7 2.1Perilaku Bullying
2.1.1. Pengertian Bullying
Bullying merupakan salah satu dari manifestasi perilaku agresif,
Krahe (dalam Suharto, 2014) menyebutkan bahwa terdapat 3 jenis manifestasi
perilaku agresif yaitu agresi ringan (bullying), agresi sedang, dan agresi berat.
Menurut Coloroso (2007) bullying adalah tindakan intimidasi yang
dilakukan oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lemah. Tindakan
penindasan ini diartikan sebagai penggunaan kekerasan atau kekuatan untuk
menyakiti seseorang atau kelompok sehingga korban merasa tertekan, trauma,
dan tidak berdaya. Bentuknya bisa berupa fisik seperti memukul, menampar,
dan memalak. Bersikap verbal seperti memaki, menggosip, dan mengejek
serta psikologis seperti mengintimidasi, mengucilkan, mengabaikan, dan
mendiskriminasi.
Sejiwa (2008) menyatakan kata bullying diilhami dari kata bull (bahasa Inggris) yang berarti “banteng” yang suka menanduk. Masih dalam Sejiwa (2008) mendefinisikan bullying sebagai sebuah situasi dimana
terjadinya penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang dilakukan seseorang atau
kelompok. Pihak yang kuat dalam tindakan bullying ini tidak hanya kuat
secara fisik tetapi juga mental dari sang pelaku bullying (bully), dalam hal ini
korban tindak mampu mempertahankan dan melindungi dirinya baik secara
fisik ataupun mentalnya karena korban merasa tidak berdaya dan tidak mampu
untuk melawan pelaku bullying tersebut, dan yang perlu diperhatikan dalam
hal ini adalah bukan hanya sekedar tindakan yang dilakukan, namun juga
dampak tindakan tersebut bagi si korban.
Sedangkan menurut Olweus (1993) telah mendefinisikan bullying
yang mengandung tiga unsur dasar perilaku, yaitu :
1) Bersifat menyerang (agresif) dan negatif
2) Dilakukan secara berulang kali
Jadi dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan salah satu dari perilaku
agresif yang bersifat negatif yang dilakukan secara berulang kali dimana
terdapat ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban.
2.1.2. Bentuk-bentuk Bullying
Bentuk-bentuk bullying. Bentuk bullying menurut Coloroso (2007:47)
dibagi menjadi empat jenis, sebagai berikut:
1) Bullying fisik. Penindasan fisik merupakan jenis bullying yang paling tampak dan paling dapat diidentifikasi diantara bentuk-bentuk penindasan
lainnya, namun kejadian penindasan fisik terhitung kurang dari sepertiga
insiden penindasan yang di laporkan siswa. Jenis penindasan secara fisik
adalah memukul, mencekik, menyikut, meninju, menendang, mengigit,
memiting, mencakar, serta meludahi anak yang ditindas hingga keposisi
yang menyakitkan, serta merusak dan menghancurkan pakaian serta
barang-barang milik anak yang tertindas. Semakin kuat dan semakin
dewasa sang penindas semakin berbahaya jenis serangan ini, bahkan
walaupun tidak dimaksudkan untuk mencederai secara serius. Anak yang
secara teratur memainkan peranan ini kerap merupakan penindasan yang
paling bersalah diantara penindasan yang lainnya, dan yang paling
cenderung beralih pada tindakan-tindakan kriminal yang lebih serius.
2) Bullying verbal. Kata-kata adalah alat yang kuat dan dapat mematahkan semangat seorang anak yang menerimannya. Kekerasan verbal adalah
bentuk penindasan yang paling umum digunakan, baik oleh anak
dapat dibisikan di hadapan orang dewasa serta teman sebaya, tanpa
terdeteksi . Penindasan verbal dapat diteriakkan di teman bermain
bercampur hungga binar yang terdengar oleh pengawas, diabaikan karena
hanya di anggap sebagai dialog yang bodoh dan tidak simpatik diantara
teman sebaya. Penindasan verbal dapat berupa julukan nama, celan,
fitnahan, kritik kejam, penghinaan, dan pernyataan-pernyataan bernuansa
ajakan seksual.
3) Bullying relasional. Penindasan relasional adalah pelemahan harga diri korban penindasan secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan,
pengecualian atau penghindaran, suatu tindakan penyingkiran, adalah alat
penindasan yang terkuat. Anak yang digunjingkan mungkin akan tidak
mendengar gosip itu, namun tetap akan mengalami efeknya. Penindasan
relasional dapat digunakan untuk mengasingkan atau menolak seorang
teman atau secara sengaja ditunjukkan untuk merusak persahabatan.
