184 FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)
DIFTERI PADA ANAK DI INDONESIA
Factors Causing the Outbreaks of Diphfteria in Children in Indonesia Noer Endah Pracoyo1
1Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Email: nepracoyo@yahoo.com
Diterima: 31 Oktober 2020; Direvisi: 18 November 2020; Disetujui: 31 Desember 2020
ABSTRACT
The diphtheria is pathogen re-emerging diseases caused by Corynebacterium diphtheriae. In 1920 that were pandemic outbreak that caused of the death a thousand of children and there still was found fluctuated cases until 2018. The diphtheria could be prevented by immunization but still to be causing disease as an outbreak (KLB). The article is a review of several articles that aim to analyze the factors causing diphtheria in Indonesia. The number of selected articles were 25 with diphtheria incidence variables and risk factors for diphtheria causes. The result shown that the risk factors which was caused of the diphtheria outbreak i.e; children not to get immunization properly, incomplete basic immunization in children under 5 years old, the lack of parents knowledge about the importance of vaccinations in children and and environmental conditions that are less hygiene sanitation in residential areas. From the results was concluded that immunization is very important in the prevention of diphtheria Education is needed to public about the importance of vaccination, and the importance of maintaining healthy environment.
Keywords: Diphtheria, immunization, outbreaks
ABSTRAK
Difteri adalah penyakit pathogen re-emerging yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae. Pada tahun 1920 terjadi pandemic yang menyebabkan kematian pada ribuan anak-anak dan sampai dengan tahun 2018 masih ditemukan kasus yang berfluktuatif. Penyakit difteri ini dapat dicegah dengan imunisasi namun masih dapat menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB). Artikel ini merupakan review dari penelusuran beberapa artikel yang bertujuan untuk melakukan analisis faktor penyebab kejadian difteri di Indonesia.
Jumlah artikel terpilih sebanyak 25 artikrl dengan variabel kejadian difteri dan faktor risiko penyebab difteri. Hasil analisa menunjukkan bahwa beberapa faktor risiko yang dapat menimbulkan kejadian difteri antara lain pada anak-anak yang tidak mendapatkan imunisasi, pemberian imunisasi dasar pada anak di bawah lima tahun yang tidak lengkap, kurangnya pengetahuan orang tua tentang pentingnya melakukan imunisasi dan kondisi lingkungan tempat tinggal yang kurang bersih pada pemukiman padat penduduk.
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian imunisasi merupakan hal yang sangat penting dalam pencegahan penyakit difteri. Diperlukan edukasi pada masyarakat tentang pentingnya vaksinasi dan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan.
Kata kunci: Difteri, imunisasi, Kejadian Luar Biasa (KLB)
PENDAHULUAN
Corynebacterium diphtheria adalah bakteri patogen penyebab penyakit difteri.
Penyakit ini merupakan penyakit yang dahulu pernah terjadi namun sekarang muncul kembali (re-emerging diseases).
Pada tahun 1920 terjadi pandemi penyakit difteri yang menyebabkan kematian pada
ribuan anak-anak (Ramamurthy et al., 2018a)
.Penyakit difteri merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit ini pada umumnya menyerang tonsil, faring, laring, hidung.
Gejala spesifik difteri adalah timbulnya
membran asimetris keabu-abuan yang
dikelilingi oleh radang kemerahan pada
tenggorokan dan pembesaran kelenjar getah
185 lendir atau radang konjungtiva atau vagina,
bisa berlanjut ke sistem syaraf jantung, ginjal, sistem saraf pusat sehingga berakibat sukar menelan, kelemahan otot, sesak nafas, bahkan gagal jantung yang berakibat kematian mendadak. Penyakit difteri ditularkan melalui udara, percikan ludah saat berbicara dan kontak langsung dengan penderita difteri.
Penyakit difteri tersebar di seluruh dunia, angka kejadian menurun secara nyata setelah Perang Dunia ke II. Di Uni Soviet kasus difteri terjadi sejak tahun 1965, kemudian terjadi penurunan dan peningkatan kembali pada tahun 1981 sampai tahun 1995.
Pada tahun 1994 Kejadian Luar Biasa (KLB) terjadi di bagian Negara Uni Soviet dengan jumlah penderita sebanyak 47.802 orang dan 1.746 meninggal dunia, usia penderita dari berbagai umur dari anak-anak sampai dewasa. Menurut laporan WHO kasus difteri yang terjadi pada tahun 2008 berturut turut di negara-negara regional Afrika sebanyak 72 kasus, di Amerika 102 kasus, di Eastern Mediteran 133 kasus, di Western Pacific Region 95 kasus dan di South East Asia Region 6.502 kasus . Wabah difteri meningkat di tahun 2009, jumlah kasus difteri di South East Asia Region, kasus terjadi di Bangladesh berjumlah 23 kasus, Myanmar 19 kasus, Thailand 14 kasus dan di Indonesia 124 kasus. Pada tahun 2010 terjadi lagi wabah di South East Asia Region yakni di Banglades 13 kasus, Myanmar 4 kasus, Thailand 9 kasus. Di Indonesia kasus difteri ditemukan sejak tahun 2010 sampai dengan 2017 yakni sebagai berikut, tahun 2010 sebanyak 36 kasus difteri dan 8 diantaranya meninggal dunia, tahun 2011 sebanyak 816 kasus, tahun 2012 sebanyak 1.192 kasus, pada tahun 2013 sebanyak 775 kasus dan pada tahun 2015 terdapat 590 kasus dengan kasus kematian sebanyak 6%. Pada tahun 2016 terdapat 581 kasus, dengan jumlah kematian 24 (CFR 3,13 %) . Pada tahun 2017
Kabupaten/Kota dan di 28 provinsi. Jumlah kasus tahun 2017 sebanyak 954 dengan kasus kematian sebanyak 44 orang (CFR 4,61%), usia kasus bergeser dari usia balita ke usia 12 tahun ke atas. Tujuan kajian pustaka ini adalah melakukan analisis faktor-faktor yang menjadi penyebab difteri di Indonesia, dengan melakukan penelusuran artikel.
