160
Model Komunikasi Politik dalam Tatanan Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
Dr. Irwansyah, MA
Dosen Inti Penelitian
Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Indonesia
021-77218965, ironesyah@gmail.com
ABSTRAK
Demokrasi sebagai sistem politik dalam praktiknya tidak bisa dipisahkan dari komunikasi.
Pemerintah sebagai institusi eksekutif memiliki peranan dalam menciptakan proses
demokrasi agar berjalan sesuai tatanannya. Namun dalam konteks hubungan pemerintah
pusat dan daerah yang demokratis terdapat indikasi ketidakharmonisan. Wujud
ketidakharmonisan terlihat dari adanya polemik bahkan penolakan politik terhadap kebijakan
publik pemerintah pusat di tingkat daerah. Selain itu dalam menyusun regulasi kedaerahan
sering sekali tidak memiliki konsiderasi atau merujuk pada regulasi di tingkat pusat sehingga
menciptakan kerancuan kebijakan publik. Implementasi kebijakan pusat di daerah juga tidak
terintegrasi dalam program kerja daerah tetapi diperlakukan sebagai salah satu bentuk
perlakuan proyek tahunan terhadap stakeholder yang parsial. Oleh karena itu tulisan ini
mendiskusikan temuan-temuan yang diharapkan mampu menginisiasi model komunikasi
politik antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan menggunakan konsep komunikasi
politik deliberatif, mediatisasi politik, komunikasi multikultur, komunikasi konsensus, dan
komunikasi organisasi unggul, studi ini mengeksplorasi berbagai model dalam pendekatan
kualitatif melalui diskusi kelompok terfokus dan wawancara mendalam di tiga daerah terpilih.
Hasil konseptual studi ini memperlihatkan pentingnya aparatur pemerintah pusat dan daerah
terlibat dalam suatu kegiatan bersama yang menggunakan model komunikasi politik
deliberatif, mediatif, multikultural, konsensus, dan unggul. Sehingga pada saat proses
hingga pengaplikasian dari kelima model ini, aparatur pemerintah pusat dan daerah dapat
menjadi politisi, profesional dan relawan. Kemudian baik pemerintah pusat dan daerah dapat
menempatkan aparatusnya sebagai political communication liaison officer yang mampu
menjembatani kepentingan masing-masing.
161
Pendahuluan
Demokrasi sebagai sistem politik dalam praktiknya tidak bisa dipisahkan dari
komunikasi. Karl W. Deutsch berargumentasi bahwa komunikasi merupakan ekstensi
politik1. Kemudian Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell mengatakan komunikasi telah
menyebar dalam seluruh proses politik2. Selanjutnya Kriesi, Lavenex, Bochsler, Matthes,
Esser, Bühlmann juga mencatat pendapat Almond dan Powell yang banyak dikutip bahwa
seluruh fungsi yang dilakukan dalam sistem politik menggunakan alat-alat komunikasi3.
Salah satu elemen penting dari sistem politik dalam menciptakan proses demokrasi
adalah lembaga eksekutif atau pemerintah. John W. Dean menjelaskan bahwa demokrasi
merupakan suatu proses yang unik yang diatur dalam pemerintah perwakilan,
keseimbangan antar lembaga judikatif, eksekutif, dan legislatif, pembagian kekuasaan, dan
distribusi kekuasaan antara lembaga pemerintah dan negara.4 Dengan demikian,
pemerintah sebagai institusi eksekutif memiliki peranan dalam menciptakan proses
demokrasi agar berjalan sesuai tatanannya.
Namun dalam konteks hubungan pemerintah pusat dan daerah yang demokratis
terdapat indikasi ketidakharmonisan. Wujud ketidakharmonisan terlihat dari adanya polemik
bahkan penolakan politik terhadap kebijakan publik pemerintah pusat di tingkat daerah5. hal
ini terjadi pada usulan pembangunan rel kereta api trans-Kalimantan oleh Gubernur
Kalimantan Tengah (rimanews, 6 Agustus 2011), bantuan bidang pertanian dan perkebunan
di lima kabupaten di Sumatera Barat (padangekspress.co.id, 2 November 2012), kebijakan
mobil murah ramah lingkungan di DKI Jakarta, Jawa Barat dan daerah lainnya
(Merdeka.com, 21 September 2013), program raskin di Bengkulu (Bengkuluekspress.com, 3
Januari 2014) dan sodetan kali ciliwung di DKI Jakarta, Banten, dan Tangerang (Tempo.co,
21 Januari 2014).
Selain itu dalam menyusun regulasi kedaerahan sering sekali tidak memiliki
konsiderasi atau merujuk pada regulasi di tingkat pusat sehingga menciptakan kerancuan
kebijakan publik. Misalnya, rencana polisi syariah Tasikmalaya (bharatanews.com, 7 Juni
2012), bendera Aceh (bbc.co.uk, 24 Mei 2013), dan perda miras Indramayu
(kemendagri.go.id, 1 Desember 2011) . Kemudian sekitar 1.204 rancangan peraturan
daerah (Perda) ditolak (economy.okezone.com, 22 Agustus 2008), 27 perda dan keputusan
kepala daerah ditolak (27 April 2012), empat ribu ditolak karena bertentangan dengan UU
1 Deutsch, 1963, hal. 316. 2 Gabriel & Powell, 1966, hal. 80. 3 Kriesi, Bochsler, Esser, 2013, hal. 157. 4 Dean, 2007, hal. 5.
