• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesetaraan Gender Dan Pemberdayaan Perempuan Dalam Perspektif Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kesetaraan Gender Dan Pemberdayaan Perempuan Dalam Perspektif Hukum Internasional"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEDUDUKAN PEREMPUAN BERDASARKAN KONVENSI

INTERNASIONAL

A.Kedudukan Perempuan Berdasarkan Konsep Mengenai Gender

Perempuan dan perannya memang selalu mengundang kontroversi,

terutama di era yang menjunjung tinggi persamaan hak antara wanita dengan pria.

Tuntutan ini akrab dengan istilah Kesetaraan Gender. Jika membahas mengenai

gender dan peran sosial yang dimainkannya di Indonesia, maka hal ini tidak

terlepas dari budaya atau kultur yang kental akan budaya patriarki.

Budaya patriarki adalah budaya yang menjadikan kaum laki-laki sebagai

pusat otoritas (kekuasaan), kedudukan lelaki yang lebih tinggi dari perempuan.

Laki-laki sebagai pusat otoritas dalam mengambil keputusan yang di dalamnya

terdapat kaum perempuan yang terlibat, seperti dalam keluarga maupun

organisasi. Laki-laki identik sebagai ketua atau penanggung jawab. Pada zaman

dahulu, hal ini memang dipegang teguh oleh semua orang dan mereka yakin

bahwa pria memang bertanggung jawab penuh sebagai seorang pemimpin.

Dengan begitu besarnya porsi laki-laki dalam hal tanggung jawab

membuat laki-laki memiliki pengaruh yang kuat dan mutlak. Di keluarga,

misalnya, jika kepala keluarga sudah megatakan sesuatu hal, maka seluruh

anggota keluarga akan menyepakati. Hal ini juga berlaku dalam hal pengambilan

keputusan akan masalah yang terjadi di keluarga. Tradisi inilah yang membuat

(2)

dan nrimo (menerima) akan keputusan apa pun yang diambil, meski tidak jarang

mengorbankan kepentingannya.

Hal ini tentu berakibat kemampuan perempuan dalam hal berpikir kritis

pun semakin tumpul. Ruang gerak perempuan terbatas hanya di ranah urusan

rumah tangga. Tentu saja hal ini kelak membuat sekelompok perempuan jenuh

dan memberontak. Demikian pula diskriminasi terhadap perempuan adalah istilah

yang layak digunakan untuk mendefinisikan dampak patriarki ini. Kesetaraan

gender adalah istilah yang mewakili aspirasi yang disuarakan oleh sekelompok

perempuan yang merasa terkekang akan tradisi dan budaya yang sudah kuat

terbangun ini.

Kesetaraan gender didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana semua

manusia (baik laki-laki maupun perempuan) bebas mengembangkan kemampuan

personal mereka dan membuat pilihan tanpa dibatasi oleh stereotype, peran gender

yang kaku. Hal ini bukan berarti bahwa perempuan dan laki-laki harus selalu

sama, tetapi hak, tanggung jawab dan kesempatannya tidak dipengaruhi oleh

apakah mereka dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan.

Secara umum, gender itu berasal dari bahasa latin “genus” yang berarti

jenis atau tipe. Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan

perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya.10

10

Saparinah Sadli, Pengantar Tentang Kajian Wanita, dalam T.O Ihromi (ed) Kajian

Kalau begitu antara

gender dengan seks adalah sama? Pertanyaan itu sering muncul dari pengertian

(3)

Gender itu sendiri adalah kajian perilaku atau pembagian peran antara

laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat

tertentu dan pada masa waktu tertentu pula. Gender ditentukan oleh sosial dan

budaya setempat sedangkan seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan

oleh Tuhan. Misalnya laki-laki mempunyai penis, memproduksi sperma dan

menghamili, sementara perempuan mengalami menstruasi, bisa mengandung dan

melahirkan serta menyusui dan menopause.11

Dalam melaksanakan peran ataupun tingkah laku yang diproses

pembentukannya di masyarakat itu terjadi pembentukan yang “mengharuskan”

misalnya perempuan itu harus lemah lembut, emosional, cantik, sabar, penyayang,

sebagai pengasuh anak, pengurus rumah dan lainnya. Sedangkan laki-laki harus

kuat, rasional, wibawa, perkasa, pencari nafkah dan lain sebagainya. Proses

pembentukan yang diajarkan secara turun-temurun oleh orangtua kita,

masyarakat, bahkan lembaga pendidikan yang ada dengan sengaja atau tanpa

sengaja memberikan peran (perilaku) yang sehingga membuat kita berpikir bahwa Begitu juga terhadap bentuk hubungan gender dengan seks (jenis

kelamin). Dapt dikatakan bahwa hubungannya adalah sebagai hubungan sosial

antara laki-laki dengan perempuan yang bersifat saling membantu atau sebaliknya

malah merugikan, serta memiliki banyak perbedaan dan ketidaksetaraan.