BAHAN DAN CARA
Artikel yang dipilih adalah artikel tentang kejadian difteri dan faktor risiko yang menjadi penyebab terjadinya wabah difteri.
Review artikel dilakukan secara sistematik terhadap artikel-artikel yang berhubungan dengan faktor risiko yang menyebabkan terjadinya KLB difteri di Indonesia yang diterbitkan antara tahun 2015 sampai dengan 2020. Penelusuran artikel dilakukan melalui internet, Pubmed, Google Scholar (Google Search) dan Portal garuda dengan menggunakan kata kunci faktor risiko terjadinya KLB difteri. Kriteria artikel yang dipilih adalah artikel hasil penelitian, hasil infestigasi, hasil penelitian epidemiologi, analisis review dan laporan. Artikel yang digunakan dengan menggunakan bahasa inggris dan bahasa Indonesia dan diakses secara full teks maupun melalui abstrak.
Jumlah artikel yang dikumpulkan
sampai dengan tanggal 26 Oktober 2020
sebanyak 39 artikel. Sebagian artikel
membahas tentang faktor risiko kejadian
KLB, penelusuran secara epidemiologi dan
hal- hal yang berhubungan dengan evaluasi
terjadinya KLB serta imunisasi. Selanjutnya
artikel yang memenuhi kriteria dilakukan
ekstraksi informasi dan deduksi isi sesuai
dengan tujuan evaluasi. Informasi yang
terkumpul kemudian dikelompokkan
menurut kejadian, daerah kejadian, kemudian
dilakukan sintesis untuk mendapatkan solusi
yang digunakan dalam penanggulangan KLB
difteri.
186
Gambar 1. Proses seleksi, ekstraksi, dan review artikel
Gambar diatas merupakan gambaran proses seleksi dan penyaringan artikel secara sistematik yang disesuaikan dengan tujuan evaluasi penulisan artikel. Artikel yang terpilih dan memenuhi kriteria sesuai tujuan penulisan kemudian dilakukan penyaringan kembali dan dikelompokkan sesuai dengan hasil yang diperoleh dari artikel yang terpilih antara lain.
1. Terjadinya KLB di suatu daerah.
2. Penelitian/Penyelidikan epidemiologi, 3. Penelusuran data dan analisa data
kejadian KLB disuatu daerah.
4. Faktor penyebab terjadinya KLB 5. Solusi masalah yang disarankan 6. Imunisasi
HASIL
Hasil evaluasi faktor risiko Kejadian Luar Biasa (KLB) dan beberapa artikel yang terkait difteri yang memenuhi syarat dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Judul artikel, penulis, Jenis/disain penelitian, sumber artikel terkait dengan kejadian difteri dan pencegahan
No Judul dan Penulis Jenis/Disain penelitian
Nama Jurnal dan
Tahun Hasil/ Kesimpulan
1. Diphtheriae: A Re- Emerging Public Health Challenge (Musthapa Y, Abubakar, Jamila lawal, 2020)
Laporan kasus International journal of Otorhinolaryngology and Head Neck Surgery, 2020, Jan 6.(1) 191-193
Laporan 9 kasus yang muncul dalam waktu 6 bulan, semua kasus menderita sakit tenggorokan, demam, membrane di urofaring dan bullnek, semuanya tdk diimunisasi difteri, semua kasus mengalami komplikasi dan 8 kasus diantaranya meninggal dunia.
2. Epidemiology Characteristics and Immunization Status of Diphtheria Patients in East Java Province 2018 (Wighardita, 2019)
Cross sectional Journal of Epidemiology.
(Jurnal Berkala Epidemiologi) Vol 7.
Issue 2 (103) tahun 2019
Difteri sering menyerang anak anak, pada tahun 2018 difteri menyerang orang dewasa.
Kebanyakan pasien difteri disebabkan pemberian imunisasi yang tidak lengkap, dan pasien tidak diimunisasi.
3. Determinant Factor for Cross sectional BKM Journal of Pendidikan orang tua
187
No Judul dan Penulis
penelitian Tahun Hasil/ Kesimpulan
Giving the Diphtheria, Pertussis and Tetanus Immunization in West Jawa Province 2017 (Nur Hairunisa, Besral, 2019)
Community Medicine and Public Health. Vol 35. No 2 Tahun 2019.
Berhubungan dengan pemberian DPT–HB / Imunisasi pentavalen pada anak anak.
Pendididkan yang baik akan berdampak positip dan berpengaruh peningkatan serta perubahan perilaku dalam mencegah penyakit, seperti pemberian imumisasi pada anak.