162
No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undang (republika.co.id, 22 Mei
2011) dan 3.455 Peraturan Pajak Daerah dibatalkan pemerintah pusat (19 Agustus 2009).
Implementasi kebijakan pusat di daerah juga tidak terintegrasi dalam program kerja
daerah tetapi diperlakukan sebagai salah satu bentuk perlakuan proyek tahunan terhadap
stakeholder yang parsial. Selain itu terdapat ketidaksinkronan antara program pemerintah
pusat dan daerah. Menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi
Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menyatakan, pusat dalam konteks sinkronisasi tidak
selalu bisa menjadi acuan karena ada kalanya pusat sendiri bermasalah. Bahkan, sering
terjadi kebijakan antara kementerian dan lembaga tidak sinkron. Sinkronisasi perencanaan
melalui musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) mulai desa atau kelurahan
sampai pusat sering didominasi oleh proses politik dan bersifat teknokratis6. Akibatnya,
aspirasi Musrenbang hilang sampai di level atas. Sementara menurut Armida Salsiah
Alisjahbana, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, hingga saat ini usulan program
dari daerah banyak bertaraf desa atau lokal, sehingga tidak sejalan dengan program
pemerintah pusat. Padahal seluruh program pemerintah daerah harus sesuai dalam
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun7.
Realitas komunikasi politik dalam negara demokrasi tentunya penuh dengan
dinamika. Kebijakan-kebijakan publik pemerintah dalam berbagai bidang seperti energi,
pangan, pertahanan/keamanan, perburuhan, pemberantasan korupsi, otonomi daerah, dan
hubungan luar negeri selalu memancing reaksi masyarakat untuk memberikan pendapat
dan perdebatan di ruang-ruang publik. Perdebatan publik secara terbuka atas kebijakan
publik pemerintah tersebut tak jarang berujung pada terciptanya polemik politik dan bahkan
penolakan politik. Pemerintah bukan hanya diapresiasi kurang baik tapi seolah-olah dihakimi
oleh pandangan subjektif publik tersebut. Di sinilah pentingnya kemampuan komunikasi
politik pemerintah dalam merespon hal yang demikian.
Praktik komunikasi politik pemerintah di era demokrasi terlihat belum optimal dan
masih kurang efektif. Rendahnya efektifitas komunikasi politik ini dapat dilihat dari berbagai
kebijakan yang kurang tersosialisasi dengan baik. Sehingga rentan menimbulkan polemik
dan resistensi pada tataran implementasinya. Selain itu, ada pula kebijakan
kementerian/non kementerian yang saling tumpang tindih, kurang terkoodinasi dan tidak
sedikit pula produk hukum yang disharmonis. Dalam konteks otonomi daerah, masih banyak
dijumpai kebijakan pusat dan daerah yang kurang terintegrasi, yang berakar dari komunikasi
yang kurang optimal. Nampaknya tidak mudah bagi pemerintah membangun komunikasi
6KPPOD.org, Kompas, 25 September 2012.
163
yang baik dan sekaligus efektif di tengah isu dan semangat demokrasi yang terus
berkembang.
Fenomena ketidakharmonisan hubungan pemerintah pusat dan daerah pernah
diulas oleh Effendi8 dan Harris9 terkait (1) selektivitas pemerintah daerah terhadap kebijakan
pemerintah pusat; (2) mekanisme dan perimbangan Dana Alokasi Umum (DAU) yang diatur
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan; (3) upaya mempertahankan
wewenang yang terkadang melampaui peraturan perundangan yang sentralistik. Tetapi
analisis lebih diperlihatkan kepada persoalan kekuasaan, wewenang, tanggung jawab,
ataupun persoalan keuangan, sehingga belum ada pemikiran yang melihat dari perspektif
komunikasi.
Oleh karena itu beranjak dari fenomena tidak harmonisnya hubungan pemerintah
pusat dan daerah, menimbulkan pertanyaan mendasar: Bagaimana model komunikasi politik
pemerintahan bagi negara Indonesia yang demokratis?
