• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus yang Dirawat Jalan di Klinik Alifa Diabetic Centre Medan Tahun 2013-2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus yang Dirawat Jalan di Klinik Alifa Diabetic Centre Medan Tahun 2013-2014"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Diabetes Mellitus

DM adalah gangguan kesehatan yang berupa kumpulan gejala yang

disebabkan oleh peningkatan kadar gula darah ataupun resistensi insulin. Keadaan

ini ditandai dengan ketidakmampuan organ menggunakan insulin, sehingga

insulin tidak bisa berfungsi optimal dalam mengatur metabolisme glukosa

(Bustan, 2007). Seseorang akan dikatakan mengidap penyakit DM apabila ia

sudah melakukan tes kadar gula darah yaitu apabila konsentrasi glukosa darah

pada saat puasa >126 mg/dl dan konsentrasi glukosa darah >200 mg/dl pada 2 jam

sesudah diberikan glukosa 75 gram (Sudoyo A.W. dkk, 2006).

DM merupakan suatu penyakit kronik yang kompleks dan melibatkan

kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak, yang dapat berkembang

menjadi komplikasi makrovaskuler dan neurologis (Riyadi S., 2008). Penyakit

DM juga dikenal sebagai penyakit kencing manis atau penyakit gula darah, yang

ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah, sebagai akibat adanya

gangguan sistem metabolisme dalam tubuh, di mana pankreas tidak mampu lagi

memproduksi hormon insulin sesuai kebutuhan tubuh yang bertanggung jawab

(3)

2.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2014, DM

diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu : DM Tergantung Insulin (DM tipe 1), DM

Tidak Tergantung Insulin (DM tipe 2), diabetes kehamilan atau gestasional dan

DM tipe lain yaitu diabetes akibat kelainan spesifik (kelainan genetik fungsi sel

beta), endokrinopati, penggunaan obat yang mengganggu fungsi sel beta,

penggunaan obat yang mengganggu kerja insulin atau akibat infeksi atau

sindroma genetik.

2.2.1 Diabetes Mellitus Tipe 1

DM tipe 1 merupakan kelainan sistemik akibat gangguan metabolisme

glukosa yang ditandai dengan adanya hiperglikemia kronik. Keadaan ini

disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas, baik oleh proses autoimun

maupun idiopatik sehingga produksi insulin berkurang atau terhenti (Bambang

T, 2010).

DM tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel beta pulau

langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun. Pada penderita DM tipe 1

ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel alpha pulau

langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi

glukagon, namun pada penderita DM tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi

glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Salah satu

(4)

kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon terhadap

hiperglikemia. (Depkes, 2005).

2.2.2 Diabetes Mellitus Tipe 2

DM tipe 2 atau NIDDM (noninsulin dependent diabetes mellitus) terjadi

akibat resistensi insulin. DM tipe 2 selalu dihubungkan dengan bentuk

sindrom resistensi insulin. Pada uji toleransi glukosa oral, sekresi insulin

tergantung pada derajat dan lama penyakit, serta sangat bervariasi antara yang

paling lambat sampai yang paling cepat (Bambang T, 2010).

DM Tipe 2 disebabkan karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak

mampu merespon insulin secara normal. Namun, tidak terjadi pengrusakan

sel-sel beta langerhans sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan

demikian, defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat

relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak

memerlukan terapi insulin (Depkes, 2005).

2.3 Gejala Penyakit Diabetes Mellitus

Menurut (Mahendra dkk, 2009) gejala DM tipe 1 dan tipe 2 tidak banyak

berbeda. Hanya gejalanya lebih ringan dan prosesnya lambat, bahkan kebanyakan

orang tidak merasakan adanya gejala. Akibatnya, penderita baru mengetahui

mengidap penyakit DM setelah timbul komplikasi, seperti penglihatan menjadi

(5)

bahkan terjadi pembusukan pada kaki atau disebut gangren. Berikut ini adalah

gejala yang umumnya dirasakan penderita DM :

a. Sering buang air kecil (poliuria) disebabkan oleh tingginya kadar gula

dalam darah yang dikeluarkan lewat ginjal selalu diiringi oleh air atau

cairan tubuh, maka buang air kecil menjadi lebih banyak. Bahkan pada

saat tidur di malam hari kerap terganggu karena harus bolak-balik ke

kamar kecil.

b. Haus dan banyak minum (polidipsia) karena banyaknya urin yang keluar,

menyebabkan cairan tubuh berkurang sehingga kebutuhan akan air minum

meningkat.

