• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian laporan keuangan menurut Sofyan Syafri Harahap (2013:1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian laporan keuangan menurut Sofyan Syafri Harahap (2013:1)"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

7    

2.1 Laporan Keuangan

Pengertian laporan keuangan menurut Sofyan Syafri Harahap (2013:1) adalah

“Laporan keuangan adalah media informasi yang merangkum semua aktivitas perusahaan.”

Menurut Irfan Fahmi (2011:2), laporan keuangan adalah

“Suatu informasi yang menggambarkan kondisi keuangan suatu perusahaan, dan lebih jauh informasi tersebut dapat dijadikan sebagai gambaran kinerja keuangan perusahaan tersebut.”

Selain itu, pengertian laporan keuangan menurut PSAK No. 1 paragraf 9 tahun 2009 adalah

“Suatu penyajian terstuktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas.”

Masih menurut PSAK No. 1 paragraf 9 tahun 2009, laporan keuangan juga menunjukkan hasil pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, laporan keuangan menyajikan informasi mengenai entitas yang meliputi:

a) Aset;

b) Liabilitas;

c) Ekuitas;

d) Pendapatan dan beban termasuk keuntungan dan kerugian;

(2)

e) Kontribusi dari dan distribusi kepada pemilik dalam kapasitasnya sebagai pemilik;

f) Arus kas.

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa laporan keuangan merupakan alat untuk menginformasikan kondisi keuangan pada periode tertentu, yang terdiri dari neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan perubahan posisi keuangan serta catatan atas laporan keuangan.

2.1.1 Tujuan dan Kegunaan Laporan Keuangan

Tujuan dari penyusunan laporan keuangan menurut Darsono dan Ashari (2005:12) adalah menyajikan informasi yang menyangkut:

1. Posisi keuangan perusahaan pada tanggal tertentu, yaitu keadaan pada tanggal tertentu mengenai kekayaan dan sumber kekayaan perusahaan.

2. Kinerja perusahaan selama periode tertentu, yaitu besarnya aktivitas dan biaya untuk menjalankan aktivitas serta hasil (laba/rugi) dari aktivitas selama periode tertentu, misalnya bulanan atau tahunan. Bahkan dengan analisis yang lebih tajam, dapat dilihat kemungkinan ketidakefisienan dan permasalahan dalam fungsi tertentu.

3. Perubahan posisi keuangan selama periode tertentu, yaitu perubahan kekayaan dan sumber kekayaan selama periode tertentu, misalnya bulanan atau tahunan.

4. Perputaran kas selama periode tertentu, yaitu menyangkut aliran kas masuk dan keluar perusahaan selama periode tertentu.

(3)

Menurut Dwi Prastowo dan Rifka Julianty (2002:5) tujuan laporan keuangan adalah

“Laporan keuangan disusun dengan tujuan untuk menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja dan perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi.”

Dan menurut PSAK No. 1 Paragraf 9 tahun 2009 tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan keuangan dalam pembatasan keputusan ekonomi. Informasi mengenai posisi keuangan, kinerja, dan perubahan posisi keuangan sangat diperlukan untuk dapat melakukan evaluasi atas kemampuan perusahaan dalam mengkasilkan kas (dan setara kas), dan waktu serta kepastian dari hasil tersebut. Posisi keuangan perusahaan dipengaruhi oleh sumber daya yang dikendalikan, struktur keuangan, likuiditas dan solvabilitas serta kemampuan beradaptasi dengan perubahan lingkungan.

Sedangkan kegunaan laporan keuangan menurut Irham Fahmi (2011:5) adalah

“Untuk melihat kondisi suatu perusahaan, baik kondisi pada saat ini maupun dijadikan sebagai alat prediksi untuk kondisi di masa yang akan datang.”

Kegunaan laporan keuangan menurut UU No. 1/1995 dalam Darsono dan Ashari (2005:7) dijelaskan bahwa laporan keuangan merupakan suatu alat pertanggungjawaban pengelolaan perusahaan oleh pengurus perusahaan (Direksi dan Komisaris). Selain itu, menurut Darsono dan Ashari (2005:7) laporan keuangan juga dapat menurunkan information asymmetry yaitu kondisi di mana

(4)

informasi yang dimiliki oleh satu pihak lebih banyak dibandingkan dengan pihak lainnya. Laporan keuangan juga dapat digunakan pula sebagai alat prediksi yaitu prediksi harga saham, prediksi pembagian dividen, dan prediksi kebangkrutan perusahaan.

2.1.2 Pengguna Laporan Keuangan

Menurut Sofyan Syafri Harahap (2013:7), pengguna laporan keuangan adalah sebagai berikut:

1. Pemilik Perusahaan

Bagi pemilik perusahaan, laporan keuangan dimaksudkan untuk:

• Menilai prestasi atau hasil yang diperoleh manajemen;

• Mengetahui hasil dividen yang akan diterima;

• Menilai posisi keuangan perusahaan dan pertumbuhannya;

• Mengetahui nilai saham dan laba per lembar saham;

• Sebagai dasar untuk memprediksi kondisi perusahaan di masa datang;

• Sebagai dasar untuk mempertimbangkan menambah di masa datang;

• Sebagai dasar untuk mempertimbangkan menambah atau mengurangi investasi.

2. Manajemen Perusahaan

Bagi manajemen perusahaan, laporan keuangan ini digunakan untuk:

• Alat untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan kepada pemilik;

• Mengukur tingkat biaya dari setiap kegiatan operasi perusahaan, divisi, bagian, atau segmen tertentu;

(5)

• Mengukur tingkat efisiensi dan tingkat keuntungan perusahaan, divisi, bagian, atau segmen;

• Menilai hasil kerja individu yang diberi tugas dan tanggung jawab;

• Menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan perlu tidaknya diambil kebijaksanaan baru;

• Memenuhi ketentuan dalam UU, peraturan, AD (anggaran dasar), pasar modal, dan lembaga regulator lainnya.

3. Investor

Bagi Investor, laporan keuangan dimaksudkan untuk:

• Menilai kondisi keuangan dan hasil usaha perusahaan;

• Menilai kemungkinan menanamkan dana dalam perusahaan;

• Menilai kemungkinan menanamkan divestasi (menarik investasi) dari perusahaan;

• Menjadi dasar memprediksi kondisi perusahaan di masa datang.

4. Kreditur dan Banker

Bagi kreditur, banker, atau supplier laporan keuangan digunakan untuk:

• Menilai kondisi keuangan dan hasil usaha perusahaan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang;

• Menilai kualitas jaminan kredit/investasi untuk menopang kredit yang akan diberikan;

• Melihat dan memprediksi prospek keuntungan yang mungkin diperoleh dari perusahaan atau menilai rate of return perusahaan;

(6)

• Menilai kemampuan likuiditas, solvabilitas, rentabilitas perusahaan sebagai dasar dalam pertimbangan keputusan kredit;

• Menilai sejauh mana perusahaan mengikuti perjanjian kredit yang sudah disepakati.