4 Gambaran Kasus Difteri Tahun 2009 sampai Agustus 2019 di
Kabupaten Bojonegoro (Kiki Famalasari, 2019)
Penelitian deskriptif dengan data sekundair
Media Gizi Kesmas, Vol 8, No. 2, Desember 2019; hal 67-76
Kasus difteri di Bojonegoro pada tahun 2009 sampai 2019 cenderung fluktuatif. Tahun 2009 sampai 2012 mengalami peningkatan kasus, kemudian tahun 2013 sampai 2014 kasus difteri mengalami penurunan.
Tahun 2015 kasus difteri mengalami peningkatan kembali dan kasus terbanyak pada tahun 2018. Usia penedrita difteri paling banyak pada usia 5-9 tahun.
Beberpa penderita mempunyai riwayat imunisasi yang tidak lengkap atau tidak
diimunisasi.
5. Diphtheria Patiens in East Java in 2018 (Dwi Rismayanti, 2019)
Media Penelitian Kesehatan,Vol 5, No 3, 2015
Status kelengkapan imunisasi difteri di Provinsi Jawa Timur sangat berperan terhadap kejadian kasus tahun 2018, khususnya penderita yang tidak mempunyai riwayat imunisasi lengkap dan tidak pernah mendapatkan imunisasi.
6. Diphtheria an Emerging Disease ( Ranamurthy dkk, 2018)
Mini review Journal Clinical Infectious Disease Practice Vol 3 (1) 121.
2018
Difteri disebabkan oleh toksigenik Corynebacterium diphtheria (Cd) yang menyebabkan epidemic ditahun 1920an dan
menyebabkan kematian pada ribuan anak. Ada 4 biotipe utama C. diphyheriae yakni Cd tipe Gravis, Cd.mitis, Cd.belfanti dan
Cd.intermedius. Tipe intermedius paling sering memproduksi eksotoksin.
7. Determinan Kejadian Difteri di Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang ( Fauzia A.2018)
Kasus control Jurnal Formil ( Forum Ilmiah) Kesmas-Respati Vol 3 No 2. 2018
Kesimpulan: Variabel yang dominan terhadap kejadian difteri adalah kelengkapan imunisasi Pentabio 3 8. Evaluasi Pelaksanaan
Kegiatan Out break Respon Immunization
Deskriptif kualitatif
Jurnal Kesehatan Masyarakat ( e- Journal).
Vol. 6 No 5. 2018
Pelaksanaan ORI dapat menekan angka penularan dan kematian akibat difteri ,
188
No Judul dan Penulis Jenis/Disain penelitian
Nama Jurnal dan
Tahun Hasil/ Kesimpulan
(ORI) difteri di Puskesmas Mijen Kota Semarang Tahun 2018 (Suci Aull Radian, 2018)
dibuktikan dengan tidak ada penambahan kasus baru di Kecamatan Mijen 9. Hubungan Pengetahuan
Tentang Imunisasi dengan Cakupan Imunisasi Anak di Puskesman Lampaseh.
(Lubis 2018).
cross sectional Jurnal Aceh Merdeka.
Vol. 2 No 1. 2018 .
Ada hubungan yang bermakna antara imunisasi dengan cakupan imunisasi pada anak
10. Difteri in England, 2018. Laporan kesehatan
Health Protection Report, Vol. 13 No 10; 2019.
Tahun 2018 diperoleh 123 isolat untuk diperiksa toxsigenik bakteri. Dari 123 isolat ditemukan 21 orang penderita difteri 2 diantaranya adalah toksigenik difteri dan satu teridenfikasi sebagai NTTB (Non Toxigenik Tuberculosis Bakteri), dan sisanya 18 orang
teridentifikasi non toksigenik bakteri difteri
11. Gambaran Riwayat Imunisasi Difteri pada Penderita Difteri Di Kota Surabaya Tahun 2017 (Ayu Fitriansah, 2018)
Cross sectional Jurnal Berkala
Epidemiologi, Vol. 6, No 2 , Tahun 2018 :103-111
Mayoritas penderita difteri di Surabaya berusia 18-84 bulan, mempunyai riwayat imunisasi tidak lengkap, mayoritas penderita difteri tidak mendapatkan imunisasi ulang (booster) baik DPT HB-Hbi, DT maupun TD. Kelengkapan imunisasi difteri 7 dosis penting dalam
penanggulangan kejadian difteri.
12.. Review Implentasi Imunisasi Dasar Lengkap yang Dilaksanakan Bidan di Kabupaten Bangkalan Tahun 2015 (Mugeni, 2017)
Deskriptif cross sectional
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol.8, No 2.
2017
Cakupan imunisasi dasar lengkap di Kabupaten Bangkalan masih rendah, dan masih terjadi penyakit menular defteri dan tetanus yang menyebabkan kematian bayi .
Penyuluhan belum dilakukan oleh tokoh masyarakat 13. Moleculer
Characterization of Corynebacterium diphtheria Out Break, in Afrika Selatan, Maret- Juni 2015 (Migon 2017)
Laporan kasus Pub Med. Emergency Infectious Diseases.
Agustus; 23 (8). 2017.
(1308-11315).
Dua garis keturunan baru yang di identifikasi jenis urutan Toksigenik (ST) ST378 dan ST 395.
ST ini hanya endemic di Afrika Selatan. difteri. Difteri kulit, wabah, urutan genum.
14. Diphtery Out break in Indonesia in 2017 (Asri hendrawati, 2017)
Laporan Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia 9 (1):3-4 tahun 2017.
Difteri masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia pada akhir tahun 2017 ada 95 kabupaten / Kota dari 20 provinsi pernah melaporkan kasus difteri. Pemerintah menghimbau masyarakat untuk memeriksa status
189
No Judul dan Penulis
penelitian Tahun Hasil/ Kesimpulan
imunisasi anak anak mereka.
