E d i t o r
Gusti Ayu Made Suartika, ST., MEng.Sc., PhD. Ni Ketut Agusintadewi, ST., MT., PhD.
KATA PENGANTAR
Ide pelestarian menjadi sebuah keharusan di era pembangunan yang pesat ini, di belahan bumi manapun kita berada. Pelestarian bentang alam, sumber daya alam, energi, peninggalan bernilai historis, tata nilai budaya dan sosial, identitas, dan lain-lain menjadi kegiatan-kegiatan yang tidak boleh tidak harus diagendakan. Tujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat telah mendorong komponen-komponen serta para pelaku pembangunan untuk memanfaatkan sumberdaya pendukung yang ada secara maksimal atau malahan secara berlebihan. Seringkali langkah ini tidak atau belum disertai pertimbangan untuk menjaga keberlangsungan serta ketersediaan sumberdaya yang sama untuk generasi di masa yang akan datang. Kadang kala, ketika kita menyisakan sumber daya untuk anak cucu kita di masa yang akan datang, kualitas serta kuantitasnya kemungkinan tidak pada kondisi prima lagi.
Kota sebagai wadah beragam aktivitas pembangunan secara langsung dipengaruhi oleh situasi di atas. Ini direfleksikan oleh kondisi lingkungan binaan, dimana kita hidup dan berinteraksi. Timpangnya aktivitas pembangunan antara desa dan kota telah mendorong laju urbanisasi yang sangat pesat, khususnya di negara-negara di Asia. Kondisi ini diperparah oleh tingginya laju pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak terkontrol. Seringkali sudah didengungkan jika kota-kota kita mengalami masalah kemacetan yang kronis; kebanjiran yang menahun; polusi pada level yang membahayakan; tingkat kepadatan yang melumpuhkan pergerakan dalam maupun antar kota; menurunnya level livabilitas kota; kualitas-kualitas ruang kota yang menurun; dominasi dalam pemanfaatan kawasan strategis oleh kepentingan tertentu; konversi kawasan lindung menjadi kawasan budidaya; merupakan beberapa tantangan dalam pertumbuhan kota saat ini. Sangat sering jika sebuah kota tumbuh dan berkembang tanpa ada rencana. Atau, jikapun blueprint pembangunan spasialnya ada, implementasi serta pengendaliannya yang bermasalah. Atau pada sirkumstansi yang berbeda, dimana terjadi koalisi anatar korporasi dengan para pengambil keputusan (pemerintah), produk perencanaan yang sudah jelas implementasinya bisa dibeli oleh para pemilik modal.
Dengan didasari oleh kondisi-kondisi inilah maka Program Studi Magister Arsitektur, Universitas Udayana dan Ikatan Arsitek Indonesia Daerah Bali berkolaborasi untuk menyelenggarakan seminar tahunan dengan tema Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Binaan di tahun 2015 ini. Kepada Ibu dan Bapak Pembicara Kunci, saya ucapkan terima kasih atas waktu serta kesediaannya untuk berbagi di melalui Seminar ini. Kepada Ibu dan Bapak Pemakalah dan Peserta Seminar, saya ucapkan terima kasih atas partisipasinya. Akhirnya, kepada Ibu dan Bapak Panitia Pelaksana Seminar, saya sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk kerja kerasnya, sehingga Seminar tahun ini bisa terlaksana dengan sukses. Sebagai penutup, saya mohon maaf untuk kekurangan dan kesalahan.
Terima kasih.
R I N G K A S A N
Proseding Seminar ini merupakan kumpulan paper-paper yang dipresentasikan dan dipublikasi dalam Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun yang diselenggarakan oleh Program Magister Arsitektur: Program Keahlian Perencanaan dan Manajemen Pembangunan Desa/Kota dan Program Keahlian Manajemen Konservasi, di Aula Pascasarjana, Lt III Gedung Pascasarjana Universitas Udayana, Kampus Denpasar pada hari Selasa, tanggal 22 Desember 2015.
Adapun sub tema yang diangkat dalam Seminar adalah:
1. Permukiman etnik 2. Permukiman informal 3. Tradisi, arsitektur, dan makna
4. Pelestarian arsitektur-tantangan dan potensi 5. Pusaka kota dan pembangunan kota berbudaya
6. Perencanaan kawasan strategis: ekowisata, pesisir, lindung, pendidikan, bersejarah, rentan bencana, ramah anak, pedestrians kota, dll
Masing-masing paper telah dipresentasikan, baik dalam sesi presentasi untuk para pembicara kunci maupun sesi pararel untuk para pemakalah. Partisipan dan presenter dalam Seminar ini berasal dari para akademisi, mahasiswa program pascasarjana, para pemerhati keberlanjutan lingkungan terbangun maupun bentang alamiah. Besar harapannya jika Seminar ini bisa menjadi ajang diskusi dan berbagi pengetahuan, pengalaman, ide berkenaan pembagunan lingkungan binaan serta pelestariannya. Ini termasuk pembangunan mekanisme terkait perencanaan tatanan spasial kota/daerah serta pelestarian legasi, potensi, serta sumber-sumber daya alamiah, dan non-alamiah yang ada di sekitar kita. Semoga aktivitas ini bisa dijadikan bagian kegiatan rutin, yang penyelenggaraannya dijadwal secara berkelanjutan.
