LAPORAN PENELITIAN
HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT - DAERAH DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP HUBUNGAN KEUANGAN,
PELAYANAN UMUM, PEMANFATAN SUMBER DAYA
ALAM, DAN SUMBER DAYA EKONOMI
K ERJ ASAM A AN T ARA
DEWAN PERWAK I LAN DAERAH REPU BLI K I N DON ESI A DEN GAN
KATA PENGANTAR
Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, maka laporan akhir
penelitian yang berjudul “Hubungan Pemerintah Pusat-Daerah dan
Implikasinya Terhadap Hubungan Keuangan, Pelayanan Umum,
Pemanfaatan Sumberdaya Alam, dan Sumberdaya Ekonomi” dapat
diselesaikan. Laporan ini merupakan tanggungjawab Universitas
Udayana dalam memenuhi tugas seperti yang diamanatkan dalam
kontrak kerjasama kegiatan penelitian dengan Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia.
Laporan akhir ini memuat latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, motode pembahasan, gambaran umum wilayah
Propinsi Bali, hasil dan bahasan, serta penutup yang berisi
kesimpulan dan saran.
Terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah
berpartisipasi dalam penyusunan laporan ini. Semoga laporan ini
dapat memenuhi kebutuhan dan manfaat bagi semua pihak yang
berkepentingan.
RINGKASAN
Otonomi daerah yang dilaksakan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang diperbaharui menjadi Undang-undang No. 32 tahun 2004 yang meletakkan otonomi daerah pada tingkat kabupaten/kota. Hal yang demikian menyebabkan tidak ada hubungan antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/kota. Karena kabupaten/kota menganggap dirinya sebagai penerima otonomi, yang tidak ada hubungannya dengan provinsi, sehingga kabupaten/kota juga kurang responsif kepada provinsi dalam mengkoordinasikan pembangunan di daerah. Dalam keadaan yang demikian posisi gubernur sebagai perangkat pusat di daerah kurang efektif. Berkaitan dengan hal itu tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji secara cermat dari berbagai sudut pandang pada tingkatan mana sebaiknya otonomi daerah diletakkan, sehingga negara kesatuan memiliki pola yang lebih
statika lekstar dinamika.
Penelitian ini hanya terbatas mengkaji hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi yang dilakukuan berkaitan dengan penelusuran dan menginventarisasi data yang dikaitkan dengan fakta-fakta di lapangan, tim peneliti memfokuskan pada penelitian pendapatan PT Angkasa Pura I Ngurah Rai Bali. Dalam melakukan penelitian hubungan antara Pemerintah Pusat dan daerah peneliti menggunakan pendekatan interdisipliner yang normatif terapan. Penelusuran terhadap Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen telah dijabarkan dalam berbagai Undang-Undang yang masih berlaku dan yang pernah diberlakukan.
dilakukan studi banding ke Cengkareng/Juanda/Banjarmasin/ Menado.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... ii
RINGKASAN ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...…... 1.2 Rumusan Masalah ... 1 3 1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Metode Pembahasan ... 5
1.5 Ruang Lingkup Kegiatan... 6
1.6 Ruang Lingkup Kegiatan ... 6
1.7 Sistematika Penyajian ... 7
BAB II GAMBARAN UMUM PROPINSI BALI 2.1 Wilayah Geografis dan Batas Wilayah ... 9
2.2 Kependudukan ... 11
2.2.1 Jumlah dan Kepadatan Penduduk ... 11
2.2.2 Laju Pertumbuhan Penduduk ... 12
2.3 Kawasan Pariwisata dan Objek serta Daya Tarik Wisata Khusus ... 14
2.4 Sektor Pariwisata dan Pemerataan Hasil Pembangunan ……… 16
2.5 Ketimpangan Kapasitas Fiskal Antar Kabupaten/ Kota ………. 18
BAB III PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 3.1 Konsep Letak Titik Berat Otonomi Pada Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia 1945 ... 23
3.2 Implikasi Titik Berat Otonomi Diletakkan pada Propinsi ... 33
3.4 Aspek Ekonomi dan Keuangan ... 36 3.4.1 Kontribusi, Program dan Kegiatan yang telah
dilakukan oleh PT Angkasa Pura I Bandara
Ngurah Rai Bali .... 38
3.4.2 Peluang Jangka Pendek ……….. 40
3.4.3 Peluang Jangka Panjang ………. 41
BAB IV PENUTUP
4.1 Simpulan ……… 44
4.2 Saran/Rekomendasi ……… 45
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Luas Wilayah Menurut Kabupaten/Kota, Jumlah
Kecamatan, Jumlah Desa/Kelurahan di Propinsi Bali,
Tahun 2009 ... 10
Tabel 2.2 Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Rasio Kelamin dan
Kepadatan Penduduk Per Kabupaten/Kota di
Propinsi Bali, Tahun 2009 ... 11
Tabel 2.3 Laju Pertumbuhan Penduduk di propinsi Bali
Menurut Kabupaten/Kota pada Tahun 1980 – 2008 ... 13
Tabel 2.4 Pendapatan Per Kapita dan Andil Sektor
Perdagangan dan Restoran pada Kabupaten/Kota di
propinsi Bali, Tahun 2001 dan 2008 ... 17
Tabel 2.5 Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota di Propinsi
Bali, Tahun Anggaran 2001 – 2006 (Rp juta) ... 18
Tabel 2.6 Total Penerimaan Daerah Pemerintah Kabupaten/
Kota di Propinsi Bali Tahun Anggaran 2001 – 2006
(Rp juta) ... 20
Tabel 2.7 Rasio Kemandirian Pemerintah Kabupaten/kota di
Provisni Bali, Tahun Anggaran 2001 - 2006 (%) ... 21
Tabel 3.1 Kontribusi PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai
Terhadap Pemerintah Propinsi, Pemerintah
Kabupaten, Desa, dan Masyarakat (Rp juta) …………
DAFTAR GAMBAR
Halaman
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan, yang berbentuk
Republik (Pasal 1 ayat 1), Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat 2),
Negara Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3 )
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Formulasi
kekuasaan dalam negara kesatuan ada pada Pemerintah Pusat,
Pemerintah Pusat melimpahkan kepada Pemerintah daerah melalui
asas desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah. Landasan
konstitusional otonomi daerah ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945.
Di dalam format negara kesatuan, konstruksi otonomi daerah
berdasarkan Pasal 18 ayat (1), seharusnya diletakkan pada propinsi,
kemudian propinsi melimpahkan ke kabupaten/kota. Ketentuan
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, otonomi ditempatkan pada
kabupaten/kota. Hal yang demikian menyebabkan tidak ada
hubungan antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/kota. Karena kabupaten/kota menganggap dirinya
sebagai penerima otonomi, yang tidak ada hubungannya dengan
provinsi, sehingga kabupaten/kota juga kurang responsif kepada
provinsi dalam mengkoordinasikan pembangunan di daerah. Dalam
keadaan yang demikian posisi gubernur sebagai perangkat pusat di
daerah kurang efektif.
