vii
ABSTRAK
Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Air pada bendungan digerakkan oleh suatu
generator. Agar generator dapat digerakkan maka diperlukan tinggi yang sesuai pada
bendungan tersebut.
Dengan mengasumsikan dua bendungan seperti dua sistem bejana, maka
model matematika pada dua sistem bejana tersebut adalah
) ( ) ( 2
) (
2 2 2 2
2 2
t h dt
t dh dt
t h d
n
n ω
ω
ξ +
+ ⎟⎟
⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ =
2 1
1 A A
K λ
D
h
, dengan
h2(t)adalah tinggi air pada sistem bejana
yang terletak dibawahnya,
ξadalah rasio peredam yang baru,
hDadalah tinggi air
yang sesuai pada sistem bejana,
ωnadalah frekwensi alami yang baru, dan
2 1,A
A
adalah luas penampang sistem bejana.
viii
ABSTRACT
Hydroelectric Power Generation System of dam is generated by a generator.
In order to generate a generator, it’s needed a desired demand of the water level of the
dams.
By assuming two dams like two-vessel system, the mathematical model of
two-vessel system is
() 2 2() 2 2()2 2 2
t h dt
t dh dt
t h d
n
n ω
ω
ξ +
+ ⎟⎟
⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ =
2 1
1 A A
K λ
D
h
, where
h2(t)denotes the
water level of the lower vessel system,
ξdenotes the new damping ratio,
hDdenotes
the desired demand of the water level,
ωndenotes the new natural frequency, and
2 1,A
A
denotes the uniform cross-sectional of the two-vessel system.
i
PEMODELAN MATEMATIKA PADA SISTEM
PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA AIR
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Matematika
Oleh
Julius Sigit Wicaksono
NIM : 993114015
PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
ii
MATHEMATICAL MODELLING OF
HYDROELECTRIC POWER GENERATION SYSTEM
Thesis
Presented as Partial Fulfillment of the Requirements
to Obtain the Sarjana Sains Degree
in Mathemathics Study Program
By
Julius Sigit Wicaksono
Student Number : 993114015
STUDY PROGRAM OF MATHEMATHICS
DEPARTMENT OF MATHEMATHICS
FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY
SANATA DHARMA UNIVERSITY
YOGYAKARTA
v
Di Balik Setiap Batu Penghalang
Pasti Ada Hikmat Yang Tersembunyi
Dan Selalu Ada Pelajaran Yang Mematangkan Mental.
Hadapi Dengan Berani Setiap Batu Penghalang
(Wisdom to Success )
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, Agustus 2007
Penulis
vii
ABSTRAK
Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Air pada bendungan digerakkan oleh suatu
generator. Agar generator dapat digerakkan maka diperlukan tinggi yang sesuai pada
bendungan tersebut.
Dengan mengasumsikan dua bendungan seperti dua sistem bejana, maka
model matematika pada dua sistem bejana tersebut adalah
) ( ) ( 2
) (
2 2 2 2
2 2
t h dt
t dh dt
t h d
n
n ω
ω
ξ +
+ ⎟⎟
⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ =
2 1
1 A A
K λ
D
h
, dengan
h2(t)adalah tinggi air pada sistem bejana
yang terletak dibawahnya,
ξadalah rasio peredam yang baru,
hDadalah tinggi air
yang sesuai pada sistem bejana,
ωnadalah frekwensi alami yang baru, dan
2 1,A
A
adalah luas penampang sistem bejana.
viii
ABSTRACT
Hydroelectric Power Generation System of dam is generated by a generator.
In order to generate a generator, it’s needed a desired demand of the water level of the
dams.
By assuming two dams like two-vessel system, the mathematical model of
two-vessel system is
() 2 2() 2 2()2 2 2
t h dt
t dh dt
t h d
n
n ω
ω
ξ +
+ ⎟⎟
⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ =
2 1
1 A A
K λ
D
h
, where
h2(t)denotes the
water level of the lower vessel system,
ξdenotes the new damping ratio,
hDdenotes
the desired demand of the water level,
ωndenotes the new natural frequency, and
2 1,A
A
denotes the uniform cross-sectional of the two-vessel system.
ix
KATA PENGANTAR
Dengan telah selesainya penulisan skripsi yang berjudul
“
Pemodelan
Matematika Pada Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Air
”
, saya mengucapkapkan
puji dan syukur atas berkat dan rahmat yang Tuhan Yang Maha Esa.
Terutama juga saya mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing
saya, Lusia Krismiyati Budiasih, S.Si, M.Si, yang dengan sabar dan penuh perhatian
membantu saya dalam penulisan ini.
Selain itu saya juga mengucapkan seluruh dosen dan staf sekretariat Fakultas
Sains Dan Teknologi dalam pelayanan membantu saya selama kuliah di Sanata
Dharma.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar sarjana sains program studi matematika Fakultas Sains Dan
Teknologi Universitas Sanata Dharma.
Saya selaku penulis skripsi ini, menyadari masih jauh dari sempurna, oleh
sebab itu saya mengharapkan masukan dari semua pihak untuk lebih sempurnanya
tulisan skripsi ini.
Yogyakarta, Juli 2007
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...
i
HALAMAN JUDUL... ii
HALAMAN PERSETUJUAN...
iii
HALAMAN PENGESAHAN...
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ...
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...
vi
ABSTRAK ...
vii
ABSTRACT... viii
KATA PENGANTAR ...
ix
DAFTAR ISI...
x
DAFTAR TABEL... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A.
Latar Belakang ... 1
B.
Rumusan Masalah ... 2
C.
Pembatasan Masalah ... 2
D.
Manfaat Penulisan... 3
E.
Metode Penulisan ... 3
xi
G.
Sistematika Penulisan ... 4
BAB II PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN PERSAMAAN DIFERE
NTIAL DAN DERET BINOMIAL ... 6
A.
Pemodelan Matematika... 6
B.
Persamaan Diferensial... 7
1.
Persamaan Diferensial Orde Satu Terpisahkan... 11
2.
Persamaan Diferensial Linear Orde Satu ... 12
3.
Persamaan Diferensial Linear Orde Dua... 13
4.
Penerapan Persamaan Diferensial Orde Dua ... 21
C.
Deret Binomial Dan Penerapannya... 29
1. Usaha Dan Energi ... 30
2. Fluida ... 31
3. Persamaan Kontinuitas... 33
4. Persamaan Bernoulli ... 34
5.
Teorema Torricelli ... 35
BAB III PEMODELAN MATEMATIKA PADA SISTEM SATU BEJANA .. 39
A.
Sistem Satu Bejana tanpa Aliran Air ... 44
1.
Pengaruh Luas Penampang Pada Ketinggian Air Bejana ... ... 49
2.
Pengaruh Konstanta Torriceli Pada Ketinggian Air Bejana ... 50
B.
Sistem Satu Bejana dengan Aliran Air ... 51
1. Pengaruh Aliran Air Masuk Pada Ketinggian Air Bejana ... 58
xii
3.
Pengaruh Konstanta Torriceli Pada Ketinggian Air Bejana ... 60
BAB IV PEMODELAN MATEMATIKA PADA SISTEM DUA BEJANA .... 67
A.