15. Faktor yang Berhubungan Dengan Kasus Difteri Anak di Puskesmas Bangkalan Tahun 2016 (Isnaniyanti Fajrin dkk , 2017)
Studi kasus kontrol
Jurnal Berkala
Epidemiologi, Vol 6, No 1 , Jan 2017, h. 26-30
Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan, status imunisasi DPT berhubungan dengan kejadian difteri pada anak . Bidan desa perlu
meningkatkan kerja sama dengan kader sebagai educator dan conselor dalam
memberikan penyuluhan pada masyarakat.yang berhubungan dengan kejadian difteri dan manfaat pemberian imunisasi dasar hingga mencapai target Universal Child Immunization (UCI)
16 Review of The Epidemiology of Diphtheria 2000-2016.
(Kristie E.N, Clarke,2017)
Artikel review US Center for Disease Control and prevention 2017.
Total kasus difteri dari tahun 2000-2016 sebanyak 10.919 kasus dari 33 negara.
Kasus difteri terjadi pada individu yang tidak divaksinasi terutama di negara2 yang jumlah kasusnya tinggi.
Distribusi kasus
mencerminkan pergeseran usia remaja ke usia dewasa.
Individu yang sudah divaksinasi, akan terjadi penurunan kekebalan terhadap difteri, seiring dengan
bertambahnya usia.
17. Peran Petugas Imunisasi dalam Pemberian Vaksinasi Pentavalen (Tiani.I .dkk, 2016)
Survey analitik dengan pendekatan Cross sectional
Jurnal Ilmiah
Keperawatan 2016. Vol 4. No.1
Terdapat hubungan antara peran petugas terhadap pencapaian cakupan imunisasi. Di Kota Banda Aceh khususnya peran pengadaan logistik, pengelola imunisasi pemantauan dan evaluasi dengan cakupan imunisasi.
18. Penyelidikan Epidemiologi KLB Difteri di Kecamatan Geneng Karangjati Kabupaten Ngawi (Rachman dkk, 2016)
Penyelidikan epidemiologi
Jurnal Wiyata .vol 3.
Issue 2. Tahun 2016.
199-213
Faktor terjadinya difteri disebabkan belum tercapainya cakupan imunisasi, Kurang tepatnya dalam pengambilan sampel swab untuk
pemeriksaan difteri di laboratorium.
19. Penyelidikan
Epidemiologi Difteri di Kabupaten Lebak Provinsi Banten (Kambang dkk. 2016)
Penyelidikan epidemiologi
E-journal Litbangkes , Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Vol 26, Maret 2016 hal. 37-44
Dari hasil penyelidikan terhadap 23 sampel swab tenggorok, diperiksa secara kultur, mikroskopis dan Polymerase Chain reaction (PCR). Hasil yang diperoleh dari 23 sampel yang diperiksa swab menunjukkan hasil
190
No Judul dan Penulis Jenis/Disain penelitian
Nama Jurnal dan
Tahun Hasil/ Kesimpulan
Corenebacterium diphtheria.
Tipe gravik toksigenik. 4 kasus di diagnose klinis difteri 2 diantaranya meninggal dunia. 48% anak tidak diimunisasi, tingkat
pendidikan orang tua rendah, kepadatan hunian tinggi.
20. Pengaruh
Penatalaksanaan Program Imunisasi oleh Bidan Desa, Kepatuhan Standar Operasional Prosedur dan Ketersediaan Sarana Prasarana terhadap Efikasi Imunisasi Dasar di Kabupaten
Cianjur.2015 ( Diani, 2016)
Cross sectional Jurnal
Kebidanan”Midwifw”
Vol 2, No.1 Januari 2016
Variabel penatalaksanaan program imunisasi oleh bidan desa, Ketersediaan sarana dan prasarana.
Kepatuhan terhadap SOP berpengaruh terhadap minat masyarakat untuk mengikuti pelayanan imunisasi dasar.
Sehingga setiap Unit Pelayanan Imunisasi harus mengelola vaksin dengan benar sesuai dengan SOP sebagai upaya meningkatkan mutu pelayanan imunisasi di masyarakat.
20. Global Vaccine Plan, Evaluation, Accoutability (WHO, 2016).
Annual report WHO Annual Report 2016
Memastikan setiap Negara menyelenggarakan imunisasi.
Adanya permintaan untuk imunisasi. Manfaat Imunisasi digunakan untuk seluruh masyarakat.
Sistem imunisasi merupakan bagian integral dari system kesehatan yang berfungsi dengan baik.
Persediaan vaksin serta akses ke pemasok vaksin
berkelanjutan serta kualitas vaksin terjamin baik.
22. Analisa Data Spasial penyakit Difteri di Provinsi
Jawa Timur Tahun 2010 dan 2011 (Nailul Izza, Soenarnatalina), 2015
Analisis spasial Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Vol .18. No.2 April 2015 hal. 211-219
Distribusi penyakit difteri cenderung meningkat di tahun 2010-2011, jumlah kasus yang tinggi di Kota Surabaya, Malang, dan Kabupaten Malang dan kawasan tapal kuda meliputi Pulau Madura.
Ada hubungan antara penyakit difteri dengan cakupan imunisasi DPT3 dan cakupan imunisasi DT. Faktor yang mendukung terjadinya penyakit difteri adalah imunisasi DPT3 dan DT.
