• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA PERBANYAKAN VEGETATIF ENAU (Arenga pinnata (Wumrb)Merr.) MELALUI REGENERASI TUNAS SECARA in vitro (Vegetative propagation effort of Enau (Arenga pinnata (Wumrb)Merr.) by shoot regeneration in vitro).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "UPAYA PERBANYAKAN VEGETATIF ENAU (Arenga pinnata (Wumrb)Merr.) MELALUI REGENERASI TUNAS SECARA in vitro (Vegetative propagation effort of Enau (Arenga pinnata (Wumrb)Merr.) by shoot regeneration in vitro)."

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA PERBANYAKAN VEGETATIF

ENAU (Arenga pinnata (Wumrb)Merr.) MELALUI REGENERASI TUNAS

SECARA in vitro

(Vegetative propagation effort of Enau (Arenga pinnata (Wumrb)Merr.) by shoot regeneration in vitro)

Rida Putih, Benni Satria, dan Rauda Thaib *)

ABSTRACT

Experiment to investigate the vegetative propagation ef-fort of enau (Arenga pinnata (Wumrb)Merr.) by shoot re-generation in vitro was done from May to October 2001 at tissue culture laboratory of Faculty of Agriculture, An-dalas University, Padang. The experiment studies about combination concentration of Auxin and Cytokinin plant growth regulator that exactly support regeneration of shootlet of enau explant to get plantlet by in vitro. The ex-periment used Completely Ramdomized Design (CRD) with four (4) replications. Stage regeneration shootlet on Woody Plant Medium (WPM) with combination concen-tration Auxin and Cytokinin plant growth regulator, were seven (7) levels consist of: (E0) Oppm NAA ± 0,00 ppm BAP; (El) 0,00 ppm NAA + 0.50 ppm BAP; (E2) 0.50 ppm NAA + 0,00 ppm BAP; (E3) 0.50 ppm NAA + 0.50 ppm BAP ; (E4) 0.00 ppm NAA + 1.00 ppm BAP; (ES) 0.50 ppm NAA + 1.00 ppm BAP; dan (E6) 1.00 ppm NAA + 1.00 ppm BAP. Combination concentration 1.00 ppm NAA + 1.00 ppm BAP (E6) gave the best result than any another treatment that support growth to get explant life and callus formation but was not able to support the growth of explant to get shootlet, rootlet and plantlet in first experiment stage.

Key words: explant, regeneration shootlet, callus, Auxin, and cytokinin, in vitro.

PENDAHULUAN

Enau (Arenga pinnata (Wumrb) Merr.) merupa-kan tanaman yang bernilai ekonomi tinggi dan mempunyai prospek cerah serta berpotensi untuk dikembangkan. Seluruh dad bagian pohonnya mulai dan akar, batang, daun, pelepah, biji, dan niranya berguna bagi kehidupan manusia. Hasil-nya berupa gula, kolang kaling, dan ijuk sudah merupakan komoditi ekspor Indonesia (Lembaga Biologi Nasional, 1980).

Produksi utama enau adalah niranya, yang disadap dan tandan bunga jantan,merupakan ba-han baku pembuatan gula enau. Nira enau juga dapat menghasilkan tuak dengan kadar etanol 4% yang merupakan suatu harapan sebagai salah satu alternatif sumber penghasilan bahan bakar masa depan.

Tanaman enau sampai saat ini belum

dibudi-dayakan secara tepat. Umumnya tanaman ini tumbuh dan berkembang secara liar di hutan-hutan, dengan produktivitas yang relatif rendah. Supaya produktivitas tanaman ini dapat mening-kat, pemerintah menganjurkan pembudidayaan-nya, melalui SK.Dirjen Industri Kecil Departe-men Perindustrian RI tanggal 30 Agustus 1986, No. 1958/XII/86 tentang pengamanan tanaman enau (Rangkuty, 1987).

Masalah pengadaan bibit merupakan ham-batan utama dalam pembudidayaan tanaman enau. Perbanyakan enau sampai saat ini dilaku-kan secara generatif dengan menggunadilaku-kan biji, cara ini membutuhkan waktu yang relatif lama, hal ini disebabkan biji enau mempunyai masa dormansi yang cukup panjang. Hampir 1 - 2 tahun biji enau baru dapat berkecambah bila di-biarkan secara alami, sering menghasilkari ta-naman yang tidak homogen dan mengalami de-gradasi, viabilitasnya rendah, serta pertumbuhan di lapangan kurang baik (Hadisapoeyanti dan Luntungan, 1988).

