GLOSARIUM
Appoggiatura, not hiasan yang ditambahkan sebelum not utama
Appoyando, teknik memetik senar dengan menyandarkan jari di senar berikutnya
Aransemen, tindakan kreatif menata dan memperkaya sebuah melodi, lagu atau komposisi.
Arpeggio, konstruksi chord, not dimainkan satu persatu secara beruntun
Arranger, orang yang melakukan aransemen
Campanelas, bentuk chord yang dimainkan seperti bunyi gemerincing bel kecil
Chord, kesatuan bunyi dalam musik yang mengandung tiga not atau lebih
Diatonik, musik yang menggunakan not-not utama dari tangga nada mayor/minor
Flamenco, musik tradisional Spanyol
Frasering, penggalan gagasan musikal yang dapat dikenali yang mana bagian awal melodi dan akhir melodi.
Genre, tipe, jenis
Gitar Akustik, salah satu jenis gitar yang bunyinya tidak menggunakan media elektronik.
Gitar Klasik, adalah jenis gitar akustik dengan senar berbahan nilon dan sutra yang dililit logam. Lehernya lebih lebar dari pada gitar jenis lainnya meski banyak digunakan sebgai instrumen pengiring namun gitar klasik lebih popular sebagai instrument music tunggal yang dapat memainkan beragam jenis music dengan bass, akor, dan melodi lengkap.
Gitar Tunggal, merujuk kepada satu; satu-satunya bukan jamak, bukan dua gitar atau lebih, gitar solo.
Glissando, teknik memainkan dua not yang berurutan pada satu senar dengan cara memetik not pertama saja lalu menggeser jari kiri dari not pertama ke not berikutnya
Golpe, teknik memukul permukaan gitar dengan jari untuk member efek bunyi perkusif
Harmoni, keselarasan berbagai bunyi yang terkandung dalam sebuah musik
Jazz, jenis aliran musik yang berasal dari Afro-Amerika.
Manifestasi, perwujudan sebagai suatu pernyataan perasaan atau pendapat
Melodi, rangkaian bunyi musikal dari berbagai frekuensi dengan panjang pendek beragam yang ditata secara logis sehingga memiliki arti yang bisa ditangkap oleh telinga
Metode, cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dl ilmu pengetahuan dsb)
Mordent, salah satu bentuk ornament, yang dimainkan secepat mungkin
Motif, bagian terkecil dari frase dalam pembentukan sebuah komposisi
Musik Daerah, musik yang dimiliki oleh satu lingkungan atau budaya setempat yang memiliki fungsi dan tujuan yang sama
Musik Etnik, musik atau suara yang berasal dari berbagai daerah, dalam hal ini di Indonesia, musik ini menggunakan bahasa, gaya, dan tradisi khas daerah setempat.
Musik Tradisional, suatu nyanyian yang di tuturkan secara lisan kepada generasi berikutnya.
Pentatonik, tangga nada yang terdiri dari lima nada
Pizzikato, imitasi suara senar biola yang dipetik; suara tidak berbunyi nyaring melainkan tertahan
Portamento, sama seperti glissando namun diakhiri dengan memetik not tujuan
Progressi Chord, perpindahan/pergeseran chord
Rasgueado, teknik strumming yakni memukulkan senar dengan ke-empat jari kanan dimulai dari jari kelingking sampai jari telunjuk, biasa digunakan pada musik flamenco
Reportoar, komposisi yang disajikan secara keseluruhan
Ritem, pengaturan logis rangkaian bunyi berdasarkan lama singkatnya ia dibunyikan.
Staccato, memainkan not pendek-pendek untuk memberikan efek bunyi yang
“patah-patah”
Tabalet, teknik memainkan senar lima dan enam dibalik berganti tempat sehingga menghasilkan efek bunyi tambur atau efek bunyi senar drum
Tambora, teknik membunyikan chord dengan memukul menggunakan jari jempol kanan untuk menghasilkan efek bunyi tambur
Timbre, warna suara (tone color). Perbedaan kualitas bunyi yang membantu kita mengenali berbagai bunyi yang dihasilkan oleh alat musik atau vocal yang berbeda-beda kendati dalam frekuensi dan intensitas yang sama.
