• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Teori Perkembangan Iman James Fowler terhadap Spiritualitas Pemuda GPIB Jemaat Immanuel Semarang T1 712012008 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Teori Perkembangan Iman James Fowler terhadap Spiritualitas Pemuda GPIB Jemaat Immanuel Semarang T1 712012008 BAB II"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

2. Kajian Teori

Pada bagian ini ada dua pemahaman utama yang diuraikan penulis, yakni

teori perkembangan iman James Fowler dan teori terkait spiritualitas.

2.1 Teori Perkembangan Iman James Fowler

James W. Fowler lahir pada 12 Oktober 1940 di North Carolina-Amerika

Serikat. Ia adalah seorang teolog yang kemudian menjadi psikolog dalam bidang

agama setelah menempuh pendidikan di Harvard University. Pada tahun

1972-1984 Fowler bersama rekan-rekannya mengadakan wawancara kepada lebih dari

500 orang responden, mulai dari umur 4 tahun sampai 88 tahun.1 Analisis hasil wawancara tersebut dipergunakan untuk menyusun sebuah teori baru yaitu teori

tahap perkembangan iman (Faith Development Theory). Teori perkembangan

iman adalah usaha psikologis ilmiah untuk menguraikan dan menganalisis seluruh

dinamika proses perkembagan tahap-tahap iman secara empiris dan deskriptif.2

Tahap 1: Kepercayaan Awal dan Elementer (Primal Faith)

Tahap ini timbul sebagai tahap atau pratahap (pre stage), yaitu bayi 0

sampai 2 tahun. Dalam Cremers (1995) tahap ini ditandai oleh cita rasa yang

bersifat praverbal terhadap kondisi-kondisi eksistensi, yaitu rasa percaya dan setia

yang elementer kepada semua orang dan lingkungan yang mengasuh sang bayi

serta pada gambaran tentang kekuasaan akhir yang dapat dipercaya, untuk

mengatasi rasa takut yang timbul dalam diri anak kecil, sebagai akibat dari

ancaman peniadaan hidup dan pemisahan dirinya dari para pengasuhnya.3 Awalnya Fowler menamakan tahap ini sebagai kepercayaan yang belum dapat

dibedakan baru kemudian sebagai primal faith, hal ini disebabkan oleh masih

bersatunya rasa kepercayaan, keberanian, harapan, dan kasih sayang.

Tahap 2: Kepercayaan Intuitif-Proyektif

Tahap ini dimulai pada usia 2 sampai dengan usia 6 tahun. Dunia

pengalaman anak disusun berdasarkan daya imajinasi atau fantasi emosional yang

kuat, sehingga pandangan dan perasaan menimbulkan gambaran intuitif dan

1James Fowler, “Theology and Psychology in the Study of Faith Development”, Concilium 152 no. 6 (1982): 88.

2Allen C. Gathman and Craig L. Nessan. “Fowler’s Stages Of Faith Development In An

Honors Science And Religion.” Zygon: Journal of Religion and Science 32 no. 3 (September 1997): 409.

(2)

konkret yang mendalam dan bertahap.4 Daya imajinasi dan dunia gambaran itu dirangsang oleh cerita, gerak, isyarat, ucapan, simbol-simbol dan kata-kata.

Hal-hal tersebut mereka pelajari dalam keluarga sebagai tempat sosialisasi primer.

Tahap 3: Kepercayaan Mistis-Harafiah

Dimulai pada usia 6 sampai dengan usia 12 tahun. Berbagai pola baru

ditemukan pada pola pengertian kepercayaan mistis-harafiah. Anak mulai berpikir secara “logis” dan mengatur pandangan dunia mereka dengan kategori-kategori baru, seperti sebab-akibat, ruang, dan waktu.5 Ia akan berusaha untuk menyelidiki segala hal dan seluruh kenyataan. Hal mistis meliputi seluruh dimensi naratif

(termasuk cerita, simbol, dan mitos). Tahap ini diberi ciri harafiah alasannya

adalah pada tahap ini anak sebagian besar mengunakan simbol dan konsep secara

konkret dan menurut arti harafiahnya. Seperti sebutan “mata ganti mata” akan

diartikan secara harafiah karena menggunakan logika konkret yang terkadang juga

muncul pada pemikiran orang dewasa.

