• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK BERAS DI INDONESIA PADA MASA ORDE BARU (1969-1998): Dari Subsistensi Swasembada Pangan Hingga Ketergantungan Impor.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "POLITIK BERAS DI INDONESIA PADA MASA ORDE BARU (1969-1998): Dari Subsistensi Swasembada Pangan Hingga Ketergantungan Impor."

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK BERAS DI INDONESIA PADA MASA ORDE BARU

(1969-1998): Dari Subsistensi Swasembada Pangan Hingga

Ketergantungan Impor

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari

Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh:

RINA ANGGRAENI 0807008

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

(2)

POLITIK BERAS DI INDONESIA PADA MASA ORDE BARU

(1969-1998): Dari Subsistensi Swasembada Pangan Hingga

Ketergantungan Impor

Oleh Rina Anggraeni

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

© Rina Anggraeni 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Juni 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(3)
(4)

Penelitian ini berangkat dari keresahan penulis mengenai ketidakmampuan pemerintah Orde Baru dalam mempertahankan swasembada beras yang pernah dialami oleh Indonesia pada tahun 1984. Permasalahan utama yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana kebijakan pangan yang diterapkan pada masa Orde Baru yang dijabarkan dalam empat rumusan permasalahan, yaitu (1) Bagaimana kondisi perberasan Indonesia pada awal pemerintahan Orde Baru? (2) Bagaimana strategi yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru di sektor pertanian sehingga berhasil mencapai swasembada pangan, khususnya beras pada tahun 1984? (3) Mengapa setelah tahun 1984 swasembada beras tidak bisa kembali dicapai oleh pemerintah Orde Baru sehingga Indonesia harus kembali menjadi negara pengimpor beras? (4) Bagaimana kaitan antara politik beras yang diterapkan pada masa Orde Baru dengan keberadaan BULOG/DOLOG?

Semenjak berdiri pada tahun 1967, pemerintah Orde Baru telah menjadikan pertanian sebagai prioritas utama pembangunan ekonomi dalam negeri. Hal tersebut terlihat dari pelaksanaan PELITA I sampai PELITA IV yang bertumpu pada sektor pertanian. Dengan demikian, pembangunan sektor lain diarahkan untuk menunjang kemajuan sektor pertanian tersebut. Pada masa itu, pemerintah telah melaksanakan berbagai strategi untuk meningkatkan produksi hasil pertanian, terutama peningkatan produksi beras. Berbagai kebijakan pemerintah di bidang perberasan dilaksanakan melalui sebuah lembaga yang bernama BULOG. Pengutamaan beras sebagai komoditi yang peningkatan produksinya sangat diperhatikan oleh pemerintah dikarenakan beras memiliki arti yang sangat kompleks karena menyangkut aspek ekonomi, politik, sosial, serta budaya. Strategi peningkatan produksi tersebut dilakukan melalui intensifikasi, diversifikasi, dan ekstensifikasi pertanian. Usaha pemerintah tersebut menuai hasil yang menggembirakan dengan berhasil diraihnya swasembada beras pada tahun 1984. Namun demikian, swasembada beras tersebut ternyata tidak bisa berlangsung lama karena tantangan yang dihadapi oleh pemerintah menjadi semakin besar ketika memasuki dekade 1990an. tantangan tersebut tentunya tidak bisa terlepa dari faktor internal maupun eksternal yang melatarbelakanginya.

Kata kunci: Orde Baru, Kebijakan Pangan, Swasembada Beras, Ketergantungan Impor,

(5)

ABSTRACT

This study departs from the authors disquiet about New Order government's inability to maintain rice self-sufficiency that ever experienced by Indonesia in 1984. The main issues raised in this paper is how food policies implemented during the New Order that set out in four issues, namely (1) How do Indonesian rice condition at the beginning of the New Order government? (2) How is the strategy adopted by the New Order government in the agricultural sector that managed to reach self-sufficiency in food, especially rice, in 1984? (3) Why after 1984 rice self-sufficiency could not be achieved again by the New Order government that Indonesia must become a net importer of rice again? (4) How does the relationship between politics rice that is applied to the New Order with the presence of BULOG / DOLOG?

Since 1967, the New Order government has made agriculture a top priority of economic development in the country. It was seen from the implementation of PELITA I to IV, which is based on the agricultural sector. Thus, the development of other sectors geared to supporting the advancement of the agricultural sector. At that time, the government has implemented various strategies to increase agricultural production, especially rice production increase. Various government policy on rice conducted through an institution called Bulog. The preference for rice as a commodity that increased production is considered by the government that caused by rice has a very complex because it involves aspects of economic, politic, social, and cultural. The strategies were through intensification, diversification, and agricultural extension. The government's efforts reaped encouraging results with a success achieved self-sufficiency in rice in 1984. However, the rice self-sufficiency it can not last long because of the challenges faced by the government to be great when it entered the 1990s. The challenge could not be apart from background of internal and external factors.

(6)

iv

B.Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 9

C.Tujuan Penelitian ... 9

D.Metodologi dan Teknik Penelitian ... 10

E. Manfaat Penelitian ... 12

F. Struktur Organisasi Skripsi ... 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1Kondisi Pangan Indonesia Sebelum Tahun 1967 ... 15

2.2Kajian Teoritik ... 23

2.2.1 Teori Subsistensi ... 24

2.2.2 Teori Depedensi ... 27

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metodologi dan Teknik Penelitian ... 31

3.2 Persiapan Penelitian ... 33

3.2.1 Pengajuan Tema Penelitian ... 34

3.2.2 Pengajuan Rancangan Penelitian ... 35

3.2.3 Proses Bimbingan ... 36

3.3 Pelaksanaan Penelitian ... 36

3.3.1 Heuristik ... 37

3.3.2 Kritik Sumber ... 39

3.3.2.1 Kritik Eksternal ... 41

3.3.2.2 Kritik Internal ... 43

3.3.2.3 Interpretasi ... 44

3.2.3.4 Historiografi ... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Pangan di Indonesia pada Awal Orde Baru ... 48

(7)

v

4.1.2 Problem Beras Masa Orde Baru ... 51

4.1.1 Krisis Beras Tahun 1967 ... 51

4.1.2 Krisis Beras Tahun 1972 ... ... 59

4.2 Strategi Pemerintah Dalam Mencapai Swasembada Beras ... 65

4.2.1 Kebijakan Pemerintah Dalam Rangka Peningkatan Produksi Untuk Mencapai Swasembada Beras ... 68

4.2.1.1 Intensifikasi... ... 69

4.2.1.1.1 Pengembangan Teknologi Bibit Unggul ... 72

4.2.1.1.2 Pengembangan Sarana Produksi Pupuk dan Pestisida ... 74

4.2.1.1.3 Perbaikan Sistem Irigasi ... 77

4.2.1.1.4 Penyuluhan Pertanian ... 80

4.2.1.1.5 Mekanisasi Pertanian ... 84

4.2.1.2 Ekstensifikasi ... 86

4.3 Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Indonesia Tidak Lagi Berswasembada Beras ... 94

4.3.1 Kondisi Sektor Pertanian Indonesia Tahun 1990an... 94

4.3.1.1.Perubahan Arah Kebijakan Ekonomi Pemerintah ... 96

4.3.1.2.Dampak Negatif Revolusi Hijau ... 97

4.3.1.3.Liberalisasi Pertanian ... 100

4.3.1.4.Konversi Lahan Pertanian ... 107

4.3.1.5.Konsumsi Beras Masyarakat yang Terus Meningkat ... 110

4.3.2 Dampak Penurunan Produksi Beras Terhadap Kehidupan Petani Pada Masa Orde Baru ... 113

4.4 Keterkaitan Antara Politik Beras Yang Diterapkan Pada Masa Orde Baru Dengan Keberadaan Bulog/Dolog ... 118

4.4.1 Politik Beras di Indonesia ... 118

4.4.2 BULOG/DOLOG dan Kebijakan Beras di Indonesia ... 120

4.4.2.1 Badan Urusan Logistik (BULOG) ... ... 122

4.4.2.2 Kebijakan BULOG dalam Rangka Mendukung Kebijakan Pangan Nasional ... 124

4.4.2.2.1 Kebijakan Harga ... . 125

(8)

vi

4.4.2.2.3 Kebijakan Persediaan ... 128 4.4.2.2.4 Kebijakan Distribusi ... 129 4.4.2.2.5 Masalah-masalah yang Dihadapi BULOG dalam

Melaksanakan Kebijakannya ... 130

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1 Kesimpulan ... 132 5.2 Rekomendasi ... 135

DAFTAR PUSTAKA ... 137

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto yang berlangsung sejak 1967-1998 seringkali disebut sebagai Orde Pembangunan (Mufti, 2009: 1). Pembangunan adalah proses perubahan yang terus menerus, yang merupakan kemajuan dan perbaikan menuju tujuan yang ingin dicapai (Depdikbud, 1991: 131). Dalam pembangunan nasional Indonesia, tujuan yang ingin dicapai adalah terciptanya masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993: 440). Oleh karena itulah, semua usaha yang dilakukan oleh pemerintah diarahkan pada pencapaian tujuan Nasional tersebut.