Mencermati kondisi ini, di tengah komitmen pemerintah menegakkan demokratisasi,
perlu dirumuskan model komunikasi ideal antara pemerintah dan berbagai stakeholder
bangsa. Dengan model komunikasi politik yang terformulasi, diharapkan lembaga legislatif,
yudikatif, partai politik, media massa, ormas/LSM dan kelompok strategis lainnya serta
masyarakat luas dapat dan mau mendengar, memahami subtansi sekaligus melibatkan diri
dalam proses pembuatan dan implementasi kebijakan pemerintah dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Selain itu, tantangan komunikasi politik ke depan adalah membangun ke-eka-an
dalam semangat kebhinekaan dan menjadikan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai roh
komunikasi politik seluruh elemen bangsa.
Tinjauan Pustaka
Kajian ini menggunakan konsep model komunikasi politik deliberatif, komunikasi
media, komunikasi multikultur, komunikasi konsensus, dan komunikasi organisasi unggul
untuk memproposisi model ideal yang dapat dikembangkan pada konteks komunikasi politik
pemerintahan.
Pertama, Model Komunikasi Politik Deliberatif. Model komunikasi ini merupakan
aktualisasi dari semangat demokrasi –pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat– dan khususnya adalah demokrasi deliberatif10. Setidaknya ada lima karakteristik
8 Effendi, 2001.
9 Harris, 2007, hal. 331.
164
dari komunikasi deliberatif: (1) adanya pandangan yang berbeda yang dikonfrontasikan; (2)
adanya toleransi dan penghargaan untuk mendengarkan argumentaasi orang lain; (3)
terdapat upaya mencapai konsensus dan menghargai perbedaan; (4) pandangan lama
dapat dipertanyakan dan memiliki kesempatan untuk memperdebatkannya; (5) cakupan
untuk berkomunikasi dan kebebasan tanpa kendali11.
Sehingga model komunikasi politik deliberatif merupakan sebuah model komunikasi
politik yang melibatkan dua hal yaitu: (1) adanya proses analisis (menciptakan dasar
informasi, memprioritaskan nilai-nilai kunci, mengidentifikasi solusi, menimbang solusi, dan
membuat keputusan terbaik) dan (2) proses sosial (membicarakan peluang, pemahaman
bersama, pertimbangan dan penghargaan)12 dalam setiap pengambilan keputusan
pemerintah pusat dan daerah dalam melahirkan kebijakan publik.
Kedua, Model Komunikasi Media. Komunikasi ini mengandalkan media untuk
menjadi mediasi dan mediatisasi dalam menjembatani semua pihak yang terlibat dalam
proses kebijakan publik dan politik antara pemerintah pusat dan daerah. Mediasi merujuk
pada meningkatnya penggunaan media teknologi yang dapat mengatasi waktu dan ruang13.
Hal ini mengacu pada pendapat William yang mencatat bahwa mediasi merupakan (1)
bertindak sebagai intermediary, (2) pihak yang menengahi secara tidak langsung
pihak-pihak yang berbeda, dan (3) cara formal dalam mengekspresikan langsung ketika
hubungan-hubungan lain tidak terekpresikan14. Sedangkan mediatisasi sebagai kehadiran
media yang tumbuh dalam konstruksi identitas sejak budaya menjadi lebih tergantung pada
media komunikasi15. Mediatisasi juga mengubah komunikasi manusia dengan memberikan
kemungkinan baru dalam berkomunikasi terhadap individu sebagai proses “a man-made
one”16.
Dengan demikian, ketika media menjadi mediasi maka komunikasi politik yang
dilakukan antara pemerintah pusat dan daerah atau sebaliknya dijembatani tanpa intervensi
media. Maka mediatisasi memperlihatkan meningkatnya institusi politik (pemerintah pusat
dan daerah) tergantung dan dibentuk oleh media (massa)17.
Ketiga,Model Komunikasi Multikultur. Model komunikasi multikultural ini dilandasi pada
kompetensi komunikasi antar budaya (intercultural communication competence)18.
Kompetensi komunikasi antar budaya memiliki tiga aspek yaitu aspek kognitif, afektif, dan
11 Englund , 2006.
12 Gastil & Black, 2007, hal. 4. 13 Cathcart, & Gumpert, 1983, hal. 271. 14 Williams, 1977.
15 Livingstone, 2009, hal. 7.
16 Mackenzie, & Wajcman (Eds.). 1999. hal. 23. 17 Mazzoleni, & Schulz, 1999. hal. 247.
165
behavioral. Pertama, aspek kognitif. Aspek ini direpresentasikan dengan adanya kesadaran
antarbudaya (intercultural awareness) yaitu merujuk pada kemampuan memahami konvensi
kultural yang mempengaruhi cara orang berinteraksi antara satu dengan yang lainnya.
Kedua, aspek afektif. Aspek ini ditunjukan dengan adanya sensitivitas antarbudaya
(intercultural sensitivity) yaitu kemampuan untuk memahami, menghormati, dan
mengapresiasi perbedaan kultural di dalam interaksi antar budaya. Ketiga, aspek behavioral.