Akibatnya tidak ada koordinasi antara provinsi dan
kabupaten/kota dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, maka
kemudian Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 diganti dengan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, tetapi tidak menentukan
otonomi berada dimana, apakah di provinsi atau kabupaten/kota,
sehingga jiwa Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dalam praktek
pemerintahan daerah masih berlaku. Hal inilah yang menjadi alasan
untuk memilih judul penelitian ”Kajian Hubungan Pemerintah
Pusat-Daerah dan Implikasinya terhadap Hubungan Keuangan,
Pelayanan Umum, Pemanfatan Sumber Daya Alam, dan Sumber
daya Ekonomi”. Oleh karena substansi lapangan penelitian ini
anggaran yang dialokasikan terbatas, maka penelitian mengenai
hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi yang dilakukuan berkaitan dengan
penelusuran dan menginventarisasi data yang dikaitkan dengan
fakta-fakta di lapangan, tim peneliti memfokuskan pada penelitian
pendapatan PT Angkasa Pura I Ngurah Rai Bali.
1.2 Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada paparan latar belakang tersebut di atas,
dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam
penelitian ini, yakni sebagai berikut :
a. Apakah konsep letak titik berat otonomi pada negara kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan landasan Pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pada
propinsi ataukah berjenjang terlebih dahulu melalui propinsi
kemudian propinsi melimpahkan ke kabupaten/kota ?
b. Apakah implikasi titik berat otonomi diletakkan pada propinsi
dalam menata hubungan keuangan, pelayanan umum,
c. Apakah konsep bentuk aturan hukum supaya Pemerintah
Daerah Propinsi Bali memiliki kewenangan yang lebih besar
dalam ikut mengoptimalkan kontribusi Bandara Ngurah Rai Bali
terhadap pembangunan Daerah Bali?
1.3 Tujuan Penelitian
Implementasi Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum
Amandemen, telah melahirkan bebagai Undang-Undang yaitu:
Undang-Undang No. 1 Tahun 1945, Undang-Undang No. 22 Tahun
1948, Undang-Undang No. 18 tahun 1965, Undang-Undang No. 5
Tahun 1974 dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Kemudian
setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah melahirkan
Undang No. 32 Tahun 2004, demikian juga
Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang dilahirkan di bawah naungan
UUDS 1950.
Hubungan pemerintah pusat-daerah seharusnya sudah dapat
diformat secara konsisten dan tidak berubah-ubah. Namun sampai
saat ini dapat dikatakan bahwa Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
masih mencari format dan inilah yang membuat transformasi
dengan hal itu tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji secara
cermat dari berbagai sudut pandang pada tingkatan mana sebaiknya
otonomi daerah diletakkan, sehingga negara kesatuan memiliki pola
yang lebih statika lekstar dinamika.
1.4 Metode Pembahasan
Dalam melakukan penelitian hubungan antara Pemerintah
Pusat dan daerah peneliti menggunakan pendekatan interdisipliner
yang normatif terapan. Penelusuran terhadap Pasal 18
Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen telah dijabarkan dalam
berbagai Undang-Undang yang masih berlaku dan yang pernah
diberlakukan (Undang-Undang No.1 Tahun 1945, Undang-Undang
No. 22 Tahun 1948, Undang No.18 Tahun 1965,
Undang-Undang No.5 Tahun 1974, Undang-Undang-Undang-Undang No. 22 Tahun 1999.
Kemudian setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945
dibentuklah Undang-Undang No.32 Tahun 2004), selalu mengalami
perubahan (bolak-balik) dalam menata hubungan antara Pemerintah
Pusat dengan Pemerintah Daerah dari desentralisasi ke sentralisasi
Dari kenyataan tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah
praktek dari berbagai Undang-Undang tersebut dapat
menumbuhkan pola hubungan antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah dan hubungan antara propinsi dengan
Pemerintah Kabupaten/Kota dalam konteks spirit Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Kesemuanya itu tergantung bagaimana
Pemerintah Pusat mempraktekkan hubungan pusat–daerah. Untuk
tingkat hubungan propinsi dan kabupaten/kota, tergantung letak
otonomi, seperti Undang 22 Tahun 1999 dan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, otonomi pada kabupaten/kota,
sedangkan propinsi mengurus kewenangan lintas kabupaten/kota.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan interdisipliner, yaitu penelitian hukum yang didukung
dengan penelitian non hukum. Mengkaji hukum yang didukung
oleh ilmu non hukum, seperti politik, ekonomi, dan sosial budaya
dalam rangka menemukan prinsip, makna, hakekat dan pola
hubungan pusat-daerah, hubungan propinsi dan kabupaten/kota.
1.5 Ruang Lingkup Kegiatan
1) Pengumpulan data pendahuluan dan peninjauan aspek
2) Observasi lapangan dan mengadakan audensi dengan pihak
manajemen PT. Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai, Bali
sesuai dengan sasaran penelitian yang telah ditetapkan.
3) Mengindentifikasi, menginvetarisir dan menganalisis data
yang diperoleh.
4) Melakukan Focus Discussion Group dengan pemangku
kebijakan (stakeholders), yaitu anggota Dewan Perwakilan
Daerah yang berasal dari Bali, Pemerintah Daerah Bali,
anggota DPRD Bali, Pemerintah Daerah Kabupaten Badung,
anggota DPRD Kabupaten Badung, dan pihak PT. Angkasa
Pura I Bandara Ngurah Rai.
5) Menyelesaikan seluruh laporan yang harus disusun dan
diserahkan.
6) Melakukan seminar hasil penelitian.
1.6 Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian Laporan Pendahuluan terdiri dari lima
Bab meliputi:
BAB I PENDAHULUAN
Menguraikan mengenai latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, lingkup kegiatan, serta sistematika
BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH
Menguraikan gambaran umum wilayah penelitian yang
terdiri dari letak geografis dan batas wilayah, kependudukan,
kawasan pariwisata dan objek serta daya tarik wisata khusus, sektor
pariwisata dan pemerataan hasil pembangunan, dan ketimpangan
kapasitas fiskal antar kabupaten/kota.
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini dibahas mengenai konsep letak titik berat
otonomi pada Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan
Pasal 18 Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia 1945,
implikasi titik berat otonomi iiletakkan pada propinsi, konsep
bentuk hukum/kebijakan agar Pemerintah Daerah Bali mendapat
bagian sumber penerimaan pembangunan dari Bandara Ngurah Rai
Bali, serta aspek ekonomi dan keuangan.
BAB IV PENUTUP
Pada Bab ini diuraikan mengenai simpulan berdasarkan
uraian-uraian sebelumnya, disertai dengan saran dan rekomendasi
BAB II
GAMBARAN UMUM PROPINSI BALI
2.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah
Provinsi Bali dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 64,
Tahun 1958. Provinsi Bali terdiri dari beberapa pulau, yaitu Pulau
Bali sebagai pulau terbesar dan beberapa pulau kecil, seperti Pulau
Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Ceningan, Pulau
Serangan, dan Pulau Menjangan. Secara geografis Provinsi Bali
terletak pada posisi 08o--03’ 40”---08o 50’ 48” Lintang Selatandan 114o
25’23”–- 15o 42’ 40” Bujur Timur. Batas-batas wilayah Provinsi Bali
(Gambar 2.1) adalah:
• Sebelah utara Laut Bali,
• Sebelah timur Selat Lombok,
• Sebelah selatan Samudra Indonesia
• Sebelah barat Selat Bali
Luas wilayah Provinsi Bali adalah 5.636,66 km2 atau 0,29%
luas wilayah Republik Indonesia. Secara administratif Propinsi Bali
terbagi atas 9 kabupaten/kota, 59 kecamatan, dan 714
desa/kelurahan. Adapun nama kabupaten/kota dan luas wilayah
Gambar 2.1
KABUPAT EN T ABANAN KABUPATEN JEMBRANA
Peta dan Letak Geografis Propinsi Bali
Tabel 2.1.