Tirando, teknik petikan bebas pada jari kanan
Transkripsi, proses penotasian bunyi dan proses mereduksi bunyi kedalam symbol visual
Tremolo, pengulangan not yang sama dengan tempo yang cepat
Triad, pola bentuk tiga not sebagai pembentuk chord
LAMPIRAN 1
LAMPIRAN 2
PROFIL GITARIS GITAR TUNGGAL INDONESIA
1. Andre Indrawan Halim
Lahir di Bandung. Belajar pada gitaris Belanda Jos Bredie, John Legoh,
Iqbal Taher dan Iwan Irawan. Masuk Akademi Musik Indonesia (sekarang
Jurusan Musik di Institut Seni Indonesia Yogyakarta) pada tahun 1981 lulus pada
tahun 1986. Tahun 1994 menyelesaikan studi Master dalam bidang ilmu-ilmu
Humaniora dengan minat kajian etnomusikologi di UGM dengan predikat
Cum-Laude. Tahun 2000 mendapat gelar Master of Music di bidang teaching and
performance dari The University of Melbourne Australia. Tahun 1997 Meraih
kualifikasi performance tertinggi di bidang gitar klasik dari Yamaha Music
Foundation dan diploma Licentiate in Music Australia (LMusA) dari AMEB.
Prestasinya antara lain juara 1 kompetisi gitar klasik se-Jawa Barat (1976),
Festival Gitar Indonesia di Jakarta (1977 dan 1995), Surabaya (1978) dan 2nd
South East asian Guitar Festival di Bangkok Thailand (1978) Debutnya pertama
dilakukan di Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki. Ia merupakan gitaris
menampilkan recitalnya di Gryphon Gallery dan Melba Hall, The University of
Melbourne. Tahun 1996 bersama Rahmat Raharjo membentuk Yogyakarta Guitar
Duo. Menjadi dosen gitar di Institut Seni Indonesia dan pengajar di YMI.
2. Rahmat Raharjo
Lahir di Ambon tahun 1974. Belajar gitar klasik sejak usia 12 tahun di YMI
Yogyakarta. Guru gitar pertamanya adalah M. Nasrun. Setamat SMA belajar pada
Andre Indrawan di Institut Seni Indonesia dengan minat utama musikologi. Tahun
1999 memperoleh diploma Licentiate in Music Australia dari Australian Music
Examination Boards (AMEB). Karena menang pada Spanish Guitar Awards tahun
2001 ia mendapat beasiswa untuk belajar gitar pada Josep Henriquez di
Granollers Conservatory of Music, Barcelona, Spanyol. Beberapa kali menjadi
solis dari ISI Symphony Orchestra. Bersama Anton Asmonodento, Dhany
Soesanto dan Setyobudi R. Situmorang membentuk Jawadwipa Guitar Ensemble.
Bersama Andre Indrawan membentuk Yogyakarta Guitar Duo. Prestasinya antara
lain tiga kali Grand Prize (1992, 1996, 1999) pada Festival Gitar Indonesia dan
Spanish Guitar Awards tahun 2001 yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar
Spanyol di Jakarta. Menjadi dosen gitar di Institut Seni Indonesia dan pengajar di
YMI.
3. Jubing Kristianto
Lahir di Semarang 9 April 1966. Belajar gitar pertama dari orang tuanya. Usia 15
tahun belajar pada Hartono Lukito. Menjadi juara Festival Gitar Yamaha
Indonesia sebanyak 4 kali (1987, 1992, 1994, dan 1995). Meraih Distinguished
Award Yamaha South East Asian Guitar Festival 1984 di Hongkong. Jubing
adalah lulusan Jurusan Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia. Sebelum memutuskan menjadi gitaris profesional pada
bulan Juli 2003, dia bekerja sebagai reporter dan editor Tabloid NOVA.