Ini diperlihatkan dengan adanya keefektifan antarbudaya (intercultural effectiveness) yaitu
merujuk pada keterampilan berkomunikasi dalam mencapai tujuan tertentu dalam
perbedaan kultural.Oleh karena itu kompetensi komunikasi antara budaya merupakan model
komunikasi politik pemerintah pusat-daerah dalam kebijakan-kebijakan publik bagi
masyarakat majemuk yang memiliki dasar Bhinneka Tunggal Ika.
Keempat, Model Komunikasi Konsensus. Model ini mengacu pada teori negosiasi
(negotiation theory). Negosiasi merupakan proses yang mengkombinasikan posisi berkonflik
dalam posisi yang seimbang dibawah keputusan aturan “unanimity”19. Situasi negosiasi
merupakan hubungan saling ketergantungan dengan dua jenis daya tawar. Pertama, daya
tawar distributif (distributive bargaining) merupakan perilaku komunikasi yang berorientasi
pada “adversary” dan konflik. Setiap pihak berusaha memanipulasi informasi dalam rangka
memperkuat argumentasi untuk memenangkan posisinya. Kedua, daya tawar integratif
(integrative bargaining) merupakan moda komunikasi yang menyelesaikan masalah
bersama dengan keterbukaan komunikasi, pertemuan mencari solusi, dan mengungkapkan
alternatif20.
Dalam hubungan komunikasi politik pemerintah pusat dan daerah, daya tawar
distributif terjadi dengan mengakomodasi kelompok kepentingan yang ingin berbagi
kekuasaan,sehingga dipengaruhi oleh adanya biaya politik terkait kesepakatan dan
ketidaksepakatan. Sedangkan daya tawar integratif, maka pemerintah pusat dan daerah
membuka komunikasi dengan mencari solusi bersama dan adanya alternatif dalam setiap
permasalahan dalam membuat keputusan dalam kebijakan publik.
Kelima, Model Komunikasi Organisasi Unggul. Model komunikasi politik yang
diproposisi dalam kajian ini adalah model komunikasi organisasi unggul (excellent
organizational communication model)21. Dalam model ini dimulai dengan adanya komunikasi
unggul (excellence communication) dan organisasi unggul (excellent organization).
Komunikasi unggul terjadi ketika organisasi menggunakan komunikasi untuk mengelola
hubungan dengan khalayak (stakeholder) yang beragam untuk mencapai pemahaman
19 Kissinger, 1969.
166
bersama, menyadari tujuan organisasi, dan melayani kepentingan publik22. Kemudian
organisasi yang unggul (excellent organizations) adalah organisasi yang mampu
memberdayakan struktur di bawahnya otonomi (giving aoutonomy) dan juga
memberikannya kesempatan untuk membuat keputusan strategis (to make strategic
decisions) –keputusan bersifat terdesentralisasi, bukan tersentralisasi– dan
mengembangkan semangat inovatif23 (atau innovativeness) dalam berorganisasi24.
Oleh karena itu, konsep organisasi unggul (excellent organization) dalam model
komunikasi politik pemerintahan pusat dan daerah mampu mengembangkan struktur
organik (organic structure) atau struktur yang terdesentralisasi (decentralized structure) dan
menggunakan sistem komunikasi simetris (symmetrical communication system) yang lebih
menitiktekankan pada dialog, negosiasi, mendengarkan (listening), dan manajemen konflik
(conflict management) daripada persuasi, manipulasi, dan instruksi (the giving of orders).
Kemudian organisasi unggul dalam pemerintahan khususnya pemerintah pusat diharapkan
mampu mengembangkan konsep atribut “staying close to the local governments” yang
berusaha menyelesaikan konflik dan memperbaiki pemahaman tentang struktur yang
dibawahnya (pemerintahan daerah).
Kelima model komunikasi politik pemerintahan antara pusat dan daerah tentunya
perlu mengikuti koridor regulasi yang dinamis dalam prinsip otonomi daerah25,
desentralisasi26, dan dekonsentrasi27. Pertama, prinsip otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan paraturan
perundang-undangan (Pasal 1 ayat 5 UU No. 32 Tahun 2004). Kedua, prinsip desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah (pusat) kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI (Pasal 1 ayat 7 UU. No.
32 Tahun 2004). Ketiga, prinsip dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah (pusat) kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu (Pasal 1 ayat 8 UU No. 32 Tahun 2004). Ketiga prinsip
tersebut tentunya harus dimaknai dalam konteks saling keterkaitan, ketergantungan, dan
sinergitas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sebagai satu sistem
pemerintahan yang memiliki keserasian hubungan antar susunan pemerintahan28.