Tahap 4: Kepercayaan Sintetis-Konvensional

Tahap ini terjadi pada usia 12 tahun sampai memasuki masa dewasa.

Muncul berbagai macam kemampuan kognitif yang mendorong anak untuk

kembali meninjau pandangannya. Pubertas membawa perubahan yang cepat

dalam ranah fisik dan kehidupan emosional. Gaya kognitif memungkinkan

terjadinya suatu cara interaksi baru. Akibatnya, ego harus berhadapan dengan

aneka ragam bayangan diri yang kadang-kadang sangat bertentangan satu sama

lain. Hal ini yang membingungkan remaja dan menimbulkan pertanyaan dalam

hati individu tentang siapakah dirinya.

Pertanyaan mengenai jati diri mulai merasuki pikiran sehingga perlu

menghubungkan berbagai macam bayangan diri serta menjadikannya satu

kesatuan diri atau indentitas diri yang dapat berfungsi dengan baik. Oleh karena

itu dalam Cremers (1995) Fowler menyebut dengan istilah sintesis, yang artinya

bahwa keanekaragaman dan keyakinan itu belum disatupadukan sehingga dapat

membentuk satu kesatuan yang menyeluruh.6 Pola kepercayaan ini juga disebut

4

Fowler, Stages of Faith, (San Francisco: Harper&Row 1981), 133.

5Stephen Parker, “Faith Development Theory as a Context for Supervision of Spiritual

(3)

konvensional, sebab secara kognitif, afektif, dan sosial penting bagi individu

untuk menyesuaikan diri dengan orang lain yang penting baginya dan mayoritas

orang.7 Remaja mengalami apa yang disebut dengan krisis identitas dalam tahap ini.

Tahap 6: Kepercayaan Eksistensial Konjungtif

Seorang individu paling cepat berada dalam tahap ini pada usia minimal

35-40 tahun. Fowler menggunakan istilah kepercayaan konjungtif yang berarti

menghubungkan, mengikat satu dengan yang lain. Istilah konjungtif mengarah

pada segala hal yang bersifat pertentangan yang pada tahap sebelumnya dirasakan

terpisah satu sama lain dan tidak mungkin diperdamaikan, kini dipersatukan

dalam satu kesatuan utuh yang lebih tinggi, bersifat dinamis, dan terus terbuka.8 Kepercayaan meningkatkan kepekaan dan sikap terbuka terhadap

kompleksitas kebenaran dan kedalaman realitas Allah serta mencerminkan sikap

tanggung jawab terhadap kemajemukan agama.9 Pengalaman religius tentang Allah diekspresikan pula dalam semua agama lain.

Pada tahap kepercayaan konjungtif, iman dalam tahap ini secara pribadi

dan kritis dirasakan sebagai kekuatan eksistensial yang paling besar dan penting,

jauh melampaui segala daya manusia yang terbatas. Seluruh kehendak, upaya,

pikiran, perasaan, dan motivasi pribadi konjungtif diwarnai oleh pertentangan

nyata yang tidak dapat diatasinya pada tahap ini, sehingga membawa “diri yang

masih terbagi” menuju tahap ketujuh, yaitu kepercayaan eksistensial yang

mengacu pada universalitas.10

Tahap 7: Kepercayaan Yang mengacu pada Universalitas.

Kepercayaan ini sebenarnya jarang terjadi, dan jika terjadi umumnya

terjadi sesudah usia 30 tahun. Tahap ini biasanya muncul pada tokoh-tokoh besar

di sejarah agama seperti Mother Teressa, Mahatma Gandhi dan lain sebagainya.

Ciri khas dari tahap ini yakni: 1) Para universalizer dipandang sebagai contoh

yang sungguh berhasil dalam mencapai kepenuhan dan kesempurnaan panggilan

hidup manusia; 2) Universalizer memandang segala sesuatu, seperti halnya

7

Cremers, Tahap-Tahap Perkembangan. 8Fowler, Stages of Faith, 197.