5. Pemerintah dan Regulator

Bagi pemerintahan atau regulator laporan keuangan dimaksudkan untuk:

• Menghitung dan menetapkan jumlah pajak yang harus dibayar;

• Sebagai dasar dalam penetapan-penetapan kebijaksanaan baru;

• Menilai apakah perusahaan memerlukan bantuan atau tindakan lain;

• Menilai kepatuhan perusahaan terhadap aturan yang ditetapkan;

• Bagi lembaga pemerintahan lainnya bisa menjadi bahan penyusunan data dan statistik.

6. Analis, Akademis, Pusat Data Bisnis

Bagi para analis, akademis, dan juga lembaga-lembaga pengumpulan data bisnis, laporan keuangan ini penting sebagai bahan atau sumber informasi primer yang akan diolah sehingga menghasilkan informasi yang bermanfaat bagi analisis, ilmu pengetahuan, dan komoditi informasi.

Dan pengguna laporan keuangan menurut Darsono dan Ashari (2005:11) adalah

1. Investor atau pemilik

Pemilik membutuhkan informasi untuk menilai apakah perusahaan memiliki kemampuan membayar dividen. Di samping itu untuk menilai apakah investasinya akan tetap dipertahankan atau dijual. Bagi calon

(7)

pemilik, laporan keuangan dapat memberikan informasi mengenai kemungkinan penempatan investasi dalam perusahaan.

2. Pemberi pinjaman (kreditor)

Pemberi pinjaman membutuhkan informasi keuangan guna memutuskan memberi pinjaman dan kemampuan membayar angsuran pokok dan bunga pada saat jatuh tempo. Jadi, kepentingan kreditor terhadap perusahaan adalah apakah perusahaan mampu membayar hutangnya kembali atau tidak.

3. Pemasok atau kreditor usaha lainnya

Pemasok memerlukan informasi keuangan untuk menentukan besarnya penjualan kredit yang diberikan kepada perusahaan pembeli dan kemampuan membayar pada saat jatuh tempo.

4. Pelanggan

Dalam beberapa situasi, pelanggan sering membuat kontrak jangka panjang dengan perusahaan, sehingga perlu informasi mengenai kesehatan keuangan yang akan melakukan kerja sama.

5. Karyawan

Karyawan dan serikat buruh memerlukan informasi keuangan guna menilai kemampuan perusahaan untuk mendatangkan laba dan stabilitas usahanya. Dalam hal ini, karyawan membutuhkan informasi untuk menilai kelangsungan hidup perusahaan sebagai tempat menggantungkan hidupnya.

(8)

6. Pemerintah

Informasi keuangan bagi pemerintah digunakan untuk menentukan kebijakan dalam bidang ekonomi, misalnya alokasi sumber daya, UMR, pajak, pungutan, serta bantuan.

7. Masyarakat

Laporan keuangan dapat digunakan untuk bahan ajar, analisis, serta informasi trend dan kemakmuran.

2.1.3 Keterbatasan Laporan Keuangan

Laporan keuangan menggambarkan kondisi secara umum dari perusahaan.

Menurut Irham Fahmi (2011:10) laporan keuangan juga memiliki beberapa keterbatasan yaitu:

a. Laporan keuangan bersifat historis yang merupakan laporan atas kejadian yang telah berlalu, sehingga tidak dapat menjadi satu-satunya sumber informasi dalam proses pengambilan keputusan ekonomi.

b. Laporan keuangan bersifat umum dan bukan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pihak tertentu.

c. Proses penyusunan laporan keuangan tidak jauh dari penggunaan taksiran dan berbagai pertimbangan.

d. Akuntansi hanya melaporakan informasi yang material.

e. Laporan keuangan bersifat konservatif dalam menghadapi ketidakpastian.

f. Lebih menekankan pada makna ekonomis suatu peristiwa/transaksi.

(9)

g. Laporan keuangan disusun dengan menggunakan istilah-istilah teknis sehingga pemakai laporan keuangan harus mengerti dan menguasai istilah- istilah teknis tersebut.

Selaras dengan Irham Fahmi (2011:10), menurut Darsono dan Ashari (2005:25) keterbatasan-keterbatasan laporan keuangan adalah sebagai berikut:

a. Penyajian dikelompokkan pada akun-akun yang material, tidak bisa rinci sekali. Kalau sangat rinci, laporan keuangan akan setebal bantal.

b. Laporan keuangan sering disajikan terlambat, sehingga informasinya kadaluarsa. Keterlambatan sebenarnya tergantung pada ketertiban administrasinya, jika sistemnya baik, maka akan cepat tersaji apalagi menggunakan komputerisasi.

c. Laporan keuangan menekankan pada harga historis (harga perolehan), sehingga jika terjadi perubahan nilai perlu dilakukan penyesuaian.

d. Penyajian laporan keuangan dilakukan dengan bahasa teknis akuntansi, sehingga bagi orang awam perlu belajar dulu, tetapi bagi pelaku bisnis akan mudah karena menggunakan bahasa bisnis.

e. Laporan keuangan mengikuti standar (SAK) yang mungkin terjadi perubahan aturan setiap tahun. Perlu diingat bahwa Ikatan Akuntan Indonesia terus melakukan penyempurnaan SAK untuk mencapai harmonisasi dengan standar akuntansi internasional. Tujuannya agar lebih berkualitas dan dapat diperbandingkan dengan laporan keuangan perusahaan sejenis pada berbagai negara.

(10)

Namun demikian, manfaatnya sangat besar dibandingkan keterbatasannya, karena kita dapat melihat gambaran secara umum perusahaan dari satu set laporan tersebut. Tanpa melihat fisik perusahaan, pembaca laporan keuangan dapat memperkirakan bagaimana besarnya dan efisiensi perusahaan. Karena adanya keterbatasan tersebut, dalam membaca laporan keuangan perlu berhati-hati dan perlu dilengkapi dengan informasi lain (Darsono dan Ashari, 2005:26).

2.2 Analisis Rasio Keuangan

Analisis terhadap laporan keuangan suatu perusahaan pada dasarnya karena ingin mengetahui tingkat profitabilitas (keuntungan) dan tingkat risiko atau tingkat kesehatan suatu perusahaan. Pekerjaan yang paling mudah dalam analisis keuangan adalah dengan menghitung rasio-rasio keuangan suatu perusahaan.

