DALAM PEMBERDAYAAN ANAK J ALANAN
(Studi Pada Anak J alanan Di Kecamatan Sidoarjo)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan Gelar Sarjana Administrasi Negara pada FISIP UPN “Veteran” Jawa Timur
Oleh :
SIGIT BAYU LEKSONO NPM. 0441010063
YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
J URUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
ABSTRAKSI ... x
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan Penelitian ... 6
1.4. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II KAJ IAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu ... 8
2.2. Landasan Teori ... 9
2.2.1. Pengertian peranan ... 9
2.2.2. Pengertian pemberdayaan ... 11
2.2.2.1. Tahapan Pemberdayaan... 11
2.2.2.2. Tujuan pemberdayaan ... 12
2.2.2.3. Strategi pemberdayaan ... 13
2.2.2.4. Upaya pemberdayaan ... 16
2.2.3. Konsep anak ... 17
2.2.3.1. Pengertian anak ... 17
Jalanan ... 29
2.2.3.5. Proses terjadinya anak jalanan ... 33
2.2.3.6. Kelemahan anak jalanan dan hambatannya ... 34
2.3. Kerangka Pikir ... 37
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis penelitian ... 38
3.2. Situs penelitian ... 38
3.3. Fokus penelitian ... 39
3.4. Jenis dan pendekatan penilitian ... 41
3.5. Sumber data ... 42
3.6. Proses pengumpulan data ... 43
3.7. Teknik analisis data ... 44
3.8. Keabsahan data ... 46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Objek Penelitian ... 49
4.1.1. Gambaran umum Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten sidoarjo ... 49
4.1.2. Letak Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten sidoarjo ... 50
4.1.3. Visi dan Misi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Sidoarjo .. 50
4.1.4. Tugas, pokok dan fungsi ... 51
4.1.5. Tujuan, sasaran dan strategi ... 52
4.3. Deskripsi hasil penelitian ... 66
4.3.1. Penertiban anak jalanan ... 67
4.3.1.1. Razia atau patroli ... 67
4.3.1.2. Kerjasama dalam pelaksanaan operasi terpadu gelandangan dan pengemis ... 70
4.3.1.3. Lokasi atau tempat operasi terpadu ... 71
4.3.1.4. Identivikasi ... 73
4.3.2. Pembinaan sosial ... 75
4.3.2.1. Bimbingan sosial ... 76
4.3.2.2. Bimbingan keterampilan ... 80
4.3.2.3. Pelaksanaan progran Usaha Ekonomi produktif (UEP) ... 84
4.4. Pembahasan ... 85
4.4.1. Operasi terpadu ... 85
4.4.2. Razia patroli ... 86
4.4.3. Pembinaan sosial ... 88
4.4.3.1. Bimbingan sosial ... 88
4.4.3.2. Bimbingan keterampilan ... 91
5.2. Saran ... 94
DAFTAR PUSTAKA
DALAM PEMBERDAYAAN ANAK J ALANAN (Studi Pada Anak J alanan Di Kecamatan Sidoar jo), Skripsi, 2011
Sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, Indonesia juga memiliki sejumlah permasalahan baik sosial maupun ekonomi yang akan terus menerus mengikuti laju pembangunan dan pertumbuhan. Salah satu fenomena sosial yang terjadi saat ini yaitu munculnya anak-anak jalanan. Kabupaten Sidoarjo merupakan salah satu kabupaten yang ada di Jawa Timur. Keberadaan anak jalanan di beberapa titik yang ada di Sidoarjo, hal ini seringkali memicu stigma negatif dari masyarakat, selain itu juga banyak masyarakat yang menggambarkan mereka dekat dengan dunia miras, narkoba bahkan sex bebas. Melihat hal tersebut, sebaiknya perlu adanya penanganannya dari pemerintah yang dipusatkan pada titik tersebut, agar kawasan tersebut terbebas dari kesan yang tak sedap. Akan tetapi pada kenyataan peran pemerintah dalam penanganan anak jalanan dapat dikatakan sangat lamban dan masih kurang maksimal. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang peran Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dalam pemberdayaan anak jalanan di Kecamatan Sidoarjo.
Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif, sedangkan sumber data diperoleh dengan melakukan wawancara dan observasi dengan pihak terkait, dalam hal ini adalah Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dalam pemberdayaan anak jalanan di Kabupaten Sidoarjo dan juga para anak-anak jalanan.
1.1. Latar Belakang
Sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, Indonesia juga memiliki
sejumlah permasalahan baik sosial maupun ekonomi yang akan terus menerus
mengikuti laju pembangunan dan pertumbuhan. Salah satu fenomena sosial yang
terjadi saat ini yaitu munculnya anak-anak jalanan. Anak jalanan yang dimaksud
di sini adalah anak yang berusia di bawah 15 tahun dengan kepribadian yang lebih
dewasa dari usianya, baik secara fisik maupun sifatnya menjadi anak dewasa
walaupun usia mereka masih anak-anak. Dengan adanya anak jalanan seringkali
dianggap sebagai cermin kemiskinan kota, atau suatu kegagalan adaptasi
kelompok orang tersebut terhadap kehidupan dinamis kota besar.
Kabupaten Sidoarjo merupakan salah satu kabupaten yang ada di Jawa
Timur. yang juga mempunyai permasalahan dengan munculnya anak-anak
jalanan. Fenomena anak jalanan ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak
Mulyadi selaku Kasie Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kabupaten Sidorajo,
mengatakan bahwa keberadaan anak jalanan di beberapa titik yang ada di Sidoarjo
yaitu seperti di Pertigaan Larangan, Perempatan Celep, dan GOR serta alun-alun,
seringkali memicu stigma negatif dari masyarakat, selain itu juga banyak
masyarakat yang menggambarkan mereka dekat dengan dunia miras, narkoba
bahkan sex bebas.
Melihat hal tersebut, Anik seorang politisi asal Partai Kebangkitan Bangsa
dari pemerintah yang dipusatkan pada titik tersebut, agar kawasan tersebut
terbebas dari kesan yang tak sedap. Disinggung mengenai acuan peraturan tentang
anak jalanan, politisi asal PKB ini menjelaskan bahwa kondisi anak jalanan ini
diatur dalam Perda dan masuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten, Daerah tingkat
II Sidoarjo Nomor 5 tahun 2007 tentang penyelenggaraan ketentraman dan
ketertiban umum dalam Kabupaten Daerah tingkat II pasal 8 poin b pemerintah
daerah melakukan penertiban terhadap anak jalanan yang mencari penghasilan
dan meminta-minta dipersimpangan jalan dan lampu lalu lintas (traffic light) dan
fasilitas umum lainnya. Agar perda tersebut dapat berjalan efektif maka sangat
perlu untuk dilakukan sosialisasi yang baik.
Terkait pemberlakuan Peraturan Daerah No 5 Tahun 2007 tersebut peran
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dalam pemberdayaan anak jalanan di Kabupaten
Sidoarjo, diharapkan tidak bersifat teknis semata, namun juga dari sisi
kemanusiaan.
Operasi terpadu merupakan langkah awal yang dilakukan oleh Dinas
Kesejahteraan Sosial Kabupaten Sidoarjo dalam rangka menertibkan para anak
jalanan Dalam melakukan operasi penertiban terhadap anak jalanan Dinas
Kesejahteraan Sosial Kabupaten Sidoarjo tidak bekerja sendiri tetapi bekerjasama
dengan pihak lain atau instansi-instansi yang terkait seperti Polres Sidoarjo dan
Satpol PP. Kegiatan razia atau patroli untuk penertiban anak jalanan di wilayah
Sidoarjo yang dilakukan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten Sidoarjo
bersama – sama dengan Satpol PP dan Kepolisian dengan cara patroli berkeliling
ke wilayah-wilayah yang diperkirakan terdapat anak jalanan. merupakan bagian
Sidoarjo. Penertiban ini dilakukan 1 kali dalam 1 bulan, tetapi tidak menutup
kemungkinan operasi terpadu dilakukan lebih dari 1 kali tergantung situasi dan
kondisi yang ada dan memungkinkan untuk perlu dilakukan adanya penertiban
atau operasi terpadu. Kegiatan berikutnya setelah operasi, dilanjutkan dengan
kegiatan lain yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan yaitu identifikasi.