(4)

kebenaran, nilai, komitmen, diri yang lain, kelompok dan segala ciptaan di bawah

terang unversalitas; 3) ciri khas ketiga yang mencolok pada pribadi yang

kepercayaannya bersifat universal adalah dampak “subversifnya” yang sebenarnya bersifat pembebasan dan penyelamatan atas dasar gejala “irelevansi yang relevan”; 4) Para universalizer memikul beban tugas menjadi “utusan Allah” di tengah-tengah dunia.11

2.2 Tahap Perkembangan Kepercayaan Individuatif-Reflektif

Tahap ini muncul pada usia 18 tahun ke atas. Individu mengalami

perubahan yang mendalam dan menyeluruh dalam hidupnya. Ada tiga hal yang

terjadi dalam tahap ini antara lain: 1) munculnya kesadaran tentang identitas diri

yang khas dan otonomi tersendiri, individu akan semakin dapat melihat perbedaan

dari pribadi lain; 2) Dengan daya operasional formal dan sikap refleksi yang

tinggi ia mulai mempertanyakan nilai atau pandangan hidupnya; 3) Individu

sendirilah yang mempunyai tugas untuk mengambil keputusan dan menyingkirkan

kepercayaan lain.12 Pada masa ini individu akan cepat tanggap dan kritis terhadap

pemimpin yang ideologis dan kharismatik. Disebut individuatif-reflektif karena

individu mengembangkan kepercayaannya sebagai hasil refleksi kritis

semata-mata.

Individu (orang dewasa muda) mampu secara refleksi-kritis memeriksa

seluruh gabungan gambaran identitas diri, sistem keyakinan religius yang tak

diucapkan, dan pandangan hidup praktisnya. Sebelumnya, sistem keyakinan

keagamaan, nilai, dan komitmen itu dipeluknya secara amat emosional dan

merupakan suatu sistem implisit-tak diucapkan, kurang direfleksikan, sedangkan

temanya pun tidak dibicarakannya secara eksplisit.13 Mereka mulai menyusun pandangan hidup sendiri secara kritis sebagai perwujudan dari sistem eksplisit yang menunjukkan sifat “keterpaduan sistematis”. Sistem inilah yang memberikan dasar identitas diri dan identitas kepercayaan yang baru.

Pada masa ini timbul yang dinamakan “ego eksekutif” menurut Fowler. Ego eksekutif mengacu individu agar mengambil tanggung jawab yang jelas

11Fowler, Stages of Faith.

(5)

untuk keyakinan dan gaya hidupnya.14 Hal ini merupakan suatu perubahan yang sungguh-sungguh mendalam menyangkut dasar dan orientasi diri, sebelumnya

kesadaran diri didasarkan oleh sejumlah peranan dan relasi sosial dengan orang

lain yang dianggapnya penting. Kini segala pilihan, keputusan, nilai-nilai dan

tujuan hidup ditentukannya sendiri. Artinya secara mandiri menanggung tugas dan

beban untuk memikul tanggung jawab dan membuat keputusan serta menentukan

pilihan sendiri tanpa berdalih kepada orang lain yang memiliki otoritas. Dengan

demikian “diri subjek” atau “aku sendiri” menjadikan diri sebagai perancang,

pelaku hidupnya sendiri. Ego eksekutif menolong diri untuk menguasai dan

mengatasi semua gambaran diri itu, menyusun dan menyatupadukan beraneka

peran serta hubungan yang dimilikinya menurut prioritas pilihannya, dan

menciptakan identitas diri yang otonom, tidak tergantung pada siapa dan apa pun

kecuali pada cara mengontrol dirinya sendiri.15

Dengan latar belakang perubahan yang terjadi pada individu tersebut, kita dapat memahami “aspek lain” yang tersirat dalam tahap ini, yakni individuasi, pada kepribadian yang masih tersembunyi dan yang berbeda dari yang diharapkan