Sebelumnya, tahun 2001 ia ikut mendirikan kelompok Gitaris Kantoran. Kini ia
adalah pengajar dan penguji gitar di Yayasan Musik Indonesia. Sejak tahun 2004
menjadi penguji tamu bidang gitar di Yayasan Pendidikan Musik. Sebagai gitaris,
penggarapan album maupun pementasan musikalisasi puisi Sapardi Joko Damono
oleh kelompok Dua Ibu bersama gitaris Umar Muslim. Komposisi dan aransemen
gitar karya Jubing sebagian ditampilkan di www.oocities.com/jubing. Salah
satunya, “Capuccino Rumba”, dimuat di majalah gitar Amerika Serikat
"Soundboard" edisi XXVII No 1 Tahun 2000. Oktober 2005 kamus gitar yang ia
susun diterbitkan PT Gramedia dengan judul “Gitarpedia”.
4. Gitaris Kantoran, Jubing Kristianto, Daniel Tjahja, Ervan Suryobuono, Iwan
Susanto, Rudi Hamid
Julukan yang diberikan wartawan Kompas dalam tulisan tentang sekelompok
pegawai kantor yang hobi main gitar dan kemudian mengorganisir sendiri konser
5. Sudirman Leman
Sudirman Leman mulai belajar musik pada usia 10 tahun di Yayasan Pendidikan
Musik. Pendidikan lanjutannya dilakukan di Universitas Musik dan Seni Drama,
Graz, Austria, di bawah bimbingan Prof Dr Leo Witoszynskyj. Witoszynskyj
sendiri pernah jadi murid gitaris legendaris Andres Segovia dan Luise Walker.
Pada bulan Juni tahun 2000 ia menyelesaikan program Mastef of Arts-nya. David
Russel dari Inggris, sempat mengatakan tentang Sudirman, "Ada musik yang
mengalir dari jemarinya, satu seni yang halus..."
6. Iwan Tanzil
melanjutkan studi musik di Hochschule der Kuenste Berlin ( Sekolah Tinggi Seni
Berlin) di bawah bimbingan Mariangeles Sanchez Benimeli (murid Andres
Segovia dan Emilio Pujol), kemudian pada Prof. Martin Rennert. Selama belajar
dia aktif mengikuti masterclass dari gitaris-gitaris top dunia antara lain Javier
Hinojosa (spesialis musik Renaisans dan Barok), Vladimir Mikulka, Angelo
Gilardino, Roberto Aussell, dan Manuel Barrueco. Tahun 1988 ia menyelesaikan
studinya di bidang Concertguitar dan melanjutkannya ke jenjang "Kuenstlerische
Reifeprüfung" (Ujian kematangan seorang artis/Concert Diploma) yg diselesaikan
tahun 1991. Keduanya lulus dengan pujian (with Honour). Tahun 1989, dalam
usia 26 tahun ia menjuarai kompetisi gitar international Concorso Internazionale
La Conquista della Chitarra Classica di Milano, Italia. Sejak itu ia aktif konser
berkeliling Jerman, Polandia, Italia, Spanyol, Korea Selatan, Jerman, dan juga
Indonesia. Di konsernya ia juga memainkan musik Renaisans dan Barok dengan
menggunakan instrumen aslinya seperti vihuela dan gitar Barok/Renaisans. Ia
telah membuat 5 CD, di antaranya album karya komplet Heitor Villa-lobos.
Pujian untuk konser dan rekamannya mengalir dari dari majalah Gitarre und
Laute (Jerman dan edisi Jepang), Classical Guitar London (Inggris), Les Cahier de
la Musigue (Perancis), Guitar Aktuel (Jerman), Seicorde (Italia), juga dari
berbagai kritikus musik di surat-surat kabar di banyak negara Eropa, Afrika, dan
Asia. Sebagai gitaris konser, Tanzil bekerja sama dengan banyak komposer
terkenal seperti: Nikita Koshkin (Rusia), Bredemeyer , Von Schweinitz, Stahmer
(Jerman), Carlo Domeniconi (Italia), Jaime M. Zenamon (Brazil), Il Ryun Chung
(Korea), dan masih banyak lagi. Dari kerja sama ini lahir berbagai karya untuk
editor di perusahaan penerbitan musik terkemuka Edition Margaux /Verlag Neue
Musik (Berlin), AMA Verlag (Brühl), dan Musik Verlag Vogt und Fritz
(Schweinfurt).