Sistem Dua Bejana tanpa Aliran Air Masuk Pada Sistem Bejana di
Atasnya... 68
B.
Sistem Dua Bejana dengan Aliran Air Masuk Pada Sistem Bejana di
Atasnya... 79
C.
Sistem Dua Bejana dengan Aliran Air Disesuaikan ... 99
BAB V PENUTUP... 109
A.
Kesimpulan ... 109
B.
Saran... 110
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.3.1 Tabel Diferensial Metode Tak Tentu ... 20
Tabel 3.1.1 Berkurangnya Tinggi Air Untuk Aliran Air yang Masuk Sema
kin Besar ...
46
Tabel 3.1.2 Berkurangnya Tinggi Air Untuk Luas Penampang Semakin
Besar...
47
Tabel 3.1.3 Tinggi Air Untuk Luas Penampang Semakin Besar ... 49
Tabel 3.1.4 Tinggi Air Untuk Luas
( )
λSemakin Besar... 50
Tabel 3.2.1 Berkurangnya Tinggi Air Untuk
(q1−q0)Semakin Besar...
53
Tabel 3.2.2 Berkurangnya Tinggi Air Untuk Luas Penampang Semakin
Besar...
54
Tabel 3.2.3 Bertambahnya Tinggi Air Untuk
(q1−q0)Semakin Besar....
55
Tabel 3.2.4 Bertambahnya Tinggi Air Untuk Luas Penampang Semakin
Besar...
55
Tabel 3.2.5 Tinggi Air Bejana dengan Aliran Air ... 57
Tabel 3.2.6 Tinggi Air Untuk
( )
q1Semakin Besar... 59
Tabel 3.2.7 Tinggi Air Untuk Luas Penampang Semakin Besar Semakin
Besar...
60
xiv
Untuk Kasus Diredam Berlebihan ... 73
Tabel 4.1.2 Tinggi Air Pada Dua Sistem Bejana tanpa Aliran Air
Untuk Kasus Diredam Kritis...
75
Tabel 4.1.3 Tinggi Air Pada Dua Sistem Bejana tanpa Aliran Air
Untuk Kasus Diredam Berkurang ... 78
Tabel 4.2.1 Tinggi Air Pada Dua Sistem Bejana dengan Aliran Air
Untuk Kasus Diredam Berlebihan ... 82
Tabel 4.2.2 Tinggi Air Pada Dua Sistem Bejana dengan Aliran Air
Untuk Kasus Diredam Kritis...
85
Tabel 4.2.3 Tinggi Air Pada Dua Sistem Bejana dengan Aliran Air
Untuk Kasus Diredam Berkurang ... 87
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.3.4.1 Jarak Pegas Untuk Kasus Getaran Teredam ... 27
Gambar 2.3.4.2 Jarak Pegas Untuk Kasus Getaran Tak Teredam ...
29
Gambar 2.3.2.1 Tekanan Hidrostatis di Titik A, B adalah sama ...
33
Gambar 2.3.3.1 Fluida yang Mengalir Pada Luas Penampang ...
33
Gambar 2.3.5.1 Fluida yang Mengalir Pada Luas Penampang ...
35
Gambar 3.1 Fungsi Konstan...
40
Gambar 3.2 Fungsi Kecepatan ...
41
Gambar 3.3 Fungsi Percepatan ...
41
Gambar 3.4 Sistem Bendungan... 42
Gambar 3.5 Bejana tanpa Aliran Air yang Masuk...
43
Gambar 3.6 Bejana dengan Aliran Air yang Masuk ...
44
Gambar 3.1.1 Tinggi Air Bejana tanpa Aliran Air...
48
Gambar 3.1.2 Tinggi Air Untuk Luas Penampang Semakin Besar... 50
Gambar 3.1.3 Tinggi Air Bejana Untuk Kontanta Torricelli Semakin
Besar...
51
Gambar 3.2.1 Tinggi Air Bejana dengan Aliran Air...
57
Gambar 3.2.2 Tinggi Air Bejana Untuk Aliran Air yang Keluar Sema
kin Besar ...
59
Gambar 3.2.3 Tinggi Air Untuk Luas Penampang Semakin Besar ...
60
xvi
Gambar 3.2.5 Aliran Air yang Disesuaikan Pada Sistem Bejana ...
62
Gambar 4.1 Dua Bejana tanpa Aliran Air yang Masuk ...
67
Gambar 4.2 Dua Bejana dengan Aliran air yang Masuk ...
67
Gambar 4.1.1 Tinggi Air Pada Dua Sistem Bejana tanpa Aliran Air
Untuk Kasus Diredam Berlebihan ...
74
Gambar 4.1.2 Tinggi Air Pada Dua Sistem Bejana tanpa Aliran Air
Untuk Kasus Diredam Kritis...
76
Gambar 4.1.3 Tinggi Air Pada Dua Sistem Bejana tanpa Aliran Air
Untuk Kasus Diredam Berkurang ...
78
Gambar 4.2.1 Tinggi Air Pada Dua Sistem Bejana dengan Aliran Air
Untuk Kasus Diredam Berlebihan ...
83
Gambar 4.2.2 Tinggi Air Pada Dua Sistem Bejana dengan Aliran Air
Untuk Kasus Diredam Kritis ...
85
Gambar 4.2.3 Tinggi Air Pada Dua Sistem Bejana dengan Aliran Air
Untuk Kasus Diredam Kritis...
88
Gambar 4.2.4 Rasio Peredam
0<ξ<1...
89
Gambar 4.2.5 Rasio Peredam
0,1<ξ<0,5...
89
Gambar 4.2.6 Rasio Peredam
0,6<ξ<0,9...
89
Gambar 4.2.7 Rasio Peredam
ξ>1...
90
Gambar 4.2.8 Rasio Peredam
ξ=1...
90
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Bendungan mempunyai manfaat yang sangat berguna dalam kehidupan ini,
salah satu manfaat dari bendungan adalah untuk pembangkit tenaga listrik.
Faktor yang mempengaruhi besar atau kecilnya aliran air pada bendungan
adalah curah hujan dan besarnya aliran air sungai. Jika curah hujan tinggi dan aliran
air sungai besar, maka air pada bendungan akan besar, dan jika curah hujan rendah
dan aliran air sungai kecil, maka air pada bendungan akan kecil.
Pada umumnya bendungan yang digunakan untuk pembangkit listrik itu
terdiri dari satu bendungan, atau dua bendungan, dimana bendungan yang satu
terletak di atas bendungan yang lain.
Agar dapat menggerakkan generator pada satu bendungan, diperlukan tinggi
yang sesuai pada bendungan, sedangkan pada dua bendungan diperlukan tinggi yang
sesuai pada bendungan yang terletak di atasnya.
Dari sini muncul permasalahannya yakni bagaimana memperoleh ketinggian
yang sesuai pada satu bendungan dan dua bendungan tersebut.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana model matematika untuk tinggi dan volume air pada
sistem satu bejana ?
2.
Bagaimana model matematika untuk tinggi dan volume air pada
sistem dua bejana ?
3.
