1
Kritik atas Pandangan Syi’ah dalam NIKAH MUT’AH
Oleh: Agus Yasin
a. Pendahuluan
Dalam Islam, pernikahan merupakah bagian dari agama dan memiliki nilai yang sakral.1 Karena itu pelaksanaannya harus sesuai dengan hukum fiqih yang telah disepakati para ulama. Mengabaikan ketentuan hukum ini akan menghilangkan nilai kesakralan itu. Konsekuensinya, akan banyak permasalahan yang ditimbulkan. Sebab, garis nasab/garis keturunan seseorang hanya bisa didapat dari hasil sebuah perkawinan yang sah, begitu juga pembagian harta warisan2. Seorang anak yang terlahir dari orang tua diluar perkawinan yang sah, secara biologis memiliki orang tua, namun secara hukum tidak bisa dikatakan sebagai orang tua yang sah pula.
Berbeda dengan sebuah pernikahan dalam ajaran syi’ah. Salah satu pembahasan fiqihnya, adalah nikah mut’ah (kawin kontrak). Meskipun kasusnya baru di beberapa tempat dan cenderung eksklusive, hal ini dikarenakan masih banyak pendapat tentang hukum pernikahan tersebut. Selain itu, dampak negatif yang ditimbulkan juga membuat orang tidak semuanya setuju secara nurani. Namun, Syi’ah berkeyakinan, bahwa mut’ah masih dibolehkan berdasarkan Al-Kitab, Hadits an-Nabawi, ijma>’ dan qiya>s.3 Mereka juga beranggapan, bahwa mut’ah adalah sebuah solusi untuk menghindarkan seseorang dari perzinahan.4Bahkan, beberapa imam dan ulama’ mereka ada yang berfatwa bahwa nikah mut’ah dapat mengampuni dosa5, ada juga yang
menyebutnya belum sempurana seorang mukmin kalau belum nikah mut’ah.6
Islam memang pernah membolehkan nikah mut’ah pada awal islam,7 lalu yang menimbulkan perselisihan apakah dibolehkannya itu masih berlaku sampai sekarang atau sudah ada nas} yang me-naskh hukum tersebut?. Dan jika Syi’ah masih
membolehkannya, sejauh mana kefalidan dalil-dalil yang mereka gunakan?, hal inilah yang akan penulis bahas dalam makalah ini.
b. Pengertian Nikah Mut’ah
Secara etimologi, kata mut’ah (
ةعتم
) dalam bahasa Arab berasal dari kata mata>’(
عاتم
) yang bermakna kesenangan atau sesuatu yang memberi manfa’at seperti1 As-Sakhowi, Al-Maqa>s}id al-H>}asanah fi> ma> Ishtahara ‘ala> al-Sinah, (Da>r al-Kita>b al-‘Arabi,
Beirut, Cet. IV, 2002), hlm. 355,no. 1046.
2 Ahmad Sarwat, (Fiqh al-H>}aya>ti, DU. Publishing, 2011), hlm. 186.
3 Muhammad Abdurrahman Syami>lah al-Abdal, Nika>h} al-Mut’ah Dira>sah wa at-Tah}qi>q,
(Muassah al-Kha>fiqi>n wa Maktabatuha>, Damshiq, Cet. I, 1983), hlm. 293.
4 Hal ini dapat dilihat dari dalil yang mereka gunakan, yaitu perkataan Ali ra:‚Kalau saja Umar tidak melarang mut’ah, tidak ada orang berbuat zina kecuali sedikit‛ . Lihat: Tahdhi>bu al-Ah}ka>m, jz.VII, hlm. 250.
5 Al-Mirza> An-Nauri, Mustadrak al-Wasa>’il, (TP, TTP, Cet. II, 1988), Jz. XIV, hlm. 452, no.
17257.
6 As}-S}aduq Abu Ja’far, Man la> Yahd}uru al-Faqi>h, (www.Ghaemiyeh.com, Markazu
al-Qa>imiyyah bi As}fuha>n lit-Tahriyya>t al-Combiuteriyah), Jz. III, hlm. 346, no. 4613.
2
makanan, perlengkapan rumah tangga, uang dan lain-lainnya.8 Sedangkan secara terminologi, kata mut’ah setidaknya punya beberapa makna dan pengertian yang
berbeda, sesuai dengan namanya. Ada nikah mut’ah, mut’ah haji dan mut’ah cerai.9 Ketiganya meski sama-sama menggunakan istilah mut’ah tetapi memiliki pengertian yang berbeda-beda.