Hubungan gender berbeda dari waktu ke waktu, dan antara masyarakat satu

dengan masyarakat lain, akibat perbedan suku, agama, status sosial maupun nilai

tradisi dan norma yang dianut.

(4)

memang demikianlah adanya peran-peran yang harus kita jalankan. Bahkan, kita

menganggapnya sebagai kodrat.

Selain itu ada juga beberapa pendapat tentang gender. Berikut ini beberapa

pengertian gender menurut para ahli, antara lain :

1. Gender adalah peran sosial dimana peran laki-laki dan peran

perempuan ditentukan.12

2. Gender adalah perbedaan status dan peran antara perempuan dan laki-laki

yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan nilai budaya yang

berlaku dalam periode waktu tertentu.13

3. Gender adalah perbedaan peran dan tanggung jawab sosial bagi

perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh budaya.14

4. Gender adalah jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk

menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin.15

Perbedaan gender tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan

ketidakadilan gender (gender inequality). Namun, yang menjadi persoalan adalah

bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum

laki-laki maupun kaum perempuan, terutama kaum perempuan. Ketidakadilan

gender merupakan system dan struktur di mana baik kaum laki-laki maupun kaum

perempuan menjadi korban dari system tersebut.

Untuk memahami bagaimana peran gender melahirkan ketidakadilan

gender, dapat dilihat melalui berbagai manifestasi ketidakadilan yang ada, yakni;

12

Suprijadi dan Siskel, Gender. PT. Danur Wiajay Press, Surabaya, 2004 Hal. 76 13

WHO, Gender and Feminism in Politic, dalam Said Khan Wanita, Gender dan Feminisme Perjuangan Partisipasi Politik Kaum Perempuan. 2011. Hal. 10

14

(5)

marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak

penting dalam keputusan politik, pembentukan streotipe atau melalui pelabelan

negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak

(burden), serta sosialisasi ideology nilai peran gender. Manifestasi ketidakadilan

gender ini tidak bisa dipisah-pisahkan, karena saling berkaitan dan berhubungan,

saling mempengaruhi secara dialektis.16

B.Gender Sebagai Suatu Bentuk Yang Harus Diutamakan

Hingga saat ini berbagai instrumen yuridis telah dibuat untuk mendukung

terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Komitmen pemerintah melalui

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan untuk mewujudkan kesetaraan

dan keadilan gender juga sangat tinggi. Namun, dalam kenyataannya ketimpangan

gender dalam segala aspek kehidupan tetap terjadi, sehingga sangat perlu

dilakukan identifikasi terhadap berbagai faktor yang menjadi penyebabnya agar

diperoleh solusi yang tepat sesuai dengan persoalannya. Wacana tentang isu

gender sudah menjadi isu yang mendunia.

Pada umumnya isu gender yang paling sering dibahas adalah masalah

status dan kedudukan perempuan di masyarakat yang masih dinilai subordinal

atau marginal. Persoalan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender bukanlah

persoalan sederhana dan berdimensi lokal, namun persoalan ini ditemui di seluruh

belahan dunia, serta berkaitan erat dengan segala sendi kehidupan manusia. Maka

tidaklah mengherankan jika boleh dikatakan perjuangan para pemerhati masalah

perempuan, untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender yang sudah

16

(6)

sekian lama seolah-olah jalan di tempat, atau paling sedikit hasil yang dicapai

belum sesuai dengan harapan.

Jika dilihat dari sejarah perhatian dunia secara formal mengenai persamaan

antara lakilaki dan perempuan sudah dimulai pada tahun 1948 melalui suatu

deklarasi yang disebut sebagai The Universal Declaration of Human Rights

(Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB), dan tahun 1976 dilengkapi menjadi The International Bill of Human

Rights (Pernyataan Hak Asasi Manusia). Dalam prakatanya Presiden Amerika

pada saat itu Jimmy Carter menyatakan bahwa Piagam PBB berbicara tentang

keyakinan pada hak asasi manusia yang fundamental, pada martabat dan

penghargaan manusia, pada persamaan hak laki-laki dan perempuan dan

bangsa-bangsa besar dan kecil. Pernyataan tersebut secara implisit mengemukakan bahwa

ada ketidaksamaan hak antara laki-laki dan perempuan didunia ini, sehingga perlu

dibuat dalam sebuah pernyataan agar negara, maupun masyarakat, mengindahkan

persamaan hak tersebut sebagai sebuah hak asasi manusia.

Kesetaraan gender juga sangat penting artinya dalam peningkatan kualitas

kehidupan keluarga melalui penurunan tingkat fertilitas dalam sebuah keluarga.

Seperti tingkat kesetaraan gender yang tinggi sangat diperlukan bagi

negara-negara berkembang yang memiliki tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi

dalam rangka menurunkan tingkat fertilitas di negara-negara tersebut. Penurunan

fertilitas ini terjadi melalui kesetaraan gender di empat bidang yaitu kesetaraan

(7)

peran dalam kemasyarakatan, kesetaraan dalam pengambilan keputusan penting

dalam rumah tangga.