26 Termaktub dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 7.
167
Metode
Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui diskusi kelompok terfokus dan
wawancara mendalam di tiga daerah terpilih. Diskusi kelompok terfokus dilakukan dalam
tiga tahapan. Tahap pertama dilakukan untuk menentukan tema-tema yang menjadi
pertanyaan dalam penelitian seperti hubungan pemerintah pusat daerah yang dilihat dari
representasi pemerintah daerah (keterwakilan Pemerintah Provinsi dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD)), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Organisasi Masyarakat Sipil
dan Kepemudaan, dan Media di Daerah. Tahap kedua, diskusi dilakukan untuk menentukan
keterwakilan tiga daerah yang merepresentasikan: (1) potensi konflik yang tinggi; (2)
masyarakat yang multikultur; (3) daerah perbatasan; (4) memiliki pertumbuhan ekonomi
yang tinggi; (5) daerah pariwisata baru yang berkembang pesat; (6) jumlah penduduk yang
terbesar; dan (7) pemilukada yang sukses. Melalui diskusi tersebut, terpilih provinsi
Kalimantan Barat, Lampung, dan Jawa Barat sebagai keterwakilan daerah. Selanjutnya
tahapan ketiga dilakukan dengan mengunjungi daerah provinsi terpilih dan mengundang
setiap keterwakilan dalam masing-masing diskusi kelompok terfokus yang bertemakan
“Model Komunikasi Kepemerintahan Pusat dan Daerah: Upaya Meningkatkan Kinerja Pemerintah”.
Selain proses dalam diskusi kelompok terfokus, studi ini juga mewawancara secara
mendalam narasumber yang terdiri dari pejabat eselon satu atau dua di pemerintah provinsi,
pimpinan DPRD dan DPD, dan pemimpin redaksi media daerah. Wawancara ini dilakukan
untuk menggali masalah-masalah krusial yang dikemukakan diskusi kelompok terfokus dan
mengkonfirmasi pemberitaan yang muncul di media di Jakarta dan daerah.
Kajian ini menggunakan analisis kategori dan tematik yang disesuaikan dengan hasil
temuan dan konsep teoritis seperti hubungan pemerintah pusat-daerah dari perspektif
pemerintah daerah provinsi, legislatif daerah (DPRD dan DPD), organisasi masyarakat sipil
dan kepemudaan, dan media. Kemudian elaborasi kategorikal dan tematik dari hasil diskusi
kelompok terfokus dan wawancara mendalam dikonfirmasi keabsahannya secara substantif
dalam seminar terbatas dengan tema yang sama menghadirkan keterwakilan dari humas
pemerintah dari kementerian dan pemerintah daerah.
Hasil dan Pembahasan
Sesuai dengan analisis kategorikal dan tematik maka temuan studi ini dapat dibagi
atas empat tema. Pertama, perspektif pemerintah provinsi dalam komunikasi politik
pemerintah pusat dan daerah dapat ditemukan adanya (1) perubahan komunikasi politik
pemerintahan dari top down menjadi bottom up; (2)kepala daerah merupakan representasi
168
kebijakan pemerintah pusat tidak sesuai dengan rencana kerja dan persoalan daerah; (4)
kegiatan pemerintah pusat di daerah banyak yang bersifat sosialisasi, pengumpulan
informasi, dan monitoring evaluasi program atau kebijakan publik yang dilakukan oleh
pemerintah pusat; dan (5) minimnya peningkatan kapasitas pemerintah daerah terkait
dengan progam kebijakan publik yang dipersiapkan oleh pemerintah pusat.
Temuan ini mengindikasikan bahwa kurang berjalannya komunikasi politik
pemerintah pusat dan daerah yang seimbang. Daya tawar antara pemerintah daerah dan
pusat dan sebaliknya masih lemah. Posisi pemerintah pusat dan daerah lebih menunjukan
daya tarik distributif dibandingkan dengan integratif. Padahal kondisi ideal dalam komunikasi
politik diperlukan negosiasi. Hal ini telah dipraktikkan oleh anggota negara Uni Eropa
dengan usaha “to search for a solution to a common problem”29.
Kedua, dalam Komunikasi Politik Pemerintah Pusat Dengan Daerah dalam perspektif
Lembaga Legislatif (DPRD Provinsi dan DPD) ditemukan bahwa adanya indikasi pemerintah
pusat hanya ingin berkomunikasi dengan pemerintah eksekutif saja tidak dengan DPRD dan
DPD. DPRD dan DPD lebih ditempatkan sebagai “penonton” dalam komunikasi politik
pemerintah pusat dan daerah. Kemudian program dan kebijakan publik diinformasikan
kepada satuan kerja perangkat daerah tanpa melibatkan anggota dewan legislatif daerah.
Padahal dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, dikatakan bahwa pemerintah
daerah terdiri dari (Kepala) pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Sedangkan dalam UU No. 22/2003, dituliskan bahwa anggota DPD berdomisili di daerah
pemilihannya (pasal 33).