c. Rasa lapar (polifagia) karena tidak ada jumlah insulin yang cukup, maka

gula yang diasup tidak akan bisa masuk kedalam sel. Akibatnya organ

tubuh akan kehabisan energi dan memicu rasa lapar yang berlebihan.

d. Fatigue (lelah) muncul karena energi menurun akibat berkurangnya

glukosa dalam jaringan atau dalam sel. Kadar gula dalam darah yang

tinggi tidak bisa optimal masuk ke dalam sel disebabkan oleh menurunnya

fungsi insulin sehingga orang tersebut kekurangan energi.

e. Sakit kepala, keringat dingin, tidak bisa berkonsentrasi yang disebabkan

oleh menurunnya kadar gula dalam darah. Setelah seseorang mengonsumsi

gula, reaksi pankreas meningkat (produksi insulin meningkat),

menimbulkan hipoglikemia.

f. Menurunnya berat badan diakibatkan karena tanpa adanya asupan energi

(6)

terdapat beberapa orang yang mengalami peningkatan berat badan. Hal ini

disebabkan terganggunya metabolisme karena hormon lainnya juga

terganggu.

g. Gangguan imunitas akibat meningginya kadar glukosa dalam darah

menyebabkan pasien DM sangat sensitif terhadap penyakit infeksi. Hal ini

disebabkan oleh menurunnya fungsi sel-sel darah putih. Infeksi yang

sering muncul pada pasien DM ialah infeksi kandung kemih, infeksi kulit,

infeksi jamur dan infeksi saluran pernapasan.

h. Gangguan mata karena penglihatan berkurang yang disebabkan oleh

perubahan cairan dalam lensa mata. Pandangan akan tampak berbayang

disebabkan kemampuan otot mata yang berkurang dalam memfokuskan

suatu objek.

2.4 Diagnosis Diabetes Mellitus

Dahulu pemeriksaan glukosa dan keton urine adalah satu-satunya cara

bagi pasien diabetes untuk mengetahui status glikemik dari hari kehari.

Pengukuran kadar glukosa urine menggambarkan kadar glukosa darah secara

tidak langsung dan bergantung pada ambang rangsang ginjal yang bagi

kebanyakan orang sekitar 180 mg/dl. Pemeriksaan glukosa urine tidak

memberikan informasi tentang kadar glukosa darah di bawah batas kemampuan

tersebut, sehingga tidak dapat membedakan normoglikemia dan hipoglikemia

(7)

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah dan

tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria. Untuk memastikan

diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan

cara enzimatik dengan bahan dasar plasma vena. Untuk pemantauan hasil

pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler. Perbedaan antara uji diagnostik

DM dan penyaringan adalah uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang

menunjukkan gejala atau tanda DM, sedangkan penyaringan bertujuan untuk

mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM

(Soegondo, S., 2013)

(8)

gambar 2.1. Langkah-langkah diagnostik dan gangguan

Kriteria diagnosis DM dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)

(Sudoyo dkk, 2006) :

a. Gejala klasik DM disertai kadar Glukosa Darah Sewaktu (GDS)

200 mg/dl. Pengambilan sampel gula darah sewaktu dilakukan

sewaktu-waktu tanpa memperhitungkan jarak waktu terakhir makan.

Gejala klasik DM adalah poliuria, polidipsia, polifagia dan

penurunan berat badan tanpa diketahui sebabnya.

b. Gejala klasik DM disertai kadar Glukosa Darah Puasa (GDP) 126

md/dl. Gula darah puasa diambil setelah tidak ada intake kalori

selama minimal 8 jam.

c. Gula darah plasma 2 jam post prandial (GDPP) 200 mg/dl selama

Test Toleransi Glukosa Oral (TTGO)

Cara pelaksanaan TTGO (PERKENI, 2006) :

1. Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan

dalam sehari-hari dengan karbohidrat yang cukup dan tetap

melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.

2. Berpuasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum

pemeriksaan. Namun, minum air putih tanpa gula tetap

diperbolehkan.

(9)

4. Diberikan beban glukosa 75 gram pada orang dewasa atau 1,75

gram/kgBB (berat badan) untuk anak-anak yang dilarutkan dalam

air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit.

5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk

pemeriksaan 2 jam sesudah beban glukosa. Selama proses

pemeriksaan orang yang diperiksa tetap istirahat dan tidak

diperbolehkan untuk merokok.

Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi

menjadi 3 yaitu :

a) <140 mg/dl adalah normal.

b) 140-<200 mg/dl adalah toleransi glukosa terganggu.

c) 200 mg/dl adalah DM.