7. Anton Asmono Dento
Lahir 9 juni 1974. Belajar gitar pada Setyobudi R. Situmorang, Rahmat Raharjo
dan andre Indrawan. Lulusan Teknik Arsitektur dan Magister Management
Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Tahun1999 menyelesaikan Guitar Performing
Grade VIII dan Music Theory Grade V Australian Music Examination Boards.
Finalis Spanish Guitar awards 2001 di Jakarta. Personel Jawadwipa Guitar
8. Seno Haji Nugroho
Belajar gitar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta sejak 1995 pada Royke Bobby
Koapaha. Finalis Singapore International Guitar Festival.
9. Ridwan B. Tjiptaharja
Belajar gitar pada John Korompis, Lukman dan Khrisnan Mohammad di
10.Royke Bobby Koapaha
Belajar gitar usia 12 tahun pada Ance Pareira, Iwan Irawan lalu J.A.W Bredie.
Juara Yamaha Festival Gitar Indonesia Senior tahun 1979. Juara Yamaha South
East Asian Guitar Festival di Hongkong tahun 1979 dan tahun 1980 di Singapura.
Ia merupakan komposer, illustrator musik film, arranger segala jenis musik,
pemain gitar dan pengajar. Memainkan segala jenis musik serta juga memainkan
gitar elektrik.
11.Michael Gan
12.Ronny Irianto
Pendiri Opus 98
13.Iqbal Thahir
Pengajar gitar, berguru kepada Jean Piere Jumaez, menulis artikel music, menulis
buku Metode Gitar Klasik
14.Arthur Sahelangi
Kepala instruktur gitar Yayasan Musik Indonesia
15.Kaye A. Solapung
Lahir pada 26 Februari 1946 di Nataweru, Sikka-Flores. Belajar musik sejak
kecil,. Hobinya adalah membuat seruling bambu ketika itu. Belajar musik Latin
Gregorian dan Musik Klasik (dengan instrumen biola) di SMP dan SMA Seminari
Mataloko Flores. Belajar angklung pada Daeng Soetigna ketika kuliah di fakultas
sastra dan Seni IKIP Bandung Jurusan Sastra Jepang. Studi doktoral filsafat di
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan di Fakultas Sastra Universitas Indonesia
menyusun metode gitar sendiri yang disesuaikan dengan masyarakat Indonesia
masa itu (buku-buku metode gitar Kaye Solapung terbit sekitar tahun 80-an).
Terlihat dari pemakaian istilah Indonesia misalnya lidi logam (fret), papan pencet
(fingerboard), pasak tala (machine head), petik sandar (picado), tepak (tambora)
dll. Buku pertamanya "Gitar Tunggal" telah ditetapkan Depdikbud sebagai
pegangan guru musik di SD dengan Inpres Nomor 5 Tahun 1981. Juga menulis
LAMPIRAN 3
BEBERAPA TULISAN JUBING
A. Rekaman Yuk...oleh Jubing Kristianto pada 21 Juli 2012 pukul 9:41 ·
Ada beberapa alasan kenapa kita perlu merekam permainan kita.
1. Mengevaluasi. Rekaman tidak pernah bohong. Jika kita bermain buruk, maka
hasil itu pula yang terdengar saat kita memutar ulang. Lain bila kita meminta
komentar orang, bisa saja dia sungkan mengkritik.
2. Sarana dokumentasi. Bila belum sempat menulis notasi, kita rekam dulu saja
karya kita agar tak lupa.
3. Sarana aktualisasi diri (narsis). Misalnya dengan mengunggah karya Anda di
internet, sehingga manusia dari berbagai belahan dunia bisa mendengar dan
bahkan memainkan karya Anda. Dengan konsekuensi ada yg mengkritik.
4. Bisa jadi hadiah berkesan untuk kerabat, sahabat, atau kekasih. Bisa dalam
bentuk CD atau kiriman m3 via ponsel.
