• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bonorowo Wetlands 3 (1): 1-11, June 2013 ISSN: X, E-ISSN: DOI: /bonorowo/w030101

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Bonorowo Wetlands 3 (1): 1-11, June 2013 ISSN: X, E-ISSN: DOI: /bonorowo/w030101"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

DOI: 10.13057/bonorowo/w030101

Status ekologi kepadatan predator karang Acanthaster planci kaitannya dengan kondisi terumbu karang di Perairan Tomia, Taman Nasional

Wakatobi, Sulawesi Tenggara

Ecological status on the density of coral predator Acanthaster planci related to the condition of coral reefs in Tomia waters, Wakatobi National Park, Southeast Sulawesi

ALFIAN ASMARA, MUH. ARIFIN DAHLAN, CHAIR RANI

Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, T amalanrea, Makassar, Makassar 90245, Sulawesi Selatan

Manuskrip diterima: 11 Desember 2013. Revisi disetujui: 6 April 2013.

Abstract. Asmara A, Dahlan Ma, Rani C. 2013. Ecological status on the density of coral predator Acanthaster planci related to the condition of coral reefs in Tomia waters, Wakatobi National Park, Southeast Sulawesi. Bonorowo Wetlands 3: 1-11. Acanthaster planci, otherwise known as the Crown of Thorns Starfish, is a giant starfish with many thorns and a coral-eating animal. This animal is scattered in various waters, overgrown by several coral types. This study aimed to determine: (i) the ecological status of A. planci in Tomia waters, Wakatobi National Park, (ii) the ecological condition of coral reef in Tomia waters, Wakatobi National Park, and (iii) the relation between the density of A. planci with the coral reef condition (live coral cover and dead corals). The research was conducted by survey and location determination in five stations from nine villages in the Tomia sub-district. Field data sampling was conducted by assessing coral reef conditions based on the line intercept transect (LIT) method, calculating the number of A. planci at a transect line, and measuring environmental parameters such as water flow, temperature, salinity, turbidity, and depth. The results showed that the density of A. planci in Tomia waters in a threatening status was found at Waha Station with a depth of 3-5 m and a density of 0.132 individual/m2. In contrast, the status was still normal in other stations, with a density of A. planci ranging from 0.000 up to 0.012 individuals/m2. The condition of live coral cover in Tomia waters, at 3-5 m in depth at Waitii Barat and Patua 1 Stations were still in good condition, while in Waha (II), Waha (III), and Onemay Stations in a medium category (critical). The depth of 10-13 m at Waitii Barat and Waha (II) Stations were still in a good category, and in Waha (III) Station, Onemay and Wali were in a medium category (critical). The density of A. planci in Tomia waters was negatively correlated with live coral cover and positively related to dead coral cover, but not significantly. However, in the high-density conditions of A. planci, such as at Waha Station with a depth of 3-5 m, the high density of A. planci caused a relatively high decrease in live coral cover and dead coral elevation.

Keywords: Acanthaster planci, density, coral cover condition

PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki terumbu karang (coral) dengan luas kurang lebih 60.000 km2. Terumbu karang merupakan biota laut yang berkembang biak dengan membentuk tunas. Potensi sumber daya alam kelautan tersebut tersebar di hampir seluruh Indonesia dengan beragam nilai dan fungsi, antara lain nilai rekreasi (wisata bahari), nilai produksi (sumber bahan pangan dan ornamental), serta nilai konservasi (sebagai pendukung proses ekologis dan penyangga kehidupan di daerah pesisir, sumber sedimen pantai, dan melindungi pantai dari ancaman abrasi) (Fossa dan Nilsen 1996).

Wakatobi sebagai Taman Nasional ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 393/Kpts- VI/1996 Tanggal 30 Juli 1996 dan ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.7651/Kpts-II/2002 Tanggal 19 Agustus 2002 dengan luasan sekitar 1.390.000 ha. Penunjukkan dan penetapan kawasan Taman Nasional Wakatobi sebagai taman nasional konservasi laut di Indonesia berdasar atas potensi keanekaragaman hayati

yang tinggi, khususnya ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Dalam rangka menjaga keutuhan dan kelestarian ekosistem terumbu karang di Taman Nasional Wakatobi dan sekaligus memberikan manfaat optimal bagi pemanfataan secara berkelanjutan, khususnya pada sektor perikanan dan pariwisata bahari yang menjadi andalan Pemerintah Kabupaten Wakatobi, maka perlu dilakukan upaya-upaya terpadu, khususnya dalam penanggulangan gangguan, baik yang disebabkan oleh perikanan yang merusak maupun gangguan alami akibat ketidakseimbangan alam yang menyebabkan meledaknya populasi bintang laut berduri (Acanthaster planci) di perairan laut Wakatobi (Balai Taman Nasional Wakatobi 2007).

Acanthaster planci, atau biasa dikenal sebagai Crown of Thorns Starfish, merupakan salah satu jenis bintang laut raksasa dengan jumlah duri yang sangat banyak, serta merupakan hewan pemakan karang. Hewan ini tersebar di berbagai perairan yang ditumbuhi oleh beberapa jenis karang. Kepadatan populasi A. planci di daerah terumbu karang dapat memberikan dampak negatif bagi kehidupan

(2)

karang. Tidak hanya terumbu karang di Indonesia yang mengalami kerusakan, akan tetapi berbagai kawasan perairan yang ada di dunia, seperti yang terjadi di Great Barrier Reef tahun 1981-1989 yang menyebabkan rusaknya karang sekitar 60% (Lucas 1990).

Kehadiran A. planci dalam batasan populasi normal merupakan hal yang umum di ekosistem terumbu karang.