Pencatatan atau pendataan tentang identitas dari anak jalanan yang terjaring dalam
operasi terpadu. Anak Jalanan yang terjaring kemudian mereka didata tentang
segala identitas yang mereka miliki. Pendataan ini bertujuan untuk mengetahui
apakah Anak Jalanan yang bersangkutan sudah pernah tertangkap atau belum.
Setelah para anak jalanan ditertibkan kemudian di identifikasi, mana yang dari
luar Kabupaten Sidoarjo dan mana yang asli Kabupaten Sidoarjo, dan setelah
diidentifikasi anak jalanan yang berasal dari luar Kabupaten Sidoarjo diserahkan
kepada Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur untuk dipulangkan ke daerah asalnya
dan menjadi tanggungan Pemerintah Kabupaten atau kota setempat. Sementara
untuk anak jalanan yang berasal dari Kabupaten Sidoarjo di tangani langsung oleh
Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten Sidoarjo.
Dinas Sosial Dan Tenaga Kerja Kabupaten Sidoarjo selaku pelaksana
dalam urusan rumah tangga daerah di bidang kesejahteraan sosial dan tugas
pembantuan. Dalam melaksanakan tugasnya Dinas Sosial Dan Tenaga Kerja
menjalankan fungsi pelaksanaan pembinaan teknis dan bimbingan teknis dalam
rangka pelayanan terhadap usaha-usaha sosial. Hal ini dapat diwujudkan melalui
program kegiatan sosial kemasyarakatan salah satunya adalah program pembinaan
anak jalanan.
dilakukan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial bagi anak – anak jalanan yang
terjaring rasia.. Untuk pembinaan yang pertama, anak jalanan tersebut mendapat
bimbingan sosial melalui bimbingan mental berupa ceramah agama dan ceramah
sosial. Bimbingan Sosial ini dilakukan untuk memberikan suatu bimbingan dan
pengarahan kepada para anak jalanan tentang ajaran nilai-nilai dan norma-norma
yang terkandung dalam agama dan masyarakat agar mereka dapat menjalankan
kehidupannya dengan baik. Setelah para anak jalanan mendapatkan bimbingan
sosial melalui ceramah agama dan ceramah sosial, mereka mendapatkan
pembinaan ketrampilan kerja, yang sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka.
Hal ini dilakukan agar para anak jalanan mempunyai bekal ketrampilan yang
nantinya dapat digunakan untuk mencari kerja atau usaha baru sesuai dengan
kemampuan yang mereka miliki Dalam pemberian ketrampilan tersebut Dinas
Kesejahteraan Sosial bertindak sebagai mediator dengan maksud agar para anak
jalanan mendapatkan tenaga ahli yang sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Setelah para anak jalanan diberikan pembinaan sosial dan pembinaan ketrampilan
maka Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten Sidoarjo memberikan bantuan
langsung berupa Bantuan ekonomi produktif dimana bantuan tersebut sesuai
dengan pelatihan ketrampilan yang mereka miliki, misalnya ketrampilan menjahit
mereka dibantu dengan disediakannya penjahitan, kemudian pertukangan mereka
juga disediakan alat-alat pertukangan seperti peralatan membuat mebel dan lain
sebagainya. Selanjutnya untuk mengevaluasi terhadap pelatihan dan pembinaan
dari berbagai kegiatan yang diikuti oleh anak – anak jalanan, dilakukan program
pengawasan dan evaluasi sehingga mereka mengatahui sejauh mana kegiatan
pembangunan kesejahteraan sosial.
Dari Fenomena tersebut diatas, mencerminkan bahwa peran Dinas Sosial
dan Tenaga Kerja Kecamatan Sidoardjo terhadap pemberdayaan anak jalanan
sangatlah besar. Akan tetapi pada kenyataan peran pemerintah dalam penanganan
anak jalanan dapat dikatakan sangat lamban dan masih kurang maksimal. Hal ini
terbukti dari data yang diperoleh dari Dinkesos mengenai jumlah anak jalanan
yang ada di Kecamatan Sidoarjo selama 5 (lima) tahun terakhir ini yaitu tahun
2006 samapai dengan tahun 2010, menunjukkan adanya peningkatan. Untuk lebih
jelasnya, maka berikut ini data jumlah anak jalan kecamatan Sidoarjo yang dapat
disajikan pada tabel 1, yaitu sebagai berikut :
Tabel 1 : Data J umlah Anak J alanan
Sumber : Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten Sidoar jo, 2010
Berdasarkan pada tabel 1 di atas, dapat diketahui bahwa jumlah anak jalanan
di Kecamatan Sidoarjo selama 5 (lima) tahun terakhir ini yaitu tahun 2006
samapai dengan 2010, mengalami peningkatan, misalnya untuk tahun 2006
jumlah anak jalanan di Kecamatan Sidoarjo sebanyak 125 orang, Untuk tahun
2007 sebanyak 156 atau naik sebesar 24, 80% dari tahun 2006, Untuk tahun 2008
sebanyak 215 atau naik sebesar 14, 36% dari tahun 2008, dan Untuk tahun 2010
sebanyak 245 atau naik sebesar 13,95% dari tahun 2007. Fenomena ini
membuktikan bahwa peran pemerintah dalam penanganan anak jalanan khususnya
di Kecamatan Sidoarjo dapat dikatakan lamban dan masih kurang maksimal.
Dari uraian permasalahan diatas, maka peneliti merasa perlu untuk
mendeskripsikan mengenai pemberdayaan para anak jalanan yang diterapkan
selama ini oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Sidoarjo dan untuk
mengetahui model pemberdayaan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan, serta
harapan para anak jalanan dengan judul ”PERAN DINAS SOSIAL DAN
TENAGA KERJ A DALAM PEMBERDAYAAN ANAK J ALANAN ((Studi
Pada Anak J alanan Di Kecamatan Sidoar jo)”
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat
dirumusan suatu masalah yaitu Bagaimanakah peran Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja dalam pemberdayaan anak jalanan di Kecamatan Sidoarjo?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang peran Dinas Sosial dan
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan
manfaat :
1. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan :
Secara umum hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sedikit
gambaran mengenai sebuah metode dari sekian banyak metode yang
memberikan kontribusi sebagai gambaran pengembangan metode-metode
selanjutnya.
2. Bagi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja :
Temuan penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dan acuan untuk membantu dan membina para anak jalanan.
3. Bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jawa Timur :
a Meningkatkan perbendaharaan bacaan bagi rekan–rekan mahasiswa
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
b Memperluas jaringan kerja sama dengan instansi atau lembaga lain yang
BAB II
KAJ IAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh pihak lain dan dapat
dipakai sebagai bahan masukan dan kajian yang terkait dengan penelitian ini,
telah dilakukan oleh
1. Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Astutik, S.Ag (Program pasca sarjanah
Universitas Airlangga; 2005) dengan judul : “Pengembangan Model
Pembinaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah Di Jawa Timur” Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa program pembinaan anak jalanan selama
ini melalui rumah singgah di wilayah Jawa Timur berjalan sesuai standart
layanan dari Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur. dan terdapat variasi konsep
dan pendekatan sesuai kebutuhan kondisi dilapangan dan daerah setempat.
Karena mustahil jika seluruh rumah singgah yang ada hanya kaku mengikuti
standart layanan yang ditentukan dari Dinas terkait. Dari variasi konsep dan
pendekatan yang muncul sesuai kebutuhan kondisi dilapangan tersebut
diharapkan akan memunculkan pengembangan model pembinaan.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Sri Sutari (Universitas Airlangga Surabaya;
2001) dengan judul : “Pemberdayaan Anak Jalanan di Rumah Singgah”.
Penelitian yang dilakukan lebih ingin menggambarkan atau
melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian ini yaitu dalam pelaksaan
pemberdayaan yang dilakukan lebih menekankan pada rangkaian kegiatan
usaha/mengembalikan status anak-anak jalanan ke dalam lingkungan
masyarakat sesuai dengan aturan dan norma-norma yang berlaku. Dari hasil
analisis diketahui bahwa program pemberdayaan anak jalanan melalui rumah
singgah, memang belum memenuhi target yang diharapkan, hal tersebut
berkaitan dengan faktor-faktor teknis maupun non teknik yang
mempengaruhi pelaksanaan program pemberdayaan anak jalanan dan banyak
hal yang menyebabkan anak-anak binaan tidak tertarik akan
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh rumah.
