7 A. Studi Kepustakaan
Berbagai penelitian yang mengkaji mengenai perilaku seks bebas sudah banyak dilakukan. Hal tersebut beragam dari berbagai segi dan sudut pandang, misalnya Seperti Jurnal oleh Silvia (2009) yang berjudul “Netralisasi Perilaku Seks Bebas (One Night Stand) pada Perempuan Dewasa Muda”. Dalam penelitian tersebut, Silvia menjelaskan mengenai perubahan sosial budaya yang berdampak pada seksualitas. Selain faktor media massa yang menyiarkan berbagai informasi mengenai seks, fasilitas sarana dan prasarana juga berpengaruh .
Subjek penelitian yang dilakukan Silvia adalah perempuan dewasa muda, yaitu perempuan usia 18-40 tahun yang melakukan one night stand, yaitu hubungan seks bebas yang dilakukan secara alami dan sangat singkat satu malam saja. Penawaran tips dan trik cara melakukan hubungan seksual yang diberikan oleh majalah-majalah itu secara langsung juga telah membuat informasi dan untuk seksualitas menjadi mudah disebarluaskan dan belajar jadi buat itu sendiri sebagai konsumsi publik yang biasa dak lagi tabu untuk dibicarakan. Apabila disesuaikan dengan teori belajar sosial Albert Bandura, media massa bisa menjadi agen utama selain keluarga dan lingkungan dan guru disekolah dalam memperkenalkan sesuatu. Melalu media massa ini juga akan dapat dan mencoba hal hal baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Begitu pula dengan
dampak dari perkembangan isu dalam media massa yang secara langsung masyarakat sudah terbuka dengan adanya perubahan dan perkembangan karena pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut. Bila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam menilai suatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu, dan pembelajaran itu dapat mengakibatkan pergesaran dan perubahan standarisasi jalur-jalur kebudayaan. Walhasil hubungan seks akan menjadi perbincangan yang tidak lagi menjadi tabu untuk dibicarakan dan semakin mudah dilakukan oleh siapa saja.
Untuk menguatkan studi kepustakaan ini, peneliti akan menjelaskan : 1. Kriminologi
Nama kriminologi ditemukan oleh P. Topinard (1890-1911) seorang ahli antropologi Prancis ; Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelejari tentang kejahatan. Secara harafiah berasal dari kata “crime” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat Santoso dan Zulfa (2001;9).
Topinard sendiri berkata, bahwa kriminologi menghimpun berbagai kontribusi dari berbagai ilmu pengetahuan guna memberikan penjelasannya tentang sebab-sebab timbulnya kejahatan, pelaku kejahatan serta upaya penanggulangannya sebagai wujud dari reaksi sosial terhadap kejahatan (Dermawan kemal, 2000;2).
Reaksi masyarakat terhadap kejahatan sebagai salah satu aspek kajian kriminologi dapat terwujud secara formal sebagai sistem peradilan pidana namun
juga dapat terwujud secara informal antara lain sebagai usaha-usaha pencegahan kejahatan secara swakasa oleh masyarakat. Kedua bentuk reaksi tersebut, baik formal maupun informal merupakan perwujudan dari usaha pengamanan masyarakat (social defence).
Namun demikian melihat pengertian bahwa kriminologi adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan dan penjahat maka tentunya tugas dari kriminologi tidaklah sederhana.Kriminologi harus dapat menjelaskan faktor-faktor atau aspek- aspek yang terkait dengan kehadiran kejahatan dan menjawab pula sebab-sebab seseorang melakukan perbuatan jahat. Coba kita bayangkan bahwa dalam upaya mempelajari kejahatan maka kita perlu mengetahui faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya perbuatan yang telah dibatasi sebagai jahat.untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yan menyebabkan mnculnya perbuatan jahat maka kita juga harus menggali pengetahuan sebab-sebab seorang pelaku kejahatan melakukan perbuatan jahatnya.
Dengan kata lain, dengan mempelajari kriminologi seseorang tidak hanya dapat menjelaskan masalah-masalah kejahatan tetapi juga diharapkan akan dapat mengetahui dan menjelasakan sebab-sebab mengapa kejahatan itu timbul dan bagaimana pemecahan masalahnya.