Mengatasi masalah perbanyakan enau secara generatif melalui biji, telah dilakukan antara lain penelitian Rozen (1989),yaitu perendaman benih dalam air panas pada suhu awal 60 -70 oC, dapat memperpendek masa dormansi selama 16 minggu dengan daya kecambah rata-rata 21%.

Selanjutnya Rusmin(1992) juga melaporkan bahwa perlakuan lama periode gelap antara 10 -50 hari pada benih enau memberikan persentase kecambah rata-rata 26% dalam waktu pemecahan dormansi 98 hari. Namun demikian hasil peneli-tian yang dicapai Rozen (1989) dan Rusmin (1992) masih kurang menguntungkan terutama dalam hal waktu dan daya kecambah yang masih rendah, di samping kualitas bibit yang dihasilkan tidak terjamin.

Mengingat permasalahan pada perbanyakan secara generatif, maka penlu dicari alternatif pe-mecahannya. Perbanyakan secara vegetatif de-ngan metode konvensional seperti tempelan, cangkok, dan sambung juga tidak mungkin dila-kukan.

(2)

Salah satu metode yang dapat mengatasi ma-salah tersebut adalah pengembangan tanaman se-cara Teknik Kultur Jaringan (In vitro) berupa mi-kro propagasi akan memberikan harapan untuk dikembangkan pada tanaman enau, karena cara ini mampu menghasilkan tanaman secara cepat, dalam jumlah banyak, berkualitas lebih baik, ti-dak tergantung pada musim, titi-dak membutuhkan ruangan yang luas, bebas penyakit sistemik dan sumber penyimpanan plasma nutfah.

Perbanyakan dengan teknik kultur jaringan ditujukan antara lain untuk jenis tanaman yang menghadapi masalah seperti : daya berkecambah bijinya rendah, tanaman dengan pertumbuhannya yang lambat, dan tanaman yang akan dieksploita-si secara massal (Wiendi, Wattimena, dan Gunawan, 1991).

Teknik perbanyakan kultur jaringan terdiri atas tiga tahap. Tahap pertama merupakan tahap mensterilisasi jaringan tanaman (eksplan) supaya diperoleh kultur yang bebas dan kontaminasi mi-kroba; tahap kedua adalah tahap memindahkan jaringan (eksplan) tersebut ke medium yang me-nunjang perakaran; dan tahap ketiga memindah-kan tunas yang terbentuk ke media perakaran (Drew, 1980).

Wetherell (1982) mengemukakan bahwa ada tiga hal yang penting yang berpengaruh terhadap respon in vitro, yaitu : kemapuan regenerasi, tingkat fisiologis, dan kesehatan tanaman induk. Selanjutnya Murashige (1973), dan George dan Shernington (1984) mengernukakan ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur in vitro, yaitu : Geno-tip, media kultur, lingkungan tumbuh, dan eks-plan yang digunakan.

Pertumbuhan dan perkembangan bahan ta-naman yang dikulturkan dapat diatur dengan ja-lan menambah ke media kultur zat pengatur tum-buh dan golongan Auksin dan Sitokinin dalam jumlah tertentu.

Zat pengatur tumbuh golongan auksin dan sitokinin dalam keseimbagannya merupakan ke-berhasilan penerapan teknik kultur jaringan. Sitokinin sebagai senyawa organik yang dikom-binasikan dengan Auksin akan mendorong pem-belahan sel dan menentukan arah diferensiasi sel tanaman, jika konsentrasi Auksin dalam jaringan tanaman tinggi maka kemungkinan akan terben-tuk kalus, dan akar dan bila konsentrasi Sitokinin tinggi maka kemungkinan akan terbentuk tunas (Wattimena, 1988).

Kalus merupakan kumpulan sel parenkim yang amorf dan terikat secara renggang (Dodds, dan Roberts, 1984), dan terbentuk karena pem-belahan sel yang aktif secara in vitro atau alami baik pada tanaman yang dilukai ataupun tanaman

yang mengalami cekaman, disamping itu juga dapat terbentuk karena serangan mikroorganisme atau serangga.

