• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPEMIMPINAN YESUS DAN KONFLIK DENGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEPEMIMPINAN YESUS DAN KONFLIK DENGAN "

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KEPEMIMPINAN YESUS DAN

KONFLIK DENGAN ORANG FARISI

Tafsir Terhadap Matius 23:1-4 James A. Lola*

Abstract

New Testament gives a very clear picture of the conflict between Jesus and the Pharisees, the Pharisees considered Jesus blaspheme God, otherwise Jesus condemned the Pharisees, as the expense of the commandment of God for the sake of their customs. But what's interesting is that in an instruction to the disciples (Matt.23: 1-4), Jesus actually taught that the students obey the teaching of the Pharisees, what did Jesus mean by these words?

Key Words: Jesus, Pharisees, conflict

A. Pendahuluan

Yesus ketika hidup di dunia dalam masa pelayanan-Nya, telah menjadi tokoh yang sangat kontroversialis, hal ini disebabkan karena sebagian besar percakapan publik Yesus terjadi dalam bentuk perdebatan dengan para pemimpin agama Palestina pada masa itu. Mereka tidak setuju dengan Yesus dan Yesus juga tidak setuju dengan mereka.

Dalam setiap kesempatan perdebatan dengan para pemimpin agama pada saat itu, tidak jarang Yesus mengecam para pemimpin agama pada saat itu dengan kata-kata yang keras. Yesus menyebut mereka dengan kata 'bodoh' (Mat.23:17), orang-orang munafik (Mat 15:6; 23:29), orang buta yang menuntun orang buta (Mat 15:14; 23:16, 24), orang sesat (Mrk. 12:24) dan juga orang-orang yang membatalkan Firman Tuhan demi tradisi mereka (Mat.15:1-7).

Salah satu sekte dalam agama Yudaisme pada saat itu yang terus menerus ditentang oleh Yesus adalah Kaum Farisi. Kaum Farisi adalah sekte yang paling berpengaruh pada zaman Yesus dalam agama Yudaisme, mereka disebut juga sebagai kaum puritan Yudaisme, karena mereka menjadi kaum yang begitu sangat memisahkan diri dari segala hubungan duniawi dan kejahatan.1 Teologi utama dari Kaum Farisi ini didasarkan pada seluruh hukum Perjanjian Lama, namun dalam penafsiran terhadap hukum-hukum, mereka menggunakan dan menjunjung tinggi adat istiadat nenek moyang mereka karena bagi mereka adat istiadat nenek moyang juga merupakan wahyu Allah yang sama dengan kitab Perjanjian Lama. Josephus memberikan komentar yang menarik mengenai pengajaran kaum Farisi ini,

"Kaum Farisi melekat erat pada bangunan tradisi yang telah diwariskan kepada mereka. Mereka percaya bahwa 'tradisi nenek moyang' ini, walaupun diwariskan secara lisan dan tidak ditemukan dalam kitab Musa, namun telah diberikan Musa di Gunung Sinai sebagai tambahan bagi hukum Taurat. Oleh karena itu, kaum Farisi menganggap bahwa ada

* Penulis adalah alumni STT SETIA Jakarta dan Dosen di STAKN Toraja. 1

(2)

dua pewahyuan paralel dari Allah. Yang satu ialah hukum tertulis dan yang kedua adalah tradisi lisan. Kedua-duanya sama sama penting dan sama-sama berkuasa."2

Orang Farisi begitu menekankan kepada tradisi lisan.3 Bahkan dalam salah satu targum Rabinik (parafrasa Aramaik dari Perjanjian Lama), Allah bahkan digambarkan sebagai 'menyibukkan diri-Nya sendiri di siang hari dengan menelaah Kitab Suci dan di malam hari dengan Mishnah'.4

Penafsiran kaum Farisi terhadap Kitab Suci yang berpaut erat dengan tradisi lisan ini yang kemudian terus menerus melahirkan konflik antara Yesus dengan mereka diantaranya berkaitan dengan pembasuhan tangan (Mrk. 7:1-13 bnd Mat.15:1-9), Hari Sabat (Yoh. 5:1-18), Bergaul dengan orang-orang berdosa (Luk. 5:29-32) dan masih banyak lagi perdebatan-perdebatan kontroversial yang disebabkan oleh karena hal ini, yang memicu Yesus untuk mengecam mereka.

Yesus dalam beberapa hal mengajarkan kepada murid-murid-Nya secara khusus untuk berhati-hati terhadap ajaran kaum Farisi dan Saduki (Mat. 16:5-12), tetapi di sisi yang lain juga memberikan pengajaran kepada murid-muridnya dan orang-orang banyak untuk menghormati orang-orang Farisi karena mereka telah menduduki kursi Musa, sehingga ajaran mereka perlu dituruti (Mat. 23:1-3)

Pandangan Yesus terhadap orang Farisi yang terakhir ini pada akhirnya melahirkan persoalan tersendiri bagi para ahli.5 Menurut para ahli, hal ini menjadi dilema tersendiri karena Yesus sebelumnya telah mengajarkan untuk berhati-hati terhadap ajaran orang Farisi, kemudian mengajarkan hal yang bertentangan dengan ajaran sebelumnya untuk menaati ajaran orang Farisi, namun pada saat yang bersamaan mengecam orang-orang Farisi. Claude Douglas menyimpulkan dilema ini dalam sebuah kalimat, “Either we must admit that here Jesus greatly exaggerates

the facts or else he contradicts himself.”6

Sebenarnya apa maksud Yesus dengan mengatakan kepada orang banyak dan murid-murid-Nya mengenai orang Farisi yang telah menduduki 'Kursi Musa' dan juga mengenai ajaran mereka yang harus dituruti dan harus dilakukan. Apakah Yesus sedang merujuk kepada persetujuan atas otoritas dari orang-orang Farisi dan apakah Yesus menyetujui penafsiran mereka terhadap kitab suci?