Nikah mut’ah adalah sebuah pernikahan yang terikat dengan waktu atau pernikahan munqat}i’ (terputus), dimana seorang laki-laki dan perempuan mengadakan akad nikah dengan ketentuan waktu sehari, seminggu atau sebulan. Pernikahan seperti ini akan habis masanya bersama dengan habisnya waktu kontrakan.10 Sedangkan
menurut Muhammad Jawad, sesungguhnya tidak ada bedanya antara nikah mut’ah
dengan nikah permanen, dimana ia tidak sah tanpa adanya akad yang sah yang
menunjukkan maksud nikah mut’ah secara jelas.11
Dalam pengertian yang lainnya, Muhammad Bagir menyebutkan, dinamakan nikah seperti itu (yang berarti sesuatu yang dinikmati atau dimanfaatkan) karena yang melakukannya memperoleh kemanfaatan dengannya serta menikmatinya sampai batas waktu yang ditentukan.12 Singkatnya, nikah mut’ah adalah nikah yang terbatas
waktunya. Sedangkan dalam ibadah haji juga dikenal istilah mut’ah, yaitu haji tamattu’. Haji tamattu’ adalah salah satu metode mengerjakan haji, dimana orang yang telah tiba di tanah haram tidak langsung mengerjakan ibadah haji dengan terus berihram, tetapi berhenti dari berihram sambil menunggu masuknya hari arafah.13 Haji dengan metode tamattu’ ini disyari’atkan dalam firman Allah SWT. seperti yang tersebut dalam QS: Al-Baqarah, ayat 196: ‚...Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan
'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat...‛ Yang terakhir, istilah mut’ah juga digunakan sebagai harta yang diberikan oleh suami kepada istri ketika terjadi peceraian, yang sifatnya bukan kewajiban melainkan hanya sebagai anjuran.14 Dasarnya adalah firman Allah SWT:
‚Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf....‛15
c. Syarat dan Ketentuan dalam Mut’ah
Dalam nikah mut’ah ada rukun yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin melakukan pernikahan tersebut. Seperti halnya dalam nikah permanen, rukun-rukun itu jika tidak terpenuhi maka menyebabkan tidak sahnya pernikahan. Rukun-rukun itu adalah sebagai berikut:
8Al-Mu’jam al-Wasi>t}, (Maktabah al-Shuru>q ad-Dauliyya, Cet.IV, 2004). 9 Ahmad Sarwat, Fiqh al-Haya>ti, (DU. Publishing, Cet. I, 2011), hlm. 176.
10Ya’qub Badr ‘Abdul Wahab al-Qothomi, Al-Ka>fi fi> Naqd}i al-Mut’ah– Zuwa>jul Mut’ah am
Ruwa>ju al-Mut’ah, (TP, Madi>nah al-Munawwarah, TC,1427), hlm. 2.
11 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, (Lentera, Jakarta, Cet.VIII, 2002),
hlm. 394.
12 Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II, Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pedapat para Ulama,
(Karisma, Bandung, Cet.I, 2008), hlm. 42.