2.5 Pemantauan Kendali Diabetes Mellitus

Pemantauan status metabolik penyandang DM merupakan hal yang

penting sebagai bagian dari pengelolaan DM. Hasil pemantauan tersebut

digunakan untuk menilai manfaat pengobatan dan sebagai pegangan penyesuaian

diet, latihan jasmani dan obat-obatan untuk mencapai kadar gula darah yang

normal. Untuk mengetahui status metabolik penyandang DM dapat dinilai dengan

beberapa paremeter antara lain: perasaan sehat secara subjektif, perubahan berat

badan, kadar glukosa darah, kadar glukosa urine, kadar keton darah, kadar keton

urine, kadar hemoglobin glikat dan kadar lipid darah. Parameter inilah yang

(10)

Gambar 2.2. Kriteria Pengendalian DM

Berdasarkan (Soewondo, P., 2013) pada penyandang DM, glikosilasi

hemoglobin meningkat secara proporsional dengan kadar rata-rata glukosa darah

selama 8-10 minggu terakhir. Bila kadar glukosa darah berada dalam kisaran

normal antara 70-140 mg/dl selama 8-10 minggu terakhir, maka hasil A1C akan

menunjukkan nilai normal. Hasil pemeriksaan A1C merupakan pemeriksaan

tunggal yang sangat akurat untuk menilai status glikemik jangka panjang dan

berguna pada semua tipe penyandang DM. Nilai A1C juga merupakan prediktor

terhadap kemungkinan timbulnya komplikasi diabetes. Pemeriksaan A1C ini

relatif mahal dan harus dilakukan di laboratorium. Tetapi saat ini telah tersedia

metode yang lebih praktis, sepat dan dapat dilakukan di klinik pada saat

(11)

konsultasi. Dengan satu kali pemeriksaan kita dapat mengukur rata-rata status

glikemik dalam 5-12 minggu terakhir.

Pemeriksaan A1C dilakukan sekurangnya 2 kali dalam setahun pada

pasien yang telah mencapai target tetap (kendali glukosa stabil). Pada pasien yang

terapinya diubah atau yang belum mencapai target kendali glukosa, pemeriksaan

A1C sebaiknya dilakukan 4 kali setahun. Pemeriksaan A1C harus dilakukan

secara rutin pada seluruh penderita DM, baik saat kunjungan awal maupun

sebagai bagian dari pengobatan selanjutnya (Soewondo, P., 2013).

2.6 Epidemiologi Diabetes Mellitus

2.6.1 Distribusi dan Frekuensi

a. Menurut Orang

Menurut laporan Global Status Report of Non communicable

Disease 2014 WHO, Pada tahun 2014 prevalensi menurut usia dan jenis

kelamin yang mengalami kadar glukosa saat puasa 7,0 mmol/L, dalam

pengobatan dalam peningkatan kadar glukosa darah dan dengan riwayat

diagnosis DM pada pria dan wanita yang berusia diatas 18 tahun sebesar

8,1-10%. Pada tahun 2012, jumlah kematian akibat penyakit DM

dibawah umur 70 tahun pada pria sebesar 48,9 per 100.000 dan pada

wanita 71,9 per 100.000 (WHO, 2014).

Berdasarkan Riskesdas (2013), proporsi penderita DM di Indonesia

(12)

Proporsi penderita DM berdasarkan usia yaitu, lebih banyak pada usia

65-74 tahun dan >75 tahun 13,20% dan lebih sedikit pada usia 15-24

tahun 1,10%. Proporsi berdasarkan tingkat pendidikan yaitu, lebih

banyak pada tingkat tidak sekolah 10,40% dan lebih sedikit pada tingkat

tamat SMA/MA 5,20%.

b. Menurut Tempat

Berdasarkan data laporan Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia (Kemenkes RI) tahun 2013. Prevalensi DM berdasarkan

provinsi dan umur diatas 15 tahun. Provinsi tertinggi pertama adalah

Provinsi Sulawesi Tengah (3,7%), kedua adalah Provinsi Sulawesi Utara

(3,6%) dan ketiga Provinsi Sulawesi Selatan (3,5%). Dan angka

prevalensi DM di Provinsi Sumatera Utara (2,2%) (Depkes, 2013).

c. Menurut Waktu

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013, Prevalensi

DM di Indonesia tahun 2007 (1,1%) dan tahun 2013 (2,1%) (Depkes,

2013). Menurut laporan Global Status Report of Non communicable

Disease 2014 WHO, kematian akibat penyakit tidak menular pada tahun

2012 yang terdiri dari penyakit kardiovaskular, kanker, penyakit

pernapasan kronis dan DM antar usia 30 sampai 70 tahun pada tahun

(13)

2.6.2 Faktor Risiko Diabetes Mellitus

a. Genetik

Diabetes mellitus dapat menurun menurut silsilah keluarga yang

mengidapnya. Ini terjadi karena DNA pada orang dengan DM akan ikut

diinformasikan pada gen berikutnya terkait dengan penurunan produksi

insulin (Riyadi, 2008). Apabila ada orangtua ataupun saudara kandung

yang menderita DM, maka seseorang tersebut memiliki resiko 40%

menderita DM (Tara, 2002).