B. Yesus Menegaskan Otoritas Orang Farisi?

2

The Works of Flavius Josephus, diterjemahkan oleh William Whiston (1737): The Antiquuities of the Jews xviii.1.3,4 and The Wars of The Jews ii.8.14

3

Tradisi Lisan ini pada abad kedua sebelum masehi mulai dilestarikan dalam bentuk tulisan menjadi apa yang dikenal saat ini yaitu Mishnah. Mishnah memiliki enam bagian mencakup hukum pertanian, hari-hari perayaan dan hukum perkawinan. Selain itu juga hukum kemasyarakatan, kejahatan serta hukum upacara adat. Belakangan ditambahkan juga Gemara, yaitu rangkaian komentar atas hukum-hukum itu. Mishnah dan Gemara bersama-sama membentuk kitab Talmud bangsa Yahudi.

4

ibid. The Antiquuities of the Jews xviii 10.6

5Mark Allan Powell mengomentari bagian ini “These few verses appear to present ideas that flagrantly contradict what is said elsewhere in the Gospel, and, despite numerous attempts at resolution, many scholars have come to regard this passage as a vagrant pericope that simply cannot

be reconciled with the theology of the overall work”, (“Do and Keep What Moses Says”, Journal of Biblical Literature 114 (1995): 419) bnd pandangan Viviano untuk bagian ini “perhaps the most

puzzling verses to explain in the Gospel of Matthew . . .” (Benedict T. Viviano, “Social World and Community Leadership: The Case of Matthew 23:1–12, 34,” JSNT 39 (1990) 3.

6

(3)

Apakah Yesus sedang menegaskan otoritas dari orang Farisi dalam menafsirkan kitab suci? Pembacaan sepintas akan teks ini, akan memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya perkataan Yesus pada ayat 2 ini " Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa." merujuk kepada otoritas dari orang Farisi untuk menafsirkan hukum Musa. Tetapi jika demikian maka, Yesus sedang bertentangan dengan pengajaran sebelumnya, dan bahkan apa yang Yesus sampaikan dalam ayat selanjutnya (ay.4-36).

Oleh karena itu, maka dalam bagian yang pertama ini kita akan melihat mengenai apa yang dimaksud dengan 'Kursi Musa' (Μωϋ έω α έδ α ) dan maksud dari perkataan Yesus ini.

1. Kursi Musa (Μωϋσέω α έδ α )

Yesus menjelaskan bahwa orang Farisi dan ahli Taurat telah menduduki kursi Musa. Para ahli kembali menemukan kesulitan apakah yang dimaksud dengan perkataan Yesus ini. Apakah Yesus sedang memberikan sebuah bahasa ejekan ataukah memang sebuah pujian. Jika bahasa Yesus ini dipahami sebagai sebuah bahasa satire (ejekan) maka didapati kesimpulan bahwa Yesus sedang menyangkali keberadaan dan keabsahan orang-orang Farisi yang pada saat itu diakui secara luas. Hal ini menjadi agak sulit diterima karena seperti dalam catatan Josephus bahwa "orang-orang kota sangat menghormati mereka [orang Farisi], karena mereka berkhotbah dan mempraktekkan ajaran moral yang sangat luhur".7 Itu berarti bahwa orang Farisi telah diterima dan diakui pada waktu. Sedangkan jika dipahami bahwa ini memang adalah sebuah bahasa positif, maka didapati sebuah hipotesis bahwa memang Yesus mengakui otoritas penafsiran mereka akan kitab suci. Ketegangan ini, menjadikan teks ini menjadi salah satu teks yang sangat kontroversial dalam Perjanjian Baru

Pengertian yang benar mengenai apa yang dimaksud dengan 'kursi Musa' menjadi sesuatu yang penting dalam teks ini karena ini akan memberikan kita pemahaman mengenai kedudukan orang Farisi dan juga otoritas mereka pada saat itu.

Setidaknya ada empat pandangan yang diusulkan mengenai pengertian dari 'kursi Musa' ini yang dapat dirangkum dalam dua paradigma, yaitu pandangan yang melihat 'kursi Musa' sebagai pernyataan yang mesti ditafsirkan secara literal8 dan yang kedua adalah melihat apa yang Yesus nyatakan itu sebagai bentuk metafora atau figuratif mengenai posisi dan kedudukan orang Farisi pada saat itu.9

Bagi mereka yang melihat pernyataan Yesus ini dalam bentuk literal mengacu kepada dua pandangan yaitu (1) Bahwa ini memang mengacu kepada sebuah kursi

7

The Antiquuities of the Jews xviii 18.1.3 8

Pandangan literal ini ditemukan dalam David Hill, The Gospel of Matthew, The New Century Bible Commentary, (Grand Rapids, MI, 1972), p. 310. lihat juga J. C. Fenton, Saint Matthew,