13 Ahmad Sarwat, Fiqhul..., hlm. 176 14Ibid., hlm. 177
3
Pertama, akad. Karena ada dan tidaknya suatu ikatan itu tergantung pada akad. Bentuk akad dalam nikah mut’ah adalah sebagai berikut16:
"....اذك اذكب ...اذك اذك ةعتم كجوزت أ"
‚Saya nikahi kamu secara mut’ah dengan mahar sekian dan waktu sekian....‛ Sebagian ulama syi’ah berpendapat bahwa lafadz yang dipakai dalam akad harus menggunakan bentuk ma>d}i>, yaitu zawwajtuka atau ankahtuka, karena bentuk seperti ini lebih mengandung makna yang pasti dari pada bentuk mud}a>ri’nya.17Kedua, harus ada kesepakatan tentang batasan waktu. Jika tidak disebutkan batasan waktunya, maka setatus nikahnya menjadi permanen. Dan adanya batasan waktu itulah yang paling membedakan diantara dua nikah tersebut. Karena itu dalam Al-Ka>fi, Abu ‘Abdullah berpendapat bahwa tidak ada nikah mut’ah jika tidak ada
batasan waktu.18 Sementara Imam ar-Ridho pernah ditanya oleh muridnya: ‚Apakah mungkin melaksanakan nikah mut’ah untuk waktu satu atau dua jam saja?, beliau
menjawab: ‚tidak ada batas waktu yang dapat dimengerti dari satu atau dua jam saja. Bahkan Syi’ah mengutip perkataan Abu Hasan bahwa boleh mut’ah untuk sekali
hubungan saja.‛19
Ketiga, mahar. Sebagaimana dalam nikah permanen, dalam nikah mut’ah, pihak
laki-laki wajib memberi mahar kepada pihak perempuan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Abdullah bahwa nikah mut’ah itu tidak sah kecuali dengan batasan waktu dan mahar.20 Adapun bentuk dari mahar itu tidak mengikat. Bisa harta benda, uang, perhiasan, perabotan rumah tangga, binatang, ataupun berbentuk jasa dan tidak ada batas minimal dan maksimal pemberiannya, segala sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat dijadikan mahar.21 Hal ini dipertegas lagi oleh pernyataan Abu
Abdullah ketika ditanya tentang jumlah mahar dalam nikah mut’ah itu, beliau
menjawab: ‚Berapa yang kamu saling meridhai terhadapnya‛22
Keempat, adanya calon suami istri. Tidak mungkin rukun yang tiga di atas tadi terlaksana jika tidak ada kedua ini. Dalam hal ini, calon suami istri adalah orang yang
tidak terhalang oleh ketentuan syara’ untuk melangsungkan akad pernikahan, baik itu
karena nasab maupun sesusuan, ataupun tidak sedang menjadi istri orang lain dan tidak dalam waktu ‘iddah.23
Selain keempat rukun diatas, masih ada beberapa ketentuan lain berkaitan dengan nikah mut’ah dalam madzhab kaum Syi’ah Imamiyah (yang biasa disebut juga madzhab Ja’fary). Bahwa dalam nikah mut’ah tidak ada kewajiban memberi nafkah, karena sudah cukup dengan pembayaran mahar yang disetujui bersama pada saat dilangsungkannya akad nikah. Dalam hal ini, pihak perempuan punya hak tawar di awal. Dia berhak menentukan besar kecilnya mahar, yang sekiranya pihak laki-laki
16 Muhammad Ya’kub Al-Kulaini, Furu’ al-Ka>fi>, (Da>ru al-Ta’a>ruf lil Mat}bu>’a>t, Beirut, TC,
1993), Jz. III, hlm. 461.
17 Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih …., hlm. 311. 18 Al-Kulaini, Furu>’...., Jz. III, hlm. 462.
19Ibid., hlm. 466. 20Ibid., hlm. 461.
21 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih ..., hlm. 364-365 22 Al-Kulaini, Furu>’..., Jz. III, hlm. 457.
23 Teuku Edy Faisal Rusydi, Pengesahan Kawin Kontrak Pandangan Sunni & Syi’ah, (Pilar
4
nanti tidak memberi nafkah, hal itu tidak menjadi persoalan.24 Seperti halnya nikah permanen, dalam nikah mut’ah juga dikenal ‘iddah apabila perempuan (yang dimut’ah)
itu ditinggal mati atau dicerai suaminya. Dan masa Iddah itu selama 45 hari atau dua kali masa haid, bagi yang dicerai, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang ditinggal mati suaminya baik telah dicampuri ataupun belum.25
Mengenai jumlah wanita yang dimut’ah, tidak ada batasan tertentu. Dan dia tidak termasuk wanita yang empat-jumlah wanita yang boleh dinikahi dalam nikah permanen-dan hal itu karena mereka dibayar, jadi terserah kepada laki-laki berapa yang ia inginkan darinya.26 Yang lebih membedakan lagi dengan nikah permanen adalah, bahwa dalam nikah mut’ah tidak diperlukan adanya saksi, sama seperti pendapat
madzhab Syi’ah Imamiyah (atau madzhab Ja’fary) tentang tidak wajibnya persaksian dalam nikah biasa. Bahkan, jika seorang wanitanya sudah baligh, dia berhak menentukan nasibnya sendiri tanpa ada intervensi dari orang tuanya dalam memilih