Perilaku ini dapat mencakup sikap sikap tersembunyi seperti pandangan
yang agresif, lirikan mata, helaan napas, bahu yang bergidik, cibiran, tawa,
mengejek, dan bahasa tubuh yang kasar.
4) Bullying elektronik. Pelakunya menggunakan sarana ekektronik dan fasilitas internet seperti komputer, hadphone, kamera dan website atau
situs pertemanan jejaring sosial diantarannya, chatting, e-mail, facebook,
twitter, dan sebagainya. Hal tersebut ditunjukkan untuk meneror korban
bullying dengan menggunakan tulisan, animasi, gambar, vidio, atau film
Menurut Olweus (2003), ada 3 pengelompokan bentuk bullying:
1) Bullying Verbal
Tindakan bullying jenis ini terjadi melalui kata-kata (verbal) dari pelaku
bullying, biasanya pelaku melakukan kekerasan jenis ini didepan
teman-teman agar dapat disaksikan oleh siswa lain di sekolah. Contoh bullying
verbal diantaranya memaki, menghina, meneriaki, menuduh, menyoraki,
mefitnah, mengosip.
2) Bullying Fisik
Jenis bullying ini paling dapat terdeteksi oleh indera, karena terjadi kontak
fisik secara langsung antara korban dan pelaku. Contoh dari bullying fisik
adalah menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi,
memalak, memukul.
3) Bullying Relasional atau Mental
Bullying jenis ini paling susah terdeteksi oleh indera, karena bullying
relasional atau mental ini bersifat melemahkan harga diri seseorang.
contoh dari bullying relasional atau mental ini adalah memandang sinis,
memandang penuh ancaman, mempermalukan didepan umum,
mendiamkan, mengucilkkan, memelototi, meneror.
Jadi dapat disimpulkan terdapat 3 jenis bullying yaitu bullying
verbal dimana dalam bullying jenis ini dilakukan melalui kata-kata yang
dapat membuat korbannya sakit hati, malu, dan terpojok. Yang kedua
adalah bullying fisik dimana bullying jenis ini pelaku melakukan
kekerasan dengan kontak fisik secara langsung kepada korban seperti
memukul, menendang, menampar, dan yang terakhir adalah bullying
mental, dimana bullying jenis ini bersifat melemahkan harga diri seseorang
sehingga menurunkan mental seseorang seperti mengucilkan, memelototi,
meneror.
Melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh Yayasan Sejiwa
(2007) terangkum pendapat orang tua tentang alasan anak-anak menjadi
pelaku bullying, diantaranya:
a) Karena mereka pernah menjadi korban bullying. b) Ingin menunjukkan eksistensi diri.
d) Pengaruh tayangan TV yang negatif. e) Senioritas.
f) Menutup kekurangan diri. g) Mencari perhatian.
h) Balas dendam. i) Iseng.
j) Sering mendapatkan perlakuan kasar dari pihak lain. k) Ingin terkenal.
l) Ikut-ikutan.
2.1.3. Pelaku-pelaku dalam Bullying
Olweus (dalam Suharto, 2014) menyatakan terdapat beberapa
pelaku yang terlibat dalam tindakan bullying diantaranya :
1) Pelaku Bullying
Pelaku bullying adalah pemeran utama dalam tindakan bullying, remaja
pelaku bullying mempunyai kepribadian otoriter, ingindipatuhi secara
mutlak dan kebutuhan kuat untuk mengontrol dan mengusai orang lain.
2) Korban Bullying
Bullying terjadi pasti terdapat orang yang menjadi sasaran dalam tindakan
kekerasan ini. Umumnya orang yang menjadi sasaran dalam tindakan ini
memiliki kelemahan baik secara fisik maupun mental, korban merasa tidak
berdaya melawan pelaku bullying, sehingga hal ini membuat pelaku
semakin mudah dalam melancarkan aksinya.
3) Bystander Bullying
Dalam tindakan bullying, selain terdapat pelaku dan korban, tentu di
dalamnya pasti terdapat penonton yang menyaksikan tindakan bullying
tersebut atau yang kita sebut dengan bystander. Bystander dalam tindakan
bullying terbagi menjadi 3 yaitu penonton yang ikut aktif menjadi
pendukung pelaku, penonton yang membela korban, dan penonton yang
bersikap netral atau diam saja, merasa acuh tak acuh dengan kejadian
tersebut.