Westminster Pelican Commentaries (Philadelphia, 1963), p. 366; H. Benedict Green, The Gospel according to Matthew, The New Clarendon Bible (London, 1975), p. 189; K. Stendahl, "Matthew," in

Peake's Commentary on the Bible, eds. Matthew Black and H. H. Rowley (London, 1962), p. 792; W. F. Albright and C. S. Mann, Matthew, AB (Garden City, NY, 1971), p. 278; Robert H. Gundry,

Matthew: A Commentary on His Literary and Theological Art (Grand Rapids, MI, 1982), p. 453-454 9

Pandangan figuratif ini terlihat dalam pandnagan beberapa penafsir seperti F. W. Beare,

The Gospel according to Matthew (Oxford, 1981), p. 448. lihat juga R. T. France, The Gospel according to Matthew, Tyndale New Testament Commentaries (Downers Grove, IL, 1985), p. 324; Walter Grundmann, Das Evangelium nach Matthaus, 5th ed., Theologischer Handkommentar zum Neuen Testament, vol. 1 (Berlin, 1981), p. 483; M.-J. Lagrange, Evangile selon Saint Matthieu,

(4)

yang benar-benar ada dalam synagoge atau rumah ibadah orang Yahudi, di mana orang yang memiliki kewenangan untuk menafsirkan hukum akan duduk10. (2) Mengacu kepada sebuah kursi yang didesign dan digunakan dalam synagoge untuk menaruh (menyimpan) gulungan Kitab Suci ketika Kitab Suci tersebut tidak digunakan.11 Sedangkan sudut pandang yang kedua yaitu melihat ini dalam bentuk metafora, didasarkan kepada dua pandangan juga yaitu (1) Merujuk kepada fakta bahwa orang-orang Farisi telah mengambil hak sebagai penafsir hukum Yahudi.12 (2) Mengacu kepada posisi sosial yang eksklusif dari orang-orang Farisi yang memiliki akses kepada hukum Yudaisme [taurat] pada saat itu.13

Dasar dari sudut pandang literal yang pertama yang merujuk kepada tempat di mana orang yang berhak menafsir taurat duduk mengacu kepada dua hal yaitu pada penemuan arkeologi dan bukti sastra. Bukti arkeologi ini terlihat dalam penelitian yang dilakukan oleh Eleazar Sukenik pada tahun 1934, yang menemukan adanya sebuah kursi batu14 secara universal dalam synagoge-synagoge Yahudi yaitu di Chorazin, En Gedi, dan Hammat Tiberias,dan di synagoge di Delos dan Dura-Europos.15 Dan pada penggunaannya waktu itu, kursi ini selalu diduduki oleh orang Farisi ketika mereka menafsirkan hukum Taurat pada saat itu.

Bukti arkeologis ini diperkuat juga dengan bukti sastra yang ada, meskipun harus diakui bahwa bukti sastra yang ada tidak terlalu banyak tetapi telah menjadi poin penting untuk menjelaskan bahwa kursi yang ada di synagoge itu memang disebut juga dengan 'kursi Musa'. Salah satu sumber sastra di luar Perjanjian Baru yang dapat dijadikan rujukan adalah Pesikta de Rab Kahana yang merupakan salah satu tulisan-tulisan awal yang digunakan sejajar dengan Midrash. Tulisan ini diprediksi berasal dari abad ke IV.16 Dalam salah satu pasal dari Pesikta ini, mengacu kepada seorang sarjana Palestina bernama Rabbi Aha, yang menjelaskan tentang takhta Salomo dengan menyebut bahwa takhta Salomo ini seperti 'kursi Musa' ( מ א א כ).17 Tetapi sekalipun demikian, pandangan ini masih diragukan kebenarannya karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa bukti sastra mengenai keberadaan 'kursi Musa' ini sangat sedikit, bahkan literatur yang memuat fakta tentang kursi Musa ini baru ditulis setelah 150 tahun setalah Injil Matius ini ditulis. Dan juga karena struktur dari synagoge pada jaman itu yang lebih banyak menggunakan kamar-kamar ketimbang sebuah gedung, dan juga karena

10G. C. σewport, “A σote on the „Seat of Moses,‟

AUSS (1990) 53–58; see also Donald A. Hagner, Matthew 14–28 (WBC 33B; Dallas: Word, 1995) 659.

11

L.Y. Rahmni, “Stone Synagogue Chairs: Their Identification, Use and Significance,” IEJ 40 (1990) 192–214; Cecil Roth, “The „Chair of Moses‟ and Its Survivals,” PEQ 81 (1949) 100–111.

12

Craig S. Keener, A Commentary on the Gospel of Matthew (Grand Rapids: Eerdmans, 1999) 541

13Mark Powell, “Do and Keep What Moses Says (Matthew 23:2–ι),”

JBL 114 (1995) 419–35. 14

Kursi ini terbuat dari batu. Kursi yang ditemukan di Hammath terbuat dari sebuah batu kapur dengan tinggi 90 Cm dan Lebar 60 Cm, dan batu ini diarahkan menghadap ke jemaat. Dan di depan dari batu ini dituliskan beberapa kalimat (1) ingatlah yang baik untuk Yehuda (2) Ismael (3) Yang menjadikan Stoa (4) Rumah tangga sebagai penghargaan (4) Kiranya selalu berpaut dengan kebenaran. Selain itu juga ditemukan kursi ini di synagoge-synagoge yang lain yang telah ada sejak bangsa Israel kembali dari pembuangan terutama pada masa Makabe. lih. E. L. Sukenik, Ancient Synagogues in Palestine and Greece (London, 1934), 57-61.