calon suami. Jika demikian nikah mut’ah bisa dilaksanan antara dua orang saja (calon suami istri).27
Ketentuan yang lain, tidak boleh memperpanjang dari waktu yang ditentukan, apabila seorang yang mut’ah ingin menambah masa kontrakannya, ia harus menunggu kesepakatan yang pertama habis baru membuat kesepakatan yang baru lagi.28 Sedangkan dalam masalah warisan, tidak ada hak waris dan mewarisi. Walaupun beberapa riwayatnya (pendapat Syi’ah) ada yang bertentangan, namun riwayat yang sah menurut kebanyakan mereka adalah yang mengatakan tidak ada waris dalam nikah
mut’ah, kecuali jika dalam akadnya tidak ada ikatan waktu, artinya nikah itu adalah
nikah dawa>m. Sehingga tidak masuk kategori nikah mut’ah, jika demikian maka ada
hak waris bagi yang ditinggal mati.29
d. Keutamaan dan Pahala Nikah Mut’ahmenurut Syi’ah
Sebagai ligalisasi hukum mut’ah, para ulama’ Syi’ah banyak megeluarkan
fatwa, baik dalam kitab-kitab maupun melalui dunia maya (internet), seperti di blog, situs-situs, bahkan jaringan sosial. Dan perlu diketahui, bahwa seorang Ulama apalagi yang dianggap sebagai Imam mereka, apabila mengeluarkan fatwa, pasti akan diikuti
oleh jama’ahnya. Karena dalam pandangan mereka menta’ati imam itu adalah
kewajiban pertama30 dan ucapan mereka adalah ucapan tuhan31, selain itu para imam memiliki sifat ma’s}u>m32. Sehingga apa yang diucapkan itu pasti kebenarannya.
24 Lihat, Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih ..., hlm. 394.
25 Lihat Furu>’ al-Ka>fi>, jz. III, hlm. 464 . lihat juga Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima
Madzhab, hlm.394.
26Abu Ja’far bin Hasan at-Thusi, al-Istibs}a>r fi> ma> Ikhtalafa min al-Akhba>r, (TP, TK, Cet.II,
1992), jz. III, hlm. 209.
27 Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih ..., hlm. 346, lihat juga al-Istibs}a>r, hlm. 211. 28 Lihat Furu>’ al-Ka>fi>...., jz. III, hlm. 465.
29 Hasan at-Thusi, al-Istibshar ..., jz. III, hlm. 213-214.
30Fajrul Islam, 276-278, dalam Agus Hasan Bashari, Gen Shi>’ah, (Da>rul Fala>h}-Jaktim, Cet. I,
2001), hlm. 87.
31 Al-Mazinda>ni, Syarh} Ja>mi’ ‘ala Al-Ka>fi>, dalam Agus Hasan Bashari, Gen..., hlm. 90. 32 Muhammad Baqir Al-Majlisi, Bih}a>r al-Anwa>r, (Da>ru Ihya>’i al-Turath al-‘Araby, Beirut, Cet.
5
Di antara fatwa-fatwa itu adalah, dibolehkan melakukan mut’ah dengan seorang
PSK. Sebagaimana fatwa yang dikeluarkan oleh Ayatullah Al-‘Uz}ma> Sayyid Muhammad Shadiq Al-Husaini Ar-Ruhani, beliu ditanya oleh salah seorang: ‚Suatu
saat saya pergi ke klub malam, seorang wanita pelacur (PSK) memintaku untuk
membayarnya sebesar 100 $ (dolar), ia berkata padaku, ‚Saya berikan tubuhku ini
semuanya untuk kamu pakai bersenang-senang sebagai ganti dari uang ini, tapi dalam
jangka sehari saja‛, apakah ini sudah termasuk nikah mut’ah? Beliau (Muhammad Shadiq) menjawab: ‛Bismihi> Jallat Asma>’uhu… jika ia mengatakan dengan maksud
untuk menikah dan anda menjawabnya setelah itu dengan: ‚saya terima untuk diriku sendiri‛, maka ini sudah termasuk nikah mut’ah.33 Jika demikian, lantas apa bedanya dengan orang yang pergi ke tempat lokalisasi, lalu mengadakan transaksi berupa
kesepakatan uang dan waktu? Apalagi dibolehkan juga transaksi mut’ah melalui
telepon. Pendapat ini diutarakan oleh Syekh mereka, Ali As-Sistani. Yang penting syarat-syaratnya dipenuhi, seperti s}i>ghah, mahr, dan muddah.34
Bagi orang yang melakukan mut’ah akan mendapat pahala dan ampunan dari Allah swt. Hal ini Syi’ah mengutip perkataan Imam Al-Baqir, jika seseorang
melakukan mut’ah karena Allah ‘Azza wa jalla dan menyelisihi si fulan, maka tidaklah ia mengucap satu ucapan kecuai Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan untuknya. Jika ia menyetubuhinya, Allah akan mengampuni dosanya. Jika ia mandi, Allah memberi ampunan untuknya sejumlah air yang membasahi kepalaya, yaitu sebanyak rambutnya.35 Masih dari Imam Al-Baqir, ketika Rasulullah saw. di-isra’kan ke langit,
beliu ditemui Jibril, lalu berkata: ‚Wahai Muhammad, sesungguhnya aku telah
mengampuni orang-orang yang melakukan nikah mut’ah dari kalangan wanita.‛36 Yang jadi pertanyaan lagi, dalam nikah mutlak yang jelas-jelas dibolehkan, tidak ada
jaminan pahala sebesar itu, mengapa mut’ah yang masih belum jelas hukumnya,
pahalanya begitu besar?.