oleh orang lain. Hal ini sering menimbulkan pertanyaan yang penuh dengan

kecemasan mengenai identitas diri dan batas-batas yang jelas. Misalnya,

pertanyaan-pertanyaan seperti: “Siapakah aku ini apabila pada dasarnya

identitasku tidak bisa ditentukan dan didefinisikan sebagai anak dari orang tua

tertentu atau sebagai anggota suku dan bangsa tertentu ini? Siapakah aku ini

apabila identitasku tidak dapat ditegakkan dan ditetapkan oleh keanggotaanku pada sekelompok teman atau sejumlah kelompok sosial penting lainnya?” Jawaban atas segala pertanyaan ini ialah bahwa “aku” hanyalah “aku-ku sendiri” yang hanya bergantung pada diriku yang memiliki diri dan yang secara mandiri memilih dan mewujudkan diriku sendiri; aku adalah “aku-subjek” yang aktif dan eksekutif, yang melaksanakan dan menguasai diriku sendiri.16

Ciri khas umum pada tahap perkembangan ini terhadap hidup religius

dan pola kepercayaan khas seorang dewasa adalah sebagai berikut. Pertama, pola

dari kepercayaan individuatif-reflektif berfungsi sebagai daya konstruksi sentral

14Fowler, Teori Perkembangan Kepercayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 166. 15Fowler, Teori Perkembangan 167.

(6)

yang menyokong dan memperkuat susunan identitas diri dan pandangan hidup

seorang pribadi.17 Artinya agama dan kepercayaan memberikan suatu acuan dasar dan kerangka pedoman yang mengarahkan individu bersikap religius serta

memunculkan rasa tanggung jawab etis di tengah-tengah dunia yang penuh

dengan dualisme dan relativisme. Kedua, orang dewasa muda mengembangkan

visi kepercayaannya sebagai hasil refleksi kritis semata-mata.18 Nilai, ajaran, keyakinan, mitos, dan cerita konvensional yang ia dapatkan pada masa

sebelumnya dari pengajaran agama dan budaya tidak dapat diterimanya lagi

karena telah diperhadapkan dengan pertimbangan akal budi. Hal-hal tersebut

kembali diperiksa satu per satu. Ketiga, gambaran orang dewasa muda mengenai

Allah memperlihatkan unsur-unsur individuatif-reflektif dan kritis-rasional.19 Allah dicari dalam diri pribadi sendiri dan dikaitkan dengan ego eksekutif yang

bersumber pada otoritasnya sendiri. Acap kali Allah tampak di dalam dirinya,

bahkan dihayati sebagai suara hatinya sendiri yang mendorong mereka untuk

memikul tanggung jawab, menentukan pilihan, dan mengambil keputusan sendiri.

Gambaran Allah pun juga bergantung pada ego itu, mungkin merupakan sejenis

dari proyeksi diri ego itu.

Terdapat tiga titik kelemahan dari tahap kepercayaan ini. Kelemahan

pertama adalah orang dewasa muda secara berlebihan mengandalkan kekuatan

dan daya akal budi kritis yang dianggapnya bisa menguasai dan mengendalikan

segalanya dengan genggaman rasional yang tidak akan membiarkan barang suatu

apa pun tinggal dalam kegelapan tanpa ditembusi oleh sinar akal budi.20 Maksudnya adalah individu terperangkap dalam bayangan rasio kritis yang mutlak sehingga menganggap dirinya “mahakuasa”. Kadang-kadang ego eksekutif yang rasionallah yang disebut Allah. Hal tersebut mengindikasikan terdapat

hal-hal dibawah kesadaran rasional dengan memusatkan ego. Kelemahan kedua ialah

bahwa ego dapat berfokus pada egonya sendiri secara berlebihan dengan begitu asyik dengan dirinya sendiri sehingga sifat “individuasi” merosot dan berubah menjadi “individualisme” yang tak terbatas.21

Contohnya ialah sifat egosentrisme

17Fowler, Teori Perkembangan, 178. 18

(7)

dan narsisme pada kehidupan orang dewasa muda. Kelemahan ketiga adalah

bahwa ego eksekutif yang rasional dan kritis ini menjadi sedemikian terisolasi dan

tersendiri serta melekat pada dirinya sendiri, sehingga sulit menempatkan diri

sebagai bagian integral dalam keseluruhan arus objektif semua tradisi religius

yang luas serta ke dalam kandungan kelompok religius yang secara sosiologis

selalu terwujud dalam bentuk-bentuk kelembagaan.22

2.3 Teori Spiritualitas

Ada beberapa pemahaman mengenai spiritualitas. Menurut Stefanus C.

