• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Meruang Masyarakat Tradisional Sasak Sade di Lombok Tengah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tradisi Meruang Masyarakat Tradisional Sasak Sade di Lombok Tengah."

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

E d i t o r

Gusti Ayu Made Suartika, ST., MEng.Sc., PhD. Ni Ketut Agusintadewi, ST., MT., PhD.

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Ide pelestarian menjadi sebuah keharusan di era pembangunan yang pesat ini, di belahan bumi manapun kita berada. Pelestarian bentang alam, sumber daya alam, energi, peninggalan bernilai historis, tata nilai budaya dan sosial, identitas, dan lain-lain menjadi kegiatan-kegiatan yang tidak boleh tidak harus diagendakan. Tujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat telah mendorong komponen-komponen serta para pelaku pembangunan untuk memanfaatkan sumberdaya pendukung yang ada secara maksimal atau malahan secara berlebihan. Seringkali langkah ini tidak atau belum disertai pertimbangan untuk menjaga keberlangsungan serta ketersediaan sumberdaya yang sama untuk generasi di masa yang akan datang. Kadang kala, ketika kita menyisakan sumber daya untuk anak cucu kita di masa yang akan datang, kualitas serta kuantitasnya kemungkinan tidak pada kondisi prima lagi.

Kota sebagai wadah beragam aktivitas pembangunan secara langsung dipengaruhi oleh situasi di atas. Ini direfleksikan oleh kondisi lingkungan binaan, dimana kita hidup dan berinteraksi. Timpangnya aktivitas pembangunan antara desa dan kota telah mendorong laju urbanisasi yang sangat pesat, khususnya di negara-negara di Asia. Kondisi ini diperparah oleh tingginya laju pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak terkontrol. Seringkali sudah didengungkan jika kota-kota kita mengalami masalah kemacetan yang kronis; kebanjiran yang menahun; polusi pada level yang membahayakan; tingkat kepadatan yang melumpuhkan pergerakan dalam maupun antar kota; menurunnya level livabilitas kota; kualitas-kualitas ruang kota yang menurun; dominasi dalam pemanfaatan kawasan strategis oleh kepentingan tertentu; konversi kawasan lindung menjadi kawasan budidaya; merupakan beberapa tantangan dalam pertumbuhan kota saat ini. Sangat sering jika sebuah kota tumbuh dan berkembang tanpa ada rencana. Atau, jikapun blueprint pembangunan spasialnya ada, implementasi serta pengendaliannya yang bermasalah. Atau pada sirkumstansi yang berbeda, dimana terjadi koalisi anatar korporasi dengan para pengambil keputusan (pemerintah), produk perencanaan yang sudah jelas implementasinya bisa dibeli oleh para pemilik modal.

Dengan didasari oleh kondisi-kondisi inilah maka Program Studi Magister Arsitektur, Universitas Udayana dan Ikatan Arsitek Indonesia Daerah Bali berkolaborasi untuk menyelenggarakan seminar tahunan dengan tema Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Binaan di tahun 2015 ini. Kepada Ibu dan Bapak Pembicara Kunci, saya ucapkan terima kasih atas waktu serta kesediaannya untuk berbagi di melalui Seminar ini. Kepada Ibu dan Bapak Pemakalah dan Peserta Seminar, saya ucapkan terima kasih atas partisipasinya. Akhirnya, kepada Ibu dan Bapak Panitia Pelaksana Seminar, saya sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk kerja kerasnya, sehingga Seminar tahun ini bisa terlaksana dengan sukses. Sebagai penutup, saya mohon maaf untuk kekurangan dan kesalahan.

Terima kasih.

(5)
(6)

R I N G K A S A N

Proseding Seminar ini merupakan kumpulan paper-paper yang dipresentasikan dan dipublikasi dalam Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun yang diselenggarakan oleh Program Magister Arsitektur: Program Keahlian Perencanaan dan Manajemen Pembangunan Desa/Kota dan Program Keahlian Manajemen Konservasi, di Aula Pascasarjana, Lt III Gedung Pascasarjana Universitas Udayana, Kampus Denpasar pada hari Selasa, tanggal 22 Desember 2015.

Adapun sub tema yang diangkat dalam Seminar adalah:

1. Permukiman etnik 2. Permukiman informal 3. Tradisi, arsitektur, dan makna

4. Pelestarian arsitektur-tantangan dan potensi 5. Pusaka kota dan pembangunan kota berbudaya

6. Perencanaan kawasan strategis: ekowisata, pesisir, lindung, pendidikan, bersejarah, rentan bencana, ramah anak, pedestrians kota, dll

Masing-masing paper telah dipresentasikan, baik dalam sesi presentasi untuk para pembicara kunci maupun sesi pararel untuk para pemakalah. Partisipan dan presenter dalam Seminar ini berasal dari para akademisi, mahasiswa program pascasarjana, para pemerhati keberlanjutan lingkungan terbangun maupun bentang alamiah. Besar harapannya jika Seminar ini bisa menjadi ajang diskusi dan berbagi pengetahuan, pengalaman, ide berkenaan pembagunan lingkungan binaan serta pelestariannya. Ini termasuk pembangunan mekanisme terkait perencanaan tatanan spasial kota/daerah serta pelestarian legasi, potensi, serta sumber-sumber daya alamiah, dan non-alamiah yang ada di sekitar kita. Semoga aktivitas ini bisa dijadikan bagian kegiatan rutin, yang penyelenggaraannya dijadwal secara berkelanjutan.