Jika kepadatan populasi A. planci lebih dari 14 individu/1000 m2, keberadaannya sudah mengancam terumbu karang (Endean 1987). Kondisi ini menunjukkan bahwa fenomena kehadiran A. planci sudah ekstensif di beberapa perairan di Indonesia. Oleh karena itu, kehadiran pemangsa karang ini perlu terus dipantau sebagai dasar dalam suatu pengambilan tindakan pengelolaan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status ekologi A. planci di perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi, kondisi ekologi karang di Taman Nasional Wakatobi, khususnya di perairan Tomia, serta keterkaitan kepadatan A. planci dengan kondisi terumbu karang (tutupan karang hidup dan karang mati).

BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2011. Lokasi penelitian yaitu di perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Gambar 1). Analisis kekeruhan air laut dilakukan di Laboratorium Kualitas Air Jurusan Perikanan, Fakultas

Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.

Alat dan bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kapal/speed boat sebagai alat transportasi selama penelitian, Global Positioning System (GPS) untuk menentukan posisi stasiun pengamatan, peralatan selam dasar dan SCUBA untuk membantu penyelaman, pensil 2B dan Sabak sebagai alat tulis bawah air, roll-meter (50 m) sebagai transek dalam pengamatan terumbu karang, underwater camera sebagai alat bantu identifikasi dan dokumentasi penelitian, termometer untuk mengukur suhu air laut, layangan arus untuk mengukur kecepatan arus, stopwatch untuk menentukan waktu dalam pengukuran kecepatan arus, botol sampel untuk menyimpan sampel air laut, salinometer sebagai alat pengukur salinitas, dan gelas ukur 500 ml sebagai tempat mengukur salinitas air laut.

Sementara itu, bahan yang digunakan yaitu A. planci dan air laut.

Cara kerja

Survei dan penentuan lokasi

Pada tahap ini dilakukan survei awal/observasi lapangan, pengumpulan data lokasi penelitian, dan studi literatur tentang obyek penelitian. Dari hasil survei ditetapkan sebanyak lima stasiun (Tabel 1) dari sembilan desa dan Kelurahan yang ada di Kecamatan Tomia sebagai lokasi penelitian. Dari kelima stasiun tesebut, masing- masing stasiun dibagi menjadi dua sub-stasiun (dua kali pengulangan), yaitu pada kedalaman 3-5 m dan 10-13 m.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian di perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara

(3)

Tabel 1. Posisi stasiun penelitian pada perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara

Stasiun

Posisi

Desa/

Kelurahan Lintang

Selatan Bujur Timur

I 50 12’ 9,5” LS 1230 15’ 9,6” BT Waitii Barat II 50 12’ 4,0” LS 1230 15’ 9,8” BT Waha III 50 12’ 3,4” LS 1230 15’ 8,9” BT Waha IV 50 12’ 0,9” LS 1230 15’ 3,3” BT Onemay V 50 12’ 2,1” LS 1230 15’ 9,3” BT Patua 1

Tabel 2. Variabel penilaian kondisi terumbu karang berdasarkan bentuk pertumbuhan

Kategori Kode Keterangan

Acropora ACB Acropora bercabang ACT Acropora bentuk meja ACE Acropora bentuk

menjalar/mengerak ACS Acropora bentuk submasif ACD Acropora bentuk digitata Non-Acropora CB Karang bentuk bercabang

CM Karang bentuk masif

CE Karang bentuk menjalar/mengerak CS Karang bentuk submasif

CF Karang bentuk lembaran/daun CMR Karang dari famili Fungiidae

(bentuk jamur)

CME Karang api (Millepora sp.) CHL Karang biru (Heliopora sp.) Dead coral DC Karang yang barusan mati (karang mati) DCA Karang mati tertutup/ditumbuhi

alga

Alga MA Makroalga

TA Turf Algae (alga filamen) CA Alga koralin

HA Halimeda sp.

AA Gabungan berbagai alga filamen Fauna lainnya SC Karang lunak

SP Sponge ZO Zoanthid

OT Anemon, gorgonian, hydroid, ascidian, kima

Abiotik S Pasir

R Rubble (pecahan karang) SI Lumpur (silt)

WA Air (jika lebih dari 50 cm, hanya terlihat air)

RCK Batuan

Tahap pengambilan data lapangan

Penilaian kondisi terumbu karang. Penilaian kondisi terumbu karang dilakukan dengan metode line intercept transect (LIT) (English et al. 1994). Pengambilan data tutupan dasar terumbu karang dilakukan berdasarkan bentuk pertumbuhan (Tabel 2). Transek diletakkan sejajar garis pantai sepanjang 50 m pada setiap sub-stasiun.

Pengukuran panjang tutupan dasar dilakukan sampai ketelitian 1 cm.

Kepadatan Acanthaster planci. Pengambilan data dilakukan pada titik pengamatan line intercept transect (LIT). Pengamatan dilakukan pada area 2,5 m di sisi kiri dan kanan sepanjang garis transek dengan menghitung jumlah A. planci.

Pengukuran data parameter lingkungan. Pengukuran parameter lingkungan dilakukan secara in situ pada setiap stasiun pengamatan, meliputi suhu, salinitas, arus permukaan, dan kedalaman. Adapun pengamatan tingkat kekeruhan dilakukan di laboratorium dengan metode pengukuran sebagai berikut.

Suhu, Pengukuran suhu dilakukan pada setiap stasiun yang telah ditentukan dengan menggunakan termometer.

Termometer dicelupkan ke dalam air laut, kemudian angka yang ditunjuk pada termometer diamati.

Kekeruhan, Pengukuran tingkat kekeruhan dilakukan dengan mengambil sampel air pada setiap stasiun dengan menggunakan botol sampel 600 ml, kemudian sampel air laut disimpan di dalam cool box. Air laut selanjutnya dianalisis di laboratorium dengan menggunakan Turbidimeter Cole Parmer model 8391-37.