Pada awal masa Orde Baru, program pemerintah diarahkan kepada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama peyelesaian masalah inflasi, penyelamatan keuangan negara, dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993: 430). Usaha pemerintah untuk memperbaiki perekonomian Indonesia terbukti mengalami keberhasilan yang cukup signifikan. Permasalahan ekonomi yang melilit Indonesia sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno sedikit demi sedikit bisa teratasi. Masalah inflasi yang pada masa pemerintahan Soekarno mencapai angka 600% berhasil diselesaikan hanya dalam waktu dua tahun pertama masa pemerintahan presiden Soeharto.

(10)

pertanian, khususnya mengenai kebijakan pangan serta pencapaian swasembada pangan bagi masyarakat Indonesia.

Indonesia adalah salah satu negara yang terletak di zona khatulistiwa. Negara-negara yang terletak di zona ini disinari matahari hampir sepanjang tahun. Selain itu, Indonesia juga memiliki tanah yang subur karena dikelilingi oleh gunung berapi yang masih aktif. Kondisi seperti ini sangat mendukung untuk melakukan berbagai kegiatan dibidang pertanian. Hal inilah yang kemudian mendorong sebagian besar masyarakat Indonesia memilih bertani sebagai mata pencaharian mereka. Dengan demikian, tepat kiranya jika julukan sebagai Negara Agraris dialamatkan kepada Indonesia.

Sebagai sebuah negara agraris, tingkat ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras sangat tinggi. Hal ini mengingat beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Beras telah menjadi sumber pangan yang dominan yang tercermin dari 50% konsumsi beras nasional (Van der Eng, 2001: 190). Bahkan saat itu, beras telah dikonsumsi sebanyak 96% oleh masyarakat Indonesia dibanding dengan sumber pangan lainnya (Simatupang, 1999).

Mardianto dan Ariani (2004) mengemukakan bahwa secara ekonomis, beras masih merupakan komoditas strategis bagi negara-negara yang berada di kawasan Asia, karena (1) usaha tani masih diusahakan oleh jutaan petani, (2) bagi sebagian negara, seperti Burma, Vietnam, Thailand, India, dan China, beras merupakan salah satu penyumbang devisa negara yang cukup besar, dan (3) bagi masyarakat berpendapatan rendah, dimana jumlah golongan berpendapatan tersebut dominan berada di Asia, beras merupakan makanan pokok yang utama. Mengingat peranan beras yang strategis itulah, maka tak heran jika banyak negara di Asia mengalokasikan dana yang tidak sedikit untuk mengembangkan produksi tanaman pangan, khususnya beras.

(11)

(Arifin, 1994: 5-12). Kekurangan persediaan beras bisa berakibat pada terganggunya stabilitas negara baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Oleh karena itulah, pemerintah merasa perlu campur tangan dalam menjamin ketersediaan dan mengontrol harga beras. Cara pemerintah dalam ekonomi perberasan antara lain dilakukan melalui lembaga pangan yang bertugas melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang perberasan baik menyangkut aspek praproduksi, proses produksi, serta pasca produksi. Lembaga yang diberi tugas oleh pemerintah untuk menangani masalah pasca produksi khususnya di bidang harga adalah Badan Urusan Logistik (BULOG).

Badan Urusan Logistik (BULOG) adalah lembaga yang didirikan pada tahun 1967 yang ditugaskan pemerintah untuk mengendalikan harga dan penyediaan bahan pokok, terutama pada tingkat konsumen. Dalam perkembangan selanjutnya, peran BULOG tidak hanya terbatas pada beras saja tetapi juga pada pengendalian harga dan penyediaan komoditas lain seperti gula pasir, tepung terigu, kedele dan pakan ternak, minyak goreng, telur, dan daging serta juga bumbu-bumbuan, yang dilakukan secara insidentil terutama saat situasi harga meningkat (Suryana dan Mardianto, 2001: 84).

(12)

pokok secara nasional agar pengaruh fluktuasi harga bahan pokok di luar negeri dapat dibatasi guna kestabilan ekonomi dalam negeri (Amang dan Sawit, 1999: 49-50).

Dalam menjalankan tugasnya, BULOG tidak melakukan pembelian beras dari petani secara langsung melainkan melalui pihak ketiga yaitu Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai saluran pokok pembeliannya. KUD membeli beras atau gabah secara langsung dari petani, kemudian disetorkan ke Depot Logistik (DOLOG) yang merupakan pelaksana BULOG di daerah dengan memperoleh margin harga tertentu (Arifin, 1994: 47). Dalam rangka menjamin ketersediaan stok beras nasional, BULOG membangun jaringan pergudangan di daerah produsen dan konsumen yang tersebar di sekitar 1.500 lokasi gudang dengan kapasitas sekitas 3,5 juta ton (Suryana dan Mardianto. 2001: 85).

(13)

Kebijakan mengenai Swasembada Beras ini memang menjadi kebijakan utama pada masa pemerintahan Orde Baru. Hal ini terlihat dari kebijakan pembangunan lima tahun yang bertumpu pada sektor pertanian. Berbeda dengan kebijakan-kebijakan tentang pangan pada periode sebelumnya, kebijakan Swasembada Beras yang digulirkan oleh pemerintahan Orde Baru bisa di katakan mendulang sukses yang luar biasa. Ini bisa dibuktikan dengan Indonesia berhasil mancapai swasembada beras pada tahun 1984. Atas keberhasilannya ini, presiden Soeharto dianugerahi penghargaan berupa medali yang bertuliskan “from rice

importer to self sufficency” dari Food and Agriculture Organisation (FAO) pada tahun 1986 (Khaerunnisa, 2001).

Perjalanan pemerintahan Orde Baru di bidang pertanian dari awal pemerintahan hingga berhasil mencapai swasembada beras tahun 1984 tidak selalu mengalami jalan yang lurus, namun senantiasa mengalami fase fluktuasi. Menurut Bustanul Arifin, pertanian Indonesia pada masa Orde Baru dibagi kedalam tiga fase. Fase pertama atau fase konsolidasi terjadi pada tahun 1967-1978, fase kedua atau fase tumbuh tinggi tahun 1978-1986, dan fase terakhir adalah fase dekonstruksi tahun 1986-1997 (Arifin, 2004: 5-8).

(14)

infrastruktur vital seperti sarana irigasi, jalan dan industri pendukung seperti semen, pupuk dan lain sebagainya (Arifin, 2004: 5-6).

Fase kedua tahun 1978-1986 adalah fase tumbuh tinggi. Pada fase ini sektor pertanian tumbuh lebih dari 5,7%, karena strategi pembangunan memang berbasis pertanian. Peningkatan produksi pangan, perkebunan, perikanan, dan peternakan semuanya tumbuh tinggi dan bahkan mencatat angka pertumbuhan produksi 6,8% (Arifin, 2004: 7). Pada tahun 1984, produksi beras mencapai rekor tertinggi yaitu lebih dari 26,5 juta ton beras. Ini berarti terjadi peningkatan sebanyak 2,3% jika dibandingkan produksi beras tahun sebelumnya. Hal ini juga berimbas pada penyerapan beras oleh BULOG yang pada tahun 1985 mampu menyerap 2,03 juta ton beras.

Sukses Orde Baru pada fase tumbuh tinggi ini tidak bisa terlepas dari usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan produktivitas di bidang pertanian. Pada kurun waktu 1963 telah dirintis sebuah program yang dikenal dengan nama Revolusi Hijau yang menitik beratkan pada penggunaan teknologi pertanian yang lebih modern. Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai tahun 1950-an sampai 1980-an di banyak negara (Wikipedia, 2012). Melalui program Revolusi Hijau ini pemerintahlah yang menentukan benih padi yang harus ditanam oleh para petani, jenis pupuk yang harus digunakan, berapa lama waktu tanam dan lain sebagainya (Khaerunnisa, 2001).

Melalui program Revolusi Hijau ini produktivitas di bidang pertanian mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hanya dalam tempo 14 tahun pelaksanaannya, produksi padi di Indonesia bisa dipompa dari 1,8 ton per hektar menjadi 3,01 ton per hektar, dan puncaknya adalah tercapainya swasembada beras pada tahun 1984 (Khudori, 2008: 53).

(15)

maupun luar negeri yang telah melakukan penelitian megenai revolusi hijau ini (Sajogyo, 1983; Wiradi, 1984; Husken dan White, 1989; Kano, 1990; dan Budijanto, 2000), sampai pada kesimpulan bahwa revolusi hijau yang diadopsi pada usaha tani pada era 1960an dengan segala perangkat kelembagaan dan teknologinya telah menciptakan pembagian kelompok kelas dalam masyarakat desa, yakni antara mereka yang diuntungkan (para tuan tanah) dengan mereka yang tersingkirkan oleh revolusi hijau, yaitu buruh tani dan petani gurem. Mekanisme akses terhadap modal, asupan kimia, pekerjaan, dan pembagian pendapatan telah menjadi jalan bagi proses ketimpangan sosial dan ekonomi di desa (Khudori, 2008: 328).