(7)
(8)

DAFTAR ISI

Sesi Paralel 1:

Permukiman Etnik

Karakteristik Permukiman Tradisional Gampong Lubok Sukon ……… 1

Ahmad Sidiq Pelestarian Pola Permukiman Tradisional Suku Lio Dusun Nuaone, Kabupaten Ende ……. 11

Alfons Mbuu Struktur Organisasi dan Tata Zonasi Permukiman di Desa Adat Penglipuran, Kabupaten Bangli ………. 25

I Gusti Ayu Canny Utami Konsep Pola Desa dan Tata Hunian Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Bali ……… 33

Nyoman Siska Dessy Krisanti Perkembangan Fisik Bangunan pada Permukiman Tradisional Desa Bayung Gede ………… 39

Ida Rayta Wira Pratami Kenyamanan Thermal pada Rumah Tinggal Masyarakat Desa Pekraman Bugbug, Kabupaten Karangasem ……….. 47

Ida Bagus Gde Primayatna, Ida Bagus Ngurah Bupala Konsepsi Tri Hita Karana pada Pola Perumahan Utama Desa Pekraman Gunung Sari ……… 59

Gusti Ayu Cantika Putri

Sesi Paralel 2:

Permukiman Informal

Karakteristik dan Faktor Penyebab Kekumuhan pada Permukiman Jalan Cok Agung Tresna I, Denpasar ……….. 67

Ni Putu Diah Agustin Permanasuri Potensi Internalisasi Sektor Informal dalam Rencana Tata Ruang ………. 74

(9)

x

Sesi Paralel 3:

Tradisi, Arsitektur, dan Makna

Mandala Mamargi dalam Arsitektur Tradisional Bali

Pengalaman pada Peristiwa Nuntun Bhatara Hyang di Denpasar, Bali ……… 83

Anak Agung Ayu Oka Saraswati

Peran dan Makna Arsitektur Vernakular Indonesia sebagai Jatidiri

Menuju Arsitektur Nusantara ……… 90

Anak Agung Gde Djaja Bharuna S.

Kajian Elemen Arsitektur Gereja Tua Sikka sebagai Bangunan Bersejarah

Peninggalan Belanda ……………… 98

Yohanes Pieter Pedor Parera

Konsep Bentuk Uma Pangembe Melalui Pendekatan Kearifan Lokal

dan Budaya Setempat ……… 107

Ignatius Nugroho Adi

Fungsi dan Estetika dalam Arsitektur Tradisional Bali ………. 115

I Wayan Gomudha

Tradisi Meruang Masyarakat Tradisional Sasak Sade di Lombok Tengah ……….. 127

Ni Ketut Agusinta Dewi

Sesi Paralel 4:

Pelestarian Arsitektur-Tantangan dan Potensi

Eksistensi Teba sebagai Ruang Penampung Sampah Organik di Kecamatan Ubud ………… 141

I Gusti Ngurah Bagus Kusuma Putra

Pengembangan Desa Wisata di Desa Adat Pengotan Kabupaten Bangli ………... 150

Ishak Ferdiansyah

Transformasi Pemanfaatan Ruang di Sekitar Pura Kahyangan Tiga,

Desa Pakraman Peliatan ………...... 158

I Putu Hartawan

Puri Kanginan Singaraja: Konsep, Filosofi, dan Tipologi Bangunan ……… 167

Rohana Veramyta

Usaha Pelestarian Kearifan Lokal dalam Awig-Awig Penangkapan Ikan

(Studi Kasus Masyarakat Nelayan Desa Kedonganan) ………... 176

Anak Agung Ayu Dyah Rupini

Dasar Pertimbangan Pengelolaan Karang Bengang di Desa Tegallalang Gianyar ……… 184

Made Prarabda Karma

Pelestarian Hutan Bambu sebagai Bentuk Kearifan Lokal

di Desa Adat Penglipuran, Bangli …... 191

Ni Luh Made Marini

Pelestarian Taman Nasional Bali Barat ………... 197

(10)

Sesi Paralel 5:

Pusaka Kota dan Pembangunan Kota Berbudaya

Pemanfaatan Ruang Pada Kawasan Catuspatha Desa Kesiman Melalui

Pemaknaan Lingkungan Sekitar ………………… 205

I Gede Artha Dana Jaya

Strategi Menumbuhkan Kesadaran Masyarakat sebagai Upaya Pelestarian Aset Pusaka

Kota Denpasar ……………….. 215

Anak Agung Ayu Sri Ratih Yulianasari

Mewujudkan Kota Pusaka Yang Berkelanjutan …………….. 222

Nyoman Ary Yudya Prawira

Pengaruh Perkembangan Pariwisata terhadap Fungsi Karang Desa

di Banjar Nyuhkuning, Ubud ……………….. 229

Made Bayu Indra Yudha

Pembangunan Denpasar Kota Berbudaya: dari Kota Kerajaan hingga Kota Kolonial ……… 237

Putu Ayu Hening Wagiswari

Identifikasi Stakeholder dan Peranannya dalam Menyelesaikan

Persoalan Pelestarian Kawasan ………. 244

Gede Windu Laskara

226 Tahun Kuatkan Posisi Denpasar sebagai Kota Pusaka ………. 255

Putu Rumawan Salain

Sesi Paralel 6:

Perencanaan Kawasan Strategis

Pengaruh Parkir terhadap Infrastruktur Transportasi Jalan di Kota Lama Singaraja ……… 263

I Putu Edy Rapiana

Pengolahan Limbah Cair Rumah Tangga Menuju Pembangunan Berkelanjutan

di Kawasan Pariwisata Ubud ……… 271

Anak Agung Ayu Sara Kusumaningsih

Infrastruktur Manajemen Air sebagai Antisipasi Banjir di Tukad Buleleng,

Pusat Kota Lama Singaraja ……… 278

Anak Agung Ngurah Ardhyana

Kajian Implementasi Tata Ruang dan Bangunan pada Bangunan Hotel

di Kawasan Pesisir Sawangan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung ……… 287

Putu Gede Wahyu Satya Nugraha

Optimalisasi Moda Transportasi sebagai Antisipasi Rencana Pembangunan

Bandar Udara Bali Utara dan dalam Upaya Pemerataan Pembangunan ……… 292

Ni Ketut Ayu Intan Putri Mentari Indriani

Faktor dan Aspek Keberadaan Perumahan Gated Community di Kota Denpasar ……… 301

(11)

xii

Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Transportasi Umum di Kota Denpasar ……… 308