Peningkatan kesetaraan gender pada empat bidang tersebut mengakibatkan

penurunan fertilitas melalui hak reproduksi istri, yang pada akhirnya berdampak

pada peningkatan kualitas keluarga. Dengan demikian jika pemerintah

menginginkan terjadi penurunan fertilitas di dalam sebuah keluarga, maka cara

tidak langsung yang dapat digunakan adalah melalui peningkatan maupun

pemahaman bahwa kesetaraan gender merupakan hal yang harus diutamakan

dalam setiap sisi kehidupan manusia.

Negara Indonesia telah sejak lama memiliki pendekatan kebijakan untuk

program-program khusus perempuan, yang dilaksanakan melalui Program

Nasional P2W-KSS (Peningkatan Peran Wanita Untuk Membina Keluarga Sehat

dan Sejahtera). Karena peran utama perempuan terutama dinilai sebagai peran

rumah tangga, maka program-program seperti itu terutama difokuskan pada

kesejahteraan keluarga dan upaya untuk mendapatkan tambahan penghasilan

keluarga sehingga program-program pembangunan lainnya tidak diwajibkan

bersifat responsif terhadap gender. Akibatnya, secara keseluruhan tidak dijumpai

adanya kesadaran kelembagaan mengenai kaitan antara pemberdayaan perempuan

dan pembangunan berkelanjutan.

Gender sebagai suatu bentuk yang harus diutamakan sesungguhnya sudah

diamanatkan melalui Instruksi Presiden/INPRES Pengarusutamaan Gender No.

9/2000, yang mengharuskan semua instansi pemerintah di tingkat nasional dan

(8)

monitoring dan evaluasi seluruh kebijakan dan program. Menurut INPRES

tersebut, Kementrian dan lembaga ditingkat nasional dan lokal harus mengatasi

persoalan ketidak-setaraan gender dan menghapuskan dikriminasi gender.

Peraturan Menteri Dalam Negeri/Kepmendagri No. 15/2008 berisi pedoman untuk

pelaksanaan pengarusutamaan gender di tingkat propinsi dan kabupaten. UUD

Negara Indonesia dan ratifikasi berbagai konvensi internasional menunjukkan

komitmen negara terhadap kesetaraan gender dan menyebabkan dikeluarkannya

berbagai undang-undang lokal yang efektif.

Sasaran-sasaran kesetaraan gender mendapat penguatan lebih lanjut

dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 9/2000 mengenai Pengarusutamaan

Gender pada bulan Desember 2000, yang dilengkapi dengan Manual

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, yang mengklarifikasi

peran dan tanggung jawab pengarusutamaan gender di lingkungan

departemen-departemen dan instansi-instansi pemerintah. Lima instansi pemerintah, yaitu

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Pertanian, Kantor

Menteri Negara Koperasi dan Usaha Menengah Kecil, Departemen Pendidikan

Nasional dan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, telah

berpartisipasi dalam suatu program percontohan menggunakan Jalur Analisa

Gender atau Gender Analysis Pathway (GAP), yang dikembangkan oleh Kantor

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (dengan dukungan dari CIDA).

Perangkat analisa yang sederhana ini digunakan untuk membantu

melakukan analisa gender, menyusun perencanaan, kebijakan dan pembangunan

(9)

melakukan pengembangan lebih lanjut kepada kelompok-kelompok pemerintah,

pengusaha dan pekerja.

C.Prinsip Tentang Kesetaraan Gender

Sebagai upaya dalam mengatasi permasalahan gender saat ini, maka dapat

dilihat beberapa prinsip-prinsip kesetaraan yang dikutip dari hasil Konvensi

CEDAW. Konvensi ini merupakan konvensi internasional tentang hak asasi

perempuan dengan tiga pendekatan: kesetaraan substantif, non-diskriminasi, dan

kewajiban negara.

a. Prinsip Kesetaraan Substantif

Prinsip ini mempertimbangkan dan memberikan fokus pada keragaman,

perbedaan, ketidakberuntungan, dan diskriminasi. Pendekatan prinsip ini berusaha

mengembangkan “perlakuan yang berbeda” terhadap perempuan dalam rangka

mengejar ketertinggalan mereka akibat dari pembedaan masa lalu yang dialami

dalam keluarga dan masyarakat.

b. Prinsip Non-Diskriminasi

Prinsip ini menganut setiap langkah dan upaya yang tidak menyebabkan

diskriminasi pada perempuan, seperti pembedaan, pengucilan, atau pembatasan

yang dibuat berdasarkan jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan

untuk menghalangi, mengurangi, menghapuskan pengakuan atau pelaksanaan

HAM dan kebebasan pokok di berbagai bidang (politik, ekonomi, sosial budaya,

dan sipil).

Diskriminasi dilarang dalam lebih dari satu traktat hak asasi manusia.