Bagaimana model matematika agar diperoleh tinggi air yang sesuai
pada sistem satu dan dua bejana ?
C. Pembatasan
Masalah
Pembatasan masalah pada skripsi ini adalah:
1.
Bendungan yang dibahas hanya bendungan yang digunakan untuk
Pembangkit Listrik Tenaga Air.
2.
Analisa lebih dalam mengenai ketinggian air pada sistem bejana hanya
terbatas pada sistem dua bejana.
3.
Sistem yang menyerupai sistem dua bejana seperti pegas hanya
dibahas seperlunya yaitu sistem satu pegas dengan input dianggap
konstan.
5.
Sensor yang digunakan hanya terbatas untuk ketinggian air pada
bejana.
D. Manfaat
Penulisan
Manfaat yang diharapkan pada skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana
tinggi air yang sesuai pada sistem bejana yang terletak di bawahnya agar dapat
membangkitkan tenaga listrik.
E.
Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah metode studi
pustaka yaitu mempelajari buku-buku yang berkaitan Pemodelan Matematika Pada
Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Air.
F.
Tujuan Penulisan
G.
Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan Masalah
C.
Pembatasan Masalah
D.
Manfaat Penulisan
E.
Metode Penulisan
F.
Tujuan Penulisan
G.
Sistematika Penulisan
BAB II PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN PERSAMAAN
DIFERENTIAL DAN DERET BINOMIAL
A.
Pemodelan Matematika
B.
Persamaan Diferensial
2.
Persamaan Diferensial Orde Satu Terpisahkan
3.
Persamaan Diferensial Linear Orde Satu
4.
Persamaan Diferensial Linear Orde Dua
5.
Penerapan Persamaan Diferensial Orde Dua
C.
Deret Binomial Dan Penerapannya
1.
Usaha Dan Energi
2.
Fluida
4.
Persamaan Bernoulli
5.
Teorema Torricelli
BAB III PEMODELAN MATEMATIKA PADA SISTEM SATU BEJA
NA
A.
Sistem Satu Bejana tanpa Aliran Air
1.
Pengaruh Luas Penampang Pada Ketinggian Air Bejana
2.
Pengaruh Konstanta Torriceli Pada Ketinggian Air Bejana
B.
Sistem Satu Bejana dengan Aliran Air
1.
Pengaruh Aliran Air Masuk Pada Ketinggian Air Bejana
2.
Pengaruh Luas Penampang Pada Ketinggian Air Bejana
3.
Pengaruh Konstanta Torriceli Pada Ketinggian Air Bejana
BAB IV PEMODELAN MATEMATIKA PADA SISTEM DUA BEJA
NA
A.
Sistem Dua Bejana tanpa Aliran Air Masuk Pada Sistem Bejana di
Atasnya
B.
Sistem Dua Bejana dengan Aliran Air Masuk Pada Sistem Bejana
di Atasnya
C.
Sistem Dua Bejana dengan Aliran Air Disesuaikan
BAB V PENUTUP
BAB II
PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN
PERSAMAAN DIFERENSIAL DAN DERET BINOMIAL
A. Pemodelan Matematika
Model adalah gambaran suatu objek yang disusun berdasarkan tujuan
tertentu, dan objeknya dapat berupa suatu sistem, suatu perilaku sistem, ataupun
suatu proses tertentu.
Sistem adalah suatu himpunan beserta relasi antara unsur-unsurnya yang
disusun berdasarkan tujuan tertentu. Misalnya rumah sakit, yang merupakan suatu
sistem yang bertujuan untuk merawat orang sakit, den bagian dari rumah sakit
tersebut harus mendukung tujuan merawat orang sakit.
Tujuan penyusunan model dibedakan tiga kategori yaitu :
a) Guna mengenali keadaan, sifat, atau perilaku sistem dengan cara
mencari keterkaitan antara unsur-unsurnya. Model seperti ini adalah
model keterkaitan.
b) Guna mengadakan pendugaan (prediksi) untuk memperbaiki keadaan
objek, yang disebut model pendugaan.
c) Guna mengadakan optimisasi bagi objek. Modelnya disebut model
optimisasi.
Manfaat model adalah untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas
mengenai suatu objek tanpa merusak ataupun mengganggu objek yang aslinya,
dilihat jika dilakukan eksperimen langsung ke objeknya , maka mempunyai resiko
yang sangat merugikan.
Langkah–langkah Penyusunan Model Matematika
a) Identifikasi Masalah.
Sebelum menyusun model matematika adalah mengidentifikasi
masalahnya terlebih dahulu, yang mempunyai batasan-batasan tertentu
yang dikenal dengan penyederhanaan masalah..
b) Perumusan Masalah.
Model tersebut dirumuskan dengan simbol atau lambang yang dapat
dalam matematika baik peubahnya maupun relasi-relasinya.
c) Selesaikan Masalah.
Menyelesaikan perumusan masalah secara matematika.
d) Menafsirkan Masalah.
Model harus ditafsir lagi yakni apakah model tersebut sudah sesuai
dengan yang diharapkan atau tidak ? apakah model tersebut sudah baik
atau tidak? Jikalau tidak, kembali ke langkah semula, sehingga
diperoleh model yang sesuai atau baik seperti yang diinginkan.
e) Pelaksanaan Model.
Model dapat digunakan untuk memperoleh atau mencapai tujuan
semula.
B. Persamaan Diferensial
nya ditulis dalam bentuk
F(x,y,y',y'',...,y(n))=0
dimana (n)
y , menyatakan turunan y terhadap x yang sebanyak n kali, dan F
adalah suatu fungsi dengan peubah–peubah , , ', '',..., (n)
y y y y
x .
Orde Persamaan Diferensial adalah orde derivatif tertinggi yang muncul
dalam persamaan.
Contoh 2.2.1
Bentuk persamaan diferensial orde satu adalah F(x,y,y')=0.
Persamaan Diferensial Biasa Orde n disebut linear dalam y jika
persamaan diferensial tersebut dapat ditulis dalam bentuk
an(x)y(n) +an−1(x)y(n−1) +...+a1(x)y1+a0(x)y= f(x)
Dengana0,a1,...,andan f adalah fungsi yang kontinu pada suatu interval
x dan an(x)≠0 pada interval tersebut.
.
Contoh 2.2.2
Persamaan y''+y'+y=x2 adalah persamaan diferensial orde dua yang linear.
Untuk membuktikan suatu fungsi merupakan suatu penyelesaian
sebanyak n kali merupakan persamaan diferensial itu sendiri atau ruas kanan dan
ruas kiri dari persamaan diferensial tersebut adalah sama.
Contoh 2.2.3
Buktikan bahwa x2 +y2 =9 adalah penyelesaian persamaan diferensial
0
' =
+yy
x ?
Penyelesaian
Jika 9x2 +y2 = diturunkan terhadap x, maka diperoleh2x+2yy' =0.
0 2
2x+ yy' = dapat ditulis menjadi x+ yy' =0. Sehingga terbukti bahwa
9
2
2+ =
y
x adalah penyelesaian dari persamaan diferensial x+ yy' =0.