DAFTAR ISI
Sesi Paralel 1:
Permukiman Etnik
Karakteristik Permukiman Tradisional Gampong Lubok Sukon ……… 1Ahmad Sidiq Pelestarian Pola Permukiman Tradisional Suku Lio Dusun Nuaone, Kabupaten Ende ……. 11
Alfons Mbuu Struktur Organisasi dan Tata Zonasi Permukiman di Desa Adat Penglipuran, Kabupaten Bangli ………. 25
I Gusti Ayu Canny Utami Konsep Pola Desa dan Tata Hunian Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Bali ……… 33
Nyoman Siska Dessy Krisanti Perkembangan Fisik Bangunan pada Permukiman Tradisional Desa Bayung Gede ………… 39
Ida Rayta Wira Pratami Kenyamanan Thermal pada Rumah Tinggal Masyarakat Desa Pekraman Bugbug, Kabupaten Karangasem ……….. 47
Ida Bagus Gde Primayatna, Ida Bagus Ngurah Bupala Konsepsi Tri Hita Karana pada Pola Perumahan Utama Desa Pekraman Gunung Sari ……… 59
Gusti Ayu Cantika Putri
Sesi Paralel 2:
Permukiman Informal
Karakteristik dan Faktor Penyebab Kekumuhan pada Permukiman Jalan Cok Agung Tresna I, Denpasar ……….. 67Ni Putu Diah Agustin Permanasuri Potensi Internalisasi Sektor Informal dalam Rencana Tata Ruang ………. 74
x
Sesi Paralel 3:
Tradisi, Arsitektur, dan Makna
Mandala Mamargi dalam Arsitektur Tradisional Bali
Pengalaman pada Peristiwa Nuntun Bhatara Hyang di Denpasar, Bali ……… 83
Anak Agung Ayu Oka Saraswati
Peran dan Makna Arsitektur Vernakular Indonesia sebagai Jatidiri
Menuju Arsitektur Nusantara ……… 90
Anak Agung Gde Djaja Bharuna S.
Kajian Elemen Arsitektur Gereja Tua Sikka sebagai Bangunan Bersejarah
Peninggalan Belanda ……………… 98
Yohanes Pieter Pedor Parera
Konsep Bentuk Uma Pangembe Melalui Pendekatan Kearifan Lokal
dan Budaya Setempat ……… 107
Ignatius Nugroho Adi
Fungsi dan Estetika dalam Arsitektur Tradisional Bali ………. 115
I Wayan Gomudha
Tradisi Meruang Masyarakat Tradisional Sasak Sade di Lombok Tengah ……….. 127
Ni Ketut Agusinta Dewi
Sesi Paralel 4:
Pelestarian Arsitektur-Tantangan dan Potensi
Eksistensi Teba sebagai Ruang Penampung Sampah Organik di Kecamatan Ubud ………… 141
I Gusti Ngurah Bagus Kusuma Putra
Pengembangan Desa Wisata di Desa Adat Pengotan Kabupaten Bangli ………... 150
Ishak Ferdiansyah
Transformasi Pemanfaatan Ruang di Sekitar Pura Kahyangan Tiga,
Desa Pakraman Peliatan ………...... 158
I Putu Hartawan
Puri Kanginan Singaraja: Konsep, Filosofi, dan Tipologi Bangunan ……… 167
Rohana Veramyta
Usaha Pelestarian Kearifan Lokal dalam Awig-Awig Penangkapan Ikan
(Studi Kasus Masyarakat Nelayan Desa Kedonganan) ………... 176
Anak Agung Ayu Dyah Rupini
Dasar Pertimbangan Pengelolaan Karang Bengang di Desa Tegallalang Gianyar ……… 184
Made Prarabda Karma
Pelestarian Hutan Bambu sebagai Bentuk Kearifan Lokal
di Desa Adat Penglipuran, Bangli …... 191
Ni Luh Made Marini
Pelestarian Taman Nasional Bali Barat ………... 197
Sesi Paralel 5:
Pusaka Kota dan Pembangunan Kota Berbudaya
Pemanfaatan Ruang Pada Kawasan Catuspatha Desa Kesiman Melalui
Pemaknaan Lingkungan Sekitar ………………… 205
I Gede Artha Dana Jaya
Strategi Menumbuhkan Kesadaran Masyarakat sebagai Upaya Pelestarian Aset Pusaka
Kota Denpasar ……………….. 215
Anak Agung Ayu Sri Ratih Yulianasari
Mewujudkan Kota Pusaka Yang Berkelanjutan …………….. 222
Nyoman Ary Yudya Prawira
Pengaruh Perkembangan Pariwisata terhadap Fungsi Karang Desa
di Banjar Nyuhkuning, Ubud ……………….. 229
Made Bayu Indra Yudha
Pembangunan Denpasar Kota Berbudaya: dari Kota Kerajaan hingga Kota Kolonial ……… 237
Putu Ayu Hening Wagiswari
Identifikasi Stakeholder dan Peranannya dalam Menyelesaikan
Persoalan Pelestarian Kawasan ………. 244
Gede Windu Laskara
226 Tahun Kuatkan Posisi Denpasar sebagai Kota Pusaka ………. 255
Putu Rumawan Salain
Sesi Paralel 6:
Perencanaan Kawasan Strategis
Pengaruh Parkir terhadap Infrastruktur Transportasi Jalan di Kota Lama Singaraja ……… 263
I Putu Edy Rapiana
Pengolahan Limbah Cair Rumah Tangga Menuju Pembangunan Berkelanjutan
di Kawasan Pariwisata Ubud ……… 271
Anak Agung Ayu Sara Kusumaningsih
Infrastruktur Manajemen Air sebagai Antisipasi Banjir di Tukad Buleleng,
Pusat Kota Lama Singaraja ……… 278
Anak Agung Ngurah Ardhyana
Kajian Implementasi Tata Ruang dan Bangunan pada Bangunan Hotel
di Kawasan Pesisir Sawangan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung ……… 287
Putu Gede Wahyu Satya Nugraha
Optimalisasi Moda Transportasi sebagai Antisipasi Rencana Pembangunan