15

E. L. Sukenik, Ancient Synagogues in Palestine and Greece (London, 1934), 57-61. 16

Lihat Bernard Mandelbaum, "Pesikta De-Rav Kahana," in Encyclopaedia Judaica

(Jerusalem, 1971), 13: 333-334 and J. Theodor, "Midrash Haggadah," in Jewish Encyclopedia (New York, 1904), pp. 559-560.

17

(5)

peralatan-peralatan dalam synagoge yang lebih banyak menggunakan bahan dari kayu ketimbang batu yang tentu saja tidak akan bertahan lama.

Proposal kedua yang diajukan adalah bahwa kursi ini memang merupakan sebuah kursi yang dibuat secara khusus untuk meletakan gulungan kitab suci ketika tidak digunakan. Dasar dari pemikiran ini adalah pada tradisi dan pola pelayanan di Synagoge terutama yang terlihat pada abad ke enam belas, di mana di setiap synagoge memang memiliki sebuah kursi yang dilubangi dan disebut dengan istilah 'kursi Musa', dan ketika tidak ada kebaktian maka kitab suci disimpan di lubang yang telah ada di kursi tersebut.18

Meskipun demikian, pandangan ini dianggap tidak mewakili argumentasi yang kuat karena didasarkan kepada fakta yang terjadi pada abad ke enam belas dan bukan pada periode awal. Juga bahwa fakta kursi Musa memang memiliki lubang tidak serta merta memperkuat argumentasi bahwa memang kursi tersebut sengaja dilubangi, karena lubang yang ada pada kursi tersebut bukanlah sebuah lubang yang rata.19 Dan juga jika ini mengacu kepada tempat untuk menyimpan Kitab Suci menjadi tidak tepat sesuai dengan konteksnya dengan ucapan Yesus bahwa orang Farisi 'duduk' di kursi Musa.20

Pandang ketiga merujuk kepada sebuah metafora yang mengacu kepada pandangan bahwa pada faktanya memang orang Farisi telah mendapatkan otoritas sebagai penafsir dari hukum Taurat. Pandangan ini tergambar dengan jelas dalam

penjelasn Boring "Moses‟ seat‟ is a metaphorical expression representing the

teaching and administrative authority of the synagogue leadership, scribes and Pharisees".21 Dengan demikian ini mengacu kepada pemahaman bahwa orang-orang Farisi telah memiliki hak untuk memberikan penafsiran terhadap hukum taurat itu sendiri.22

Meskipun bagi beberapa penafsir kedudukan orang Farisi ini lebih merupakan sebuah metafora yang berkonotasi negatif karena pada dasarnya ini adalah sebuah sindirian terselubung yang merujuk kepada sekolah Rabi dari Yoanan ben Zakkai at Yavneh.23 Dan juga merupakan sebuah sindiran dari Yesus akan arogansi intelektual dari orang Farisi pada waktu itu.24

Persoalan dari pandangan ini adalah melupakan fakta yang ada mengenai penemuan-penemuan arkeologi yang merujuk kepada kursi yang benar-benar ada di synagoge-synagoge pada waktu itu yang disebut dengan 'kursi Musa', karena bagaimanapun penemuan-penemuan arkeologi dan bukti-bukti dari literatur-literatur pada saat itu tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Artinya bahwa pandangan ketiga hanya melihat bahwa kursi Musa ini semata-mata berkonotasi metafora saja.

18 Cecil Roth, “The „Chair of Moses‟ and Its Survival,”

Palestine Exploration Quarterly 81 (1949) 110-111. Pandangan Roth ini diperkuat dengan fakta bahwa kursi yang ditemukan di Hammath juga memiliki lubang yang dibuat untuk menyimpan Kitab Taurat ketika digunakan.

19

σewport, “A σote on the „Seat of Moses‟ ” 5ι.

20 Mark Allen Powell “Do and Keep What Moses Says (Matthew 23:2

-ι)” JBL (1995): 431, note 48.

21 M. Eugene Boring, “The Gospel of Matthew,” in Leander E. Keck, ed. et. al.,

New

Interpreter’s Bible, Vol 8 (Nashville: Abingdon, 1995), 431. 22

Craig S. Keener, IVP New Testament Commentary Series: Matthew (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1997), pp 332-333

23Benedict T. Viviano, “Social World and Community Leadership: The Case of Matthew 23:1–

12, 34,” JSNT 39 (1990) 11.