Kalus dapat diinisiasi dan hampir semua ba-gian tanaman tetapi organ/jaringan yang berbeda menyebabkan pembelahan sel yang berbeda pula. Pembelahan sel pada jaringan yang membentuk kalus tidak terjadi pada semua sel dalam jaringan asal, tetapi hanya sel lapisan periphery yang terus membelah, sedangkan sel-sel tengah tetap senes-cent (Gunawan, 1988).

Hasil penelitian Satria, Fenita, Dwipa, dan Muhsanati (1997) penambahan arang aktif de-ngan dosis 2,0 gram/liter media WPM pada kul-tur hipokotil manggis yang diperkaya dengan kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh BAP 1,75 ppm + NAA 0,50 ppm dapat membentuk kalus lebih baik dan lebih banyak, sedangkan kalus beregenerasi menjadi tunas setelah direge-nerasikan (disubkultur) pada media WPM yang ditambahkan BAP dan NAA pada konsentrasi yang berbeda pada media untuk membentuk ka-lus.

Selanjutnya Zainal dan Anwar, (1997), me-laporkan bahwa eksplan shoot tip pandan yang dikulturkan pada media WPM dengan konsentra-si 1,0 ppm 2,4-D dan 1,0 ppm BAP dapat mendo-rong terbentuknya kalus.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh Auk-sin dan Sitonin yang terbaik dalam meningkatkan populasi tanaman secara kultur in vitro, sekaligus untuk menghasilkan plantlet yang berkualitas dalam jumlah banyak pada waktu yang relatif singkat. Selanjutnya untuk mendapatkan media aklimatisasi terbaik guna mendukung pertum-buhan dan perkembangan bibit enau.

Dengan didapatkan kombinasi konsentrasi Auksin dan Sitokinin yang dapat mendukung ini-siasi tunas (eksplan) membentuk kalus dan rege-nerasi kalus, walaupun sampai akhir penelitian kalus belum ada yang mengalami regenerasi membentuk shootlet, rootlet, maupun plantlet , diharapkan dapat diperoleh informasi yang be-harga guna pengembangan bibit enau melalui teknik kultur jaringan dimasa akan datang.

BAHAN DAN METODE

(3)

Bahan tanam yang digunakan adalah shoot tip enau yang diambil dari tanaman yang sudah berproduksi; nutrisi untuk penyusun media WPM, vitamin, sukrosa) bacto agar, ZPT, alkohol 70%, spiritus, aquades, benlate, plastik wrap, arang aktif, streptomycin, tween 80, bayclin 10%, Asam askorbir, dan lain-lain.

Alat yang digunakan antara lain, meliputi timbangan, gelas piala, gelas ukur, corong gelas, pemanas elektnik, autoklave, oven, botol kultur, pH meter, pinset, gunting, mata skalpel, skalpel, petridish, laminar air flow cabinet, dan lain-lain.

Perlakuan dan Rancangan

Percobaan ini terdiri dari dua seri, keduanya merupakan percobaan dalam bentuk Rancangan Acak Lengkap (RAL).

Percobaan seri pertama merupakan tahap re-generasi, hasil shoot tip (tunas) yang dikulturkan pada media WPM dengan konsentrasi 0,25 ppm + 1,0 ppm Kinetin, digunakan sebagai eksplan. Selanjutnya tunas tersebut diregenerasikan pada media WPM regenerasi dengan perlakuan kom-binasi konsentrasi zat pengatur tumbuh Auksin dan Sitokinin yang terdiri dari 7 taraf perlakuan, yaitu (E0) 0,00 ppm NAA + 0,00 ppm BAP, (El) 0,00 ppm NAA + 0,50 ppm BAP, (E2) 0,50 ppm NAA + 0,00 ppm BAP, (E3) 0,50 ppm NAA + 0,50 ppm BAP, (E4) 0,00 ppm NAA + 1,00 ppm BAP, (E5) 0,50 ppm NAA + 1,00 ppm BAP, (P6) 1,00 ppm NAA + 1,00 ppm BAP.