(10)

pembedaan berdasarkan ras, warna, jenis kelamin, dan bahasa sebagai jaminan

atas hak individu. Pembedaan dalam pemberian hak atas dasar yang manapun

merupakan tindakan diskriminatif dan bukan perlakuan berbeda yang

memfasilitasi kesetaraan pengakuan, penikmatan, dan penerapan hak yang sama

bagi semua. CEDAW memberikan arti yang lebih komprehensif tentang

diskriminasi yang terdapat pada Pasal 1:

Dalam Konvensi ini istilah "diskriminasi terhadap perempuan" berarti setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya bagi kaum perempuan terlepas dari status pekawinan mereka atas dasar persamaan laki-laki dan perempuan.

Walaupun Pasal di atas dengan jelas menjabarkan definisi diskriminasi,

kedalaman dan cakupannya lebih dapat dipahami melalui ketentuan-ketentuan

substantif Konvensi. Pasal 4 menentukan diskriminasi positif atau 'korektif'

sebagai aspek penting penghapusan diskriminasi dan Rekomendasi Umum 19

memperluas cakupannya dengan memasukkan bentuk-bentuk kekerasan khusus

gender (gender-specific forms of violence). Pelaksanaan dan kewajiban yang

diembannya meliputi ranah publik dan ranah privat dan juga negara dan

bukan-negara sebagai pelaku. Definisi dalam Pasal 1 dapat juga diaplikasikan pada

diskriminasi yang dijabarkan dalam ICCPR. Menurut CEDAW, diskriminasi

terjadi bila ada elemen-elemen berikut yang berkaitan satu dengan lainnya:

a) Ideologi.

Asumsi-asumsi berbasis gender tentang peran dan kemampuan

(11)

Diskriminasi yang ditentukan dalam CEDAW tidak terbatas pada

pembedaan perlakuan yang didasarkan hanya pada jenis kelamin

tetapi juga diskriminasi yang bersumber dari asumsi-asumsi sosial

budaya negatif yang dilekatkan pada keadaan karena dia adalah

'perempuan' atau yang disebut "ideologi gender." Konstruksi ideologis

peran dan kemampuan perempuan mempengaruhi akses perempuan

dalam memperoleh berbagai kesempatan di berbagai tingkatan:

individu, kelembagaan, dan sistem. Sebagai contoh, kenyataan bahwa

pekerjaan yang dilakukan perempuan sebagian besar adalah

pekerjaan-pekerjaan tertentu saja dan di sisi lain tidak adanya

perempuan dalam jenis-jenis pekerjaan lainnya merupakan akibat dari

asumsi-asumsi ideologi bahwa perempuan hanya cocok untuk

pekerjaan tertentu saja. Bahwa perempuan lebih banyak mengerjakan

pekerjaan pengasuhan, pelayanan dan pekerjaan-pekerjaan subordinat

lainnya didasarkan pada pilihan dan kesempatan yang diberikan

kepada perempuan pada lingkup pekerjaan tersebut, dan bukan karena

perempuan tidak mampu atau tidak berminat untuk pekerjaan lain.

Asumsi gender seperti ini telah membatasi kesetaraan kesempatan

bagi perempuan di tempat kerja.

b) Tindakan

(12)

Asumsi berbasis gender telah memberikan dampak negatif pada

hak dan kebebasan perempuan dan menjadi sebab adanya

diskriminasi dalam hal-hal sebagai berikut:

- Perbedaan perlakuan terhadap perempuan dibandingkan dengan

laki-laki :

Dalam Pasal 1 CEDAW, perbedaan perlakuan terhadap laki-laki

dan perempuan tidak dengan sendirinya disebut sebagai

diskriminasi, tetapi diskriminasi terjadi bila perbedaan perlakuan

tersebut menimbulkan pengurangan atau penghapusan hak dan

kebebasan perempuan. Dengan demikian, tindakan afirmasi untuk

mengoreksi ketidakberuntungan yang dialami perempuan pada

saat ini (contemporary) atau yang sudah lama berlangsung

(historic) sebagai upaya untuk mencapai kesetaraan substantif

tidak masuk dalam cakupan definisi ini.

- Pembatasan hak dan kebebasan perempuan: Pembatasan berarti

pengurangan atau pembatasan yang dipaksakan pada hal yang

diakui sebagai hak. Pembatasan jam kerja, pembatasan

gerak/mobilitas, bekerja atau pindah kerja harus dengan izin suami

atau penanggung jawab lainnya merupakan contoh diskriminasi

seperti ini.

- Pengucilan: Pengucilan adalah pengingkaran hak dan kebebasan

perempuan berdasarkan jenis kelamin atau asumsi-asumsi gender.

(13)

perempuan ditahbiskan sebagai pendeta menurut ketentuan agama,

mewarisi harta pusaka, memilih, atau menduduki posisi tertentu.

Terjadinya perubahan kebijakan dapat menyebabkan perubahan dari

satu bentu diskriminasi ke bentuk yang lain, atau bahkan dapat

mengakibatkan ketiga bentuk diskriminasi tersebut berlaku secara

bersamaan. Sebagai contoh, sesudah revolusi 1979 di Iran, perempuan

dilarang berpartisipasi dalam semua jenis olah raga. Tetapi kemudian,

para pemimpin politik membolehkan perempuan berpartisipasi dalam

berbagai jenis olah raga, kecuali sepak bola, tetapi dengan syarat

mereka harus berpakaian sederhana dan badan tertutup semuanya.