Diabetes mellitus tipe 2 lebih banyak dikaitkan dengan dengan faktor

keturunan dibandingkan dengan DM tipe 1. Sekitar 50% pasien DM tipe

2 memiliki orangtua yang juga menderita DM. Pada penderita DM tipe 1

hanya sekitar 3-5% saja yang mempunyai orangtua menderita DM

(Tandra, 2008).

b. Umur

DM dapat terjadi akibat gangguan autoimun yang di tandai dengan

kerusakan sel-sel beta langerhans. Dm tipe 1 banyak ditemukan pada

anak usia muda. Sebaliknya. DM tipe 2 banyak ditemukan pada lansia,

karena berhubungan dengan degenerasi atau penurunan organ yang

berakibat pada menurunnya fungsi endokrin (Bustan, 2007).

DM dapat terjadi pada semua kelompok umur. DM tipe1 biasanya

terjadi pada usia muda ataupun juga pada orang yang berusia 40 tahun,

(14)

dewasa. Kebanyakan kasus DM tipe 2 terjadi sesudah umur 40 tahun

(Riyadi, 2008).

c. Pola makan yang salah

Perkembangan gaya hidup seperti pola makan yang salah

mempercepat peningkatan kasus DM di Indonesia. Makanan yang kaya

akan kolesterol, lemak dan natrium muncul sebagai tren menu makanan

dan didukung dengan meningkatnya konsumsi minuman kaya akan gula

(Tara, 2002).

Pola makan di perkotaan telah bergeser dari pola makan tradisonal

yang mengandung banyak karbohidrat dan serat dari sayuran, ke pola

makan ke barat-baratan, dengan komposisi makanan yang terlalu banyak

mengandung protein, lemak, gula, garam dan mengandung sedikit serat.

Komposisi makanan seperti ini terutama terdapat pada makanan siap saji

yang saat ini sedang digemari terutama oleh usia remaja dan dewasa

(Sudoyo dkk, 2006).

d. Obesitas

Konsumsi kalori lebih dari yang dibutuhkan tubuh akan

menyebabkan sebagian kalori disimpan dalam bentuk lemak. Pada orang

yang obesitas, respon sel beta pankreas terhadap peningkatan glukosa

darah berkurang. Reseptor insulin pada target sel diseluruh tubuh

termasuk otot berkurang jumlah dan keaktifannya atau kurang sensitif

sehingga keberadaan insulin di dalam darah kurang atau tidak

(15)

e. Faktor kehamilan

Pada saat seorang wanita hamil terjadi perubahan metabolisme

endokrin dan karbohidrat yang menunjang pemanasan makanan bagi

janin serta persiapan menyusui. Menjelang aterm, kebutuhan insulin

meningkat mencapai 3 kali lipat dari keadaan normal. Bila seorang ibu

tidak mampu meningkatkan produksi insulin, maka dapat

menyebabkan hiperglikemia. Resistensi insulin juga dapat terjadi

akibat adanya hormon esterogen, progesteron, prolaktin dimana

hormon-hormon tersebut dapat mempengaruhi reseptor insulin pada

sel sehingga menekan kerja insulin (Riyadi, 2008).

2.7 Komplikasi Diabetes Mellitus

Komplikasi DM dapat muncul secara akut dan secara kronik, yaitu

timbul beberapa bulan atau beberapa tahun sesudah mengidap penyakit DM

(Tjokoprawiro, 2007).

2.7.1 Komplikasi akut Diabetes Mellitus

1. Hipoglikemia.

Hipoglikemia merupakan komplikasi akut tersering pada pasien

DM tipe 1. Hal ini dapat terjadi karena usaha tubuh untuk mencapai

nilai normal kadar gula darah. Semakin ketat usaha untuk mencapai

kadar gula darah normal, maka semakin besar risiko terjadinya

(16)

timbul akibat tubuh kekurangan glukosa, yang ditandai dengan rasa

lapar, gemetar, keringat dingin dan pusing (Tjokoprawiro, 2007).