Arus permukaan, Pengukuran kecepatan arus permukaan air laut dilakukan dengan menggunakan layang- layang arus. Pengamatan dilakukan dengan melepas layang-layang arus dan mengukur selang waktu yang dibutuhkan hingga tali layang-layang arus terbentang hingga pada jarak yang telah ditentukan (5 m) dengan menggunakan stopwatch. Pengukuran kecepatan arus dilakukan di setiap stasiun.

Salinitas, Pengukuran salinitas dilakukan di setiap stasiun dengan menggunakan salinometer. Sampel air laut dimasukkan ke dalam gelas ukur (500 ml), kemudian salinometer dicelupkan ke dalam gelas ukur hingga salinometer tidak bergerak. Nilai salinitas yang ditunjuk pada alat tersebut selanjutnya dicatat.

Kedalaman, Pengukuran kedalaman dilakukan di setiap sub-stasiun bersamaan dengan pengambilan data tutupan karang. Kedalaman dasar perairan (terumbu karang) dapat diketahui melalui deep gauge pada selang regulator alat selam.

Analisis data

Penilaian kondisi terumbu karang

Untuk mendapatkan gambaran kondisi ekosistem terumbu karang, dilakukan pengambilan data tutupan dasar, kemudian dihitung nilai persentase tutupan untuk setiap kategori berdasarkan petunjuk English et al. (1994) sebagai berikut.

Pc = Li/Ltotal x 100%

Dimana:

Pc = persen tutupan (%)

Li = panjang tutupan lifeform (cm) Ltotal = panjang transek (m)

Penilaian kondisi terumbu karang dikelompokkan menurut stasiun dan sub-stasiun berdasarkan nilai penutupan karang hidup (Tabel 3).

(4)

Tabel 3. Kategori dan persentase tutupan karang hidup (Sukmara et al. 2001)

Kategori Tutupan karang hidup (%)

Rusak 0-24,9

Kritis/sedang 25-49,9

Baik 50-74,9

Sangat baik 75-100

Status ekologi kepadatan Acanthaster planci

Untuk menghitung kepadatan A. planci maka digunakan rumus Krebs (1989) sebagai berikut.

D = n/A

Dimana:

D = kepadatan spesies (individu/m2) n = jumlah total individu (individu) A = luas total transek (m2)

Kategori status ekologi kepadatan A. planci berdasarkan Endean (1987) yaitu dikategorikan ‘alami’ jika kepadatannya kurang dari 14 individu/1000 m2 (0,014 individu/m2) dan ‘ancaman’ jika kepadatannya lebih dari 14 individu/1000 m2. Status ekologi kepadatan A. planci selanjutnya dikelompokkan menurut stasiun dan sub- stasiun dan disajikan dalam bentuk grafik.

Keterkaitan antara kepadatan Acanthaster planci dengan kondisi terumbu karang

Keterkaitan antara kepadatan A. planci dengan tutupan karang hidup dan tutupan karang mati dianalisis dengan analisis regresi sederhana dengan formula Sudjana (1989).

Y = a + b x

Dimana:

Y = tutupan karang hidup atau karang mati (%) a,b = koefisien regresi

x = kepadatan Acanthaster planci (individu/m2)

Selain itu juga dilakukan analisis secara deskriptif dengan mengelompokkan status kepadatan A. planci (alami dan ancaman) dan dihitung rata-rata penutupan karang hidupnya berdasarkan status kepadatan A. planci. Adapun hasilnya disajikan dalam bentuk grafik histogram.

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran umum lokasi penelitian

Tomia merupakan salah satu pulau dari empat gugusan pulau yang ada di Kepulauan Wakatobi dengan luas pulau sekitar 52,4 km2. Semula gugusan pulau tersebut dikenal dengan nama Kepulauan Tukang Besi, karena sejak dahulu penduduk di kepulauan tersebut dikenal sebagai pengrajin atau pandai besi. Secara administratif, Tomia merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Wakatobi,

Provinsi Sulawesi Tenggara, dimana secara geografis sebelah utara berbatasan langsung dengan Pulau Kaledupa, sebelah selatan berbatasan dengan Pulau Binongko, sebelah barat berbatasan dengan laut Flores, dan sebelah timur berbatasan langsung dengan laut Banda. Berdasarkan hasil citra satelit diketahui bahwa luas terumbu karang di Kepulauan Wakatobi mencapai 8.816,169 hektar. Di kawasan Pulau Tomia, rataan terumbu karang mencapai 1,2 kilometer untuk jarak terjauh dan 130 m untuk jarak terdekat.

Untuk menuju Kecamatan Tomia dapat ditempuh melalui beberapa alternatif perjalanan dari Wangi-wangi (Ibu Kota Kabupaten Wakatobi) dan Kota Bau-bau yaitu:

Wanci ke Kelurahan Waha (Ibu Kota Kecamatan Tomia) dengan kapal kayu yang berangkat 3 kali seminggu dari Pelabuhan Mola dengan waktu tempuh 3-4 jam.

Bau-bau ke Kelurahan Waha (Ibu Kota Kecamatan Tomia) dengan kapal kayu yang berangkat 3 kali seminggu dari Pelabuhan Murhum dengan waktu tempuh 10-12 jam.

Penduduk di Kabupaten Wakatobi tercatat sekitar 100.000 jiwa yang tersebar di delapan kecamatan dan hampir 100% memeluk agama Islam. Sebagian besar penduduk Wakatobi memanfaatkan sumber daya laut yang ada di perairan Taman Nasional Wakatobi sebagai sumber pendapatan/mata pencahariannya. Penduduk Wakatobi terdiri dari berbagai macam etnis, diantaranya etnis Wakatobi asli, Bugis, Buton, Jawa, dan Bajau. Namun, kebudayaan etnis asli masih kuat, belum banyak mengalami akulturasi, dan masing-masing etnis hidup teratur, rukun, dan saling menghargai (Balai Taman Nasional Wakatobi 2011).