Sementara itu Lipkins (2008) menyebutkan terdapat beberapa
pihak yang ikut menjadi pelaku-pelaku dalam kegiatan bullying, diantaranya :
1) Pelaku Bullying (Perpetrator)
3) Penonton (Bystander)Penonton aktif, dan penonton pasif
4) Para Penyelia
5) Para pengurus
6) Masyarakat
Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam perilaku bullying terdapat 3
komponen yang terlibat didalamnya yaitu pelaku bullying itu sendiri yang
berusaha menyakiti korban, kemudian ada korban bullying dalam hal ini jelas
sebagai individu yang dijadikan sasaran pelaku, dan yang terakhir adalah
bystander bullying atau sering kita sebut sebagai penonton yang menyaksikan
secara langsung atau melihat saat tindakan bullying tersebut terjadi.
2.2Kecerdasan Sosial
2.2.1. Pengertian Kecerdasan Sosial
Menurut Goleman (2006) kecerdasan sosial adalah ukuran kemampuan
diri seseorang dalam pergaulan di masyarakat dan kemampuan berinteraksi
sosial dengan orang-orang di sekeliling atau sekitarnya.
Sedangkan menurut Thorndike (dalam Goleman, 2006) kecerdasan
sosial adalah kemampuan untuk memahami dan mengatur orang untuk
bertindak bijaksana dalam menjalin hubungan dengan orang lain.
Orang dengan kecerdasan sosial tinggi tidak akan menemui kesulitan
saat memulai suatu interaksi dengan seseorang atau sebuah kelompok baik
kelompok kecil maupun besar. Ia dapat memanfaatkan dan menggunakan kemampuan otak dan bahasa tubuhnya untuk “membaca” teman bicaranya.
Kesimpulannya adalah kecerdasan sosial adalah ukuran kemampuan
diri seseorang dalam pergaulan di masyarakat dan kemampuan berinteraksi
sosial dengan orang2 disekitarnya
2.2.2. Aspek- aspek Kecerdasan Sosial
Menurut Goleman (2006) Kecerdasan sosial dapat di kategorikan menjadi
dua kategori : yaitu kesadaran sosial dan social facilty. Kesadaran sosial, yaitu
kesadaran sosial atau kepekaan kita terhadap sesama dan social facilty, yaitu apa yang
1) Kesadaran Sosial
Kesadaran sosial mengarah pada sebuah spectum dan yang secara tidak
langsung merasakan apa yang di rasakan oleh orang lain: memahami perasaan
dan pikirannya untuk ikut terlibat dalam situasi yang sulit. Kesadaran sosial ini
meliputi :
a) Primal Empathy (Empati terpenting) perasaan terhadap seorang yang
lain,merasakan tanda isyarat emosi
b) Attunement (penyesuaian / Adaptasi) Mendengarkan dengan kemauan penuh
membiasakan diri mendengarkan seseorang
c) Empathic accurary (Empati yang tepat) Memahami pikiran gagasan, perasaan
dan kehendak orang lain
d) Social cognition (Kesadaran sosial) Mengetahui bagaimana kehidupan
bersosialisasi terjadi
2) Kecakapan Sosial
Secara sederhana yakni merasakan perasaan orang lain, atau sekedar tahu
apa yang mereka pikirkan ataupun inginkan, tidak sama sekali menjamin sebuah
keberhasilan dalam suatu interaksi. Kecakapan sosial terbentuk dalam kesadaran
sosial untuk memenuhi sebuah interaksi yang lancar dan efektif. Spektrum
kecakapan sosial meliputi:
a) Synchrony (Sinkroni) : Menginteraksikan dengan lancar pada level non
verbal.
b) Self Presentation (Presentasi Diri Pribadi) : Mempresentasikan diri sendiri
dengan efektif.
c) Influence ( Pengaruh) : Menghadirkan jalan keluar dari interaksi sosial.
d) Concern ( Peduli) : Peduli terhadap orang lain sesuai dengan kebutuhan dan
perilaku masing-masing individu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kesadaran sosial dan kecakapan sosial
dua-duanya mencakup jangkauan mulai dari dasar, kapasitas yang rendah,
hingga mencakup artikulasi yang kompleks. Oleh karena itu, sinkroni dan
primal empati tergolong dalam kapasitas rendah, sementara empati yang tepat
dengan beberapa keterampilan yang mungkin terlihat, terdapat jumlah yang
mengejutkan tentang ujian-ujian dan skala untuk menilainya. Kedua aspek
tersebut merupakan hal yang mempengaruhi seseorang memiliki kecerdasan
sosial dalam bermasyarakat kesadaran sosial adalah perasaan seseorang dimana
dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain disekitarnya, dan kecakapan
sosial adalah suatu perasaan seseorang dimana dirinya cepat tanggap dalam
merasakan atau hanya sekedar tahu apa yang dirasakan orang disekitarnya,
kedua hal ini melahirkan suatu kecerdasan yang disebut dengan kecerdasan
sosial.