Baik DPRD dan DPD tidak dapat terlibat dalam komunikasi politik pemerintah pusat
dan daerah tanpa “undangan” dari pemerintah pusat maupun daerah. Penyebabnya
pemerintah pusat dalam kegiatan program dan kebijakan publik di daerah juga tidak memiliki
mekanisme regulasi yang mengatur keterlibatan DPRD dan DPD.
Sebaliknya saat ini tidak ada regulasi yang menjelaskan komunikasi politik dari
DPRD dan DPD untuk bisa terlibat dan perpartisipasi langsung dalam komunikasi
pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Sehingga aspirasi rakyat yang diterima oleh
DPRD dan DPD melalui proses yang panjang untuk disampaikan ke pemerintah pusat.
Dalam konteks normatif, DPRD menggunakan 11 tugas dan wewenang untuk dapat
berkomunikasi politik dengan pemerintah daerah seperti membahas rancangan anggaran
pendapatan belanja daerah (RAPBD), peraturan daerah sebagai turunan dari UU yang
dihasilkan oleh presiden dan DPR, serta rencana kerjasama internasional. Sehingga DPRD
bersifat menjalankan fungsi normatif seperti legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi
169
normatif tersebut menyebabkan anggota DPRD berusaha “menitipkan” aspirasi ke anggota
DPR yang satu partai untuk didiskusikan dengan pemerintah pusat. Sementara dalam
konteks yang dirasakan oleh anggota DPD lebih pada proses penyerapan aspirasi yang
dibawa dalam proses legislasi bersama dengan anggota DPD dari seluruh Indonesia.
Sehingga hal ini memperlihatkan aspirasi yang diserap oleh DPD tidak terkomunikasikan
dengan baik dengan pemerintah pusat.
Walaupun demikian masih dapat ditemukan adanya kebijakan pemerintah daerah
yang melibatkan DPRD dalam menyampaikan aspirasi, mengadvokasi dan mendorong
munculnya keinginan pemerintah daerah untuk diperhatikan oleh pemerintah pusat. Salah
satu temuan dalam studi ini adalah upaya pemerintah daerah (termasuk DPRD) untuk
memunculkan kebijakan penambahan kuota bahan bakar minyak (BBM) untuk provinsi.
Studi ini juga menemukan bahwa keberadaan otonomi daerah dan kepala daerah
yang berasal dari partai politik yang beragam menyebabkan tidak adanya sinkronisasi
kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Sehingga dalam proses komunikasi politik,
pemerintah pusat dan daerah diindikasi lebih kepada pemanfaatan partai politik dan media
tanpa banyak melibatkan lembaga legislatif seperti DPRD dan DPD yang ada di daerah.
Sehingga interpretasi dalam konteks komunikasi politik pemerintah pusat dan daerah
tentang DPRD Provinsi memiliki kedudukan sebagai bagian dari pemerintahan daerah (UU
No. 32 Tahun 2004); DPRD Provinsi juga merupakan badan legislatif di daerah (UU No. 27
Tahun 2009); kemudian DPD RI merupakan lembaga tinggi negara yang berfungsi sebagai
badan legislatif baru selain Dewan Perwakilan Rakyat yang berkedudukan di pusat (UU No.
27 Tahun 2009); dan DPD RI sebenarnya utusan daerah (pasal 2 UUD 1945) yang pada
dasarnya berperan penting mengawasi pelaksanaan otonomi daerah dan menyerap aspirasi
daerah langsung ke pusat, tidak sama.
Temuan ini mengisyaratkan lemahnya komunikasi politik pemerintahan pusat dan
daerah dan mengindikasi kekuatan partai politik dan media sebagai perantara antara
pemerintah pusat dan daerah. Keadaan ini seperti gambaran yang diungkapkan oleh Bennet
dan Entman yang mengatakan bahwa “mediated political communication has became
central to politics and public life in contemporary democracies”.30
Ketiga, Komunikasi Politik Pemerintah Pusat Dengan Publik Dalam Perspektif
Organisasi Masyarakat Sipil dan Kepemudaan ditemukan bahwa: (1) masyarakat bingung
terhadap batas teritori dan wewenang pemerintah pusat dan daerah; (2) dalam proses
pembuatan kebijakan, masyarakat setempat merasa perlu untuk dilibatkan dalam legal
drafting baik dalam kebijakan pusat maupun daerah yang terjadi di daerahnya; (3)
170
masyarakat sipil memandang kebijakan atau komunikasi politik pemerintah pusat dilihat dari
adanya permasalahan dalam pembagian anggaran; (4) komunikasi antara pemerintah pusat
dan daerah memperlihatkan bahwa banyak kepentingan publik yang belum terakomodir
dalam setiap kebijakan; (5) sebagian masyarakat juga menilai sosialisasi kebijakan
pemerintah pusat tidak pernah sampai ke publik, begitu juga sebaliknya aspirasi publik tidak
pernah dibawa langsung dalam proses pengambilan kebijakan di pemerintah pusat; namun
di sisi lain (6) terdapat juga elemen pemerintah pusat yang fungsional yang pernah bekerja
sama dengan elemen masyarakat dalam membentuk forum misalnya Forum Komunikasi
Penanggulangan Terorisme (FKPT) yang pada awalnya tidak melibatkan pemerintah
daerah.
