BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Hakikatnya anak merupakan anugerah dalam keluarga dan sebagai generasi penerus
bangsa. Dengan demikian segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh anak Negara mempunyai
tanggung jawab serta melindungi, mengawasi hak-hak anak baik itu hak sipil, sosial, politik,
budaya maupun ekonomi. Bentuk dari perlindungan terhadap anak yang dilakukan oleh
pemerintah yaitu dengan di sahkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak. Didalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak yang dikatakan Anak adalah “seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan”.1
Dengan demikian ketika seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun maka Negara
yang menjamin dan memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap anak dari gangguan
baik itu gangguan dari dalam maupun gangguan dari luar. Apabila melihat pada realita yang
terjadi tidak jarang anak turut serta dalam menunjang perekonomian dalam keluarga.
Sebagaimana hak-hak anak yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak adalah:
1. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 6 menyatakan “Setiap Anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
usianya dalam bimbingan Orang Tua atau Wali”.
1
2. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 9 menyatakan “Setiap Anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat
kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat. Setiap Anak berhak mendapatkan
perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan
oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Anak
Penyandang Disabilitas berhak memperoleh pendidikan luar biasa dan Anak yang
memiliki keunggulan berhak mendapatkan pendidikan khusus”.
3. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 114 menyatakan “Setiap Anak berhak untuk diasuh
oleh Orang Tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah
menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi Anak dan
merupakan pertimbangan terakhir”.
4. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 115 menyatakan “Setiap Anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari: penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam
sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial. pelibatan dalam peristiwa yang
mengandung unsur Kekerasan, pelibatan dalam peperangan, dan kejahatan seksual”.
Apabila berbicara mengenai anak, anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai
macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang
kehidupan. Karena pada dasarnya pola berfikir anak berbeda dengan orang dewasa, dalam hal
memahami keadaan yang ada disekitarnya. Dengan demikian maka pemerintah daerah yang
berwenang wajib menjamin akan perlindungan dan melakukan pengawasan terhadap anak dari
pihak manapun. Namun pada kenyataannya pelaksanaan undang-undang tersebut masih kurang
dipahami oleh sebagian besar anak karena ketidaktahuan anak tersebut akan hak-hak yang telah
orang lain dalam membantu dirinya, dengan mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam
pelaksanaan peradilan pidana anak yang asing bagi dirinya.2
Sebagaimana pada ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak yang menyatakan:
“Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau
Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan
Anak”.
Koordinasi kerjasama kegiatan perlindungan anak perlu dilakukan dalam rangka
mencegah ketidak-keseimbangan kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan. Dengan
demikian kewajiban dan tanggung jawab Negara dan pemerintah dalam usaha perlindungan anak
diatur dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yaitu :
a. Menghormati dan menajmin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama,
ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan
kelahiran anak dan konsisi fisik dan/atau mental (pasal 21);
b. Member dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak
(pasal 22);
c. Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, ayau orang lain yang secara
umum bertanggungjawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan
perlindungan anak (pasal 23);
2
d. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai
dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (pasal 24).
Pada dasarnya Negara memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap anak. Dalam
pasal 1 Nomor 32 Tahun 2003 Undang-Undang Ketenagakerjaan pengawasan ketenagakerjaan
adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan,
sedangkan Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi
agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan
pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial. perlindungan anak merupakan
perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak di
usahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.3
Indonesia merupakan salah satu Negara yang meratifikasi konvensi Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hak-Hak anak, melalui keputusan presiden (kepres) No. 36/0 tanggal 25
Agustus 1990, dan pada tahun 1999 meratifikasi konvensi International Labour Organization
(ILO) No. 182 larangan dan tindakan penghapusan bentuk-bentuk terburuk pekerja anak, Dengan
demikian berarti secara hukum, Negara Indonesia berkewajiban melindungi dan memnuhi
hak-hak anak, baik hak-hak sipil, politik, sosial, budaya, dan ekonomi.
Upaya untuk mewujudkan pengawasan dan perlindungan hukum terhadap hak seseorang
untuk memperoleh pekerjaan dan bekerja, yaitu dengan dikeluarkanya Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan salah satu prinsip dasar yang terdapat dalam
undang-undang ini, bahwa siapapun warga Negara berhak untuk bekerja dan memperoleh pekerjaan
3
dengan mendapat upah yang layak serta meperoleh perilaku yang adil dan layak dalam hubungan
kerja.