Luas Wilayah Menurut Kabupaten/Kota, Jumlah Kecamatan, Jumlah Desa/Kelurahan di Propinsi Bali, Tahun 2009
No Kabupaten/Kota Luas Wilayah
(km2)
2.2 Kependudukan
2.2.1 Jumlah dan Kepadatan Penduduk
Berdasarkan evaluasi hasil regrestrasi penduduk tahun 2008
jumlah penduduk Provinsi Bali tahun 2008 adalah 3.409.845
meningkat dari 3.372.880 orang pada tahun 2007 atau mengalami
pertumbuhan 1,096 persen. Angka pertumbuhan penduduk tahun
2007 ke tahun 2008 lebih rendah jika dibandingkan dengan periode
2006-2007 yang tercatat sebesar 1,89 persen. Sebaran jumlah
penduduk menurut kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun 2009
disajikan dalam Tabel 2.2.
Tabel 2.2
Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Rasio Kelamin dan Kepadatan Penduduk Per Kabupaten/Kota di Propinsi Bali, Tahun 2009
Penduduk tahun 2004 (jiwa) No
(km2) Laki-laki Perempuan
Laki2 &
1 Jembrana 841,80 133.622 134.647 268.269 99,24 319
2 Tabanan 839,33 206.712 210.031 416.743 98,42 497
3 Badung 418,52 192.914 190.966 383.880 101,02 917
4 Gianyar 368,00 197.049 197.706 394.755 99,67 1.073
5 Klungkung 315,00 86.849 89.973 176.822 96,53 561
6 Bangli 520,81 106.637 107.171 213.808 99,50 411
7 Karangasem 839,54 215.283 214.968 430.251 100,15 512
8 Buleleng 1365,88 325.678 324.559 650.237 100,34 476
9 Denpasar 127,78 245.150 229.930 475.080 106,62 3.718
Jumlah 5.636,66 1.709.894 1.699.951 3.409.845 100,58 605
Kabupaten Buleleng merupakan wilayah yang mempunyai
penduduk paling banyak pada tahun 2008, yaitu 650.237 orang.
Kota Denpasar sebagai ibukota Propinsi Bali berada di urutan di
urutan kedua dengan jumlah 475.080 orang. Sementara itu,
Kabupaten Klungkung mempunyai penduduk yang paling sedikit,
yaitu 176.822 orang.
Kepadatan penduduk Provinsi Bali pada tahun 2008 rata-rata
605 orang/km2, meningkat dari 598 orang/km2 pada tahun 2007.
Kota Denpasar masih merupakan wilayah paling padat
penduduknya di Bali yaitu mencapai 3.718 orang/km2, sedangkan
yang paling rendah kepadatannya adalah Kabupaten Jembrana,
yaitu sebesar 319 orang/km2. Kabupaten lainnya yang relatif padat
jumlah penduduknya adalah Kabupaten Gianyar, yaitu mencapai
1.073 orang/km2.
2.2.2 Laju Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan penduduk Provinsi Bali selama periode 1980
-2008 cenderung terus mengalami peningkatan. Pada periode tahun
1980--1990 laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,18 persen
pertahun, meningkat sedikit pada periode 1990—2000, yaitu sebesar
periode 2000--2008 kembali mengalami peningkatan menjadi 1,04
persen, seperti yang disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3
Laju Pertumbuhan Penduduk di propinsi Bali Menurut Kabupaten/Kota pada Tahun 1980 – 2008
Pertumbuhan Penduduk rata per tahun (%)
No Kabupaten/ Kota
1980--1990 1990--2000 2000—2008
1 Jembrana 0,60 0,60 1,97
Sumber : SP 1980, SP 1990, SP 2000 dan 2008 Hasil Registrasi Penduduk Catatan *) pada periode tersebut Kota Denpasar merupakan wilayah Kab.
Badung
Sejak tahun 1990 sampai dengan 2000 Kota Denpasar
mempunyai laju pertumbuhan penduduk paling tinggi di Bali,
tetapi pada periode 2000 - 2008 laju pertumbuhan penduduk di Kota
Denpasar ternyata paling rendah, bahkan mengalami pertumbuhan
minus, yaitu -1,35 persen. Demikian juga halnya Kabupaten Badung,
selama tahun 1980 – 1990 mempunyai tingkat pertumbuhan yang
paling tinggi, dan pada periode tahun 1990 – 2000 mempunyai
periode tahun 2000 – 2008 mempunyai tingkat pertumbuhan
penduduk relatif rendah. Hal ini disebabkan terpuruknya sektor
pariwisata yang merupakan sektor unggulan Kabupaten Badung
dan Kota Denpasar sejak Tragedi Bom Kuta pada bulan Oktober
2002. Kondisi tersebut mengakibatkan sebagian penduduk di Kota
Denpasar kehilangan mata pencaharian sehingga melakukan
migrasi ke daerah kabupaten lainnya, seperti ditunjukkan pula oleh
tingginya laju pertumbuhan penduduk di kabupaten lainnya selama
periode tahun 2000 - 2008, seperti Kabupaten Buleleng,
Karangasem, Jembrana, dan Tabanan. 7,24 persen.
2.3 Kawasan Pariwisata dan Objek serta Daya Tarik Wisata
Khusus
Di Provinsi Bali ditetapkan 15 kawasan pariwisata terbuka
seluas 99.226 ha (18,0 persen luas daerah Bali) yang di dalamnya
bisa terdapat kawasan pariwisata yang bersifat tertutup dan berada
di bawah satu badan pengelola. Luas daerah efektif pariwisata
untuk akomodasi dan fasilitas penunjang kepariwisataan adalah
12.497 ha (2,2 persen luas daerah Bali). Kawasan-kawasan pariwisata
terbuka tersebut tersebar di berbagai wilayah kabupaten/kota,
(a) Kabupaten Jembrana: Kawasan Pariwisata Candikesuma dan
Kawasan Pariwisata Perancak;
(b)Kabupaten Tabanan: Kawasan Pariwisata Soka;
(c) Kota Denpasar: Kawasan Pariwisata Sanur;
(d)Kabupaten Badung: Kawasan Pariwisata Kuta, Kawasan
Pariwisata Tuban, dan Kawasan Pariwisata Nusa Dua;
(e) Kabupaten Gianyar: Kawaan Pariwisata Ubud dan Kawasan
Pariwisata Lebih;
(f) Kabupaten Klungkung: Kawasan Pariwisata Nusa Penida;
(g)Kabupaten Karangasem: Kawasan Pariwisata Candidasa,
Kawasan Pariwisata Ujung, dan Kawasan Pariwisata Tulamben;
(h)Kabupaten Buleleng: Kawasan Pariwisata Kalibukbuk dan
Kawasan Pariwisata Batu Ampar.
Selain itu, terdapat beberapa Objek dan Daya Tarik Wisata
Khusus (ODTWK) dan taman wisata alam. Objek dan Daya Tarik
Wisata Khusus merupakan segala sesuatu yang menjadi sasaran
wisata dengan kekhususan pengembangan sarana dan prasarana.
Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama
dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Taman wisata
alam di Bali luasnya 4.154,4 ha, yang tersebar pada beberapa
2.4 Sektor Pariwisata dan Pemerataan Hasil Pembangunan
Untuk membandingkan keberhasilan pembangunan
ekonomi pada suatu wilayah, pendapatan per kapita sering
digunakan sebagai indikatornya. Meskipun pendapatan perkita
mempunyai banyak kelemahan, apabila digunakan sebagai
indikator keberhasilan pembangunan, kurang tersedianya data
lainnya dan wilayah yang relatif berdekatan sehingga perbedaan
biaya hidup antarkabupaten relatif kecil, maka variabel tersebut
sering digunakan sebagai indikator keberhasilan pembangunan
pada suatu wilayah. Di Provinsi Bali distribusi pendapatan per
kapita penduduk di kabupaten/kota relatif tidak merata, seperti
yang ditampilkan pada Tabel 2.4.
Ketidakmerataan pendapatan tersebut disebabkan oleh
sumber daya yang dimiliki seperti alam, semberdaya manusia,
modal, dan teknologi, baik kualitas maupun kuantitasnya, tidak
merata. Salah satu faktor yang menyebabkan ketidakmerataan
pendapatan per kapita penduduk Bali karena potensi dan
pengembangan sektor pariwisata lebih banyak terkonsentrasi di
wilayah Bali Selatan, yaitu Kabupaten Badung, Kota Denpasar,
Tabel 2.4
Pendapatan Per Kapita dan Andil Sektor Perdagangan dan Restoran pada Kabupaten/Kota di propinsi Bali, Tahun 2001 dan 2008
Pendapatan Per kapita* Andil PHR terhadap PDRB Kabupaten/
Kota 2001 2008 Pertum –
buhan (%) 2001 2008
Perubah-an (%)
Jembrana 5.015 6.191 3,35 24,55 24,35 -0,20
Tabanan 4.119 5.390 4,41 22,20 22,15 -0,05
Buleleng 3.830 4.921 4,07 25,30 25,11 -0,19
Denpasar 6.254 8.398 4,90 34,11 35,71 1,60
Bali 5.640 7.082 3,65 29,94 28,96 -0,98
Keterangan : *Dalam Harga Konstan Tahun 2000 Sumber : BPS Provinsi Bali Tahun 2006 dan 2009
Berdasarkan Tabel 2.4 dapat dilihat bahwa pendapatan per
kapita tertinggi pada tahun 2001 dan tahun 2008 dimiliki oleh
Kabupaten Badung, sedangkan yang terendah Kabupaten
Karangasem. Tinggi rendahnya pendapatan per kapita sangat
berkaitan dengan andil dari sektor pariwisata yang ditunjukkan oleh
persentase sumbangan subsektor perdagangan, hotel, dan restoran
terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tiap-tiap
subsektor perdagangan, hotel, dan restoran yang tinggi seperti
Kabupaten Badung, Gianyar, dan Kota Denpasar cendrung memiliki
pendapatan per kapita yang lebih tinggi dalam hal ini di atas
median pendapatan per kapita kabupaten/kota, baik pada tahun
2001 maupun tahun 2008. Sebaliknya, kabupaten/kota yang
mempunyai andil subsektor perdagangan, hotel, dan restoran yang
rendah cenderung memiliki pendapatan per kapita yang rendah dari
median, seperti Kabupaten Karangasem dan Tabanan.
2.5Ketimpangan Kapasitas Fiskal Antar Kabupaten/Kota
Sebagai akibat tidak meratanya sumberdaya alam dan
sumberdaya ekonomi kemampuan kabupaten/kota di Propinsi Bali
dalam menghimpun Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat
timpang, seperti yang disajikan pada Tebel 2.5
Tabel 2.5
Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Bali, Tahun Anggaran 2001 – 2006 (Rp juta)
No Kab/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006
1 Buleleng 14.922 16.162 18.769 19.290 22.874 26.037
2 Jembrana 5.540 11.555 11.056 9.785 9.916 12.770
3 Tabanan 22.246 33.107 34.574 43.359 42.403 44.224
4 Badung 355.375 310.666 221.438 332.317 388.583 362.125
5 Gianyar 50.108 54.386 37.132 49.739 55.007 67.372
6 Bangli 5.049 6.000 7.962 7.395 7.693 9.413
7 Klungkung 9.837 11.250 12.234 11.913 16.374 18.983
8 Kr.Asem 18.560 21.124 19.513 19.763 23.910 28.840
Total 594.839 556.013 451.227 584.289 683.062 695.914
Sumber: Biro Keuangan Setda Propinsi Bali, 2007
Berdasarkan Tabel 2.5 dapat dilihat bahwa penerimaan PAD
kabupaten/kota di Propinsi Bali pada tahun 2001 – 2006 sangat
tidak merata. Halim (2001) mengatakan bahwa kemampuan suatu
daerah untuk menggali pendapatan asli daerah antara lain sangat
ditentukan oleh potensi yang dimiliki suatu wilayah, seperti
pendapatan dan juga kontribusi sektor-sektor ekonomi terhadap
PDRB, di samping struktur sosial politik dan kelembagaan,
kemampuan atau kecakapan administratif, kejujuran dan integritas
dari semua elemen perpajakan daerah. Kondisi ini juga terjadi di
Bali, misalnya Kabupaten Badung, Kota Denpasar, Kabupaten
Gianyar, dan Tabanan yang merupakan wilayah-wilayah yang
banyak terdapat hotel dan restoran, sehingga menerima pajak
daerah yang lebih tinggi di antara kabupaten/kota di Propinsi Bali.
Sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia, seluruh
kabupaten/kota di Propinsi Bali, yaitu yang berjumlah 9 sejak
tahun 2001 juga melaksanakan otonomi daerah. Peneriman daerah,
baik yang bersumber dari PAD dan dana perimbangan
kabupaten/kota di Propinsi Bali pada tahun anggaran 2005 seperti
Peningkatan penerimaan daerah seperti yang disajikan pada
Tabel 2.6 lebih banyak diakibatkan oleh meningkatnya bantuan
pemerintah pusat berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan juga
Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU adalah dana yang berseumber
dari APBN yang dialokasikan untuk tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka desentralisasi, sedangkan DAK juga
bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu
dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang
merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Tabel 2.6
Total Penerimaan Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota di Propinsi Bali Tahun Anggaran 2001 – 2006 (Rp juta)
No Kab/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1 Buleleng 246.257 291.239 383.341 342.268 376.914 552.767 2 Jembrana 145.928 175.690 197.832 208.032 221.904 346.454 3 Tabanan 209.373 276.360 308.759 318.841 343.436 464.089 4 Badung 614.574 515.957 441.688 573.946 651.740 663.449 5 Gianyar 302.025 288.786 312.128 298.649 309.949 466.547 6 Bangli 110.992 142.421 176.449 181.941 204.142 296.978 7 Klungkung 124.772 149.681 174.582 184.094 213.423 320.642 8 Kr.Asem 182.512 217.630 243.758 253.273 283.281 407.154 9 Denpasar 347.760 330.865 340.487 349.335 414.961 501.056 Total 2.284.193 2.388.628 2.579.023 2.710.379 3.019.750 4.019.135
Sumber: Biro Keuangan Setda Propinsi Bali, 2007
Kemampuan suatu daerah dalam melaksanakan otonomi
daerah dapat dilihat dari besarnya derajat desentralisasi fiskal (DDF)
kemampuan keuangan daerah. Selanjutnya kemampuan keuangan
daerah dapat dilihat dari rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD)
terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),
khususnya terhadap total pengeluaran daerah (TPD). Kemandirian
keuangan daerah dengan menggunakan Derajat Desentralisasi
Fiskal (DDF) terhadap kabupaten/kota di Provinsi Bali pada tahun
2001, 2003 dan 2005 disajikan dalam Table 2.7.