Selain itu, keberhasilan program revolusi hijau tersebut tidak bisa berlangsung lama. Pasalnya, program ini hanya bisa bertahan selama 5 tahun saja, yakni antara tahun 1984-1989. Karena setelah tahun 1989, produksi padi nasional kembali mengalami penurunan (Wikipedia, 2012). Namun demikian, penurunan produksi pertanian sebenarnya sudah terlihat sejak tahun 1986. Pada tahun tersebut, sektor pertanian tumbuh di bawah 3,4% per tahun (Arifin, 2004: 8). Keadaan tersebut terus berlangsung hingga akhir masa kepemimpinan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Periode 1986 sampai 1998 inilah yang kemudian disebut sebagai fase dekonstruksi.

(16)

terus melonjak bahkan sampai pada tahun 1998 total impor beras Indonesia mencapai 7,1 juta ton beras atau setara dengan 22,8% dari total suplai beras nasional(Khudori, 2008: 35).

(17)

pemerintahan Orde Baru untuk kembali mengecap manisnya swasembada beras sehingga berdampak pada ketergantungan Indonesia terhadap impor beras.

Selain itu, permasalahan pangan adalah hal yang sangat krusial bagi suatu negara, mengingat pangan adalah kebutuhan dasar bagi setiap manusia di bumi ini. Implikasi dari hal tersebut adalah setiap negara secara otomatis akan berusaha untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi warga negaranya.

Mengingat kedudukan beras yang sangat penting itulah, maka pemerintah selaku pemangku kebijakan publik harus membuat kebijakan pangan yang tepat sehingga tidak merugikan masyarakat. Oleh karena itu, penelitian mengenai kebijakan perberasan di Indonesia menjadi penting untuk dilakukan karena kedudukan beras bukan hanya sebagai bahan pangan pokok saja, tetapi juga mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat.

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, penulis

mencoba mengemukakan permasalahan utama yaitu “Bagaimana Kebijakan

Pangan Yang diterapkan Pada Masa Orde Baru?”.

Untuk lebih memfokuskan kajian penelitian ini, penulis merumuskan permasalahan ke dalam pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

1. Bagaimana kondisi perberasan Indonesia pada awal pemerintahan Orde Baru?

2. Bagaimana strategi yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru di sektor pertanian sehingga berhasil mencapai swasembada pangan, khususnya beras pada tahun 1984?

3. Mengapa setelah tahun 1984 swasembada beras tidak bisa kembali dicapai oleh pemerintah Orde Baru sehingga Indonesia harus kembali menjadi negara pengimpor beras?

(18)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibahas pada point sebelumnya, maka tujuan dari penulisan proposal ini adalah:

a. Mendeskripsikan kondisi pangan pada awal pemerintahan Orde Baru b. Mendeskripsikan strategi yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru

untuk mencapai swasembada beras

c. Menganalisis faktor penyebab mengapa swasembada pangan yang pernah diraih Indonesia pada tahun 1984 tidak pernah terulang kembali.

d. Menganalisis keterkaitan antara politik beras yang diterapkan pada masa Orde Baru dengan keberadaan BULOG/DOLOG

D. Metodologi Penelitian dan Teknik Penelitian

1. Metode Penelitian

Untuk mengarahkan peneletian ini perlu didukung oleh metodologi sejarah yang merupakan suatu metode yang lazim digunakan dalam penelitian sejarah. Dalam hal ini memang kita harus membedakan antara metode dan metodologi karena kedua hal ini berkaitan dengan ilmu sejarah. Metode sejarah adalah

“bagaimana mengetahui sejarah”, sedangkan metodologi ialah “mengetahui

bagaimana mengetahui sejarah” (Sjamsuddin, 2007:14).

Adapun langkah-langkah yang akan penulis gunakan dalam melakukan penelitian sejarah ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Ismaun (2005:48-50) yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.

1. Heuristik

(19)

dengan permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini. Dalam rangka pencarian sumber, penulis mencoba mengunjungi berbagai Perpustakaan seperti Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia, Perpustakaan Universitas Indonesia, perpustakaan Institut Pertanian Bogor, dan perpustakaan lainnya. Pencarian buku-buku pun peneliti lakukan di Toko-toko Buku seperti Toko buku Palasari Bandung, Toko Buku di Jalan Dewi Sartika, Toko buku Gramedia dan beberapa pameran buku yang diadakan di Bandung. Selain itu, penulis pun melakukan kegiatan mencari dokumen-dokumen atau referensi-referensi lainnya yang berhubungan dengan Kebijakan Pangan pada Masa Orde Baru.

2. Kritik dan Analisis Sumber

Setelah kegiatan pencarian dan penemuan sumber-sumber berhasil dilakukan, tahap kedua yang dilakukan oleh penulis adalah melakukan penilaian dan mengkritisi sumber-sumber yang telah ditemukan tersebut baik dari buku, artikel, Browsing internet, sumber tertulis, arsip dan hasil dari penelitian serta sumber lainnya yang relevan. Kritik sumber merupakan salah satu langkah dalam penelitian sejarah yang berisi penilaian sumber-sumber yang diperoleh. Pada langkah ini penulis akan menyaring informasi ataupun data yang diperoleh guna mendapatkan hasil penelitian yang baik, relevan dan valid.

Kaitannya dengan penelitian skripsi ini, setelah penulis menemukan berbagai sumber yang berhubungan dengan Kebijakan Pangan pada Masa Orde Baru, penulis mencoba menyaring informasi-informasi tersebut dan hanya data-data yang relevan dan valid saja yang menjadi fakta pilihan penulis sebagai sumber dalam penelitian ini. Sehingga tidak semua sumber atau data dapat menjadi bahan rujukan penulis.

3. Interpretasi

(20)

beberapa referensi yang mendukung kajian penulis. Didalam penelitian ini, tahap interpretasi dilakukan oleh penulis dengan membuat penafsiran-penafsiran terhadap sumber-sumber atau fakta-fakta dan menganalisisnya secara objektif, fakta-fakta sejarah tersebut dikupas secara ilmiah dan kritis sehingga mendapatkan analisis-analisis yang dapat dipertanggung jawabkan.

4. Historiografi

Menurut Sjamsuddin (2007:156), historiografi adalah suatu sintesis dari seluruh hasil penelitian atau penemuan berupa suatu penelitian yang utuh. Historiografi merupakan langkah terakhir dalam prosedur penelitian sejarah. Pada tahap ini, penulis menyajikan hasil temuannya dengan cara menyusun dalam bentuk tulisan yang menggunakan gaya dan tata bahasa sederhana serta penelitian yang baik dan benar. Tulisan tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi dengan

judul “POLITIK BERAS DI INDONESIA PADA MASA ORDE BARU

1969-1998: Dari Subistensi Swasembada Pangan Hingga Ketergantungan Impor”

2. Teknik Penelitian

Teknik penelitian yang akan digunakan oleh penulis dalam mengkaji dan menganalisis permasalahan yang diangkat adalah dengan studi literatur, yakni teknik mengumpulkan sember baik itu berasal dari sumber buku, internet, maupun sumber-sumber tertulis lainnya yang relevan dengan fokus kajian yang diteliti. Selain menggunakan teknik studi literature, penulis juga menggunakan teknik berupa studi dokumentasi berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, notulen, agenda dan sebagainya.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Memperkaya penulisan Sejarah Indonesia pada umumnya dan Sejarah Orde Baru pada khususnya.

b. Memberikan kontribusi dalam penelitian sejarah mengenai kebijakan pangan yang pernah diambil oleh pemerintahan Orde Baru

(21)

F. Struktur Organisasi Skripsi

Struktur organisasi dalam penulisan skirpsi yang akan dilakukan oleh penulis adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, bab ini berisi latar belakang masalah yang menguraikan mengenai urgensi dan keresahan penulis terhadap penelitian yang akan dikaji. Untuk memperinci dan mengarahkan permasalahan agar tidak melebar maka dicantumkan perumusan masalah. Pada bagian akhir dari bab ini akan dimuat tentang metode dan teknik penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, juga sistematika penulisan yang akan menjadi kerangka dan pedoman penulisan skripsi.