Bahkan dengan tersedianya program-program komputer, seperti spreadsheet atau program-program akuntansi yang khusus ditulis untuk tujuan laporan keuangan, perhitungan rasio-rasio keuangan menjadi hal mudah dilakukan, dan bisa dilakukan secara rutin. Tantangan analis adalah dengan melakukan analisis dan menginterpretasikan rasio-rasio keuangan yang muncul (Mamduh M. Hanafi dan Abdul Halim, 2005:5).

Menurut Siegel dan Shim (1999:378) rasio keuangan adalah

“Hubungan antara suatu jumlah dengan jumlah lainnya. Rasio dapat membandingkan pos-pos neraca, pos-pos laporan rugi laba, atau pos-pos neraca terhadap laporan rugi laba.”

(11)

Sedangkan menurut Warsidi dan Bambang dalam Irham Fahmi (2011:108) analisis rasio keuangan adalah

“Instrumen analisis prestasi perusahaan yang menjelaskan berbagai hubungan dan indikator keuangan untuk menunjukkan perubahan dalam kondisi keuangan atau prestasi operasi di masa lalu dan membantu menggambarkan trend pola perubahan tersebut, untuk kemudian menunjukkan risiko dan peluang yang melekat pada perusahaan yang bersangkutan.”

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpukan bahwa analisis rasio adalah hubungan dari angka-angka atau komponen yang terdapat di dalam laporan keuangan, yang digunakan untuk mengetahui kondisi perusahaan tersebut.

2.2.1 Jenis-jenis Rasio Keuangan

Menurut Sofyan Syafri Harahap (2013:301), rasio keuangan yang sering digunakan adalah sebagai berikut:

1. Rasio Likuiditas

Rasio likuiditas menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menyelesaikan kewajiban jangka pendeknya. Rasio-rasio ini dapat dihitung melalui sumber informasi tentang modal kerja yaitu pos-pos aktiva lancar dan utang lancar.

2. Rasio Solvabilitas

Rasio solvabilitas menggambarkan kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka panjangnya atau kewajiban-kewajibannya apabila perusahaan dilikuidasi.

(12)

3. Rasio Rentabilitas/Profitabilitas

Rasio rentabilitas atau disebut juga profitabilitas menggambarkan kemampuan perusahaan mendapatkan laba melalui semua kemampuan, dan sumber yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karwayan, jumlah cabang, dan sebagainya.

4. Rasio Leverage

Rasio ini menggambarkan hubungan antara utang perusahaan terhadap modal maupun aset. Rasio ini dapat melihat seberapa jauh perusahaan dibiayai oleh utang atau pihak luar dengan kemampuan perusahaan yang digambarkan oleh modal. Perusahaan yang baik mestinya memiliki komposisi modal yang lebih besar dari utang.

5. Rasio Aktivitas

Rasio ini menggambarkan aktivitas yang dilakukan perusahaan dalam menjalankan operasinya baik dalam kegiatan penjualan, pembelian dan kegiatan lainnya.

6. Rasio Pertumbuhan (Growth)

Rasio ini menggambarkan persentasi pertumbuhan pos-pos perusahaan dari tahun ke tahun.

7. Rasio Penilaian Pasar (Market Base Ratio)

Rasio ini merupakan rasio yang lazim dan yang khusus dipergunakan di pasar modal yang menggambarkan situasi/keadaan prestasi perusahaan di pasar modal.

(13)

8. Rasio Produktivitas

Jika perusahaan ingin dinilai dari segi produktivitas unit-unitnya maka bisa dihitung rasio produktivitas. Rasio ini menunjukkan tingkat produktivitas dari unit atau kegiatan yang dinilai.

Menurut Mamduh M. Hanafi dan Abdul Halim (2005:79) pada dasarnya rasio dapat dikelompokkan ke dalam lima macam kategori, yaitu:

1. Rasio Likuiditas

Rasio yang mengukur kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban jangka pendeknya.

2. Rasio Aktivitas

Rasio yang mengukur sejauh mana efektivitas penggunaan aset dengan melihat tingkat aktivitas aset.

3. Rasio Solvabilitas

Rasio yang mengukur sejauh mana kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban jangka panjangnya.

4. Rasio Profitabilitas

Rasio yang melihat kemampuan perusahaan menghasilkan laba (profitabilitas).

5. Rasio Pasar

Rasio ini melihat perkembangan nilai perusahaan relatif terhadap nilai buku perusahaan.

(14)

Jenis-jenis rasio keuangan menurut Irham Fahmi (2011:121) adalah sebagai berikut:

1. Rasio Likuiditas

Rasio likuiditas (liquidity ratio) adalah kemampuan suatu perusahaan memenuhi kewajiban jangka pendeknya secara tepat waktu.

2. Rasio Leverage

Rasio leverage adalah mengukur seberapa besar perusahaan dibiayai dengan utang. Penggunaan utang yang terlalu tinggi akan membahayakan perusahaan karena perusahaan akan masuk dalam kategori extreme leverage (utang ekstrem) yaitu perusahaan terjebak dalam tingkat utang yang tinggi dan sulit untuk melepaskan beban utang tersebut. Karena itu sebaiknya perusahaan harus menyeimbangkan berapa utang yang layak diambil dan dari mana sumber-sumber yang dapat dipakai untuk membayar utang.

3. Rasio Aktivitas

Rasio aktivitas adalah rasio yang menggambarkan sejauh mana suatu perusahaan mempergunakan sumber daya yang dimilikinya guna menunjang aktivitas perusahaan, dimana penggunaan aktivitas ini dilakukan secara maksimal dengan maksud memperoleh hasil yang maksimal.

4. Rasio Profitabilitas

Rasio ini mengukur efektivitas manajemen secara keseluruhan yang ditujukan oleh besar kecilnya tingkat keuntungan yang diperoleh dalam

(15)

hubungannya dengan penjualan maupun investasi. Semakin baik rasio profitabilitas maka semakin baik menggambarkan kemampuan tingginya perolehan keuntungan perusahaan.

5. Rasio Pertumbuhan

Rasio pertumbuhan yaitu rasio yang mengukur seberapa besar kemampuan perusahaan dalam mempertahankan posisinya di dalam industri dan dalam perkembangan ekonomi secara umum.

6. Rasio Nilai Pasar

Rasio nilai pasar yaitu rasio yang menggambarkan kondisi yang terjadi di pasar. Rasio ini mampu memberi pemahaman bagi pihak manajemen perusahaan terhadap kondisi penerapan yang akan dilaksanakan dan dampaknya pada masa yang akan datang.

2.2.2 Rasio Working Capital to Total Asset

Rasio likuiditas yang representatif dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan menurut Altman (1983) dalam White et al. (2003:652) adalah rasio working capital to total assets (modal kerja terhadap total aset) yang dilambangkan dengan X1.

