga menulis tentang berbagai
persoalan sosial, keagamaan dan pendidikan.
Dalam satu tulisan Tolchah yang berjudul Peranan Umat Islam
Dalam Proses Pelaksanaan Pemurnian Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, K.H. Tolchah memberikan landasan yang kuat bagi demokrasi
berdasarkan ajaran Islam mengenai musyawarah berdasarkan surat
Asy-Syurah ayat 38 yang dengan jelas memerintahkan musyawarah dalam
menjalankan urusan umat manusia. Pelaksanaan perintah-perintah tersebut
dapat dilihat dalam sejarah Rasulullah dan empat khalifah sesudahnya.
baik sehingga umat dapat turut serta dalam menyusun dan melaksanakan
penyelenggaraan negara.
Tolchah Mansoer Juga mengemukakan tiga kelebihan atau manfaat
yang diberikan oleh demokrasi dalam bentuk musyawarah. Petama, dengan
dasar musyawarah, manusia memperhalus perjuangannya dan bekerja di atas
jalan ketuhanan dengan membuka pikiran dalam melaksanakan musyawarah
sesama manusia. Kedua, melalui musyawarah, negara tidak dijalankan oleh
seorang manusia atau pikiran seorang saja, tapi dilaksanakan oleh semua
golongan. Ketiga, permusyawaratan meminimalisasi atau bahkan
menhilangkan kekhilafan atau penyalahgunaan kekuasaan kekuasaan
seseorang yang berkuasa.18
Bukan hanya dalam bidang tata negara, Tolchah juga memiliki karya
dalam bidang keagamaan, salah satunya yang berjudul, Program Umat Islam.
Dalam pembahasan buku tersebut, ia menjelaskan tentang hubungan dunia
dan akhirat, yang memiliki korelasi diantara keduanya. Tolchah
mengibaratkan sebagaiman sesuatu dengan cermin, apabila sesuatu itu buruk
maka cerminpun akan memantulkan sesuatu yang buruk, namun apabila
sesuatu itu baik maka maka bayangannyapun juga akan baik.19 Baik dan burukpun sudah ditentukan oleh Allah dalam banyak riwayatnya, yang
membahas tentang wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah. Oleh karena
itu, tugas-tugas ummat Islam adalah untuk memprogramkan sesuatu yang
18Tolchah Mansoer,Peranan Umat Islam Dalam Proses Pelaksanaan Pemurnian Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945(Yogyakarta: Lembaga Penerbitan Ilmijah IAIN Sunan Kalijaga, 1971), 44.
baik-baik, dan apabila tidak mampu untuk memprogramkan hal tersebut,
tinggal mengikuti siapa yang mampu memprogramkan hal tersebut, misalnya
pemerintah.
Dalam buku tersebut Tolchah juga menjelaskan bahwa program
tersebut ada dua. Pertamaadalah program yang bersangkutan dengan akhirat,
yaitu tentang bagaimana ummat Islam tetap baik agamanya, berdakwah
dengan baik, mengajak kepada Islam dengan cara baik, dan juga
memberlakukan syariat Islam dengan baik. Yang kedua adalah program
tentang duniawi, yang terbagi menjadi 4 hal penting, yaitu istri yang sholihah,
tempat tinggal yang baik, tetangga yang baik, dan kendaraan yang baik pula.
Yang kesemuanya itu berkaitan dengan pendidikan, modal dan kecakapan
yang baik juga dari pribadi setiap orang yang harus diperjuangkan,
dikarenakan semua hal itu tidak bia didapatkan secara instan. Semua hal
tersebut juga harus diatur secara bersama, maka disinilah dibutuhkan
pemerintah yang menyelenggarakan seluruhnya. Pemerintah harus stabil,
dengan sistem politik yang baik, serta pertahanan yang kuat. Dan juga harus
ada wakil rakyat yang dinamis dan juga inisiatif memberikan pengawasan
juga konsep–konsep yang masuk akal.20
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) adalah salah satu organisasi
dibawah naungan jam’iyah Nahdlatul Ulama, tempat berhimpun dan wadah
komunikasi putra-putri NU, merupakan bagian integral dari potensi generasi muda
Indonesia yang menitikberatkan bidang garapannya pada pembinaan dan
pengembangan pelajar, remaja dan santri.1 IPNU adalah wahana kaderisasi putra
NU sekaligus sebagai alat perjuangan NU dalam menempatkan pemuda sebagai
tiang penyangga, yang dituntut untuk berkiprah lebih banyak dalam pembangunan
bangsa yang bermodalkan ilmu pengetahuan, pengalaman dan keteguhan iman
yang diharapkan mampu mengantarkan cita-cita luhur bangsa.