Hipoglikemia adalah penurunan kadar glukosa darah dibawah 50 mg/dl,

kadar glukosa yang terlalu rendah dapat menyebabkan sel-sel otak tidak

mendapatkan pasokan energi sehingga tidak dapat berfungsi bahkan

dapat rusak. Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM Tipe

1 yang dapat dialami 1-2 kali perminggu (Depkes, 2005).

Gejala dan tanda hipoglikema yaitu gejala otonom dan gejala

neuroglikopeni. Gejala otonom berupa gemetaran, cemas, berkeringat,

jantung berdebar-debar dan lapar. Gejala neuroglikopeni berupa

gangguan berpikir, lemas dan pandangan berkabut (Setiati, 2008).

Faktor paling utama yang menyebabkan hipoglikemia sangat penting

dalam pengelolaan DM adalah ketergantungan jaringan saraf pada

asupan glukosa yang berkelanjutan (Sudoyo dkk, 2006).

2. Hiperglikemia

Peningkatan gula darah melebihi 120 mg/dl. Keadaan ini

disebabkan karena gula tidak bisa ditransportasikan ke sel-sel karena

kurangnya insulin. Keadaan ini memerlukan tindakan segera apabila

merasakan poliuria, polidipsia, polifagia, bibir kering, kepanasan, kulit

memerah sampai pada keadaan mual-muntah, kelelahan (fatigue), nafas

(17)

Hiperglikemia dapat memperburuk gangguan-gangguan kesehatan

seperti gastroparesis, disfungsi ereksi dan infeksi jamur pada vagina.

Hiperglikemia yang berlangsung lama dapat berkembang menjadi

keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik

yang dapat berakibat fatal dan membawa kematian (Depkes, 2005).

3. Ketoasidosis.

Ketoasidosis terbagi atas dua, yaitu : Ketoasidosis diabetik (KAD)

dan Hiperosmolar non ketotik (HONK).

a. Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah saat kadar gula darah

meningkat tinggi menjadi 450% akibat defisiensi insulin berat

dan akut (Laporan WHO, 2000). KAD adalah keaadaan

dekompensasi/kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias

hiperglikemia, asidosis dan ketosis. KAD biasanya mengalami

dehidrasi berat dan bahkan dapat menyebabkan syok.

Diagnosis KAD kadar glukosa >250 mg%, pH <7,35,

rendah, anion gap yang tinngi dan keton serum positif (Sudoyo

dkk, 2006).

Kriteria diagnostik KAD(Hermawan, 2006):

a). Klinis apabila terdapat riwayat DM sebelumnya,

kesadaran menurun, nafas kussmaul dan bau aseton dan

(18)

b). Faktor pencetus yang biasa menyertai adalah infeksi

akut, infark miokard akut dan stroke.

c). Laboratorium yaitu kadar gula darah >250 mg/dl,

asidosis metabolik, dan ketosis (ketonemia dan

keonuria).

b. Hiperosmolar non ketotik (HONK) adalah suatu sindrom yang

sering ditemukan pada penderita usia lanjut. Hampir separuh

pasien mempunyai riwayat DM dengan HONK ditandai

hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat dan disertai

adanya menurunnya kesadaran (Laporan WHO, 2000).

Perjalanan klinis HONK biasanya berlangsung dalam jangka

waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu),

dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuria,

polidipsi, dan penurunan berat badan. Faktor yang memulai

timbulnya HONK adalah dieresis glukosuria. Glukosuria

mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam

mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin memperberat

derajat kehilangan kandungan air dalam tubuh (Sudoyo dkk,

2006).

2.7.2 Komplikasi Kronik Diabetes Mellitus

Komplikasi kronik DM pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh

darah di seluruh tubuh (angiopati diabetik). Angiopati diabetik terbagi

(19)

a. Komplikasi yang Mengenai Makroangiopati 1. Penyakit Jantung Koroner (PJK)

Insidens PJK meningkat pada pengidap DM dengan

hiperglikemia. Penyakit ini menjadi penyebab utama kematian. Faktor

peningkatan risiko PJK pada pasien DM antara lain, yaitu : rokok,

hipertensi, resistensi insulin yang timbul akibat kelebihan berat badan

dan hiperlipidemia (Agoes, 2010).

Aterosklerosis adalah sebuah kondisi dimana arteri menebal dan

menyempit karena penumpukan lemak pada bagian dalam pembuluh

darah. Menebalnya arteri di kaki bisa mempengaruhi otot-otot kaki

karena berkurangnya suplai darah yang mengakibatkan kram, rasa tidak

nyaman atau lemas saat berjalan. Jika suplai darah pada kaki sangat

kurang atau terputus dalam waktu yang lama, bisa terjadi kematian pada

jaringan(Misnadiarly, 2006).