Definisi 2.2.1
a) Suatu keluarga berparameter n dari penyelesaian persamaan diferensial
orde n disebut penyelesaian umum dari persamaan diferensial jika semua
penyelesaian persamaan diferensial dapat diperoleh dari keluarga
berparameter n.
b) Suatu penyelesaian persamaan diferensial orde n yang diperoleh dari
penyelesaian umum dengan menentukan nilai parameter n disebut dengan
penyelesaian khusus.
Contoh 2.2.4
sial y''+3y'+2y=2x−3. Untuk mendapatkan penyelesaian khusus dari
persamaan dferensial tersebut dapat dicari dengan cara memilih nilai konstanta
1
C dan C2, yaitu dengan mengambil C1 =10 dan C2 =3, maka
x e e
y=10 x +3 2x +
Masalah nilai awal terdiri dari pencarian penyelesaian y dari persamaan
diferensial yang juga memenuhi persyaratan
y
( )
x0 = y0 y'( )
x0 = y0'Masalah nilai batas terdiri dari pencarian penyelesaian y dari persamaan
diferensial yang juga memenuhi persyaratan
y
( )
x0 = y0 y'( )
x1 = y0'Contoh 2.2.5
Jika persamaan diferensial y''+3y'+2y=2x−3 dengan menggunakan masalah
nilai awal di atas dan masalah nilai batas dari persamaan y''+3y'+2y=2x−3
mempunyai penyelesaian khusus yaitu y(0)=0 dan y(1)=0. Untuk
0 ,
0 =
= y
x , maka C1+C2 =0, dan untuk x=1,y=0 maka C1e+C2e2 =−1.
Sehingga diperoleh
e e C C
− = −
= 2 2
1
1 .
Maka penyelesaian khususnya adalah
e e x y
− +
1. Persamaan Diferensial Orde Satu Terpisahkan
Persamaan diferensial terpisahkan dari persamaan diferensial orde
satu adalah suatu persamaan diferensial orde satu dimana bentuk
dx
dy dapat difaktorkan sebagai fungsi x kali fungsi y. Dengan
perkataan lain bahwa persamaan diferensial orde satu tersebut
dapat ditulis dalam bentuk
g(x)h(y)
dx dy =
(2.2.1.1)
Untuk mencari penyelesaian persamaan diferensial orde tersebut,
haruslah dipisahkan sebagai antara fungsi x dan fungsi y secara
terpisah, sehingga persamaan (2.2.1.1) dapat ditulis sebagai
g x dx y
h dy
) ( )
( = (2.2.1.2)
Dengan mengintegralkan kedua ruas diperoleh
g x dx C
y h
dy = +
∫
∫
( ))
( (2.2.1.3)
Persamaan (2.2.1.3) adalah penyelesaian persamaan diferensial
orde satu yang dapat dipisahkan. Dengan menggunakan teknik
pengintergralan maka persamaan (2.2.1.3) ini dapat diselesaikan
asalkan fungsi dari g(x),h(y) diketahui.
Contoh 2.2.1
Selesaikan
y x dx dy =
Penyelesaian
Persamaan di atas dapat ditulis dalam bentuk persamaan diferensial
dan mengintegralkan kedua ruas , maka diperoleh
y dy= x dx
y2 = x2 +C
2 1 2 1
y=± x2 +C1 , C 21C
1 =
2. Persamaan Diferensial Linear Orde Satu
Persamaan diferensial linear orde satu adalah persamaan yang
dapat ditulis dalam bentuk
P(x)y Q(x)
dx
dy+ =
(2.2.2.1)
Dengan P dan Q adalah fungsi yang kontinu pada selang yang
diberikan. Untuk mencari penyelesaian persamaan diferensial
linear orde satu tersebut kedua ruas dikalikan I(x) yang sering
disebut sebagai faktor pengintergralan.
I(x)=e∫P(x)dx (2.2.2.2)
Bentuk umum penyelesaian dari persamaan diferensial linear orde
satu yang linear, yaitu
∫
⎟⎠ ⎞ ⎜
⎝
⎛ ∫ +
∫
=e− Q x e C
y P(x)dx ( ) P(x)dx (2.2.2.3)
Persamaan (2.2.2.3) adalah bentuk umum penyelesaian persamaan
diselesaikan dengan teknik pengintergralan asalkan fungsi dari
) ( ),
(x Q x
P diketahui.
Contoh 2.2.2.1
Selesaikan 1 y 3x?
x dx
dy+ =
Penyelesaian
Faktor pengintegralan
x x
I( )= 1, sehingga
I x =e∫xdx =elnx = x
1
) (
Dikalikan kedua ruas dengan x, maka
y 3x2 dx
dy
x + =
( )
3 2x xy dx
d =
Dengan mengintegralkan kedua ruas diperoleh
y=x2+x−1C
Sehingga penyelesaian y x x dx dy
3
1 =
+ adalah
y= x2 +x−1C.
3. Persamaan Diferensial Linear Orde Dua
Persamaan Diferensial Linear Orde Dua adalah persamaan yang
( ) ( ) ( )
2
x R y x Q dx dy x P dx
y d
= +
+ (2.2.3.1)
atau
y''+P(x)y'+Q(x)y=R(x) (2.2.3.2)
dimana P(x),Q(x),R(x) adalah suatu fungsi
) (x
R terbagi atas dua yaitu R(x)=0 dan R(x)≠0, seperti yang
diuraikan berikut ini.
Persamaan diferensial linear orde dua yang homogen adalah
persamaan yang dapat ditulis dalam bentuk
( ) ( ) ( ) 0
2
= = +
+ Q x y R x
dx dy x P dx
y d
(2.2.3.3)
Persamaan diferensial linear orde dua yang nonhomogen adalah
persamaan yang dapat ditulis dalam bentuk
( ) ( ) ( ) 0
2
≠ = +
+ Q x y R x
dx dy x P dx
y d
(2.2.3.4)
Di dalam penerapan fungsi R(x) sering disebut sebagai input
(masukan). Jika R(x)=0berarti tidak ada input dan R(x)≠0
berarti ada input.
Contoh 2.2.3.1
x y x y x
xy''+ 2 '+2 3 =4 adalah persamaan diferensial linear orde dua,
4 ) (x =
R , maka persamaan tersebut adalah persamaan diferensial
yang nonhomogen.
Teorema 2.2.3.1
Jika diketahui persamaan nonhomogen y''+P(x)y'+Q(x)y= R(x)
dengan P(x),Q(x),R(x)adalah fungsi yang kontinu pada interval
] ,
[a b . Jika x0adalah sembarang titik pada interval [a,b] , dan jika
0
0,y'
y adalah sembarang bilangan , maka persamaan homogen
mempunyai penyelesaian tunggal y(x)pada interval [a,b]
sedemikian hingga y(x0)= y0 dan y'(x0)= y'0.
Untuk membuktikan teorema ini sangatlah sukar, akan tetapi
pembuktian ini banyak dijumpai dalam buku yang lebih lanjut,
salah satunya diferential equation karangannya Shepley Ross dibab
10, yang dibuktikan dengan teorema lipschit. Didalam teorema ini
menjamin keberadaan dan keunikan suatu solusi masalah nilai
awal.