Wayan Daton Yudhyanggara

Implementasi Konsep Green Architecture pada Bangunan Four Season Tent Camp ………. 315

Kadek Bayu Dwi Laksana

Konsep Penyediaan Taman Kota sebagai Perwujudan Fungsi Sosial

Ruang Terbuka Hijau di Kota Mangupura ………... 323

Kadek Ary Wibawa Patra

Pengaruh Kebijakan Penataan Ruang Tukad Badung terhadap Perilaku Masyarakat

di Desa Pemogan ………... 332

I Ketut Adi Widiadinata

Pengembangan Infrastruktur yang Terintegrasi dengan Kondisi Iklim

pada Lingkungan Pantai Boom Banyuwangi ………..……….. 339

Abu Sufyan

Hutan Kota ………. 349

Cokorda Gede Putra Danendra

Sistem Subak di Desa Jatiluwih, Tabanan dalam Konsep Lingkungan Berkelanjutan ……… 356

L.G. Rara Bianca Sarasaty

Perubahan Fungsi Kawasan di Sekitar Kali Semarang Dari Era Kolonial hingga Modern

(Studi Kasus Kawasan Kali Semarang dari Gang Lombok hingga Kebon Dalem) ……….. 362

Yudistira Nugroho

Potensi Pengembangan Kawasan Pesisir Pantai Air Sanih Sebagai Objek Pariwisata

Perencanaan Berbasis Sustainable Development di Kabupaten Buleleng ……… 369

Untung Bagiotomo

Konsepsi Pengembangan Wilayah Agropolitan di Kabupaten Karangasem ……… 380

Putu Indra Yoga Sariasa

Kontroversi “Datu Swing” sebagai Salah Satu Objek Pariwisata di Gili Trawangan ………… 389

Putu Bayu Aji Krisna

Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan Fungsi Ekologis

di Kawasan Perkotaan Kabupaten Badung ……… 396

Afriyanti Noorwahyuni

Potensi Kawasan Pesisir Pemuteran ……….…. 404

Ayu Mega Silvia Lukitasari

Keragaman Budaya dalam Mewujudkan Sustainabilitas Pembangunan Ekonomi ……… 410

Gede Surya Pramana

Kawasan Wisata Seni dan Budaya Berbasis Ekonomi Kreatif di Kecamatan Sukawati …… 420

Kadek Wira Wibawa

Integrasi Kebijakan Perencanaan dan Prioritas Pembangunan yang Berbasis Masyarakat di Kawasan Pesisir Pantai Amed ……… 428

Kurnia Dwi Prawesti

Ekonomi Hijau sebagai Solusi untuk Mengatasi Dampak Negatif

Pengembangan Sarana Akomodasi Wisata di Ubud ……… 436

(12)

Perencanaan Kawasan Pesisir Pantai Soka: Identifikasi Potensi

dan Permasalahan Makro Kawasan Pantai Soka ……….. 444

Mutiara Nandya Putri Narendra Anom

Perkembangan Ruas Pesisir Pantai Geger-Nusa Kecil sebagai Kawasan Wisata

di Kabupaten Badung ……… 450

Ida Ayu Catur Maharani

Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian pada Kawasan Jalur Hijau di Subak Kedampang ……… 459

I Putu Anom Widiarsa

Perilaku Teritorialitas Pengunjung Monumen Bom Bali di Legian, Kuta ……… 467

I Wayan Yogik Adnyana Putra

Teritorialitas Pedagang di Selasar Pertokoan Tekstil Jalan Sulawesi Denpasar ………... 475

Ida Ayu Kade Paramita Pradnyadewi

Pemanfaatan Ruang Greenfield di Kecamatan Ubud, Gianyar ………. 483

Anak Agung Ayu Kasmarina

Telaah Kritis terhadap Diagram Model Penelitian pada Thesis

di Program Pascasarjana Unud: Suatu Usulan Pemikiran ………..……… 491

Syamsul Alam Paturusi

Menjaga Eksistensi Wilayah Pesisir Bali: Antara Teori dan Tradisi ……… 498

I Ketut Mudra

Pemberdayaan Petani Lokal dalam Pengembangan Restoran Organik di Ubud

sebagai Contoh Penerapan Green Development ………. 508

Made Agastya Kertanugraha

Pendidikan Melalui Pendekatan Perilaku: Menanamkan Sikap Ramah Lingkungan Dari Anak-Anak Sekolah Dasar Di Desa Bedulu (Gianyar), dalam

Menanggulangi Permasalahan Sampah ……… 514

Gusti Ayu Made Suartika

(13)

xiv

SUSUNAN PANITIA PELAKSANA SEMINAR

Ketua Panitia Pelaksana : Gusti Ayu Made Suartika, ST., MEngSc., PhD.

Wakil Ketua Panitia Pelaksana : Ni Ketut Agusintadewi, ST., MT., PhD.

Sekretaris : Ni Made Swanendri, ST., MT.

Seksi Acara : Dr. Ir. Ni Ketut Ayu Siwalatri, MT.

Seksi Seminar Kit : Dr. Ir. Widiastuti, MT.

Seksi Sertifikat : Dr. I Nyoman Widya Paramadhyaksa, ST., MT.

Seksi Proseding : I Wayan Yuda Manik, ST., MT.

Seksi Perlengkapan : Dr. Eng. I Wayan Kastawan, ST., MA.

Seksi Transportasi : Ir. I Gusti Bagus Budjana, MT.

Seksi Publikasi dan Kepesertaan : I Kadek Prana, ST., MT, IAI

I Gde Suryawinata, ST., IAI

Seksi Konsumsi : I G.A. Dewi Indira Sari, SE.