2. Kaki Diabetik

Kaki diabetik merupakan masalah yang paling serius yang paling

sering terjadi ketika ada kerusakan saraf atau neuropati. Pada saat kaki

sudah hilang rasa, sehingga apabila kaki terluka penderta tersebut tidak

terasa ada luka di kakinya (ADA, 2015). Menurut (Pusat Diabetes,

2006) kaki diabetik merupakan salah satu komplikasi yang paling

ditakuti, karena dapat menyebabkan gangren dan amputasi kaki. Kaki

diabetik umumnya didahului oleh adanya ulkus (tukak , luka). Gejala

(20)

a) Rasa nyeri pada kaki seperti rasa terbakar.

b) Tidak berasa.

c) Rasa tebal pada kaki.

d) Perasaan panas atau dingin.

e) Penurunan ambang rasa sakit sampai mati rasa, terhadap rasa

suhu dan rasa getar.

f) Produksi keringat yang menurun, kulit yang kering dan

pecah-pecah.

Penderita DM perlu waspada akan timbul bisul dan infeksi kaki,

yang dapat terjadi akibat gesekan sepatu baru atau sepatu yang tidak

cocok; penebalan kulit yang tidak diobati dan luka akibat berjalan tanpa

alas kaki (Agoes, 2010).

b. Komplikasi yang Mengenai Mikroangiopati 1. Retinopati Diabetik

Retinopati diabetik dapat terjadi akibat pecahnya bagian dalam

pembuluh darah retina karena tersumbat. Retinopati yang berakibat

kebutaan disebabkan kelainan pada retina (Agoes, 2010). Retinopati

diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan pada

usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien DM memiliki resiko 25

kali lebih mudah mengalami kebutaan dibanding nondiabetes. Pada

waktu diagnosis DM tipe 1 ditegakkan, retinopati diabetik DM

ditegakkan, sekitar 25% sudah menderita retinopati diabetik

(21)

yang paling ringan dan sering tidak memperlihatkan gejala. Diagnosis

retinopati diabetik didasarkan atas hasil pemeriksaan funduskopi.

Namun, dalam klinik pemeriksaan dengan oftalmoskopi masih dapat

digunakan untuk skrining (Sudoyo dkk, 2006).

2. Nefropati diabetik

Ketika tubuh kita mencerna protein yang di makan, ginjal

dengan jutaan pembuluh darah kecil atau kapiler bertindak sebagai

filter. Saat darah mengalir melalui pembuluh darah, molekul

protein disaring oleh ginjal dan dikeluarkan melalui urin.

Tingginya kadar gula darah membuat ginjal menyaring terlalu

banyak darah. Setelah bertahun-tahun ginjal mengalami kerusakan

sehingga protein yang berguna bagi tibuh hilang bersama urin yang

dikeluarkan tubuh (ADA, 2013).

Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan

kadar albumin 30 mg dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali

pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan (PB PAPDI, 2006).

Hampir 20-30% penderita DM akan mengalami kelainan ginjal

dalam perjalanan penyakitnya (Laporan WHO, 2000).

3. Neuropati diabetik

Neuropati adalah komplikasi saraf tepi yaitu terasa tebal atau

terbakar pada kaki atau tangan (PERKENI, 2014). Ketika glukosa

darah dan tekanan darah yang terlalu tinggi, DM dapat memicu

(22)

menyebabkan masalah pencernaan dan buang air kecil, disfungsi ereksi

dan sejumlah fungsi lainnya. Daerah yang paling sering terkena adalah

ekstremitas, terutama kaki (PB PAPDI, 2006).

2.8 Pencegahan Diabetes Mellitus

2.8.1 Pencegahan Primordial

Pencegahan primordial dilakukan untuk mencegah munculnya faktor

predisposisi terhadap penyakit DM. sasaran dari pencegahan primordial

adalah orang-orang yang masih sehat dan belum memiliki risiko tinggi, agar

berperilaku positif mendukung kesehatan umum dan upaya menghindari diri

dari risiko DM. misalnya, berperilaku hidup sehat, tidak merokok, makan

makanan bergizi dan seimbang, melakukan kegiatan jasmani yang memadai

(Bustan, 2007). Tujuan dari pencegahan primordial adalah untuk menghindari

terbentuknya pola hidup sosial ekonomi dan kultural yang mendorong

peningkatan resiko penyakit. Upaya ini terutama ditujukan kepada masalah

penyakit menular yang menunjukkan peningkatan termasuk DM (Laporan

WHO, 2000).