Rasio modal kerja terhadap total aktiva menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan modal kerja bersih dari keseluruhan total aktiva yang dimilikinya (Mokhamad Iqbal Dwi Nugroho dan Wisnu Mawardi, 2012).

Menurut Wijaya Adi Cahyono (2013), rasio modal kerja terhadap total aktiva merupakan rasio likuiditas yang mengukur sejauh mana modal kerja yang

(16)

ada dapat digunakan untuk membiayai total aktivanya. Modal kerja merupakan investasi perusahaan dalam bentuk aktiva jangka pendek. Modal kerja didefinisikan sebagai aktiva lancar dikurangi kewajiban lancar. Aktiva lancar merupakan aktiva dengan tingkat likuiditas tinggi daripada aktiva lain yang dimiliki perusahaan. Besarnya nilai rasio ini merupakan gambaran seberapa efektif perusahaan menggunakan modal kerja yang tersedia untuk membiayai aktivitas perusahaan dari nilai modal kerja dan nilai rasio ini tergantung dari nilai modal kerja dan total aktiva itu sendiri. Semakin besar nilai rasio modal kerja terhadap total aktiva, berarti semakin besar pula dana yang tertanam dalam aktiva lancar. Apabila aktiva lancar lebih kecil dari kewajiban lancar, maka nilai yang dihasilkan rasio ini akan negatif. Aktiva lancar yang lebih besar dari kewajiban lancar, menunjukkan kepercayaan kepada kreditor pihak perusahaan sehingga kelangsungan operasi perusahaan akan lebih terjamin dengan dana pinjaman dari kreditor. Umumnya, bila perusahaan mengalami kesulitan keuangan, modal kerja akan turun lebih cepat daripada total aktiva yang menyebabkan rasio ini ikut mengalami penurunan.

𝑋!   =  𝑊𝑜𝑟𝑘𝑖𝑛𝑔  𝐶𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎𝑙 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙  𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠

2.2.3 Rasio Retained Earning to Total Asset

Menurut Altman (1983) dalam White et al. (2003:652) rasio profitabilitas yang representatif dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan adalah rasio

(17)

retained earnings to total assets (saldo laba terhadap total aset) yang dilambangkan dengan X2.

Saldo laba terhadap total aktiva menurut Mokhamad Iqbal Dwi Nugroho dan Wisnu Mawardi (2012) menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba ditahan dari total aktiva perusahaan.

Menurut Wijaya Adi Cahyono (2013), pada dasarnya tujuan rasio laba ditahan terhadap total aktiva profitabilitas yang mengukur akumulasi selama laba perusahaan beroperasi, sehingga umur perusahaan juga berpengaruh pada rasio tersebut. Saldo laba merupakan bagian ekuitas yang bermakna perusahaan telah menerima/menahan laba dan tidak membayarkannya kepada pemegang saham selama periode tertentu. Semakin lama perusahaan beroperasi, berarti semakin besar pula kemungkinan untuk memperbesar akumulasi laba ditahan. Laba ditahan merupakan sumber dana modal sendiri. Semakin besar dari hasil rasio ini menunjukkan semakin besarnya laba ditahan dapat digunakan untuk membiayai kebutuhan dana perusahaan dan mengurangi besarnya sumber dana eksternal.

𝑋!   =  𝑅𝑒𝑡𝑎𝑖𝑛𝑒𝑑  𝐸𝑎𝑟𝑛𝑖𝑛𝑔𝑠 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙  𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠

2.2.4 Rasio Earnings Before Interest and Taxes to Total Asset

Rasio profitabilitas yang representatif dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan menurut Altman (1983) dalam White et al. (2003:652) adalah rasio earnings before interest and taxes to total assets (laba sebelum bunga dan pajak terhadap total aset) yang dilambangkan dengan X3.

(18)

Menurut Mokhamad Iqbal Dwi Nugroho dan Wisnu Mawardi (2012) rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba operasi dari total aktiva perusahaan, sebelum pembayaran bunga dan pajak.

Rasio EBIT to total assets menurut Wijaya Adi Cahyono (2013) mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba operasi dari total aktiva yang digunakan (rasio profitabilitas). Rasio ini dinilai memberikan kontribusi terbesar dari model prediksi kebangkrutan Altman. Laba sebelum bunga dan pajak adalah laba operasional perusahaan sebelum dikenakan pajak dan kebijakan keuangan lainnya. Dapat diartikan bahwa rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan pendapatan dari aktiva yang digunakan (earning power).

Rasio ini mengukur efektifitas perusahaan dalam mempergunakan seluruh sumber dana (seluruh aset yang dimiliki) dan merupakan hasil pengembalian (sebelum dikurangi bunga dan pajak).

𝑋!   =   𝐸𝐵𝐼𝑇 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙  𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠

2.2.5 Rasio Market Value of Equity to Book Value of Liability

Rasio market value of equity to book value of liabilities (nilai pasar ekuitas terhadap nilai buku hutang) dilambangkan dengan X4. Rasio ini menurut Altman (1983) dalam White et al. (2003:652) dapat digunakan dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan.

Nilai pasar ekuitas terhadap nilai buku dari hutang menurut Mokhamad Iqbal Dwi Nugroho dan Wisnu Mawardi (2012) menunjukkan kemampuan

(19)

perusahaan untuk mengukur sejauh mana hutang perusahaan dibiayai dari ekuitas yang dinilai dengan harga pasar..

Menurut Wijaya Adi Cahyono (2013), rasio nilai pasar modal saham/nilai buku utang merupakan rasio solvabilitas. Modal yang dimasukkan adalah gabungan dari nilai pasar dari modal biasa dan nilai pasar dari saham preferen.

Nilai pasar modal sendiri dihitung dengan mengalikan harga saham yang beredar dengan harga penutupan saham. Rasio ini mengukur kemampuan permodalan perusahaan dalam menanggung seluruh beban hutangnya. Rasio ini merupakan kebalikan dari rasio hutang per modal sendiri (DER) yang lebih terkenal. Rasio ini menambahkan nilai pasar yang tidak ditentukan oleh studi mengenai kebangkrutan lainnya dengan alasan bahwa nilai pasar ekuitas lebih akurat untuk mengetahui tingkat kesehatan/kinerja perusahaan daripada nilai buku ekuitasnya.

𝑋!   =   𝑀𝑎𝑟𝑘𝑒𝑡  𝑉𝑎𝑙𝑢𝑒  𝑂𝑓  𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦 𝐵𝑜𝑜𝑘  𝑉𝑎𝑙𝑢𝑒  𝑂𝑓  𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙  𝐿𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑖𝑒𝑠

2.2.6 Rasio Sales to Total Asset

Menurut Altman (1983) dalam White et al. (2003:652) rasio sales to total assets (penjualan terhadap total aktiva) yang dilambangkan dengan X5

representatif dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan. Kegunaan rasio ini adalah untuk mengukur kecepatan berputarnya total aset dalam periode tertentu.