Namun, syarat tersebut tidak berlaku bagi perempuan yang berolah

raga di dalam fasilitas privat atau fasilitas terpisah laki dan

perempuan.

Contoh ini dengan jelas merefleksikan adanya perubahan, dari situasi

pengucilan terhadap semua jenis olah raga ke dalam situasi dimana

tiga jenis bentuk diskriminasi, yaitu pengucilan, pembatasan dan

perbedaan perlakuan, dilakukan secara bersamaan.

c) Niat

Diskriminasi langsung atau tidak langsung.

Diskriminasi langsung adalah hasil dari tindakan-tindakan yang

dirancang dan dimaksudkan untuk memperlakukan perempuan secara

(14)

kepada bapak dan melimpahkan hak tersebut kepada ibu hanya bila

bapak tidak ada makna sebenarnya atau secara fungsional.

mensubordinasi perempuan dalam kapasitasnya sebagai ibu terhadap

laki-laki dalam kapasitasnya sebagai bapak. CEDAW mencakup

diskriminasi tidak langsung yang merupakan akibat dari apa yang

kelihatannya sebagai netral, atau persyaratan yang mempunyai

dampak diskriminatif terhadap perempuan, walaupun tidak

dimaksudkan sebagai tindak diskriminasi. Diskriminasi tidak langsung

merupakan akibat dari suatu tindakan yang dilakukan atau tidak

dilakukan karena menganggap bahwa dalam suatu keadaan tertentu

laki-laki dan perempuan adalah sama - padahal tidak demikian halnya.

Dengan demikian, maka standar laki-laki diterapkan terhadap

perempuan, suatu standar yang tidak memungkinkan atau

menghilangkan hak perempuan untuk memperoleh kesempatan sama.

Sebagai contoh, persyaratan mendapat kredit keuangan yang

mengharuskan adanya agunan berupa harta tak bergerak atau tanah.

Dalam konteks atau keadaan dimana hak waris perempuan dibatasi

berdasarkan kaidah hukum atau budaya, akan menafikan atau

menghalangi hak perempuan untuk memperoleh kredit keuangan,

walaupuan pengucilan semacam itu sebenarnya tidak dimaksudkan.

d) Akibat

Pengurangan atau penghapusan pengakuan, penikmatan, penggunaan

(15)

Berbagai tindakan pembedaan perlakuan, pengucilan atau pembatasan

hak disebut diskriminasi tidak hanya karena tindakan tersebut

didasarkan pada asumsi berbasis gender, tetapi juga bila tindakan itu

mengakibatkan pengurangan atau penghapusan pengakuan,

penikmatan, dan penerapan hak asasi manusia serta kebebasan dasar

perempuan. Pengurangan terjadi bila pembatasan atau persyaratan

dilekatkan pada hak, yang mengakibatkan terbatasnya atau hilangnya

pengakuan akan hak tersebut serta kemampuan untuk menuntutnya.

Penghapusan merupakan pencabutan hak dan kebebasan perempuan

dalam bentuk penolakan atas hak itu atau tidak adanya lingkungan dan

mekanisme yang memungkinkan perempuan untuk menegaskan atau

menuntut hak mereka. Suatu keputusan dianggap diskriminatif jika

keputusan tersebut berdampak pada hak asasi perempuan dan

kebebasan dasar dengan cara :

- pengurangan atau penghapusan pengakuannya

- pengurangan atau penghapusan penikmatannya

- pengurangan atau penghapusan penggunaannya

Diskrimisai dalam semua bidang dan oleh setiap pelaku

Wilayah diskriminasi menurut ketentuan CEDAW tidak terbatas

hanya pada ranah publik yang terkait langsung dengan negara dan

aparat negara. Diskriminasi mencakup tindakan dalam bidang-bidang

(16)

Diskriminasi mencakup tindakan yang dilakukan oleh pelaku privat

mulai dari individu sampai korporasi bisnis, keluarga dan masyarakat.

Diskriminasi mencakup hukum tertulis, asumsi sosio-budaya tentang

perempuan dan norma-norma yang diperlakukan terhadap perempuan.

Diskriminasi dapat bersifat historis, atau terjadi pada saat ini, dan

saling terkait satu sama lain (cross-cutting). Diskriminasi historis

artinya bila suatu kelompok menderita karena pengaruh diskriminasi

di masa lalu, atau bila perlakuan diskriminatif semakin menekan suatu

kelompok yang secara historis mengalami penindasan institusional

dan sistemik.