Contoh 2.2.3.2
Carilah solusi dari y''+y=0 y(0)=0 dan y'(0)=1?
Penyelesaian
Solusi dari y''+y=0 adalah y=sinx , y=cosx dan
1
c
Dari ketiga penyelesaian tersebut hanya y=sinx yang memenuhi
0 ) 0
( =
y dan y'(0)=1. Sehingga menurut teorema 1 ,
penyelesaian dari y''+y=0, jika diketahui y(0)=0 dan
1 ) 0 (
' =
y adalah y=sinx
Teorema 2.2.3.2
Jika yg adalah penyelesaian umum yang diperoleh dari persamaan
homogen, dan yp penyelesaian khusus yang diperoleh dari
persamaan nonhomogen, maka yg + yp adalah penyelesaian
umum persamaan nonhomogen yang diperoleh dari persamaan
yang homogen.
Bukti
Misalkan y adalah penyelesaian umum persamaan diferensial orde
dua yang homogen, maka y''+P(x)y'+Q(x)y=R(x) . Diketahui
bahwa yg adalah penyelesaian umum yang diperoleh dari
persamaan diferensial orde dua yang homogen, sehingga
0 ) ( ' ) (
''+ g + g =
g P x y Q x y
y dan yp penyelesaian khusus yang
diperoleh dari persamaan diferensial orde dua yang nonhomogen,
sehingga )yp ''+P(x)yp'+Q(x)yp =R(x .
Akan dibuktikan y = yg + yp, yaitu akan dibuktikan bahwa ruas
y =(yg +yp)''+P(x)(yg + yp)'+Q(x)(yg + yp)
=(yg ''+P(x)yg'+Q(x)yg)+(yp ''+P(x)yp'+Q(x)yp)
=0+R(x)=R(x).
Teorema 2.2.3.3
Jika y1(x) dan y2(x)adalah penyelesaian dari persamaan yang
homogen, maka c1 y1(x)+c2 y2(x) juga merupakan penyelesaian
persamaan yang homogen untuk sembarang konstanta c1dan c2.
Bukti
) (
1 x
y dan y2(x)adalah penyelesaian dari persamaan yang
homogen , maka y1 ''+P(x)y1'+Q(x)y1 =0 dan
0 ) ( ' ) (
'' 2 2
2 +P x y +Q x y =
y .
Akan dibuktikan bahwa c1 y1(x)+c2 y2(x) juga merupakan
penyelesaian persamaan yang homogen , maka
(c1y1+c2y2)''+P(x)(c1y1+c2y2)'+Q(x)(c1y1+c2y2)=0
c1y1 ''+c2y2 ''+P(x)c1y1'+P(x)c2y2'+Q(x)c1y1+Q(x)c2y2 =0
c1(y1 ''+P(x)y1'+Q(x)y1)+ c2(y2 ''+P(x)y2'+Q(x)y2)=0
Persamaan c1 y1(x)+c2 y2(x) pada teorema 2.2.3.3 disebut
sebagai kombinasi linear dari persamaan y1(x) dan y2(x).
Sehingga teorema 2.2.3.3 menyatakan setiap kombinasi linear dari
penyelesaian y1(x) dan y2(x) pada persamaan yang homogen
juga merupakan penyelesaian.
Persamaan diferensial linear orde dua yang homogen yaitu
y''+P(x)y'+Q(x)y=0
misalkan )P(x),Q(x adalah p,q
maka
y''+py'+qy=0
Persamaan karakteristiknya adalah y=emx maka y'=memx, dan
mx e m
y'' = 2 , sehingga
(m2+ pm+q)emx =0
Karena emx ≠0, maka (m2+ pm+q)=0. Dengan rumus kuadrat
diperoleh
2 4 ,
2
2 1
q p p m
m = − ± −
dimana
2 4
2
1
q p p
m = − + − dan
2 4
2
2
q p p
m = − − −
a) Akar-akar persamaan karakteristiknya m1,m2 real dan
berbeda
(
p2−4q>0)
. Penyelesaian umum dari persamaandiferensial yang homogen adalah y=c1em1x m x
e
c 2
2
+ .
b) Akar-akar persamaan karakteristiknya m1,m2 real yang
berulang
(
p2−4q=0)
. Penyelesaian umum dari persamaandiferensial yang homogen ini adalah y=c1em1x m x
xe
c 2
2
+ .
c) Akar–akar persamaan karakteristiknya m1,m2 bilangan
komplek
(
p2−4q<0)
.. Sehingga= − ± − − = 2 ) 4 ( , 2 2 1 q p p m m 2 ) 1 )( 4
( 2− −
±
− p p q
1 2 ) 4 ( 2 − − ± −
= p p q
= − p± p − q i=
2 ) 4 ( 2 β α i i q p P ± = − ± − = 2 ) 4 ( 2 2 maka
m1 =α+iβ dan m2 =α−iβ
dimana
2
P
− =
α dan
2 4
2
q p
p− −
− =
β .
Sehingga penyelesaian umumnya adalah
y=c1em1xcosβ x
x e
c m2xsinβ
2
Untuk dapat menyelesaikan persamaan diferensial linear orde dua
yang non homogen, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
dengan mencari penyelesaian persamaan diferensial linear orde dua
yang homogen yaitu y''+P(x)y'+Q(x)y=0.
Setelah mendapatkan penyelesaian umum tersebut, karena menurut
teorema diatas bahwa penyelesaian persamaan diferensial linear
orde dua yang nonhomogen terdiri dar I penjumlahan penyelesaian
umum dan penyelesaian khusus (y = yg + yp) , sehingga harus
dicari penyelesaian khusus yang sesuai.
Perhatikan ruas kanan dari persamaan y''+P(x)y'+Q(x)y= R(x),
dimana )R(x dapat berupa beberapa fungsi yaitu eksponensial,
logaritma, trigonometri, dan lain-lain, yang kadang juga
mengalami pegolahan secara aljabar, baik perkalian, penambahan,
pengurangan, pembagian dari beberapa fungsi tersebut.
Berikut ini adalah tabel yang dapat digunakan untuk penyelesaian
khusus (yp) berdasarkan bentuk R(x).
Tabel 2.3.1 Tabel Diferensial Metode Koefisien Tak Tentu.
R(x) yp
1 n
n t ct
P ()=
(
n=0,1,2,...)
0 1
1 ...
)
(t C t C t Ct C
Pn = n n+ n− + n− + + +
2 c1sinα x x c2cosα
x C
x
3 x
ceα Ceαx
4 Pn(t)
x
ceα Pn(t)
x
Ceα
=
5 Pn(t)=
x
c1sin
α
) (t Qn
x c2cosα
=
) (t
Pn C1sinα x+C2cosα x
) (t Qn
Contoh 2.3.3
Selesaikan y''−2y'=exsinx?
Penyelesaian.
Penyelesaian umumnya adalah
x
g x c c e
y 2
2 1
)
( = + .
Penyelesaian khusus (yp) .
y ex x
p 2 sin
1
−
= .