Parameter lingkungan

Pengukuran parameter lingkungan dilakukan pada setiap stasiun penelitian. Hasil pengukuran pada beberapa parameter lingkungan dapat dijelaskan sebagai berikut.

Suhu

Suhu perairan yang ada pada kesepuluh sub-stasiun berkisar antara 28-30oC. Nilai suhu tersebut merupakan kisaran suhu umum di perairan Indonesia, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nontji (1993), bahwa suhu air permukaan di perairan nusantara berkisar antara 28- 31ºC. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa kisaran suhu di setiap stasiun hampir sama dan kisarannya sangat sesuai untuk kehidupan A. planci. Menurut Bikerland dan Lucas (1990), kisaran suhu yang optimal bagi A. planci berkisar antara 28-33oC, sehingga pada semua lokasi penelitian dapat ditemukan A. planci. Bikerland dan Lucas (1990) lebih lanjut mengemukakan bahwa suhu yang terlampau tinggi atau terlampau rendah sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup A. planci, pada kondisi ekstrim, yaitu 14oC dan 34oC, A. planci dapat mengalami tingkat kematian yang besar. Adapun suhu optimal untuk perkembangan dan pertumbuhan karang berkisar antara 25- 30oC (Soekarno et al. 1983 dalam Tawakkal 2010). Suhu di lokasi penelitian tergolong suhu yang optimal bagi pertumbuhan terumbu karang. Hasil pengukuran suhu rata- rata di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

(5)

Gambar 2. Rata-rata suhu dan salinitas di lokasi penelitian perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara

Salinitas

Rata-rata salinitas pada kelima stasiun penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil pengukuran salinitas pada kelima stasiun berkisar antara 32-36 ppt, dimana pada Stasiun I, IV, dan V salinitasnya sebesar 35,5 ppt, sedangkan pada Stasiun II salinitasnya sebesar 33 ppt dan Stasiun III 34,5 ppt. Dari kelima stasiun tersebut ditemukan A. planci. Birkeland dan Lucas (1990) mengatakan bahwa toleransi salinitas bagi A. planci berkisar antara 19-25 ppt.

Dari parameter salinitas yang diperoleh di lokasi penelitian terindikasi tidak optimal untuk pertumbuhan A.

planci, sedangkan kisaran normal salinitas perairan laut untuk perkembangan dan pertumbuhan terumbu karang secara optimal adalah 32-35 ppt (Nybakken 1992). Hasil ini menunjukkan bahwa salinitas perairan pada lokasi penelitian masih optimal bagi perkembangan dan pertumbuhan terumbu karang.

Arus

Pada lokasi penelitian diperoleh kecepatan arus permukaan mulai dari 0,0641 sampai 0,1042 m/detik, dimana kecepatan arus permukaan paling lambat terjadi pada Stasiun II yaitu sebesar 0,0720 m/detik dan paling cepat pada Stasiun IV dengan kecepatan arus 0,1011 m/detik. Pada Stasiun I-III, arusnya lebih lambat dibandingkan pada Stasiun IV dan V. Pada umumnya, A.

planci terdapat di perairan dengan arus yang lambat (Aziz 1995).

Sementara itu, untuk kisaran arus yang optimal bagi terumbu karang berkisar antara 0,05-0,08 m/detik (Suharsono et al. 2001). Kondisi arus tersebut menunjukkan kisaran yang optimal bagi pertumbuhan terumbu karang (Stasiun I, II, dan III). Hal ini disebabkan pada Stasiun I-III, kecepatan arus dipengaruhi oleh adanya halangan Pulau Tolandona dan Sava, sedangkan pada Stasiun IV dan V berhadapan langsung dengan laut lepas dimana waktu penelitian arah arus dari berasal barat.

Kecepatan rata-rata arus permukaan pada kelima stasiun dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Rata-rata kecepatan arus permukaan dan kekeruhan di lokasi penelitian perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara

Kekeruhan

Nilai rata-rata kekeruhan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. Di lokasi penelitian, kekeruhan berkisar antara 1,02-10,09 NTU. Kekeruhan terendah diperoleh pada Stasiun II yaitu sebesar 2,54 NTU dan kekeruhan tertinggi diperoleh pada Stasiun V yaitu sebesar 6,40 NTU. Menurut KEPMEN.KLH No.51/2004 tentang standar baku mutu air laut untuk daerah konservasi (taman laut) dan biota laut (budi daya) adalah (<5 NTU).

Berdasarkan tingkat kekeruhan air laut, kondisi Stasiun I-IV mendukung kehidupan A. planci, sebaliknya kondisi pada Stasiun V tidak mendukung kehidupan A. planci.

Namun, hasil penelitian dari kelima stasiun, hanya Stasiun II diperoleh A. planci tertinggi dengan nilai kekeruhan 2,54 NTU, dimana seharusnya pada Stasiun I, III, dan IV diperoleh banyak A. planci, karena nilai kekeruhannya rendah. Seperti halnya dengan A. planci, kekeruhan air laut untuk terumbu karang pada Stasiun I-IV masih optimal bagi pertumbuhan terumbu karang, dan sebaliknya pada Stasiun V.

Kedalaman

Kedalaman perairan pada lokasi penelitian yaitu 3-5 m dan 10-13 m. Acanthaster planci dewasa umumnya dapat ditemukan pada kedalaman 3-5 m (Suharsono 1998).