IPNU beraqidahkan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang berhaluan pada
salah satu dari Mahdzab Empat, yaitu Imam Syafi’i, Maliki, Hambali dan Hanafi,
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, IPNU berdasarkan kepada Pancasila,
dan IPNU adalah organisasi yang bersifat keterpelajaran, kekaderan,
kekeluargaan, kemasyarakatan, kebangsaan dan keagamaan. Tujuan dibentuknya
IPNU adalah untuk terpeliharanya rasa kekeluargaan pelajar-pelajar di pesantren,
madrasah, sekolah umum dan mahasiswa yang sehaluan.2 Tujuan lainnya adalah agar terbentuknya pelajar bangsa yang bertaqwa kepada Allah Subhanallahu Wa
Ta’ala, berilmu, berakhlak mulia, berwawasan kebhinekaan serta bertanggung
1Soelaiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU: Sejarah, Istilah, Amalia, Uswah
(Surabaya: Khalista, 2007), 52.
2Tolchah Mansoer,SambutanKetua Umum P.P IPNU” dalam Buku Panduan Muktamar I IPNU
jawab atas terlaksananya syari’at Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang
berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 demi tegaknya NKRI.3
IPNU memiliki lambang organisasi berbentuk bulat yang berarti
kontinuitas atau terus menerus. Warna dasar hijau melambangkan subur.
Berlingkar kuning di tepinya melambangkan hikmah yang tinggi, dan diapit dua
lingkaran putih melambangkan kesucian dan cita-cita yang tinggi. Di bagian atas
tercantum kata “IPNU” dengan tiga titik yang berarti Islam, Iman dan Ihsan, dan
diapit enam garis lurus yang berarti rukun iman. Dibawahnya terdapat sembilan
bintang lambang keluarga Nahdlatul Ulama, Lima bintang terletak sejajar dan
yang satu diantaranya lebih besar terletak di tengah melambangkan Nabi
Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin, yakni Abu Bakar as-Shidiq ra, Umar
bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra dan Ali bin Abi Thalib. Empat bintang
dibawahnya melambangkan madzhab 4: yaitu Hambali, Hanafi, Syaf’i dan Maliki.
Diantara bintang yang mengapit terdapat dua kitab yang berarti Al-Qur’an dan
Hadits. Di paling bawah terdapat dua bulu angsa yang bersilang melambangkan
sintesa antara ilmu umum dan ilmu agama.4
A. Organisasi Pelajar NU sebelum lahirnya IPNU.
Pada awalnya IPNU merupakan organisasi pelajar berupa kumpulan
pelajar, sekolah, dan pesantren, yang semula dikelola oleh para Ulama,
dengan jumlahnya yang banyak di beberapa kota. Akan tetapi
perkumpulan-perkumpulan tersebut lahir atas inisiatif sendiri dan namanya pun
beda, belum ada satu induk organisasi yang mampu untuk mengkoordinir
mereka semua secara nasional.
Di Surabaya didirikan Tsamrotul Mustafidin pada tahun 1936,
selanjutnya PERSANO (Persatuan Santri Nahdlatul Oelama) didirikan pada
tahun 1939. Di Malang, pada tahun 1941 lahir PAMNO (Persatuan Murid
Nahdlatul Oelama), dan pada saat itu banyak para pelajar yang ikut dalam
pergerakan melawan penjajah. Pada tahun 1945 terbentuk IMNO (Ikatan
Murid Nahdlatul Oelama). Di Madura pada tahun 1945 juga terbentuk
Ijtimauth Tolabiah dan Syubbanul Muslim, kesemuanya itu juga ikut dalam
perjuangan melawan penjajah dengan gigih. Di Semarang tahun 1950
berdiri Ikatan Mubhaligh Nahdlatul Oelama dengan beranggotakan remaja
yang masih berstatus pelajar. Sedangkan di Kediri, pada tahun 1953 berdiri
PERPENO (Persatuan Pelajar Nahdlatul Oelama). Dan pada tahun yang
sama, di Bangil berdiri IPENO (Ikatan Pelajar Nahdlatul Oelama). Di
Medan pada tahun selanjutnya yakni 1954 berdiri Ikatan Pelajar Nahdlatul
Oelama atau IPNO.5
Selain bersifat lokal, organisasi-organisasi tersebut hanya
menampung pelajar yang berasal dari sekolah-sekolah NU dan
pesantren-pesantren. Dengan begitu, organisasi-organisasi tersebut belum bisa menjadi
alat konsolidasi pelajar secara nasional, sebab masih memberikan ruang
senjang antara para pelajar yang berasal dari pesantren, madrasah, dan
5Tolchah Mansoer et al, Sedjarah Perdjuangan IPNU dari Masa ke Masa (Yogyakarta: jajasan
sekolah umum baik negeri maupun swasta. Corak dan watak gerakannya
juga masih bersifak lokal dan parsial. Yang menyatukan mereka hanyalah
imajinasi kolektif yang dibentuk dari tradisi keagamaan Sunni yang sama.