Bandar Udara Bali Utara dan dalam Upaya Pemerataan Pembangunan ……… 292
Ni Ketut Ayu Intan Putri Mentari Indriani
Faktor dan Aspek Keberadaan Perumahan Gated Community di Kota Denpasar ……… 301
xii
Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Transportasi Umum di Kota Denpasar ……… 308
Wayan Daton Yudhyanggara
Implementasi Konsep Green Architecture pada Bangunan Four Season Tent Camp ………. 315
Kadek Bayu Dwi Laksana
Konsep Penyediaan Taman Kota sebagai Perwujudan Fungsi Sosial
Ruang Terbuka Hijau di Kota Mangupura ………... 323
Kadek Ary Wibawa Patra
Pengaruh Kebijakan Penataan Ruang Tukad Badung terhadap Perilaku Masyarakat
di Desa Pemogan ………... 332
I Ketut Adi Widiadinata
Pengembangan Infrastruktur yang Terintegrasi dengan Kondisi Iklim
pada Lingkungan Pantai Boom Banyuwangi ………..……….. 339
Abu Sufyan
Hutan Kota ………. 349
Cokorda Gede Putra Danendra
Sistem Subak di Desa Jatiluwih, Tabanan dalam Konsep Lingkungan Berkelanjutan ……… 356
L.G. Rara Bianca Sarasaty
Perubahan Fungsi Kawasan di Sekitar Kali Semarang Dari Era Kolonial hingga Modern
(Studi Kasus Kawasan Kali Semarang dari Gang Lombok hingga Kebon Dalem) ……….. 362
Yudistira Nugroho
Potensi Pengembangan Kawasan Pesisir Pantai Air Sanih Sebagai Objek Pariwisata
Perencanaan Berbasis Sustainable Development di Kabupaten Buleleng ……… 369
Untung Bagiotomo
Konsepsi Pengembangan Wilayah Agropolitan di Kabupaten Karangasem ……… 380
Putu Indra Yoga Sariasa
Kontroversi “Datu Swing” sebagai Salah Satu Objek Pariwisata di Gili Trawangan ………… 389
Putu Bayu Aji Krisna
Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan Fungsi Ekologis
di Kawasan Perkotaan Kabupaten Badung ……… 396
Afriyanti Noorwahyuni
Potensi Kawasan Pesisir Pemuteran ……….…. 404
Ayu Mega Silvia Lukitasari
Keragaman Budaya dalam Mewujudkan Sustainabilitas Pembangunan Ekonomi ……… 410
Gede Surya Pramana
Kawasan Wisata Seni dan Budaya Berbasis Ekonomi Kreatif di Kecamatan Sukawati …… 420
Kadek Wira Wibawa
Integrasi Kebijakan Perencanaan dan Prioritas Pembangunan yang Berbasis Masyarakat di Kawasan Pesisir Pantai Amed ……… 428
Kurnia Dwi Prawesti
Ekonomi Hijau sebagai Solusi untuk Mengatasi Dampak Negatif
Pengembangan Sarana Akomodasi Wisata di Ubud ……… 436
Perencanaan Kawasan Pesisir Pantai Soka: Identifikasi Potensi
dan Permasalahan Makro Kawasan Pantai Soka ……….. 444
Mutiara Nandya Putri Narendra Anom
Perkembangan Ruas Pesisir Pantai Geger-Nusa Kecil sebagai Kawasan Wisata
di Kabupaten Badung ……… 450
Ida Ayu Catur Maharani
Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian pada Kawasan Jalur Hijau di Subak Kedampang ……… 459
I Putu Anom Widiarsa
Perilaku Teritorialitas Pengunjung Monumen Bom Bali di Legian, Kuta ……… 467
I Wayan Yogik Adnyana Putra
Teritorialitas Pedagang di Selasar Pertokoan Tekstil Jalan Sulawesi Denpasar ………... 475
Ida Ayu Kade Paramita Pradnyadewi
Pemanfaatan Ruang Greenfield di Kecamatan Ubud, Gianyar ………. 483
Anak Agung Ayu Kasmarina
Telaah Kritis terhadap Diagram Model Penelitian pada Thesis
di Program Pascasarjana Unud: Suatu Usulan Pemikiran ………..……… 491
Syamsul Alam Paturusi
Menjaga Eksistensi Wilayah Pesisir Bali: Antara Teori dan Tradisi ……… 498
I Ketut Mudra
Pemberdayaan Petani Lokal dalam Pengembangan Restoran Organik di Ubud
sebagai Contoh Penerapan Green Development ………. 508
Made Agastya Kertanugraha
Pendidikan Melalui Pendekatan Perilaku: Menanamkan Sikap Ramah Lingkungan Dari Anak-Anak Sekolah Dasar Di Desa Bedulu (Gianyar), dalam
Menanggulangi Permasalahan Sampah ……… 514
Gusti Ayu Made Suartika
xiv
SUSUNAN PANITIA PELAKSANA SEMINAR
Ketua Panitia Pelaksana : Gusti Ayu Made Suartika, ST., MEngSc., PhD.
Wakil Ketua Panitia Pelaksana : Ni Ketut Agusintadewi, ST., MT., PhD.
Sekretaris : Ni Made Swanendri, ST., MT.
Seksi Acara : Dr. Ir. Ni Ketut Ayu Siwalatri, MT.
Seksi Seminar Kit : Dr. Ir. Widiastuti, MT.
Seksi Sertifikat : Dr. I Nyoman Widya Paramadhyaksa, ST., MT.
Seksi Proseding : I Wayan Yuda Manik, ST., MT.
Seksi Perlengkapan : Dr. Eng. I Wayan Kastawan, ST., MA.
Seksi Transportasi : Ir. I Gusti Bagus Budjana, MT.
Seksi Publikasi dan Kepesertaan : I Kadek Prana, ST., MT, IAI
I Gde Suryawinata, ST., IAI
Seksi Konsumsi : I G.A. Dewi Indira Sari, SE.