Perbedaan dengan kedua penelitian di atas, yaitu penelitian yang dilakukan
Sri Utari dan Dwi Astuti lebih menekankan pada peran Rumah Singgah dalam
pemberdayaan anak jalanan, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti
lebih menekankan pada peran Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dalam
pemberdayaan anak jalanan di Kabupaten Sidoarjo.
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Pengertian Peranan
Peranan merupakan suatu kata yang sudah mendapat akhiran yaitu kata
dasar peran dan akhiran -an, sehingga menjadi peranan. Dalam kamus bahasa
Indonesia ada dua arti yaitu yang pertama adalah bagian yang dimainkan seorang
pemain, sedangkan arti kedua adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang
dalam suatu peristiwa.
Dalam pendapat lain yang dikemukakan oleh Soekanto (2000 : 268)
Peranan (Role) yakni merupakan aspek kedudukan (status). Apabila seseorang
menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan dengan peranan adalah
untuk kepentingan ilmu pengetahuan keduanya tak dapat dipisahkan, karena yang
satu tergantung dengan yang lainnya.
Melihat dari artian peranan diatas maka antara kedudukan dengan peranan
tidak bisa dipisahkan. Jadi peranan seseorang dapat dilihat dari keberadaan dalam
masyarakat baik secara struktural maupun kultural.
Soekanto mengatakan lebih lanjut (2000 : 269) bahwa peranan mencakup
tiga hal sebagai berikut :
1. Peranan meliputi norma norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat.
2. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat diiakukan oleh individu
dalam hidup bermasyarakat sebagai suatu organisasi.
3. Peranan juga dapat dikatakan perilaku individu yang penting bagi struktur
sosial masyarakat. Peranan yang melekat pada individu individu dalam
masyarakat penting bagi hal hal sebagai berikut :
a. Peranan harus dilaksanakan jika ingin mempertahankan kelangsungan
struktur masyarakat.
b. Peranan melekat pada individu-individu yang mampu melaksanakannya.
c. Belum tentu semua orang mampu melaksanakan peranannya secara baik
karena terbentur dengan kepentingan kepentingan pribadi dan
kepentingan orang lain.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa peranan adalah hak dan
kewajiban yang harus dilakukan oleh seseorang berkaitan dengan kedudukan,
2.2.2. Pengertian Pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat menurut Suharto (2006 : 58) adalah sebuah
proses dengan mana orang menjadi cukup kuat berpartisipasi dalam berbagai
pengontrolan dan mempengaruhi terhadap kejadian-kejadian serta
lembaga-lembaga dan mempengaruhi kehidupannya.
Selanjutnya pemberdayan menurut Rappaport (1984) dalam Suharto (2006 :
59) adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas mampu
menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya.
Sedangkan Hulme dan Turner dalam Soekanto (2000 : 268) menyatakan
bahwa pemberdayaan mendorong terjadinya suatu proses perubahan sosial yang
memungkinkan orang-orang pinggiran yang tidak berdaya untuk memberikan
pengaruh lebih besar di arena politik secara lokal maupun nasional.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan pemberdayaan adalah suatu
proses perubahan sosial yang dapat mempengaruhi kehindupan dari seseorang.
2.2.2.1.Tahapan Pemberdayaan
Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007 : 2-6) ada tiga tahapan dalam
pemberdayaan yaitu :
1. Penyadaran
Adalah pencerahan dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka
mempunyai “sesuatu”.
2. Pengkapasitasan
Pengkapasitasan ini disebut capacity building atau memampukan manusia
baik dalam arti memampukan manusia, baik dalam konteks individu maupun
3. Pemberian daya
Pemberian daya ini disebut empowerment, pada tahap ini target diberikan
daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang.
2.2.2.2.Tujuan Pemberdayaan
Menurut Sumodiningrat dalam Onny (2001 : 101) pemberdayan memiliki
tujuan kemanusiaan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin dengan
jalan sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi kebutuhan kelompok lokal setempat dengan tujuan dapat
memenuhi kebutuhan tersebut.
2. Merumuskan kegiatan untuk mencapai sasaran.
3. Menyiapkan dana dan kondisi.
4. Memobilisir sumber daya setempat atau luar untuk kegiatan pembangunan
setempat.
Sedangkan menurut Suharto (2006 : 58) pemberdayaan bertujuan untuk
meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung.
Selanjunya Mashoed (2004 : 40) mengatakan bahwa upaya pemberdayaan
masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam pembangunan adalah :
1. Bantuan dana sebagai modal usaha.
2. Pembangunan prasana sebagai pendukung pengembangan sosial ekonomi
rakyat.
3. Penyediaan sarana untuk memperlancar pemasaran hasil produksi dan jasa
masyarakat.
4. Pelatihan bagi aparat dan masyarakat.
2.2.2.3.Strategi Pemberdayaan
Salah satu prasyarat bagi pengembangan pemberdayaan masyarakat adalah
perlunya kondisi keterbukaan yang lebih besar dalam masyarakat. Peran
pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat menurut Onny (2001 : 106) antara
lain dapat dirumuskan melalui pendidikan kemandirian dengan berperan sebagai
berikut:
1. Fasilitator dan katalisator, yaitu melalui para pembina yang tinggal di
tengah-tengah kelompok menyertai proses perkembangan masyarakat, membantu
memecahkan masalah dan ikut menetukan alternatif pemecahan.
2. Pelatih dan pendidik, yaitu mencarikan dan menyalurkan informasi dan
pengalaman dari luar ke dalam kelompok melalui berbagai metode belajar
mengajar.
3. Pemupukan modal antara lain dengan mendorong upaya-upaya penghematan,
menabung, dan usaha produktif.
4. Penyelenggaraan proyek-proyek stimulant dalam meningkatkan kemandirian
kelompok-kelompok swadaya seperti proyek teknologi tepat guna, produksi
dan pemasaran.
Dengan mengacu pada strategi yang di kemukakan oleh Korten, Elliot dan
Brodhead dalam Onny (2001 : 103) memberdayakan masyarakat dilakukan
melalui tiga pendekatan sebagai berikut :
1. Pendekatan kemanusiaan, tujuan pendekatan ini adalah membantu secara
spontan dan sukarela kelompok masyarakat tertentu yang membutuhkan
bantuan karena terkena musibah, atau kurang beruntung. Pendekatan ini
dilakukan oleh lembaga penyandang dana seperti Yayasan Dana Gotong
2. Pendekatan pengembangan masyar akat, bertujuan mengembangkan,
memandirikan, dan menswadayakan masyarakat seperti Yayasan Sejahtera
Indonesia (YIS) yang merintis pos pelayanan terpadu (Posyandu) yang
kemudian menjadi salah satu program pemerintah.
3. Pendekatan pemberdayaan rakyat, bertujuan memperkuat posisi tawar
menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekanan
di segala bidang dan sektor kehidupan.
Menurut Kartasasmita dalam Onny (2001 : 105), untuk meraih keberhasilan
dalam proses pemberdayaan masyarakat tersebut, diupayakan langkah
pemberdayaan masyarakat :
1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang (enabling) dengan mendorong, motivasi dan membangkitkan
potensi yang dimiliki untuk mengembangkan usahanya.
2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering)
dengan diadakannya program untuk menggali potensi yang ada dalam
masyarakat.
3. Pemberdayaan mengandung pula arti melindungi (protecting) dengan adanya
peraturan perundangan yang secara jelas dan tegas melindungi masyarakat
yang lemah.
Hal-hal yang berkaitan dengan strategi tersebut akan dijelaskan sebagai
berikut :
1. Enabling.
Adalah menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
setiap manusia, setiap masyarakat memiliki pootensi yang dapat dikembangkan.
Artinya tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya. Pemberdayaan artinya
tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya karena sudah punah,
pemberdayaan adalah untuk membangun daya. Itu yang mendorong, memotivasi
dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya
untuk mengembangkannya.
2. Empowering
Adalah memperkuat potensi yang dimiliki oleh masyarakat, untuk itu
diperlukan langkah-langkah lebih positif selain menciptakan iklim dan suasana.
Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan
berbagai masukan serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan
membuat masyarakat menjadi lebih berdaya. Untuk itu diperlukan program,
khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program yang umum, yang
berlaku untuk semua tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat..