Seksi Dokumentasi : I Gusti Ngurah Putu Eka Putra

(14)

MASYARAKAT TRADISIONAL SASAK SADE DI LOMBOK TENGAH

Ni Ketut Agusinta Dewi

Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana Email: nkadewi@unud.ac.id

Abstract

In the light of building patterns, spatial planning, building materials, building characteristics and its orientations, created and developed spaces in Traditional Village of Sade obviously have a strong connection to Hinduism in Bali. The hill which is around this village is believed as a meeting point of microcosms and macrocosms. Meanwhile, balance cosmology is placed in their settlement. Their belief system affects the people live in transcendental harmony, in particular, the macrocosm. Empty spaces that are in the middle of a group of buildings, therefore, are functioned as a dialogue place with the macrocosm. The spreading of Islamic culture in Lombok has brought a uniqueness of previous cultural systems. This paper describes a group of phenomena above to reveal various kinds of traditional creating spaces of Sasak Sade regarding belief system, social system, spatial pattern, and architectural forms. These kinds of the phenomenon have collected from the field in two ways: observation and interview to the customary leader in regards to exploring and to preserve the richness of Nusantara’s culture.

Keywords: the tradition of creating spaces, traditional community, Sasak Sade

Abstrak

Ruang-ruang yang terbentuk dan berkembang di Dusun Sade memiliki pertalian yang erat dengan budaya Hindu di Bali. Ini terlihat jelas pada pola massa bangunan, penataan ruang, penggunaan bahan bangunan, bahkan pada garis besar karakter dan orientasi bangunannya. Puncak bukit dimaknai sebagai ruang pertemuan antara alam besar (makrokosmos) dan alam kecil (mikrokosmos). Keseimbangan dari kedua alam tersebut terletak pada permukimannya. Nilai-nilai filosofi yang dianut menyebabkan masyarakat dusun ini memiliki kehidupan yang selaras dengan alam atas, sehingga ruang-ruang kosong di tengah kelompok hunian difungsikan sebagai tempat dialog dengan alam atas tersebut. Penyebaran agama Islam di Lombok telah membawa keunikan pada tatanan budaya yang telah ada. Tulisan ini memaparkan sejumlah fenomena di atas guna menemukenali tradisi meruang masyarakat Sasak Sade yang bertalian erat dengan sistem kepercayaan, sistem kemasyarakatan, pola permukiman, dan perwujudan arsitekturnya. Sejumlah fenomena tersebut dihimpun dari pengamatan langsung dan wawancara kepada tetua adat dalam upaya menggali dan melestarikan kekayaan budaya Nusantara sebagai aset tak ternilai.

Kata kunci: tradisi meruang, masyarakat tradisional, Sasak Sade

SUKU SASAK DAN ASAL-USULNYA

Penduduk asli Pulau Lombok adalah Suku Sasak yang mayoritas beragama Islam. Suku ini sangat dinamis dan mudah menerima hal-hal baru yang berasal dari luar. Sebagaimana umumnya masyarakat-masyarakat tradisional di Nusantara, mereka hidup secara kekeluargaan dan bergotong-royong dengan mengikuti pola patrilineal. Dengan demikian, segala sesuatu dalam sistem keadatan diatur dan ditentukan oleh pihak laki-laki. Hal ini berpengaruh pada pola hunian dan pembentukan kelompok hunian keluarganya.

Catatan lama menyebutkan bahwa Lombok adalah tanah koloni Jawa Timur. Arti Sasak sendiri

(15)

128

Majapahit) juga terdapat dalam Kitab Negarakertagama, karya Empu Prapanca. Van der Kraan mengatakan bahwa Lombok disebut pertama kali oleh pelaut Bugis dan pelaut Portugis pada abad XVI, sesuai dengan nama pelabuhan kecil di sebelah timur Pulau Lombok.

Lombok juga mempunyai sebutan lain, yaitu Selaparang. Pulau ini memiliki tradisi yang lebih

tua dari tradisi Bali. Ini dapat ditelusuri pada tradisi masyarakat Desa Sembalun, di sekitar kaki Gunung Rinjani. Mereka menyatakan bahwa dirinya keturunan Hindu-Jawa yang bermukim di sana untuk menjaga makam salah seorang raja Majapahit. Dalam perjalanan sejarah, Bali dan Lombok yang bertetangga tersebut, sering bersentuhan, sehingga terjadi migrasi penduduk dari Bali ke Lombok, terutama di Lombok Barat. Akibat pertemuan antar etnis, telah terjadi akulturasi dan asimilasi selama berabad-abad. Saat ini, masyarakat tradisional Sasak yang masih asli dan masih melakukan pelestarian tradisi dan budayanya terdapat di Desa Bonjeruk, Desa Sengkol, Dusun Sade, dan Desa Sembalun di kaki Gunung Rinjani.

Gambar 1. Dusun Sade dan Kawasan Wisata Pantai Kute (arah jarum jam) (1) Suasana pintu masuk Dusun Sade dengan pola permukiman yang unik.

(2) Pajangan kain hasil tenunan masyarakat dusun ini memiliki motif dan corak yang khas. (3) Kawasan wisata Pantai Kute di Lombok Selatan yang sejalur wisata dengan Dusun Sade. (Sumber foto: Dewi, 2011)

(16)

adalah keindahan pemandangan alam dan kepatuhan terhadap budaya setempat, terutama kepatuhan terhadap pelaksanaan upacara ritual. Potensi tersebut dapat memacu sektor industri dan pariwisata kabupaten, sehingga industri yang berbasis pertanian ini mampu meningkatkan pendapatan perkapita penduduk kawasan.

Dusun Sade yang terletak pada jalur wisata kawasan Pantai Kute, memiliki posisi yang strategis. Kawasan Pantai Kute telah memiliki master plan untuk pengembangan kawasan pariwisata pantai yang komprehensif dan representatif. Pengembangan kawasan pantai ini akan berimbas positif terhadap perkembangan pariwisata Dusun Sade. Kedua kawasan ini menjadi salah satu maskot pariwisata daerah Lombok.

Kesenian yang paling terkenal dari dusun ini adalah kesenian gendang belig (gendang besar).