2.2.3 Faktor Kecerdaan Sosial
Perkembangan sosial berarti seseorang memiliki kemampuan untuk
memahami dan bergaul dengan orang lain. Perkembangan sosial siswa juga
berarti proses perkembangan sosial siswa dalam berhubungan dengan orang
lain di masyarakat (Syah, 2004). Perkembangan sosial ini menurut Gerungan
(2004) dipengaruhi oleh keluarga dan sekolah.
a. Keluarga
Keluarga merupakan tempat pertama dalam belajar untuk kehidupan
sosial. Dari keluarga seseorang belajar bagaimana norma-norma lingkungan,
internalisasi norma-norma, perilaku dan lain-lain. Pengalaman-pengalaman
berinteraksi dalam keluarga menjadi awal dan pedoman untuk berinteraksi
dengan masyarakat luas. Pola asuh, status sosio-ekonomi, keutuhan keluarga,
sikap orang tua dapat mempengaruhi perkembangan sosial seorang anak.
Faktor sosioekonomi bukan suatu faktor mutlak yang mempengaruhi
perkembangan sosial anak, hal itu semua tergantung kepada sikap orang tua
memiliki latar belakang keluarga sosioekonominya tinggi, akan lebih memiliki
kesempatan untuk mengembangkan potensi-potensi di dalam dirinya.
Keutuhan keluarga baik dari struktur keluarga seperti perceraian maupun
orang tua yang tidak harmonis, itu sangat penting perannya dalam
perkembangan sosial seorang siswa. Siswa yang memiliki keluarga yang tidak
utuh seperti salah satu orang tua tidak ada, atau bercerai maupun orang tua
yang sering bertengkar itu akan memberikan dampak negatif terhadap
perkembangan sosial siswa. Dalam penelitian Pengasuhan Otoriter berpotensi
menurunkan Kecerdasan Sosial, Self-Esteem dan Prestasi Akademik Remaja,
memberikan hasil bahwa kecerdasan sosial dipengaruhi oleh pola asuh orang
tua. Skor kecerdasan sosial akan semakin tinggi jika skor persepsi remaja
terhadap pola asuh orang tua otoritatif juga tinggi dan jika skor persepsi remaja
terhadap pola asuh orang tua otoriter tinggi, maka skor kecerdasan sosial yang
dihasilkan rendah. Selain itu, seseorang yang berasal dari keluarga besar, atau
seorang anak bungsu dalam keluarga, seorang anak yang masuk playgroup atau
taman kanak-kanak, akan memiliki inteligensi interpersonal atau inteligensi
sosial yang lebih baik dibandingkan dengan anak tunggal yang kurang
memiliki kesempatan bergaul dengan anak-anak lain (Alder, 2001).
b. Sekolah
Pendidikan selain untuk memiliki ilmu pengetahuan, juga efektif untuk
keterampilan negosiasi, konseling, pidato, atau berbicara di muka umum,
mengajar, mewawancarai, dan keterampilan-keterampilan lain yang termasuk
dalam kategori inteligensi interpersonal atau inteligensi sosial. (Alder, 2001).
tetapi juga perkembangan sosial anak. Anak yang berinteraksi dengan teman
sebaya, guru, staf yang lebih tua dari dirinya akan dapat mengajarkan sesuatu
yang tidak hanya sekedar pengembangan intelektualitas saja. Di sekolah akan
dapat bekerja sama dalam kelompok, aturan-aturan yang harus dipatuhi, yang
semuanya termasuk dalam meningkatkan perkembangan kecerdasan sosial
anak. Selain itu, empati sebagai aspek dari kecerdasan sosial juga dipengaruhi
oleh teman sebaya seorang anak.
2.3. Penelitian yang Relevan
Dari penelitian mengenai hubungan kecerdasan sosial dengan perilaku
agresif pada siswa kelas Xl PM SMK T & I Kristen Kota Salatiga yang
dilakukan oleh Susanto (2014) menunjukkan nilai rxy 0,632 dengan p=0, 000.
Dengan hasil tersebut membuktikan bahwa ada hubungan yang positif dan
signifikan antara kecerdasan sosial dan perilaku agresif pada siswa SMK T& I
Kristen Kota Salatiga.
2.4. Hipotesis
Dalam penelitian ini dirumuskan hipotesa atau jawaban sementara atas
hubungan keterkaitan antar variabel dalam penelitian yang masih perlu diuji.
Hipotesis yang penulis rumuskan adalah : “Ada hubungan yang negatif dan