24 Cecil Roth, “The „Chair of Moses‟ and Its Survival,”

(6)

Proposal keempat, mengacu kepada kedudukan sosial dari orang Farisi yang mendapatkan hak eksklusif mengakses kitab taurat. Pandangan ini didasarkan kepada pemahaman dan fakta pada masa itu, di mana banyak orang yang buta huruf sehingga tidak dapat membaca hukum Taurat dan juga pada salinan Kitab Suci yang masih sangat jarang sekali, bahkan mungkin Murid-murid Yesus pada saat itu hanya dapat mengetahui hukum Taurat melalui pembacaan dan penafsiran

yang dilakukan oleh orang Farisi di synagoge. Powel menulis “to their social position

as people who control accessibility. They are the ones who possess copies of the Torah and are able to read them. They are the ones who know and are able to tell others what Moses said". 25

Pandangan ini menarik, tapi agak tidak masuk akal. karena tidak mungkin bahwa masyarakat yang menantikan Mesias akan sepenuhnya tergantung pada orang-orang Farisi untuk akses mereka dengan Kitab Suci. Dan juga pembacaan Taurat tidak mungkin terjadi dalam keniscayaan. Oleh karena itu tak terbayangkan bahwa seseorang bisa mendengar Taurat, atau membaca tanpa dipengaruhi oleh eksposisi nya juga. Selain itu, ada garis tipis antara apa yang merupakan "membaca" dan apa yang merupakan "menafsirkan" teks Alkitab pada masa itu.

Pandangan Powell yang menyebut bahwa banyak orang yang buta huruf pada saat itu, juga adalah argumentasi tanpa dasar, seperti yang terlihat bahwa murid-murid Yesus pada saat itu, yang walau hanya penjala ikan namun adalah orang-orang yang mampu membaca dan menulis, karena adalah tidak mungkin Yesus, mempercayakan kelanjutan dari pelayanan-Nya di bumi kepada mereka yang tidak memiliki akses kepada hukum taurat.

Berdasarkan kepada pemahaman dan uraian di atas, penulis lebih menyetujui bahwa yang dimaksud dengan 'kursi Musa' merujuk kepada sebuah kursi yang memang berada di synagoge yang dipakai oleh mereka yang mengajar di synagoge untuk duduk, sekaligus juga menjadi sebuah metafora dari hak dan otoritas dari orang Farisi untuk menafsirkan hukum Musa tersebut (pandangan pertama dan ketiga). Fakta bahwa hanya beberapa kursi yang ditemukan di beberapa synagoge tidak mematahkan fakta bahwa memang ada kursi ada saat itu, dan juga fakta literatur yang ditulis 150 tahun setelah Injil Matius ditulis juga tidak memberikan argumentasi penolakan akan keberadaan kursi tersebut.

Dan juga argumentasi yang memang menunjukkan kepada metafora dari apa yang sebenarnya terjadi, bahwa para orang Farisi telah mengambil hak dan otoritas untuk mengajar dan menafsirkan kitab Musa, karena bagaimanapun tidak dapat disangkali bahwa posisi orang Farisi pada saat itu pada periode 'second temple' dalam komunitas keagamaan Yudaisme sangat memiliki peran yang vital, karena mereka adalah penjaga hukum Musa dan hukum Allah secara de facto sekaligus mereka adalah yang berhak untuk mengeluarkan ajaran penting kepada masyarakat pada saat itu, serta memberi putusan apakah halakhah yang berkaitan dengan Taurat Musa dapat diterapkan secara kelompok dan individu dalam masyarakat Yahudi.

Dan juga hal ini sesuai dengan konteks pada zaman itu yang merujuk kepada tanda dari dunia kuno dan periode Perjanjian Baru bahwa tanda otoritatif pada saat itu adalah 'duduk'.26

25Mark Allan Powell, “Do and Keep What Moses Says (Matthew 23:2

-7), Journal of Biblical Literature 114 (1995), 431-432

(7)

Jika demikian, apakah yang dimaksud dengan perkataan Yesus bahwa orang Farisi telah menduduki kursi Musa apabila hal tersebut telah mengacu kepada sebuah bentuk literal sekaligus metafora?

2. Maksud Perkataan Yesus

Apa maksud perkataan Yesus dengan orang Farisi telah 'menduduki kursi Musa'? memang kursi Musa adalah lambang dari otoritas untuk menafsirkan dan mengajarkan hukum Taurat, tetapi apakah itu berarti Yesus juga memberikan legitimasi kepada orang-orang Farisi tentang otoritas mereka? Dalam hal ini, dapat dipersempit pada apa arti dari kata 'menduduki' (ἐ ά αν)

Apakah yang Yesus maksudkan dengan kata 'ἐ ά αν' ini? Apakah dengan kata ini Yesus sedang memberikan sebuah sindiran yang tajam kepada orang-orang Farisi akan arogansi mereka, ataukah Yesus sedang menegaskan otoritas mereka? Atau apakah Yesus dalam hal ini hanya menyatakan tentang sebuah fakta sejarah yang menunjukkan peran orang Farisi pada periode 'second temple'? Cukup sulit menentukan maksud Yesus ini, karena ada beberapa kemungkinan exegetical yang dapat ditarik dari bagian ini. Setiap kemungkinan exegetical memiliki kelemahan dan kekuatan tersendiri.

Oleh karena itu, untuk dapat menemukan jawaban akan hal ini secara lebih kompeherensif, maka kita harus memeriksa ayat ini dalam kaitannya dengan konteks yang lebih besar.

Pandangan yang pertama mengenai tafsiran kata 'ἐ ά αν' (duduk) yang merupakan bentuk aorist dari kata α ίζω yang diterjemahkan oleh NIV, NRSV, and the KJV dengan kata 'sit'. Menurut Turner, kata ini mengacu kepada sebuah bentuk aorist sempurna yang dapat berarti "they took their seat and still sit".27 Ini berarti bahwa orang-orang Farisi telah menduduki kursi tersebut pada masa lampau dan sampai sekarang masih mendudukinya, terlepas dari apakah mereka mendudukinya dengan cara sah atau tidak.

