• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANSISI EPIDEMIOLOGI DAN DAMPAKNYA TERH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TRANSISI EPIDEMIOLOGI DAN DAMPAKNYA TERH"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1. Apa dampak transisi penyakit pada JKN?

Dewasa ini, adanya transisi penyakit mengakibatkan terjadinya beban ganda masalah penyakit di suatu negara. Transisi penyakit yang merupakan bagian dari masalah transisi kesehatan terjadi karena adanya transisi demografi dan transisi epidemiologi. Dikatakan beban ganda karena, dalam hal ini tren penyakit telah bergeser dari Penyakit Menular ke arah Penyakit Tidak Menular (penyakit degeneratif) seperti diabetes mellitus, jantung, stroke dan kanker.

Terjadinya perubahan pola penyakit dengan peningkatan penyakit tidak menular ini dapat didorong dengan beberapa hal, yaitu: perubahan struktur masyarakat yaitu dari agraris ke industri, dan perubahan struktur penduduk yaitu penurunan anak usia muda dan peningkatan jumlah penduduk usia lanjut karena keberhasilan KB. Penyakit tidak menular yang berkembang di masyarakat pada umumnya disebabkan bawaan/keturunan, kecacatan akibat kesalahan proses kelahiran, maupun akibat pola hidup yang tidak sehat, seperti dampak dari konsumsi makanan serta minuman, perilaku merokok, mengonsumsi alkohol, narkoba, kurangnya olah raga, tipe pekerjaan yang banyak duduk, dan pola makanan berkolesterol tinggi serta kurang serat mulai banyak dilakukan oleh angkatan muda, terutama di perkotaan. Faktor-faktor tersebut ditambah lagi dengan perilaku yang serba kompetitif akan meningkatkan stres dan menaikkan tekanan darah. Dipengaruhi juga faktor lingkungan yang tidak sehat dan udara yang tercemar asap rokok, asap knalpot, dan asap industri, membuat angka kematian akibat penyakit tidak menular itu meningkat.

(2)

Sejak 1 Januari kemarin, pemerintah telah meluncurkan salah satu program khusus di bidang kesehatan yakni Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Jaminan Kesehatan Nasional ini adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan yang diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas agar para peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayarkan oleh pemerintah. Adapun badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program ini yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Lantas apa sebenarnya dampak dari transisi penyakit tadi terhadap program JKN ini? Dari sejumlah fakta menunjukkan bahwa tren penyakit saat ini didominasi oleh penyakit tidak menular yang dimana penyebabnya tidak hanya karena satu faktor saja akan tetapi multi faktor,contohnya faktor gaya hidup. Faktor gaya hidup seperti kebiasaan merokok dan konsumsi makanan tinggi lemak dan rendah serat ini ternyata tidak diikuti dengan pengetahuan yang komprehensif oleh masyarakat mengenai risiko yang ditimbulkan. Adapun sebagian masyarakat yang sudah mengetahui mengenai faktor risiko,namun tingkat kesadaran mereka untuk melakukan upaya menuju gaya hidup yang lebih baik,ternyata masih terbilang rendah. Padahal, tanpa mereka sadari biaya yang mereka keluarkan untuk pembiayaan terkait risiko kesehatan yang ditimbulkan (misalnya: kanker paru) jauh lebih besar dibanding biaya yang mereka gunakan untuk gaya hidup tersebut (misalnya: perilaku merokok). Tidak jauh berbeda, pemerintah pun mengeluarkan biaya yang lebih besar dalam masalah kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok dibanding pendapatan yang diperoleh dari cukai rokok tersebut.

Kita dapat mengambil contoh perbandingan biaya pengobatan dalam sebulan antara penyakit menular (misalnya: Malaria) dan penyakit tidak menular (misalnya: Diabetes Melitus). Biaya pengobatan untuk penyakit Malaria diestimasi sekitar Rp 20.000 per bulan, sementara biaya pengobatan untuk Diabetes Melitus yakni obat-obatan dan insulin,diperkirakan sekitar Rp 600.000 per bulan.

Perbedaan biaya yang cukup jauh ini terasa sangat ironis, terutama karena negara-negara berkembang justru turut menyumbang dalam tingginya angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh penyakit tidak menular, tidak terkecuali Indonesia.