23 Penyelidikan
Epidemiologi Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri di Kabupaten Blitar, Tahun 2015.
(Gamasiano,2015)
Penyelidikan epidemiologi.
deskriptif kualitatif
The Indonesian Journal of Public Health 2 (1).
2015.
Hasil yang diperoleh 95,55%
Kasus difteri terjadi pada kelopok umur </= 15 tahun . 91 % kasus terjadi pada anak yang tidak diimunisasi secara lengkap.
Faktor penularan difteri
191
No Judul dan Penulis
penelitian Tahun Hasil/ Kesimpulan
disebabkan juga tingkat pengetahuan masyarakat yang rendah tentang difteri.
24 Daya Lindung Antibodi Anti Difteri pada Anak Usia 1-14 tahun ( Hasil Analisa Lanjut Riskesdas 2007 (Noer Endah dkk, 2015)
Analisa lanjut Media Penelitian Kesehatan Vol 5, No3.
2015
Perlindungan kekebalan terhadap difteri menurun seiring dengan bertambahnya usia anak.
25. Hubungan Peran Orang tua dengan Risiko Penularan (Status Imunisasi, Status Gizi, dan Perilaku) Difteri pada Balita di Desa Pawoan Kecamatan Panarukan Kabupaten Situbondo.
(Sundoko dkk, 2015)
Cross sectional Pustaka Kesehatan .Vol 3. No 1. (96-102) 2015.
Hasil yang diperoleh ada hubungan yang bermakna antara peran orang tua, status gizi dan status imunisasi anak balita dengan risiko penularan difteri
Hasil dari 25 artikel yang ditelusuri, didapatkan 3 artikel hasil penelitian kasus kontrol, 10 penelitian hasil penelitian cross sectional, 3 artikel hasil penyelidikan epidemiologi, 2 hasil artikel analisa data sekunder, 2 artikel review, 5 artikel laporan kasus. Artikel hasil penelitian tentang evaluasi kejadian luar biasa difteri di Indonesia berada di 11 wilayah kabupaten/
kota di Indonesia yaitu Jawa Barat (Cianjur, Tangerang), Banten (Lebak), Jawa Tengah (Semarang), Jawa Timur (Bangkalan, Blitar, Bojonegoro, Probolinggo, Malang dan Surabaya), Aceh (Lampaseh).
PEMBAHASAN
Faktor yang berperan terhadap kejadian luar biasa difteri diantaranya pendidikan orang tua yang rendah, lingkungan perumahan yang padat, pengelolaan vaksin yang kurang baik, peran petugas pengelolaan vaksin yang kurang baik, tidak lengkapnya riwayat imunisasi, tidak diimunisasi serta turunnya kekebalan terhadap difteri seiring dengan bertambahnya usia .
Hasil filtrasi artikel tentang kejadian wabah difteri yang sesuai dengan kriteria dan epidemi difteri dapat disarikan sebagai berikut, Corynebacterium diphtheria mempunyai 4 tipe yaitu: tipe gravis yakni tipe yang paling virulen mempunyai waktu memperbanyak diri selama 60 menit; tipe
intermedius merupakan jenis tipe yang mempunyai waktu memperbanyak diri 100 menit; tipe belfanti dengan waktu memperbanyak diri hampir sama dengan tipe intermedius; dan tipe mitis yang mempunyai waktu yang diperlukan untuk memperbanyak diri selama 180 menit. Di samping itu ada beberapa genus bakteri yakni Corynebacterium yang menyerupai difteri.
Secara klinis dapat menyebabkan penyakit seperti difteri (diphtheria like illness) dan biasanya bakteri ini ditemukan pada hewan piaraan seperti anjing, kucing, babi;
merupakan penyakit zoonosis (hewan yang terinfeksi dapat menular ke manusia (Abubakar dkk, 2020a, Ramamurthy et al., 2018a)
Penyakit ini sering ditemukan di daerah tropik dan daerah dengan kondisi higiene kulit perorangan yang kurang bersih.
Pada musim dingin di negara-negara sub tropik penyakit ini banyak menyerang anak- anak yang berusia 5 tahun terutama anak yang belum mendapat imunisasi. Masa inkubasi kuman 2-5 hari dan masa penularannya selama 2 minggu. Bakteri penyebab difteri dapat dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000 kali.
Bakteri tersbut merupakan jenis Gram positif
jika diwarnai dengan pewarnaan safranin
berbentuk batang dengan ujung membesar
seperti gada, tidak bergerak dan juga tidak
membentuk spora, diameter beriksar 0,1—1
mm. Karakteristik bakteri penyebab difteri
192
antara lain dapat mengeluarkan toksin, tahan terhadap cahaya, pengeringan dan pembekuan, pada pseudomembran dapat bertahan hidup pada suhu 38
oC selama 14 hari, pada air mendidih bisa bertahan selama 1 menit, jika kontak dengan desinfektan bakteri akan mati. Bakteri dapat bertahan hidup dalam lingkungan kering selama 7 bulan, misal pada debu, kaca, kain, tekstil.
Wabah difteri terjadi pada sekitar tahun 1920, namun dengan ditemukannya vaksin kejadian difteri menurun jumlahnya.