Tabel 2.7
Rasio Kemandirian Pemerintah Kabupaten/kota di Provisni Bali, Tahun Anggaran 2001 - 2006 (%)
No Kab/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rata-rata
1 Buleleng 6,18 6,49 4,90 4,90 6,48 5,03 5,66
Rata-rata 19,67 17,38 14,85 15,95 17,40 14,81 16,68
Sumber: Biro Keuangan Setda Propinsi Bali, 2007 (diolah)
Apabila diperhatikan Tabel 2.7 dapat diketahui bahwa
kemandirian keuangan daerah kabupaten/kota di Propinsi Bali
selama tahun 2001 – 2006 sangat timpang. Hal ini tentu akan
berdampak adanya ketimpangan pelayanan kepada masyarakat,
Manusia (IPM) seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Berkaitan dengan hal itu diperlukan intervensi Pemerintah Propinsi
untuk ikut menangani ketimpangan tersebut. Untuk dapat
menyediakan pelayanan yang lebih baik, pemerintah memerlukan
dana. Kemampuan keuangan daerah ditentukan oleh ketersediaan
sumber-sumber penerimaan (pajak atau retribusi) dan tingkat hasil
dari objek pajak dan retribusi tersebut. Tingkat hasil tersebut
ditentukan oleh sejauh mana sumber pajak atau retribusi (tax bases)
responsif terhadap kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi obyek
pengeluaran seperti inflasi, pertumbuhan penduduk dan
pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan berpengaruh
terhadap tingkat pelayanan, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif. (Devey, dalam Suwandi, 2000).
Pada umumnya Pemda-pemda di negara-negara berkembang
kurang mempunyai akses kepada sumber-sumber pendapatan yang
lukruatif seperti pajak pendapatan, pajak penjualan, atau pajak
penghasilan dari perdagangan internasional. Mereka hanya
diberikan akses dari pajak-pajak kecil, yang tidak ekonomis untuk
dipungut, misalnya pajak anjing, pajak sepeda, pajak kuburan, dan
kepada Pemerintah Pusat untuk merevisi undang-undang untuk
memperbesar hak bagi bagi Pemerintah Propinsi.
BAB III
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
3.1 Konsep Letak Titik Berat Otonomi Pada Negara Kesatuan
Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang
dasar Negara Republik Indonesia 1945
Bercermin dan belajar dari latar belakang sejarah yakni
dengan silih bergantinya Undang-Undang Pemerintahan Daerah
selama ini, belum menunjukan suatu konsep yang mengarah kepada
hubungan Pemerintah Pusat-Daerah dalam format Negara Kesatuan
dalam asas desentralisasi yang benar. Tetapi, dari praktek berbagai
Undang-Undang yang masih berlaku Undang-Undang No. 1 Tahun
1945, Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, Undang-Undang No. 18
tahun 1965, Undang No. 5 Tahun 1974 dan
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Kemudian setelah amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 telah melahirkan Undang-Undang No.
32 Tahun 2004, selalu mengalami bolak-balik dalam hubungan
Pusat-Daerah dari desentralisasi ke sntralisasi dan sebaliknya,
No. 32 Tahun 2004, merambah hubungan Pusat- Daerah seperti
dalam konteks negara Federal.
Model hubungan kerja perangkat Pemerintah Pusat, tidak
seiring dengan hubungan kerja perangkat Pemerintah Daerah.
Pemerintah Pusat punya desain tersendiri dan daerah punya desain
tersendiri, sehingga hubungan kerja secara fungsional antara Pusat
dan daerah sering tidak sinkron. Kalau pun, memang tidak harus
sama, tetapi harus mengacu kepada fungsi dari instansi-instansi
antara pusat dan daerah, sehingga lebih mudah untuk koordinasi
dalam pelaksanaan pembangunan dan termasuk pemerintahan.
Dengan demikian, pusat dan daerah memiliki visi yang sama untuk
mewujudkan cita-cita Negara sebagaimana diamanatkan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 alenia ke-4.
Target yang ingin dicapai dari penelitian ini, adalah :
1) Ingin meletakan kembali nalar yuridis hubungan pemerintah
Pusat- Daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak
kearah dan mengambil unsur Federal, yang selama dua
Undang (Undang No. 22 Tahun 1999 dan
2) Memformat kembali letak otonomi ada pada Provinsidan
otonomi pada kabupaten/kota merupakan pelimpahan dari
provinsi.
3) pembentukan lembaga-lembaga di daerah harus seirama dengan
beban tugas dan wewenang dan secara fungsional merupakan
kelanjutan, walau pun tidak ada hubunagnnya secara struktural.
Banyak buku, tesis, dan disertasi yang telah mengkaji sistem
pemerintahan daerah dari waktu ke waktu dan dari berbagai segi,
tetapi selalu terjebak dalam pola Undang-Undang Pemerintahan
Daerah tersebut dan boleh dikatakan tidak pernah ada yang
mengkaji hubungan Pusat-Daerah dalam konteks Negara Kesatuan
sebagai titik awal pemencaran kekuasaan pemerintah dan
pembangunan. Seberapa besar dan luas kajian pustaka dapat dilihat
dari daftar pustaka, namun hanya sebagian kecil yang diangkat
pada penelitian ini.
Ada beberapa tulisan yang perlu dipaparkan sebagai titik
awal pencapaian tujuan penelitian ini dan untuk berikutnya
dikembangkan dan menghasilkan sebagai apa yang diharapkan.
Harapan yang ingin dicapai sangat fundamental dalam menata
bias dai Negara Federal, kalaupun dulu para the founding fathers ada yang menghendaki Indonesia memilih Negara Federal.
Adapun hasil penjelahan studi pustaka (lihat daftar pustaka)
dan sebagian dari pustaka tersebut yang akan diuraikan, berikut ini :
1) Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar
1945, jilid I, II dan III, yang diterbitkan Prapantja, Jakarta, tahun
1960. Meneliti sejarah pembahasan Undang-Undang Dasar 1945,
khususnya yang menyangkut makna, hakikat dan substansi
hubungan Pusat-Daerah dari segi ide dasar dan filosofis. Para the
founding fathers dan sesuai dengan jiwa pasal Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum Amandemen adalah menghendaki
keutuhan budaya suku bangsa yang ada dalam Negara Kesatuan,
maka dikehendaki otonomi apa adanya provinsi dan provinsi
melimpahkan sebgai otonomi trersebut kepada Kabupaten/Kota,
tetapi ide dasar tersebut kurang ditransformasikan oleh berbagai
Undang-Undang sebagai normatifasi Pasal 18 Undang-Undang
Dasar 1945 sebelum Amandemen tersebut.
2) Disertasi, Ateng Safruddin; Pengaturan Koordinasi Pemerintah di
Daerah, diterbitkan tarsito, Bandung, tahun 1976. Ateng
pengalaman sebagai birokrat dan ia menemukan banyak kendala
dalam koordinasi dengan berbagai instansi di daerah, dari
pengalaman tersebut, maka Ateng Syafruddin mengangkat
disertasi dengan judul: Pengaturan Koordinasi Pemerintah di
Daerah. Kerumitan koordinasi pada pemerintah daerah dengan
keluarnya Undang-Undang No.22 tahun 1999, menunjukkan
kerumitan soal koordinasi pembangunan yang dilakukan oleh
Gubernur terhadap Kabupaten/Kota. Dengan demikian pada
saat sekarang perlu ditera ulang soal koordinasi pemerintah
daerah sebagai implikasi terbukanya kran demokrasi.