3. Protecting
Adalah mengandung arti pula melindungi dalam proses pembedayaan harus
di cegah yang lemah menjadi bertambah lemah karena kurang berdaya
menghadapi yang kuat. Oleh karena itu dalam konsep pemberdayaan masyarakat,
perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya, dalam
rangka ini peraturan perundangan yang secara jelas dan tegas melindungi
golongan yang lemah sangat diperlukan, melindungi harus dilihat sebagai upaya
untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang. Pemberdayaan
masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai
program pemberian, karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus
Menurut Soeharto (2006 : 66) pemberdayaan dapat dilakukan dengan tiga
aras atau matra pemberdayaan (empowering setting) yaitu :
1. Aras Mikro.
Pemberdayaan dilakukan melalui bimbingan, konseling, stres manajemen,
crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih dalam
menjalankan tugas-tugas kehidupannya.
2. Aras Mezzo.
Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media
intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan
sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan, dan
sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang
dihadapinya.
3. Aras Makro.
Pendekatan ini disebut juga sebagai strategi sistem besar karena sistem
perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas.
2.2.2.4.Upaya Pemberdayaan
Menurut Mashoed (2004 : 44) dilihat dari profil kemiskinan (Property profil)
masyarakat terdapat beberapa masalah kemiskinan yang menjadi perhatian,
diantaranya :
1. Masalah kemiskinan tidak hanya masalah kesejahteraan (welfare) akan tetapi
masalah kerentanan. Disini berarti bahwa penanganan terhadap masalah
kemiskinan masyarakat di samping diarahkan untuk menangani masalah
kesejahteraan dengan memberikan sejumlah program peningkatan
2. Masalah kemiskinan adalah masalah ketidakberdayaan (powerlessness)
karena masyarakat tidak mendapatkan kesempatan untuk mengaktualisasikan
diri, tidak dapat kesempatan untuk ikut menentukan keputusan yang
menyangkut dirinya sendiri dan masyarakat tidak berdaya untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapi.
3. Masalah kemiskinan adalah masalah tertutupnya akses masyarakat terhadap
peluang kerja, karena hubungan produksi di dalam masyarakat tidak memberi
peluang kepada mereka untuk berpartisipasi, baik disebabkan rendahnya
tingkat kwalitas sumber daya manusia maupun tidak terpenuhinya
persyaratan kerja.
4. Masalah kemiskinan dapat terwujud dalam bentuk rendahnya akses
masyarakat pada pasar lantaran aksesibilitas yang rendah dan karena kondisi
alam yang miskin.
5. Masalah kemiskinan yang teridentifikasi karena penghasilan masyarakat
sebagian besar dihabiskan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan
dalam kuantitas dan kualitas yang terbatas, sehingga produktivitas mereka
menjadi rendah. Masalah kemiskinan juga ditandai dengan tingginya depency
ratio karena besarnya anggota keluarga sehingga berpengaruh terhadap
kemampuan untuk membiayai pendidikan dan kesehatan. Akibatnya kualitas
sumber daya manusianya menjadi rendah.
2.2.3. Pengertian Anak
Konsep “anak” didefinisikan dan dipahami secara bervariasi dan berbeda,
Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, anak adalah seseorang yang berusia di
bawah 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan menurut UU No. 23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Untuk kebutuhan penelitian ini, anak didefinisikan sebagai seorang manusia
yang masih kecil yang berkisar usianya antara 6–16 tahun yang mempunyai
ciri-ciri fisik yang masih berkembang dan masih memerlukan dukungan dari
lingkungannya.
Seperti manusia pada umumnya, anak juga mempunyai berbagai kebutuhan:
jasmani, rohani dan sosial. Menurut Abraham H. Maslow dalam Mangkunegara,
(2001 : 94), menyatakan bahwa kebutuhan manusia itu mencakup : kebutuhan
fisik (udara, air, makan), kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk menyayangi dan
disayangi, kebutuhan untuk penghargaan, kebutuhan untuk mengaktualisasikan
diri dan bertumbuh.
Sebagai manusia yang tengah tumbuh-kembang, anak memiliki keterbatasan
untuk mendapatkan sejumlah kebutuhan tersebut yang merupakan hak anak.
Orang dewasa termasuk orang tuanya, masyarakat dan pemerintah berkewajiban
untuk memenuhi hak anak tersebut. Permasalahannya adalah orang yang berada
di sekitarnya termasuk keluarganya seringkali tidak mampu memberikan hak-hak
tersebut. Seperti misalnya pada keluarga miskin, keluarga yang pendidikan orang
tua rendah, perlakuan salah pada anak, persepsi orang tua akan keberadaan anak,
dan sebagainya. Pada anak jalanan, kebutuhan dan hak-hak anak tersebut tidak
dapat terpenuhi dengan baik. Untuk itulah menjadi kewajiban orang tua,
masyarakat dan manusia dewasa lainnya untuk mengupayakan upaya
Berbagai upaya telah dilakukan dalam merumuskan hak-hak anak. Respon ini
telah menjadi komitmen dunia international dalam melihat hak-hak anak. Ini
terbukti dari lahirnya konvensi internasional hak-hak anak. Indonesiapun sebagai
bagian dunia telah meratifikasi konvensi tersebut. Keseriusan Indonesia melihat
persoalan hak anak juga telah dibuktikan dengan lahirnya Undang-undang RI
Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Tanpa terkecuali, siapapun
yang termasuk dalam kategori anak Indonesia berhak mendapatkan hak-haknya
sebagai anak.
2.2.3.1.Pengertian Anak J alanan
Anak jalanan merupakan “sebuah fenomena masyarakat yang menunjukkan
terganggunya social fanctuoringnya”. Dikatakan terganggu social fanctuoringnya
karena seharusnya seorang anak berada pada posisi Rumah Singgah, sekolah, atau
lingkungan bermain yang didalamnya terdapat interaksi yang mendukung
perkembangan anak tersebut (Hanadi. 2001 : 32).
Lain halnya dengan Dinas Sosial yang mengartikan bahwa anak jalanan
adalah yang berusia 6-18 tahun, menghabiskan waktu di jalan minimal 4 jam
untuk mencari nafkah di jalan atau di tempat-tempat umum lainnya.
Sedangkan menurut Rumah Singgah “Anak Ceria” anak jalanan adalah
anak-anak yang menghabiskan waktunya di jalan atau kehidupan luar rumah atau out
door life. Mereka biasanya kita jumpai di tempat/faslitas umum kota, seperti
pasar, terminal, plaza-plaza, stasiun, traffic ligth, dan lain-lain. Anak jalanan
umum berasal dari keluarga marginal perkotaan, kaum urbanis, anak bermasalah,
jalanan, khususnya Rumah Singgah di bawah pengawasan pemerintah. Definisi
ini tidak bermaksud pada remaja yang sering menghabiskan waktu di pusat-pusat
perbelanjaan atau tempat-tempat umum lainnya, tidak dengan bertujuan mencari
nafkah. (Hanadi, 2001 : 36)
Tentang siapa yang disebut sebagai “Anak Jalanan” belum ada juga
kesepakatan ataupun batasan-batasan teknis. Dari segi usia terdapat variasi pula.
Ada yang masih dalam usia sekolah, sekalipun demikian rata-rata anak jalanan
adalah para remaja yang kegiatannya menyatu dengan jalanan kota. Mereka tidak
bisa disebut anak terlantar, anak penggelandang, anak pengemis, anak nakal, toh
anak-anak remaja kita ini dengan nyata-nyata melaksanakan kegiatan yang dapat
saja disebut menjual jasa dan produk fisik lainnya. Anak jalanan muncul karena
ketimpangan struktur penduduk, dimana usia muda jumlahnya banyak, sedangkan
tingkat kesejahteraan mereka masih minim sekali, juga kehadiran anak jalanan
dari pengaruh alkohol, budaya pendidikan dan psikologis. (Tunggioe, 2002 : 115)
2.2.3.2.Pengertian Dan Karakteristik Anak J alanan
Sebenarnya istilah anak jalanan pertama kali diperkenalkan di Amerika
selatan, tepatnya di Brazilia, dengan nama meninos de ruas untuk menyebut
kelompok anak-anak yang hidup di jalanan dan tidak memiliki tali ikatan dengan
(Bambang, 2004 : 9), Namun, di beberapa tempat lainnya istilah anak jalanan
berbeda-beda. Di Colombia mereka disebut gamin (urchin atau melarat) dan
chinches (kutu kasur), marginais (kriminal atau marginal) di Rio, bui doi (anak
dekil) di Vienam, balados (pengembara) di Zaire dan Kongo. Istilah-istilah
posisi masyarakat. Semua anak sebenarnya memiliki hak penghidupan yang layak
tidak terkecuali pada anak jalanan. Namun ternyata realita berbicara lain,
mayoritas dan bisa dikatakan aemua anak jalanan terpinggirkan dalam segala
aspek kehidupan.