Bab II Tinjauan Pustaka, bab ini dipaparkan mengenai sumber-sumber buku, website, dokumen, dan artikel-artikel yang digunakan sebagai referensi yang dianggap sesuai. Dijelaskan pula tentang penelitian terdahulu mengenai Kebijakan Pangan pada Masa Orde Baru

Bab III Metodologi Penelitian, bab ini menguraikan mengenai serangkaian kegiatan serta cara-cara yang ditempuh dalam melakukan penelitian guna mendapatkan sumber yang relevan dengan permasalahan yang sedang dikaji oleh penulis. Diantaranya heuristik yaitu proses pengumpulan data-data yang dibutuhkan dalam penulisan ini. Setelah heuristik, maka langkah selanjutnya adalah kritik, yaitu proses pengolahan data-data yang telah didapatkan dari langkah heuristik sehingga data yang diperoleh adalah data yang reliabel dan otentik. Interpretasi adalah langkah selanjutnya setelah kritik dilakukan, yaitu penafsiran sejarawan terhadap data-data yang telah disaring. Selanjutnya tahap akhir adalah historiografi, yaitu penyajian penelitian dalam bentuk tulisan yang enak untuk dibaca dan dinikmati.

(22)

beras tidak bisa terulang kembali, serta keterkaitan antara politik beras yang diterapkan pada masa Orde Baru dengan keberadaan BULOG/DOLOG.

Bab V Kesimpulan, dalam Bab ini akan dipaparkan beberapa kesimpulan sebagai jawaban pertanyaan yang diajukan serta berbagai inti dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan menguraikan hasil temuan penulis tentang permasalahan yang dikaji pada penelitian skripsi ini.

Daftar Pustaka

Amang, B dan Husein S. (1999). Kebijakan Beras dan Pangan Nasional.

Pelajaran dari Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: IPB Press

Arifin, B. (1994). Pangan Dalam Orde Baru. Jakarta: KOPINFO

Arifin, B. (2004). Analilis Ekonomi Pertanian Indonesia. Jakarta: Kompas

Arifin, B. (2007). Diagnosis Ekonomi Politik Pangan Pertanian. Jakarta: Rajawali Pers

BPS. (1978). Statistika Indonesia. Jakarta: BPS

Budijanto, B. (2000). Orde Baru dan Pembangunan Desa: Sebuah Perspektif

Sejarah. Jakarta: Institute for Community and Development Studies

Depdikbud. (1991). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hal 131

Husken, F dan White, B. (1989). “Ekonomi Politik Pembangunan Pedesaan dan

Struktur Agraria di Jawa”. Jurnal Prisma, 4

Ismaun. (2005). Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan. Bandung: Historia Utama Press

Kano, H. (1990). Pagelaran: Anatomi Sosial Ekonomi Pelapisan Masyarakat

Tani di Sebuah Desa di Jawa Timur. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

(23)

Mardianto, S dan Mewa, A. (2004). Kebijakan Proteksi dan Promosi Komoditas

Beras di Asia dan Prospek Pengembangannya di Indonesia. Jurnal AKP

Volume 2 No.4, Desember 2004: 341

Mears, L.A and Moeljono. 1984. “Rice and Food Self Sufficiency in Indonesia”. BIES Vol XX No 2 hal 52-62

Mears, L.A. (1990). Era Baru Perberasan Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Poesponegoro, M.J dan Nugroho, N. (1993). Sejarah Nasional Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka.

Rafika Mufti, H. (2009). Kebijakan Pangan Pemerintah Orde Baru dan Nasib

Kaum Petani Produsen Beras Tahun 1969-1988. Skripsi pada FIB UI:

tidak diterbitkan

Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta

Sajogyo. (1983). “Pertanian Landasan Tolak bagi Pengembangan Bangsa Indonesia”. Pengantar buku Clifford Geertz Involusi Pertanian. Jakarta:

Bharata Karya

Simatupang, P. (1999). “Toward Sustainable Food Security: The Need For A New Paradigm”. ACIAR Indonesia Research Project, Working Paper 99. 15. 33 pp

Suryana, A dan S. Mardianto. (2001). Bunga Rampai Ekonomi Beras. Jakarta: LPEM-FEUI

Suryana, A. (2008). Menelisik Ketahanan Pangan, Kebijakan Pangan, dan

Swasembada Beras. Bogor: PASEKP

Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak

Van der Eng, P. (2001). “Food For Growth: Trend in Indonesia’s Food Supply,

1880-1995”. Journal of Interdiciplinary History, XXX:4. Pp. 591-616e

Wiradi, G. (Eds) (1984). Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah

(24)

Sumber Internet:

Khaerunnisa, R. (2001). Swasembada Beras Pada Masa Orde Baru: Sebuah

Perspektif dari sisi Enforcement Negara. [Online]. Tersedia: http//www.kompasiana.com/2001/04/12/swasembada-beras-pada-masa-orde-baru.html [diakses di Bandung, 29 Juli 2012]

Suadi. (2012). Ironi Negeri Penghasil Beras Pengimpor Beras. [Online]. Tersedia:

http://www.analisadaily.com/news/read/2012/07/26/65082/ironi_negeri_pen ghasil_beras_mengimpor_beras/ [diakses di Bandung, 4 Agustus 2012]

(25)

31

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Bab III secara umum merupakan pemaparan mengenai metodologi yang digunakan oleh penulis dalam mengumpulkan berbagai sumber yang berupa data dan fakta yang berkaitan dengan kajian mengenai Politik Beras di Indonesia pada Masa

Orde Baru (1969-1998): Dari Subsistensi, Swasembada Pangan Hingga Ketergantungan Impor. Metode yang digunakan adalah metode historis, dan untuk

teknik penelitian penulis menggunakan studi literatur. Sedangkan untuk pendekatannya penulis menggunakan pendekatan multidisipliner.

3.1 Metodologi dan Teknik Penelitian

Metode yang digunakan oleh penulis dalam penulisan skripsi ini adalah metode historis dengan studi literatur dan studi dokumentasi sebagai teknik penelitian. Metode historis dipilih sebagai metodologi penelitian karena tulisan ini merupakan kajian sejarah yang data-datanya diperoleh dari jejak-jejak yang ditinggalkan dari suatu peristiwa masa lampau. Metode historis menurut Gottschalk (1986: 32) adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan dan menuliskannya berdasarkan fakta yang diperoleh.

Sementara itu, menurut Sjamsuddin (2007: 96) mengemukakan bahwa paling tidak ada enam tahap yang harus ditempuh dalam penelitian sejarah, yaitu:

1. Memilih suatu topik yang sesuai.

2. Mengusut semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topik.

(26)

4. Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah dikumpulkan (Kritik Sumber).

5. Menyusun hasil-hasil penelitian (catatan fakta-fakta) ke dalam suatu pola yang benar dan berarti yaitu sistemtika tertentu yang telah disiapkan sebelumnya.

6. Menyajikan dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dan mengkomunikasikannya kepada pembaca sehingga dapat dimengerti sejelas mungkin.

Terdapat beberapa tahapan dalam penelitian sejarah menurut Ismaun (2001: 125-131) yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Adapun langkah-langkah yang dipergunakan dalam penelitian sejarah ini adalah :

1. Heuristik

Heuristik merupakan upaya pengumpulan sumber-sumber sejarah yang terkait dengan masalah yang akan dikaji. Usaha-usaha yang dilakukan dalam mengumpulkan sumber ini yakni dengan mencari sumber lisan maupun tulisan, browsing internet, dan sumber tertulis lainnya yang relevan untuk pengkajian permasalahan yang akan dikaji. Dalam penelitian ini sumber berupa sumber tulisan yang terdapat di buku-buku, arsip-arsip dan internet yang berhubungan dengan kebijakan pangan di Indonesia.

2. Kritik dan analisis sumber

Pada tahap ini penulis berupaya melakukan penilaian dan mengkritisi sumber-sumber yang telah ditemukan baik dari buku, arsip, laman internet, maupun sumber tertulis lainnya yang relevan. Sumber-sumber ini dipilih melalui kritik eksternal yaitu cara pengujian aspek-aspek luar dari sumber sejarah yang digunakan dan menggunakan kritik internal yaitu pengkajian yang dilakukan terhadap isi dari sumber sejarah tersebut.

(27)

Interpretasi merupakan tahap untuk menafsirkan fakta-fakta yang diperoleh dengan cara mengelola fakta yang telah dikritisi dengan merujuk beberapa hasil studi dokumentasi ataupun dari referensi yang mendukung kepada kajian peneliti. Pada tahap ini penulis memberikan penafsiran terhadap fakta-fakta yang diperoleh selama penelitian.

4. Historiografi

Menurut Helius Sjamsuddin (2007:156), historiografi adalah suatu sintesis dari seluruh hasil penelitian atau penemuan berupa suatu penelitian yang utuh. Sehingga dalam hal ini penulis menyajikan hasil temuannya pada tiga tahap yang dilakukan sebelumnya dengan cara menyusunnya ke dalam suatu tulisan.

Teknik penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam mengkaji dan menganalisis permasalahan yang diangkat adalah dengan :

1. Penelitian studi literatur yang mendukung serta relevan dengan permasalahan baik dilakukan melalui studi kepustakaan melalui buku-buku yang memang relevan dengan kajian penelitian, jurnal ilmiah, maupun internet yang memang dipandang relevan dengan permasalahan yang hendak diangkat oleh penulis.