Penjualan terhadap total aktiva (sales to total assets) digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen dalam menghadapi kondisi persaingan. Rasio tersebut mengukur kemampuan manajemen dalam menggunakan aktiva untuk

(20)

menghasilkan penjualan (Mokhamad Iqbal Dwi Nugroho dan Wisnu Mawardi, 2012).

Rasio sales to total assets menurut Wijaya Adi Cahyono (2013) merupakan rasio aktivitas yang mengukur kemampuan manajemen dalam menggunakan aktiva untuk menghasilkan penjualan. Rasio ini mencerminkan seberapa efektif perusahaan memanfaatkan seluruh sumber dana yang ada. Hasil dari rasio ini menunjukkan perputaran saham menghadapi persaingan. Rasio penjualan terhadap total aktiva menunjukkan efektivitas penggunaan seluruh aktiva perusahaan dalam rangka menghasilkan penjualan bersih yang dapat dihasilkan oleh setiap Rp 1,00 yang diinvestasikan dalam bentuk aktiva perusahaan.

𝑋!   =   𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙  𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠

2.3 Kebangkrutan Perusahaan

Terglobalisasinya perekonomian menyebabkan persaingan antar perusahaan semakin ketat, tidak hanya dalam suatu negara tetapi juga dengan perusahaan di negara lain. Persaingan yang semakin ketat ini menuntut perusahaan untuk selalu menjaga stabilitas manajemen sehingga mampu bersaing dengan perusahaan lain (Darsono dan Ashari, 2005:101).

(21)

Menurut Estes et al. (1988:14), kebangkrutan (bankruptcy) adalah

“Suatu kondisi menurut Undang-undang Kebangkrutan Federal dimana suatu aktiva individual atau perusahaan dipikul oleh suatu pejabat persidangan federal dan dipergunakan, sedapat mungkin, untuk melunasi kreditor. Kebangkrutan dapat bersifat sukarela (dipilih oleh individual atau perusahaan) atau tidak sukarela (dipaksa oleh para kreditor). Daya tarik kebangkrutan adalah adanya peluang untuk dibebaskan dari tekanan hutang dan untuk memulainya kembali dibebaskan dari hutang.”

Dan menurut Darsono dan Ashari (2005:101), kebangkrutan dapat diartikan sebagai ketidakmampuan perusahaan untuk membayar kewajiban keuangannya. Menurut Foster (1986) dalam Darsono dan Ashari (2005:101) kebangkrutan menunjukkan adanya masalah likuiditas yang parah yang tidak dapat dipecahkan tanpa melalui penjadwalan kembali secara besar-besaran terhadap operasi dan struktur perusahaan.

Selaras dengan pengertian di atas, menurut Harnanto (1991:485), kebangkrutan dimaksudkan sebagai suatu keadaan atau situasi di mana perusahaan mengalami kekurangan dan ketidakcukupan dana untuk menjalankan atau melanjutkan usahanya. Istilah bangkrut lebih menitikberatkan pada pencapaian tujuan dan aspek ekonomis perusahaan, yaitu berupa kegagalan perusahaan dalam mencapai tujuannya. Kadang-kadang bangkrut juga diartikan sebagai suatu keadaan atau situasi di mana perusahaan gagal atau tidak mampu lagi memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada kreditur (melalui tuntutan hukum). Dalam hal ini aspek ekonomis dari kebangkrutan itu bersamaan waktunya dengan berlakunya ketentuan hukum atau undang-undang.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa kebangkrutan adalah kondisi dimana perusahaan tidak memiliki dana untuk dapat memenuhi kewajibannya kepada

(22)

pihak kreditor, dan juga tidak mempunyai dana untuk menjalankan atau melanjutkan usahanya.

2.3.1 Penyebab Kebangkrutan

Menurut Darsono dan Ashari (2005:101) penyebab kebangkrutan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari bagian internal manajemen perusahaan.

Sedangkan faktor eksternal bisa berasal dari faktor luar yang berhubungan langsung dengan operasi perusahaan atau faktor perekonomian secara makro.

1. Faktor-faktor internal yang dapat menyebabkan kebangkrutan perusahaan meliputi:

• Manajemen yang tidak efisien akan mengakibatkan kerugian terus menerus yang pada akhirnya menyebabkan perusahaan tidak dapat membayar kewajibannya. Ketidakefisienan ini diakibatkan oleh pemborosan dalam biaya, kurangnya keterampilan dan keahlian manajemen.

• Ketidakseimbangan dalam modal yang dimiliki dengan jumlah piutang- hutang yang dimiliki. Hutang yang terlalu besar akan mengakibatkan biaya bunga yang besar sehingga memperkecil laba bahkan bisa menyebabkan kerugian. Piutang yang terlalu besar juga akan merugikan karena aktiva yang menganggur terlalu banyak sehingga tidak menghasilkan pendapatan.

(23)

• Moral hazard oleh manajemen. Kecurangan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan dapat mengakibatkan kebangkrutan.

Kecurangan ini akan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan yang pada akhirnya membangkrutkan perusahaan. Kecurangan ini bisa berbentuk manajemen yang korup ataupun memberikan informasi yang salah kepada pihak pemegang saham atau investor.

2. Faktor-faktor eksternal yang dapat mengakibatkan kebangkrutan meliputi:

• Perubahan dalam keinginan pelanggan yang tidak diantisipasi oleh perusahaan yang mengakibatkan pelanggan lari sehingga terjadi penurunan dalam pendapatan. Untuk menjaga hal tersebut perusahaan harus selalu mengantisipasi kebutuhan pelanggan dengan menciptakan produk yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan.

• Kesulitan bahan baku karena supplier tidak dapat memasok lagi kebutuhan bahan baku yang digunakan untuk produksi. Untuk mengantisipasi hal tersebut perusahaan harus selalu menjalin hubungan baik dengan supplier dan tidak menggantungkan kebutuhan bahan baku pada satu pemasok sehingga risiko kekurangan bahan baku dapat diatasi.

• Faktor debitor juga harus diantisipasi untuk menjaga agar debitor tidak melakukan kecurangan dengan mengemplang hutang. Terlalu banyak piutang yang diberikan pada debitor dengan jangka waktu pengembalian yang lama akan mengakibatkan banyak aktiva menganggur yang tidak memberikan penghasilan sehingga

(24)

mengakibatkan kerugian yang besar bagi perusahaan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan harus selalu memonitor piutang yang dimiliki dan keadaan debitor supaya bisa melakukan perlindungan dini terhadap aktiva perusahaan.