Kasus yang terjadi di Provinsi KwaZulu- Natal di Afrika Utara menganalisis karakteristik dari 21 isolat whole genum yang diambil dari 20 pasien selama kejadian KLB di peroleh 2 varian C. diphtheria diantaranya adalah difteri kulit (C. d. cutaneous), yakni toxigenic sequence type (ST) ST-378 (n = 17) and nontoxigenic ST-395 (n = 3), dan pada isolat C.d Cutaneous adalah ST 395 dan genetic ST ini hanya ditemukan di Afrika utara (du Plessis et al., 2017). Kejadian fatal yang disebabkan oleh C. diphtheria di Belgia pada anak yang berusia 3 tahun disebabkan karena tidak divaksinasi (States et al., 2016). Kasus yang ditemukan di Malappuram, Kerala Utara India adalah penderita difteri pada anak dan orang dewasa dengan status kekebalan yang sudah menurun (Krishnan et al., 2018).
Orang yang tertular dapat menjadi sakit atau timbul karier. Difteri umumnya menyerang tiga sistem organ yakni,
Difteri hidung menyerupai common cold dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan, sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mucopurulen yang menyebabkan lecet pada hidung dan bibir atas. Pada beberapa tempat terlihat membran putih misalnya pada daerah septumnasi.
Difteri kulit meskipun jarang dibahas namun secara epidemiologi memegang peranan cukup penting. Infeksi yang terjadi dapat menimbulkan efek patologis pada otot jantung dan organ lain dengan risiko kematian sebesar 10-70%.
Difteri laring ditandai dengan gejala klinis seperti nafas berbunyi, suara parau dan batuk kering. Difteri tonsolaring menunjukkan gejala serupa berupa anoreksia,
malaise, demam ringan dan nyeri menelan.
Dalam 1 sampai 2 hari kemudian timbul membran yang melekat berwarna putih kelabu dan mudah berdarah, dan dapat menutup tonsil dan dinding faring, kemudian meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah menuju trakea. Bila limfedenitis terjadi bersama oedem maka jaringan lunak leher yang luas timbul bullneck. Bila difteri laring terjadi perluasan maka akibat perluasan difteri faring gejala yang tampak merupakan campuran antara gejala obstruksi dan toksikemia. Pada kasus berat dapat terjadi palantum molle baik unilateral maupun bilateral, disertai kesulitan menelan dan regurgitasi yang dapat berakhir dengan gagal napas. Diagnosis difteri ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Identifikasi kuman difteri yang akurat, dengan diagnosis pemeriksaan etiologi difteri dan biakan kultur menggunakan media Loeffer, Elleck dan teknik PCR sebagai penanda bahwa ada kuman difteri di dalam tubuh, serta menggunakan metode ELISA (Clarke, 2017 dan Ramamurthy et al., 2018b). Artikel tentang deteksi kuman difteri dapat disarikan sebagai berikut, penyakit difteri disebabkan oleh eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman Corinebacterium diphtheria. Kuman ini terbagi menjadi beberapa tipe yakni. tipe gravis, mitis, intermedius dan belfanti (Ramamurthy et al., 2018c). Hasil penelitian Clark (2017) (menyatakan bahwa ribuan RNA non pengkode panjang (IncRNA), dalam penelitiannya secara komputasi mengkarakterisasi 2 bagian yang berbeda secara fungsional Inc RNA merupakan rangkaian yang beragam kelas yang mengikat dalam metode PCR.(Clarke, 2017)
Sejak tahun 1920 banyak kejadian
difteri yang menimbulkan kematian, dengan
ditemukannya vaksin dan dilakukan
vaksinasi banyak terjadi perubahan untuk
diagnosa, pengobatan dan vaksinasi
(Ramamurthy et al., 2018a). Kejadian difteri
yang sudah lama tidak ada dan muncul
kembali, dianggap sebagai Kejadian Luar
Biasa (KLB) yang harus dilaporkan dalam
waktu kurang dari 24 jam, untuk ditindak
lanjuti dengan penyelidikan epidemiologi
dan penanggulangan. Sesuai dengan Undang-
undang No. 4 tahun 1984 tentang wabah
penyakit menular. Artikel tentang
193 disarikan, jika ditemukan penderita dengan
ciri-ciri seperti terinfeksi difteri, maka perlu segera ditindaklanjuti dan diberikan antibiotic sesuai dengan PERMENKES No.
1501/MENKES/PER/X/2010. Jika muncul kasus difteri, maka perlu diwaspadai adalah ciri ciri epidemiologi, tanda tanda dan gejala klinis difteri, sehingga kasus segera dapat didiagnosis dan diobati (Abubakar dkk., 2020b). Gambaran kasus difteri tahun 2009 sampai 2012 terjadi pada kelompok umur 5 sampai 9 tahun, namun pada tahun 2013 sampai 2014 mengalami penurunan kasus.
Pada tahun 2015 sampai 2018 terjadi kenaikan kasus dengan usia penderita kurang dari 15 tahun (Alfiansyah, 2015) dan (Regency, 2019). Penyelidikan epidemiologi yang dilakukan oleh Rahman dkk di Kabupaten Ngawi adalah tentang faktor risiko utama kejadian difteri karena belum tercapainya UCI (Universal Child Immunization), serta kurang tepatnya pengambilan swab untuk pemeriksaan bakteri penyebab difteri di laboratorium. (Rahman dkk., 2016).