Selain itu, mut’ah itu dianggap sebagai pengganti dari diharamkannya khamr. Hal ini dapat dilihat dari fatwa yang disematkan kepada Imam As-Shadiq, bahwa Allah
‘azza wa jalla> mengharamkan setiap minuman yang memabukkan atas Syi’ah
(kelompok) kami, dan menggantinya dengan mut’ah.‛37 Dimana letak hubungan antara minuman khamr dan nikah mut’ah. Bukankah fatwa ini mengada-ada?.
Tidak seperti dalam ajaran sunni, boleh melakukan mut’ah kepada wanita
Yahudi, Nasrani dan Majusi. Sebagaimana Syekh Muhammad At-Thusi menyebutkan riwayat yang bersumber dari Imam al-Ridha, bahwa beliu membolehkan menikahi
luat biasa dan tidak terbatas kepada para imam, Syia’h Imamiyyah berpendapat seorang imam tidak
bertanggung jawab kepada siapapun dan tidak ada cela untuk menyalahkan sikap dan kebijakannnya. Semua kebijakan yang diambil dan tindakan apapun yang dilakukan harus diyakini kebenarannya, baik ataupun buruk, benar ataupun salah. Sebab, seorang imam mempunyai ilmu luar biasa yang tidak dimiliki seorang pun. Lihat Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi, Khawarij dan Syi’ah dalam Timbangan
Ahlu Sunnah wal Jama’ah,(Pustaka Al-Kautsar), hlm. 182.
33 http://ar.rohani.ir/istefta-797.htm, Jum’at, 29 Muharram 1434 H.
34 Al-Khu>’i, Maniyyatu as-Sa>il, (TP, TTP, TC, 1991), hlm. 101, lihat juga situs:
http://www.alseraj.net/maktaba/kotob/feqh/serat1/html/bo/sirat/1/index.htm
35 Al-Mirza An-Nauri, Mustadrak al-Wasa>’il, (TP, TK, Cet. II, 1998), jz. XIV, Bab: Kitab
Nikah, hlm. 452, no. 17257.
6
wanita Yahudi, Nashrani, bahkan Majusi secara mut’ah.38 Padahal dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 221, disebutkan, bahwa diharamkan bagi kaum Muslimin, menikahi wanita-wanita maupun budak perempuna yang musyrikah. Ataupun sebaliknya. Kecuali mereka telah beriman kepada Allah dan rasulnya. Dalam kitab ‚Man la> Yah}d}uruhu al-Faqi>h disebutka bahwa seorang mukmin tidak dianggap sempurna
sebelum mut’ah.39
Boleh melakukan mut’ah dengan sekali melakukan hubungan badan. Mengenai batas waktunya, sebagaimana disebutkan dalam kitan Furu>’ al-Ka>fi> bahwa Abu Abdillah, ditanya tentang orang nikah mut'ah dengan jangka waktu sekali hubungan suami istri. Jawabnya: "Tidak mengapa, tetapi jika selesai berhubungan hendaknya memalingkan wajahnya dan tidak melihat pasangannya".40
Boleh melakukan mut’ah dengan perempuan yang telah bersuami. Menurut
Ayatullah Ali As-Sistani, sebaiknya sebelum melakukan mut’ah, disarankan untuk
bertanya-tanya dulu tentang status wanita yang diinginkannya, pertama apakah dia wanita yang baik, kemudian tentang status bersuami atau belum. Seandainya dia ternyata berbohong, karena mengaku perawan ternyata sudah bersuami, hal itu tidak
membatalkan pelaksanaan mut’ah. Karena mengetahui status wanita bukanlah syarat
sahnya nikah mut’ah.41 Hal serupa juga dikatakan Abu Abdullah ketika ditanya, bagaimana jika ternyata wanita itu berbohong tentang statusnya, bahwa dia bukan
perawan lagi bahkan ada yang bilang dia pelacur? maka jawaban beliu: ‚ini bukan urusanmu, percayalah pada pengakuannya.42
Dari pemaparan fatwa-fatwa para imam Syi’ah diatas tadi, penulis bisa mengambil kesimpulan, bahwa betapa mudahnya pelaksanaan nikah mut’ah itu.