Seksi Dokumentasi : I Gusti Ngurah Putu Eka Putra
MASYARAKAT TRADISIONAL SASAK SADE DI LOMBOK TENGAH
Ni Ketut Agusinta Dewi
Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana Email: nkadewi@unud.ac.id
Abstract
In the light of building patterns, spatial planning, building materials, building characteristics and its orientations, created and developed spaces in Traditional Village of Sade obviously have a strong connection to Hinduism in Bali. The hill which is around this village is believed as a meeting point of microcosms and macrocosms. Meanwhile, balance cosmology is placed in their settlement. Their belief system affects the people live in transcendental harmony, in particular, the macrocosm. Empty spaces that are in the middle of a group of buildings, therefore, are functioned as a dialogue place with the macrocosm. The spreading of Islamic culture in Lombok has brought a uniqueness of previous cultural systems. This paper describes a group of phenomena above to reveal various kinds of traditional creating spaces of Sasak Sade regarding belief system, social system, spatial pattern, and architectural forms. These kinds of the phenomenon have collected from the field in two ways: observation and interview to the customary leader in regards to exploring and to preserve the richness of Nusantara’s culture.
Keywords: the tradition of creating spaces, traditional community, Sasak Sade
Abstrak
Ruang-ruang yang terbentuk dan berkembang di Dusun Sade memiliki pertalian yang erat dengan budaya Hindu di Bali. Ini terlihat jelas pada pola massa bangunan, penataan ruang, penggunaan bahan bangunan, bahkan pada garis besar karakter dan orientasi bangunannya. Puncak bukit dimaknai sebagai ruang pertemuan antara alam besar (makrokosmos) dan alam kecil (mikrokosmos). Keseimbangan dari kedua alam tersebut terletak pada permukimannya. Nilai-nilai filosofi yang dianut menyebabkan masyarakat dusun ini memiliki kehidupan yang selaras dengan alam atas, sehingga ruang-ruang kosong di tengah kelompok hunian difungsikan sebagai tempat dialog dengan alam atas tersebut. Penyebaran agama Islam di Lombok telah membawa keunikan pada tatanan budaya yang telah ada. Tulisan ini memaparkan sejumlah fenomena di atas guna menemukenali tradisi meruang masyarakat Sasak Sade yang bertalian erat dengan sistem kepercayaan, sistem kemasyarakatan, pola permukiman, dan perwujudan arsitekturnya. Sejumlah fenomena tersebut dihimpun dari pengamatan langsung dan wawancara kepada tetua adat dalam upaya menggali dan melestarikan kekayaan budaya Nusantara sebagai aset tak ternilai.
Kata kunci: tradisi meruang, masyarakat tradisional, Sasak Sade
SUKU SASAK DAN ASAL-USULNYA
Penduduk asli Pulau Lombok adalah Suku Sasak yang mayoritas beragama Islam. Suku ini sangat dinamis dan mudah menerima hal-hal baru yang berasal dari luar. Sebagaimana umumnya masyarakat-masyarakat tradisional di Nusantara, mereka hidup secara kekeluargaan dan bergotong-royong dengan mengikuti pola patrilineal. Dengan demikian, segala sesuatu dalam sistem keadatan diatur dan ditentukan oleh pihak laki-laki. Hal ini berpengaruh pada pola hunian dan pembentukan kelompok hunian keluarganya.
Catatan lama menyebutkan bahwa Lombok adalah tanah koloni Jawa Timur. Arti Sasak sendiri
128
Majapahit) juga terdapat dalam Kitab Negarakertagama, karya Empu Prapanca. Van der Kraan mengatakan bahwa Lombok disebut pertama kali oleh pelaut Bugis dan pelaut Portugis pada abad XVI, sesuai dengan nama pelabuhan kecil di sebelah timur Pulau Lombok.
Lombok juga mempunyai sebutan lain, yaitu Selaparang. Pulau ini memiliki tradisi yang lebih
tua dari tradisi Bali. Ini dapat ditelusuri pada tradisi masyarakat Desa Sembalun, di sekitar kaki Gunung Rinjani. Mereka menyatakan bahwa dirinya keturunan Hindu-Jawa yang bermukim di sana untuk menjaga makam salah seorang raja Majapahit. Dalam perjalanan sejarah, Bali dan Lombok yang bertetangga tersebut, sering bersentuhan, sehingga terjadi migrasi penduduk dari Bali ke Lombok, terutama di Lombok Barat. Akibat pertemuan antar etnis, telah terjadi akulturasi dan asimilasi selama berabad-abad. Saat ini, masyarakat tradisional Sasak yang masih asli dan masih melakukan pelestarian tradisi dan budayanya terdapat di Desa Bonjeruk, Desa Sengkol, Dusun Sade, dan Desa Sembalun di kaki Gunung Rinjani.
Gambar 1. Dusun Sade dan Kawasan Wisata Pantai Kute (arah jarum jam) (1) Suasana pintu masuk Dusun Sade dengan pola permukiman yang unik.
(2) Pajangan kain hasil tenunan masyarakat dusun ini memiliki motif dan corak yang khas. (3) Kawasan wisata Pantai Kute di Lombok Selatan yang sejalur wisata dengan Dusun Sade. (Sumber foto: Dewi, 2011)
adalah keindahan pemandangan alam dan kepatuhan terhadap budaya setempat, terutama kepatuhan terhadap pelaksanaan upacara ritual. Potensi tersebut dapat memacu sektor industri dan pariwisata kabupaten, sehingga industri yang berbasis pertanian ini mampu meningkatkan pendapatan perkapita penduduk kawasan.