Jadi dalam hal ini, ungkapan Yesus mengacu kepada pengakuan Yesus secara de facto terhadap otoritas orang-orang Farisi di masa lampau yang telah menduduki dan memiliki hak untuk menafsirkan hukum Taurat. Pendapat ini juga diutarakan oleh Allen yang mengatakan bahwa orang-orang yang 'duduk' di kursi Musa ini mengacu kepada masa lampau berdasarkan pada penggunaan bentuk aorist dari α ίζω, ketimbang pada masa kini. Allen menulis “Formerly, the scribes and Pharisees used to sit in the seat of Moses.28

Kelemahan dari pandangan ini adalah bahwa, bentuk aorist tidak selalu diterjemahkan dalam bentuk masa lampau tetapi ada kondisi [kurang lebih lima kali] di mana bentuk aorist dari kata α ίζω di dalam Perjanjian Baru diterjemahkan dengan bentuk present (Mrk. 16:16; Ibr 1: 3; 8: 1; 10:12; Why 3:21), selain itu dalam tata bahasa Yunani sebuah bentuk verba tidak selalu menentukan tense tetapi lebih kepada aspek.

duduk ketika ia menguraikan tentang kitab suci di rumah ibadat (Lukas 4:20), dan ia duduk ketika ia memanggil kedua Belas Murid untuk mengajar mereka (Mrk. 9:35) R. T. France, NIDNTT,

mengatakan, “Sitting was often a mark of honor or authority in the ancient world; a king sat to receive

his subjects, a court to give judgment, and a teacher to teach.”

27 Nigel Turner, A Grammar of the New Testament Greek, Vol. III Syntax, (Edinburgh: T & T Clark, 1963), 72

28

W. C. Allen, A Critical and Exegetical Commentary on the Gospel According to St. Matthew

(8)

Pandangan kedua mengenai kata 'ἐ ά αν' ini adalah sindiran Yesus bahwa orang Farisi memang telah menduduki kursi Musa dengan cara yang tidak sah. Hal ini dapat terlihat dalam terjemahan NASB 'have seated themselves'. Dengan kata lain, bahwa orang Farisi dan ahli taurat telah mengambil otoritas itu untuk diri mereka sendiri tanpa sebuah legitimasi yang benar dan oleh karena itu, mereka hanya dianggap menduduki kursi Musa.29

Tetapi pandangan ini dianggap merupakan pandangan paling lemah, dikarenakan jika pandangan ini diterima, beberapa persoalan justru menjadi lebih pelik dan sulit. Di antaranya, bagaimana mungkin Yesus tetap memerintahkan murid-murid-Nya untuk mentaati dan melakukan semua ajaran orang Farisi, padahal Yesus sendiri tidak mengakui otoritas dan posisi mereka yang hanya dianggap menduduki kursi Musa tersebut. Bukankah ini suatu ketidakmustahilan?

Dan juga hal ini menjadi sedikit sulit diterima karena posisi orang Farisi dan ahli Taurat pada saat itu yang benar-benar dihormati. Ini terlihat dari pandangan Danby dalam penjelasannya mengenai otoritas orang Farisi sesuai dengan aturan waktu itu dalam Mishnah "Moses received the Law from Sinai and committed it to Joshua, and Joshua to the elders, and the elders to the Prophets; and the Prophets committed it to the men of the Great Synagogue [Pharisiees: penulis]".30

Pandangan ketiga dari bagian ini adalah bahwa memang Yesus mengakui secara penuh otoritas dari orang Farisi dalam menafsirkan dan mengajarkan hukum Taurat. Memang pengakuan ini adalah sebuah pengakuan yang bernada positif, tetapi sekaligus pengakuan Yesus ini telah menjadi sebuah pengakuan yang sebenarnya menjadi dasar dari Yesus untuk menghakimi para ahli Taurat dan orang Farisi yang telah gagal memahami tentang siapa Yesus yang sebenarnya (Mat.22:41-46),31 Hal ini terlihat juga pada ayat selanjutnya [mulai ayat 3] Yesus mulai mencela orang-orang Farisi ini sebagai orang yang telah gagal menjalankan otoritas mereka sebagai penerus ajaran Taurat karena perbuatan mereka yang tidak sejalan dengan perkataan mereka, perkataan Yesus untuk menuruti pengajaran mereka tetapi tidak perbuatan mereka [Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka (Mat.23:3a)] menurut Robert Banks adalah sebuah "rhetorical preparation"32.

Sekalipun pandangan ini menarik, tetapi menjadi tidak terlalu memadai untuk menjawab beberapa keberatan yang ditimbulkan berkaitan dengan pengakuan Yesus bahwa memang orang Farisi telah menduduki kursi Musa, jika Yesus memang mengakui posisi orang Farisi kenapa setelah itu Yesus mulai mengkritik mereka? Dan sekalipun, dapat dianggap bahwa bahasa Yesus ini hanyalah sebuah 'retorika persiapan' untuk mengkritik orang Farisi, tetap juga menimbulkan pertanyaan yang cukup sulit adalah bagaimana Yesus masih tetap memberikan

perintah kepada murid-murid untuk tetap menaati orang Farisi?