Kesadaran akan ketidak-sederhanaannya, perhatian kriminologi tersebut akan berpengaruh pada luasnya lingkup perhatian studi kriminologi itu sendiri.
Jadi obyek studi kriminoloi, menurut Meinnheim, tidak saja perbuatan-perbuatan yang oleh penguasa dinyatakan dilarang, tetapi juga tingkah laku yang oleh
1
2
masyarakat (kelompok-kelompok masyarakat) diangap tidak disukai, meskipun tingkah laku ini tidak dilarang dalam hukum pidana.
Gambar II.1 Ruang lingkup/objek studi kriminologi
Sumber :Dermawan, Pengantar Kriminologi;2004
Bulatan dengan angka 1 menunjukkan perbuatan-perbuatan yang melanggar norma-norma prilaku masyarakat, termasuk pelanggaran norma-norma perilaku yang telah diundangkan dalam hukum pidana, yakni pendapat pada bulatan angka 2. Dengan demikian, bulatan dengan angka 2 dapat disebut sebagai kejahatan karena melanggar hukum pidana.Bulatan dengan angka 1 diluar angka 2 adalah perbuatan-perbuatan yang melangar norma-norma perilaku masyarakat dan dirasakan merugikan masyarakat namun tidak atau belum diatur dalam hukum pidana.Perbuatan-perbuatan ini, secara kriminologis disebut juga sebagai kejahatan.Gambar kotak adalah norma-norma perilaku yang disepakati masyarakat.
Jadi gambar kotak di luar bulatan angka 1 adalah perbuatan-perbuatan yang konformis. Artinya, perbuatan-perbuatan tersebut sesuai dengan norma-norma yang disepakati oleh masyarakat (Dermawan Kemal, 2000;4)
Maka dengan demikian, batasan kriminologi secara sempit adalah ilmu pengetahuan yang mencoba menerangkan kejahatan dan memahami mengapa seseorang melakukan kejahatan. Dan secara luas, kriminologi diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk mendapatkan pengertian kejahatan dan untuk pencegahan kejahatan, termasuk di dalamnya pemahaman tentang pidana atau hukuman (Dermawan Kemal, 2000;6)
Perbuatan yang terjadi di masyarakat yang tidak disukai oleh masyarakat merupakan suatu kejahatan.Pola tingkah laku yang merugikan masyarakat, baik secara fisik maupun materi, baik yang dirumuskan dalam hukum maupun tidak.Jadi suatu pebuatan yang terjadi di masyarakat yang merugikan masyarakat dalam ilmu kriminologi dikatakan sebagai kejahatan.
(dalam Santoso,2001;9) Bonger membagi kriminologi menjadi 2 bagian, yaitu kriminologi murni dan kriminologi terapan, berikut uraiannya :
a. Kriminologi murni
Kriminologi Murni terdiri dari :
a.1. Antropologi kriminal, yaitu pengetahuan tentang manusia yang jahat (somatis). Ilmu pengetahuan ini memberikan jawaban atas pertanyaan tentang orang jahat dan tanda-tanda tubuhnya.
a.2. Sosiologis kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatau gejala masyarakat dan sampai mana letak-letak kejahatan dalam masyarakat.
a.3. Psikologis kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut jiwanya.
a.4. Penology, yaitu ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya hukuman.
a.5. Psikotopologi dan neuropatologi kriminal, yaitu ilmu tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf.
b. Kriminologi terapan
Kriminologi terapan terdiri dari :
b.1. Hygiene kriminal, yaitu usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan.
b.2. Politik kriminal, yaitu usaha penagulangan kejahatan di mana kejahatan telah terjadi.
b.3. Kriminalistik, yaitu ilmu tentang pelaksaaan penyidik tehnik kejahatan dan pengusutan kejahatan. (Santoso dan Achjani, 2001:9;10)
Dalam buku (Susanto,2001:12) ilmu kriminologi modern dengan tiga aliran pemikiran yang digunakan untuk menjelaskan gejala suatu kejahatan, yaitu :
a. Kriminologi Klasik
Yang dimaksud dengan kriminologi klasik yaitu suatu gambaran tentang sebuah kejahatan dan pelaku pada umumnya dipandang dari sudut hukum dan diartikan sebagai tindakan yang melanggar hukum pidana dan undang-undang pidana.