Tiap satuan percobaan diulang 5 kali dengan menggunakan 8 sampel tiap perlakuan tiap ulangan, sehingga diperoleh 280 satuan percoba-an.

Percobaan seri ke dua, merupakan tahap aklimatisasi plantlet , dimana hasil penelitian ta-hap pertama yang terbaik, digunakan untuk pe-nelitian seri kedua dengan perlakuan kombinasi media aklimatisasi (v/v) yang terdiri dan 3 taraf : (Al) tanah + pupuk kandang + pasir (1:1:1); (A2) tanah + kompos + pasir (1:1:1); (A3) tanah + gambut + pasir (1:1:1)

Percobaan tahap kedua belum dapat dilaku-kan karena hasil percobaan tahap pertama belum ada eksplan yang mampu beregenerasi memben-tuk plantlet, sehingga tidak ada satu plantlet yang dapat diaklimatisasi pada media aklimatisasi sampai akhir percobaan..

Peubah yang diamati ada 14 parameter, tetapi sampai akhir penelitian hanya dua parameter yang dapat diamati, hal ini disebabkan karena sampai akhir penelitian regenerasi tunas hanya membentuk kalus dan belum ada yang memben-tuk shootlet, rootlet, dan plantlet. Parameter yang dapat diamati tersebut,yaitu (1) persentase

eks-plan enau yang hidup, dan (2) persentase ekseks-plan membentuk kalus,

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Percobaan Seri Pertama

1. Persentase eksplan yang hidup

Pemberian perlakuan kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA (Auksin) dan BAP (Sitokinin) terhadap persentase eksplan enau yang hidup, menunjukkan adanya pengaruh ber-beda nyata diantara perlakuan, seperti yang ter-lihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Persentase Eksplan yang hidup

Perlakuan eksplan hidupPersentase

(%) (E6) 1,00 ppm NAA+ 1,00 ppm BAP 54,5 A (E5) 0,50 ppm NAA+ 1,00ppm BAP 51,2 AB (E3) 0,00 ppm NAA + 1,00 ppm BAP 47,3 ABCD (E2) 0,50 ppm NAA + 0,50 ppm BAP 42,6 BCD (E4) 0,50 ppm NAA + 0,00 ppm BAP 40,8 BCD (E0) 0,00 ppm NAA + 0,50 ppm BAP 37,5 CD (El) 0,00 ppm NAA + 0,00 ppm BAP 31,0 D KK = 57,96%

Angka - angka pada kolom yang sama untuk beberapa komposisi media Auksin Sitokinin yang diikuti oleh huruf besar yang sama masing-masing berbeda tidak nyata menurut DNMRT pada taraf nyata 5%.

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa kombinasi konsentrasi NAA dan BAP yang berbeda mem-berikan pengaruh yang berbeda pula terhadap persentase eksplan yang hidup. Dari ketujuh per-lakuan kombinasi konsentrasi NAA dan BAP ternyata perlakuan kombinasi konsentrasi 1,00 ppm NAA + 1,00 ppm BAP menunjukkan per-sentase eksplan yang hidup terbaik.

Hal ini disebabkan karena berbagai kombina-si konsentrakombina-si Aukkombina-sin dan Sitokinin yang terdapat dalam jaringan eksplan, mampu mendorong per-tumbuhan dan perkembangan eksplan serta eks-plan mempunyai kemapuan untuk dapat hidup sampai akhir percobaan.

(4)

morfogene-sis eksplan.

Selanjutnya Evans, Sharp, dan Ammivato, (1986) melaporkan bahwa konsentrasi zat peng-atur tumbuh Auksin dan Sitokinin dalam jaringan eksplan merupakan faktor pembatas dan suatu pertumbuhan dan morfogenesis eksplan.

Perimbagan konsentrasi zat pengatur tumbuh Auksin dan Sitokinin dalam jaringan eksplan da-pat meningkatkan kemampuan hidup, pertum-buhan dan perkembangan jaringan eksplan (Satria, et al, 1999).