• Hubungan tidak harmonis dengan kreditor juga bisa berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Apalagi dalam Undang- Undang No.4 Tahun 1998, kreditor bisa memailitkan perusahaan.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan harus bisa mengelola hutangnya dengan baik dan juga membina hubungan baik dengan kreditor.

• Persaingan bisnis yang semakin ketat menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki diri sehingga bisa bersaing dengan perusahaan lain dalam memenuhi kebutuhan pelanggan. Semakin ketatnya persaingan menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki produk yang dihasilkan, memberi nilai tambah yang lebih baik bagi pelanggan.

• Kondisi perekonomian secara global juga harus selalu diantisipasi oleh perusahaan. Dengan semakin terpadunya perekonomian dengan negara- negara lain, perkembangan perekonomian global juga harus diantisipasi oleh perusahaan.

(25)

Dan menurut Newton (1981) dalam Harnanto (1991:486) faktor yang menyebabkan terjadinya kebangkrutan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

1. Sistem perekonomian dalam negara

Sistem perekonomian masyarakat atau negara yang dapat menyebabkan suatu perusahaan mengalami kebangkrutan, merupakan faktor ekstern dalam arti bukan merupakan hasil atau akibat dari tindakan manajemen dalam perusahaan yang bersangkutan. Tetapi sebaliknya manajemen itu sendiri yang harus menerima perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem atau struktur perekonomian dan menyesuaikan kegiatan-kegiatan perusahaan agar dapat berjalan sejajar serta mampu menggunakan kesempatan untuk meraih sebesar-besarnya keuntungan bagi perusahaan yang dikelolanya.

2. Faktor-faktor ekstern perusahaan

Kesulitan dan kegagalan yang kemungkinan dapat menyebabkan kebangkrutan suatu perusahaan, kadang-kadang berada di luar jangkauan (manajemen) perusahaan. Kecelakaan dan bencana alam yang sewaktu- waktu dapat menimpa perusahaan, misalnya merupakan contoh yang barangkali pernah atau bahkan sering memaksa perusahaan untuk menutup atau menghentikan usahanya secara permanen. Kecelakaan dan bencana alam sebagai faktor ekstern dapat menimpa setiap perusahaan, tanpa mengenal sistem perekonomian masyarakat atau negara di mana perusahaan itu bertempat kedudukan. Perusahaan tentu tidak dapat

(26)

mengubah keadaan lingkungan tersebut, tetapi harus menyesuaikan diri dan memanfaatkan untuk kepentingannya.

3. Faktor-faktor intern/di dalam perusahaan

Faktor intern yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan dapat dicegah melalui berbagai tindakan dalam perusahaan sendiri. Faktor-faktor intern ini biasanya merupakan hasil dari keputusan dan kebijaksanaan yang tidak tepat di masa yang lalu dan kegagalan manajemen untuk berbuat sesuatu pada saat diperlukan. Manajemen bertanggung jawab terhadap setiap kesulitan dan kegagalan perusahaan yang disebabkan oleh faktor-faktor intern tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah:

• Terlalu besarnya kredit yang diberikan kepada debitur/langganan

• Manajemen yang tidak efisien

• Kekurangan modal

• Penyalahgunaan wewenang dan kecurangan-kecurangan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya kebangkrutan suatu perusahaan tidak hanya disebabkan oleh faktor dari internal perusahaan tetapi juga oleh faktor eksternal perusahaan.

Sehingga, manajemen perusahaan dituntut untuk dapat lebih peka terhadap faktor eksternal seperti pelanggan, supplier, pesaing, maupun terhadap perekonomian secara makro dan juga persaingan global.

(27)

2.3.2 Indikator Kebangkrutan

Menurut Darsono dan Ashari (2005:105), terdapat beberapa indikator yang bisa dijadikan panduan untuk menilai kesulitan keuangan yang akan diderita oleh perusahaan. Indikator pertama adalah informasi arus kas sekarang dan informasi arus kas untuk periode mendatang. Informasi arus kas memberikan gambaran sumber-sumber dan penggunaan kas perusahaan. Sumber yang kedua adalah dari analisis posisi dan strategi perusahaan dibandingkan dengan pesaing. Informasi ini memberikan gambaran posisi perusahaan dalam perusahaan dalam persaingan bisnis yang merujuk pada kemampuan perusahaan dalam menjual produk atau jasanya untuk menghasilkan kas. Indikator lain yang bisa digunakan untuk menilai kebangkrutan perusahaan adalah suatu formula yang dicetuskan oleh Edward Altman yang disebut dengan rumus Altman Z-Score.

Dan menurut Mamduh M. Hanafi dan Abdul Halim (2005:276), ada beberapa indikator yang dapat menjadi prediksi kebangkrutan antara lain:

1. Sumber informasi internal

Analisis aliran kas untuk saat ini atau untuk masa mendatang, analisis strategi perusahaan (memfokuskan pada persaingan yang dihadapi oleh perusahaan, struktur biaya relatif terhadap pesaingnya, kualitas manajemen, kemampuan manajemen mengendalikan biaya, dan lainnya) dan laporan keuangan dapat dipakai untuk memprediksi kesulitan keuangan.

(28)

2. Sumber informasi eksternal

Lembaga penilai (rating) pada pasar keuangan informasinya dapat digunakan untuk memprediksi kemungkinan adanya kesulitan keuangan.

2.3.3 Pemakai Informasi Kebangkrutan

Menurut Mamduh M. Hanafi dan Abdul Halim (2005:273), informasi mengenai kebangkrutan perusahaan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak seperti berikut ini:

1. Pemberi pinjaman (seperti pihak bank)

Informasi kebangkrutan bisa bermanfaat untuk mengambil keputusan siapa saja yang akan memberi pinjaman, dan kemudian bermanfaat untuk kebijakan memonitor pinjaman yang ada.

2. Investor

Investor saham atau obligasi yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan tentunya akan sangat berkepentingan melihat adanya kemungkinan bangkrut atau tidaknya perusahaan yang menjual surat berharga tersebut.

Investor yang menganut strategi aktif akan mengembangkan model prediksi kebangkrutan untuk melihat tanda-tanda kebangkrutan seawal mungkin dan kemudian mengantisipasi kemungkinan tersebut.

3. Pihak Pemerintah

Pada beberapa sektor usaha, lembaga pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk mengawasi jalannya usaha tersebut (misal sektor perbankan).

Juga pemerintah mempunyai badan-badan usaha (BUMN) yang harus

(29)

selalu diawasi. Lembaga pemerintah mempunyai kepentingan untuk melihat tanda-tanda kebangkrutan lebih awal supaya tindakan-tindakan yang perlu bisa dilakukan lebih awal.