Kriminologi klasik mendasarkan pandangannya bahwa intelegensi dan rasionalitas merupakan ciri fundamental manusia dan menjadi dasar bagi penjelasan prilaku manusia, baik yan bersifat perorangan maupun yang bersifat kelompok.
Kejahatan diartikan sebagai perbuatan atau pelanggaran yang bertentangan dengan undang-undang pidana, serta penjahat adalah sebutan bagi seseorang yang melakukan perbuatan jahat tersebut.
Dalam hubungan ini maka tugas kriminologi adalah membuat pola dan menguji sistem hukuman yang dapat menimalisirkan terjadinya tindakan kejahatan.
b. Kriminologi Positivis
Kriminologi positivis adalah suatu aliran yang bertolak dari pandangan bahwa perilaku manusia di tentukan oleh faktor-faktor yang diluar kontrolnya.
Kriminologi positivis berpandangan bahwa prilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya baik yang berupa faktor biologis maupun kultural.
Hal ini berarti manusia bukan mahluk yang bebas untuk menuruti dorogan keinginan dan intelegensinya, akan tetapi berarti mahluk yang dibatasi atau ditentukan oleh perangkat situasi kultural.
Di samping itu aliran positivis dapat dipandang sebagai ilmu yang pertama kali dalam bidang kriminologi yang memformulasikan dan menggunakan cara pandang metodologi, dan logika ilmu pengetahuan alam didalam mempelajari manusia. Dasar yang sesungguhnya dari positivis dalam kriminologi adalah konsep tentang kejahatan yang banyak (multiplr factor causation), yaitu faktor- faktor yang alami atau dibawa manusia dan dunianya, yang sebagian bersifat biologis dan sebagian karena pengaruh lingkungan.
c. Kriminologi Kritis
Kriminologi kritis adalah suatu aliran yang berkembang setelah tahun 1976- an. Aliran ini tidak mempermasalahkan apakah perilaku manusia itu bebas atau dipengaruhi oleh faktor-faktor dan lebih mengarah pada proses yang terjadi.
Kriminologi kritis berpendapat bahwa fenomena kejahatan sebagai konstruksi sosial, artinya apabila masyarakat mendefinisikan tindakan tertentu sebagai kejahatan, maka orang-orang tertentu dan tindakan-tindakan mungkin waktu tertentu memenuhi batasan sebagai kejahatan.
Kriminologi kritis bukan hanya mempelajari perilaku dari orang-orang yang mendefinisikan sebagai kejahatan, akan tetapi juga dari agen-agen “control social” (aparat penegak hukum), disamping mempertanyakan dijadikan tindakan- tindakan tertentu sebagai kejahatan. (Susanto, 2011:6;10).
2. Seks Bebas
Seks dalam bahasa Latin adalah sexus, yaitu merujuk pada alat kelamin.
Seks hanya memiliki pengertian mengenai jenis kelamin, anatomi dan fisiologisnya (Luthfie, 2002;19), sedangkan menurut Budiarjo seksual merupakan sesuatu yang berhubungan dengan seks dan reproduksi juga berhubungan dengan kenikmatan yang berkaitan dengan tindakan reproduksi (dalam Luthfie, 2002;19).
Budiarjo mendefinisikan seksualitas merupakan aspek-aspek dari individu yang membuatnya mudah untuk berperilaku seksual dan juga membuatnya tertarik dengan lawan jenis. Sementara itu menurut Thornburg menjelaskan seksualitas meliputi karakteristik fisik dan kapasitas untuk berperilaku seks yang dipadukan
dengan hasil proses belajar psikoseksual (nilai, sikap dan norma) sehubungan dengan perilaku tersebut (dalam Luthfie, 2002;20).
Perilaku Seksual dapat didefinisikan sebagai bentuk perilakuyang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis maupun sejenis. Menurut Simkin, perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk tingkah laku ini beraneka ragam mulai dari perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama (Amrillah, 2006;10).
Paat mendefinisikan perilaku seksual merupakan perilaku yang dihayati oleh segala bentuk manifestasi naluri seksual manusia dalam kehidupannya. Sementara itu menurut Djubaidah dan Ellyawati mendefinisikan perilaku seksual sebagai hubungan khusus antara pria dan wanita yang sifatnya erotis. Perilaku seksual yang dicetuskan individu merupakan implikasi suatu proses mental terhadap situasi dan kondisi konkrit jasmani yang mengarah pada pola pemenuhan kepuasan psikis (dalam Amrillah, 2006;10).