Dengan jelas CEDAW menentukan bahwa sasaran diskriminasi itu

terlepas dari tempat dimana itu terjadi atau asalnya. Untuk menjamin

keluasan bidang yang dicakup CEDAW, Pasal 1 memperluas

pelaksanaannya ke "setiap bidang lainnya." Bidang yang dicakup

CEDAW termasuk diskriminasi de jure seperti kedudukan legal atau

formal perempuan. CEDAW juga mencakup diskriminasi de facto25

meliputi praktek-praktek informal yang tidak diberi sanksi hukum

tetapi mengatur hak dan kebebasan perempuan.

c. Prinsip Kewajiban Negara

Prinsip ini meliputi hal-hal yang berikut :

a) Menjamin hak perempuan melalui hukum, peraturan perundang-undangan

(17)

b) Menjamin pelaksanaan praktis dari hak itu melalui langkah tindak atau

aturan khusus sementara, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk

meningkatkan kesempatan, dan akses perempuan pada peluang yang ada.

c) Negara tidak saja menjamin, tetapi juga merealisasi hak perempuan.

d) Tidak saja menjamin secara de-jure tetapi juga secara de-facto

e) Negara tidak saja harus akuntabel (bertanggung jawab) dan mengaturnya

di ranah publik, tetapi juga di ranah privat (keluarga) dan sektor swasta.

Di Indonesia, kebijakan tentang Kesetaraan Gender masih berupa draft

Rancangan Undang-undang (RUU). Perwujudannya menjadi UU masih

mengundang kontroversi lintas bidang, terutama terkait agama. Secara ringkas

Parameter Kesetaraan Gender (PKG) yang tertuang dalam RUU Kesetaraan

Gender mencakup :

a) Terjaminnya keadilan gender di dalam berbagai kebijakan, baik yang

tertuang dalam Peraturan Perundangan-undangan, program pembangunan,

maupun dalam kebijakan teknis lainnya

b) Menurunnya kesenjangan kesempatan antara perempuan dan laki-laki

dalam pencapaian pembangunan, dan

c) Menurunnya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Secara singkat kesetaraan gender mengacu pada kesetaraan dalam

penilaian peran antara wanita dan pria. Hal ini bertujuan untuk mengatasi

hambatan akibat stereotip dan prasangka, sehingga kedua gender tersebut mampu

berkontribusi dengan setara (equal) dan bermanfaat bagi pengembangan ekonomi,

(18)

dicalonkan, mencalonkan, atau dipilih sebagai pemimpin. Ketika pria dan

perempuan memiliki hubungan yang setara, kondisi ekonomi akan tumbuh dengan

pesat dan korupsi pun menurun. Ketika perempuan sehat dan terdidik, keluarga,

komunitas, dan bangsa pun akan mendapatkan manfaatnya.

D.Diskriminasi Terhadap Perempuan Sebagai Pelanggaran Asas Persamaan

Hak

Banyak pertanyaan berkaitan dengan masalah diskriminasi terhadap

perempuan baik pada tingkat regional maupun dunia. Untuk menjawab

permasalahan-permasalahan tersebut, Konvensi perempuan disusun dan diterima

oleh Sidang Umum PBB tanggal 18 Desember 1979, kemudian diratifikasi oleh

Indonesia melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1984, tanggal 24 Juli 1984.

Segala bentuk instrumen yang sudah ada sampai saat ini belum efektif dan

maksimal, dengan demikian perlu ada pembenahan-pembenahan hak-hak

perempuan dan penghapusan diskriminasi. Pada tahun 1984 Indonesia melalui

Undang-undang No. 7 Tahun 1984 telah meratifikasi Konvensi Penghapusan

segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, ratifikasi ini jelas

memperlihatkan bahwa Indonesia mempunyai kewajiban melaksanakan

prinsip-prinsip yang terkandung dalam konvensi perempuan dengan menciptakan

kepastian dan penegakan hukum dan melaksanakan peraturan

perundang-undangan yang non diskriminasi.

Banyak kalangan yang pesimis terhadap dampak dari konvensi perempuan

ini untuk memajukan status perempuan di Indonesia, karena apa yang dijanjikan

(19)

dalam kenyataan.

Namun para pemerhati masalah perempuan menganggap bahwa ratifikasi

konvensi perempuan ini sesungguhnya bisa dijadikan alat untuk memajukan

kesetaraan gender. Selain itu dengan memperluas jaringan hubungan dengan

lembaga-lembaga dan pemerhati masalah perempuan, diharapkan akan semakin

banyak orang yang menaruh perhatian terhadap ketimpangan jender dan upaya

untuk memperjuangkan keadilan jender akan lebih berdaya guna.

Hal tersebut berarti bahwa diskriminasi merupakan salah satu bentuk yang

terutama dapat dikategorikan sebagai suatu pelanggaran terhadap hak asasi

manusia atau tindakan pelanggaran asas persamaan hak. Seharusnya pada kondisi

saat ini, segala bentuk diskriminasi yang berujung pada mendiskreditkan peranan

perempuan dalam berbgai bidang sangat berpeluang menciptakan lahirnya bentuk

pelangggaran lainnya yang pada dasarnya akan merugikan pihak perempuan itu

sendiri.