4. Akuntan

Akuntan mempunyai kepentingan terhadap informasi kelangsungan usaha suatu usaha karena akuntan akan menilai kemampuan going concern suatu perusahaan.

5. Manajemen

Kebangkrutan berarti munculnya biaya-biaya yang berkaitan dengan kebangkrutan dan biaya ini cukup besar. Suatu penelitian menunjukkan biaya kebangkrutan bisa mencapai 11-17 persen dari nilai perusahaan.

Contoh biaya kebangkrutan yang langsung adalah biaya akuntan dan biaya penasihat hukum. Sedangkan contoh biaya kebangkrutan yang tidak langsung adalah hilangnya kesempatan penjualan dan keuntungan karena beberapa hal seperti pembatasan yang mungkin diberlakukan oleh pengadilan. Apabila manajemen bisa mendeteksi kebangkrutan ini lebih awal, maka tindakan-tindakan penghematan bisa dilakukan, misal dengan melakukan merger atau restrukturisasi keuangan sehingga biaya kebangkrutan bisa dihindari.

(30)

Dan menurut Darsono dan Ashari (2005:105) pihak yang berkepentingan dengan informasi kesulitan keuangan adalah:

1. Pihak internal perusahaan yaitu manajemen yang berkepentingan terhadap pengelolaan perusahaan, karyawan berkepentingan dengan kelangsungan hidup perusahaan.

2. Pihak eksternal perusahaan yaitu kreditor yang berkepentingan dengan kemampuan perusahaan dalam membayar hutangnya, investor berkepentingan dengan investasi yang dilakukan.

2.3.4 Analisis Kebangkrutan Model Altman Z-Score

Prediksi kebangkrutan usaha berfungsi untuk memberikan panduan bagi pihak-pihak tentang kinerja keuangan perusahaan apakah akan mengalami kesulitan keuangan atau tidak di masa mendatang. Seorang Profesor di New York University, Edward I. Altman, melakukan penelitian terhadap kinerja keuangan perusahaan yang sehat. Hasil penelitiannya dirumuskan dalam suatu rumus matematis yang disebut dengan rumus Altman Z-Score. Rumus ini menggunakan komponen dalam laporan keuangan sebagai alat prediksi terhadap kemungkinan bangkrut tidaknya perusahaan (Darsono dan Ashari, 2005:105).

(31)

Menurut Altman dalam Rindu Rika Gamayuni (2011), ada tiga macam fungsi diskriminan dari model Altman Z-Score, yaitu:

1. Model Original Z-score (for public manufacturer)

Model ini merupakan fungsi diskriminan z-score pertama yang dikembangkan. Model ini dikembangkan pada tahun 1968 yang ditunjukkan untuk perusahaan-perusahaan manufaktur publik.

𝒁 = 𝟏, 𝟐𝑿𝟏  +  𝟏, 𝟒𝑿𝟐  +  𝟑, 𝟑𝑿𝟑  +  𝟎, 𝟔𝑿𝟒   +  𝟎, 𝟗𝟗𝟗𝑿𝟓

Keterangan:

X1 = Working Capital/Total Assets X2 = Retained Earnings/Total Assets X3 = EBIT/Total Assets

X4 = Market Value of Equity/Book Value of Total Liabilities X5 = Sales/Total Assets

Interpretasi nilai Z-Score:

• Z-Score di atas 2,99: perusahaan berada dalam keadaan sehat.

• Z-Score antara 1,81-2,99: perusahaan berada di grey area.

• Z-Score di bawah 1,81: perusahaan berada dalam keadaan potensial bangkrut.

(32)

2. Model A Z-Score (for private manufacturer)

Model ini dikembangkan pada tahun 1983 untuk private manufacturer.

Variabel X4 pada fungsi ini menggunakan nilai buku stockholder’s equity karena perusahaan private manufacturer tidak memiliki market value of equity. Mengingat bahwa tidak semua perusahaan melakukan go public dan tidak memliki nilai pasar, maka formula untuk perusahaan yang tidak go public diubah menjadi sebagai berikut:

𝒁 = 𝟎, 𝟕𝟏𝟕𝑿𝟏  +  𝟎, 𝟖𝟒𝟕𝑿𝟐   +  𝟑, 𝟏𝟎𝟕𝑿𝟑  +  𝟎, 𝟒𝟐𝟎𝑿𝟒  +  𝟎, 𝟗𝟗𝟖𝑿𝟓

Keterangan:

X1 = Working Capital/Total Assets X2 = Retained Earnings/Total Assets X3 = EBIT/Total Assets

X4 = Book Value of Equity/Book Value of Total Liabilities X5 = Sales/Total Assets

Interpretasi nilai Z-Score:

• Z-Score di atas 2,90: perusahaan berada dalam keadaan sehat.

• Z-Score antara 1,23-2,90: perusahaan berada di grey area.

• Z-Score di bawah 1,23: perusahaan berada dalam keadaan potensial bangkrut.

(33)

3. Model B Z-Score (for non manufacturing firms)

Model ini dikembangkan pada tahun 1983 bersamaan dengan pengembangan model A Z-Score. Model ini digunakan untuk memprediksi terjadinya kebangkrutan pada perusahaan-perusahaan non-manufacturing seperti usaha-usaha kecil, retail/whole sales dan sektor jasa. Pada model B Z-Score ini, nilai X5 atau nilai sales to total assets tidak dihitung karena selalu berubah-ubah secara signifikan dalam industri.

𝒁 = 𝟔, 𝟓𝟔𝑿𝟏  +  𝟑, 𝟐𝟔𝑿𝟐  +  𝟔, 𝟕𝟐𝑿𝟑  +  𝟏, 𝟎𝟓𝑿𝟒  

Keterangan:

X1 = Working Capital/Total Assets X2 = Retained Earnings/Total Assets X3 = EBIT/Total Assets

X4 = Market Value of Equity/Book Value of Total Liabilities Interpretasi nilai Z-Score:

• Z-Score di atas 2,60: perusahaan berada dalam keadaan sehat.

• Z-Score antara 1,10-2,60: perusahaan berada di grey area.

• Z-Score di bawah 1,10: perusahaan berada dalam keadaan potensial bangkrut.