Seorang pekerja dalam melakukan pekerjaan dapat berupa pekerjaan yang bergerak
dalam sektor formal atau informal. Sektor formal dapat berupa buruh pabrik, pegawai
perusahaan, dan lain-lain. Sedangka dalam sektor informal pekerjaannya berupa loper Koran,
pramuwisma, dan lain-lain. Sektor usaha informal merupakan bentuk usaha yang paling banyak
kita temukan di masyarakat. Bentu usaha yang ini banyak dilakukkan oleh masyarakat yang tidak
berpendidikan, bermodal kecil, dilakukkan oleh masyarakat golongan bawah dan tidak
mempunyai tempat usaha yang tetap. Sektor usaha informal terbuka bagi siapa saja dan sangat
mudah mendirikannya, sehingga jumlahnya tidak dapat di hitung, dengan banyaknya usaha ini
berarti akaan menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran.4
Dalam hal dikatitkan dengan pekerja di sektor informal maupun formal dalam
perkembangannya tidak hanya dilakukan oleh orang yang sudah dewasa saja karena apabila
melihat pada relaitanya anak yang masih dapat dikatakan dibawah umur juga ikut melakukan
pekerjaan yang notabenya dilakukan oleh orang dewasa. Dengan demikian diperlukan suatu
kebijakan pemerintah guna melindungi dan mengawasi para pekerja yang tidak hanya pekerja
yang dinyatakan sudah dewasa menurut undang-undang tetapi juga melindungi pekerja yang
dinyatakan masih dibawah umur. Bellamymengatakan bahwa :
anak-anak yang bekerja di usia dini, yang biasanya berasal dari keluarga miskin, dengan pendidikan yang terabaikan, sesungguhnya akan melestarikan kemiskinan, karena anak yang bekerja tumbuh menjadi seorang dewasa yang terjebak dalam pekerjaan yang tak terlatih, dan dengan upah yang sangat buruk. Hal serupa dikemukakan oleh Thapa, Chhetry dan Aryal , bahwa membiarkan anak-anak
4
bekerja sebagai pengganti sekolah dapat membuat „lingkaran setan‟ (vicious circle); awalnya, bekerja menimbulkan dampak buruk bagi sekolah, selanju tnya berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan
samasekali dapat mengakibatkan berlanjutnya pekerja anak.5
Melihat pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (yang
selanjutnya disebut UUK) ini adalah menyangkut perlindungan hukum terhadap pengupahan dan
kesejahteraan pekerja anak yang di cantumkan di dalam ketentuan Pasal 68 sampai dengan
ketentuan Pasal 75 UUK.
1. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 68 Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.
2. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 69 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai
dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak
mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. (2) Pengusaha
yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus memenuhi persyaratan : a. izin tertulis dari orang tua atau wali; b. perjanjian
kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; c. waktu kerja maksimum 3 (tiga)
jam; d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;e.
keselamatan dan kesehatan kerja; f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan g.
menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (3) Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada
usaha keluarganya.
3. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 70 (1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat
kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang
disahkan oleh pejabat yang berwenang. (2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) paling sedikitberumur 14 (empat belas) tahun. (3) Pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat : a. diberi petunjuk yang jelas
5
tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam
melaksanakan pekerjaan; dan b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
4. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 71 (1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk
mengembangkan bakat dan minatnya. (2) Pengusaha yang mempekerjakan anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat : a. di bawah
pengawasan langsung dari orang tua atau wali; b. waktu kerja paling lama 3 (tiga)
jam sehari; dan c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan
fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah. (3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja
untuk mengembangkan bakat dan minat sebagaimana dimaksud daam ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
5. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 72 Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama
dengan pekerja/ buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat
kerja pekerja/buruh dewasa.
6. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 73 Anak dianggap bekerja bilamana berada di
tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
7. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 74 (1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan
melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. (2) Pekerjaan-pekerjaan
yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. segala pekerjaan dalam
bentuk perbudakan atau sejenisnya; b. segala pekerjaan yang memanfaatkan,
menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi,
pertunjukan porno, atau perjudian; c. segala pekerjaan yang memanfaatkan,
menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras,
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau d. semua pekerjaan yang
membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. (3) Jenis-jenis pekerjaaan
yang membahayakan kesehatan,keselamatan, atau moral anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
8. Berddasarkan pada ketentuan Pasal 75 (1) Pemerintah berkewajiban melakukan
upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja. (2) Upaya
penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Dengan demikian Anak harus dilindungi dari segala bentuk kekejaman dan penindasan
dalam bentuk apapun, mereka tidak diperbolehkan menjadi bahan perdagangan. Dengan alasan
apapun mereka tidak boleh dilibatkan dalam pekerjaan yang dapat merugikan kesehatan atau
pendidikan mereka, maupun yang dapat mempengaruhi perkembangan tubuh mental atau akhlak
mereka.6
Persoalan pekerja anak pada dasarnya bukan persoalan perlu tidaknya anak di larang
bekerja, melainkan persoalan lemahnya kedudukan anak dalam pekerjaan. Pekerja anak kurang
terawasi dan terlindungi dalam kondisi dimana anak bekerja. Konsentrasi pada upaya
memperkenalkan langkah-langkah perlindungan akan memungkinkan anak-anak tumbuh dan
berkembang secara normal.7 Padahal apabila kita sadari bersama, anak-anak adalah sumber daya
manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, dan agar setiap anak
mampu memilkul tanggung jawab tersebut. Maka anak berhak mendapatkan kesempatan yang
seluas-luasnya untuk berkembang dengan wajar baik rohani jasmani, maupun sosialnya. Tetapi
pada kenyatanya anak-anak banyak yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tenaga kerja anak juga yang dikenal pekerja anak atau dalam bahasa
inggris yakni, child labour adalah sebuah istilah mempekerjakan anak
kecil. Istilah pekerja anak dapat diartikan adalah anak yang melakukan semua jenis kegiatan yang membahayakan kesehatan dan menghambat proses belajar serta tumbuh kembang. Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi pengekploitasian anak kecil atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil atau pertimbangan bagi perkembangan kepribadian mereka ,
keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan8
6
. Mulyana W kusuma, hukum dan hak-hak anak, C.V. rajawali, Jakarta, h 20.
7 Dwiyanti Hanandini, “Tindak kekerasan Di Lingkungan Pekerja Anak Sektor Informal Padang”. Jurnal sosiologi
SIGAL, Vol 6 No, 9, februari 2005, padang Universitas Andalan, h 94-95.
8
Menurut hasil wawancara yang diperoleh penulis dari salah satu anak dibawah umur yang
bekerja di Kota Salatiga, penulis melakukan wawancara kepada pekerja anak bernama Alen yang
bekerja disalah satu usaha pencucian Motor 2 Domba di Kota Salatiga. Dari hasil wawancara
yang dilakukan penulis menyebutkan bahwa pelaku pekerja anak tersebut melakukan pekerjaan
disebabkan oleh keterpaksaan, karena himpitan ekonomi keluarga dan juga broken home. pekerja
anak tersebut bekerja dari jam 09.00 sampai jam 16.00 sore setiap hari senin sampai dengan hari
jumat, pekerja anak tersebut mendapatkan upah Rp. 2.500,00 dalam sekali cuci motor, dan dalam
sehari juga mendapatkan uang makan Rp, 5.000,00, dari hasil wawancara, pekerja anak tersebut
juga kurang mengetahui hak-hak anak yang sebgaimana telah dijamin oleh undang-undang.9
Devinisi pekerja sektor informal adalah merupakan bentuk usaha yang paling banyak kita
temukan di masyarakat. Bentu usaha yang ini banyak dilakukkan oleh masyarakat yang tidak
berpendidikan, bermodal kecil, dilakukkan oleh masyarakat golongan bawah dan tidak
mempunyai tempat usaha yang tetap. Sektor usaha informal terbuka bagi siapa saja dan sangat
mudah mendirikannya, sehingga jumlahnya tidak dapat di hitung, dengan banyaknya usaha ini
berarti akaan menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran.