5. Bagi yg serius hidup dari gitar, bisa jadi rekaman mendatangkan uang. Baik
dari penjualan hasil rekaman, atau secara tak langsung jadi sarana promosi agar
lebih banyak orang tahu kemampuan kita dan mau mengundang kita tampil
(dengan bayaran).
Kita bsa membuat rekaman komersial dengan mengajukan demo rekaman
ke perusahaan rekaman. Tapi jika punya dana, bisa saja kita produksi sendiri
Rekaman termudah bisa dilakukan sendiri di rumah dengan peralatan
sederhana: mikrofon dan PC atau laptop. Teknologi memang memudahkan.
Namun kualitas hasil rekam tidak selalu bisa dikendalikan. Pasalnya, segala
macam suara di sekitar bisa ikut terekam. Suara dengung AC misalnya.
Untuk meminimalisir gangguan, usahakan memakai ruangan yang
betul-betul bebas dari segala macam suara. Perhatikan jarak mikrofon. Jika terlalu
dekat, suara bisa pecah. Jika terlalu jauh, volume terlalu lemah. Untuk
mendapatkan hasil terbaik, mesti bereksperimen dengan berbagai jarak dan posisi.
Kualitas lebih bagus bisa diperoleh jika menggunakan gitar akustik-elektrik.
Suara dari gitar langsung masuk ke alat perekam lewat kabel. Hasilnya lebih
bersih. Dengan software editing suara, bisa dilakukan penyelarasan (equalizing)
karakter suara maupun menambahkan efek. Misalnya dengan menambahkan efek
reverb, echo, atau stereo. Data hasil rekaman di komputer bisa langsung
disalin/digandakan ke keping CD.
Untuk mendapatkan hasil rekaman terbagus, tentu tidak lain harus
dilakukan di studio rekaman dan ditangani operator profesional. Tidak harus
studio besar. Studio rumahan yang bagus kini juga menjamur. Interior studio
dirancang kedap suara. Bahan pelapis dan juga sudut-sudut pantul suara dihitung
khusus untuk memaksimalkan hasil rekaman.
Piranti utama di studio adalah mixer yang utamanya berfungsi untuk
operator tentu saja beragam. Dari yang otodidak hingga sarjana di bidang sound
engineer.
Tentu perlu biaya sewa. Besarnya tergantung kualitas studio dan jumlah
pemakaian shift (per enam jam). Di Jakarta, rentang harganya antara 250 ribu s/d
800 ribu per shift. Sebagai gambaran, untuk rekaman solo gitar se-album bisa
menghabiskan 4 s/d 6 shift. Album lain yang menampilkan dua penyanyi, dua
gitaris akustik, serta beberapa musisi tambahan di sebagian lagu menghabiskan
belasan shift. Sebuah grup band rock pemula menghabiskan 40-an shift untuk
album perdananya.
Grup memerlukan banyak shift karena proses rekaman tidak sekaligus,
namun satu per satu secara terpisah. Semakin banyak peralatan dan penyanyi yang
dipakai, semakin lama pula proses rekaman.
Karena besarnya biaya, rekaman di studio hanya dilakukan untuk situasi
khusus di mana kita hendak memproduksi album rekaman komersial alias untuk
dijual.
Main gitar di studio dengan di panggung sangatlah berbeda. Di pentas,
ketika ada kesalahan atau selip jari, tidak bisa mundur. Harus tetap main sampai
selesai. The show must go on. Jadi, durasinya sudah pasti. Di studio, Anda bisa
berhenti saat melakukan kesalahan dan mengulanginya untuk diperbaiki.
Konsekuensinya, tidak bisa dipastikan kapan persisnya durasi menuntaskan
seluruh lagu. Malah, kita juga bisa merekam lagu yang sama lebih dari satu kali
Kondisi ini terkadang malah bikin musisi/penyanyi jadi stres jika ada
bagian tertentu yang harus diulang berkali-kali. Jika berkonser paling lama 1 - 3
jam kelar, rekaman di studio menguras energi fisik dan mental dalam rentang
waktu lebih lama.