Menurut PBB anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar
waktunya di jalanan untuk bekerja, bermain atau beraktifitas lain. Anak jalanan
tinggal di jalanan karena dicampakkan atau tercampak dari keluarga yang tidak
mampu menanggung beban karena kemiskinan dan kehancuran keluarganya.
Umumnya anak jalanan bekerja sebagai pengasong, pemulung, tukang semir,
pelacur anak, dan pengais sampah. Tidak jarang menghadapi resiko kecelakaan
lalu lintas, pemerasan, perkelahian, dan kekerasan lain. Anak jalanan lebih mudah
tertular kebiasaan tidak sehat dari kultur jalanan, khususnya seks bebas dan
penyalagunaan obat. Lebih memprihatinkan lagi, lingkungan akan mendorong
anak jalanan menjadi obyek seksual seperti sodomi atau pelacuran anak.
Sementara itu menurut Soedijar (2000) dalam studinya menyatakan bahwa
anak jalanan adalah usia antara 7 tahun sampai 15 tahun yang bekerja di jalanan
dan tempat umum lainnya yang dapat mengganggu ketenteraman dan keselamatan
orang lain serta membahayakan keselamatan dirinya.
Selain itu Rahayu (2002) mendefinisikan anak jalanan adalah merupakan
anak-anak yang berusia di bawah 21 tahun yang berada di jalanan untuk mencari
nafkah dengan berbagai cara (tidak termasuk pengemis, gelandangan, bekerja di
toko/kios.
Dalam buku “Intervensi Psikososial” Depsos, (2001:20), mendefinisikan
mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya.
definisi tersebut memberikan 4 (empat) faktor penting yang saling terkait yaitu
sebagai berikut :
1. Anak-anak.
2. Menghabiskan sebagian waktunya.
3. Mencari nafkah atau berkeliaran.
4. Jalanan dan tempat-tempat umum lainnya.
Bersarkan hasil kajian di lapangan, secara garis besar anak jalanan di
bedakan menjadi tiga kelompok (Surbakti dkk, eds : 2003) :
Pertama, Children on the str eet, yakni anak-anak yang mempunyai
kegiatan ekonomi-sebagai pekerja anak-di jalan, tetapi masih mempunyai
hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka
dijalanan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga
ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti di
tanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya.
Kedua, Childr en of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di
jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih
mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekwensi pertemuan mereka
tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu
sebab-biasanya kekerasan lari atau pergi dari rumah. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan
salah, baik secara sosial, emosional, fisik maupun seksual.
Ketiga, Childr en fr om families of the street, yakni anak-anak yang berasal
hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang ambing
dari satu tempat ke tempat lain dengan segala resikonya. Salah satu ciri penting
dari kategori ini adalah pemampangan kehidupan jalanan sejak anak masih
bayi-bahkan sejak masih dalam kandungan. Di Indonesia kategori ini mudah ditemui di
berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang rel kereta api dan
pinggiran sungai- walau secara kuantitatif jumlahnya belum diketahui secara
pasti.
Menurut penelitian Departemen Sosial dan UNDP di Jakarta dan Surabaya
(BKSN, 2000 : 2-4) anak jalanan di kelompokkan dalam empat kategori :
1. Anak jalanan yang hidup di jalanan, dengan kriteria :
a. Putus hubungan atau lama tidak ketemu dengan orang tuanya;
b. 8-10 jam berada di jalan untuk “bekerja” (mengamen, mengemis,
memulung) dan sisanya menggelandang/tidur;
c. Tidak lagi sekolah;
d. Rata-rata berusia dibawah 14 tahun
2. Anak jalanan yang bekerja di jalanan, dengan kriteria :
a. Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya;
b. 8-16 jam berada di jalanan;
c. Mengontrak kamar sendiri, bersama teman; ikut orang tua/saudara,
umumnya di daerah kumuh;
d. Tidak lagi sekolah;
e. Pekerjaan : penjual koran, pengasong, pencuci bus, pemulung, penyemir
sepatu, dll;
3. Anak yang rentan menjadi anak jalanan, dengan kriteria :
a. Bertemu teratur setiap hari / tinggal dan tidur dengan keluarganya;
b. 4-5 jam kerja di jalanan;
c. Masih bersekolah;
d. Pekerjaan : penjual koran, penyemir, pengamen, dll;
e. Usia rata-rata di bawah 14 tahun.
4. Anak jalanan berusia di atas 16 tahun, dengan kriteria :
a. Tidak lagi berhubungan/berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya;
b. 8-24 jam berada di jalanan;
c. Tidur di jalan atau di rumahorang tua;
d. Sudah tamat SD atau SLTP namun tidak bersekolah lagi;
e. Pekerjaan : calo, mencuci bis, menyemir, dll.
Dalam buku “standar pelayanan sosial anak jalanan melalui rumah singgah”
(2002 : 13-15). Setiap rumah singgah boleh menentukan sendiri kategori anak
jalanan yang didampingi. Kategori anak jalanan dapat disesuaikan dengan kondisi
anak jalanan di masing-masing kota. Secara umum kategori anak jalanan sebagai
berikut :
1. Anak jalanan yang hidup di jalanan dengan cirinya sebagai berikut :
a. Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tuanya minimal
setahun yang lalu.
b. Berada di jalanan seharian untuk bekerja dan menggelandang.
c. Bertempat tinggal di jalanan dan tidur sembarangan tempat seperti
emper toko, kolong jembatan, taman, terminal, stasiun, dll.
2. Anak jalanan yang bekerja di jalanan :
a. Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya, yakni pulang secara
periodik misalnya seminggu sekali, sebulan sekali, dan tidak tentu.
Mereka umumnya berasal dari luar kota yang bekerja di jalanan.
b. Berada di jalanan sekitar 8-12 jam untuk bekerja, sebagian mencapai 16
jam.
c. Bertempat tinggal dengan car mengontrak sendiri arau bersama teman,
dengan orang tua/saudaranya, atau di tempat kerjanya di jalan.
d. Tidak bersekolah lagi.
3. Anak yang rentan menjadi anak jalanan, cirinya adalah :
a. Setiap hari bertemu dengan orang tuanya (teratur).
b. Berada di jalanan sekitar 4-6 jam untuk bekerja.
c. Tinggal dan tidur bersama orang tua/wali.
d. Masih bersekolah.
Lebih jelasnya dalam buku “modul pelatihan pimpinan rumah singgah”
(BKSN, 2006 : 61-62) kategori dan karakteristik anak jalanan :
1. Kelompok anak yang hidup dan bekerja di jalanan.
Karakteristiknya :
a. Menghabiskan seluruh waktunya di jalanan.
b. Hidup dalam kelompok kecil atau perorangan.
c. Tidur di ruang-ruang/cekungan di perkotaan, seperti : terminal, stasiun,
emperan toko, kolong jembatan, dan pertokoan.
d. Hubungan dengan orang tua biasanya sudah putus.
f. Bekerja sebagai pemulung, ngamen, mengemis, dan semir..
g. Berpindah-pindah tempat.
2. Kelompok anak jalanan yang bekerja di jalanan dan masih pulang kerumah
orang tua mereka setiap hari.
Karakteristiknya :
a. Hubungan dengan orang tua masih ada tapi tidak harmonis.
b. Sebagian besar dari mereka telah putus sekolah dan sisanya rawan untuk
meninggalkan bangku sekolah.
c. Rata-rata pulang setiap hari atau seminggu sekali.
d. Bekerja sebagai : pengemis, pengamen di perempatan, kernet, asongan
koran dan ojek payung.
3. Kelompok anak jalanan yang bekerja di jalanan dan pulang ke desanya antara
satu hingga dua bulan sekali.
Karakteristiknya :
a. Bekerja di jalanan sebagai pedagang asongan, menjual makanan keliling,
kuli angkut barang.
b. Hidup berkelompok bersama orang-orang yang berasal dari satu daerah
dengan cara mengontrak rumah tinggal di sarana-sarana umum/tempat
ibadat seperti masjid.
c. Pulang antara 1 hingga 3 bulan sekali.
d. Ikut membiayai keluarga di desanya.
e. Putus sekolah.