(3)

mempengaruhi dalam hal rendahnya produktivitas apabila pengelolaan JKN ini tidak diupayakan secara maksimal pada bagian promotif dan preventif.

2. Apa dampak five level of prevention pada JKN? Five level of prevention menurut Leavell & Clark yakni : 1. Health promotion

2. Specific protection

3. Early diagnosis and promt treatment 4. Disability limitation

5. Rehabilitation

Berdasarkan lima level diatas, dapat dilihat bahwa jika seseorang memiliki,memahami dan mengamalkan Health promotion dan Specific protection sebagai 1st prevention,maka yang bersangkutan akan berada pada kondisi yang dapat terus menjaga kesehatan. Level satu dan dua ini, seyogyanya memang diterapkan sebagai pencegahan primer pada tingkat komunitas/masyarakat. Namun demikian, bila sewaktu-waktu seseorang yang terpelihara upaya Health promotion dan Specific protection-nya mendadak jatuh sakit, maka ia akan tiba untuk menghadapi Early diagnosis and promt treatment dimana yang bersangkutan harus siap untuk berobat secara sempurna sampai dapat pulih atau sehat dan kembali dapat mengamalkan Health promotion dan Specific protection secara berkesinambungan. Dari uraian ini dapat dilihat bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk mengamalkan Health promotion dan Specific protection. Mereka inilah yang dalam hidupnya memiliki kemampuan untuk berada dalam keadaan seimbang antara agen,host dan environment. Akan tetapi,dengan adanya transisi penyakit saat ini, pergeseran hingga akhirnya seseorang harus menghadapi level Early diagnosis and promt treatment,tidak lepas dari peran perilaku pada diri orang tersebut (habit).

Jika melihat pada manfaat pelayanan yang diberikan oleh JKN,yakni pelayanan kesehatan perorangan, maka five level of prevention ini akan sangat membantu terutama pada level pertama hingga level ketiga. Pelayanan JKN memang diupayakan dapat mencakup mulai dari pelayanan preventif,kuratif,rehabilitatif termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan. Dimana bagi peserta JKN akan memperoleh pelayanan kesehatan dengan mengikuti prosedur pelayanan yang telah ditetapkan.

(4)

sendiri untuk mengubah pola hidup yang tidak sehat menjadi pola hidup yang sehat, termasuk juga mengendalikan pencemaran udara dan lingkungan hidup. Contohnya Pasien hipertensi tidak hanya bergantung pada obatnya, tetapi juga harus mengubah pola makannya untuk mendukung pengobatannya, jika tidak tentu akan percuma saja.

Oleh karena itu, five level of prevention ini dapat memberikan dampak yang positif bagi program JKN bila diprioritaskan pada level pertama hingga level ketiga. Hanya saja, karena pelayanan ini bersifat perorangan,sehingga perlu adanya monitoring dan evaluasi dari petugas kesehatan terhadap manfaat dari pelayanan perorangan ini. Memang untuk mewujudkan pelaksanaan level pertama hingga ketiga masih terbilang cukup sulit,mengingat paradigma masyarakat yang sudah terbiasa dengan upaya kuratif dibandingkan preventif.

3. Bagaimana transisi epidemiologi di Indonesia?

Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks dalam pola kesehatan dan pola penyakit utama penyebab kematian dimana terjadi penurunan prevalensi penyakit infeksi (penyakit menular), sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin meningkat. Hal ini terjadi seiring dengan berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi dan meningkatnya umur harapan hidup yang berarti meningkatnya pola risiko timbulnya penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi, dan lain sebagainya.

Teori mengenai transisi epidemiologi ini pertama kali dikeluarkan oleh seorang pakar Demografi, Abdoel Omran pada tahun 1971,dimana saat itu dia mengamati perkembangan kesehatan di negara industri sejak abad 18. Abdoel Omran kemudian menuliskan sebuah teori bahwa ada 3 fase transisi epidemiologi yaitu 1)The age of pestilence and famine, yang ditandai dengan tingginya mortalitas dan berfluktuasi serta angka harapan hidup kurang dari 30 tahun, 2)The age of receding pandemics, era di mana angka harapan hidup mulai meningkat antara 30-50 dan 3)The age of degenerative and man-made disease, fase dimana penyakit infeksi mulai turun namun penyakit degeneratif mulai meningkat.