Haryono, spiritualitas berasal dari bahasa Latin spiritus yang artinya roh, jiwa

atau semangat.23 Kata ini memiliki padanan arti dengan ruakh dalam bahasa Ibrani, atau pneuma dalam bahasa Yunani, sedangkan dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai “semangat yang menggerakkan”. Kata “spiritualitas” digolongkan sebagai kata yang universal karena bisa digunakan oleh semua

agama. Kata spiritual bisa diartikan sebagai energi kehidupan, yang membuat kita

dapat hidup, bernapas dan bergerak termasuk pikiran, perasaan, tindakan dan

karakter kita pada tataran konseptual.24 Oleh karena itu Swidler memahami spiritual mengacu pada makna interior atau internal kemanusiaan.25

Stoyles memahami spiritualitas sebagai kapasitas dan keunikan, yang

mendorong seseorang untuk bergerak melampaui diri sendiri mencari makna dan

menyatu dalam keterhubungan dengan dunia kehidupan nyata.26 Rossesau mengemukakan spiritualitas adalah pencarian pribadi untuk memahami jawaban

akhir atas pertanyaan tentang kehidupan, makna hidup, dan pengalaman

transenden.27

Berdasarkan pemahaman para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa

spiritualitas adalah energi kehidupan yang mengacu pada makna interior atau

22Fowler, Teori Perkembangan.

23Stefanus Christian Haryono, “Spiritualitas”, dalam

Meniti Kalam Kerukunan: Beberapa Istilah Kunci dalam Islam dan Kristen. Diedit oleh M. Nur Kholis Setiawan dan Djaka Soetapa, (Jakarta: BPK Gunung Mulia , 2010), 562.

24Engel, “Agama dan Spiritualitas,” dalam Buku Ajar Agama, diedit oleh Mariska Lauterboom, Irene Ludji, Retnowati (Satya Wacana University Press, 2015), 72.

25

Engel, “Agama danSpiritualitas”.

26Stanford Stoyles dan Keating Caputi, A Measure of Spirituaal Sensitivity for Children.”International Journal of Children’s Spirituality 17, no. 3 (2012): 205.

(8)

internal kemanusiaaan sehingga dalam hubungan dengan belief system

spiritualitas adalah agama, karena itu baik spiritualitas maupun agama merupakan

representasi dari spiritual.28

Ioanes Rakhmat mengemukakan tiga aspek dasar dari spiritualitas, yakni

kawasan spiritual (mengacu pada hubungan dengan Tuhan, yang di dalam

hubungan tersebut terjadi proses pembentukan diri untuk menemukan makna asasi

dari hidup), pengenalan diri (proses lanjutan dari ditemukannya makna hidup),

sikap hidup (wujud nyata dari ditemukannya makna hidup).29 Pencarian, penemuan makna asasi tidak hanya terbatas di dalam komunitas keagamaan,

tetapi juga bisa ditemukan dalam pandangan-pandangan dunia yang juga

meningkatkan kebajikan semesta.

Menjaga dan menumbuhkan spiritual dapat dilakukan dengan cara

disiplin dan praktik-praktik tertentu dari setiap individu untuk terbuka dan hidup

dalam ketaatan dan kesetiaan kepada Tuhan melalui kehidupan interaksi dengan

orang lain. Apa yang membuat sesuatu yang 'disiplin spiritual' adalah bahwa

dibutuhkan bagian tertentu dari cara hidup setiap orang dengan tertib dan teratur,

kebiasaan atau pola yang teratur dalam hidup yang berulang kali membawa kita

kepada Tuhan, seperti tertib berdoa, ibadah, saat teduh, berpuasa dan lain

sebagainya.