Secara umum, memang gerakan-gerakan pemuda sebelum perang
dunia kedua masih bersifat lokal. Sementara, pada jaman penjajahan Jepang,
gerakan-gerakan tersebut hampir tak terlihat. Hal ini dikarenakan seluruh
kegiatan pemuda pada saat itu dipusatkan pada Gerakan Pemuda Pelopor
(Barisan Pelopor) yang selanjutnya dibentuk Seinendan.6 Namun, tokoh-tokoh NU kala itu masih berkecimpung dalam berbagai ranah kehidupan
masyarakat yang dulu belum pernah mereka masuki. Hal ini tentu saja
mempunyai pengaruh yang tidak kecil bagi pertumbuhan pelajar dan
masyarakat Islam.
Pada masa proklamasi, seluruh bangsa Indonesia bangkit, termasuk
umat Islam umumnya dan kaum Nahdhiyyin khususnya. Gerakan pemuda
juga mulai terbentuk kembali, namun gerakan pelajar saat itu masih belum
bersifat nasional. Gerakan-gerakan pelajar baru memperlihatkan bentuk
kongkretnya dikancah nasional pada tahun 1950-an. Pada periode ini, ada
beberapa organisasi pelajar NU yang muncul, seperti PAPERNO (Persatuan
Pelajar Nahdlatul Oulama’) yang lahir pada 13 Juni 1953 di Kediri,
IKSIMNO (Ikatan Siswa Mubalighin Nahdlatul Oelma’) yang lahir pada
6Seinendan adalah Korps Pemuda yang bersifat semi militer, yang dibentuk oleh Jepang pada
tahun 1952 di Semarang. Akan tetapi, sekali lagi, organisasi-organisasi
tersebut belum sepenuhnya menjadi organisasi yang bersifat nasional.7
Sementara di luar komunitas NU, sudah lebih dulu terbentuk
berbagai organisasi pelajar dan mahasiswa, seperti Perkumpulan Pemuda
Kristen Indonesia (PPKI), Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia
(GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Sosialis
(GERMASOS), dan Pelajar Islam Indonesia (PII). Organisasi-organisasi
pemuda itu pada umumnya berafiliasi pada kekuatan politik tertentu.
B. Proses Lahirnya IPNU.
Berawal dari keputusan Kongres al-Islam yang dikeluarkan pada
tahun 1949, tentang dinobatkannya PII sebagai satu-satunya organisasi pelajar
muslim dan HMI sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa muslim. Oleh
karena itu pelajar dan mahasiswa yang berlatar belakang Islam, baik dari
kalangan Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyyah, mau tidak mau hanya bisa
menjadikan kedua organisasi ini sebagai wadah kaderisasi dan aktualisasi
gerakan. Namun bagi pelajar nahdliyyin, masuknya mereka ke dalam dua
oraganisasi itu bukan tanpa hambatan. Hambatan ini terkait dengan
persaingan politik anatara kaum Modernis dan Kaum tradisionalis, persaingan
tersebut nampaknya sudah mewabah terhadap kalagan pelajarnya.
Saat itu sudah mulai muncul kekhawatiran terhadap organisasi PII.
Kekhawatiran tersebut terjadi karena organisasi pelajar tersebut tidak
7Caswiyono Rusydie Cakrawangsa et al, KH. Tolchah Mansoer: Biografi Profesor NU Yang
mendukung dan memfasilitasi pelajar-pelajar dari pesantren, sehingga para
pelajar NU tidak ada yang mengurus. Kegelisahan tersebut bertaut dengan
fakta bahwa organisasi pelajar NU saat itu hanya bersifat kedaerahan. Oleh
karena kegelisahan inilah kesadaran pentingnya pembentukan organisasi
pelajar NU akhirnya menginspirasi para aktivis pelajar NU untuk mendirikan
suatu organisasi yang bisa mengayomi seluruh pelajar umum khusunya para
pelajar pesantren yang bersifat nasional. Setelah didiskusikan secara matang,
gagasan perintisan organisasi Pelajar NU selanjutnya dibawa pada Konferensi
Besar LP. Ma’arif di Semarang pada Februari tahun 1954.