Dusun Sade yang terletak pada jalur wisata kawasan Pantai Kute, memiliki posisi yang strategis. Kawasan Pantai Kute telah memiliki master plan untuk pengembangan kawasan pariwisata pantai yang komprehensif dan representatif. Pengembangan kawasan pantai ini akan berimbas positif terhadap perkembangan pariwisata Dusun Sade. Kedua kawasan ini menjadi salah satu maskot pariwisata daerah Lombok.
Kesenian yang paling terkenal dari dusun ini adalah kesenian gendang belig (gendang besar).
Disebut demikian karena grup kesenian ini terdiri atas gamelan Sasak yang diperkuat dengan lima bahkan tujuh buah gendang besar yang dipukul bertalu-talu. Kesenian ini dipertontonkan apabila ada penyambutan tamu atau upacara pernikahan. Selain itu, kerajinan tangan yang terkenal dari dusun ini adalah kerajinan kain tenun. Motif kain ini sangat khas dengan corak warna yang cenderung mencolok. Menenun dilakukan oleh para wanita setelah mereka menyelesaikan kegiatan rumah tangganya. Kegiatan ini dilakukan di depan rumah masing-masing. Sambil menenun, mereka dapat mengawasi rumah tinggalnya, sekalian juga menjual hasil tenunannya kepada para wisatawan. Kedua potensi ini menjadi salah satu daya tarik wisatawan domestik maupun mancanegara untuk berkunjung ke dusun ini. Aset budaya ini perlu dipertahankan agar dusun ini tetap menjadi daerah tujuan objek wisata daerah.
Gambar 2. Kesenian dan kerajinan masyarakat tradisional Sasak Sade
(kiri) Kesenian gendang belig dalam rangkaian acara penyambutan tamu
(kanan) Kerajinan menenun dilakukan oleh para wanita setelah menyelesaikan aktivitas rumah tangga (Sumber foto: Dewi, 2011)
SISTEM KEPERCAYAAN
130
1. Kepercayaan Kuno
a. Kosmologi
Menurut kepercayaan Sasak di jaman kuno, antara zat Yang Maha Kuasa dengan arwah dan alam semesta beserta isinya tidak terpisah. Sebagai bagian dari alam semesta, perubahan yang terjadi di alam semesta juga akan mempengaruhi hidup dan kehidupan manusia. Maka, manusia berusaha untuk memelihara keselarasan dan keserasian dengan alam semesta agar terjamin ketenangan, ketentraman, dan kesejahteraan di dunia, juga di alam gaib. Pandangan hidupnya bersifat kosmis. Untuk mencapai keselarasan dengan alam, manusia berusaha untuk tidak menguasai alam. Apabila perlu, sebelum melakukan sesuatu, mereka memohon ijin
dengan mengadakan upacara persembahan sajen (Sasak: bangaran) yang dipimpin oleh
seorang pemangku.
Dahulu Orang Sasak juga percaya bahwa benda-benda yang aneh bentuknya, seperti botol
buntu, batu kelopok (bila diguncang berbunyi), akar yang aneh bentuknya, ular yang menggigit
lalu mati, pohon kelapa yang bercabang, semuanya itu memiliki kesaktian. Selain itu, kesaktian juga dapat menjelma dalam diri orang yang kebal atau dapat meramal, sedang
malapetaka menurut kepercayaan mereka dapat disebabkan antara lain oleh orang bero
(melakukan incest), yang wujud malapetakanya bisa berupa musim kering yang terlalu lama, tidak ada hujan sama sekali, penyakit menular, dan lain-lain. Adanya pengaruh jelek terhadap
manusia akan menimbulkan kepercayaan tentang tabu/terlarang (maliq), bisa berupa
binatang, manusia, tanaman, tempat-tempat tertentu (seperti kuburan, mesjid, pesantren, dan lain-lain).
b. Waktu Telu (Watu Telu)
Kepercayaan ini disebut Waktu Telu karena hanya (baru) mengenal tiga dari lima Rukun Islam.
Pada awal perkembangan agama Islam di Pulau Lombok, agama ini dipeluk oleh para raja Lombok. Dengan demikian, apabila para raja telah memeluk agama Islam, maka seluruh rakyatnya pun dinyatakan Islam atau harus mengakui Islam sebagai agamanya. Hal ini berakibat diseluruh kerajaan atau desa terdapat penganut yang masih awam. Hanya penganutnya beragama Islam, tetapi keyakinan maupun tradisinya masih dipengaruhi oleh kepercayaan atau adat-istiadat lama. Sebelum Islam datang, rakyatnya menganut agama
Siwa-Buddha. Tentang Waktu Telu ini dapat dijelaskan:
1. Hanya mengakui tiga rukun saja dari lima rukun Islam;
2. Terdapat unsur-unsur politis dan mengandung unsur-unsur animis yang sangat
bertentangan dengan ajaran Islam;
3. Teguh memegang kebiasaan nenek moyang mereka, walaupun bertentangan dengan Al
Qur’an dan Hadits;
4. Lebih banyak mendalami lontar-lontar daripada Al Qur’an dan Hadits;
5. Cukup terpengaruh oleh tarekat;
6. Kurang menyukai pembaharuan, sehingga sifatnya statis.
2. Ibadah
puasa dan menurut keyakinan mereka, dosa mereka ditanggung oleh kiai. Tugas mereka yang utama adalah melaksanakan apa yang ditentukan oleh kiai-kiai, seperti selamatan orang mati, merayakan hari-hari besar Islam, dan lain-lain.
SISTEM KEMASYARAKATAN
Sistem kekerabatan masyarakat tradisional ini masih berdasarkan pada hubungan patrilineal dengan pola menetap patrilokal. Kesatuan kekerabatan amat penting. Yang lebih besar besar dari keluarga batih (kuren) disebut kadang, yaitu kelompok yang semuanya beranggotakan laki-laki yang telah menikah. Sebuah rumah tangga biasanya terdiri atas satu keluarga batih
yang bersifat monogami, ditambah dengan anak-anak yang menumpang atau yang masih kerabat. Kalau anak laki-laki telah menikah, maka ia membuat rumah di sekitar rumah orang tuanya (patrilokal).