Artikel lain menyebutkan bahwa status pasien penderita difteri pada umumnya tidak mempunyai catatan imunisasi yang lengkap (Wigrhadita, 2019); (Arvicha Fauziah, Soekidjo Notoadmodjo, 2018, Husnah dkk., 2018, Alfiansyah, 2015). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mugeni dkk menyebutkan bahwa adanya cakupan imunisasi dasar yang rendah menyebabkan kematian pada bayi. Beberapa artikel menyebutkan bahwa kejadian difteri disebabkan oleh daya lindung (kekebalan) terhadap difteri mulai menurun sesuai dengan bertambahnya usia penderita. (Endah Pracoyo dkk., 2015, Clarke, 2017). Penelitian analisis spasial tentang difteri di Provinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara penyakit difteri dengan cakupan imunisasi DPT 3 dan DT, hal tersebut juga ditemukan pada penelitian Isnaniyanti, yakni variabel yang paling dominan dengan terjadinya kasus difteri adalah status imunisasi DPT (Izza &
Soenarnatalina, 2015, Arifin & Prasasti, 2017).
Penyelidikan epidemiologi yang dilakukan di Kabupaten Lebak Provinsi
cakupan imunisasi yang tidak memenuhi target, tingkat pendidikan orang tua yang rendah, kepadatan hunian yang tinggi.
(Kambang dkk., 2016, Sundoko dkk., 2015).
Penelitian determinan kejadian difteri di rumah sakit umum Tangerang Banten, hasil yang diperoleh adalah variabel yang paling dominan terhadap kejadian difteri adalah kelengkapan vaksinasi pentabio (PB) 3 (Arvicha Fauziah dan Soekidjo Notoadmodjo, 2018).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa faktor risiko kejadian difteri adalah tidak lengkapnya pemberian imunisasi dan bahkan tidak diimunisasi. Untuk itu diperlukan penyuluhan kepada tokoh masyarakat pentingnya anak untuk mendapatkan imunisasi dasar agar terhindar dari penyakit difteri (Sugiharto & Budisuari, 2015). Cakupan imunisasi dasar pada anak balita tergantung banyak hal antara lain petugas pengelola imunisasi, tokoh masyarakat, kesediaan orang tua untuk memberikan imunisasi dasar pada balita, meskipun sudah diwajibkan namun di beberapa daerah yang pernah mengalami KLB masih belum tercapai cakupan imunsasi dasar untuk balita (Izza & Soenarnatalina, 2015, Wigarhadita, 2019). Penelitian yang dilakukan oleh Sundoko dkk menyebutkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara peran orang tua, status gizi anak dan status imunisasi anak balita dengan risiko penularan difteri (Sundoko dkk., 2015), sedangkan peran petugas juga berpengaruh bersar terhadap keberhasilan cakupan imunisasi dasar pada balita (Usman dkk., 2016, Lubis
& Syahna, 2018). Penelitian Diani
menyatakan ada hubungan yang bermakna
antara peran petugas dengan capaian
Imunisasi (Usman dkk., 2016), sehingga
diperlukan petugas bidan desa dalam
meningkatkan edukasi dan monitoring kader
dalam pelaksanann imunisasi untuk mencapai
target UCI (Universal Child Immunization)
(Arifin & Prasasti, 2017). WHO
menyarankan bahwa sistem imunisasi
merupakan bagian integral dari system
kesehatan yang berfungsi dengan baik,
manfaat imunisasi harus dapat digunakan
untuk seluruh masyarakat, dan persediaan
vaksin serta akses ke pemasok vaksin
194
berkelanjutan, serta kualitas vaksin terjamin baik (WHO annual report series, 2016).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Faktor risiko kejadian difteri pada anak-anak, dikarenakan anak-anak yang tidak diimunisasi, pemberian imunisasi dasar pada anak di bawah usia lima tahun yang tidak lengkap, kurangnya pengetahuan orang tua tentang vaksinasi dan kondisi lingkungan pemukiman padat dan kurang bersih.
Saran
Saran yang dapat disampaikan pemberian imunisasi merupakan hal yang sangat penting dalam pencegahan penyakit difteri, perlu dilakukan edukasi pada masyarakat tentang pentingnya vaksinasi dan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini kami sampaikan ucapan terima kasih kepada Bp/Ibu reviewer yang telah membantu mereview serta memberikan masukan untuk perbaikan artikel ini, semoga kebaikan Bp/Ibu reviewer mendapat balasan kebaikan dari Allah yang Maha Pengasih. Aamiin .
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, M. Y., Lawal, J., Dadi, H., & Grema, U. S.
(2020a). Diphtheria : a re-emerging public health challenge. International Journal of Otorhinolaryngolgy and Health and Neck Surgery. Vol 6(1), 2018–2019.
Abubakar, M. Y., Lawal, J., Dadi, H., & Grema, U. S.
(2020b). Diphtheria : a re-emerging public health challenge. International Journal of Otorhinolaryngolgy and Health and Neck Surgery Vol. 6(1), 191–193.
Alfiansyah, G. (2015). Penyelidikan Epidemiologi Kejadian Luar Biasa ( KLB ) Difteri Di Kabupaten Blitar Tahun 2015. Preventia : The Indonesia Journal of Public Health Vol.2 (1),
Arifin, I. F., & Prasasti, C. I. (2017). Factors That Related With Diptheria Cases of Children in Bangkalan Health Centers in 2016. Jurnal Berkala Epidemiologi, 5(1), 26.
https://doi.org/10.20473/jbe.v5i1.2017.26-36
Arvicha Fauziah, Soekidjo Notoadmodjo, S. M. (2018).
Determinants of the Occurrence of Diphtheria in the Tangerang. Jurnal Formil (Forum Ilmiah) Kesehatan Masyarakat Respati, Vol.