Kedalaman maksimum yang pernah tercatat ditemukan A.

planci yaitu mencapai 65 m pada perairan Great Barrier Reef, Australia (Moran 1990). Adapun kedalaman optimum bagi pertumbuhan terumbu karang kurang dari 25 m (Nybakkaen 1992).

Kepadatan Acanthaster planci

Acanthaster planci merupakan jenis hewan pemakan karang yang dapat menyebabkan kerusakan karang.

Keberadaan hewan tersebut juga merupakan kontrol ekologi bagi karang yang pertumbuhannya cepat. Perairan Kecamatan Tomia merupakan salah satu perairan di Wakatobi yang tidak luput dari kemunculan A. planci.

Dalam penelitian ini diperoleh hasil sebaran dan kepadatan A. planci pada setiap stasiun seperti yang disajikan pada Gambar 4.

(6)

Gambar 4. Kepadatan Acanthaster planci pada setiap stasiun penelitian perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara

Tabel 4. Status ekologi Acanthaster planci di perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara

Stasiun Kedalaman Kepadatan A. planci (individu/m²)

Status ekologi

I.1 3-5 0,008 Alami

I.2 10-13 0,012 Alami

II.1 3-5 0,132 Mengancam

II.2 10-13 0,004 Alami

III.1 3-5 0,008 Alami

III.2 10-13 0 -

IV.1 3-5 0,004 Alami

IV.2 10-13 0,008 Alami

V.1 3-5 0 -

V.2 10-13 0,008 Alami

Kepadatan A. planci pada kedalaman 3-5 m bervariasi, kepadatan tertinggi ditemukan pada Stasiun II yaitu 0,132 individu/m2 dan terendah pada Stasiun V, dimana A. planci tidak ditemukan sama sekali. Sementara itu, pada kedalaman 10-13 m, kepadatan A. planci tertinggi ditemukan pada Stasiun I yaitu 0,012 individu/m2 dan terendah pada Stasiun III, dimana A. planci tidak ditemukan sama sekali.

Secara umum, pada kedalaman 3-5 m menunjukkan kepadatan yang lebih rendah dibanding pada kedalaman 10-13 m. Demikian juga pada Stasiun II (kedalaman 10-13 m), kepadatan A. planci jauh lebih tinggi dibandingkan

dengan keempat stasiun lainnya dan termasuk dalam kondisi mengancam. Adapun pada keempat stasiun lainnya, yaitu Stasiun I, III, IV, dan V, kepadatan A. planci masih dikategorikan alami/normal. Endean (1987) mengatakan bahwa tingkat kepadatan A. planci tergolong normal apabila jumlahnya kurang dari 14 individu/1000 m2 (0,014 individu/m2), sedangkan tingkat kepadatan melebihi 14 individu/1000 m2 dianggap mengkhawatirkan/

mengancam. Status ekologi A. planci di perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi di setiap stasiun disajikan pada Tabel 4.

Gambar 5. Acanthaster planci yang ditemukan pada Stasiun II di lokasi penelitian perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara

(7)

Tabel 5. Kondisi tutupan terumbu karang di lokasi penelitian perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara

Stasiun Keadalaman (m)

Tutupan terumbu karang (%)

AC NA DC DCA S RCK R SC MA SP OT

I 3-5 6,30 62,30 0,00 5,50 1,20 2,90 6,60 9,00 5,20 0,60 0,40

10-13 9,10 42,00 1,80 3,90 9,30 0,00 12,10 14,40 6,40 0,00 1,00

II 3-5 3,90 37,42 0,00 17,90 0,00 9,10 22,98 8,70 0,00 0,00 0,00

10-13 17,60 38,60 0,00 7,80 1,60 0,00 25,80 4,80 3,20 0,60 0,00

III 3-5 0,20 34,00 9,80 6,20 2,70 1,30 26,00 19,80 0,00 0,00 0,00

10-13 6,40 18,80 10,10 9,90 12,00 0,00 16,50 24,30 0,00 0,00 2,00

IV 3-5 1,60 31,30 0,00 6,80 1,00 7,20 26,60 16,20 9,30 0,00 0,00

10-13 0,40 30,60 1,00 13,00 23,60 0,00 19,90 7,80 2,80 0,00 0,90

V 3-5 0,20 63,40 0,00 4,90 2,60 6,90 4,70 7,80 4,60 4,60 0,30

10-13 2,80 45,60 2,00 15,00 0,00 0,00 3,70 17,90 11,80 0,00 1,20

Padatnya populasi A. planci pada Stasiun II diduga dipengaruhi oleh adanya faktor lingkungan. Kondisi lingkungan pada stasiun tersebut sesuai dengan kehidupan A. planci, misalnya faktor kecepatan arus dan kedalaman air laut. Dibandingkan dengan stasiun lain, arus pada Stasiun II lebih lambat (0,0720 m/detik). Menurut Aziz (1995), A. planci umumnya terdapat pada perairan dengan arus lambat. Ditambahkan oleh Suharsono (1998) bahwa A. planci sering ditemukan pada kedalaman 3-5 m. Selain faktor lingkungan, faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap ada tidaknya A. planci pada suatu daerah adalah ketersediaan makanan. Menurut Moran (1990), A. planci juga menyukai daerah terumbu karang dengan persentase tutupan karang yang tinggi.

Tutupan dan kondisi terumbu karang di Perairan Tomia

Berdasarkan hasil pengamatan pada lokasi penelitian, kondisi tutupan terumbu karang pada Perairan Tomia dapat dilihat pada Tabel 5. Pada Tabel 5, dapat dilihat kategori tutupan terumbu karang yang terdapat di lokasi penelitian.