Disebut demikian karena grup kesenian ini terdiri atas gamelan Sasak yang diperkuat dengan lima bahkan tujuh buah gendang besar yang dipukul bertalu-talu. Kesenian ini dipertontonkan apabila ada penyambutan tamu atau upacara pernikahan. Selain itu, kerajinan tangan yang terkenal dari dusun ini adalah kerajinan kain tenun. Motif kain ini sangat khas dengan corak warna yang cenderung mencolok. Menenun dilakukan oleh para wanita setelah mereka menyelesaikan kegiatan rumah tangganya. Kegiatan ini dilakukan di depan rumah masing-masing. Sambil menenun, mereka dapat mengawasi rumah tinggalnya, sekalian juga menjual hasil tenunannya kepada para wisatawan. Kedua potensi ini menjadi salah satu daya tarik wisatawan domestik maupun mancanegara untuk berkunjung ke dusun ini. Aset budaya ini perlu dipertahankan agar dusun ini tetap menjadi daerah tujuan objek wisata daerah.

Gambar 2. Kesenian dan kerajinan masyarakat tradisional Sasak Sade

(kiri) Kesenian gendang belig dalam rangkaian acara penyambutan tamu

(kanan) Kerajinan menenun dilakukan oleh para wanita setelah menyelesaikan aktivitas rumah tangga (Sumber foto: Dewi, 2011)

SISTEM KEPERCAYAAN

(17)

130

1. Kepercayaan Kuno

a. Kosmologi

Menurut kepercayaan Sasak di jaman kuno, antara zat Yang Maha Kuasa dengan arwah dan alam semesta beserta isinya tidak terpisah. Sebagai bagian dari alam semesta, perubahan yang terjadi di alam semesta juga akan mempengaruhi hidup dan kehidupan manusia. Maka, manusia berusaha untuk memelihara keselarasan dan keserasian dengan alam semesta agar terjamin ketenangan, ketentraman, dan kesejahteraan di dunia, juga di alam gaib. Pandangan hidupnya bersifat kosmis. Untuk mencapai keselarasan dengan alam, manusia berusaha untuk tidak menguasai alam. Apabila perlu, sebelum melakukan sesuatu, mereka memohon ijin

dengan mengadakan upacara persembahan sajen (Sasak: bangaran) yang dipimpin oleh

seorang pemangku.

Dahulu Orang Sasak juga percaya bahwa benda-benda yang aneh bentuknya, seperti botol

buntu, batu kelopok (bila diguncang berbunyi), akar yang aneh bentuknya, ular yang menggigit

lalu mati, pohon kelapa yang bercabang, semuanya itu memiliki kesaktian. Selain itu, kesaktian juga dapat menjelma dalam diri orang yang kebal atau dapat meramal, sedang

malapetaka menurut kepercayaan mereka dapat disebabkan antara lain oleh orang bero

(melakukan incest), yang wujud malapetakanya bisa berupa musim kering yang terlalu lama, tidak ada hujan sama sekali, penyakit menular, dan lain-lain. Adanya pengaruh jelek terhadap

manusia akan menimbulkan kepercayaan tentang tabu/terlarang (maliq), bisa berupa

binatang, manusia, tanaman, tempat-tempat tertentu (seperti kuburan, mesjid, pesantren, dan lain-lain).

b. Waktu Telu (Watu Telu)

Kepercayaan ini disebut Waktu Telu karena hanya (baru) mengenal tiga dari lima Rukun Islam.

Pada awal perkembangan agama Islam di Pulau Lombok, agama ini dipeluk oleh para raja Lombok. Dengan demikian, apabila para raja telah memeluk agama Islam, maka seluruh rakyatnya pun dinyatakan Islam atau harus mengakui Islam sebagai agamanya. Hal ini berakibat diseluruh kerajaan atau desa terdapat penganut yang masih awam. Hanya penganutnya beragama Islam, tetapi keyakinan maupun tradisinya masih dipengaruhi oleh kepercayaan atau adat-istiadat lama. Sebelum Islam datang, rakyatnya menganut agama

Siwa-Buddha. Tentang Waktu Telu ini dapat dijelaskan:

1. Hanya mengakui tiga rukun saja dari lima rukun Islam;

2. Terdapat unsur-unsur politis dan mengandung unsur-unsur animis yang sangat

bertentangan dengan ajaran Islam;

3. Teguh memegang kebiasaan nenek moyang mereka, walaupun bertentangan dengan Al

Qur’an dan Hadits;

4. Lebih banyak mendalami lontar-lontar daripada Al Qur’an dan Hadits;

5. Cukup terpengaruh oleh tarekat;

6. Kurang menyukai pembaharuan, sehingga sifatnya statis.

2. Ibadah

(18)

puasa dan menurut keyakinan mereka, dosa mereka ditanggung oleh kiai. Tugas mereka yang utama adalah melaksanakan apa yang ditentukan oleh kiai-kiai, seperti selamatan orang mati, merayakan hari-hari besar Islam, dan lain-lain.

SISTEM KEMASYARAKATAN

Sistem kekerabatan masyarakat tradisional ini masih berdasarkan pada hubungan patrilineal dengan pola menetap patrilokal. Kesatuan kekerabatan amat penting. Yang lebih besar besar dari keluarga batih (kuren) disebut kadang, yaitu kelompok yang semuanya beranggotakan laki-laki yang telah menikah. Sebuah rumah tangga biasanya terdiri atas satu keluarga batih

yang bersifat monogami, ditambah dengan anak-anak yang menumpang atau yang masih kerabat. Kalau anak laki-laki telah menikah, maka ia membuat rumah di sekitar rumah orang tuanya (patrilokal).

Keluarga batih merupakan kesatuan ekonomi dalam arti menata laksana kehidupan rumah

tangga dan sebagai kesatuan dalam mata pencaharian. Juga keluarga batih merupakan

kesatuan yang melakukan pengasuhan dan mendidik angkatan yang berikutnya, di samping menguasai sejumlah hak milik dan kesatuan dalam melaksanakan upacara adat dan agama tertentu.