Penulis tidak hanya melakukan wawancara terhadap pekerja anak saja tetapi juga penulis
melakukan wawancara kepada pelaku usahanya bernama Ibu Rut Agus. Dalam hasil wawancara
yang dilakukan penulis kepada pelaku usaha tersebut, pelaku usaha hanya sebatas mengetahui
bahwa memperkejakan anak dilarang undang-undang, tanpa mengetahui hak-hak yang diperoleh
anak ketika melakukan pekerjaan sebagaimana telah dijamin oleh undang-undang, pelaku usaha
tersebut tidak mencari pekerja, anak yang bernama Alen tersebut yang ingin bekerja di Cucian
9
Motor 2 Domba, alasan pelaku usaha tersebut mempekerjakan anak karena merasa kasihan dan
ingin menolong dari pada anak tersebut tidak bekerja, dan sekolah.10
Penulis juga melakukan wawancara kepada salah satu petugas di Disnaker Kota Salatiga
bernama Bapak Jamaludin selaku Pengawas Ketenagakerjaan di Disnaker Kota Salatiga. Dari
hasil wawancara penulis terhadap petugas Disnaker tersebut, pihak Disnaker telah melakukan
langkah Dengan mengeluarkan Keputusan Walikota Salatiga nomor : 463/ 257/ 2012 tentang
”KOMITE AKSI PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJA TERBURUK UNTUK
ANAK. Dan dari data yang penulis dapat dari Disnaker, pada tahun 2012 jumlah anak yang
bekerja di Kota Salatiga ada 4 orang anak yang bekerja di Toko Roti Maju, pada Tahun 2013
jumlah anak yang bekerja di Kota Salatiga ada 2 orang di Toko Niki Way. Dan ditahun 2014,
2015 dan 2016 pihak Disnaker belum melakukan survey terhadap pekerja anak yang berada di
Salatiga mengingat menurunya jumlah pekrja anak di Kota Salatiga. Pihak Disnaker sendiri
dalam kaitannya mengenai pekerja anak telah melakukan sosialisasi mengundang para pelaku
usaha yang berada di Salatiga untuk melakukan perlindungan tehadap pekerja anak misalnya
dalam pelaku usaha tersebut mempekerjakan anak harus mendapatkan ijin dari kedua orang tua
dan harus ada surat keterangan Rt Rw setempat, serta anak tersebut harus mendapatkan
kekhususan, seperti jam kerjanya paling lama 3 jam per hari dan 12 jam per minggu, tidak boleh
bekerja di tempat yang berbahaya, dan secara riil pelaku usaha harus lapor ke Disnaker supaya
perlindungan anak tersebut tepantau dan terjamin.11
Agar supaya para pekerja anak di Kota Salatiga bisa terlindungi dan bisa bekerja sesuai
jam yang di tetapkan di Undang-Undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Adapun
10
Wawancara dengan ibu Rut Agus pelaku usaha di cucian motor 2 domba 15 november 2015.
11
pekerja anak khususnya di Kota Salatiga. dari hasil wawancarara peneliti dengan bapak
Jamaludin bahwa Dinas Tenaga kerja hanya memiliki data tabel pekerja anak di tahun 2012.
Melihat kondisi pekerja anak di Salatiga seharusnya pekerja anak tersebut bekerja sesuai
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, namun pada kenyataannya peneliti melihat dalam
lapangan masih banyak oknum-oknum pengusaha baik itu di pertokoan, tempat cucian mobil,
bengkel dan di pasar yang mempekerjakan anak tidak sesuai dengan undang-undang yang
berlaku, oleh karena itu pengawasan dinas Tenaga kerja seharusnya melakukan perlindungan
terhadap pekerja anak agar para pekerja anak dapat bekerja sesuai undang-undang Nomor 13
tahun 2003.
Keaslian Penelitian
Ada skripsi yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pekerja, skripsi yang
ditulis oleh Anka Okyulan Nonandi dengan judul “PERLINDUNGAN PENGUPAHAN
TERHADAP PEKERJA TOKO CAHAYA CELL DAN TOKO VALESCA CAKE
AND BAKERY AMBARAWA”. Rumusan masalah yang dibahas dalam skripsi ini
adalah Bagaimanakah perlindungan pengupahan terhadap pekerja di Toko Cahaya Cell
dan Toko Valesca Cake and Bakery di Ambarawa, serta apakah yang menjadi sebab
belum diberikannya perlindungan hukum pengupahan di Ambarawa.
Maka berdasarkan latar belakang permasalahan yang diuraikan di atas, Penulis
bermaksud menulis skripsi dengan judul “PENGAWASAN DINAS KETENAGAKERJAAN
KOTA SALATIGA TERHADAP PENGGUNAAN PEKERJA ANAK DI SEKTOR
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana upaya pengawasan oleh Disnaker terhadap pekerja anak di sektor
informal kota salatiga?
2. Apa kendala dalam pengawasan oleh Disnaker terhadap pekerja anak di sektor
informal kota salatiga?
C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini tujuan yang diharapkan yaitu:
1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk pengawasan oleh Disnaker terhadap pekerja
anak di sektor informal di kota salatiga.