Jadi penyelesaian dari y''−2y'=exsinxadalah
yg(x)+yp(x)= c c e2x 21exsinx
2
1+ −
4. Penerapan Persamaan Diferensial Orde Dua
Setiap gerak yang berulang dalam waktu yang sama disebut dengan
gerak periodik. Dan setiap partikel yang bergerak secara periodik
Jika suatu partikel dalam gerak periodik bergerak bolak-balik
melalui lintasan yang sama, maka geraknya disebut dengan gerak
osilasi atau getaran.
Karena suatu partikel yang bergerak osilasi mengalami gesekan,
maka gerakan suatu partikel tersebut akan berhenti berosilasi,
dimana gerakannya disebut dengan gerakan teredam.
Salah satu partikel yang mengalami gerak osilasi dan teredam
antara lain adalah pegas, seperti yang akan dijelaskan berikut ini.
1) Getaran Tak Teredam Dan Teredam
Pada pegas terdapat dua getaran yang terjadi yakni getaran
teredam dan getaran tak teredam, seperti yang akan
diuraikan di bawah ini
Pegas menggunakan hukum hooke yakni jika pegas
demikian ditarik (diperpanjang) sejauh x, gaya pemulih
yang dilakukan pegas (juga disebut gaya pegas) adalah
F =−kx (2.2.4.1)
dimana
k: konstanta pegas (tetapan pegas) yang diukur dalam
satuan Newton meter
( )
Nm yang harganya bernilai positifbila ditarik dan negatif bila ditekan.
Frekuensi alami pada pegas bila tidak terjadi gesekan dapat
m k v=
=2π.
ω (2 2.4.2)
Frekuensi alami yang mengalami gesekan pada pegas
dapat dirumuskan sebagai berikut
2 2 . 2 ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − = = m b m k v π
ω bila
m b m
k
2
> (2.2.4.3)
atau i m b m k v 2 2 . 2 ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + − = = π
ω bila
m b m k
2
< (2.2.4.4)
dengan
k: konstanta pegas (Newton meter).
m: massa pegas (kilogram).
b: gaya gesek pegas (Newton ).
Percepatan yang dialami massa pada pegas yang bergetar
diperoleh dari hukum Newton II, yaitu
m F
a= (2.2.4.5)
dengan m: massa pegas (kilogram)
F: gaya pegas (Newton ).
Diandaikan bahwa gaya gesekan yang terjadi pada pegas
(gaya peredam) sebanding dengan kecepatan massa dan
bekerja dalam arah berlawanan dengan arah gerak dengan
gaya gesekan lainnya diabaikan seperti yang diilustrasikan
Gambar 2.2.4.1 Pegas
Sehingga gaya peredamnya adalah
F =−cv (2.2.4.6)
dimana
c: konstanta positif, yang disebut dengan konstanta
peredam
Dari persamaan (2.2.4.5) dan (2.2.4.6), diperoleh
m F a =
dt dx c kx dt
x d
m 2 =− −
2
.
2 0
2
= +
+ kx
dt dx c dt
x d
m (2.2.4.7)
Persamaan (2.2.4.7) merupakan persamaan diferensial
linear orde dua linear yang homogen, hal ini disebabkan
gaya gesekan yang lain diabaikan yang mempunyai
penyelesaian akar-akar penyelesaian sebagai berikut
m mk c
m c x
2 4
2
2 , 1
− ± −
=
c
k
⎟
⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ± − =
m k m
c m
c 2
2 (2.2.4.8)
Penyelesaian dari akar-akar pada persamaan (2.2.4.8)
tergantung dari besarnya konstanta peredam pada frekuensi
alami yang mengalami gesekan, dimana nilainya dapat
positif, negatif, dan nol. Untuk jelasnya perhatikan berikut
ini.
m k m
c =
2 2
4
c=2 mk
misalkan
c1 =c
maka
c1 =2 mk (2.2.4.9)
sehingga
mk c c
c
2
1
= =
ξ
dimana
ξ
sering disebut sebagai rasio peredam.Dengan menggunakan istilah rasio peredam dan frekuensi
alami tanpa adanya gesekan, persamaan (2.2.4.7) dapat
ditulis
2 0
2
= +
+ kx
dt dx c dt
2 0
2
= +
+ x
m k dt dx m
c dt
x d
2 2 2 0
2
= +
+ x
dt dx dt
x d
ω ω
ξ
Sehingga
m mk c
m c x
2 4
2
2 , 1
− ± −
= dapat ditulis sebagai
berikut
x1,2 =−ξ ω ±ω ξ 2−1 (2.2.4.10)
Persamaan di atas hanya berlaku untuk ξ ≥1, akan tetapi
jika 0<
ξ
<1, persamaan di atas menjadix1,2 =−ξ ω ±ω 1−ξ 2 i (2.2.4.11)
Penyelesaian persamaan (2.2.1.4.7) terdiri dari tiga kasus
seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
Contoh 2.2.4.1
Misalkan diketahui bahwa konstanta pegas sebesar 625,
konstanta redaman sebesar 40 ,massa sebesar 1, diketahui
pegas pada keadaan setimbang dan kecepatan awal yang
terjadi pada pegas sebesar 100, maka
sin15)
3 20 ( )
(t e 20 t
x = − t
Waktu yang dibutuhkan agar pegas tersebut pada keadaan
sin15t =0
diperoleh 2t=0, detik dan t=0,4detik
Jarak maksimumnya pegas terjadi apabila x'(t)=0, yaitu
= − − sin15)+ 3
400 ( )
( 20
'
t e
t
x t e−20t(100cos15t)=0
diperoleh t=0,42detik
Sehingga jarak maksimum yang ditempuh oleh pegas
sejauh 1,69 meter.
Gambar 2.2.4.1 Jarak Pegas
Pada gambar 2.2.4.1 di atas, terlihat bahwa pegas
mengalami dua kali dalam keadaan stabil yaitu saat 0,2 dan
0,4 detik, dan jarak maksimum yang dilakukan oleh pegas
tersebut sejauh 1,69 meter.
Contoh 2.2.4.2
Misalkan diketahui bahwa konstanta pegas sebesar 625,
tidak ada konstanta redaman ,massa sebesar 1, diketahui
pegas pada keadaan setimbang dan kecepatan awal yang
terjadi pada pegas sebesar 100, maka
x(t)=4sin25t
Waktu yang dibutuhkan agar pegas tersebut pada keadaan
setimbang apabila x(t)=0, yaitu
sin25t =0
diperoleh t=0,125 detik dan
Jarak maksimumnya pegas terjadi apabila x'(t)=0, yaitu
x'(t)=100cos25t
diperoleh t=0,0628detik
Sehingga jarak maksimum yang ditempuh oleh pegas
sejauh 3,99 meter. Pada kasus tanpa adanya rasio peredam
pada pegas adalah hal yang unik, sebab pegas tidak akan
pernah berhenti bergetar, dan akan selalu bergetar sehingga
mencapai jarak maksimum sejauh 3,99 meter dan jarak
minimum sejauh 3,99 m dari keadaan setimbang, seperti
yang diilustrasikan pada gambar di berikut ini.