2.8.2 Pencegahan Primer

Tujuan pencegahan primer DM adalah untuk menurunkan angka

kejadian dari penyakit DM. pencegahan primer dilakukan secara menyeluruh

pada masyarakat, tetapi diutamakan kepada orang yang sudah mempunyai

risiko terkena DM. pada pengelolaaan DM, penyuluhan dan panambahan ilmu

(23)

dan pengobatan DM. Selain itu, aktifitas fisik yang cukup dan perencanaan

pola makan yang baik juga menjadi pencegahan yang tepat bagi orang yang

mempunyai risiko terkena DM (Bustan, 2007).

a. Penyuluhan

Tujuan pendidikan kesehatan bagi penyandang DM adalah

meningkatkan pengetahuan, perubahan sikap sehingga dapat

meningkatkan kualitas hidup. Materi penyuluhan yang disampaikan

kepada penderita DM adalah defenisi DM, faktor risiko DM,

pengenalan komplikasi DM, upaya menekan DM, pengelolaan DM

dan pencegahan DM (Soegondo, 2004).

b. Latihan jasmani

Latihan jasmani yang teratur (3-4 kali seminggu selama kurang

lebih 30 menit) memegang peranan penting dalam pencegahan

primer. Orang yang tidak berolahraga memerlukan insulin 2 kali

lebih bayak untuk menurunkan kadar glukosa darahnya dengan

orang yang berolahraga. Manfaat latihan jasmani bagi penderita DM

adalah membantu penurunan kadar glukosa darah (Soegondo, 2004).

c. Perencanaan pola makan

Perencanaan makan merupakan kunci utama pengelolaan DM

disamping edukasi dan latihan jasmani. Perencanaan makan bagi

penderita DM bila tidak berpuasa pada umumnya adalah 3 kali

makan utama dan 2 kali makan selingan, sedangkan bagi penderita

(24)

makan selingan. Tujuan perencanaan makan pada penderita DM

adalah untuk mengendalikan kadar glukosa darah dalam batas

normal, mengendalikan dan mencapai berat badan normal, mencegah

timbulnya komplikasi dan menjadikan keadaan sehat dan nyaman

(Soegondo, 2004).

Diabetes mellitus merupakan penyakit metabolik kronik yang

pengelolaannya perlu dilaksanakan secara holistik dan pemeliharaan

seumur hidup. Perencanaan pola makan merupakan slah satu pilar

pengelolaan DM, meski sampai pada saat ini tidak ada satupun

perencanaan makan yang sesuai untuk semua pasien, namun ada standar

yang dianjurkan, yaitu makanan dengan komposisi yang seimbang

dalam karbohidrat, protein, lemak sesuai dengan kecukupan gizi baik

sebagai berikut : Karbohidrat = 60-70%, protein = 10-15% dan lemak =

20-25% (Soegondo, 2004).

2.8.3Pencegahan Sekunder

Individu yang sudah diketahui mengidap penyakit DM harus diberi

kemudahan untuk memperoleh penyuluhan kesehatan tentang penyakit DM,

dukungan diet, sistem pendukung sosial, asuhan medis dan asuhan

keperawatan. Dengan demikian, deteksi awal terhadap komplikasi dapat

diketahui dan dapat diberi tindakan yang tepat agar perkembangan komplikasi

dapat dicegah. Program untuk mendeteksi dan mengendalikan hipertensi,

perawatan mata, perawatan kaki dan berhenti merokok merupakan program

(25)

Jika DM sudah menyerang, maka komplikasi segera mengancam. Oleh

karena itu, segera dilakukan upaya pencegahan terhadap kemungkinan

komplikasi pada berbagai organ target. Terhadap kemungkinan komplikasi

pada mata, dilakukan pemeriksaan mata secara teratur, dan jika dapat

dilakukan pengobatan dengan cepat dan tepat dapat mencegah 90%

kemungkinan komplikasi kebutaan. Perawatan yang tepat terhadap kaki,

dengan pemeriksaan dan pendidikan pasien dapat mencegah 85%

kemungkinan diamputasi. Pengendalian dan pengobatan hipertensi dapat

mengurangi komplikasi penyakit jantung dan stroke sekitar 33-50% dan 33%

kegagalan ginjal (Bustan, 2007).

a. Diagnosis Dini Diabetes Mellitus

Diagnosa awal dapat dilakukan dengan melakukan penyaringan atau

screening, yaitu pemeriksaan kadar gula darah para kelompok beresiko. Pada

dasarnya DM mudah didiagnosis, dengan bantuan pemeriksaan sederhana,

terlebih dengan teknologi yang canggih. Hanya saja keinginan masyarakat

untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan masih kurang (Bustan,

2007).