3) Disertasi, M. Solly Lubis, Perkembangan Garis Politik dan
Perundang-Undangan Pemerintah daerah, diterbitkan Alumni,
Bandung, tahun 1983. Solly lubis adalah seorang dosen di
Universitas Sumatera Utara, dari pengalaman mengajar mata
kuliah Pemerintah Daerah dan melihat dari sejarah
bergantiannya Undang-Undang Pemerintah Daerah, yang sering
berubah-ubah, sedangkan payung landasan konsitusinalnya
tidak berubah yaitu Pasal 18 Undang-Undang Dasar yang
Dalam berbagai Undang-Undang pemerintahn daerah yang silih
berganti tersebut, ditemukan berbagai prinsip :
a. Garis politik otonomi yang nyata dan bertanggungjawab;
b. Otonomi yang riil dan seluas-luasnya;
c. Asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan
asas dekonsentrasi, ini berarti hubungan pusat-daerah
ditarik ke arah sentralisasi; dan
d. Otonomi diberikan untuk hasilguna dan daya guna
pelaksanaan pemerintahan daerah.
4) Disertasi Bagir Manan yang berjudul ”Hubungan Antara Pusat
dan Daerah Menurut UUD 1945”, diterbitkan Sinar harapan,
Jakarta, tahun 1994. Menurut Bagir Manan hubungan
pusat-daerah masih belum serasi selama ini, dan itu diperintahkan oleh
GBHN sebagai salah satu sasaran pembangunan, maka oleh
sebab itu beberapa pertanyaan yang harus diteliti yaitu meliputi :
a) Dapatkah ketentuan hubungan pusat dan daerah diatur
secara khusus atau ekslusif, karena tidak ada aturan yang
b) Hubungan pusat dan daerah tidak hanya menyangkut
masalah keuangan, tetapi juga tugas, wewenang dan
tanggungjawab penyelenggaraan urusan pemerintah.
c) Hubungan pusat-daerah juga hubungan pengawasan,
sebagai akibat sistem urusan rumah tangga dan tugas
pembantuan.
d) Oleh sebab itu sebagai mana menciptakan keserasian
hubungan pusat-daerah dalam Negara Kesatuan Indonesia.
e) Pembagian tugas, wewenang, dan tanggungjawab biasanya
diatur dalam berbagai peraturan, sesuai dengan sistem
urusan rumah tangga.
f) Dalam rangka mewujudkan konsepsi negara kesejahteraan
yang membawa perubahan ruanglingkup kewenangan,
tugas dan tanggungjawab pemerintah secara kualitatif dan
kuantitatif.
5) Disertasi Juanda yang berjudul ”Hukum Pemerintahan Daerah
Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala
Daerah”, diterbitkan Alumni, Bandung, tahun 2004. Juanda
mengkaji pasamh surut hubungan pusat dan daerah antara
keberlakuan dari berbagai Undang-Undang Pemerintahan
Daerah yaitu :
a) Undang-Undang No.1 tahun 1945, Organ yang ada di daerah
adalah Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD), Badan
Eksekutif dan Kepala Daerah sebagai pemerintahan daerah.
Hubungan kewenangan antara kedua lembaga yang
dimaksud masih tampak berat sebelah yaitu kewenangan
kepala daerah masih sangat dominan, karena sebagai
pimpinan BPRD dalam membuat peraturan daerah, juga
sebagai pimpinan eksekutif yang menjalankan pemerintah.
b) Undang-Undang No.22 tahun 1948, ada dua institusi yaitu
DPRD dan Dewan Pertimbangan daerah (DPD) serta Kepala
Daerah. Prinsip yang terkandung dalam Undang-Undang ini,
cendrung mengikuti format pertanggungjawaban yang
dilakukan oleh pemerintah pusat dengan sistem Parlementer.
Hal ini dapat dilihat bahwa DPD sebagai pelaksana
pemerintahan sehari-hari dan bertanggungjawab kepada
DPRD dan dapat diberhentikan oleh DPRD. Kolam konteks
sementara Kepala Daerah pada saat itu hanya alat pengawas
pemerintah Pusat.
c) Penetapan Presiden No.6 tahun 1959 dan Penpres No.5 tahun
1960, setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, mengatur struktur
pemerintahan daerah yang terdiri dari Kepala Daerah dan
DPRD, Kepala Daerah berfungsi ganda, yaitu sebagai kepala
daerah otonom dan juga wakil pusat di daerah. Meskipun
DPRD tidak bisa menjatuhkan kepala daerah, kepala daerah
otonom bertanggungjawab kepada kepada pemerintah pusat.
Dalam kapasitas sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah
diberi wewenang untuk menangguhkan keputusan DPRD
dan Keputusaan – keputusan DPRD tingkat bawahannya,
apabila dipandang bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kepala
daerah mempunyai kedudukan yang lebih kuat dibandingkan
DPRD.
6) Pasang surut otonomi daerah Sketsa Perjalanan 100 tahun,
Soetandyo Wignosubroto (et.al), diterbitkan Insiue for Local
Developmen, Yayasan Ifa, Jakarta, 2005. Buku ini mengkaji secara
format negara kesatuan, namun larut arus Undang-Undang yang
dipengaruhi oleh berbagai kepentingan, khususnya kepentingan
yang berkuasa dan kelompok tertentu. Adapun fokus kajiannya
yaitu :
a. Sentralisasi dan desentralisasi pemerintahan masa pra
kemerdekaan (1903-1945)
b. Otonomi daerah masa kemerdekaan, hingga demokrasi
terpimpin (1945-1965).
c. Desentralisasi dan otonomi daerah masa Orde baru
(1966-1998).
d. Desentralisasi dan otonomi daerah masa reformasi
(1999-204)
e. Dimensi Hubungan daerah dan kewenangan
pusat-daerah.
Berdasarkan pemikiran dalam formulasi Pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang
menentukan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi
atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas
Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota
Undang-Undang. Kemudian dikaitkan dengan pemikiran-pemikiran yang
dikemukakan oleh para pakar tersebut di atas, maka dapat
dikemukakan bahwa format penataan hubungan pusat – daerah
seharusnya diletakkan dalam konteks spirit Negara Kesatuan seperti
yang diformulasikan pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945, yaitu Otonomi diletakkan pada
daerah Propinsi. Selanjutnya, propinsilah yang mendelegasikan
kepada kabupaten/kota.
3.2 Implikasi Titik Berat Otonomi Diletakkan pada Propinsi
Memperbaiki hubungan Pusat-daerah dengan meletakkan
otonomi pada Propinsi, akan berimplikasi pada penataan hubungan
pusat-daerah pada konsep kewenangan, hubungan keuangan,
pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber
ekonomi. Semua itu arahnya pada pemerataan, keadilan dengan
menjungjung kedaulatan rakyat.Khususnya propinsi akan dapat
menepatkan posisi kewenangannya secara adil dan demokratis
dengan kabupaten/kota.
Berkaitan dengan analisis tersebut ke depan harus mendapat
No. 33 tahun 2004, yang berkaitan dengan otonomi dan sumber
alam dan sumber ekonomi harus diamandemen. Dengan demikian,
maka otonomi diletakan pada propinsi, demikian juga pemerintah
daerah harus memperoleh kontrinusi yang memadai dari sumber
daya alam dan sumber ekonomi yang dihasilkan di daerah tersebut.