Gambar 2.2.4.2 Jarak Pegas
C. Deret Binomial Dan Penerapannya
Teorema 2.3.1 ( Deret Binomial ) Untuk bilangan real p, fungsi 2 1 ) 1 ( )
(x p
f = +
dapat dinyatakan sebagai deret Mac Laurin pada selang (-1,1) yang berbentuk
(
)
... 2 1 1 1 2 0 + ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + = ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ = +∑
∞ = x p x p x n p x n n p, x<1
dengan ! ) 1 )...( 2 )( 1 ( n n p p p p n
p − − − +
= ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛
n=0,1,2...
dimana simbol ⎟⎟
⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ n p
berlaku untuk bilangan real p , dan n bilangan bulat positif.
Dalam penulisan skripsi ini tidak diberikan bukti tentang teorema 2.3.1,
akan tetapi bukti untuk teorema 2.3.1 dapat di temukan dalam buku kalkulus lebih
lanjut.
Contoh 2.3.1
Hitung 1+x dengan menggunakan deret binomial
Dengan
2 1
=
p dan n bilangan bulat positif., maka
(
)
.... ! 2 2 2 1 1 2 1 0 2 1 ! 1 1 2 1 0 2 1 ! 0 0 2 1 1 1 2 1 + ⎟⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − + ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − + ⎟⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − + ⎟⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − + = +p
( )( )
( )( )
( )
2 33 2 1 2 1 2 2 1 2 1 ! 3 ! 2 2 1
1+ x+ − x + − − x
= +.... ... 16 1 8 1 2 1
1+ − 2+ 3+
= x x x
Berikut ini akan dibahas bagaimana penerapan dengan deret binomial pada
bidang fisika, yaitu pada teorema Torricelli, seperti yang akan dijelaskan berikut
ini
1. Usaha Dan Energi
Usaha adalah hasil gaya dan dengan perpindahan benda, yang
biasa dirumuskan sebagai berikut
W = F.s
dimana
W : Usaha (Joule)
F :Gaya. (Newton)
s : Perpindahan Benda (meter ) .
Energi Potensial dapat dirumuskan sebagai berikut
EP =mgh
EP : Energi Potensial (Joule)
g : Gravitasi (ms−2)
m : Massa Benda (kg)
Energi Kinetik dapat dirumuskan sebagai berikut
E 21mv2
k =
dimana
Ek : Energi Kinetik (Joule),
v : Kecepatan Benda (ms−1)
m : Massa Benda (kg)
Energi Mekanik dapat dirumuskan sebagai berikut
EM = EP +Ek
2. Fluida
Fluida adalah zat yang dapat mengalir. Tekanan adalah besarnya
gaya yang bekerja pada permukaan benda setiap satuan, yang
dirumuskan sebagai berikut
A F P=
dimana
P : Tekanan
(
Nm−2 = pascal = pa)
A: Luas Permukaan
( )
m2Tekanan Hidrostatis adalah tekanan di dalam zat cair yang
disebabkan oleh zat cair itu sendiri, yang dirumuskan sebagai
berikut
PH = ρ.g.h
dimana
PH : Tekanan Hidostatis
(
Nm−2 = pascal = pa)
ρ: Massa Jenis Zat Cair
(
kgm−3)
h: Kedalaman Zat Cair
( )
mg: Gravitasi (ms−2)
Massa zat cair dapat dirumuskan sebagai berikut.
m= ρ.V = ρ.A.h
dimana
ρ: Massa Jenis Zat Cair
(
kgm−3)
h: Kedalaman Zat Cair
( )
mA: Luas Permukaan
( )
m2V : Volume
Hukum Hidrostatis adalah tekanan hidrostatis semua titik pada
suatu bidang datar memiliki kedalaman yang sama adalah sama,
Gambar 2.3.2.1 Tekanan Hidrostatis di titik A, B adalah sama
Pada gambar 2.3.2.1 di atas, titik A dan B terletak pada satu bidang
datar yang memiliki kedalaman yang sama, maka tekanan
hidrostatis di A dan B adalah sama, yang dapat dirumuskan sebagai
berikut
HB HA P
P =
3. Persamaan Kontinuitas
Jika kecepatan fluida di penampang A1 dan di penampang A2
sebesar v1 dan v2, maka volume fluida yang mengalir melalui
penampang A1 sama dengan yang mengalir melalui penampang A2
pada saat t., seperti diilustrasikan gambar berikut ini.
Gambar 2.3.3.1 Fluida Yang Mengalir Pada Luas Penampang
A B
b h
1
h
2
h
→ 1
v
→
2
A1 Dan A2 Yang Memiliki Ketinggian h1 Dan h2
Banyaknya fluida yang mengalir melalui penampang tertentu tiap
satuan waktu disebut dengan debit
( )
Q .Karena diketahui volume fluida yang mengalir melalui penampang
1
A = yang mengalir melalui penampang A2, maka
V1=V2
A1.∆s1 =.A2.∆s2
A1.∆v1.∆t =.A2.∆v2.∆t
Q1 =Q2
Sehingga dapat dikatakan bahwa debit fluida di penampang A1
adalah
Q = A.V
Persamaan di atas merupakan Persamaan Kontinuitas.
4. Persamaan Bernoulli
Perhatikan gambar 2.3.3.1 di atas, maka usaha total yang dilakukan
untuk mengalirkan fluida dari titik 1 ke titik 2 sama dengan
perubahan energi mekanik fluida. Sehingga dapat dirumuskan
Wtotal =Em
W1−W2 =∆EP +∆Ek
P1.A1.∆s−P2.A2.∆s =( 2 21 12)
2 2
1mv − mv + ( )
1
2 mgh
P1.A1.∆s+ 21mv12+ 1
mgh = P2.A2.∆s+ 21mv22
2
mgh
+
P1.V + 21mv12+ 1
mgh = P2.V.+21mv22
2
mgh
+
⎟⎟+
⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛
ρ
m
P1. 21mv12+ 1
mgh ⎟⎟
⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ =
ρ
m
P2. 21mv22
2
mgh
+
P1.+ 21ρ.v12+ 1
.gh
ρ =P2.+ 21.ρ.v22
2
. .gh
ρ
+
Persamaan di atas dikenal dengan Persamaan Bernoulli
Berikut ini adalah salah satu kasus khusus dari Bernoulli, dimana
kecepatan awal pada pipa diabaikan dan pipa diletakkan pada
posisi mendatar seperti yang akan diuraikan berikut ini.
5. Teorema Torricelli
Teorema Torricelli adalah hubungan antara laju fluida dengan
tinggi fluida yang terdapat pada sistem bejana, seperti yang
diilustrasikan pada gambar berikut ini.
Gambar 2.3.5.1 Fluida Yang Mengalir Pada Luas Penampang Bejana
dimana
↓ ↑
H
↓ ↑
h
1
P
3
P
2
P
1
h: Tinggi Air
( )
m P1: Tekanan UdaraH : Tinggi Air Ke Pipa. P2: Tekanan Air Di Bawah
P3: Tekanan Udara.
A1: Luas Penampang Air yang Masuk Pada Pipa
A2: Luas Penampang Air Yang Keluar Dari Pipa.