(34)

2.4 Kerangka Pemikiran

Indikasi terjadinya kebangkrutan suatu perusahaan dapat diprediksi atau dilihat melalui informasi yang terdapat dalam laporan keuangan. Untuk dapat menginterpretasikan informasi keuangan perusahaan diperlukan suatu teknik yaitu analisis rasio keuangan. Analisis rasio merupakan pengkajian yang dilaksanakan oleh penyedia dan pengguna laporan keuangan untuk menilai kekuatan atau kelemahan keuangan sebuah perusahaan dan kecenderungan operasinya. Berbagai rasio yang dihitung, tergantung pada tujuan pengguna untuk menganalisis laporan keuangan tersebut (Siegel dan Shim, 1999:378). Menurut Wild dan Subramanyam (2005:36), analisis rasio merupakan suatu alat analisis keuangan yang sangat populer dan banyak digunakan. Rasio merupakan alat untuk menyatakan pandangan terhadap kondisi yang mendasari, dalam hal ini adalah kondisi keuangan perusahaan. Rasio yang diinterpretasikan dengan tepat mengidentifikasikan area yang memerlukan investigasi lebih lanjut. Analisis rasio dapat mengungkapkan hubungan penting dan menjadi dasar perbandingan dalam menemukan kondisi dan tren yang sulit untuk dideteksi dengan mempelajari masing-masing komponen yang membentuk rasio.

Menurut Irham Fahmi (2011:110), salah satu keunggulan analisis rasio adalah analisis rasio dapat bermanfaat untuk bahan dalam mengisi model-model pengambilan keputusan dan model prediksi kebangkrutan. Dipergunakannya analisis rasio keuangan dalam melihat suatu perusahaan akan memberikan gambaran tentang keadaan perusahaan dan dapat dijadikan sebagai alat prediksi bagi perusahaan tersebut di masa yang akan datang. Ini dikarenakan rasio

(35)

keuangan juga memungkinkan manajer keuangan memperkirakan reaksi kreditor dan investor dalam memperkirakan bagaimana memperoleh kebutuhan dana, serta seberapa besar dana sanggup diperoleh.

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan adalah suatu formula yang dicetuskan oleh Edward I. Altman yang disebut dengan rumus Altman Z-Score. Rumus ini merupakan hasil penelitian yang dilakukannya terhadap perusahaan-perusahaan yang mengalami kebangkrutan di Amerika Serikat (Darsono dan Ashari, 2005:105). Menurut Sofyan Syafri Harahap (2013:222) model altman Z-Score memberikan rumus untuk menilai kapan perusahaan akan bangkrut. Dengan menggunakan rumus yang diisi dengan rasio keuangan maka akan diketahui angka tertentu yang akan menjadi bahan untuk memprediksi kapan kemungkinan perusahaan akan bangkrut. Hasil perhitungan terhadap nilai Z-Score tersebut adalah jika lebih besar dari 2,99 menunjukkan bahwa perusahaan tidak mengalami permasalahan dalam keuangan (non bankrupt company), jika nilai Z-Score berada diantara 2,99 dan 1,81 menunjukkan bahwa jika perusahaan tidak melakukan perubahan yang berarti dalam manajemen maupun struktur keuangan maka perusahaan akan mengalami ancaman kebangkrutan dalam jangka waktu 2 tahun. Sedangkan Z- Score di bawah 1,81 menunjukkan bahwa perusahaan mengalami ancaman kebangkrutan yang serius, sehingga investor dan kreditor harus hati-hati dalam melakukan investasi.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Edward I. Altman pada tahun 1968 tersebut, terdapat 5 jenis rasio keuangan yang dapat digunakan untuk memprediksi

(36)

kebangkrutan, kelima rasio tersebut adalah working capital to total assets, retained earnings to total assets, EBIT to total assets, market value of equity to book value of total liabilities, sales to total sales, rasio-rasio tersebut terbukti dengan sangat akrual dapat memprediksi kebangkrutan dengan tingkat kebenaran 94% dengan sampel 95% dari seluruh perusahaan yang dinyatakan bangkrut dan tidak. Dan dari penelitian yang dilakukan oleh Rindu Rika Gamayuni pada tahun 2011 disimpulkan bahwa Altman Z-Score terbukti dapat memprediksi kebangkrutan perusahaan pada 2,3, dan 4 tahun sebelum terjadinya kebangkrutan.

Memprediksi kebangkrutan merupakan kemampuan seorang pemeriksa untuk memperhitungkan apakah klien sedang mengalami masalah yang berhubungan dengan kontinuitas usaha. Kebangkrutan merupakan situasi di mana kewajiban perusahaan lebih besar daripada nilai aktivanya. Sebuah perusahaan yang bangkrut, mempunyai kekayaan pemegang saham yang negatif, kecuali bila dapat melakukan likuidasi yang aktivanya lebih dari nilai pasarnya. (Siegel dan Shim, 1999:44). Kebangkrutan merupakan persoalan yang serius, dan memakan biaya, maka dengan memprediksi kebangkrutan sejak awal dapat membantu manajemen. Manajemen bisa melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan sedini mungkin untuk menghindari kebangkrutan (Mamduh M.Hanafi, 2012:654).

Semakin awal gejala dan tanda-tanda kebangkrutan itu diketahui, maka dapat semakin awal dicarikan jalan keluarnya (seperti penggabungan dengan usaha lain, reorganisasi) untuk mengurangi atau menghindarkan terjadinya biaya-biaya (Harnanto, 1991:484).

(37)

Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran Laporan Keuangan

Analisis Keuangan

Kinerja Keuangan

Rasio Working Capital to

Total Assets

Rasio Retained Earning to

Total Assets

Rasio EBIT to

Total Assets

Rasio MV of Equity to

BV of Liability

Rasio Sales Total Assets

Perhitungan Model Altman

Analisis Prediksi Kebangkrutan

Potensial

Bangkrut Grey Area (Rawan Bangkrut)

Sehat (Tidak Bangkrut)

Referensi

Dokumen terkait

Laporan keuangan adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi antara data keuangan atau aktivitas suatu perusahaan dengan

Laporan keuangan pada dasarnya adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi antara data keuangan atau aktivitas suatu perusahaan dengan

Secara umum, analisis laporan keuangan bertujuan untuk mengetahui tingkat efektif dan efisiensi kinerja keuangan suatu perusahaan. Selain itu, analisis laporan keuangan juga

Bedasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan laporan keuangan adalah untuk menyediakan Informasi yang berkaitan dengan posisi keuangan

Laporan keuangan pada dasarnya adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi antara data keuangan atau aktivitas suatu perusahaan

Analisis vertikal juga dapat berupa analisis perbandingan terhadap laporan keuangan perusahaan lain pada satu periode waktu tertentu, di mana perbandingan dilakukan terhadap

Menunjukkan apa yang telah dilakukan oleh manajemen (stewardship) atau merupakan pertanggungjawaban manajemen atas sumber daya yang dipercayakan kepadanya. Menurut

a) Penambahan aset dicatat sebelah debet dan dianggap sebagai penggunaan dana kas atau Arus Kas keluar. Sebaliknya penurunan aset dianggap sebagai penerimaan dana