(5)

morbiditas, sehingga mendorong upaya peningkatan quality of life. Selain itu, Omran juga membuat revisi model transisi epidemiologis untuk negara berkembang dengan mengganti fase ketiganya menjadi “The age of triple health burden” yang ditandai dengan 3 hal yaitu: a) masalah kesehatan klasik yang belum terselesaikan (infeksi penyakit menular), b)munculnya problem kesehatan baru dan c) pelayanan kesehatan yang tertinggal (Lagging), Namun ketika itu dikaitkan dengan jenis penyakit beberapa pakar menggati beban ketiga itu dengan “New Emerging Infectious Disease” Penyakit menular baru/penyakit lama muncul kembali.

Indonesia sebagai negara berkembang dekade saat ini dan kedepan diperkirakan akan berada pada fase ketiga ini yaitu “The age of triple health burden”. Tiga beban ganda kesehatan.

Beban pertama yang dihadapi Indonesia adalah masih tingginya angka kesakitan penyakit menular “klasik”. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang besar di hampir semua Negara berkembang apalagi negara tersebut berada pada daerah tropis dan sub-tropis. Angka kesakitan dan kematian relatif cukup tinggi dan berlangsung sangat cepat menjadi masalahnya. Sebut saja Tuberkulosis (TB), Kusta, Diare, DBD, Filarisisi, Malaria, Leptospirosis dan masih banyak lagi teman-temannya. Seolah Indonesia sudah menjadi rumah yang nyaman buat mereka tinggal (baca:endemis). Sudah berpuluh-puluh tahun pemerintah mencoba membuat program memberantas bahkan mengeliminasi penyakit ini namun penyakit ini belum juga mau pergi dari Indonesia, yang terjadi justru trend kasusnya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Penyakit menular ini merupakan hasil perpaduan berbagai faktor yang saling mempengaruhi. Secara garis besar, biasa kita sebut Segitiga Epidemiologi (Epidemiological Triangle) yaitu lingkungan, Agent penyebab penyakit, dan pejamu. Ketidakseimbangan ketiga faktor inilah yang bisa menimbulkan penyakit tersebut. Pencegahan dan penanggulangan penyakit menular secara konsep sebenarnya bisa kita lakukan dengan memutus mata rantai penularan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menghentikan kontak agen penyebab penyakit dengan pejamu. Mengintervensi faktor risiko utama yaitu Modifikasi lingkungan (menciptakan lingkungan yang sehat) dan mengubah perilaku menjadi hidup bersih dan sehat. Namun kedua faktor utama inilah yang sampai sekarang tidak mampu dimodifikasi. Masalahnya cukup kompleks, bisa disebabkan karena kebijakan pemerintah yang belum berpihak pada upaya preventif (pencegahan), Sektor kesehatan merasa bekerja sendiri menyelesaikan masalah kesehatan, Keadaan politik,sosial dan ekonomi menjadi akar masalah kita.

(6)

angka kematian akibat penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia sudah lebih tinggi daripada kematian akibat penyakit menular. Angka penyakit tidak menular di Indonesia terus meningkat, pada tahun 1995 kematian akibat penyakit tidak menular sebesar 41,7 persen dan tahun 2007 meningkat menjadi 59,5 persen. Contohnya adalah kematian akibat rokok. Dalam hal ini, WHO memperkirakan bahwa jika di tahun 2000 terdapat 4 juta kematian yang berkaitan dengan rokok di seluruh dunia, maka di tahun 2030 angka itu akan mencapai 10 juta. Sebesar 7 juta di antaranya akan terjadi di negara-negara berkembang dan yang 3 juta terjadi di negara-negara maju.

Di negara WHO SEARO (South East Asia Regional Office) termasuk Indonesia pada tahun 2000 dilaporkan 52% penyebab kematian adalah akibat Penyakit Tidak Menular, 9% akibat kecelakaan dan 39% akibat Penyakit Menular (PM) serta penyakit lainnya. Ini berarti di negara berkembang telah terjadi pergeseran penyakit penyebab kematian utama, dari penyakit menular ke penyakit tidak menular. Adanya perubahan gaya hidup akibat era globalisasi yang juga dibarengi dengan ketidaktahuan akan faktor risiko penyebab yang seharusnya dapat dicegah mengakibatkan penyakit tidak menular yang berkaitan dengan gaya hidup dan disabilitas akibat penyakit kronis akan mengalami peningkatan dengan meningkatnya umur harapan hidup, sementara penyakit menular tertentu masih tetap tinggi.