Masyarakat dusun ini mempunyai sistem susunan keluarga patrilineal, hanya memperhatikan keturunan melalui bapak saja. Yang berhak menerima warisan benda tetap (sebelum Islam masuk dan meresap ke dalam masyarakat) hanyalah anak laki-laki, sedangkan anak-anak perempuan hanya memperoleh barang-barang perabot rumah tangga dan perhiasan yang sejak masih gadis menjadi miliknya. Kadang-kadang perempuan dapat juga memperoleh ternak. Setelah agama Islam meresap ke dalam masyarakat, maka dusun ini sudah memperhatikan hukum Islam dalam pembagian warisan. Anak laki-laki mendapat dua kali bagian anak perempuan.

Menurut hukum adat Lombok yang sampai saat ini masih dianut mereka, kalau seorang anak laki-laki menikah, segera membuat rumah baru (neolokal) di sekitar orang tuanya. Kalau tempat itu sudah tidak memenuhi persyaratan, ia bisa membuat rumah di tempat lain, keluar dari lingkungan orang tuanya. Di sana kemungkinan akan berkembang menjadi perkampungan baru. Kepada anak laki-laki yang demikian biasanya diberikan sawah ladang dan kebun serta ternak sebagai bekal dalam menempuh hidup baru.

POLA PERKAMPUNGAN

Awalnya, Dusun Sade terbentuk dari dusun kecil yang tumbuh semakin sempurna. Mula-mula sebagian kecil keluarga datang dan menetap di sana. Rumah mereka merupakan tempat

tinggal darurat yang disebut repoq, dan repoq ini kemudian berkembang menjadi dasan (dusun

atau kampung). Satu dasan terdiri atas sejumlah deretan rumah yang disebut suteran. Antara

beberapa suteran terdapat pengorong (lorong atau koridor). Kumpulan suteran disebut gubuk,

(19)

132

Gambar 2. Salah satu repog, rumah tinggal masyarakat tradisional Sasak Sade (Sumber foto: Dewi, 2011)

Empat rumah atau lebih yang karena ikatan keluarga dibatasi oleh rumah dari keluarga

lainnya. Dalam satu gubuk terdiri atas beberapa keluarga. Di depan rumah keluarga terdapat

alang (lumbung padi), tempat menyimpan hasil pertanian. Penempatan di depan rumah ini disebabkan adanya rasa hormat terhadap makanan yang dikonotasikan dengan roh atau

nyawa. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan membangun alang di luar pekarangan

dusun/kampung demi keamanan, terutama dari bahaya kebakaran. Selain juga tidak lepas dari keadaan mereka sendiri yang sulit dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Rasa hormat dan kewaspadaan terhadap bahaya kebakaran ini menyebabkan dahulu lumbung padi tidak boleh ditempati sebagai tempat tinggal dengan cara menempelkan dinding pada keempat tiangnya. Sekarang, lumbung padi sudah ditempati sebagai tempat tinggal dan ada pula dipakai sebagai tempat masak. Perubahan fungsi ini disebabkan karena makin bertambahnya jumlah penduduk yang tidak disertai dengan penambahan jumlah pekarangan dan perumahan. Mereka cenderung tetap tinggal dan hidup dekat keluarga dalam satu pekarangan yang dibatasi oleh keluarga lain. Anak-anak yang meningkat dewasa segera dibuatkan rumah. Hal ini dapat dipahami karena situasi ruang dalam mereka yang tidak dibatasi dengan dinding, tetapi tergelar dalam satu ruangan. Situasi seperti ini tentu saja akan dipandang tidak sesuai begitu anak meningkat dewasa.

(20)

kiai. Masyarakat hanya melakukan upacara-upacara adat. Bangunan masjid tersebut telah dipugar, bentuk dan konstruksi masih seperti bangunan masjid yang lama, hanya bahan bangunan yang diperbarui.

Gambar 3. Pola perkampungan Dusun Tradisional Sasak Sade (Sumber: Dirjen Perkim, 2007:67)

D B

C

E A

A. Pintu masuk

B. Bruga (tempat musyawarah) C. Alang (lumbung padi) D. Masjid beratap tumpang tiga E. Permukiman masyarakat

(21)

134

Pembagian penggunaan lahan didasarkan atas ketinggian permukaan lahan. Dataran rendah yang akan menampung air hujan diperuntukkan sebagai lahan pertanian, sedangkan dataran/lereng yang kurang menampung air hujan diperuntukkan sebagai lahan permukiman. Dengan bentuk pola permukiman mengelompok, interaksi antar penduduk di Dusun Sade sangatlah erat, dimana seorang anggota kelompok mengenali anggota kelompok lain dengan baik. Hal ini ditunjang dengan sistem kekuasaan yang ada, dimana untuk setiap kelompok biasanya merupakan satu kesatuan dusun dipimpin oleh seorang kepala dusun.

Secara umum tidak terdapat adat-istiadat yang mengikat, demikian pula dengan pola-pola aturan tata letak perumahan. Adapun arsitektural perumahan yang ada pada dasarnya merupakan cerminan dari pola hidup penduduk yang bermatapencaharian pertanian tadah hujan dan pemanfaatan lahan perumahan di lereng-lereng perbukitan.

POLA PELETAKAN UNIT HUNIAN

Suku Sasak umumnya mudah menerima hal-hal baru yang berasal dari luar dan mereka hidup

secara kekeluargaan serta bergotong royong. Hubungan kekeluargaan yang patrilineal,

menyebabkan apabila seorang anak laki-laki menikah, maka ia dapat membangun rumah di pekarangan orang tuanya. Hal ini berpengaruh pada pola hunian dan pembentukan kelompok hunian keluarganya.