Dalam Pasal 1 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

Terhadap Perempuan (CEDAW) dijelaskan bahwa istilah “diskriminasi terhadap

perempuan” berarti perbedaan pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar

jenis kelamin, yang berakibat atau bertujuan untuk mengurangi atau

menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan

kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, sipil atau

apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka,

(20)

Selanjutnya dalam Pasal 2 dijelaskan bahwa negara-negara pihak

mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya, dan

bersepakat dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, untuk

menjalankan suatu kebijakan yang menghapus diskriminasi terhadap perempuan,

dan untuk tujuan ini berusaha untuk :

b) Memasukkan asas persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam

undang undang dasar mereka atau perundang-undangan lainnya yang

layak apabila belum dimasukkan ke dalamnya, dan untuk menjamin

realisasi praktis pelaksanaan dari asas ini, melalui hukum dan

cara-cara lain yang tepat;

c) Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan upaya

lainnya, dan di mana perlu termasuk sanksi-sanksi, yang melarang

semua diskriminasi terhadap perempuan;

d) Menetapkan perlindungan hukum terhadap hak perempuan atas dasar

persamaan dengan kaum laki-laki, dan untuk menjamin perlindungan

bagi kaum perempuan yang aktif terhadap setiap perilaku

diskriminatif, melalui pengadilan nasional yang kompeten dan

badan-badan pemerintah lainnya;

e) Menahan diri untuk tidak melakukan suatu tindakan atau praktek

diskriminasi terhadap perempuan, dan menjamin agar pejabat-pejabat

dan lembaga-lembaga publik akan bertindak sesuai dengan kewajiban

(21)

f) Mengambil semua langkah-langkah yang tepat untuk menghapuskan

perlakuan diskriminatif terhadap perempuan oleh orang, organisasi

atau lembaga apapun;

g) Mengambil langkah-langkah yang tepat, termasuk upaya legislatif,

untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang,

peraturan-peraturan, kebijakan-kebijakan, dan praktek-praktek yang ada yang

merupakan diskriminasi terhadap perempuan;

h) Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang merupakan

diskriminasi terhadap perempuan.

Hal tersebut juga berkaitan langsung dengan adanya ketentuan bahwa

setiap negara wajib mengambil upaya yang tepat untuk menghapuskan

diskriminasi terhadap perempuan dalam rangka untuk memastikan hak yang sama

dengan laki-laki di segala bidang yaitu pendidikan, pekerjaan, ekonomi dan

terutama peranan dalam pembangunan dalam rangka untuk menjamin atas dasar

persamaan antara laki-laki dan perempuan:

a) Kondisi yang sama untuk pengarahan karir dan kejuruan, untuk akses

pada pembelajaran dan untuk memperoleh diploma dari

lembaga-lembaga pendidikan pada semua kategori baik di wilayah pedesaan

maupun di wilayah perkotaan; persamaan ini harus dijamin dalam

pendidikan pra-sekolah, umum, teknik, profesi dan pendidikan teknik

yang lebih tinggi, demikian pula dalam semua jenis pelatihan

(22)

b) Penghapusan setiap konsep yang stereotip tentang peranan laki-laki

dan perempuan di semua tingkat dan semua bentuk pendidikan,

dengan menganjurkan pendidikan campuran (perempuan dan

laki-laki) dan bentuk pendidikan lain yang dapat membantu pencapaian

tujuan ini, dan terutama dengan merevisi buku-buku pelajaran dan

program-program sekolah serta menyesuaikan metode-metode

pengajaran.

c) Akses terhadap informasi pendidikan tertentu untuk membantu

memastikan kesehatan dan kehidupan keluarga yang lebih baik.

d) Untuk memberikan perlindungan khusus bagi perempuan selama

hamil terhadap bentuk pekerjaan yang terbukti membahayakan

mereka.

e) Hak untuk bekerja sebagai suatu hak yang melekat pada semua umat

manusia;

f) Hak atas kesempatan kerja yang sama, termasuk penerapan kriteria

seleksi yang sama terhadap suatu pekerjaan;

E.Kedudukan Perempuan Berdasarkan Konvensi Internasional

Terbukanya keran demokrasi dan kebebasan berbicara telah membuka

suara-suara dan ide-ide yang selama ini cendrung bungkam karena ditekan oleh tindakan

represif penguasa. Sekarang, setiap orang bebas mengekspresikan kehendaknya tanpa

takut lagi akan dihukum, diberendel, dan diberangus oleh pihak-pihak tertentu yang

(23)

Salah satu bidang yang mendapat porsi yang cukup besar dan mendapatkan ruang

gerak yang leluasa adalah menyangkut masalah perempuan. Isu-isu dan gerakan tentang

emansipasi, kesetaraan gender, dan perjuangan hak-hak perempuan telah menjadi

perbincangan dan wacana yang menarik.

Perbincangan tentang perempuan ini semakin hangat ketika kasus-kasus

pelecehan, kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan semakin meningkat. Perlakuan

yang diskriminatif dan semena-mena terhadap perempuan ini tidak hanya berada pada

dataran kasus per kasus, namun telah menginjak dataran kebijakan pemerintah.