Lalu, apa maksud dari kata 'ἐ ά αν Μωϋ έω α έδ α ' ini? Penulis mencoba memberikan sebuah proposal usulan terhadap maksud dari kata 'ἐ ά αν

Μωϋ έω α έδ α ' ini. Dalam perspektif penulis ungkapan Yesus bahwa orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa dimaksudkan kepada beberapa hal yaitu

29

D. A. Carson, Matthew 13–28 (EBC; Grand Rapids: Zondervan, 1995) 473 30

Herbert Danby, The Mishnah (Oxford: Oxford University Press, 1980), 446. 31

David E. Garland, The Intention of Matthew 23 (Leiden: E. J. Brill, 1979) 55 32

(9)

(1) Yesus sedang menyampaikan fakta bahwa memang orang Farisi telah mendapatkan otoritas untuk hal tersebut dari sejak jaman pra-Makabe dan hingga saat di mana Yesus mengatakannya, jabatan dan otoritas tersebut masih mereka miliki33 [sesuai dengan pandangan pertama dari makna kata 'ἐ ά αν, tetapi juga mengadopsi usulan dari pandangan kedua] (2) Kursi Musa memang adalah sebuah kursi yang benar-benar ada pada masa itu di synagoge, sebagai lambang akan otoritas dari mereka yang berhak menafsirkan dan mengajarkan hukum Taurat kepada jemaat yang ada pada saat itu. (3) Yesus tidak hanya memberikan fakta mengenai posisi orang Farisi saat itu, melainkan juga Yesus memberikan pengakuan akan posisi orang Farisi bahwa mereka layak dihormati dalam posisi mereka saat itu sebagai yang menjaga hukum, seperti penghormatan yang diberikan oleh masyarakat luas kepada mereka berkaitan dengan pengajaran yang mereka berikan, karena pada masa itu kitab Taurat tidak dengan mudah dimengerti kecuali dibaca berdasarkan sesuai dengan budaya rabinik yang menonjol, seperti yang dijelaskan “The idea that the Torah text cannot simply be read and understood in a

straightforward way… is particularly prominent within rabbinic culture".34

C. Kesimpulan

Yesus telah memberikan legitimasi terhadap kedudukan dari orang Farisi dalam masyarakat dan dalam komunitas Yudaisme pada saat itu dengan mengakui bahwa memang orang Farisi telah menduduki kursi Musa, dalam hal ini sebagai yang berhak untuk memberikan penafsiran terhadap hukum Taurat pada masa itu.

Jika demikian, apakah dengan memberikan legitimasi terhadap kedudukan atau posisi orang Farisi tersebut, Yesus juga secara tidak langsung memberikan legitimasi terhadap 'halakhah' dari orang Farisi? Karena seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pada bagian sebelumnya Yesus telah memberikan peringatan kepada murid-muridnya secara khusus untuk berhati-hati terhadap ajaran dari orang Farisi. Dan apakah maksud Yesus dengan memberikan perkataan ini kepada orang banyak dan murid-murid untuk menaati semua yang orang Farisi ajarkan? Apakah itu berarti bahwa semua yang diajarkan oleh orang Farisi semuanya adalah benar dan tanpa harus dipikirkan lagi, bukankah Yesus sendiri yang mengatakan bahwa orang Farisi mengorbankan perintah Allah demi tradisi nenek moyang mereka (Mat 15:3-9)?

Keener dalam komentarnya mengenai ayat ini, menjelaskan bahwa “Yesus memang mengakui bahwa ahli Taurat dan orang Farisi memang memiliki pengajaran yang baik, masalahnya bukan pada pengajaran mereka tetapi pada perbuatan mereka (Ay.2-3 bnd Rm 2:21) . Dalam pandangan Keener, para pemimpin Rohani ini memang telah menduduki Kursi Musa, dan mendapatkan hak untuk menafsirkan hukum, namun pada praktiknya hukum itu dibuat dalam bentuk dikotomi yaitu diajarkan begitu keras kepada orang lain, tetapi menjadi sangat lunak buat mereka, sehingga pada akhirnya Yesus menghujat mereka dengan kata-kata yang keras."35

33 “The Pharisaic Paradosis,”

HTR 80:1, p. 71. bnd Craig S. Keener, IVP New Testament Commentary Series: Matthew, 541

34

Commentary on Neh 8:8 in The Jewish Study Bible (JPS: Oxford Univ. Press, 2004). 35

Craig S. Keener, IVP New Testament Commentary Series: Matthew (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1997), pp 332-333 Pandangan Keener ini sama dengan Pandangan Leon Moris yang

(10)

Memang ada juga pandangan dari beberapa ahli yang menganggap bahwa perintah Yesus ini tidak diberikan dalam bentuk perintah yang tulus, melainkan hanya sebagai sebuah perintah Yesus untuk mengurangi adanya ketegangan dan konflik di antara masyarakat pada saat itu, atau dengan kata lain, perkataan Yesus untuk menaati orang Farisi lebih bernuansa politis ketimbang doktrinal.36

Dalam asersi penulis, penulis juga sepakat dengan para penafsir di atas, karena dalam pandangan penulis, jika bahasa ini hanyalah sebuah bahasa sindiran kepada orang Farisi, dan Yesus tidak benar-benar memerintahkan murid-murid dan orang banyak untuk menaati apa yang diajarkan oleh orang Farisi, maka pernyataan Yesus ini menjadi sebuah kalimat yang akan sangat membingungkan bagi para pendengarnya pada waktu itu.