Kategori tutupan paling tinggi didominasi oleh karang hidup (non-Acropora) misalnya pada Stasiun V (kedalaman 3-5 m) yaitu sebesar 63,40% dan pada Stasiun I (kedalaman 3-5 m) yaitu 62,30%. Adapun kategori tutupan yang paling sedikit ditemukan yaitu Sponge dan jenis lainnya, dimana pada beberapa stasiun tidak ditemukan sama sekali.

Tingginya tutupan karang hidup pada Stasiun I dan V diduga berkaitan dengan kedalaman dan kekeruhan perairan. Terumbu karang dengan kategori baik di lokasi penelitian terdapat pada perairan dengan kedalaman antara 3-5 m. Kedalaman perairan berkaitan erat dengan intensitas cahaya yang mencapai terumbu karang, dimana cahaya tersebut dibutuhkan dalam proses fotosintesis oleh Zooxanthella karang. Menurut Nybakken (1992), cahaya diperlukan oleh Algae simbiotik Zooxanthella dalam proses fotosintesis guna memenuhi kebutuhan oksigen biota terumbu karang. Pada Stasiun I, terumbu karang dengan kategori baik juga ditemukan pada kedalaman 3-5 m. Hal ini diduga disebabkan oleh kekeruhan perairan di lokasi

tersebut lebih rendah dibandingkan keempat stasiun lainnya, sehingga cahaya masih dapat menembus dengan baik hingga ke dasar perairan (terumbu karang).

Dari hasil yang diperoleh dapat diketahui juga bahwa tutupan karang mati (dead Coral Algae) cukup tinggi, misalnya pada Stasiun II (kedalaman 3-5 m) yaitu sebesar 17,90%, dan pada Stasiun V (kedalaman 10-13 m) yaitu sebesar 15,00%. Tingginya persentase karang mati (dead Coral Algae) mengindikasikan kerusakan terumbu karang pada beberapa stasiun sudah berlangsung lama, baik kerusakan yang disebabkan oleh manusia maupun akibat pengaruh tekanan lingkungan.

Sementara itu, tutupan karang Rubble dan Soft Coral cukup tinggi. Tutupan Rubble pada Stasiun IV (kedalaman 3-5 m) yaitu sebesar 26,60% dan pada Stasiun III (kedalaman 3-5 m) yaitu sebesar 26,00%. Adapun tutupan Soft Coral pada Stasiun III (kedalaman 10-13 m) sebesar 24,30% dan pada Stasiun III (kedalaman 3-5 m) sebesar 19,80%. Tingginya persentase tutupan pecahan karang di beberapa stasiun tersebut mengindikasikan bahwa di lokasi penelitian tersebut telah terjadi praktik-praktik penggunaan alat penangkapan biota perairan yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan bom, sedangkan tingginya tutupan karang lunak pada beberapa stasiun mengindikasikan bahwa telah terjadi suksesi karang pada karang yang rusak (Tandipayuk 2006).

Kondisi terumbu karang pada lokasi penelitian dapat dinilai berdasarkan persentase tutupan nilai karang hidupnya (Acropora dan non-Acropora). Adapun nilai tutupan karang hidup dan kondisi terumbu karang di setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 6.

Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa pada kedalaman 3- 5 m, kondisi terumbu karang yang masih baik, ditemukan pada Stasiun I dan V dengan tutupan karang hidup yaitu sebesar 68,6% (Stasiun I) dan 63,6% (Stasiun V), sedangkan pada Stasiun II, III, dan IV termasuk dalam kondisi sedang (kritis). Adapun pada kedalaman 10-13 m, kondisi terumbu karang yang masih baik ditemukan pada Stasiun I dan II dengan tutupan karang hidup yaitu sebesar 51,1% (Stasiun I) dan 56,2% (Stasiun II), sedangkan pada Stasiun III, IV, dan V termasuk dalam kondisi sedang (kritis).

(8)

Gambar 6. Persentase tutupan karang hidup di lokasi penelitian perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara

Tingginya persentase kemunculan karang hidup dalam kondisi sedang (kritis) dibanding dengan kondisi baik mengindikasikan karang hidup pada beberapa stasiun penelitian pernah mengalami tekanan, baik dari manusia maupun lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Tandipayuk (2006) bahwa tingginya persentase tutupan karang mati yang ditumbuhi alga disebabkan oleh adanya praktik-praktik perusakan karang yang telah berlangsung lama, dan tingginya persentase tutupan pecahan karang mengindikasikan penggunaan alat penangkapan biota perairan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bom.

Keterkaitan antara kepadatan Achantaster planci dengan kondisi terumbu karang

Hubungan antara kepadatan A. planci dengan tutupan karang hidup dan karang mati di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8. Gambar tersebut menunjukkan adanya hubungan yang bersifat negatif antara kepadatan A. planci dengan tutupan karang hidup, demikian juga sebaliknya hubungan yang bersifat positif dengan tutupan karang mati. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan antara kepadatan A. planci dengan tutupan karang hidup yang tidak signifikan (P>0,05) dengan persamaan regresi ỹ = 45,82 – 30,75Xi.

Pada gambar tersebut dapat dilihat adanya korelasi positif antara kepadatan A. planci dengan tutupan karang mati, dimana semakin tinggi kepadatan A. planci maka semakin tinggi tutupan karang mati. Hasil pengukuran dengan menggunakan uji statistik juga menunjukkan antara kepadatan A. planci dengan tutupan karang mati menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (P>0,05) dengan persamaan regresi ỹ = 34,03 + 117,0Xi.