2. Studi dokumentasi berupa arsip-arsip dari BPS (Badan Pusat Statistik) serta dokumen lain yang berhubungan dan mendukung permasalahan dalam penelitian ini.

Dalam penelitian ini, seluruh kegiatan penulis secara garis besar dapat digolongkan dalam tiga tahap yaitu: persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian dan laporan penelitian.

3.2 Persiapan Penelitian

(28)

langkah yaitu tahap penentuan dan pengajuan tema penelitian, penyusunan rancangan penelitian serta bimbingan.

3.2.1 Pengajuan Tema Penelitian

Tahap ini merupakan tahap yang paling awal dalam melaksanakan suatu penelitian. Pada tahap ini penulis melakukan proses memilih dan menentukan topik yang akan dikaji. Penentuan tema dan judul skripsi ini dipengaruhi oleh ketertarikan penulis terhadap mata kuliah Sejarah Orde Baru dan Sejarah Indonesia pada masa Demokrasi Liberal dan Terpimpin yang merupakan salah satu mata kuliah yang pernah di ikuti oleh penulis. Berdasarkan ketertarikan tersebut, penulis berniat untuk menulis sebuah skripsi yang bertemakan tentang sejarah Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru.

(29)

mengajukan judul kedua mengenai kebijakan beras pada masa Orde Baru. Akhirnya, judul tersebutlah yang kemudian diterima untuk diseminarkan.

Setelah itu, penulis mulai mencari berbagai sumber yang berkaitan dengan kebijakan beras pada masa Orde Baru dan menuangkannya dalam bentuk proposal

skripsi dengan judul “Kebijakan Pangan Pada Masa Orde Baru 1969-1990”. Pada tanggal 08 Agustus 2012, penulis kembali mendatangi Ketua TPPS untuk mendaftar seminar skripsi. Pada saat mendaftar inilah, penulis kembali mendapat masukan dari beliau untuk memperbaiki beberapa bagian dalam proposal skripsi tersebut, yaitu untuk lebih mempertajam latar belakang penelitian dan periodenya di perpanjang hingga akhir pemerintahan masa Orde Baru.

3.2.2 Penyusunan Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian dalam bentuk proposal skripsi kemudian diserahkan

kepada TPPS untuk dipresentasikan dalam sebuah seminar yang dilaksankan pada tanggal 15 Agustus 2012. Meskipun tidak banyak dihadiri oleh para Dosen karena pada saat itu bertepatan dengan hari terakhir sebelum libur hari raya Idul Fitri, namun penulis tetap mendapatkan banyak masukan dari para dosen yang hadir. Berdasarkan masukan dari Bapak Drs. Andi Suwirta, M.Hum selaku pembimbing I, judul proposal yang sebelumnya “Kebijakan Pangan Pada Masa Orde Baru 1969-1998”, agar

diganti menjadi “Politik Beras di Indonesia Pada Masa Orde Baru: dari Subsistensi Swasembada Pangan Hingga Ketergantungan Impor (1969-1998)”. Selain perbaikan

(30)

peranan BULOG pada masa krisis pangan tahun 1972. Supaya lebih memudahkan penulis dalam proses penyusunan skripsi.

Setelah disetujui, maka pengesahan penelitian ditetapkan melalui Surat Keputusan Ketua Jurusan Pendidikan sejarah FPIPS UPI Bandung No. 066/TPPS/JPS/2012. Dalam surat keputusan tersebut, ditentukan pula pembimbing I, yaitu Bapak Drs. Andi Suwirta, M.Hum dan Ibu Farida Sarimaya, S. Pd M. Si sebagai pembimbing II. Adapun rancangan penelitian yang diajukan meliputi (1) Judul penelitian, (2) Latar belakang masalah, (3) Rumusan dan batasan masalah, (4) Tujuan Penelitian, (5) Manfaat penelitian, (6) Kajian pustaka (7) Metode dan teknik penelitian, dan (8) Sistematika penulisan.

3.2.3 Proses Bimbingan

Bimbingan merupakan suatu kegiatan konsultasi yang dilakukan oleh peneliti dengan dosen pembimbing I dan dosen pembimbing II dalam menyelesaikan permasalahan dalam penelitian. Proses bimbingan ini sangat diperlukan oleh penulis untuk membantu penulis dalam menentukan kegiatan penelitian, fokus penelitian serta proses penelitian skripsi ini. Proses bimbingan ini memfasilitasi penulis untuk berdiskusi dengan Bapak Drs. Andi Suwirta, M.Hum selaku pembimbing I dan Ibu Farida Sarimaya, S. Pd M. Si selaku pembimbing II mengenai permasalahan yang dihadapi selama penelitian ini dilakukan.

(31)

memperoleh pengetahuan mengenai kelemahan dan kekurangan dalam penelitian skripsi ini.

3.3 Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian merupakan tahapan berikutnya setelah penulis merancang dan mempersiapkan penelitian. Dalam penelitian skripsi ini, penulis melakukan empat tahap penelitian, sebagai berikut:

3.3.1 Heuristik

Heuristik berasal dari bahasa Yunani heurishein yang berarti menemukan (Abdurahman, 2007:64). Heuristik merupakan proses mencari dan mengumpulkan fakta-fakta sejarah dari sumber-sumber yang relevan dengan permasalahan yang dikaji penulis. Sama halnya dengan pendapat Helius Sjamsuddin (2007:86), heuristik adalah suatu kegiatan mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data atau materi sejarah, atau evidensi sejarah yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji oleh penulis.

Berkaitan dengan penelitian ini, proses heuristik yang dilakukan penulis sudah dimulai kurang lebih sejak bulan September 2012. Pada tahap ini, penulis mencari dan mengumpulkan sumber tertulis yang berhubungan dengan kebijakan pangan yang pernah diterapkan pada masa Orde Baru, baik berupa buku-buku, jurnal ilmiah, maupun artikel internet yang relevan dengan permasalahan yang dikaji.

(32)

pencarian sumber melalui Browsing di internet sebagai tambahan pengetahuan serta wawasan penulis mengenai penelitian yang dikaji. Penjelasan mengenai penemuan sumber-sumber tersebut penulis paparkan sebagai berikut:

1. Pada bulan September 2012, penulis mengunjungi Perpustakaan Universitas Indonesia. Pada perpustakaan ini penulis menemukan buku yang disunting oleh Anne Both dan Peter McCalwey yang berjudul

Ekonomi Orde Baru, buku Bustanil Arifin yang berjudul Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Selain itu, penulis juga menemukan skripsi yang

berjudul Kebijakan Pangan Pemerintah Orde Baru dan Nasib Kaum

Petani Produsen Beras tahun 1969-1988.

2. Pada bulan September 2012 tersebut, Penulis juga mengunjungi Perpustakaan Institut Pertanian Bogor. Di perpustakaan ini penulis menemukan berbagai buku yang berhubungan dengan keadaan pangan Indonesia maupun buku yang membahas mengenai kebijakan pangan yang pernah diterapkan ada masa Orde Baru. Buku-buku tersebut diantaranya adalah buku Achmad Suryana dan Sudi Mardianto yang berjudul Bunga

Rampai Ekonomi Beras, buku Bustanil Arifin yang berjudul Diagnosis Ekonomi Politik Pangan Pertanian, buku Beddu Amang dan Husein Sawit

yang berjudul Kebijakan Beras dan Pangan Nasional, buku Beddu Amang yang berjudul Kebijakan Beras dan Pangan Nasional.

3. Pada bulan Oktober 2012, penulis mengunjungi Perpustakaan UPI. Di Perpustakaan UPI ini, penulis menemukan banyak sekali sumber-sumber yang berhubungan dengan pangan di Indonesia. Buku-buku tersebut diantaranya adalah buku yang ditulis oleh Bustanul Arifin yang berjudul

(33)

Masa ke Masa, buku Mubyarto yang berjudul Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, buku Soetrisno yang berjudul Pertanian Pada Abad 21, dan buku S.W Pranoto yang berjudul Jawa Bandit-bandit Pedesaan: Studi Historis 1850-1942.

4. Pada bulan Oktober 2012, penulis mendatangi toko buku Gramedia. Disana, penulis mendapatkan buku karya Khudori yang berjudul Ironi

Negeri Beras. Selain toko buku Gramedia, penulis juga mendatangi toko

buku Toga Mas. Melalui aplikasi pencarian yang ada di toko buku tersebut, sebenarnya penulis menemukan judul buku yang nampaknya relevan dengan permasalahan yang dikaji, yaitu buku yang berjudul

Petaka Politik Pangan di Indonesia dan Politik Ekonomi Pangan. Namun

karena stock buku tersebut habis, maka penulis tidak mendapatkan buku-buku yang dimaksud.