D. Manfaat penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan mampu meberikan manfaat yang positif yaitu :
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi bahan-bahan yang akan diberikan
dalam mata kuliah ilmu hukum, dan diharapkan juga akan bermanfaat untu meberikan
kontribusi pemikiran-pemikiran bagi pihak-pihak yang merasa tertarik dalam masalah
yang akan dibahas.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan refrensi bagi pihak-pihak yang
hukum yang memberikan perlindungan terhadap pekerja anak yang bekerja pada
sektor informal.
E. Metode Penelitan
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriptif analisis, yaitu
menggambarkan realitas sosial dari fakta-fakta yang ditemukan dalam perlindungan
hukum pekerja anak di sektor informal oleh Disnaker kota Salatiga.
2. Metode pendekatan
Metode pendektan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah
pendekatan secara Sosio Legal. Pendekatan sosio legal adalah suatu pendekatan
dalam penelitian hukum yang menempatkan hukum sebagai gejala sosial yang lebih
menitik beratkan perilaku individu atau masyarakat dalam kaitannya dengan
hukum.12 Terkait dengan pengawasan dan perlindungan hukum terhadap pekerja
anak di sektor informal kota Salatiga.
3. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi penggunaan data sebagai
berikut:
a. Data Primer
12
Data primer yaitu data yang diperoleh dari studi lapangan. Data primer
dalam penulisan ini diperoleh dengan cara interview/wawancara terhadap
pelaku usaha, pekerja anak dan pihak Disnaker kota Salatiga yang terkait
dengan pekerja anak dibawah umur di sektor informal. Banyak hal yang di
kaji melalui perlindungan hukum pekerja anak di bawah umur di sektor
informal di kota salatiga tersebut, mengingat anak merupakan penerus
generasi bangsa.
b. Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan
dengan cara melakukan study dokumen dan study literature dalam
mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis, konsep-konsep,
pandangan-pandangan, doktrin serta isi kaedah hukum yang menyangkut
perlindungan hukum terhadap pekerja anak di sektor informal di kota
Salatiga. Jenis data sekunder dari penulisan ini terdiri dari bahan buku
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
1) Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, yang
terdiri dari:
1. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
4. konvensi international labour organization (ILO) No. 182
larangan dan tindakan penghapusan bentuk-bentuk terburuk
pekerja anak.
Unit amatan terdiri dari:
1. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
3. konvensi international labour organization (ILO) No. 182
larangan dan tindakan penghapusan bentuk-bentuk terburuk
pekerja anak.
4. Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 10 Tahun 2008
tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota
Salatiga.
5. Pihak terkait Disnaker Salatiga.
6. Pekerja anak di bawah umur di sektor informal.
Unit analisis : tentunya yang berkaitan dengan pengawasan
terhadap pekerja anak di sektor informal oleh Disnaker.
2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan
dari para sarjana; hasil-hasil penelitian dari kalangan hukum;
peraturan pelaksanaan undang-undang; dan sebagainya.
3) Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, yang terdiri dari kamus-kamus, dan sebaginya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Lazimnya suatu penelitian maka dalam penelitian ini digunakan teknik-teknik
pengumpulan data dengan harapan mampu diperoleh data yang benar-benar valid dan
untuk itu digunakan teknik-teknik dalam pengumpulan datanya melalui :
a. Survey awal berupa pengambilan informasi dari instansi dalam hal ini Pihak
terkait Disnaker kota Salatiga, dan pekerja anak di bawah umur .
b. Wawancara yang tersusun berdasarkan apa yang telah disampaikan oleh
informan yang di terima dijadikan bahan untuk merumuskan sejumlah daftar
pertanyaan yang sebelumya telah disiapka dan disusun terlebih dahulu.
c. Study pusatka (library research) meliputi mempelajari berbagai dokumen
dan bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan perlindungan hukum
pekerja anak.
F. Sistematika Penulisan
Agar penyusunan skripsi ini lebih terarah dan mudah dipahami maka penulisan ini
BAB I pendahuluan, dalam bab ini dikemukakan mengenai latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian,
sistematika penulisan
BAB II Bab ini berisikan uraian hasil penelitian dan pembahasan terhadap
permasalahan penelitian. Penulis akan menguraikan hasil penelitian tentang
kasus yang dipelajari, yaitu tentang Pengawasan Pekerja Anak di Sektor
Informal oleh Disnaker Kota Salatiga.