Gambar 7. Hubungan antara kepadatan Acanthaster planci dengan tutupan karang hidup

Gambar 8. Hubungan antara kepadatan Acanthaster planci dengan tutupan karang mati

Gambar 9. Sebaran kepadatan Acanthaster planci dan tutupan karang hidup di setiap titik pengamatan perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara

(9)

Gambar 10. Sebaran kepadatan Acanthaster planci dan tutupan karang mati di setiap titik pengamatan perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara

Meskipun tidak menunjukkan korelasi yang signifikan antara kepadatan A. planci dengan tutupan karang hidup atau karang mati, dalam kondisi kepadatan A. planci yang tinggi, seperti pada Stasiun II (kedalaman 3-5 m), memperlihatkan suatu fenomena yang mengancam dan dapat memberikan dampak negatif terhadap kondisi terumbu karang (Gambar 9 dan 10). Pada gambar tersebut memperlihatkan bahwa di Stasiun II (kedalaman 3-5 m), kepadatan A. planci sebesar 0,132 individu/m2 mengakibatkan penurunan nilai tutupan karang hidup dan peningkatan nilai tutupan karang mati.

Sementara itu, rata-rata tutupan karang hidup pada kondisi ekologi A. planci yang tergolong mengancam lebih

rendah daripada kondisi yang masih alami (Gambar 11).

Sebaliknya, tutupan karang mati pada kondisi ekologi A.

planci yang tergolong mengancam lebih tinggi daripada kondisi yang masih alami (Gambar 12).

Semakin rendahnya tutupan karang hidup pada kondisi A. planci dengan kepadatan lebih tinggi disebabkan karena adanya pemangsaan polip karang oleh A. planci yang mengakibatkan kematian pada karang. Populasi A. planci yang padat di daerah terumbu karang akan memberikan dampak negatif bagi kehidupan karang. Acanthaster planci merupakan jenis predator karang yang dapat memangsa karang dalam jumlah banyak dalam waktu singkat.

Menurut Moran (1990), satu individu A. planci dewasa dapat memangsa 5-6 m2 koloni karang/tahun.

Tingginya tutupan karang hidup pada terumbu karang di lokasi penelitian antara lain disebabkan oleh populasi A.

planci yang tidak terlalu tinggi, sehingga pemangsaan karang juga tidak terlalu tinggi. Jika populasi A. planci pada suatu ekosistem dalam status alami maka tidak akan memberikan ancaman yang berarti terhadap ekosistem terumbu karang, bahkan dapat menjaga keseimbangan ekologi di dalam ekosistem. Hal ini sesuai pendapat Bachtiar (2009), bahwa pemangsaan karang oleh A. planci yang dalam populasi rendah bersifat selektif dengan preferensi pada Pocilloporidae dan Acroporidae yang tumbuh cepat dan cenderung mendominasi ruang di terumbu karang. Pemangsaan selektif tersebut mempunyai dampak ekologi yang positif, karena memberikan bantuan bagi karang yang tumbuh lambat untuk tetap tinggal di terumbu tersebut. Akan tetapi, jika populasi A. planci melebihi kemampuan karang untuk pulih kembali, hal ini dapat mengakibatkan kerusakan terumbu karang.

Gambar 11. Rata-rata persentase karang hidup pada kondisi ekologi Acanthaster planci di perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara

Gambar 12. Rata-rata persentase karang mati pada kondisi ekologi A. Planci di perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara

(10)

Sementara itu, rendahnya tutupan karang hidup pada stasiun lain, seperti Stasiun III (kedalaman 10-13 m), tidak luput dari kerusakan karang yang disebabkan oleh manusia, seperti membuang jangkar kapal/perahu dan penggunaan alat tangkap Bubu. Pada stasiun tersebut diketahui persentase patahan karang (rubble) sekitar 16,50% dan soft coral 24,30%. Stasiun III merupakan tempat berteduh kapal/perahu nelayan ketika menghindari angin dan gelombang dari arah timur Pulau Tomia. Perahu tersebut membuang jangkar di atas karang dan mengakibatkan karang patah atau hancur sewaktu terkena jangkar.

Demikian pula ketika jangkar ditarik, karang akan terangkat dan terbalik atau patah. Di stasiun tersebut juga merupakan tempat nelayan tradisional menggunakan alat tangkap Bubu untuk menangkap jenis-jenis ikan yang hidup di karang. Bubu dipasang pada daerah terumbu karang yang biasanya ditempatkan di antara batu-batu karang yang kemudian ditindih dengan bongkahan karang mati maupun karang hidup. Pembongkaran karang hidup yang bertujuan untuk menindih bubu inilah yang menyebabkan karang patah dan hancur (Suharsono 1998).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kepadatan A. planci di Perairan Tomia yang berada dalam status mengancam terdapat pada Stasiun Waha dengan kedalaman 3-5 m, dengan kepadatan mencapai 0,132 individu/m2, sedangkan pada stasiun lain statusnya masih alami/normal dengan kepadatan A. planci berkisar antara 0- 0,012 individu/m2. Kondisi tutupan karang hidup di Perairan Tomia, pada kedalaman 3-5 m di Stasiun Waitii Barat dan Patua 1 masih berada dalam kondisi/kategori baik, sedangkan di Stasiun Waha (II), Waha (III), dan Onemay sudah dalam kondisi/kategori sedang (kritis).

Adapun di kedalaman 10-13 m pada Stasiun Waitii Barat dan Waha (II) masih dalam kondisi/katergori baik, dan di Stasiun Waha (III), Onemay, dan Wali termasuk dalam kondisi/kategori sedang (kritis). Kepadatan A. planci di Perairan Tomia berkorelasi negatif terhadap tutupan karang hidup dan berkorelasi positif terhadap tutupan karang mati, namun tidak signifikan. Meskipun demikian, pada kondisi kepadatan A. planci yang tinggi, seperti pada Stasiun Waha di kedalaman 3-5 m, kepadatan A. planci yang tinggi menyebabkan penurunan penutupan karang hidup dan peningkatan karang mati yang relatif tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz A. 1995. Beberapa catatan tentang kehadiran bintang laut jenis Acanthaster planci di Perairan Indonesia. Oseana 20 (2): 23-31.