Bahkan, kalau kita mau, tiap hari bisa melakukannya untuk sekali hubungan dengan mahar yang paling rendah, berarti bisa berupa sebungkus mie instan, atau sebotol minuman kaleng, dan barangkali dengan membelikan pulsa handphone mungkin saja
terjadi, karena yang terpenting dalam mut’ah ini adalah mahar meskipun sedikit dan waktu yang tidak ada batasan minimal. Selain itu, jaminan pahala yang besar, dan
kemuliaan yang didapat dari mut’ah begitu menggiurkan, hal ini lebih mendorong bagi
para budah nafsu birahi untuk selalu menuruti kemaunan syahwatnya.
e. Dalil-dalil Nikah Mut’ah menurut Syi’ah dan Kritik Terhadadpnya.
Syi’ah memakai beberapa dalil sebagai landasan pendapat mereka terhadap
nikah muta’h, baik dari Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Berikut dalil-dalil yang mereka gunakan:
a. Dalil dari Al-Qur’an surat An-Nisa>’ : 24.
38 Muhammad At-T}u>si, Tahdhi>bu al- Ah}ka>m, (TP, TK, Cet. IV, 1364), jz.VI, hlm. 256, no.
1106.
39 As}-S}aduq Abu Ja’far, Man la> Yahd}uruhu al-Faqi>h, (www.alhassanain.com), jz.III, hlm. 466,
no. 4613.
40 Al-Kulaini, Furu>’..., jz. III, hlm. 468.
41 Ali Al-Sista>ni, Minhaj as-S}a>lihi>n, (TP, TK, TC, TT), jz. III, hlm. 82, dikutip dari
www.shia.com, masalah 260.
7
Yang menjadi dasar utama bagi Syi’ah dalam menentukan hukum mut’ah itu
halal adalah firman Allah swt:
‚Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban‛.43
Dalam ayat tersebut, mereka memegang kuat qia>’a>t beberapa sahabat seperti
Abdullah bin Masu’d, Ibnu Abbas, Ubay Ibnu Ka’a>b, Sai>’d ibn Jubair dan As-Saddi yang memberi tambahan artinya: ‚sampai batas waktu tertentu.44
Penafsiran Syi’ah tentang tambahan kalimat ini, bahwa istimta>’ (mengambil kenikmatan) dalam waktu tertentu (ajal musamma>) itu yang disebut mut’ah.
Singkatnya, ayat ini telah menunjukkan dihalalkannya mut’ah. Menurut kalangan
Syi’ah.
Dalam pendapat mereka yang lain, ayat ini tidak dalam rangka menetapkan hukum yang baru, tetapi menerangkan apa yang dipraktekkan kaum muslimin dari kalangan sahabat-sahabat Nabi Saw. dan membimbing mereka akan apa yang harus dilakukan dalam praktek yang sedang mereka kerjakan. Karena itu, Allah swt. menggunakan kata kerja bentuk lampau untuk menunjuk apa yang telah mereka kerjakan:
معتم سا
, dan ini bukti kuat bahwa sahabat telah mempraktikkan nikahmut’ah.45
Mengenai qira>’ah Ibnu Mas’ud dan yang lainnya, Imam Nawawi menyebutnya sebagai qira>’a>t sya>dhah46. Artinya, bacaan itu cacat karena berbeda dengan yang telah disepakati Jumhur Ulama’. Selain itu, tidak ada yang meriwayatkannya dari nabi kecuali sangat jarang dan itupun hanya sebatas pemahaman atau pendapat pribadi sahabat yang dalam ucapannya menggunakan lafadznya sendiri.47 Padahal sangat maklum, bahwa secara ushul, pendapat sahabat itu tidak bisa dijadikan h}ujjah.48 Imam At-T}abari juga berpendapat, bahwa ayat tersebut bertentangan dengan yang tertulis dalam mushaf yang selama ini digunakan oleh kaum muslimin. Sehingga tidak boleh bagi siapapun memberi tambahan ataupun pengurangan selama tidak ada riwayat yang qat}’i dan mutawa>tir.49 Al-Maziri juga menambahkan dalam Al-Mu’allim menyebutkan bahwa qira>’a>t Ibnu Mas’ud itu adalah cacat, sehingga tidak boleh dijadikan hujjah.50
Selain itu, kata terdiri dari jar dan majru>r yang berkaitan dengan istimta>’, bukan terkait pada akad mut’ah itu sendiri. Padahal, sangat jelas bahwa
adanya ketentuan waktu dalam mut’ah itu berkaitan dengan akad itu bukan pada
istimta>’. 51 Jelaslah, bahwa tambahan kalimat dalam ayat tersebut terdapat kerancuan,