PTM dikenal dengan sebutan Silent Killer, bisa membunuh secara diam-diam, dan ketika terdeteksi oleh penderita, sudah pada tingkat keparahan yang tinggi dan sudah sulit disembuhkan, dan biasanya akan berakhir dengan kecacatan atau kematian. Tidak ada Faktor yang spesifik dan dominan penyebab PTM ini. Faktor risiko penyakit ini cukup banyak dan saling berinteraksi. Berbagai penelitian menyebutkan faktor risiko yang sering ditemukan adalah pada perilaku yaitu merokok, minum beralkohol, makanan (Fastfood dengan kolestrol tinggi), dan kurangnya aktivitas fisik. Pencegahan yang bisa kita lakukan yakni dengan mengubah perilaku kita menjadi perilaku yang sehat,menjaga pola makan yang baik dan sehat, sering berolahraga dan hindari rokok dan minum alkohol.

Beban ketiga yang dihadapi Indonesia adalah munculnya penyakit baru (new emerging Infectious Disease). Sebut saja HIV (1983), SARS (2003), Avian Influenza (2004), H1N1 (2009). Penyakit ini rata-rata disebabkan oleh virus lama yang bermutasi, yang menyebabkan tubuh manusia sering tidak mengenalnya dengan cepat. Akibatnya angka kesakitan dan kematian pada penyakit ini sangat tinggi dan berlangsung sangat cepat.

(7)

mikroba untuk secara alamiah merekayasa dirinya secara genetik, perubahan iklim global juga turut campur dalam timbul dan berkembangnya penyakit baru ini. Pengendalian penyakit infeksi baru bermacam-macam pendekatan namun diperlukan pemahaman teradap 2 hal yakni epidemiologi global penyakit atau dinamika penyebaran penyakit secara global dan pemahaman terhadap cara-cara penularan lokal.

4. Apa Strategi yang harus dilakukan untuk mengendalikan transisi penyakit di Indonesia?

Adanya transisi penyakit di Indonesia menjadi tantangan sendiri baik bagi pemerintah maupun masyarakat pada umumnya dan petugas kesehatan pada khususnya. Dalam hal ini, tantangan bagi profesi kesehatan masyarakat ialah bagaimana untuk dapat terus meningkatkan keadaan kesehatan sambil merestrukturisasi dan mereformasi sistem kesehatan di era desentralisasi ini. Tugas yang paling penting ialah memberikan perhatian lebih kepada kondisi kesehatan utama meningkatkan kelayakan kondisi kesehatan serta pemanfaatan sistem kesehatan, melibatkan peran swasta, mengevaluasi ulang mekanisme pendanaan kesehatan dan melaksanakan desentralisasi, termasuk juga menyangkut isu tenaga kesehatan.

Transisi penyakit ini juga turut menyumbang sebagai penyebab DALY (Disability-Adjusted Life Year) atau ukuran keseluruhan beban penyakit yang dinyatakan sebagai jumlah tahun yang hilang akibat gangguan kesehatan, cacat atau kematian dini. DALY menggabungkan dampak kematian prematur (usia kematian dibawah angka harapan hidup) dengan dampak dari cacat/hidup tidak aktif akibat suatu penyakit. Jumlah DALYs seluruh populasi, atau beban penyakit, dapat dianggap sebagai pengukuran kesenjangan antara status kesehatan saat ini dan situasi kesehatan yang ideal di mana seluruh populasi hidup untuk usia lanjut, bebas dari penyakit dan kecacatan.

Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan kualitas hidup dan produktivitas masyarakat Indonesia, diperlukan sejumlah strategi untuk mengendalikan transisi penyakit agar tidak terus menerus menjadi beban ganda kesehatan.

Beberapa prinsip manajemen yang perlu diingat dalam strategi pengendalian transisi penyakit adalah:

1. Harus secara bersamaan ditangani penyakit menular yang sedang berlangsung dan respon yang efektif terhadap penyakit kronis yang muncul. 2. Karena pengobatan begitu mahal, pendekatan yang terbaik adalah

Pencegahan terhadap penyakit kronis

3. Pendekatan harus multi aspek dari berbagai faktor penentu perubahan epidemiologi.

(8)

sosial,ekonomi,politik,lingkungan dan sebagainya. Hal ini karena permasalahan transisi penyakit ini juga tidak terlepas dari multi aspek diatas.