Menurut Chaplin, tujuan seksual sendiri adalah untuk kesenangan atau kepuasan seksual atau juga pengendoran ketegangan seksual. Kartono juga menjelaskan bahwa seks adalah mekanisme bagi manusia untuk melanjutkan keturunan. Seks bukan hanya perkembangan dan fungsi primer saja, tetapi juga termasuk gaya dan cara berperilaku kaum pria dan wanita dalam hubungan interpersonal atau sosial (dalam Amrillah, 2006;9)
Kartini Kartono (1999;97) mendefinisikan bahwa seks bebas tidak beda dengan pelacuran (prostitusi) karena aktivitas seksual yang mereka lakukan tidak lagi mengindahkan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat.
Seks pranikah merupakan aktivitas seksual yang dilakukan tanpa mengindahkan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat yang mengaturnya.
Selain itu relasi seks mereka bersifat tidak tetap atau cenderung tidak setia pada pasangan mereka. Sebagian besar remaja yang terjerumus pada perilaku seks pranikah merupakan akibat dari stimuli atau rangsangan melalui gambar-gambar porno, seringnya nonton film porno, dan stimuli melalui lingkungan pergaulan misalnya seorang teman yang menceritakan pengalaman seksualitasnya.
Menurut Reschovsky dan Gerner (1991;95) Banyak faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku seks sebelum menikah. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah tempat tinggal, keluarga, kawan, dan komunitas.
Faktor-faktor lainnya dapat diidentifikasi dari dalam individu. Dari kajian berbagai literatur baik yang berupa hasil-hasil penelitian maupun textbook, Clayton dan Bokemeier (1980) menyimpulkan bahwa perilaku seks sebelum nikah erat sekali kaitannya dengan sikap permisif terhadap perilaku seks sebelum nikah tersebut. Sikap sebagai predisposisi perilaku memang tidak selamanya akan manifes.
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap dan perilaku bisa konsisten apabila sikap dan perilaku yang dimaksud adalah spesifik dan ada relevansinya satu dengan yang lain. Karena sikap permisif terhadap hubungan seks sebelum
nikah dan perilaku seks sebelum nikah spesifik dan relevan satu dengan yang lain, maka sikap tersebut bias menjadi prediktor bagi perilakunya.
Dijabarkan oleh ahli-ahli lain, sikap tidak permisif terhadap hubungan seks sebelum menikah atau disebut traditional permissiveness indikatornya adalah aktivitas keagamaan dan religiusitas (Clayton dan Bokemeier, l980;28).
Hasil penelitian Staples menunjukkan bahwa keaktifan datang ke gereja berkorelasi negatif dengan sikap permisif terhadap hubungan seks sebelum nikah.
Berkaitan dengan sikap permisif adalah orientasi terhadap kebebasan.
Konservatisme cenderung menghambat munculnya sikap permisif sedangkan orientasi kebebascenderung memupuk sikap permisif. Bagi laki- laki, seringnya jatuh cinta atau berganti-ganti pacar juga mempengaruhi sikap permisif terhadap hubungan seks sebelum nikah (Staples, 1978).
Meskipun generalisasi pendapat ini masih perlu diuji, namun bila ditinjau dari konsep conditioning tampaknya bisa diterima. Romantisme pacaran yang dominan dirasakan oleh mereka yang jatuh cinta tidak jarang berkembang dan mendorong ke arah perilaku seks. Apabila pasangan dalam pacaran itu sama-sama memiliki dorongan ke arah perilaku seks, maka kemungkinan terjadinya hubungan seks sebelum nikah akan mudah terjadi (Faturochman,1990).
Dorongan seks belum tentu bisa terealisir tanpa ada kesempatan untuk mewujudkannya. Oleh karena itu faktor kesempatan ikut mempengaruhi terwujudnya hubungan seks Schulz,et.al(dalam Clayton dan Bokemeier, 1980).