Keluarga batih merupakan kesatuan ekonomi dalam arti menata laksana kehidupan rumah
tangga dan sebagai kesatuan dalam mata pencaharian. Juga keluarga batih merupakan
kesatuan yang melakukan pengasuhan dan mendidik angkatan yang berikutnya, di samping menguasai sejumlah hak milik dan kesatuan dalam melaksanakan upacara adat dan agama tertentu.
Masyarakat dusun ini mempunyai sistem susunan keluarga patrilineal, hanya memperhatikan keturunan melalui bapak saja. Yang berhak menerima warisan benda tetap (sebelum Islam masuk dan meresap ke dalam masyarakat) hanyalah anak laki-laki, sedangkan anak-anak perempuan hanya memperoleh barang-barang perabot rumah tangga dan perhiasan yang sejak masih gadis menjadi miliknya. Kadang-kadang perempuan dapat juga memperoleh ternak. Setelah agama Islam meresap ke dalam masyarakat, maka dusun ini sudah memperhatikan hukum Islam dalam pembagian warisan. Anak laki-laki mendapat dua kali bagian anak perempuan.
Menurut hukum adat Lombok yang sampai saat ini masih dianut mereka, kalau seorang anak laki-laki menikah, segera membuat rumah baru (neolokal) di sekitar orang tuanya. Kalau tempat itu sudah tidak memenuhi persyaratan, ia bisa membuat rumah di tempat lain, keluar dari lingkungan orang tuanya. Di sana kemungkinan akan berkembang menjadi perkampungan baru. Kepada anak laki-laki yang demikian biasanya diberikan sawah ladang dan kebun serta ternak sebagai bekal dalam menempuh hidup baru.
POLA PERKAMPUNGAN
Awalnya, Dusun Sade terbentuk dari dusun kecil yang tumbuh semakin sempurna. Mula-mula sebagian kecil keluarga datang dan menetap di sana. Rumah mereka merupakan tempat
tinggal darurat yang disebut repoq, dan repoq ini kemudian berkembang menjadi dasan (dusun
atau kampung). Satu dasan terdiri atas sejumlah deretan rumah yang disebut suteran. Antara
beberapa suteran terdapat pengorong (lorong atau koridor). Kumpulan suteran disebut gubuk,
132
Gambar 2. Salah satu repog, rumah tinggal masyarakat tradisional Sasak Sade (Sumber foto: Dewi, 2011)
Empat rumah atau lebih yang karena ikatan keluarga dibatasi oleh rumah dari keluarga
lainnya. Dalam satu gubuk terdiri atas beberapa keluarga. Di depan rumah keluarga terdapat
alang (lumbung padi), tempat menyimpan hasil pertanian. Penempatan di depan rumah ini disebabkan adanya rasa hormat terhadap makanan yang dikonotasikan dengan roh atau
nyawa. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan membangun alang di luar pekarangan
dusun/kampung demi keamanan, terutama dari bahaya kebakaran. Selain juga tidak lepas dari keadaan mereka sendiri yang sulit dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Rasa hormat dan kewaspadaan terhadap bahaya kebakaran ini menyebabkan dahulu lumbung padi tidak boleh ditempati sebagai tempat tinggal dengan cara menempelkan dinding pada keempat tiangnya. Sekarang, lumbung padi sudah ditempati sebagai tempat tinggal dan ada pula dipakai sebagai tempat masak. Perubahan fungsi ini disebabkan karena makin bertambahnya jumlah penduduk yang tidak disertai dengan penambahan jumlah pekarangan dan perumahan. Mereka cenderung tetap tinggal dan hidup dekat keluarga dalam satu pekarangan yang dibatasi oleh keluarga lain. Anak-anak yang meningkat dewasa segera dibuatkan rumah. Hal ini dapat dipahami karena situasi ruang dalam mereka yang tidak dibatasi dengan dinding, tetapi tergelar dalam satu ruangan. Situasi seperti ini tentu saja akan dipandang tidak sesuai begitu anak meningkat dewasa.
kiai. Masyarakat hanya melakukan upacara-upacara adat. Bangunan masjid tersebut telah dipugar, bentuk dan konstruksi masih seperti bangunan masjid yang lama, hanya bahan bangunan yang diperbarui.
Gambar 3. Pola perkampungan Dusun Tradisional Sasak Sade (Sumber: Dirjen Perkim, 2007:67)
D B
C
E A
A. Pintu masuk
B. Bruga (tempat musyawarah) C. Alang (lumbung padi) D. Masjid beratap tumpang tiga E. Permukiman masyarakat
134
Pembagian penggunaan lahan didasarkan atas ketinggian permukaan lahan. Dataran rendah yang akan menampung air hujan diperuntukkan sebagai lahan pertanian, sedangkan dataran/lereng yang kurang menampung air hujan diperuntukkan sebagai lahan permukiman. Dengan bentuk pola permukiman mengelompok, interaksi antar penduduk di Dusun Sade sangatlah erat, dimana seorang anggota kelompok mengenali anggota kelompok lain dengan baik. Hal ini ditunjang dengan sistem kekuasaan yang ada, dimana untuk setiap kelompok biasanya merupakan satu kesatuan dusun dipimpin oleh seorang kepala dusun.
Secara umum tidak terdapat adat-istiadat yang mengikat, demikian pula dengan pola-pola aturan tata letak perumahan. Adapun arsitektural perumahan yang ada pada dasarnya merupakan cerminan dari pola hidup penduduk yang bermatapencaharian pertanian tadah hujan dan pemanfaatan lahan perumahan di lereng-lereng perbukitan.