2. Persentase eksplan membentuk kalus

Pemberian perlakuan kombinasi konsentrasi NAA dan BAP terhadap persentase eksplan membentuk kalus menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata diantara perlakuan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Persentase eksplan membentuk kalus

Perlakuan plan membentukPersentase eks-kalus (%) (E6) 1,00 ppm NAA+ 1,00 ppm BAP 5,51 A (E5) 0,50 ppm NAA+ 1,00ppm BAP 4,91 AB (E3) 0,00 ppm NAA + 1,00 ppm BAP 4,51 ABCD (E2) 0,50 ppm NAA + 0,50 ppm BAP 3,59 BCD (E4) 0,50 ppm NAA + 0,00 ppm BAP 3,15 BCD (E0) 0,00 ppm NAA + 0,50 ppm BAP 1,12 CD (El) 0,00 ppm NAA + 0,00 ppm BAP 0,71 D KK = 13,74%

Angka - angka pada kolom yang sama untuk beberapa komposisi media Auksin Sitokinin yang diikuti oleh huruf besar yang sama masing-masing berbeda tidak nyata menurut DNMRT pada taraf nyata 5%.

Dari Tabel 2 terlihat bahwa kombinasi kon-sentrasi NAA dan BAP yang berbeda memberi-kan pengaruh yang berbeda terhadap persentase eksplan membentuk kalus.

Dari ketujuh perlakuan tersebut diatas, ter-nyata kombinasi konsentrasi 1,00 ppm NAA + 1,00 ppm BAP (E6) menunjukkan persentase eksplan membentuk kalus yang terbaik.

Hal ini disebabkan karena berbagai kombina-si konsentrakombina-si Aukkombina-sin dan Sitokinin mampu membuat eksplan membentuk kalus.

Widiastoety (1985) melaporkan bahwa pem-bentukan kalus terjadi jika perbandingan antara konsentrasi Auksin dan Sitokinin dalam keadaan seimbang.

Perbedaan bagian atau bahan eksplan akan mempengaruhi kemampuan eksplan membentuk kalus, sebagaimana pendapat Wiendi, Wattimena, dan Gunawan (1991) bahwa kemapuan eksplan membentuk kalus dan laju pertumbuhannya dapat

berbeda antar bagian dan jaringan eksplan. Hal ini sesuai dengan hasil percobaaan Masyudi (1993), dimana terdapat perbedaan kemapuan eksplan membentuk kalus dan daya regenerasi kalus antara bagian - bagian dari jaringan eksplan tanaman padi.

Parameter persentase eksplan tunas mem-bentuk shootlet, rootlet, dan plantlet sampai akhir percobaan belum diperoleh data pengamatan. Hal ini disebabkan karena kalus yang terbentuk da-lam kondisi yang kompak, dan padat sehingga ti-dak mampu beregenerasi membentuk shootlet, rootlet, dan plantlet.

B. Percobaan Seri Kedua

Hasil percobaan seri pertama ternyata belum ada eksplan tunas yang beregenerasi membentuk plantlet, sehingga belum ada plantlet yang dapat diaklimatisasi pada percobaan seri kedua di da-lam media aklimatisasi sampai akhir pengamatan.

KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan

Dari hasil percobaan dapat disimpulkan:

1. Perlakuan kombinasi konsentrasi NAA dan BAP menunjukkan eksplan tunas mampu bertahan hidup dan membentuk kalus. 2. Kombinasi konsentrasi 1,00 ppm NAA +

1,00 ppm BAP menunjukkan perlakuan yang terbaik dalam persentase eksplan yang hidup dan persentase eksplan mernbentuk kalus. 3. Kalus yang terbentuk belum mampu

beregenerasi membentuk shootlet nootlet dan plantlet.

2. Saran

Pada percobaan kultur jaringan enau disaran-kan untuk dilakudisaran-kan percobaan lebih lanjut ten-tang regenerasi kalus pada berbagai kombinasi konsentrasi yang lebih tinggi guna mendapatkan kalus yang mampu beregenerasi membentuk shootlet, rootlet dan plantlet.

DAFTAR PUSTAKA

Direktonat Jenderal Perkebunan. 1986. Pedoman bercocok tanam aren. Direktorat Jenderal Perkebunan bekerjasama dengan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Drew, R. A. 1980. Tissue in horticultural crops. Queenland

Agnic. J. 106. (1):6-12

(5)

George, F.E. and P.D. Shernington. 1984. Plant propagation by tissue culture. Exegetics LTD. Everseley, Basing-stoke, Hands, RG27 OQY, England. 709 p.