Dari uraian-uraian di atas bisa disimpulkan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku seks sebelum nikah dapat dibedakan antara
faktor-faktor di luar individu dan di dalam individu. Faktor di dalam individu yang cukup menonjol adalah sikappermisif. Sikap permisif itu sendiri banyak dipengaruhi oleh faktor luar dan dalam diri individu. Dengan demikian faktor sikap dapat dijadikan prediktor yang kuat terhadap munculnya perilaku seks sebelum menikah. Oleh karena itu untuk memahami perilaku seks sebelum menikah bisa dilihat dari sikapnya.
Selanjutnya berbagai faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku seks tersebut tidak bisa berlaku sama untuk pria dan wanita. Pendapat para ahli dan hasil- hasil penelitian menunjukkan bahwa pria lebih permisif sikapnya dan aktif melakukan hubungan seks sebelum menikah.
3. Perilaku Penyimpangan
Dalam kehidupan masyarakat, keadaan tertib dan nyaman merupakan suatu tujuan yang ingin dicapai bersama. Untuk mewujudkan hidup yang aman, tertib, dan nyaman maka dalam masyarakat diciptakan suatu aturan yang telah disepakati bersama untuk dijalankan. Namun tidak semua masyarakat mematuhi peraturang yang telah disepakati. Keadaan seperti itu disebut dengan penyimpangan sosial (social deviation). Penyimpangan adalah setiap perilaku yang dinyatakan sebagai suatu pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat (Horton, 1984;191).
Penyimpangan sosial atau social deviation merupakan tindakan yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok sosial yang menyimpang dari kaidah- kaidah sosial yang berlaku di masyarakat. Suatu tindakan dikatakan menyimpang jika tindakan tersebut keluar dari tatanan/patokan/norma yang berlaku di dalam
masyarakat tersebut. Sedangkan label seseorang atau kelompok disebut melakukan penyelewengan sosial apabila orang atau kelompok tersebut berbuat sesuatu di luar pengawasan sosial atau sesuatu yang tidak boleh dalam satuan sosio budaya masyarakat yang bersangkutan. dimana perkembangan dan pembinaannya diawasi oleh wakil masyarakat (Sugiyanto, 2002;45).
Kartini (1999;17) penyimpangan tingkah laku di bagi menjadi tiga, diantaranya adalah deviasi situasional yang disebabkan oleh pengaruh bermacam- macam kekuatan situasional/sosial di luar individu; atau oleh pengaruh situasi dalam mana pribadi yang bersangkutan menjadi bagian integral daripadanya.
Situasi tadi memberikan pengeruh yang memaksa, sehingga individu terpaksa harus melanggar peraturan dan norma-norma umum atau hukum formal. Jika anak istri hampir-hampir mati kelaparan, dan tidak ada jalan lain untuk mendapatkan bahan makanan kecuali dengan cara mencuri, sehingga pria yang bersangkutan terpaksa harus mencuri maka jadilah ia seorang penjahat situasional. Dan deviasinya bersifat situasional. Contoh lain, gadis-gadis tertentu melakukan pekerjaan wanita tuna susila (WTS), menjadi wanita tuna susila disebabkan oleh perasaan tidak puas terhadap pekerjaan yang lalu, karena upahnya tidak mencukupi untuk membeli perhiasan dan pakaian yang diinginkan.
Supaya hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan, maka dirumuskan norma-norma masyarakat. Mula-mula norma tersebut terbentuk secara tidak sengaja, namun lama- kelamaan norma tersebut dibuat secara sadar (Soekanto, 2005).
Horton (1984;191) menyebutkan ciri-ciri penyimpangan sosial antara lain adalah:
a. Penyimpangan yang diterima dan yang ditolak
Para ahli sosiologi belum banyak melakukan studi menyangkut bentuk- bentuk penyimpangan yang diterima. Untuk tujuan praktis, studi sosiologi mengenai penyimpangan yang ditolak. Banyak perilaku menyimpang yang dilarang oleh hukum. Dalam banyak hal, studi terhadap perilaku menyimpang merupakan studi terhadap perilaku kriminal.