5. Pada bulan November 2012, penulis mengunjungi Toko Buku Palasari, Bandung. Di Toko Buku ini, penulis menemukan buku yang berjudul

Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi karya Mansour Fakih,

buku yang berjudul Beras, Koperasi dan Politik Orde Baru, Bustanil

Arifin 70 Tahun karya Fachry Ali, dkk, buku yang berjudul Revolusi Hijau dengan Swasembada Beras dan Jagung karya S. Abbas, buku yang

berjudul Dinamika Pemberdayaan Petani, Sebuah Refleksi dan

Generalisasi Kasus di Jawa Barat karya Iwan Setiawan dan buku yag

diterbitkan oleh IPB Press yang berjudul Tahun 1963 Perguruan Tinggi

Menjawab Tantangan Masalah Pangan.

6. Pada bulan November 2012, penulis juga mendatangi para pedagang buku yang ada di Jl. Dewi Sartika, Bandung. Disana, penulis mendapatkan buku

(34)

Tangan Pemerintah dalam Pertanian Rakyat (1908-1928) karya J.H

Paerels.

7. Bulan Januari 2013, penulis kembali mendatangi toko buku Palasari, Bandung. Disana, penulis mendapatkan buku karya James C. Scott yang berjudul Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia

Tenggara.

3.3.2 Kritik Sumber

Tahap kedua setelah penulis mendapatkan sumber-sumber yang dianggap relevan dengan penelitian yang dikaji, tahap selanjutnya adalah melakukan kritik terhadap sumber-sumber yang telah ditemukan baik dari buku, dokumen, Browsing

internet, sumber tertulis, maupun dari penelitian serta sumber lainnya. Menurut

Helius Sjamsuddin (2007:131) seorang sejarawan tidak akan menerima begitu saja apa yang tercantum dan tertulis pada sumber-sumber yang diperoleh. Melainkan ia harus menyaringnya secara kritis, terutama terhadap sumber pertama, agar terjaring fakta-fakta yang menjadi pilihannya. Sehingga dari penjelasan tersebut dapat ditegaskan bahwa tidak semua sumber yang ditemukan dalam tahap heuristik dapat menjadi sumber yang digunakan oleh penulis, tetapi harus disaring dan dikritisi terlebih dahulu keotentikan sumber tersebut.

Menurut Dudung Abdurahman (2007:68), bahwa verifikasi atau kritik sumber ini bertujuan untuk memperoleh keabsahan sumber. Dalam hal ini, dilakukan uji keabsahan tentang keaslian (autentisitas) yang dilakukan melalui kritik ekstern dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas) yang ditelusuri melalui kritik intern.

(35)

kemungkinan dan keraguan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa kritik sumber dikelompokkan dalam dua bagian yaitu kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal menitikberatkan pada aspek-aspek luar sumber sejarah sedangkan kritik internal lebih menekankan pada isi (content) dari sumber sejarah. Sejarawan harus memutuskan apakah kesaksian atau data yang diperoleh dari berbagai sumber itu dapat diandalkan atau tidak. Kritik yang dilakukan oleh penulis ialah dengan cara melihat isi buku kemudian membandingkan dengan buku-buku yang lain. Jika terdapat perbedaan isi dalam sebuah buku, maka penulis melihat buku dari buku lain yang menggunakan referensi-referensi yang dapat diandalkan.

3.2.2.1. Kritik Eksternal

Kritik eksternal dilakukan untuk mengetahui sejauh mana otentisitas dari sumber yang diperoleh. Selain itu, menurut Dudung Abdurahman (2007: 68-69) Aspek eksternal bertujuan untuk menilai otentisitas dan integritas sumber. Aspek-aspek luar tersebut bisa diuji dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: kapan sumber itu dibuat? Di mana sumber itu dibuat? Siapa yang membuat? Dari bahan apa sumber itu dibuat? Dan apakah sumber itu dalam bentuk asli? Khusus mengenai buku, penulis akan melakukan kritik yang berkaitan dengan fisik buku dan melihat sejauh mana kompetensi dari penulis buku sehingga isinya dapat dipertanggungjawabkan.

(36)

Campur Tangan Pemerintah dalam Pertanian Rakyat (1908-1928), data statistik

pertanian yang diolah oleh Badan Pusat Statistik (BPS), buku karya Bustanil Arifin yang berjudul Pangan dalam Orde Baru, buku yang berjudul 10 Th Departemen

Pertanian 1968-1978, buku karya Fachry Ali, dkk yang berjudul Beras, Koperasi, dan Politik Orde Baru, buku karya Beddu Amang yang berjudul Kebijaksanaan Pangan Nasional. Sedangkan buku yang digolongkan kepada sumber sekunder

diantaranya adalah: buku karya M.C Ricleffs yang berjudul Sejarah Indonesia

Modern, buku Arif Budiman yang berjudul Teori Pembangunan Dunia Ketiga, buku

karya Bustanul Arifin yang berjudul Diagnosis Ekonomi Politik Pangan dan

Pertanian, dan lain-lain. Sumber sekunder maupun primer tersebut sangat membantu

penulis dalam mengkaji berbagai permasalahan yang diajukan.

Langkah kedua yang dilakukan oleh penulis berkaitan dengan kritik eksternal ini adalah dengan melihat latar belakang penulis buku. Hal ini dilakukan dalam rangka menilai apakah si penulis benar-benar kompeten dibidangnya atau tidak. Contoh kritik eksternal pertama yang berkaitan dengan tahapan ini adalah buku yang ditulis oleh Iwan Setiawan yang berjudul Dinamika Pemberdayaan Petani, Sebuah

Refleksi dan Generalisasi Kasus di Jawa Barat. Iwan Setiawan merupakan anggota

Komisi Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Provinsi Jawa Barat (2010-2015), Konsultan dalam Riset Sosial Ekonomi Petanian, Pemberdayaan Pelaku-pelaku Agribisnis, Pembangunan Kelembagaan Irigasi, dan Pengembangan Masyarakat Pedesaan dan Pembangunan Ketransmigrasian. Beliau juga merupakan Lektor Kepala di Program Studi Agribisnis Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian UNPAD serta Peneliti dan Pemberdaya senior di Pusat Penelitan Dinamika Pembangunan LPPM UNPAD. Selain itu, beliau meraih gelar Sarjana Pertanian di UNPAD dan Magister Sains dari Program Pascasarjana IPB.

(37)

adalah seorang pengamat ekonomi pertanian yang juga Guru Besar di Universitas Lampung. Bustanul Arifin menyelesaikan studi S-1 di IPB Bogor tahun 1985. Setelah melalui persiangan ketat berhasil memenangkan mendapatkan beasiswa fellowship fullbright, Bustanul menyelesaikan S-2 (Master of Science) tahun 1992 di University of Wisconsin-Madison, AS. Kemudian pada tahun 1995, beliau menyelesaikan studi S-3 nya di Universitas yang sama. Selain itu, beliau juga banyak menghasilkan karya tulis yang berhubungan dengan pertanian di Indonesia.

Berdasarkan hasil kritik eksternal tersebut, penulis berasumsi bahwa karya-karya yang ditulis oleh Iwan Setiawan maupun Bustanul Arifin bisa dipergunakan sebagai sumber untuk mempermudah penulis dalam menjawab berbagai permasalahan dalam skripsi ini, arena kiprah mereka di bidang pertanian sudah tidak bisa diragukan lagi.

3.2.2.2. Kritik Internal

Kritik internal bertujuan untuk menguji reliabilitas dan kredibilitas sumber. Menurut Ismaun (2005:50) kritik ini mempersoalkan isinya, kemampuan pembuatannya, tanggung jawab dan moralnya. Isinya dinilai dengan membandingkan kesaksian-kesaksian di dalam sumber dengan kesaksian-kesaksian dari sumber lain. Untuk menguji kredibilitas sumber (sejauh mana dapat dipercaya) diadakan penilaian intrinsik terhadap sumber dengan mempersoalkan hal-hal tersebut. kemudian dipungutlah fakta-fakta sejarah melalui perumusan data yang didapat, setelah diadakan penelitian terhadap evidensi-evidensi dalam sumber.

(38)

Nasional dengan buku yang ditulis oleh Bustanil Arifin yang berjudul Pangan dalam Orde Baru. Dalam bukunya, Beddu Amang banyak menjelaskan mengenai peranan

BULOG dalam mengelola dan menstabilitasi pangan dalam negeri pada masa Orde Baru. Buku tersebut diperkuat oleh buku yang ditulis oleh Bustanil Arifin yang juga banyak menguraikan mengenai peranan BULOG pada masa Orde Baru. Hal ini menjadi sesuatu yang lumrah mengingat kedua penulis tersebut pernah menjabat sebagai KABULOG.

Kritik internal selanjutnya penulis gunakan untuk membandingkan isi buku

Dinamika Pemberdayaan Petani, Sebuah Refleksi dan Generalisasi Kasus di Jawa Barat karya Iwan Setiawan dengan buku Ironi Negeri Beras karya Khudori. Iwan

Setiawan mengungkapkan bahwa nasib petani Indonesia sejak zaman kolonial hingga Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya tidak banyak berubah. Mereka tetap saja hidup pada garis subsistensi. Kondisi tersebut dikarenakan kebijakan yang diambil oleh pemerintah terkesan tidak memihak para petani. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Khudori bahwa kebanyakan petani memiliki upah yang sangat minim. Dari penghasilannya, para petani tersebut hanya mampu digunakan untuk sekedar bertahan hidup saja. Ironisnya, bertani merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja dan ditekuni oleh masyarakat.