Gunawan, L. W. 1987. Teknik kultur jaringan. PAU Bioteknologi. IPB, Bogor. 252 hal.

_____________1991. Pendahuluan. Hal 3 — 15. Dalam Tim Laboratorium Kultur Jaringan. (eds). Bioteknologi IPB, Bogor.

Hadipoetyanti, P dan H. Luntungan. 1988. Pengaruh beberapa perlakuan terhadap perkembangan biji aren (Arenga

pinnata (Wumrb) Merr). Badan Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pertanian Balai Penelitian Tanaman Kelapa. Manado.

Lembaga Biologi Nasional. 1980. Palem Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Masyudi, M.F. 1992. Pengaruh zat pengatur tumbuh 2,4- D dan BAP pada kultur jaringan biji padi rnasak panen,

dalam; Bulettin Pertanian. Jakarta. 12 (1). P: 1 -7

Moore, T.C. 1979. Biochemistry and Physiology of plant hormones. Springger-verlag, New York. 174 p. Murashige, T. 1974. Plant propagation though tissue culture.

Ann. Rev. Plant Physiol 25: l35-l66p.

Rangkuty, A. Rahman. 1981. Gagasan proyek perintis arenisasi dan lamtoronisasi di sekitar wilayah danau Toba. Fakulktas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Rozen, Nalwida. 1989. Pengaruh suhu awal perendaman terhadap pemecahan dormansi enau (Arenga pinna/a

(Wumrb) Merr) dan pertumbuhan bibit dipersemaian. Tesis. Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang. Rusmin, Devi. 1992. Pengaruh lama pemberian periode gelap

terhadap perkecambahan benih enau (Arenga pinnata

(Wumrb) Men) dan pertumbuhan bibit di persemaian Tesis. Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Padang. Satria, B. 1995. Perbanyakkan manggis (Garcinia

mangostana L.) dengan menggunakan eksplan

hipokotil .pada kombinasi dosis arang aktif dengan komposisi konsentrasi BAP dan NAA secara in vitro. Universitas Andalas Padang. 105 hal.

_______, I. Ferita, I. Dwipa, dan Muhsanati 1997. Komposisi media dan eksplan untuk inisiasi dan proliferasi kalus manggis

_______, I. Dwipa; dan Jamsari. 1999. Regenerasi kalus manggis (Garcinia mangostana L.) melalui kultur in

vitro. Jurnal Stigma. Fak. Pertanian Unand, Padang. VII

(1). ISSN 0853 - 3776 Akreditasi Dikti No. 53/Dikti/Kep/1999. Hal. 56 — 60.

Thaib, R. 1997. Perhanyakan enau (Arenga pinnata (Wumrb) Merr.) secara in vitro. Jurnal Stigma. 5(2). P:130— 135. Thomas, E. dan M.R. Davey . 1975. From single cells to

plant. Wijkham agriculture. Acid. Press, New York. 379 p.

Thorpe, T. A. 1981. Plant tissue culture; methods and applications in agriculture, Acid. Press, New York. 379 p Triatminingsih, R; Nazir, dan M Winarno. 1993.

Mikropropagasi in vitro dan tunas pucuk Manggis dan kotiledon terhadap keberhasilan regenerasi tunas. Majalah Penelitian Hortikultura. Solok. 5(2). p: 28 — 36.

Wattimena, G. A. 1988. Zat pengatur tumbuh tanaman. PAU IPB dan sumberdaya informasi IPB, Bogor. 145 p. Widiastoety, D. 1985. Penggunaan teknik kultur in vitro untuk

perbanyakkan tanaman. pp. 1 - 28 dalam bahan Iatihan dan diskusi penelitian buah-buahan pusat penelitian dan pengembangan hortikultura Lembang.

Wieindi, N.A., G.A;Wattimena, LW. Gunawan. 1991. Perbanyakan tanaman. ppl7 - 174 dalam Tim Laboratoratorium Kultur Jaringan (eds) Bioteknologi Tanaman. P. A. U Bioteknologi IPB Bogor.

Gambar

Tabel 1. Persentase Eksplan yang hidup

Referensi

Dokumen terkait