Penyaringan atau screening dikerjakan pada semua individu dewasa

dengan IMT 25 kg/m2 dengan faktor resiko lain sebagai berikut : aktivitas

fisik kurang, riwayat keluarga mengidap DM, wanita dengan riwayat

melahirkan bayi yang beratnya 400 gr, Hipertensi, Kolesterol, Wanita

(26)

glukosa darah puasa terganggu dan keadaan lain yang berhubungan dengan

resistensi insulin. Untuk kelompok resiko tinggi yang hasil pemeriksaa

penyaringnya negatif, penyaringan ulangan dilakukan tiap tahun. Bagi

kelompok usia >45 tahun tanpa faktor resiko, penyaringan dapat dilakukan

setiap 3 tahun atau lebih cepat tergantung dari klinis masing-masing orang

(Sudoyo dkk, 2006).

a. Penatalaksanaan Medis

Intervensi famakologik ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum

tercapai dengan pengaturan makanan. Dalam pengobatan ada 2 macam obat

yang diberikan, yaitu pemberian obat secara oral atau disebut juga Obat

Hipoglikemik Oral (OHO) dan pemberian secara injeksi yaitu insulin. Selain

dua macam pengobatan tersebut, dapat juga dilakukan dengan terapi

kombinasi yaitu dengan memberikan kombinasi dua atau tiga kelompok OHO

jika dengan OHO tunggal sasaran kadar glukosa darah masih belum tercapai.

Dapat juga menggunakan kombinasi OHO dengan insulin apabila kegagalan

pemakaian OHO baik tunggal maupun kombinasi (PB PAPDI, 2006).

Pengobatan OHO memiliki beberapa golongan obat, yaitu golongan

sulfoniluria untuk merangsang sel beta pankreas mengeluarkan insulin,

golongan biguanid untuk menurunkan kadar gula darah menjadi normal dan

tidak menyebabkan hipoglikemia, golongan glukosidase inhibitor untuk

menghambat kerja insulin dalam saluran cerna agar menurunkan penyerapan

(27)

masalah akibat resitensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia. Pengobatan

Insulin memiliki tiga jenis berdasarkan cara kerjanya, yaitu insulin dengan

cara kerja cepat, sedang dan lambat (Riyadi, 2008).

2.8.4 Pencegahan Tersier

Komplikasi kronis dan akut sering kali timbul, maka perawat perlu

mengenal dan terampil melakukan pencegahan tersier agar komplikasi dapat

dikurangi (Baradero, 2005). Untuk mencegah terjadinya komplikasi seperti

kecacatan organ tubuh lainnya maka harus dilakukan deteksi dini penyulit DM

agar kemudian penyulit tersebut dapat dikelola dengan baik disamping

pengelolaan dalam usaha pengendalian kadar glukosa darah (Soegondo,

2004).

Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penderita penyakit DM

yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan

lebih lanjut. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin,

sebelum kecacatan menetap. Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80-325

mg/hari) dapat diberikan secara rutin bagi penderita penyakit DM yang sudah

mempunyai penyulit makroangiopati. Pada upaya pencegahan tersier tetap

dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk

upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang

optimal . Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan holistik dan

terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan.

(28)

mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi,

podiatrist, dll.) sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan

tersier (PB PAPDI, 2006).

2.9 Kerangka Konsep

Karakteristik Penderita DM

1. Sosiodemografi

 Umur

 Jenis kelamin

 Agama

 Pekerjaan

 Daerah Asal

 Status Perkawinan 2. Riwayat keluarga 3. Tipe DM

4. Jumlah Kunjungan dalam Setahun 5. Komplikasi

Referensi

Dokumen terkait

[r]

beberapa kendala yang dihadapi selama proses pembelajaran berlangsung, diantaranya: 1) masalah yang sering dijumpai adalah siswa sering lupa pada masing-masing fungsi

[r]

Berdasarkan analisis varians pada Tabel 4.4 bahwa perlakuan suspensi kulit semangka dengan volume yang berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap kualitas kimia

Oleh karena nilai p value sebesar 0,006 lebih kecil dari 0,05 ( p&lt; 0,05), maka hipotesis dalam penelitian yang berbunyi ada hubungan antara komunikasi terapeutik

Sistem Pertahanan Negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta

Bahwa dengan adanya perjanjian penutupan asuransi kerugian antara Terlapor dengan empat perusahaan yaitu Tri Pakarta Wahana Tata, MAI atau Jasindo menyebabkan penguasaan

Saya mampu menyelesaikan tugas sesuai dengan jumlah yang ditetapkan.. Hasil pekerjaan yang telah saya kerjakan sesuai dengan standar yang ditentukan