Dalam proses ini, penulis juga harus cermat dalam membandingkan isi kedua buku tersebut. Penulis harus menilai apakah buku-buku tersebut banyak memuat unsur subjektivitas penulisnya atau tidak. Hal ini penting dilakukan untuk meminimalisir tingkat subjektivitas dalam penelitian ini, sehingga interpretasi penulis akan lebih objektif.

3.3.3 Interpretasi

(39)

diperoleh dari sumber sejarah berupa fakta-fakta yang terkumpul dari sumber-sumber primer maupun sekunder dengan cara menghubungkan dan merangkaikannya sehingga tercipta suatu fakta sejarah yang sesuai dengan permasalahan penelitian.

Menurut Kuntowijoyo (2005:101) interpretasi atau penafsiran sering disebut juga sebagai biang subjektivitas yang sebagian bisa benar, tetapi sebagiannya salah. Dikatakan demikian menurutnya bahwa benar karena tanpa penafsiran sejarawan data yang sudah diperoleh tidak bisa dibicarakan. Sedangkan salah karena sejarawan bisa saja keliru dalam menafsirkan data-data tersebut. Gottschalk dalam Ismaun (2005:56) menambahkan bahwa interpretasi atau penafsiran sejarah itu memiliki tiga aspek penting, yaitu : pertama, analisis-kritis yaitu menganalisis stuktur intern dan pola-pola hubungan antar fakta-fakta. Kedua, historis-substantif yaitu menyajikan suatu uraian prosesual dengan dukungan fakta-fakta yang cukup sebagai ilustrasi suatu perkembangan. Sedangkan ketiga adalah sosial-budaya yaitu memperhatikan manifestasi insani dalam interaksi dan interrelasi sosial-budaya.

Interpretasi sejarah atau yang biasa disebut juga dengan analisis sejarah merupakan tahap di mana penulis melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu dalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Dalam hal ini ada dua metode yamg digunakan yaitu analisis berarti menguraikan dan sintesis yang berarti menyatukan. Keduanya dipandang sebagai metode utama di dalam interpretasi (Kuntowijoyo, 1995:100).

Dalam kaitannya dengan penelitian skripsi yang berjudul Politik Beras di

Indonesia Pada Masa Orde Baru: dari Subsistensi Swasembada Pangan Hingga Ketergantungan Impor (1969-1998) ini, interpretasi yang penulis lakukan adalah

(40)

untuk mengelola beras pada masa Orde Baru. Seiring berjalannya waktu, keberadaan BULOG ini menjadi sebuah alat dari pemerintah untuk melakukan monopoli pangan. Sehingga politik beras yang dilakukan oleh pemerintah selama masa Orde Baru tersebut tertuang dalam berbagai kebijakan pangan yang dikeluarkan oleh BULOG.

3.3.4 Historiografi

Menurut Helius Sjamsuddin (2007:156), historiografi adalah suatu sintesis dari seluruh hasil penelitian atau penemuan berupa suatu penelitian yang utuh. Pada tahap ini seluruh daya pikiran dikerahkan bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan. Namun yang paling utama adalah penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analitis sehingga menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitian dan penemuan dalam suatu penelitian utuh yang disebut dengan historiografi.

Menurut Dudung Abdurahman (2007:76), historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Layaknya laporan penelitian ilmiah, penulisan hasil penelitian sejarah hendaknya dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian dari awal (fase perencanaan) sampai dengan akhir (penarikan kesimpulan).

(41)

Untuk mempermudah penulisan, maka disusun kerangka tulisan dan pokok-pokok pikiran yang akan dituangkan dalam tulisan berdasarkan data-data yang telah diperoleh. Sedangkan tahap akhir penulisan dilakukan setelah marteri/bahan dan kerangka tulisan selesai dibuat. Tulisan akhir dilakukan bab demi bab sesuai dengan proses penelitian yang dilakukan secara bertahap. Masing-masing bagian atau bab mengalami proses koreksi dan perbaikan berdasarkan bimbingan dari dosen pembimbing skripsi.

Untuk mempermudah penulisan, maka disusun kerangka tulisan dan pokok-pokok pikiran yang akan dituangkan dalam tulisan berdasarkan data-data yang telah diperoleh. Sedangkan tahap akhir penulisan dilakukan setelah marteri/bahan dan kerangka tulisan selesai dibuat. Tulisan akhir dilakukan bab demi bab sesuai dengan proses penelitian yang dilakukan secara bertahap. Masing-masing bagian atau bab mengalami proses koreksi dan perbaikan berdasarkan bimbingan dari dosen pembimbing skripsi.

Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis membaginya ke dalam lima bab. Bab satu terdiri dari bab pendahuluan yang merupakan paparan dari penulis yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode dan teknik penelitian, sistematika penelitian. Bab dua terdiri dari tinjauan pustaka. Bab ini memaparkan mengenai tinjauan kepustakaan dan kajian teoritis yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dikaji. Tinjauan pustaka memaparkan mengenai kondisi pangan di Indonesia sebelum masa Orde Baru. Sedangkan teori yang dibahas adalah teori subsistensi dan dependensi.

(42)

yang ada serta berisi tanggapan dan analisis yang berupa pendapat terhadap permasalahan secara keseluruhan.

Daftar Pustaka

Abdurrahman, D. (2007). Metode Penelitian Sejarah. Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu.

Abbas, S. 1997. Revolusi Hijau dengan Swasembada Beras dan Jagung. Jakarta: Sekretariat Badan Pengendali BIMAS

(43)

Arifin, B. (1994). Pangan Dalam Orde Baru. Jakarta: KOPINFO

Arifin, B. (2004). Analilis Ekonomi Pertanian Indonesia. Jakarta: Kompas

Budiman, A. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia

Khudori. (2008). Ironi Negeri Beras. Yogyakarta: Insist Press

Fakih, M. 2003. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist

Gotchlak, L. (1986). Mengerti Sejarah. Jakarta : UI Press.

Ismaun. (2005). Pengantar Ilmu Sejarah. Bandung: Historia Utama Press Kuntowijoyo. (2003). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Mardianto, S dan Mewa, A. (2004). Kebijakan Proteksi dan Promosi Komoditas

Beras di Asia dan Prospek Pengembangannya di Indonesia. Jurnal AKP

Volume 2 No.4, Desember 2004: 341

Mas’oed, M. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta:

LP3ES

Mears, L.A dan Moeljono dalam Anne Booth dan Peter McCalwey . 1981.

Ekonomi Orde Baru” . jakarta: LP3ES

Mears, L.A. (1990). Era Baru Perberasan Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

(44)

Pranoto, S.W. 2010. Jawa Bandit-bandit Pedesaan: Studi Historis 1850-1942. Yogyakarta: Graha Ilmu

Paerels, J.H. 1929. Dua Puluh Tahun Campur Tangan Pemerintah dalam Pertanian

Rakyat (1908-1928). Jakarta: Direktorat Pertanian Rakyat, Departemen

Pertanian

Raffles, T.S. 2008. History of Java. Yogyakarta: Narasi

Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta

Scott, C.J. 1981. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia

Tenggara. Jakarta: LP3ES

Setiawan, I. 2012. Dinamika Pemberdayaan Petani, Sebuah Refleksi dan

Generalisasi Kasus di Jawa Barat. Bandung: Widya Pajajaran

Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Soetrisno, L. 1999. Pertanian Pada Abad 21. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud

Supardan, D (2008). Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. PT. Bumi Aksara

Suryana, A dan Mardianto, S. 2001. Bunga Rampai Ekonomi Beras. Jakarta: LPEEM-UI

(45)

Wiradi, G. (Eds) (1984). Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah

Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

(46)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab ini berisi hasil kesimpulan penelitian secara keseluruhan yang dilakukan dengan cara study literatur yang data-datanya diperoleh dari buku, jurnal, arsip, maupun artikel dalam internet. Kesimpulan adalah jawaban dari pertanyaan penelitian yang terdapat dalam bab pendahuluan yang telah dijawab pada bab sebelumnya dan akan diuraikan secara singkat di dalam bab ini. Selain kesimpulan, bab ini juga berisi rekomendasi yang penulis berikan kepada beberapa pihak yang berkaitan dengan penelitian ini dengan tujuan untuk lebih mengembangkan penelitian selanjutnya.