Selain itu, jika kalimat Yesus ini bukanlah sebuah pandangan yang positif maka akan menimbulkan dilema yang cukup sulit dengan pernyataan Yesus sebelumnya yang menyatakan dan mengakui otoritas dari orang Farisi dan ahli Taurat yang telah menduduki kursi Musa dan sebagai yang berhak untuk menafsirkan hukum Taurat Musa pada saat itu.

Lalu apa maksud Yesus dengan mengatakan bahwa semua (πάν α) yang mereka ajarkan harus dituruti? Apakah kata semua itu termasuk di dalamnya adalah penafsiran orang Farisi dan ahli Taurat yang juga telah menjadi tradisi bagi orang Yahudi pada waktu itu yang disebut dengan halakha?

Harus diakui bahwa untuk kalimat 'semua yang mereka ajarkan' mempunyai banyak sekali penafsiran tentang apa sebenarnya yang Yesus maksudkan. Mark Allan Powell memberikan sepuluh kemungkinan penafsiran tentang hal ini.37 Ini menunjukkan bahwa teks ini bukanlah sebuah teks yang mudah untuk dipahami, kerumitan dari teks ini sendiri akhirnya membuat Carson memberikan sebuah kesimpulan sederhana teks ini dengan pernyataan bahwa ini adalah “an instance of biting irony bordering on sarcasm."38

Powell dalam penjelasannya memberikan beberapa argumentasi yang dapat disimpulkan secara sederhana bahwa terdapat dua hal yang sangat berbeda dalam ucapan Yesus ini, yang pertama adalah apa yang mereka 'katakan', yang dimaksud di sini adalah rujukan langsung kepada Musa dan bukan pada penafsiran orang Farisi terhadap hukum tersebut.39 Dan yang kedua adalah apa yang mereka 'lakukan' yang menunjuk kepada penafsiran orang Farisi terhadap hukum Musa, yang disampaikan dalam pengajaran verbal dan juga praktik kehidupan sehari-hari.40 Berkaitan dengan kedua bagian ini, Powell menyimpulkan

commends it. Of course, when they went beyond the law of Moses they could and did go wrong, and Jesus criticises them for it....Jesus warns his hearers that they should not live in the way the Pharisees lived, though they should take careful note of what the Pharisees taught. When the Pharisees brought out the significance of the teaching of Moses, they were doing something of great importance for the people of God. What they were teaching was both meaningful and creditable: they should be heard. But when they acted hypocritically, that was another matter: they should not be imitated or followed. lih. Leon Morris, Pillar New Testament Commentary: The Gospel According to Matthew (Grand Rapids: Eerdmans, 1992), 573.

36

John Lightfoot, A Commentary on the New Testament from the Talmud and Hebraica, Matthew– I Corinthians, vol. 2: Matthew and Mark (Grand Rapids: Baker, 1979 [reprint from 1859 edition]) 289–90. Lightfoot menulis " “Christ here asserts the authority of the magistrate.”

37“Do and Keep What Moses Says (Matt

hew 23:2-ι”, JBL (1995): 419-435. 38

D. A. Carson, The Expositor’s Bible Commentary, Vol. 8, Matthew (Grand Rapids:Zondervan),473

39

Powell, 432 40

(11)

Jesus does not denounce them for acting in ways that contravene their own correct understanding of Torah, but for acting in ways that reveal a perverted understanding of the Torah . . . What the scribes and Pharisees do (πο έω) is interpret Moses in ways that are burdensome for others (23:4) and in ways that bring glory to themselves (23:5-7).41

Dengan kata lain, Powell ingin menyatakan dengan tegas bahwa yang dimaksud oleh Yesus dengan kata 'semua yang diajarkan' hanyalah tentang Taurat yang berasal dari Musa dan bukan penafsiran terhadapnya yang telah menjadi halakha dan juga tradisi oral pada masa itu. Pandangan Powell ini diikuti juga oleh Stein yang memberikan asersi bahwa apa yang Yesus perintahkan kepada murid-murid-Nya itu merujuk kepada pengajaran dalam Perjanjian Lama dan bukan pada penafsiran dan tradisi dari ahli Taurat dan orang Farisi tersebut.42

41

ibid, 432 42

Robert H. Stein, Difficult Sayings in the Gospels: Jesus’ Use of Overstatement and Hyperbole (Grand Rapids: Baker, 1985) 39-40 ; Selain Stein, Robert Banks juga memberikan asersi yang begitu kuat bahwa apa yang Yesus maksudkan di sini bukan merujuk kepada penafsiran dan Halakha dari orang Farisi. Lihat Robert Banks, Jesus and the Law in the Synoptic Tradition

(Cambridge: Cambridge University Press, 1975) 238 ; Hagner juga memberikan argumentasi yang

sama “the Pharisees expound the Mosaic Torah, one is to follow their teaching.” However, passages

such as Matt 12:1–2; 10–4; 15:1–20 and 16:11–12 lead him to conclude that Matthew has “distanced

Referensi

Dokumen terkait