4. Anak remaja jalanan bermasalah (ABG)
Karateistiknya :
b. Sebagian sudah putus sekolah.
c. Terlibat masalah narkotika dan obat-obatan lainnya.
d. Sebagian dari mereka melakukan pergaulan seks bebas, pada beberapa
anak perempuan mengalami kehamilan dan mereka rawan untuk terlibar
prostitusi.
e. Berasal dari keluarga tidak harmonis.
Lebih rinci dalam buku “Intervensi Psikososial” (Depsos, 2001 : 23-24)
karakteristik anak jalanan di tuangkan dalam matrik berupa tabel ciri-ciri fisik dan
psikis anak jalanan berikut ini :
1. Ciri fisik :
a. Warna kulit kusam
b. Rambut kemerah-merahan
c. Kebanyakan berbadan kurus
d. Pakaian tidak terurus
2. Ciri psikis :
a. Mobilitas tinggi
b. Acuh tak acuh
c. Penuh curiga
d. Sangat sensitif
e. Berwatak keras
f. Kreatif
g. Semangat hidup tinggi
h. Berani menanggung resiko
Lebih lanjut dijelaskan dalam buku tersebut, indikator anak jalanan :
1. Usia berkisar antara 6 tahun sampai 18 tahun.
2. Intensitas berhubungan dengan keluarga :
a. Masih berhubungan secara teratur minimal bertemu sekali setiap hari.
b. Frekwensi berkomunikasi dengan keluarga sangat kurang.
c. Sama sekali tidak ada komunikasi dengan keluarga.
3. Waktu yang di habiskan di jalanan lebih dari 4 jam setiap hari.
4. Tempat tinggal :
a. Tinggal bersama orang tua
b. Tinggal berkelompok dengan teman-temannya
c. Tidak mempunyai tempat tinggal.
5. Tempat anak jalanan sering di jumpai di : pasar, terminal bus, stasiun kereta
api, taman-taman kota, daerah lokalisasi WTS, perempatan jalan, pusat
perbelanjaan atau mall, kendaraan umum, tempat pembuangan sampah.
6. Aktivitas anak jalanan : menyemir sepatu, mengasong, menjadi calo,
menjajakan koran/majalah, mengelap mobil, mencuci kendaraan, menjadi
pemulung, pengamen, menjadi kuli angkut, dan menyewakan payung
7. Sumber dana dalam melakukan kegiatan : modal sendiri, modal kelompok,
modal majikan/patron, stimulan/bantuan.
8. Permasalahan : korban eksploitasi seks, rawan kecelakaan lalu lintas,
ditangkap petugas, konflik dengan anak lain, terlibat tindakan kriminal,
ditolak masyarakat lingkungannya.
9. Kebutuhan anak jalanan : aman dalam keluarga, kasih sayang, bantuan usaha,
pendidikan, bimbingan keterampilan, gizi dan kesehatan, hubungan harmonis
2.2.3.3.Faktor-Faktor Penyebab Timbul Dan Tumbuhnya Gejala Anak
J alanan
Sementara ini banyak orang mengira bahwa faktor utama yang menyebabkan
anak turun ke jalanan untuk bekerja dan hidup di jalan adalah karena faktor
kemiskinan. Namun data dari literatur yang ada menunjukkan bahwa kemiskinan
bukanlah satu-satunya faktor penyebab anak turun ke jalan.
Berikut ini adalah secara umum, dapat dijelaskan bahwa ada 3 (tiga)
tingkatan penyebab keberadaan anak jalanan, yaitu sebagai berikut (Depsos, 2001
: 25-26) :
1. Tingkat mikro (immediate causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan
anak dan keluarganya.
2. Tingkat messo (underlying causes), yaitu faktor yang ada di masyarakat.
3. Tingkat makro (basic causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur
makro.
Pada tingkat mikro sebab yang bisa diidentifikasi dari anak dan keluarga
yang berkaitan tetapi juga bisa berdiri sendiri, yakni :
1. Lari dari keluarga, disuruh bekerja baik masih sekolah atau sudah putus
sekolah, berpetualang, bermain-main atau diajak teman.
2. Sebab dari keluarga adalah terlantar, ketidakmampuan orang tua
menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orang tua, salah perawatan atau
kekerasan di rumah, kesulitan berhubungan dengan keluarga atau tetangga,
terpisah dengan orang tua, sikap-sikap yang salah terhadap anak,
keterbatasan merawat anak yang mengakibatkan anak menghadapi masalah
Pada tingkat mikro (masyarakat), sebab yang dapat di identifikasi meliputi :
1. Pada masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk membantu peningkatan
keluarga, anak-anak diajarkan bekerja yang berakibat drop out dari sekolah.
2. Pada masyarakat lain, urbanisasi menjadi kebiasaan dan anak2 mdngikuti
kebiasaan itu.
3. Penolakan masyarakat dan anggapan anak jalanan sebagai calon kriminal.
Pada tingkat makro (struktur masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi adalah :
1. Ekonomi adalah peluang pekerjaan sektor informal yang tidak terlalu
membutuhkan modal keahlian, mereka harus lama di jalanan dan
meninggalkan bangku sekolah, ketimpangan desa dan kota yang mendorong
urbanisasi.
2. Pendidikan adalah biaya sekolah yang tinggi, prilaku guru yang diskriminatif,
ketentuan teknis dan birokratis yang mengalahkan kesempatan belajar.
3. Belum beragamnya unsur-unsur pemerintah memandang anak jalanan antara
sebagi kelompok yang memerlukan perawatan (pendekatan kesejahteraan)
dan pendekatan yang menganggap anak jalanan sebagai trouble maker atau
pembuat masalah (security approach/pendekatan keamanan).
Atau dengan kata lain faktor-faktor yang membuat keluarga dan anaknya
terpisahkan (BKSN, 2000 : 111) adalah :
1. Faktor pendorong :
a. Keadaan ekonomi keluarga yang semakin dipersulit oleh besarnya
kebutuhan yang ditanggung kepala keluarga, sehingga tidak mampu
memenuhi kebutuhan keluarga, maka anak-anak disuruh ataupun dengan
sukarela membantu mengatasi kondisi ekonomi tersebut.
b. Ketidakserasian dalam keluarga, sehingga anak tidak betah tinggal di
c. Adanya kekerasan atau perlakuan salah dari orang tua terhadap anaknya
sehingga anak lari dari rumah.
d. Kesulitan hidup di kampung, anak melakukan urbanisasi untuk mencari
pekerjaan mengikuti orang dewasa.
2. Faktor penarik :
a. Kehidupan jalanan yang menjanjikan, di mana anak mudah
mendapatkan uang, anak bisa bermain dan bergaul dengan bebas.
b. Diajak teman.
c. Adanya peluang di sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan
modal dan keahlian.
Di samping faktor-faktor tersebut di atas lingkungan komunitas juga sebagai
penyebab bagi gejala anak di jalanan terutama yang erat kaitannya dengan fungsi
stabilitas sosial dari komunitas itu sendiri. Ada dua fungsi stabilitas komunitas,
yaitu pemeliharaan tata nilai dan pendistribusian kesejahteraan dalam kalangan
komunitas yang bersangkutan. Dalam pemeliharaan tata nilai misalnya tetangga
atau tokoh masyarakat tidak menasihati menegor, ataupun melarang anak
berkeliaran di jalan. Dan berkenaan dengan pendistribusian kurangnya bantuan
dari tetangga atau organisasi sosial kemasyarakatan terhadap keluarga miskin
dilingkungkannya. Dengan kata lain belum memberikan perlindungan terhadap
anak yang terlantar dilingkungkan komunitasnya.
Lebih jauh lagi disebutkan, ada beberapa faktor yang saling mempengaruhi
anak turun ke jalan :
1. Meningkatnya “gejala” masalah keluarga, seperti :
a. Kemiskinan
c. Perceraian
d. Kawin muda
e. Kekerasan dalam rumah tangga, dll
2. Penggusuran dan pengusiran keluarga miskin dari tanah atau rumah milik
mereka dengan alasan “demi pembangunan”, mereka semakin tidak berdaya
dengan kebijakan ekonomi makro pemerintah yang lebih menguntungkan
segelintir orang.
3. Migrasi desa ke kota dalam mencari kerja, yang diakibatkan kesenjangan
pembangunan desa-kota, kemudian transportasi dan ajakan kerabat, membuat
banyak keluarga dari desa pindah ke kota dan sebagian dari mereka terlantar,
hal ini mengakibatkan anak-anak mereka terlempar ke jalan.