Dengan menggunakan persamaan Bernoulli
1+ 12+ 1= 2
1
h v
P ρ ρ 2 22 2
2 1
h v
P + ρ +ρ
Karena pipa bejana dalam keadaan mendatar maka h1 =h2, dan
kecepatan awal pada pipa diabaikan diperoleh
∆P ( ) 2
1 2
2
v
ρ
= (2.3.5.1)
dimana
∆P : Selisih Tekanan Pada Bejana..
Karena P1= P3 dan P2 =P1+ρ.g.h maka ∆P =ρ.g.h, sehingga
diperoleh
ρ
.g.h ( ) 21 2
2
v
ρ
=
v2 = 2gh (2.3.5.2)
Persamaan (2.3.5.2) menyatakan kecepatan air pada saat h. Dengan
cara yang analog, kecepatan air pada saat H yakni
Misalkan A adalah luas penampang dari pipa bejana, maka laju
rata-rata air saat h adalah
q0
( )
h =c h (2.3.5.4)dimana c adalah konstan 2 1
5 − −
s m
Dengan cara yang analog diperoleh laju rata-rata air saat H yaitu:
q0
( )
H =c H (2.3.5.5)dimana c adalah konstan 2 1
5 − −
s m
Dari persamaan (2.3.5.4), yaitu
q0
( )
h =c h[
(
)
]
2 1H h H
c + −
= 2 1 1 ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − − = H H h H c 2 1 2 1 1 ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − − = H H h H
c (2.3.5.6)
Dengan memisalkan ⎟
⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − = H H h x
2 diperoleh
q0
( )
h[
(
)
]
2 1 2 1 1 x H c −= (2.3.5.7)
Maka dengan menggunakan contoh 2.3.1, persamaan (2.3.5.7)
menjadi
q0
( )
h 21 2 1 2 1 1 ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ +
Karena ⎟
⎠ ⎞ ⎜
⎝ ⎛ − =
H H h x
2 , maka dari persamaan (2.3.5.8) diperoleh
q0
( )
h ⎥⎦ ⎤ ⎢
⎣ ⎡
⎟ ⎠ ⎞ ⎜
⎝
⎛ − −
=
H H h H
c
2 1
2 1
(
h−H)
<H
( )
(
h H)
Hc H
q + −
=
2
0
=q0
( )
H +λ(
h−H)
(2.3.5.9)dimana
H c
2
=
λ .
Jadi untuk h semakin membesar, maka
q0
( )
h =q0( )
H +λ(
h−H)
=c h+λ
( )
h −λ( )
H=c H
(
1−( )
12 c)
+λ( )
h≈λ
( )
h (2.3.5.10)39
BAB III
PEMODELAN MATEMATIKA PADA SISTEM SATU BEJANA
Pada bab dua telah dipaparkan definisi tentang sistem. Kesalahan (error)
pada sistem adalah perbedaan antara output dan input yaitu
E =
[
output−input]
(3.1)Pada sistem sering sekali menggunakan sebuah alat yang disebut dengan
sensor. Sensor adalah adalah alat untuk mendeteksi sesuatu, yang bertujuan
sebagai alat perbandingan kesalahan. Berikut ini akan dibahas mengenai sensor
yang terdapat pada sistem
a) Sensor Jarak (Perpindahan).
Sensor posisi ini biasanya digunakan untuk mendeteksi posisi suatu
sistem, yang bertujuan sebagai alat perbandingan kesalahan pada
sistem tersebut.
b) Sensor Kecepatan (Laju).
Sensor posisi ini biasanya digunakan untuk mendeteksi kecepatan
atau laju suatu sistem, yang bertujuan sebagai alat perbandingan
kesalahan pada sistem tersebut.
c) Sensor Percepatan.
Sensor posisi ini biasanya digunakan untuk mendeteksi kecepatan
suatu sistem, yang bertujuan sebagai alat perbandingan kesalahan
Persamaan diferensial orde satu dan dua yaitu
P(x)y Q(x)
dx
dy+ =
(3.2)
( ) ( ) ( )
2 2
x Q y x B dx dy x P dx
y
d + + =
(3.3)
Pada persamaan (3.2) dan (3.3) di atas inputnya adalah Q
( )
x , dimanainput tersebut dapat berupa fungsi konstan, fungsi periodik, fungsi ekponensial,
dan lain-lain. Berikut ini akan dijelaskan input yang terdapat pada ketiga sensor di
atas, yakni
a) Fungsi Konstan.
Misalkan K adalah konstanta, maka
Q
( )
x =K
Gambar 3.1 Fungsi Konstan
b) Fungsi Kecepatan (Laju).
Misalkan K adalah konstanta, maka
K dx
x dQ( ) =
atau Q(x)= Kx
) (x Q
K
x
⎪⎩ ⎪ ⎨ ⎧
< > =
0 0
0 )
(
Gambar 3.2 Fungsi Kecepatan
c) Fungsi Percepatan.
Misalkan K adalah konstanta, maka
K dx
x Q
d =
2 2
) (
atau Q(x)= 21Kx2
Gambar 3.3 Fungsi Percepatan
Kesalahan pada saat stabil adalah perbedaan antara input dan output
dikalikan dengan sebuah input yang baru atau dengan kata lain
E =
[
output−input]
r(t) (3.4)dimana )r(t adalah sebuah input yang baru adalah input
Sebelum membahas tentang Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Air, yang
terjadi pada sistem bendungan khususnya sistem bendungan yang terdiri dari dua
bendungan, dimana bendungan yang satu terletak di bawah bendungan yang lain. )
(x Q
x
⎪⎩ ⎪ ⎨ ⎧
< > =
0 0
0 )
(
x x Kx x
Q
⎪⎩ ⎪ ⎨ ⎧
< > =
0 0
0 )
(
2 2 1
x x Kx x
Q
) (x Q
Akan dibahas terlebih dahulu bagaimana memodelkan secara matematis untuk
Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Air
Sistem bendungan dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 3.4 Sistem Bendungan
Aliran sungai dengan debit yang sangat besar ditampung dalam waduk (1)
yang ditunjang dengan sebuah bendungan (3). Air tersebut dialirkan melalui
Power Intake (2) kemudian masuk ke Pipa Pesat (Penstock) (4) untuk merubah
energi potensial menjadi energi kinetik. Pada ujung pipa pesat dipasang Katup
Utama (Main Inlet Valve) (5) untuk mengalirkan air ke turbin. Katup utama akan
ditutup otomatis apabila terjadi gangguan atau di stop atau dilakukan perbaikan /
pemeliharaan turbin.
Air yang telah mempunyai tekanan dan kecepatan tinggi (energi kinetik)
dirubah menjadi energi mekanik dengan dialirkan melalui sirip-sirip pengarah
akan mendorong sudu jalan (runner) yang terpasang pada turbin (6). Energi putar
(7) yang kemudian menghasilkan tenaga listrik yang keluar dari turbin melalui
Tail Race (8) selanjutnya kembali ke sungai (9).
Untuk memperoleh model ini, diasumsikan bahwa bendungan sebagai
bejana. Hal ini dikarenakan, tidak mudah untuk mendapatkan model matematika
untuk ketinggianair pada bendungan, jika dilakukan percobaan langsung terhadap
bendungan tersebut, karena mengandung resiko yang terlalu berbahaya