Sumber daya alam keberadaannya sangat terbatas, artinya tidak
mungkin secara teknologi untuk diremajakan, sedangkan sumber
ekonomi dengan dukungan teknologi akan sangat menjanjikan dan
akan berkembang terus seperti : Pendapatan pada Bandara Ngurah
Rai Bali.
3.3 Konsep Bentuk Hukum/Kebijakan Agar Pemerintah Daerah
Bali Mendapat Bagian Sumber Penerimaan Pembangunan
dari Bandara Ngurah Rai Bali
Untuk memperoleh masukan dalam rangka mencari bentuk
hukum/kebijakan agar Pemerintah Daerah Propinsi Bali
mendapatkan bagian yang lebih besar sumber penerimaan
pembangunan dari Bandara Ngurah Rai Bali, tim Peneliti
Universitas Udayana melakukan audiensi sebanyak dua kali ke PT
Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai Bali yaitu, pertama 1 4 Juli
diterima dengan sangat terbuka oleh General Manager dan
jajarannya. Semua informasi dan data yang berkaitan dengan
Bandara Ngurah Rai bisa diakses, malahan sampai rencana
pengembangan Bandara Ngurah Rai menjadi Bandara yang bertaraf
internasional yang akan mampu menampung penumpang 20 – 25
juta per tahun.
Kontribusi pendapatan PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah
Rai dengan Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota di Bali adalah
merupakan persoalan kewenangan hubungan antara Pemerintah
Pusat dengan Pemerintah Daerah. Sebagai Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai menyetor
keuntungannya kepada pemerintah pusat sesuai Undang-Undang
yang berlaku. Dengan demikian dapat dipertegas bahwa PT
Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai melaksanakan kewajibannya
sesuai Undang-Undang yang berlaku, berapapun perimbangannya
tentu akan dibayarkan. Jadi persoalan ini adalah menyangkut
legislasi dalam bidang format hubungan Pusat – Daerah.
Berdasarkan informasi awal keuntungan bersih PT.Angkasa
Pura I Bandara Ngurah Rai Bali tahun 2006 Rp.234.096.832.003,-
untuk legislasi yang dapat digunakan sebagai dasar penataan
perimbangan pendapatan PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai
dapat dilakukan Pemda Maros dalam pemanfaatan Bandara
Hasanuddin. Atau kalau memungkinkan Ke Australia atau Ke
Belanda. Idealnya perimbangan pendapat PT Angkasa Pura I
Bandara Ngurah Rai diatur dalam bentuk Peraturan Daerah
Propinsi Bali.
3.4 Aspek Ekonomi dan Keuangan
Bali sangat terkenal, brand Bali sangat menjanjikan. Segala
sesuatu yang berbau Bali sangat diminati. Bandara Ngurah Rai juga
sama. Bandara yang sangat terkenal tersebut setiap tahun
menikmati kucuran laba yang tidak sedikit. Bali dinilai kurang
berani memperjuangkan sesuatu yang kemungkinan menjadi
haknya. Selain kurang berani, ada kecendrungan kurang lincah
dalam bernegosiasi. Bisa dirunut perjuangan pejabat ke Bali yang
nyaris tanpa ada hasil. Mulai memperjuangkan mendapat bagian
“kue” bandara Ngurah Rai selalu mentok. Padahal untuk PT.
Angkasa Pura di Bali termasuk salah satu pendapatan tertinggi
dibandingkan dengan bandara lainnya. Tak hanya itu, walaupun
yang proposional bagi Bali. Bahkan dana perimbangan Bali
kecolongan sampai 10 triliun. Yang diterima hanya 557 miliar saja.
Jumlah dana perimbangan yang diperoleh Bali sangat kecil.
Sebenarnya ada mekanisme yang berlaku dalam kondisi Negara
berkembang pemerintah mesti mendorong pertumbuhan daerah.
Dengan mengalokasikan anggara 20 – 50 persendari PDB (produk
domestik bruto) untuk dana perimbangan daerah atau Bali. Jika
dikalikan PDB dari sektor pariwisata saja, yaitu USD 2 miliar atau 22
triliun. Jika dikalikan 20 – 25 persen dengan PDB sektor pariwisata,
Bali mestinya memperoleh berlipat-lipat dari yang diterima
sekarang yakni 557 miliar. PDB Bali yang dikumpulkan dari semua
sektor untuk tahun 2008 mencapai Rp. 47,8 triliun. Ini berasal dari
pariwisata, pertanian, perkebunan, perikanan, industri dan lain-lain.
Jika dikaitkan dengan rumus yang diberikan di atas yaitu hak Bali
adalah 20-25 persen, ada angka paling rendah Rp. 10 triliun yang
mesti didapatkan Bali.
Hampir sebagian besar orang mungkin mengira bahwa
gemercing dolar yang dihamburkan di Bali sepenuhnya bisa masuk
ke kantong Pemerintah Provinsi Bali. Kenyataannya berkata lain.
artinya dana yang masuk ke Pemrop tidaklah besar. Beberapa
pendapat menyatakan Kontribusi PAP I kepada Bali tidak cukup
hanya The economic impact air port, tapi kontribusi riil yang
mendekati dana bagi hasil. Selama ini memang tidak ada kongkret
berapa keuntungan dari pariwisata yang masuk pemerintah pusat.
Namun diperkirakan mencapai trilyunan rupiah. Visa on Arrival
(VOA) setahun diperkirakan 250 milyar, belum lagi dari keuntungan
sejumlah BUMN di Bali dan devisa yang disetor ke pemerintah
pusat. Berkaitan dengan hal itu, beberapa hal dapat dibahas sebagai
berikut.
3.4.1 Kontribusi, Program dan Kegiatan yang telah dilakukan oleh PT
Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai Bali
Sampai dengan Juli tahun 2009 PT Angkasa Pura I Bandara
Ngurah Rai telah memberikan kontribusi seperti yang disajikan
pada Tabel 1. Pada prinsipnya, sesuai dengan UU No. 33 tahun 2004
Pemerintah Kabupaten/kota memperoleh bagian hasil pajak dari
Pajak Bumi dan Bangunan dari pemerintah pusat. Selain itu,
Pemerintah Kabupaten/kota juga mendapatkan Pajak Penerangan
Jalan, Pajak Air Bawah Tanah dan Permukaan, Retribusi Parkir dari
Pura I Bandara Ngurah Rai juga memberikan sumbangan bina
Tabel 3.1
Kontribusi PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai Terhadap Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, Desa, dan Masyarakat
(Rp juta)
Jenis Kontribusi Tahun 2008 Juli 2009 Keterangan
Pajak Penerangan Jalan 1.400,00 709,38 Pemkab Badung
Pajak Air Bawah Tanah 857,04 397,717 Pemkab Badung
Pajak Bumi dan Bangunan
6.009,00 7.121,00 Pemerintah
Pusat
Pajak Kendaraan Bermotor
92,00 Pemprop Bali
Retribusi Parkir 591,52 431,87 Pemkab Badung
Sumbangan untuk Desa Adat Kelan dan Tuban
236,61 172,75 Desa Adat
Mitra Binaan 1.740,00 Masyarakat
Sumber: Bali Post, 6 Agustus 2009
Program penyaluran dana pinjaman kepada usaha kecil dan
Koperasi mulai dilaksanakan tahun 1992. Selain memberikan
pinjaman dana untuk modal kerja maupun investasi, PAP I juga
berupaya memberikan pembinaan dalam bentuk pendidikan,
pelatihan, pemagangan, pemasaran, promosi serta
pengkajian/penelitian yang berkaitan dengan Program Kemitraan
Ada program lainnya yang diberi nama Program Bina
Lingkungan yang yang mulai dilaksanakan sejak tahun 2001
(misalnya untuk membangun fasilitas social, sarana ibadah,
pendidikan dan lain-lain).