POLA PELETAKAN UNIT HUNIAN
Suku Sasak umumnya mudah menerima hal-hal baru yang berasal dari luar dan mereka hidup
secara kekeluargaan serta bergotong royong. Hubungan kekeluargaan yang patrilineal,
menyebabkan apabila seorang anak laki-laki menikah, maka ia dapat membangun rumah di pekarangan orang tuanya. Hal ini berpengaruh pada pola hunian dan pembentukan kelompok hunian keluarganya.
Ditinjau dari sejarah dan letak geografis Pulau Lombok, dapat dimengerti bahwa bentuk arsitektur tradisional Lombok banyak kesamaannya dengan arsitektur Bali, baik menurut pola penataan pekarangan, tata ruang, sistem struktur, penggunaan bahan bangunan, bahkan pada garis besar karakter dan orientasi bangunannya.
Bangunan berarsitektur Sasak mempunyai garis karakter Hindu yang kuat. Hal ini disebabkan pada masa lalu Lombok pernah menjadi pusat kerajaan Hindu yang sangat berpengaruh. Bangunan yang mempunyai nilai tinggi pada dasarnya mempunyai orientasi Gunung Rinjani dan arah laut. Untuk bangunan masjid mempunyai arah orientasi ke arah kiblat. Arah orientasi ke gunung-laut ini dipengaruhi oleh arsitektur Hindu, yaitu semakin tinggi suatu tempat semakin tinggi nilai kesuciannya.
Berangkat dari filosofi bahwa manusia sebagai makhluk dari alam bawah dalam menciptakan
ruang kehidupannya harus menyelaraskan diri dengan alam atas dengan cara berdialog, maka
dibutuhkan tempat untuk berdialog tersebut. Tempat tersebut diletakkan di tengah-tengah, merupakan ruang tersendiri. Pola ruang tengah ini diterapkan pada penataan pekarangan kelompok hunian. Ruang tengah (halaman tengah) pada permukiman ini berfungsi untuk komunikasi sosial, disebut natar.
Perkampungan tradisional selalu memilih lokasi dan berkelompok pada daerah yang lebih tinggi dari sekitarnya, biasanya di bukit. Hal ini didasarkan pada pertimbangan spiritual,
permukiman merupakan gambaran dunia kecil (mikrokosmos), cenderung berorientasi ke
dilengkapi dengan masjid karena mereka beragama Islam. Namun, arsitektur Hindu masih berpengaruh pada penampilan masjid ini. Atap masjid berbentuk limasan yang bersusun (atap tumpang), merupakan salah satu ciri-ciri arsitektur Hindu. Hal ini disebabkan pada masa lalu Lombok pernah menjadi pusat kerajaan Hindu.
Gambar 4. Jalan setapak sebagai penghubung antar kelompok rumah (Sumber foto: Dewi, 2011)
TIPOLOGI BANGUNAN TRADISIONAL SASAK SADE
Sebagaimana dijelaskan di atas, kampung tradisional Sasak Sade memiliki tata letak massa bangunan yang unik. Selain kelompok bangunan rumah tinggal, dusun ini juga memiliki
bangunan fasilitas lingkungan: masjid dan bruga untuk tempat musyawarah.
1. Bangunan Fasilitas Lingkungan
a. Masjid
Dusun Sade hanya memiliki satu buah rumah ibadah berupa masjid. Masjid ini merupakan salah satu masjid lama yang masih dipengaruhi oleh Hindu. Bentuk atapnya tumpang tiga. Pintu terletak di bagian samping kiri dan kanan, serta bagian belakang. Dinding terbuat dari bedek
136
b. Bangunan Tempat Musyawarah (Bruga)
Bangunan untuk tempat musyawarah (rembug warga) berupa bale sakenem (balai bertiang
enam) yang terletak di halaman depan. Bangunan berupa balai-balai tanpa dinding, memiliki tiang enam buah. Atapnya terbuat dari alang-alang. Balai-balai ini digunakan pada waktu rapat/musyawarah yang melibatkan warga dusun, untuk menerima tamu, atau upacara tradisi lainnya.
Gambar 5. Bangunan fasilitas lingkungan di Dusun Sade (arah jarum jam)
(1) Masjid sebagai tempat ibadah yang penampilannya sangat dipengaruhi oleh arsitektur Hindu. (2) Atap masjid memiliki konstruksi atap bertumpang tiga.
(3) Bruga sebagai bangunan komunal yang digunakan secara bersama-sama oleh warga. (Sumber foto: Dewi, 2011)
2. Bangunan Rumah Tinggal (Bale Tani/Bale Gunung Rate)
melahirkan dan tempat menyimpan harta pusaka. Tempat ini letaknya di sebelah kiri pintu masuk. Di bagian atas dibuat semacam lantai untuk tempat menyimpan sesuatu, disebut
amben.
Gambar 6. Ilustrasi bale tani atau bale gunung rate (arah jarum jam)
(1) Gambar potongan bale memperlihatkan bagian lantai yang ditinggikan. (2) Ilustrasi tampak depan bale yang didominasi dengan bentuk atap yang tinggi. (3) Ilustrasi denah bale menunjukkan pembagian ruang dengan fungsi-fungsi tertentu. (Sumber: Miksic and Tjahjono, 2003:124)
2. Dalem Bale
Pada bagian ini terdapat jangkih (tungku) berfungsi untuk memasak dan menyimpan alat
dapur (geguluk), dan tempat menumbuk padi, menyimpan tikar (sempare).Dalem bale dan
bale dalem adalah bagian yang utama dari rumah tinggal Suku Sasak. Bagian ini memiliki lantai yang ditinggikan karena mempunyai nilai utama.