Ditinjau dari sejarah dan letak geografis Pulau Lombok, dapat dimengerti bahwa bentuk arsitektur tradisional Lombok banyak kesamaannya dengan arsitektur Bali, baik menurut pola penataan pekarangan, tata ruang, sistem struktur, penggunaan bahan bangunan, bahkan pada garis besar karakter dan orientasi bangunannya.

Bangunan berarsitektur Sasak mempunyai garis karakter Hindu yang kuat. Hal ini disebabkan pada masa lalu Lombok pernah menjadi pusat kerajaan Hindu yang sangat berpengaruh. Bangunan yang mempunyai nilai tinggi pada dasarnya mempunyai orientasi Gunung Rinjani dan arah laut. Untuk bangunan masjid mempunyai arah orientasi ke arah kiblat. Arah orientasi ke gunung-laut ini dipengaruhi oleh arsitektur Hindu, yaitu semakin tinggi suatu tempat semakin tinggi nilai kesuciannya.

Berangkat dari filosofi bahwa manusia sebagai makhluk dari alam bawah dalam menciptakan

ruang kehidupannya harus menyelaraskan diri dengan alam atas dengan cara berdialog, maka

dibutuhkan tempat untuk berdialog tersebut. Tempat tersebut diletakkan di tengah-tengah, merupakan ruang tersendiri. Pola ruang tengah ini diterapkan pada penataan pekarangan kelompok hunian. Ruang tengah (halaman tengah) pada permukiman ini berfungsi untuk komunikasi sosial, disebut natar.

Perkampungan tradisional selalu memilih lokasi dan berkelompok pada daerah yang lebih tinggi dari sekitarnya, biasanya di bukit. Hal ini didasarkan pada pertimbangan spiritual,

permukiman merupakan gambaran dunia kecil (mikrokosmos), cenderung berorientasi ke

(22)

dilengkapi dengan masjid karena mereka beragama Islam. Namun, arsitektur Hindu masih berpengaruh pada penampilan masjid ini. Atap masjid berbentuk limasan yang bersusun (atap tumpang), merupakan salah satu ciri-ciri arsitektur Hindu. Hal ini disebabkan pada masa lalu Lombok pernah menjadi pusat kerajaan Hindu.

Gambar 4. Jalan setapak sebagai penghubung antar kelompok rumah (Sumber foto: Dewi, 2011)

TIPOLOGI BANGUNAN TRADISIONAL SASAK SADE

Sebagaimana dijelaskan di atas, kampung tradisional Sasak Sade memiliki tata letak massa bangunan yang unik. Selain kelompok bangunan rumah tinggal, dusun ini juga memiliki

bangunan fasilitas lingkungan: masjid dan bruga untuk tempat musyawarah.

1. Bangunan Fasilitas Lingkungan

a. Masjid

Dusun Sade hanya memiliki satu buah rumah ibadah berupa masjid. Masjid ini merupakan salah satu masjid lama yang masih dipengaruhi oleh Hindu. Bentuk atapnya tumpang tiga. Pintu terletak di bagian samping kiri dan kanan, serta bagian belakang. Dinding terbuat dari bedek

(23)

136

b. Bangunan Tempat Musyawarah (Bruga)

Bangunan untuk tempat musyawarah (rembug warga) berupa bale sakenem (balai bertiang

enam) yang terletak di halaman depan. Bangunan berupa balai-balai tanpa dinding, memiliki tiang enam buah. Atapnya terbuat dari alang-alang. Balai-balai ini digunakan pada waktu rapat/musyawarah yang melibatkan warga dusun, untuk menerima tamu, atau upacara tradisi lainnya.

Gambar 5. Bangunan fasilitas lingkungan di Dusun Sade (arah jarum jam)

(1) Masjid sebagai tempat ibadah yang penampilannya sangat dipengaruhi oleh arsitektur Hindu. (2) Atap masjid memiliki konstruksi atap bertumpang tiga.

(3) Bruga sebagai bangunan komunal yang digunakan secara bersama-sama oleh warga. (Sumber foto: Dewi, 2011)

2. Bangunan Rumah Tinggal (Bale Tani/Bale Gunung Rate)

(24)

melahirkan dan tempat menyimpan harta pusaka. Tempat ini letaknya di sebelah kiri pintu masuk. Di bagian atas dibuat semacam lantai untuk tempat menyimpan sesuatu, disebut

amben.

Gambar 6. Ilustrasi bale tani atau bale gunung rate (arah jarum jam)

(1) Gambar potongan bale memperlihatkan bagian lantai yang ditinggikan. (2) Ilustrasi tampak depan bale yang didominasi dengan bentuk atap yang tinggi. (3) Ilustrasi denah bale menunjukkan pembagian ruang dengan fungsi-fungsi tertentu. (Sumber: Miksic and Tjahjono, 2003:124)

2. Dalem Bale

Pada bagian ini terdapat jangkih (tungku) berfungsi untuk memasak dan menyimpan alat

dapur (geguluk), dan tempat menumbuk padi, menyimpan tikar (sempare).Dalem bale dan

bale dalem adalah bagian yang utama dari rumah tinggal Suku Sasak. Bagian ini memiliki lantai yang ditinggikan karena mempunyai nilai utama.

3. Serambi (Sesangkok/Sasando)

Merupakan serambi dari rumah bagian depan yang terbagi menjadi serambi kiri dan serambi kanan. Serambi kiri berfungsi untuk tempat menerima tamu yang kurang penting atau untuk bersantai-santai, sedangkan serambi kanan berfungsi untuk menerima tamu adat atau tamu penting lainnya. Walaupun sempit, tempat ini sangat fungsional. Pada bagian belakang juga terdapat serambi yang digunakan untuk menyimpan kayu bakar dan kandang ternak.

(25)

138

dari anyaman bambu (bedek) dan berfungsi sebagai kamar. Mereka memiliki aturan

bahwa kaum laki-laki tinggal di luar rumah. Rumah diutamakan untuk anak-anak dan wanita, sedangkan pada malam hari laki-laki tidur di serambi atau bruga.