5.1. KESIMPULAN

Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto telah menjadikan pertanian khususnya sub sektor tanaman pangan sebagai prioritas utama kebijakan perekonomian yang diterapkannya. Hal tersebut dikarenakan pangan, khususnya beras terkait langsung dengan stabilitas dan keamanan negara. Jika persediaan beras langka di pasaran, maka bisa dipastikan akan segera terjadi gejolak dalam masyarakat. Hal itulah yang pernah dialami oleh pemerintah Orde Baru pada awal masa pemerintahannya. Ketika itu, telah terjadi krisis beras yang disebabkan oleh kosongnya gudang-gudang BPUP akibat kurangnya pasokan beras dari dalam maupun luar negeri. Akibat dari kelangkaan tersebut, harga beras dipasaran sontak naik tak terkendali. Naiknya harga beras tersebut tentu saja sangat berpengaruh terhadap masyarakat yang berpenghasilan rendah. Reaksi yang keras pun kemudian muncul, masyarakat mulai turun ke jalan, menuntut pemerintah untuk segera melakukan tindakan guna menstabilkan kembali harga beras.

(47)

berangsur-angsur turun dan dapat dikendalikan. Krisis beras yang terjadi pada tahun 1967 tersebut telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi pemerintah bahwa beras harus selalu tersedia dalam jumlah yang cukup agar stabilitas keamanan negara dapat terjaga.

Komitmen pemerintah untuk menjamin ketersediaan beras tersebut kemudian terwujud dalam kebijakan peningkatan produksi pertanian yang mulai diterapkan pada tahun 1969 tepatnya pada saat pelaksanaan PELITA I. Pada masa itu, sektor pertanian memang menjadi prioritas utama kebijakan pembangunan ekonomi nasional. Oleh karena itu, semua usaha perekonomian diarahkan pada kemajuan sektor ini. Bersamaan dengan dimulainya PELITA I, pemerintah mengadopsi pelaksanaan Revolusi Hijau yang pada saat itu memang tengah marak dipraktekkan terutama di negara-negara berkembang. Pelaksanaan program Revolusi Hijau tersebut kemudian dituangkan dalam program intensifikasi, ekstensifikasi, serta diversifikasi pertanian.

Usaha-usaha pemerintah dalam rangka meningkatkan produktivitas pertanian tersebut mulai menunjukkan hasilnya pada saat memasuki dekade 1980an dan mencapai puncaknya pada tahun 1984 dengan berhasil diraihnya swasembada beras. Dunia dibuat berdecak kagum atas prestasi yang telah berhasil diraih oleh pemerintah Orde Baru. Betapa tidak, hanya dalam tempo 14 tahun pasca pelaksanaan Revolusi Hijau tersebut, Indonesia telah berhasil mentransformasikan diri dari negara pengimpor pangan menjadi negara pengekspor pangan.

(48)

dari yang asalnya bertumpu pada sektor pertanian beralih ke sektor industri, tingkat konsumsi beras masyarakat yang terus bertambah, konversi lahan pertanian untuk keperluan non-pertanian seperti industri, infrastruktur dan perumahan penduduk, serta dampak negatif dari Revolusi Hijau. Sedangkan faktor eksternal berkaitan dengan globalisasi pertanian yang mulai diterapkan pasca diratifikasinya perjanjian pertanian hasil Putaran Uruguay. Selain itu, tekanan internasional melalui IMF dan WTO turut mempengaruhi mengapa Indonesia tidak lagi mampu berswasembada beras.

Terus menurunnya kinerja sektor pertanian tersebut tentu saja sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, terutama terhadap kehidupan petani. Biaya yang dikeluarkan oleh petani semakin hari semakin mahal sedangkan hasil yang didapat tidak seberapa. Inilah yang kemudian menjadikan nasib petani menjadi semakin terpuruk. Selama ini, nasib petani memang tidak pernah terkabarkan baik. Bahkan, ketika Indonesia berhasil mencapai swasembada beraspun kehidupan mereka tidak mengalami perubahan yang berarti. Hal tersebut terjadi karena selama ini kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah cenderung berat sebelah karena dinilai lebih mengutamakan kepentingan konsumen daripada petani produsen. Komitmen pemerintah untuk melakukan stabilisasi beras telah menyebabkan pemerintah selalu menekan harga beras seminimal mungkin. Akibatnya, petani harus menanggung kerugian karena biaya produksi yang semakin tinggi. Selain itu, rendahnya angka kepemilikan lahan menjadi penyebab lain mengapa kehidupan petani selalu berada pada garis subsistensi.

(49)

semakin tertindas karena biaya yang dikeluarkan untuk mengolah lahan menjadi semakin mahal akibat dicabutnya subsidi pertanian.

Penelitian ini juga menyoroti politik beras yang diterapkan di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru. Hal tersebut terjadi karena beras tidak hanya berfungsi sebatas komoditi pangan saja, melainkan juga memiliki arti secara politis. Oleh karena itulah, pemerintah Orde Baru menjadikan beras sebagai alat politik untuk melegitimasi dan melanggengkan kekuasaannya. Penerapan politik beras tersebut tercermin melalui keberadaan BULOG sebagai satu-satunya lembaga pangan yang ada di Indonesia pada masa Orde Baru. Selain itu, BULOG juga merupakan bentuk intervensi pemerintah di bidang perberasan nasional. Melalui lembaga ini, pemerintah tidak saja memastikan keberadaan beras dipasaran saja, melainkan juga mengontrolnya melalui serangkaian kebijakan yang nantinya akan dilaksanakan oleh BULOG. Oleh karena itulah, bagi pemerintah Orde Baru, BULOG adalah institusi strategis dan kehadirannya merupakan bagian dari komitmen politik Orde Baru terhadap stabilitas ekonomi.

5.2. REKOMENDASI

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis yang dituangkan dalam skripsi ini, berikut adalah beberapa rekomendasi yang dapat penulis berikan kepada beberapa pihak yang berkaitan dengan skripsi ini, yaitu:

1. Lembaga UPI

Tulisan ini bisa dijadikan sumber bacaan untuk menambah pengetahuan mengenai kebijakan pangan di Indonesia. Untuk Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, nilai-nilai yang terkandung dalam skripsi ini terutama mengenai permasalahan liberalisasi pertanian bisa dijadikan bahan pembelajaran untuk membangun kesadaran dan kecintaan terhadap produk dalam negeri. Untuk Jurusan Pendidikan Sejarah, tulisan ini dapat memperkaya penulisan dan sumber bacaan mengenai Sejarah Orde Baru.

(50)

Materi yang terdapat dalam skripsi ini bisa dimasukkan ke dalam pembelajaran Sejarah Kelas XII Semester I, SK/KD 1.1 mengenai Perkembangan Masyarakat Indonesia pada Masa Orde Baru. Dalam materi tersebut terdapat materi mengenai kebijakan-kebijakan yang pernah diterapkan pada masa Orde Baru serta pelaksanaan Revolusi Hijau.

3. Pemerintah

Swasembada pangan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin dapat kembali diraih oleh negeri ini. Sebagai pemangku kebijakan publik, sudah saatnyalah pemerintah kembali menjadikan pertanian sebagai basis perekonomian negara. Hal tersebut tentu saja sangat berkaitan dengan posisi Indonesia sebagai negara agraris. Selain itu, pemerintah juga harus mulai mensosialisasikan gerakan diversifikasi pangan kepada masyarakat untuk mengurangi tingkat ketergantungan konsumsi terhadap beras.

4. Peneliti Selanjutnya

(51)

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, S. 1997. Revolusi Hijau dengan Swasembada Beras dan Jagung. Jakarta: Sekretariat Badan Pengendali BIMAS

Abdurrahman, D. (2007). Metode Penelitian Sejarah. Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu.

Adam, A. 2008. Membongkar Manipulasi Sejarah. Jakarta: Kompas Gramedia Ali, F, et al. (1996). Beras, Koperasi dan Politik Orde Baru, Bustanil Arifin 70

Tahun. Jakarta: Sinar Harapan

Amang. (1995). Kebijaksanaan Pangan Nasional. Jakarta: Dharma Karsa Utama

Amang, B dan Sawit, H. (1999). Kebijakan Beras dan Pangan Nasional.

Pelajaran dari Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: IPB Press

Arifin, B. (1994). Pangan Dalam Orde Baru. Jakarta: KOPINFO

Arifin, B. (2004). Analilis Ekonomi Pertanian Indonesia. Jakarta: Kompas

Arifin, B. (2007). Diagnosis Ekonomi Politik Pangan Pertanian. Jakarta: Rajawali Pers

BPS. (1970). Statistika Indonesia. Jakarta: BPS

BPS. (1971). Statistika Indonesia. Jakarta: BPS

BPS. (1978). Statistika Indonesia. Jakarta: BPS

BPS. (1982). Statistika Indonesia. Jakarta: BPS

BPS. (1987). Statistika Indonesia. Jakarta: BPS

BPS. (1995). Statistika Indonesia. Jakarta: BPS

Boeke, J.A. (1946). The Evolution of Netherlands Indies Economy. New York: Institute of Pasific Relations

Budijanto, B. (2000). Orde Baru dan Pembangunan Desa: Sebuah Perspektif

Sejarah. Jakarta: Institute for Community and Development Studies

Referensi

Dokumen terkait