Memang, teknologi rekaman digital kini memungkinkan kita
"menyambung" permainan. Artinya, jika ada kesalahan di satu bagian lagu, kita
tidak perlu mengulanginya dari awal. Cukup "disambung" di bagian yang salah
tadi. Namun hal ini memerlukan keterampilan operator maupun musisi agar
"penyambungan" tadi di-eksekusi di lokasi dan waktu yang tepat. Sang musisi
juga mesti menyelaraskan mood dan feeling agar tetap konsisten dengan bagian
yang hendak "disambung".
Sumber ketegangan lain dalam studio adalah keterbatasan gerak kita. Bila
dalam konser kita berada di tempat terbuka, ditonton banyak orang, dan bebas
bergerak, maka keadaan di studio adalah kebalikannya. Kita berada di ruangan
sempit, hanya memandang wajah operator (entah sampai berapa jam atau berapa
shift lagi), dan mengulang lagu yang itu-itu saja.
Gerakan kita pun mesti dibatasi. Terutama jika rekaman dengan mikrofon.
Sekecil apa pun gerakan, bisa menimbulkan suara-suara yang mengganggu
(gesekan kulit lengan di gitar, kaki yang bergeser/bergoyang tanpa sadar,
menggeser posisi pantat yang pegal, helaan nafas yang kelewat kuat). Benar-benar
Agar sewa studio tidak terlalu lama, sebaiknya betul-betul bersiap. Jika
harus bermain mengiringi penyanyi, mintalah draft lagu atau sampel aransemen
kasar yang sudah baku sebagai bahan berlatih. Kalau memungkinkan, berlatihlah
dulu dengan sang penyanyi/grup.
Bila tampil solo, pastikan semua lagu sudah berhasil Anda mainkan
dengan mulus dan lancar saat latihan. Bila belum lancar, jangan buru-buru
rekaman. Hindari menggunakan studio rekaman sebagai studio latihan. Dengan
demikian kita terhindar dari pengeluaran biaya yang percuma. Selamat rekaman.
(Tulisan ini pernah dimuat di majalah Staccato tahun 2007)
B. GITAR TUNGGAL : ANTARA KLASIK DAN FINGERSTYLE
oleh Jubing Kristianto pada 14 September 2012 pukul 0:01 ·
Sejak instrumen musik petik (berdawai) mulai dikenal manusia, selalu ada
dua cara utama memainkannya. Yakni, sebagai instrumen pendamping atau
sebagai instrumen tunggal/solo.
Sebagai pendamping, ia melengkapi salah satu fungsi yang diperlukan dalam
sebuah sajian musik Bisa sebagai pengiring (rhythm section) atau sebagai
melodi/nyanyian. Sebagai instrumen tunggal, ia dimainkan tanpa ada musisi lain
ataupun penyanyi. Jadi, dengan satu alat musik saja, sang musisi merangkap
fungsi pengiring dan melodi sekaligus.
Ketika instrumen gitar modern lahir, teknik bermain untuk sajian tunggal sudah
semakin kompleks. Bahkan desain gitar modern oleh Antonio Torres (Spanyol)
treble adalah kombinasi ideal untuk memainkan melodi dan iringan dengan
harmoni paling paling efisien.
BEBERAPA PERBEDAAN
Gitar mulai dapat julukan "gitar klasik" gara-gara penemuan gitar elektrik.
Sebelum itu tidak dikenal istilah "classical guitar". Istilah ini pun akhirnya lebih
spesifik ditujukan pada pemain tunggal. Mereka adalah gitaris yang bisa
menggelar pertunjukan/konser utuh hanya dengan memainkan satu gitar saja,
tanpa musik atau musisi tambahan.
Beberapa dekade belakangan, lahir di Amerika istilah "finger-picking style". yang
kemudian dikenal sebagai "fingerstyle". Istilah ini mengacu pada teknik memetik
senar gitar langsung dengan jemari, bukan dengan flatpick atau plectrum. Bermula
ketika sebagian gitaris musik rakyat Amerika (country) mulai memetik senar satu
persatu dengan jari untuk membentuk arpegio sebagai pengiring. Instrumennya
pun lebih menggunakan gitar dengan dawai dari logam. Bukan nilon seperti gitar
klasik.