Bagai gayung bersambut, gagasan tentang perlunya pembentukan
organisasi pelajar dikalangan NU ini dijadikan pembahasan dalam
pelaksanaan Konferensi. Akhirnya Konferensi Besar Ma’arif Semarang
tersebut mengesahkan berdirinya Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)
pada tanggal 24 Februari 1954, bertepatan dengan 20 Jumadil Akhir 1373 H.8 Tanggal itu yang pada selanjutnya dijadikan sebagai tanggal kelahiran
organisasi pelajar NU tersebut. Dalam Konferensi tersebut, Tolchah Mansoer
dipilih oleh peserta Konferensi Besar sebagai Ketua Umum IPNU.
Tepat dua bulan setelah resmi dibentuk, selanjutnya diselenggarakan
Konferensi Segi Lima yang diselenggarakan di Solo pada tanggal 30 April –
1 Mei 1954. Pertemuan yang melibatkan perwakilan dari Yogyakarta,
Semarang, Solo, Jombang, dan Kediri tersebut merupakan Musyawarah
8Arsip Musem NU, Buku Panduan Mu’tamar Pertama IPNU (Malang: Panitia Pusat Mu’tamar
pertama organisasi setelah resmi berdiri.9 Musyawarah ini berhasil merumuskan asas organisasi, yaitu Ahlussunnah Wal Jamaah; tujuan
organisasi, megemban risalah Islamiyah; mendorong kualitas pendidikan; dan
mengakomodasi pelajar. Musyawarah tersebut juga menetapkan yogyakarta
sebagai kantor pusat organisasi, hal itu dikarenakan banyak dari para perintis
IPNU adalah mahasiswa di Yogyakarta, dan Yogya juga adalah kota pelajar.
Selain itu, kantor pusat dari PII juga berada di Yogyakarta.
Kelahiran IPNU menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan
Nahdlatul Ulama. Karena pendirian organisasi ini terjadi saat NU sedang
berkiprah sebagai partai politik, maka keberadaannya jelas tidak bisa
dilepaskan dengan hubungan politik pada masa itu. Akan tetapi, semangat
pendirian organisasi bukan karena semangat politik, namun IPNU memiliki
otonominya sendiri sebagai organisasi pelajar. Untuk menegaskan bahwa
IPNU adalah organisasi kader, maka IPNU memfokuskan diri pada proses
kaderisasi untuk meningkatkan kualitas kader. Hal ini dikarenakan IPNU
didirikan sebagai respon atas adanya kebutuhan kaderisasi, baik sebagai
partai politik maupun sebagai organisasi-organisasi kemasyarakatan.10
Dalam sejarah NU, pendirian IPNU merupakan langkah yang sangat
monumental bagi perkembangan organisasi terbesar di Indonesia ini. Pada
tahun 1952, saat NU menyatakan diri masuk sebagai partai politik, NU tidak
memiliki kader potensial kecuali dari para santri di pesantren-pesantren dan
9Arsip Musem NU,IPNU dari Muktamar ke Muktamar(Cirebon: Panitia Mu’tamar III & POR I
IPNU, 1958), 2.
madrasah. Dapat dikatakan, bahwa saat NU tengah menempati posisi
menantang, justru belum memiliki perangkat kaderisasi yang dapat menjamin
keberlanjutan organisasi. Dikarenakan pada saat itu, putra-putra NU hampir
semuanya terfokus pada pendidikan agama, padahal kebutuhan NU akan
sumberdaya pada semua bidang sangat mendesak. IPNU didirikan untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Kader-kader perintis IPNU yang saat itu
tumbuh di Yogyakarta merupakan aset yang luar biasa bagi Nahdlatul Ulama.
Merekalah yang kemudian menggerakkan dan mengembangkan IPNU ini.11
Setelah resmi berdiri, para anggota IPNU melakukan musyawarah.
Dan memutuskan untuk sekretariatnya di sebuah masjid sederhana bernama
Masjid An-Nadzar yang beralamatkan di Jl. Gendekan Lor 52 Yogyakarta,
sebagai tempat berkumpul dan pusat aktivitas organisasi. Di masjid yang
tidak terlalu