Temuan-temuan ini memperlihatkan bahwa proses komunikasi deliberatif,
multikultur, dan berjenjangantara pemerintah pusat, daerah dan publik belum berjalan
dengan sebagaimana mestinya. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya dialog dalam
perencanaan31, dan terbatasnya pilhan yang rasional dengan waktu terbatas32.
Keempat, komunikasi politik pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam
perspektif media lokal, memperlihatkan bahwa media lokal berjaringan mampu
mengkomunikasikan kebijakan pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Media lokal
berjaringan yang berasal dari media yang ada di pusat memperlihatkan kemudahan
mendistribusikan informasi dan berita terkait masalah, program kegiatan, dan kebijakan
publik yang disesuaikan (kustomisasi) dengan daerah yang spesifik. Kemudian bagi media
lokal yang memiliki biro atau koresponden di daerah pusat maka media lokal yang tidak
berjaringan juga memperoleh informasi dengan cepat dan kemudian dapat dikonfirmasi
dengan keadaan daerah setempat. Sebaliknya, media lokal yang tidak berjaringan
mengalami kesulitan dalam menyampaikan kebijakan pemerintah daerah ke pemerintah
pusat karena distribusi jaringan media yang belum tentu ada di pusat. Berbeda dengan
media lokal yang berjaringan, media jenis ini dengan mudah dapat menginformasikan
kebijakan dan regulasi pemeritahan daerah ke pemerintah pusat dalam pemberitaannya.
Kendala yang dialami oleh media lokal berjaringan adalah terbatasnya kolom dan frekuensi
pemuatan informasi di media yang dikonsumsi oleh pemerintah pusat, selain itu adanya
kebijakan tertentu dalam redaksi yang terkait dengan prioritas informasi yang
disebarluaskan.
Keterbatasan media lokal yang tidak berjaringan, tidak memiliki biro perwakilan, atau
koresponden adalah akses pada pemerintah pusat, sehingga informasi yang seharusnya
31 Rommele, 2010.
171
dapat dimediasi, disampaikan, dan dikonfirmasi kepada pemerintah daerah menjadi tidak
seimbang. Distorsi informasi juga terjadi ketika media di pusat menginformasikan hal-hal
yang terjadi di pemerintah daerah sering tidak seperti yang diinformasikan oleh media lokal.
Akibatnya pada satu sisi media dapat melakukan mediasi dan mediatisasi antara komunikasi
politik pemerintah pusat dan daerah, namun di sisi lain, media mengontruksi dan
berkontribusi secara signifikan dalam disharmonisasi dan ketidaksinkronisasian komunikasi
politik pemerintah pusat dan daerah.
Kesimpulan
Kajian ini memperlihatkan komunikasi politik antara pemerintah pusat dan daerah
masih kaku, mekanistik, dan tergantung kepada regulasi yang terikat seperti
Undang-Undang, Peraturan atau Keputusan Presiden, Peratuan atau Keputusan Menteri.
Penerjemahan regulasi dalam bahasa komunikasi politik yang lebih fleksibel akhirnya
diambil alih oleh (1) partai politik yang masuk dalam organ aparatus pemerintahan dan (2)
media yang melakukan mediasi atau mediatisasi. Akibatnya pemerintah pusat dan daerah
tergantung dengan kedua elemen ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dengan demikian dari kelima model teoritis yang diproposisi, hanya keempat model
yang terindikasi muncul dalam kajian ini. Walapun demikian, dalam praktek komunikasi
politik pemerintahan pusat dan daerah, model komunikasi politik deliberatif, model
komunikasi media, model komunikasi multikultur, dan model komunikasi konsensus masih
belum dipahami dan diaplikasikan secara ideal. Implementasi model komunikasi teoritis
lebih bersifat parsialitas dan mengambil elemen-elemen yang dapat dilakukan secara
pragmatis. Sedangkan konsep organisasi unggul belum ditemukan dan dipraktekkan.
Oleh karena itu, studi ini merekomendasikan agar aparatur pemerintah pusat dan
daerah terlibat dalam suatu kegiatan bersama yang menggunakan model komunikasi politik
deliberatif, mediatif, multikultural, konsensus, dan unggul. Sehingga pada saat proses
hingga pengaplikasian dari kelima model ini, aparatur pemerintah pusat dan daerah dapat
menjadi politisi, profesional dan relawan. Kemudian baik pemerintah pusat dan daerah dapat
menempatkan aparatusnya sebagai political communication liaison officer yang mampu
menjembatani kepentingan masing-masing.