Prinsip persamaan telah menjadi bagian dari sistem hukum kita yang tertuang

dalam pasal 27 UUD 1945. Di samping itu, pemerintah telah meratifikasi berbagai

konvensi internasional seperti konvensi ILO No. 100 tentang upah yang sama untuk

pekerjaan yang sama nilainya, konvensi tentang hak-hak politik perempuan dan konvensi

penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pemerintah pun juga telah

mengeluarkan berbagai kebijakan lain, seperti: dalam peraturan tentang perkawinan dan

perceraian yang bertujuan untuk meningkatkan status perempuan dalam keluarga dan

masyarakat. Akan tetapi, sebenarnya jika dikaji lebih lanjut, peraturan itu justru bias

gender. Sebab dalam putusannya, di satu sisi menjamin hak yang sama dalam hukum dan

masyarakat antara perempuan dan laki-laki, di sisi lain dinyatakan bahwa laki-laki

berperan di sektok publik dan perempuan berperan di sektor privat. Sehingga justru UU

ini memberi peluang bagi seorang suami untuk beristri lebih dari satu.

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW)

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan

(CEDAW) adalah suatu instrumen standar internasional yang diadopsi oleh Perserikatan

(24)

tanggal 18 Maret 2005, 180 negara, lebih dari sembilan puluh persen negara-negara

anggota PBB, merupakan Negara Peserta Konvensi. CEDAW menetapkan secara

universal prinsip-prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Konvensi menetapkan persamaan hak untuk perempuan, terlepas dari status

perkawinan mereka, di semua bidang baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil.

Konvensi mendorong diberlakukannya perundang-undangan nasional yang melarang

diskriminasi dan mengadopsi tindakan-tindakan khusus-sementara untuk mempercepat

kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan, termasuk merubah praktek-praktek

kebiasaan dan budaya yang didasarkan pada inferioritas atau superioritas salah satu jenis

kelamin atau peran stereotipe untuk perempuan dan laki-laki.

Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan dibentuk pada

tahun1982, setelah Konvensi dinyatakan berlaku. Tugas utamanya adalah untuk

mempertimbangkan laporan periodik yang disampaikan kepada Komite dari

Negara-negara Peserta mengenai langkah-tindak legislatif, judikatif, administratif dan

tindakan-tindakan lain yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi. Komite memberikan

rekomendasi-rekomendasi bagi Negara-negara Peserta mengenai langkah-langkah yang

perlu diambil untuk melaksanakan Konvensi.

Protokol Opsional

Protokol Opsional pada CEDAW diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan

Bangsa-bangsa pada Desember 1999. Protokol Opsional pada CEDAW di satu pihak

memberi hak kepada perempuan untuk mengajukan pengaduan perorangan kepada

Komite mengenai segala pelanggaran hak yang dimuat dalam Konvensi oleh

pemerintahnya dan di lain pihak, memberikan wewenang kepada Komite untuk

(25)

perempuan di negara-negara yang telah meratifikasi atau aksesi pada Protokol ini. Pada

tanggal 20 Januari 2006 sudah ada 76 Negara Peserta Protokol Opsional.

Perbincangan dan perjuangan hak-hak perempuan timbul karena adanya suatu

kesadaran, pergaulan, dan arus informasi yang membuat perempuan semakin kritis

dengan apa yang menimpa kaumnya. Pejuang hak-hak perempuan di Indonesia juga

semakin gencar seiring dengan diratifikasinya beberapa Konvensi terhadap perlindungan

Referensi

Dokumen terkait

Pri zastavljenih ciljih oziroma strategiji vodja teţko dosega rezultate, če le-te in organizacijo, zaposlene in okolje ne pozna dovolj dobro − večina anketirancev je to

Hal ini dapat dilakukan selama pemeriksaan ginekologi dengan mempergunakan spekulum yang mengimbangi sistokel tanpa mengkompres urethra atau dengan mempergunakan suatu

IkhTIsar 2012 profil perusahaan laporan manajemen tinjauan usaha tata kelola perusahaan faktor-faktor risiko ikhtisar keuangan - ikhtisar operasional - ikhtisar saham dan

Dengan demikian jika guru melakukan upaya-upaya (menanamkan pentingnya membaca Al-Qur'an, pengembangan belajar kreatif dengan pengoptimalan metode sugestopedia, drill dan

• Diperlukan studi tentang metode pembuatan arang sampah organik kota yang lebih murah sehingga dihasilkan harga arang yang tidak terlalu tinggi dan dapat menurunkan harga eko-briket.

Dari kasus sengketa tanah yang sampai ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan nomor perkara 72/G.TUN/2005/PTUN-MDN tersebut gugatan datang dari

Hal ini sesuai dengan pendapat Bintarto (1983:69) yang mengemukakan bahwa pribumi memiliki ciri khas, yakni memiliki bumi/tanah atau tempat tinggal yang berstatus

PLN (Persero) ULP Manado Selatan, Menjual Meter Pascabayar dan Meter Prabayar kepada pelanggan sesuai dengan keingin pelanggan, perbedaan dalam penjualan meter