3.4.2 Peluang Jangka Pendek
Berdasarkan verifikasi di lapangan dan wawancara dengan
pihak-pihak terkait ada beberapa peluang jangka pendek yang bisa
dimanfaatkan baik oleh pihak Pemerintah Provinsi Bali maupun
Kabupaten Badung.
(1) Kerja Sama: Seiring dengan ditetapkannya UU No. 1 tahun
2009 tentang penerbangan Peluang-peluang tersebut bisa
didapatkan dari non core bisnis yang memang bisa
dikerjasamakan (outsourcing). Di lain pihak Pemda harus
mengantisipasi keadaan tersebut dengan membentuk Unit
Bisnis seperti Perusahaan Daerah sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku. Revisi Undang-Undang
No. 34 Tahun 2000 yang intinya pajak dan retribusi daerah
akan termuat dalam daftar yang bersifat close list harus
sampai terjadi Pihak Pemda “memaksakan” suatu Perda
padahal tidak ada dalam daftar.
(2) Pajak Reklame dalam Bandara: pajak reklame dalam bandara
bisa menjadi peluang baru bagi Pemda Kabupaten Badung
untuk menjadi sumber pendapatan daerah
(3) Dana CSR: mengacu pada UU Perseroan Terbatas setiap
perusahaan harus memberikan kontribusi sebesar 2 % sebagai
dana CSR (corporate social responsibility) atau tanggung jawab
sosial perusahaan. Apakah CSR PAP I dapat berjalan efektif,
tepat sasaran dan berkesianmbungan?. Hal tersebut belum
bisa dijawab, karena tidak ada data yang menunjukkan hal
tersebut. Sampai saat ini belum ada mekanisme audit
terhadap alokasi dan penggunaan dana CSR tersebut.
Program CSR diharapkan bisa menyentuh langsung
kepentingan masyarakat Bali.
3.4.3 Peluang Jangka Panjang
Peluang jangka panjang adalah memperbaiki semangat UU
berkenaan dengan desentralisasi fiskal. Selama ini kebijakan
fungsi pokok pelayanan publik didaerahkan, dengan dukungan
pendanaan melalui: penyerahan sumber-sumber penerimaan dan
alokasi. Prinsip ini diperkuat dengan memperhatikan kapasitas dan
tanggung jawab daerah yang bersangkutan. Pemerintah Provinsi
Bali mempunyai tanggung jawab yang tidak ringan dalam
mempertahankan adat dan budaya Bali yang bersumberkan pada
nilai-nilai agama Hindu untuk menjaga ikon pariwisata Bali sebagai
pariwisata budaya. Pemerintah dan jajarannya dibebankan tugas
untuk menjaga citra Bali, keamanan, memperbaiki infrastruktur dan
kesehatan. Atmosfer kehidupan masyarakat Bali merupakan
intangible asset yang diharapkan menjadi bagian dari sumber daya
lainnya. Sumber daya lain inilah yang menjadi daya tarik wisata
yang memberikan devisa bagi Negara. Bandara Ngurah Rai
misalnya mampu mensubsidi sejumlah bandara di Indonesia dari
keuntungan Rp 600 milyar lebih per tahunnya. Kewenangan daerah
untuk memungut pajak dan retribusi daerah harus selalu
diselaraskan dengan pemberian tanggung jawab di bidang
pemerintahan dan pelayanan masyarakat dan kewenangan tersebut
harus selalu diselaraskan dengan perkembangan keadaan dengan
pendapatan asli daerah (PAD) hanya 5,3% dari total pendapatan
nasional.
Bagi Bali jalan yang elegan adalah mengusulkan untuk
merevisi UU No. 33 tahun 2004 tentang pengelolaan keuangan pusat
dan daerah. Revisi Undang-Undang hendaknya mencantumkan
sumber daya ekonomi sebagai salah satu variabel atau parameter
dalam mengalokasikan dana transfer.
Dalam jangka panjang pihak Pemrop Bali atau Pemkab
Badung dapat ikut serta dalam penyertaan saham di PAP I.
Mekanisme ini memungkinkan dengan asumsi pihak Pemrop atau
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Bertitik tolak dari paparan dan analisis pada bagian-bagian
sebelumnya, maka pada bagian ini dapat dikemukakan kesimpulan
yakni:
1) Dalam format Negara Kesatuan Otonomi diletakkan pada
Propinsi.
2) Formulasi perimbangan keuangan Pusat daerah bukan pada
sumber daya alam saja, namun diperluas sampai ke sumber daya
ekonomi.
3) PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai Bali bersedia akan
membayarkan perimbangan pendapatannya, bila aturan
hukumnya sudah ditentukan.
4) Bentuk aturan hukum dalam mengatur perimbangan pendapatan
PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai, dapat dalam bentuk
Peraturan Daerah.
5) Untuk keperluan bentuk hukum mengatur pendapatan PT
Cengkareng/Juanda/Banjarmasin/ Menado. Bila dianggap perlu
ke Australia atau ke Belanda.
4.2 Saran
Berkaitan dengan kesimpulan di atas, pada masa yang akan
datang adalah merupakan tugas dan wewenang DPDRI yang
terhormat untuk memperjuangkan kepentingan daerah melalui
perbaikan hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah
DAFTAR PUSTAKA
Ateng Safruddin, 1976, Pengaturan Koordinasi Pemerintqahan di Daerah, Penerbit, Tarsito, Bandung.
Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
BPS Propinsi Bali, 2006. Produk Domestik Regional Bruto Propinsi Bali, 2001 - 2005
---, 2009. Produk Domestik Regional Bruto Propinsi Bali, 2004 - 2008
Demokrasi di Indonesia, Makalah diskusi Panel pada Perancangan dan Advokasi Hubungan Pusat-Daerah DPD RI di Denpasar, 5-7 Februari 2009.
Ekskutif dalam Pembaruan UUD 1945, Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.
---, 2009, Hubungan Pemerintah Pusat-Daerah dan Konstalasi
Halim, Abdul. 2001. Bunga Rampai : Manajemen Keuangan Daerah.
Edisi Pertama. Yogyakarta : UPP AMP YKPN.
Ibrahim, 1995, Sinopsi Penelitian Ilmu Hukum, Raja wali Grafino Persada, Jakarta.
---, 2003, Sistem pengawasan Konstitusional antara Legislatif dan
Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan
Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, Penerbit Alumni, Bandung.
Muhammad Yamin, 1960, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I,II dan III, Parapantja, Jakarta.
Perjalanan 100 Tahun, Institusi for for Local Development dan Yayasan Tifa, Jakarta.
Proses Kelahiran (1903-2004), Institusi for Local Development dan Yayasan Tfa, Jakarta.
Robert Endi Jaweng (ed), Kompilasi UU Otonomi Daerah dan Sekilas
Soetandy Wignosubroto (et.al), 2005, Pasang Surut Otonomi Daerah Sketsa
Solly lubis,M, 1983, Perkembangan Garis Politik dan Perundang-Undangan Pemerintahan Daerah, Penerbit Alumni, Bandung.
Suwandi, Made, 2000. Agenda Strategis Penataan Otonomi Daerah (Sebagai tindak janjut UU No. 22 dan UU No. 25 tahun 1999),