4. Melemahnya keluarga besar, di mana keluarga besar tersebut tidak mampu
lagi membantu terhadap keluarga-keluarga inti, hal ini diakibatkan karena
pergeseran nilai, dan kondisi ekonomi, serta kebijakan pembangunan
pemerintah.
5. Adanya kesenjangan sistem jaring pengaman sosial sehingga jaring
pengamanan sosial tidak ada ketika keluarga dan anak menghadapi kesulitan.
6. Pembangunan telah mengorbankan ruang bermain bagi anak (lapangan,
taman, dan lahan-lahan kosong). Dampak sangat terasa pada daerah-daerah
kumuh perkotaan, di mana anak-anak menjadikan jalan sebagai ajang
bermain dan bekerja.
7. Meningkatnya angka anak putus sekolah karena alasan ekonomi, telah
mendorong sebagian anak untuk menjadi pencari kerja dan jalanan mereka
8. Kesenjangan komunikasi antara orang tua dan anak di mana orang tua sudah
tidak mampu lagi memahami kondisi serta harapan anak-anak telah
menyebabkan anak mencari kebebasan.
Dari uraian di atas, beberapa faktor yang saling tarik-menarik munculnya
gejala anak jalanan dan semakin berkembang yang secara kuantitatif jumlah anak
jalanan semakin sulit diprediksi.
2.2.3.4.Pr oses Terjadinya Anak J alanan.
Menurut Sukadi (2001 : 10) mengungkapkan bahwa proses terjadinya anak
jalanan dibagi dalam beberapa tahapan :
1. Pengetahuan sampai adanya ketertarikan
Ada kebiasaan semakin berkelompok dari anak-anak di perkampungan.
Mereka ini biasanya bersama kelompoknya jalan-jalan ke tempat sebagai mana
telah disepakati bersama. Di perjalanan mereka menjumpai anak-anak jalanan
sedang bekerja. Sampai di sini masih sebatas melihat dan sebagai pengetahuan
mereka, bahwa ada pekerjaan yang bisa menghasilkan uang dan itu bisa dilakukan
anak seusia mereka. Pada tahap ini masih tergantung pada masing-masing anak,
seberapa besar perhatian dan ketertarikan pada pekerjaan tersebut. Namun dalam
tahap ini tidak membuat anak langsung turun ke jalan, melainkan bergantung pada
stimulus berikutnya (ada fasilitas).
2. Ketertarikan sampai keinginan
Dalam tahap ini merupakan tahap ketertarikan yang telah mendapat
“fasilitas” atau faktor pendorong, seperti kondisi ekonomi atau kondisi keretakan
hubungan orang tua. Fasilitas tersebut, akan semakin memperkuat keinginan
3. Pelaksanaan
Si anak mulai melaksanakan niatan dengan mendatangi tempat operasi. Bila
disini mereka menemukan teman yang sudah dikenal maka keinginan segera
terealisasi meski agak malu-malu.
4. Mulai memasuki kehidupan anak jalanan
Dalam tahap ini si anak akan diterpa berbagai pengaruh kehidupan jalanan.
Namun demikian hal ini juga tergantung pada diri anak itu sendiri dan teman yang
membawanya. Yang tak kalah penting peranan orang tua untuk tetap
mengontrolnya. Bila ketiga pihak masih berada di jalanan, anak akan tetap positif
dan telah tercabut dari norma dan nilai yang telah dipegang sebelumnya.
5. Terjerumusnya atau kembali pada kehidupan wajar
Bila dalam perkembangannya si anak merasa bahwa mencari nafkah di
jalanan semakin sulit, maka ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama
bertahan dengan tetap memegang norma kemasyarakatan atau keluar dari
komunitas jalanan. Kemungkinan kedua bila menerima stimulus baik dari kawan
maupun pihak lain untuk berbuat negatif, maka si anak sudah masuk dalam
kategori anak jalanan bebas di mana norma agama dan kemasyarakatan cenderung
ditinggalkan. Pada tahap inilah kecenderungan berperilaku menyimpang terjadi
seperti, judi, seks bebas, atau tindakan kriminal lainnya.
2.2.3.5.Kelemahan Anak J alanan dan Hambatan.
Menurut Teori Radikalisme, Robert K Merton (1938) dalam Sukadi (2001 :
12) menyatakan bahwa para penghuni liar sebagai revolusionis, yang artinya para
akan menjadi pengacau sosial serta memegang suatu pandangan politik yang
radikal. Argumentasi yang mendasari hal ini adalah bahwa para migran
meninggalkan tempat tinggal mereka dengan harapan yang tidak realistis
mengenai kehidupan baru yang ditawarkan kota kepada mereka. Setibanya di kota
mereka merasa asing dan tersendiri didalam mencari harapan mereka sendiri, dan
sebaliknya mereka menjadi frustasi oleh permasalahan yang tidak bisa mereka
selesaikan seperti pendidikan, pekerjaan dan pelayanan kesehatan. Kekecewaan
ini berlanjut ketika mereka melihat sekeliling mereka gemerlapan kehidupan
perkotaan lewat media massa yang tidak mampu mereka peroleh. Tidak adanya
keseimbangan antara kemampuan dan realitas yang ada di sekitar mereka,
membuat kelompok ini cenderung radikal.
Menurut penelitian psikologis di tahun 1960-an, kekecewaan dan rasa frustasi
ini dapat mengarah pada sikap agresif yang berarti bahwa para migran selalu
dipandang sebagai orang yang mudah marah di dalam tindak kekerasan ataupun
aktivitas revolusioner karena mereka tidak mampu memenuhi aspirasi mereka.
Kebijakan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Sidoarjo periode 2010
– 2011 melakukan serangkaian kegiatan, yaitu sebagai berikut :
1. Penertiban anak jalanan yaitu operasi terpadu bersama Satuan Polisi Pamong
Praja, Kepolisian Resort Sidoarjo dan Komando Rayo Militer. yang meliputi :
a. Razia dan Patroli
Merupakan proses penangkapan terhadap anak jalanan yang ada di
wilayah Kabupaten Sidoarjo dan dilakukan secara bersama-sama oleh
pihak Satpol PP, Kepolisian, dan Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten
b. Melakukan identifikasi.
Merupakan suatu kegiatan pencatatan atau pendataan yang
dilakukan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja tentang identitas dari anak
jalanan yang terjaring dalam operasi terpadu.
2. Dinas Sosial dan Tenaga Kerja melakukan pembinaan anak jalanan, yang
meliputi :
a. Bimbingan Sosial
Merupakan suatu.pembinaan sosial dengan melalui ceramah
agama dan ceramah sosial
b. Pelatihan dan Ketrampilan.
Merupakan suatu.pembinaan sosial dengan memberikan pelatihan
dan ketrampilan, sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimiliki oleh
anak jalanan.
c. Program Usaha Ekonomi Produktif
Bantuan yang diberikan sesuai dengan program pelatihan dan
ketrampilan yang diberikan misalnya mesin jahit untuk anak jalanan yang
mempunyai kemampuan menjahit, dan alat-alat pertukangan untuk anak
jalanan yang mempunyai kemampuan bertukang.
d. Pengawasan dan Evaluasi
Pengawasan dilakukan terhadap anak jalanan yang ditampung
dalam pembinaan Dinas Sosial dan Melakukan evaluasi terhadap
pelatihan dan pembinaan dari berbagai kegiatan yang diikuti oleh anak –
2.3. Kerangka Ber fikir.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disusun suatu model alur kerangka
berfikir, yang disajikan pada gambar 1, sebagai berikut :
Gambar 1 : Kerangka berpikir
Sumber : Teori yang telah diolah. Operasi terpadu :
1. Razia atau Patroli 2. Kerja sama dalam
pelaksanaan operasi terpadu 3. Lokasi atau tempat operasi
penertiban 4. Identifikasi
Terciptanya Anak Jalanan Terbedayakan
Pembinaan anak jalanan : 1. Bimbingan Sosial
2. Pelatihan dan Ketrampilan
3. Program Usaha Ekonomi Produktif Peran Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo No. 5 tahun 2007 tentang Ketentraman
dan Ketertiban Umum Sosial dan Tenaga Kerja UU No. 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. J enis Penelitian
Untuk memperoleh hasil yang baik dalam suatu penelitian, maka diperlukan
teknik-teknik tertentu secara ilmiah atau sering disebut dengan metode penelitian.