4. Tangga (Undag)

Tangga terdiri atas tiga anak tangga, dan difungsikan untuk menghubungkan dari

sesangkok ke dalem bale. Di atas anak tangga ada pintu masuk ke bale dalem. Pintu

tersebut setinggi istri tuan rumah dikurangi 20 cm, sehingga untuk masuk ke dalam bale

harus menundukkan kepala terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar untuk memasuki ruang utama penghuni atau tamu harus menghormat dulu karena ruang ini memiliki nilai yang paling utama.

Gambar 7. Ilustrasi bale tani atau bale gunung rate (arah jarum jam) (1) Tiga anak tangga yang menghubungkan dari sesangkok ke dalem bale. (2) Dalem bale yang difungsikan sebagai tempat memasak (dapur) (3) Pintu masuk ke dalem bale dengan mengikuti ukuran istri pemilik rumah. (Sumber foto: Dewi, 2011)

(26)

tinggi. Bentuk atap pelana dan terbuat dari alang-alang yang disusun sedemikian rupa sehingga tahan sampai 8–10 tahun, sedang dinding terbuat dari anyaman bambu.

Gambar 8. Bangunan-bangunan pelengkap di setiap unit hunian (arah jarum jam) (1) Lumbung (tempat menyimpan padi) sebagai lambang kemakmuran. (2) Bong (gentong air) yang diletakkan di depan setiap unit hunian. (3) Ilustrasi alang (lumbung padi) dengan konstruksi atapnya yang khas

(Sumber: Miksic and Tjahjono, 2003:127)

(27)

140

Di depan setiap unit hunian memiliki gentong air (bong) yang difungsikan untuk mengambil

air wudhu sebelum sembahyang, mencuci kaki dan tangan sebelum memasuki rumah, dan

mencuci perabot dapur. Dalam perkembangan selanjutnya, bong ini difungsikan juga sebagai

tempat mandi. Air dalam bong diambil dari sumur atau sumber air lainnya yang letaknya cukup jauh dari rumah mereka, dan oleh penduduk dibawa dengan periuk atau ember yang dijunjung di atas kepala mereka.

Selain itu, rumah tinggal mereka juga dilengkapi dengan kandang dan bangunan tempat

menyimpan padi (alang atau lumbung). Bangunan penyimpanan padi ini melambangkan

kemakmuran, dan diletakkan pada sebelah kiri rumah tinggal. Alang memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan lumbung. Bentuk bangunan ini diadopsi menjadi ciri khas arsitektural bangunan-bangunan di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

SIMPULAN

Sejarah dan letak geografis Dusun Sade menunjukkan bahwa bentuk-bentuk arsitektural yang berkembang di dusun ini memiliki pertalian erat dengan arsitektur Hindu di Bali. Pemaknaan dalam meruang yang dicirikan dalam tradisi yang kuat tercermin pada pola massa bangunan, pola permukiman, penggunaan bahan, bahkan pada cerminan karakter dan orientasi

bangunannya. Keseimbangan kosmologi antara alam besar (makrokosmos) dan alam kecil

(mikrokosmos) memposisikan puncak bukit sebagai tempat pertemuan kedekatan hubungan antara kedua alam tersebut. Nilai-nilai filosofi yang diterapkan menciptakan ruang kehidupan

masyarakat dusun ini menjadi selaras dengan alam atas, sehingga disediakanlah ruang-ruang

kosong di tengah kelompok hunian yang berfungsi sebagai tempat dialog dengan alam atas

tersebut. Kemudian budaya Islam datang, berakulturasi dan berasimiliasi dengan budaya yang telah ada, membawa kedinamisan pada sistem kemasyarakatan dan tradisi meruang, membentuk pola ruang dan bentukan arsitektural yang khas. Karakter ini menjadi salah satu daya tarik wisatawan domestik maupun mancanegara untuk berkunjung dan menggali lebih jauh lagi pemaknaan di balik bentukan yang terjadi. Aset budaya ini perlu dilestarikan agar dusun ini tetap menjadi daerah tujuan wisata daerah dan menjadi aset tak ternilai dalam memperkaya budaya Nusantara.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada ketua adat, Bapak Amaq Yusrin, dan keluarga yang sudah berkenan diwawancarai dan mengijinkan saya untuk menelusuri perkampungan untuk mengambil sejumlah foto dan mewawancarai penduduk Dusun Sade.

DAFTAR BACAAN

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah RI (2007) Perencanaan Rencana Tindak

Revitalisasi Permukiman (RTRP) Kabupaten Lombok Tengah. Jakarta: Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman.

Krisna, R., Antariksa, Dwi Ari, I.R. (2005) Studi Pelestarian Kawasan Wisata Budaya di Dusun

Sade Kabupaten Lombok Tengah. Jurnal Plannit. 3 (2):124-133.

Miksic, J. and Tjahjono, G. (Eds). (2003) Architecture (Indonesian Heritage, Vol. 6). Singapore: Archipelago Press.

Saptaningtyas. R. S. (2009) Kearifan Lokal Dalam Arsitektur Tradisional Sasak di Pulau Lombok.

(28)

Gambar

Gambar 1. Dusun Sade dan Kawasan Wisata Pantai Kute (arah jarum jam) (1) Suasana pintu masuk Dusun Sade dengan pola permukiman yang unik
Gambar 2. Kesenian dan kerajinan masyarakat tradisional Sasak Sade (kiri)  Kesenian gendang belig dalam rangkaian acara penyambutan tamu (kanan)  Kerajinan menenun dilakukan oleh para wanita setelah menyelesaikan aktivitas rumah tangga (Sumber foto: Dewi, 2011)
Gambar 2. Salah satu repog, rumah tinggal masyarakat tradisional Sasak Sade (Sumber foto: Dewi, 2011)
Gambar 3. Pola perkampungan Dusun Tradisional Sasak Sade (Sumber: Dirjen Perkim, 2007:67)
+6

Referensi

Dokumen terkait