Karena transisi penyakit ini didominasi oleh pergeseran dari Penyakit Menular ke Penyakit Tidak Menular, maka upaya untuk menanggulangi faktor risiko adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan. Upaya-upaya ini dapat dilakukan salah satunya lewat model yang telah dikembangkan oleh Negara-negara lain baik Negara-negara maju maupun Negara-negara berkembang yang kemudian dapat diadopsi dan disesuaikan di Indonesia.

Contohnya dalam upaya pengendalian tembakau (Tobacco Control). Upaya ini telah dilakukan oleh beberapa Negara diantaranya Bhutan, Cuba, India, Irlandia, Chili, Tonga, Thailand dan Rwanda. Pengendalian tembakau ini dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi konsumen dan perilaku merokok di Negara itu. Adapun pengendalian tembakau ini harus didukung oleh kebijakan pemerintah yang tegas mengenai aturan rokok. Mengingat rokok adalah salah satu faktor risiko bagi penyakit-penyakit kronis, maka tidak cukup hanya dengan edukasi dan mengharapkan kesadaran masyarakat untuk berubah. Akan tetapi perlu adanya aturan ataupun undang-undang yang mengatur secara jelas dan dijalankan dengan tegas.

Upaya lain yang dapat dilakukan yakni meningkatkan aktivitas fisik lewat program hidup sehat di tempat kerja, pelaksanaan skrining kanker, pemeriksaan tekanan darah,program manajemen diri dan pemberian edukasi diabetes ataupun membangun pusat rehabilitasi berbasis masyarakat untuk penderita stroke.

Strategi pengendalian transisi penyakit ini sebagaimana telah dijelaskan diatas lebih merujuk pada upaya pencegahan Penyakit Tidak Menular dengan menggunakan prinsip upaya pencegahan penyakit lebih baik dari mengobati.

Strategi pencegahan ini merujuk pada tingkat pencegahan yang dianjurkan oleh WHO, dimana ditujukan kepada faktor risiko yang telah diidentifikasi, yakni : 1. Pencegahan primordial, dimaksudkan untuk memberikan kondisi pada

masyarakat yang memungkinkan PTM ini tidak didukung dari kebiasaan, gaya hidup dan faktor resiko lainnya. Upaya ini cukup kompleks, karena tidak hanya membutuhkan kesadaran pribadi dari individu tetapi juga dukungan sosial masyarakat.

2. Pencegahan primer, meliputi Promosi kesehatan masyarakat, seperti: kampanye kesadaran masyarakat, promosi kesehatan, pendidikan kesehatan masyarakat. Selain itu juga berupa pencegahan khusus, yaitu pencegahan keterpaparan.

(9)

Dua strategi pelengkap yang dianjurkan untuk pencegahan primer adalah pendekatan berbasis populasi dan pendekatan berbasis kelompok risiko tinggi. Pendekatan berbasis populasi ini dilakukan melalui pendekatan kesehatan masyarakat dimana sasarannya adalah masyarakat sehingga ruang lingkup intervensi cukup luas. Sementara untuk pendekatan berbasis kelompok risiko tinggi memang hanya berfokus pada pendekatan secara klinis dengan sasarannya adalah individu.

Untuk melaksanakan sejumlah strategi pencegahan ini, tentunya memerlukan rencana aksi agar dapat dilaksanakan dengan lebih terarah untuk memperoleh hasil yang optimal. Adapun lima komponen esensial dalam rencana aksi berdasarkan CDC Model (2003), yakni :

1. Mengambil tindakan. Pengambilan tindakan tidak serta merta tanpa adanya dasar yang tidak jelas, akan tetapi dilakukan dengan menempatkan pengetahuan yang dimiliki sebagai landasan dalam bekerja atau mengambil tindakan.

2. Penguatan Kapasitas, dengan transformasi organisasi dan struktur petugas kesehatan masyarakat serta membangun mitra.

3. Evaluasi Dampak. Dapat dilakukan dengan memonitoring beban ganda penyakit, mengukur kemajuan dari intervensi yang dilakukan dan melakukan komunikasi urgensi.

4. Kebijakan lanjutan, dalam hal ini mendefinisikan isu-isu dan berusaha untuk menemukan solusi.

Referensi

Dokumen terkait