Dengan makin berkembangnya teknik dan perbendaharaan lagu, para gitaris
fingerstyle mulai ada yang bermain tunggal. Sehingga mereka bisa membuat
penampilan solo seperti halnya gitaris klasik. Bedanya, selain jenis senar,
lagu-lagu sajian mereka bersumber pada lagu-lagu rakyat atau lagu-lagu-lagu-lagu populer. Sedangkan
gitaris klasik umumnya mengandalkan sajian musik yang berakar dari musik
Perbedaan lain yang masih mencolok adalah posisi saat memainkan gitar.
Kebanyakan gitaris klasik menemukan kenyamanan dengan posisi tradisional
--gitar ditumpukan di paha kiri yang dinaikkan ke atas footstool agar kepala --gitar
terangkat. Ini terkait dengan kestabilan gitar (tidak mudah goyang karena
bertumpu pada tiga titik tubuh), kenyamanan gerak lengan dan jemari kiri, serta
kualitas tone yang dihasilkan jemari kanan.
Adapun gitaris fingerstyle umumnya lebih senang menggunakan strap atau tali
gitar. Ini juga terkait dengan tradisi, posisi ini digunakan gitaris-gitaris pendahulu
mereka. Main bisa sambil duduk, namun banyak yang memilih berdiri saat di
panggung. Bisa karena alasan estetika visual pertunjukan, bisa juga karena
membuat mereka lebih bebas bergerak atau bergoyang untuk melepaskan
ekspresi.
Karena umumnya menggunakan senar logam, tidak sedikit gitaris fingerstyle
menggunakan kuku imitasi untuk memetik. Karena jika memakai kuku asli, akan
terkikis oleh senar. Ada juga melapisi kukunya dengan bahan pengeras kuku.
Gitaris klasik tak perlu semua itu karena senar nilon lebih bersahabat bagi kuku,
tidak sekeras senar logam.
BATAS MAKIN KABUR
Saat ini, seiring main mudahnya kita mendapat dan bertukar informasi
--terutama lewat internet- batas atara gitar klasik dan fingerstyle juga menipis.
Gitaris fingerstyle terus menyerap teknik-teknik gitaris klasik. Misalnya variasi
menyerap teknik-teknik yang sebelumnya lazim digunakan gitaris fingerstyle,
semisal beragam efek perkusi pada senar maupun tubuh gitar hingga pola-pola
ritmis yang lebih modern dan kompleks.
Dalam hal pilihan sajian musik pun demikian. Gitaris klasik masa kini bisa
memasukkan ke dalam konsernya sajian lagu-lagu rakyat maupun genre-genre
musik populer, dan sebaliknya.
Kondisi seperti sekarang ini terkadang memicu perdebatan: apakah
fingerstyle itu cabang dari klasik, ataukah sebaliknya klasik itu bagian dari
fingerstyle? Masing-masing kubu punya argumen sendiri.
Meski demikian, bagi saya perdebatan ini kelak tidak penting lagi. Kenapa?
Karena batasan fingerstyle dan klasik akan samar. Sejumlah nama gitaris bisa
jadi contoh betapa pada akhirnya kita tidak memerlukan lagi batasan-batasan itu.
Dari gitar klasik, misalnya ada nama Roland Dyens, Andrew York. dan Muriel
Anderson. Kedua sama-sama tumbuh dari tradisi gitar klasik sehingga fasih
memainkan Bach, Sor, Tarrega, hingga Villa-Lobos dan Brouwer. Namun
mereka juga aktif membuat komposisi maupun aransemen gitar tunggal yang
multi-genre. Dyens banyak dipengaruhi jazz, sementara York dan Anderson kerap
memanfaatkan idiom country dan blues.
Dari golongan fingerstyle, bisa disebut Peter Finger dan Michael
Chapdelaine. Karya komposisi maupun aransemen mereka memiliki kualitas
menggunakan gitar elektrik sebagai instrumennya. Ini memberi mereka keunikan
tersendiri. Meski umumnya memainkan jazz, mereka juga piawai memainkan
jenis-jenis musik lainnya.
Demikianlah, pada akhirnya yang terpenting bukan soal istilah atau nama, tapi