3 No.2. 81–88.
Clarke, K. (2017). Review of the epidemiology of diphtheria 2000-2016. US Centeres for Disease Control and Prevention.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0044878 Du Plessis, M., Wolter, N., Allam, M., de Gouveia, L.,
Moosa, F., Ntshoe, G., Blumberg, L., Cohen, C., Smith, M., Mutevedzi, P., Thomas, J., Horne, V., Moodley, P., Archary, M., Mahabeer, Y., Mahomed, S., Kuhn, W., Mlisana, K., McCarthy, K., & von Gottberg, A. (2017). Molecular characterization of corynebacterium diphtheriae outbreak Isolates, South Africa, March–June 2015.
Emerging Infectious Diseases, 23(8), 1308–
1315.
https://doi.org/10.3201/eid2308.162039 Endah Pracoyo, N., Edison, H., & Rofiq, A. (2015).
Daya Lindung Antibodi Anti Difteri Pada Anak Usia 1-4 Tahun (Hasil Analisis Lanjut Riskesdan 2017). Media Litbangkes, 25(3), 193–202.
Husnah, H., Hutauruk, S. M., Fardizza, F., Aristya, S., Eka, M., Rini, M., Anita, R., Purwati, A., Putri, M. N., Hartoyo, E., & Fitriansyah, A.
(2018). Gambaran Riwayat Imunisasi Difteri Pada Penderita Difteri Di Kota Surabaya Tahun 2017. Jurnal Berkala Epidemiologi,
6(2), 103.
https://doi.org/10.20473/jbe.v6i2.2018.
Izza, N., & Soenarnatalina, S. (2015). Analysis of Spatial Data of Diphtheria Disease in East Java Province during the year 2010 and 2011.
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 18(2), 211–219.
https://doi.org/10.22435/hsr.v18i2.4353.211- 219
Kambang, S., Sunarno, N., Pracoyo, N. E., Putranto, R.
H., & Abdurrahman, N. (2016). Epidemiologi Kasus Difteri di Kabupaten Lebak Provinsi Banten Tahun 2014. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 26(1), 37–44.
https://doi.org/10.22435/mpk.v26i1.4902.37- 44
Krishnan, S., Kizhakkekarammel, P., George, K., Johnson, J., Kurukanari, R., & Raveendran, G. (2018). Re-emergence of diphtheria in Malappuram district, North Kerala, India.
Journal of The Academy of Clinical Microbiologists, 20(1), 37.
https://doi.org/10.4103/jacm.jacm_2_18 Lubis, S. Y., & Syahna, F. Z. (2018). Hubungan
Pengetahuan Ibu Tentang Imunisasi Dengan Cakupan Imunisasi Anak di Puskesmas Lampaseh. 2(1), 31–36.
Rahman, F. S., Hargono, A., & Susilastuti, F. (2016).
Penyelidikan Epidemiologi KLB Difteri di Kecamatan Geneng dan Karang Jati Kabupaten Ngawi Tahun 2015. Jurnal Wiyata, 3(2), 199–213.
Ramamurthy, T., Azim, S., Ganguly, S., &
Bhattacharya, S. K. (2018a). Diphtheria: An Emerging Disease. Journal of Clinical
195
https://doi.org/10.4172/2476-213x.1000121 Ramamurthy, T., Azim, S., Ganguly, S., &
Bhattacharya, S. K. (2018b). Diphtheria: An Emerging Disease. Journal of Clinical Infectious Diseases & Practice, 03(01).
https://doi.org/10.4172/2476-213x.1000121 Ramamurthy, T., Azim, S., Ganguly, S., &
Bhattacharya, S. K. (2018c). Diphtheria: An Emerging Disease. Journal of Clinical Infectious Diseases & Practice, 03(01), 3–7.
https://doi.org/10.4172/2476-213x.1000121 Regency, B. (2019). Gambaran Kasus Difteri Tahun
2009-Agustus 2019 di Kabupaten Bojonegoro Description of Diphtheria Cases from 2009 – August 2019. Media Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Publised by Universitas Airlngga
Secretariat, A., & Report, A. (2013). Global Vaccine Action Plan. Vaccine, 31, B5–B31.
https://doi.org/10.1016/j.
Vaccine.2013.02.015
States, E. E. A. M., Kingdom, U., States, M., & States, E. E. A. M. (2016). Rapid Risk Assessment A fatal case of diphtheria in Belgium access
Center for Disease Prevention and Control.
April 1–10.
Sugiharto, M., & Budisuari, M. A. (2015). Studi Kasus Difteri di Kabupaten Bangkalan dan Probolinggo, Provinsi Jawa Tengah, Tahun 2015.
Sundoko, T. W., Rasni, H., & Hardiani, R. S. (2015).
Hubungan Peran Orang Tua dengan Risiko Penularan (Status Imunisasi, Status Gizi, dan Perilaku) Difteri pada Balita di Desa Paowan Kecamatan Panarukan Kabupaten Situbondo.
E-Jurnal Pustaka Kesehatan, 3(1), 96–102.
Usman, S., Tiani, I., & Usman, S. (2016). Peran Petugas Imunisasi dalam Pemberian Vaksinasi Pentavalen. Jurnal Ilmu Keperawatan, 4(1).
Wigrhadita, D. R. (2019). Epidemiology Characteristics and Immunization Status of Diphtheria Patients in East Java Province in 2018. Jurnal Berkala Epidemiologi, 7(2), 103.
https://doi.org/10.20473/jbe.v7i22019.103- 111