Untuk kepentingan itu maka perlu diketahui dan dipelajari hingga tercapai tujuan
yang diinginkan. Hal ini sangat penting karena dengan metode penelitian akan
dapat diperoleh data yang valid dan relevan dengan tujuan penelitian.
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka metode penelitian yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kualitatif.
Melalui metode kualitatif, peneliti mendengar dan melihat narasumber berbicara
yang sesungguhnya tentang dirinya sendiri sesuai dengan perspektif
masing-masing dan mengamati mereka berperilaku seadanya sesuai dengan posisi dan
peran di dalam sistem sosial masing-masing pula.
Sedangkan defenisi lain penelitian kualitatif menurut (Kirk dan Miler dalam
Moleong, 2007 : 4) adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang
secara fundamental bergantung pada kawasannya sendiri dan berhubungan dengan
orang-orang tersebut, dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.
3.2. Situs Penelitian
Situs Penelitian merupakan tempat yang digunakan oleh peneliti untuk
mendapatkan keadaan sebenarnya dari obyek yang diteliti guna memperoleh data.
penelitian, maka peneliti menetapkan situs penelitian ini dilakukan di Dinas Sosial
dan Tenaga Kerja Kabupaten Sidoarjo sebagai instansi yang bertanggungjawab
dan mempunyai peranan penting dalam melakukan pemberdayaan anak jalanan
yang ada di Kabupaten Sidoarjo.
3.3. Fokus Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, ada yang disebut dengan batasan masalah.
Batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut dengan fokus yang berisi
pokok masalah (Moleong, 2007 : 93). Apabila tidak dibatasi dimungkinkan akan
terjebak pada melimpahnya volume data yang diperoleh di lapangan. Selain itu
fokus penelitian sangat penting untuk dijadikan sebagai sarana untuk memandu
dan mengarahkan jalannya penelitian. Oleh karena itu untuk membatasi ruang
gerak penelitian agar ada batasan tentang data mana yang harus dan tidak perlu
dikumpulkan (inclusion-exslusion crieteria). sehingga menghasilkan kesimpulan
yang sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitiaan yang dirumuskan, maka
dapat ditarik fokus penelitiaan antara lain :
1. Operasi Terpadu
Merupakan operasi yang dilakukan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial
Kabupaten Sidoarjo dalam rangka menertibkan para anak jalanan dengan cara
menagkap anak jalanan di wilayah operasi dan di bawah ke tempat penampungan
sementara guna tindakan lebih lanjut, Adapu kajian sasarannya, yaitu :
a. Razia atau patroli
Merupakan proses penangkapan terhadap anak jalanan yang ada di
wilayah Kabupaten Sidoarjo dan dilakukan secara bersama-sama oleh
pihak Satpol PP, Kepolisian, dan Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten
b. Kerja sama dalam pelaksanaan operasi terpadu terhadap operasi terpadu
Dalam melakukan razia atau patroli Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja Kabupaten Sidoarjo tidak bekerja sendiri tetapi bekerja sama
dengan pihak lain atau instansi yg terkait yaitu Polres Sidoarjo dan Satpol
PP dan operasi tersebut disebut dengan operasi terpadu.
c. Lokasi atau tempat operasi terpadu.
Tempat atau lokasi penenrtiban yang dilakukan Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja Sidoarjo beserta Polres Sidoarjo dan Satpol PP meliputi
beberapa lokasi-lokasi yang biasanya menjadi tempatanak jalanan
beroprasi atau juga di tempat-tempat keramaian, dan keberadaan anak
jalanan di tempat tersebut secara langsung maupun tidak langsung dapat
mengganggu ketertiban umum, maka perlu dilakukannya operasi terpadu
d. Identifikasi
Merupakan suatu kegiatan pencatatan atau pendataan tentang
identitas dari anak jalanan yang terjaring dalam operasi terpadu.
2. Pembinaan Anak Jalanan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial, meliputi
a. Bimbingan Sosial
Merupakan suatu.pembinaan sosial dengan melalui ceramah
agama dan ceramah sosial
b. Pelatihan dan Ketrampilan
Merupakan suatu.pembinaan sosial dengan memberikan pelatihan
dan ketrampilan, sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimiliki oleh
c. Program Usaha Ekonomi Produktif
Bantuan yang diberikan sesuai dengan program pelatihan dan
ketrampilan yang diberikan misalnya mesin jahit untuk anak jalanan yang
mempunyai kemampuan menjahit, dan alat-alat pertukangan untuk anak
jalanan yang mempunyai kemampuan bertukang.
d. Pengawasan dan Evaluasi
Pengawasan dilakukan terhadap anak jalanan yang ditampung
dalam pembinaan Dinas Sosial dan Melakukan evaluasi terhadap
pelatihan dan pembinaan dari berbagai kegiatan yang diikuti oleh anak –
anak jalanan.
3.4. J enis Dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan
deskriptif. Menurut Moleong (2007 : 4) penelitian diskriptif kualitatif adalah
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati, sedangkan
menurut Arikunto (2002 : 309) diskriptif kualitatif adalah penelitian yang
dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang
ada, yaitu keadaan gejala menuntut apa adanya pada saat peneliti dilakukan.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa penelitian deskriptif
ini berusaha menggambarkan objek penelitian berdasarkan fakta dan data serta
kejadian berusaha menghubungkan kejadian-kejadian atau objek penelitian
sekaligus menganalisanya berdasarkan konsep-konsep yang telah dikembangkan
penelitian ini, peneliti mencoba mendeskripsikan tentang peran Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja dalam pemberdayaan anak jalanan di Kabupaten Sidoarjo..
3.5. Sumber Data
Sumber data adalah subyek dari mana saja data dapat diperoleh (Arikunto,
2002 : 107). Lebih lanjut dikatakan bahwa, secara garis besar ada tiga jenis
sumber data yang biasanya disingkat dengan 3P, yaitu :
1. Person (orang) : tempat peneliti bertanya terhadap nara sumber yaitu
pembina dari dinas sosial, pelatih diklat, dan perta (anak jalanan).
2. Paper (kertas) : dokumen ,arsip, pedoman surat keputusan (SK) dan lain
sebagainya, tempat penelitian membaca dan mempelajari sesuatu yang
berhubungan dengan data penelitian.
3. Place (tempat): ruang laboratorium (yang berisi perlengkapan), bengkel
kelas dan sebagainya tempat berlangsungnya suatu kegiatan yang
berhubungan dengan penelitian.
Sumber data dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan,
selebihnya data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. (Moleong, 2007 : 112)..
Dari pengertian tersebut, maka sumber data yang digunakan dalam penelitian ini :
1. Data primer (Primary data), merupakan sumber data penelitian yang
diperoleh secara langsung dari sumber asli (tidak melalui media perantara).
Data primer secara khusus dikumpulkan untuk menjawab pertanyaan
penelitian (Indriantoro, et, al, 2002 : 146). Pada penelitian ini data diperoleh
dengan melakukan wawancara dan observasi dengan pihak terkait, dalam hal
ini adalah Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dalam pemberdayaan anak jalanan
2. Data Sekunder (Secondary Data), merupakan sumber data penelitian yang
diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (Indriantoro,
et, al, 2002 : 147). Pada penelitian data sekunder yang digunakan berypa
dokumen-dokumen yang umumnya berupa bukti, catatan atau laporan
histories yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter).
3.6. Pr oses Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan bagian dari proses pengujian data yang
berkaitan dengan sumber dan cara untuk memperoleh data penelitan. Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:
1. Observasi (Pengamatan)
Observasi adalah proses pencatatan pola perilaku subyek (orang), obyek
(benda) atau kejadian yang sistematik tanpa adanya pertanyaan atau komunikasi
dengan individu-individu yang diteliti (Indriantoro, et, al, 2002 :157). Peneliti
melakukan pengamatan secara langsung pada rumah singgah tersebut dijadikan
peneliti sebagai tempat penelitian.
2. Interview (Wawancara)
Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk
mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalui bercakap-cakap dan
berhadapan muka dengan orang yang dapat memberikan keterangan pada si
peneliti (Mardalis, 2001 : 64). Peneliti melakukan wawancara dengan pihak-pihak
terkait dengan maksud untuk melengkapi data yang diperoleh melalui observasi.
Data ini berupa: bagaimana penerapan model pendekatan kekeluargaan yang telah