Bachtiar I. 2009. Bintang Laut Mahkota Duri (Acanthaster planci, Asteroidea). http://mycoralreef.wordpress.com/ [11 Juli 2011].

Balai Taman Nasional Wakatobi. 2007. Laporan pengangkatan Crown of Thorns Starfish (COTs) Wakatobi. Balai Taman Nasional Wakatobi, Bau-bau, Sulawesi Tenggara.

Balai Taman Nasional Wakatobi. 2011. Informasi Taman Nasional Wakatobi. www.dephut.go.id [11 Maret 2011].

Birkeland C, Lucas J. 1990. Acanthaster planci: Major Management Problem of Coral Reef. CRC Press, Inc., Boca Raton, FL.

Birkeland C. 1998. Life and Death of Coral Reefs. University of Guam, Chapman & Hall, ITP, New York.

Damayanti L. 2007. Laju Regenerasi dan Mortalitas Acanthaster planci Linn. yang Difragmentasi Berdasarkan Tingkatan Fase Hidup.

[Skripsi]. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.

De’ath G, Moran PJ. 1998. Factors affecting the behaviour of crown of thorns starfish (Acanthaster planci L.) on the great barrier reef: 2.

Feeding preferences. J Exp Mar Biol Ecol 220: 107-126.

Dubinsky Z. 1990. Coral reefs ecosystem of the world 25. Elsevier, Amsterdam.

Endean R. 1987. Acanthaster planci investation. In: Salvat B. (ed).

Human Impact on Coral Reefs: Facts and Recommendations. Antenne Museum EPHE, French Polynesia, Australia.

English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal Resources. Australia Institute of Marine Science, Townsville, Australia.

Fossa A, Nilsen A. 1996. The Modern Coral Reef Aquarium. Volume 1.

J.C.C. Bruns GmbH, Germany.

Fraser N, Crawford BR, Kusen J. 2003. Panduan Pembersihan Bintang Laut Berduri. Koleksi Dokumen Pesisir. USAID-ICRMP, Jakarta.

Krebs T. 1989. Ecology, the Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper and Row, New York.

Lucas J. 1987. Life history. The Crown of Thorns Starfish. Australian Science Magazine, Issue 3. GBRMPA, Queensland.

Moran PJ. 1987a. A close look: The crown of thorns starfish. The Crown of Thorns Starfish. Australian Science Magazine, Issue 3. GBRMPA, Queensland.

Moran PJ. 1987b. Starfish outbreaks: The great barrier reef. The Crown of Thorns Starfish. Australian Science Magazine, Issue 3. GBRMPA, Queensland.

Moran PJ. 1990. The Acanthaster plancii (L.): Biographical data. Coral Reefs 9: 95-96.

Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta.

Nybakken JW. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sudjana MA. 1989. Metode Statistik. Edisi kelima. Tarsito, Bandung.

Suharsono, Soedharma D, Kudus UA, Wijaya I. 2001. Transplantasi Biota: Karang II. AKKII, Bekasi.

Suharsono. 1998. Kesadaran Masyarakat tentang Terumbu Karang (Kerusakan Karang di Indonesia). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi–LIPI, Jakarta.

Sukmara, Audrie J, Siaharnenia et al. 2001. Panduan Pemantauan Terumbu Karang Berbasis-Masyarakat dengan Metode Manta Tow.

CRMP, Jakarta.

Tandipayuk LS. 2006. Kajian Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Terumbu Karang Berkelanjutan di Perairan Pulau-Pulau Sembilan, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. [Disertasi]. Program Pascasarjana. Universitas Hasanuddin, Makassar.

Tawakkal I. 2010. Kondisi Terumbu Karang di Gusung Anjerr’e Desa Paria Kecamatan Duampanua Kabupaten Pinrang. [Skripsi]. Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Timotius S. 2003. Biologi terumbu karang. Yayasan Terumbu Karang Indonesia. www.terangi.or.id. [11 Februari 2011].

Veron J. 1986. Coral of Australia and the Indopasific. Angus & Robertos, Australia.

(11)

THISPAGEINTENTIONALLYLEFTBLANK

Referensi

Dokumen terkait

Setelah Anda mengetahui cara mempersiapkan surat lamaran, mempersiapkan pada psikotes, selanjutnya mempersiapkan menghadapi wawancara kerja. Anda harus mengetahui dan

MAHASISWA DALAM PENGISIAN KRS HARUS MENGISI KELAS SUPAYA NAMANYA TERCANTUM DALAM DAFTAR ABSEN KULIAH MAUPUN DAFTAR ABSEN

Tata kerja kelompok ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari aturan besar kelompok SHK Lestari Muara Tiga sebagai acuan atau landasan pelaksanaan kerja kelompok dalam

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan data empirik, menganalisa data, menemukan model hasil analisis kebermaknaan kontribusi kepemimpinan

Memang kegiatan di asrama lebih banyak untuk belajar mandiri dan istirahat, namun selayaknya STABN Sriwijaya sebagai sekolah tinggi negeri yan sebagian besar

Penilaian kualitas aktiva produktif didasarkan pada dua rasio, yaitu menggunakan rasio Aktiva Produktif yang Diklasifikasikan (APYD) terhadap totalaktiva produktif,

Dengan demikian, renstra ini akan menjadi “jembatan” yang akan mengantar FKIK Untad meraih mimpi tersebut melalui beberapa tahapan, antara lain : peningkatan

Desa Sepunggur dan Desa Gunung Tinggi merupakan dua desa yang berbatasan langsung, keduanya mempunyai tipe ekosistem yang sama. Sebagian besar wilayah kedua desa merupakan