Dalam membangun spiritualitas Stark dan Glock menyebutkan adanya 5

dimensi dari komitmen religius, yakni kepercayaan, praktis, pengetahuan,

pengalaman, dan etis. Pertama, dimensi kepercayaan diartikan sebagai keyakinan

akan kebenaran dari pokok-pokok ajaran imannya. Ini merupakan unsur yang

amat penting dalam kekristenan, bahkan juga di agama-agama lain.30 Tanpa keyakinan akan kebenaran dari pokok-pokok ajaran iman, tentu seseorang tidak

akan menjadi bagian dari komunitas orang beriman tersebut, misalnya apabila

seseorang tidak percaya bahwa Yesus adalah Juruselamat manusia, maka tidak

mungkin ia menjadi seorang anggota gereja. Kedua, dimensi praktis, terdiri dari

28Engel, “Agama dan Spiritualitas” 74. 29

Ioanes Rakhmat, “Spiritualitas Yesus dari Nazareth”, Jurnal PENUNTUN, 3 no. 12 (Juli 1997): 493.

(9)

dua aspek yaitu ritual dan devosional.31 Ritual diuraikan sebagai suatu ibadah yang formal, seperti menghadiri ibadah hari Minggu, ibadah kategorial, ibadah

keluarga, menerima sakramen, melangsungkan pernikahan di gereja, sedangkan

devosional adalah ibadah yang dilakukan secara pribadi dan informal, seperti

misalnya berdoa, berpuasa, membaca Alkitab.32

Ketiga, dimensi pengalaman yakni pengalaman berjumpa secara

langsung dan subjektif dengan Allah. Dengan kata lain, mengalami kehadiran dan

karya Allah dalam kehidupannya.33 Pengalaman keagamaan ini bisa menjadi awal dari keimanan seseorang, tetapi juga bisa terjadi setelah seseorang mengimani

suatu agama tertentu. Dapat saja pengalaman itu berada di awal ataupun di

tengah-tengah, pengalaman ini berfungsi untuk semakin meneguhkan iman

percaya seseorang. Keempat, dimensi pengetahuan yakni pengetahuan tentang

elemen-elemen pokok dalam iman keyakinannya, atau yang sering kita kenal

dengan dogma, doktrin atau ajaran gereja.34 Hal ini tentu saja sangat berkaitan dengan dimensi pertama (kepercayaan). Seseorang akan terbantu untuk menjadi

semakin yakin dan percaya apabila ia mengetahui apa yang dipercayainya.

Kelima, dimensi etis, umat mewujudkan tindakan imannya dalam

kehidupan sehari-harinya yang mencakup perilaku, tutur kata, sikap dan orientasi

hidupnya.35 Hal ini tentu saja dilandasi pada pengenalan atau pengetahuan tentang ajaran agamanya dan percaya bahwa apa yang diajarkan oleh agamanya adalah

benar adanya. Idealnya sebuah kehidupan spiritualitas yang baik dan dewasa

adalah bila kelima dimensi tersebut berkembang secara seimbang. Sama seperti

perkembangan kehidupan manusia. Seorang dikatakan dewasa dan matang, tentu

bukan semata-mata karena ciri-ciri fisiknya tetapi juga akan diukur dari

kematangan emosionalnya, kearifannya, dan perilakunya. Oleh karena itu

pembangunan spiritualitas tidak bisa hanya menekankan satu aspek saja. Kelima

dimensi spiritualitas itu harus mendapatkan perhatian yang sama.

31Stark dan Glock, American Piety, 15. 32

Referensi

Dokumen terkait

Unit Kerja :Fakultas Ilmu Pendidikan Status :Dosen. Bidang

Hasil sidik ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa interaksi antara dosis mikoriza dan jenis tanaman tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap akumulasi logam

organisasi untuk mencapai keefektifan manajemen rantai pasokan. Kemitraan strategik pemasok merupakan hubungan jangka panjang antara organisasi dengan pemasoknya dan dibentuk

Teorema 3: Untuk suatu perubahan suku bunga yang tertentu, besarnya perubahan harga obligasi akan berhubungan positif dengan waktu maturiti, yaitu semakin lama

Apakah ada hal-hal lain yang patut dipertimbangkan dalam

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghitung dan menganalisis kos produk Kubah pada UKM Bakat Jaya dengan menggunakan Metode Full Costing kemudian membandingkan