b. Penyimpangan yang relatif dan yang mutlak
Hampir semua orang dalam masyarakat kita malakukan penyimpangan pada batas-batas tertentu, hanya saja beberapa diantaranya lebih sering melakukan penyimpangan dan lebih tinggi kadar penyimpangannya, dan beberapa orang melakukan penyimpangan mereka lebih tersembunyi dari pada orang lain. Sampai batas-batas tertentu dapat dikatakan bahwa seorang menyimpang adalah orang yang melakukan penyimpangan secara terbuka yang oleh orang lain dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
c. Penyimpangan terhadap budaya nyata atau budaya ideal
Kesenjangan nilai-nilai utama antara budaya ideal (apa yang diucapkan orang) merupakan masalah yang penting. Menyangkut kesenjangan yang dianggap penting tersebut, diperlukan adanya landasan dasar normatif yang berupa budaya ideal atau budaya nyata yang dipegang secara tersirat ataupun dinyatakan secara tegas.\
d. Norma-norma penghindaran
Bila mana adat atau peraturan hukum melarang suatu perbuatan yang ingin sekali diperbuat oleh banyak orang, maka kemungkinan besar norma-norma penghindaran akan muncul. Norma tersebut merupakan pola perbuatan orang yang dilakukan untuk memenuhi keinginan mereka, tanpa harus menentang nilai tata kelakuan secaraterbuka.
e. Penyimpangan bersifat adaptif (menyesuaikan)
Penyimpangan merupakan suatu ancaman, tetapi juga alat pemeliharaan stabilitas sosial. Disatu pihak masyarakat hanya dapat melakukan kegiatannya secara efisien bila terdapat ketertiban (keteraturan) dan kepastian dalam kehidupan sosial. Perilaku menyimpang mengancam ketertiban dan kepastian tersebut. Dilain pihak perilaku menyimpang merupakan salah satu cara untuk menyesuaikan kebudayaan dengan perubahansosial.
Perilaku menyimpang seringkali merupakan awal dari penyesuaian dimasa datang. Tanpa suatu perilaku menyimpang, penyesuaian budaya terhadap perubahan kebutuhan dan keadaan akan menjadi sulit. Oleh karena itu suatu masyarakat mengalami perubahan memerlukan perilaku menyimpang, bila mana masyarakat itu ingin berfungsi secara efisien. Kebanyakan penyimpang menimbulkan akibat yang merusak bagi seseorang dan masyarakat. Untuk dapat memisahkan antara penyimpangan yang merusak dan penyimpangan yang bermanfaat bagi masyarakat hari esok (Horton, 1984:195).
4. Landasan Teori
Dalam penelitian ini, Peneliti mengangkat Teori Netralisasi. David Matza menegaskan, “Theory neutralization stresses youth’s learning of behavior rationalizations that enable them to overcome societal values and norms and engage in illegal bahaviour. Teori netralisasi menekankan tentang pembelajaran kaum muda untuk merasionalisasi perilaku menyimpang yang dilakukan sehingga diharapkan dapat memperdaya bekerjanya nilai-nilai kemasyarakatan dan norma- norma dalam masyarakat. Sykes dan Matza menjabarkan 5 (lima) teknik netralisasi yang dapat dilakukan oleh pelaku kejahatan, yaitu sebagai berikut.
a. Denial of Responsibility, yaitu pelaku menggambarkan dirinya sendiri sebagai orang-orang yang tidak berdaya dalam menghadapi tekanan- tekanan masyarakat (misalnya kurang mendapat kasih sayang dari orang tua, berada pergaulan atau lingkungan yang kurang baik).
b. Denial of Injury, yaitu pelaku berpandangan bahwa perbuatan yang dilakukan tidak menyebabkan kerugian yang besar pada masyarakat.
c. Denial of Victim, yaitu pelaku memahami diri mereka sendiri sebagai
“sang penuntut balas”, sedangkan para korban dari perbuatannya dianggap sebagai orang yang bersalah.
d. Condemnation of the Condemners, yaitu pelaku beranggapan bahwa orang yang mengutuk perbuatan yang telah dilakukan sebagai orang- orang munafik, hipokrit, sebagai pelaku kejahatan terselubung, karena dengki, dan sebagainya.
e. Appeal to Higher Loyalities, yaitu pelaku merasa bahwa dirinya terperangkap antara kemauan masyarakat dan ketentuan hukum yang ada di mayarakat dengan kebutuhan kelompok yang lebih kecil, yaitu kelompok tempat mereka berada atau bergabung.