3. Serambi (Sesangkok/Sasando)
Merupakan serambi dari rumah bagian depan yang terbagi menjadi serambi kiri dan serambi kanan. Serambi kiri berfungsi untuk tempat menerima tamu yang kurang penting atau untuk bersantai-santai, sedangkan serambi kanan berfungsi untuk menerima tamu adat atau tamu penting lainnya. Walaupun sempit, tempat ini sangat fungsional. Pada bagian belakang juga terdapat serambi yang digunakan untuk menyimpan kayu bakar dan kandang ternak.
138
dari anyaman bambu (bedek) dan berfungsi sebagai kamar. Mereka memiliki aturan
bahwa kaum laki-laki tinggal di luar rumah. Rumah diutamakan untuk anak-anak dan wanita, sedangkan pada malam hari laki-laki tidur di serambi atau bruga.
4. Tangga (Undag)
Tangga terdiri atas tiga anak tangga, dan difungsikan untuk menghubungkan dari
sesangkok ke dalem bale. Di atas anak tangga ada pintu masuk ke bale dalem. Pintu
tersebut setinggi istri tuan rumah dikurangi 20 cm, sehingga untuk masuk ke dalam bale
harus menundukkan kepala terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar untuk memasuki ruang utama penghuni atau tamu harus menghormat dulu karena ruang ini memiliki nilai yang paling utama.
Gambar 7. Ilustrasi bale tani atau bale gunung rate (arah jarum jam) (1) Tiga anak tangga yang menghubungkan dari sesangkok ke dalem bale. (2) Dalem bale yang difungsikan sebagai tempat memasak (dapur) (3) Pintu masuk ke dalem bale dengan mengikuti ukuran istri pemilik rumah. (Sumber foto: Dewi, 2011)
tinggi. Bentuk atap pelana dan terbuat dari alang-alang yang disusun sedemikian rupa sehingga tahan sampai 8–10 tahun, sedang dinding terbuat dari anyaman bambu.
Gambar 8. Bangunan-bangunan pelengkap di setiap unit hunian (arah jarum jam) (1) Lumbung (tempat menyimpan padi) sebagai lambang kemakmuran. (2) Bong (gentong air) yang diletakkan di depan setiap unit hunian. (3) Ilustrasi alang (lumbung padi) dengan konstruksi atapnya yang khas
(Sumber: Miksic and Tjahjono, 2003:127)
140
Di depan setiap unit hunian memiliki gentong air (bong) yang difungsikan untuk mengambil
air wudhu sebelum sembahyang, mencuci kaki dan tangan sebelum memasuki rumah, dan
mencuci perabot dapur. Dalam perkembangan selanjutnya, bong ini difungsikan juga sebagai
tempat mandi. Air dalam bong diambil dari sumur atau sumber air lainnya yang letaknya cukup jauh dari rumah mereka, dan oleh penduduk dibawa dengan periuk atau ember yang dijunjung di atas kepala mereka.
Selain itu, rumah tinggal mereka juga dilengkapi dengan kandang dan bangunan tempat
menyimpan padi (alang atau lumbung). Bangunan penyimpanan padi ini melambangkan
kemakmuran, dan diletakkan pada sebelah kiri rumah tinggal. Alang memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan lumbung. Bentuk bangunan ini diadopsi menjadi ciri khas arsitektural bangunan-bangunan di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
SIMPULAN
Sejarah dan letak geografis Dusun Sade menunjukkan bahwa bentuk-bentuk arsitektural yang berkembang di dusun ini memiliki pertalian erat dengan arsitektur Hindu di Bali. Pemaknaan dalam meruang yang dicirikan dalam tradisi yang kuat tercermin pada pola massa bangunan, pola permukiman, penggunaan bahan, bahkan pada cerminan karakter dan orientasi
bangunannya. Keseimbangan kosmologi antara alam besar (makrokosmos) dan alam kecil
(mikrokosmos) memposisikan puncak bukit sebagai tempat pertemuan kedekatan hubungan antara kedua alam tersebut. Nilai-nilai filosofi yang diterapkan menciptakan ruang kehidupan
masyarakat dusun ini menjadi selaras dengan alam atas, sehingga disediakanlah ruang-ruang
kosong di tengah kelompok hunian yang berfungsi sebagai tempat dialog dengan alam atas
tersebut. Kemudian budaya Islam datang, berakulturasi dan berasimiliasi dengan budaya yang telah ada, membawa kedinamisan pada sistem kemasyarakatan dan tradisi meruang, membentuk pola ruang dan bentukan arsitektural yang khas. Karakter ini menjadi salah satu daya tarik wisatawan domestik maupun mancanegara untuk berkunjung dan menggali lebih jauh lagi pemaknaan di balik bentukan yang terjadi. Aset budaya ini perlu dilestarikan agar dusun ini tetap menjadi daerah tujuan wisata daerah dan menjadi aset tak ternilai dalam memperkaya budaya Nusantara.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kepada ketua adat, Bapak Amaq Yusrin, dan keluarga yang sudah berkenan diwawancarai dan mengijinkan saya untuk menelusuri perkampungan untuk mengambil sejumlah foto dan mewawancarai penduduk Dusun Sade.
DAFTAR BACAAN
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah RI (2007) Perencanaan Rencana Tindak
Revitalisasi Permukiman (RTRP) Kabupaten Lombok Tengah. Jakarta: Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman.
Krisna, R., Antariksa, Dwi Ari, I.R. (2005) Studi Pelestarian Kawasan Wisata Budaya di Dusun
Sade Kabupaten Lombok Tengah. Jurnal Plannit. 3 (2):124-133.
Miksic, J. and Tjahjono, G. (Eds). (2003) Architecture (Indonesian Heritage, Vol. 6). Singapore: Archipelago Press.
Saptaningtyas. R. S. (2009) Kearifan Lokal Dalam Arsitektur Tradisional Sasak di Pulau Lombok.