Akhirnya, secara akademis, dengan ditemukannya peran partai politik dan media
tertentu, maka studi ini merekomendasikan pentingnya penelitian kualitatif lebih lanjut
tentang model komunikasi politik pemerintahan yang termediasi dan mediatisasi oleh partai
172
Daftar Pustaka.
Almond, Gabriel A., & Powell, G. Bingham (1966) Comparative Politics: System,
Process,and Politics, Boston/Toronto: The Little, Brown and Co.
Bantas, Hercules, (2010), The Complete deliberative democracy, Melbourne, Australia: A
Reluctant Geek.
Bennet, W. Lance, & Entman, Robert M., (2001) Mediated politics: Communication in the
future of democracy, UK: Cambridge University Press.
Cathcart, R., & Gumpert, G. (1983). Mediated interpersonal communication: Toward a new
typology. Quarterly Journal of Speech, 69(3), 267-277 Hal. 271
Chen, Guo-Ming & Starosta, William J. (1996), Intercultural communication competence: A
synthesis, Communication Yearbook, 19, 353-383.
Dean, John W. (2007), Conservatives without conscience, New York: Viking, Penguin
Group.
Deutch, Karl, W (1963) The nerves of government: Models of political communication and
control. New York: The Free Press
Englund, Tomas, (2006) Deliberative communication: a pragmatist proposal, Journal of
Curriculum Studies, Vol. 38. No. 5, 503-520.
Gastil, John, & Black, Laura W., (2007) Public deliberation as the organizing principle of
political communication research, Journal of public deliberation, vol. 4 issue 1, article
3.
Gillis, Tamara L. (2011) The IABC Handbook of organizational communication: A guide to
internal communication, public relations, and leadership, 2nd edition, CA: Josey-Bass
and IABC.
Grunig, James E & Grunig, Larissa A., (2009) The Future ofexcellence in public relations
and communication management: Challenge for the next generation, dalam Elizabeth
L. Toth (editor), NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Grunig, James E. (2013) Excellence in public relations and communciation management,
NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Haris, Syamsudin, (2007), Otonomi daerah dan resolusi konflik pusat-daerah, Jakarta:
173
Kanter, R.M. (1985). Supporting innovation and venture development in established
companies. Journal of Business Venturing, 1: 47–60.
Kissinger, Henry, (1969) Nuclear weapons and foreign policy. W.W. Norton, New York, USA.
KPPOD.org (Kompas, 25 September 2012) Program tak sinkron terjadi pemborosan,
diakses dari
http://www.kppod.org/index.php/en/berita/berita-media/176-program-tak-sinkron-terjadi-pemborosan.
Kriesi, Lavenex, Bochsler, Matthes, Esser, Bühlmann (2013) Democracy in the age of
globalization and mediatization (Challenges to Democracy in the 21st century),
Hampshire, England: Palgrave McMillan.
Lewin, David; Feuille, Peter; Kochan, Thomas A.; Delaney, John Thomas, (1977) Public
sector labor relations: Analysis and readings, US: DC Heath and Company.
Livingstone, Sonia (2009) On the mediation of everything: ICA presidential address 2008.
Journal of communication, 59 (1). pp. 1-18.
Mackenzie, D., & Wajcman, J. (Eds.). (1999). The Social shaping of technology (2 ed.).
Buckingham: Open University Press.
Malik, Dusep (10 April 2013), Program pemerintah pusat dan daerah tidak sinkron, diakses
dari
http://www.indonesiafinancetoday.com/read/43548/Program-Pemerintah-Pusat-dan-Daerah-Tidak-Sinkron.
Mazzoleni, G., & Schulz, W. (1999). 'Mediatization' of politics: A challenge for democracy?
Political Communication, 16(3), 247-261 hal. 247.
Mazzucelli, Colette, (2003), France and Germany at Maastricht: Politics and negotiation to
create the European Union,Taylor and Francais eLibrary.
Pincione, Guido, & Teson, Fernando R. (2006). Rational choice and democratic deliberation:
A theory of discourse Failure, UK: Cambridge University Press.
Rommele, Andrea (24 October 2010). Stutgart21 is a failure of deliberative democracy,
diakses dari
http://www.theguardian.com/commentisfree/2010/oct/24/stuttgart-21-failure-deliberative-democracy.
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
UUD 1945 Pasal 18
Williams, R. (1977). From reflection to mediation. In R. Williams (Ed.), Marxism and literature
174
Effendi, Elpan (2001). Delapa indikasi kuat otonomi daerah terancam gagal. Jakarta: LP FE.