Untuk lebih memahami teori, Peneliti tertarik merujuk ringkasan yang di buat pada artikel koentjoro (2012;7-8,http://koentjoro-psy.staff.ugm.ac.id) yang menjelaskan secara sederhana bahwa Netralisasi yaitu teknik yang dikembangkan dari pandangan kritis bahwa orang yang terlibat tindak kejahatan adalah salah, mereka harus rasional, mau mempertimbangkan, dan membuat tingkah laku yang salah dapat diterima sebagai suatu kenyataan sebelum mereka melanjutkan tindakannya.
Ke lima teknik itu adalah:
a. Penolakan tanggung jawab: Anak/remaja nakal menganggap dirinya sebagai kurang bertanggungjawab pada tingkah lakunya. Ketika hal ini terjadi mereka tidak dapat membuktikan bahwa mereka tidak berbuat sebagai sebuah mekanisme yang mengarah kepada tingkah laku sosial yang terkontrol. Tindakan nakal adalah akibat dari luar seperti tidak dicintai orangtua, persahabatan yang jelek, dan perumahan yang kumuh.
b. Penolakan rasa sakit: Mereka menganggap mencuri mobil adalah meminjam. Perkelahian antar gang dipandang sebagai pertengkaran diantara pihak yang terlibat dan tidak ada orang lain yang dapat mencampurinya.
c. Penolakan korban: Dalam pandangan ini sakit bukanlah suatu masalah.
Pencurian dipandang sebagai korupsi pada pemilik toko, dan perkosaan adalah jawaban atas permintaan untuk memperkosa. Pelaku kejahatan umumnya dengan mudah merasionalisasikan tindak kejahatannya.
d. Menghukum bagi yang menyatakan salah: konsepnya adalah menolak orang yang menolak. Dimata pelaku kejahatan, polisi adalah bodoh, brutal dan korupsi; kejahatan adalah hipokrit atau penyimpangan yang tidak berbentuk.
e. Mengharap loyalitas yang lebih tinggi: Kelompok sebaya dan gang dianggapnya lebih penting dari individu. Norma gang atau kelompok sebaya lebih penting dan melibatkan loyalitas yang tinggi, lebih jika dibanding norma kemasyarakatan.
B. Kerangka Pikir
Kerangka berpikir adalah penjelasan sementara terhadap gejala yang menjadi objek permasalahan kita. Kerangka berpikir disusun berdasarkan tinjauan pustaka dan hasil penelitian yang relevan. Kerangka berpikir merupakan argumentasi kita dalam merumuskan hipotesis Usman, et.al (2011,34),.
Dalam rumusan masalah Penelitian ini telah ditemukan pokok permasalahan yang menjadi fokus studi, yaitu ; bagaimana netralisasi perilaku sek bebas yang dilakukan mahasiswa . Maka untuk memberikan jawaban atas masalah yang dirumuskan dalam Penelitian ini digunakan teori sebagai pisau analisisnya.
Gambar II.2 Kerangka Pikir
Sumber : Modifikasi Peneliti
C. Konsep Operasional
Konsep menurut definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak suatu fenomena sosial atau alami. Konsep memiliki tingkat gneralisasi yang berbeda-beda.Semakin dekat konsep kepada realita, maka semakin dekat pula konsep itu diukur (Tarigan, 2014:21).
Untuk menghindari penafsiran yang berbeda dalam penelitian ini, maka diperlukan batasan-batasan yang jelas terhadap masing-masing indikator. Adapun indikator yang akan dikemukakan tersebut antara lain :
1. Seks Bebas
Kartini Kartono (1999:97) mendefinisikan bahwa seks bebas tidak beda dengan pelacuran (prostitusi) karena aktivitas seksual yang mereka lakukan tidak lagi mengindahkan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat.
2. Kriminologi
Kriminologi adalah merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya maka kriminologi akan memusatkan perhatiannya pada kejahatan dari berbagai sisi termaksud perhatiannya terhadap pelaku kejahatan dan korban kejahatan atau reaksi masyarakat. (Kartono, 1992:5)
3. Prilaku Menyimpang
Perilaku menyimpang dapat diartikan sebagai perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan dengan norma-norma di masyarakat, artinya perilaku menyimpang itu terjadi bila seseorang tidak mematuhi patokan norma yang sudah ada (Kartini Kartono, 2005:22).