43 QS: An-Nisa>’: 24.
44 Lihat Ibnu Katsir, Tafsi>ru al- Qur’a>n al-‘Az}im, (Da>rul Kutub al-‘Ilmiah, Bairut, Cet. I, 1998),
jz. 2, hlm. 226.
45 (1) Furu>’ al-Ka>fi>, jz. 3, hlm. 455, (2) Al-Istibs}a>r, jz. 3, hlm. 201, (3) Man la> Yahd}uruhu
al-Faqi>h, jz.3 hlm. 460, (4) lihat juga http://syiahali.wordpress.com/2012/04/05/nikah-mutah-jelas-dilakukan-di-zaman-Rasulullah-saww-zaman-abu-bakar-dan-sebagian-di-zaman-umar/
46 Lihat Maktabah Sha>milah, Sharh} Muslim li An-Nawa>wi, (179/9) Bab Nikah Mut’ah. 47 Ahmad Haris Suhaimi, Tauthi>qu ..., hlm. 498.
48Ibid., hlm. 498.
49 Maktabah Sya>milah, Tafsi>r At-T}abari, 8/179 (Muwa>fiq lil Mat}bu>’).
50 Dikutip dari Al-Mu’allim bi Fawa>idi al-Muslim, (2/130), dalam Yusuf Jabir Al-Muhammadi,
Tahri>mu al-Mut’ah fi Al-Kita>b wa As-Sunnah, (TP, TK, Cet. I, 1997), hlm. 114.
8
karena ada kontradiksi antara makna ayat secara lahiriah dengan pengertian mut’ah itu
sendiri.
Jika memang ayat itu konteksnya adalah mut’ah, mengapa ketika Umar ra. di atas mimbar dan menyampaikan bahwa nikah mut’ah telah diharamkan sampai hari Kiamat, tidak ada satu sahabatpun yang menyanggahnya. Mestinya, dari golongan
Syi’ah memprotes ketika itu juga, begitu juga Ali ra.-yang mereka anggap imam mereka-52pasti tidak akan tinggal diam jika ada yang salah dalam menerapkan syari’at.
Turunnya surat An-Nisa>’ ayat 24 jika ditelusuri, merupakah bagian dari ayat-ayat lainnya, yang menerangkan tentang wanita-wanita yang halal maupun haram untuk dinikahi.53 Meskipun, menurut Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya,54 ayat ini memiliki makna yang umum, sehingga bisa dimanfaatkan untuk dijadikan hujjah dalam
nikah mut’ah. Terlepas dari masalah umum dan tidak nya ayat itu, kita dapat melihat
pandangan Syi’ah, bahwa perempuan yang dimut’ah itu tidak dianggap sebagai salah
satu dari istri yang empat dalam nikah permanen. Hal itu dikarenakan tidak ada talak dan tidak saling mewarisi, dia hanyalah wanita sewaan (musta’jarah).55 Jadi, sangat tidak sinkron kalau ayat ini dikatakan sebagai ayat mut’ah. Tidak ada korelasi dengan
wanita yang halal dan yang haram untuk dinikahi.
b. Syi’ah ber-h}ujjah dengan perkataan Sayyidina Ali ra.
Menurut Syi’ah, Ali menolak pengharaman mut’ah. Buktinya, dalam sebuah
riwayat beliau pernah ditanya oleh seseorang tentang hukum mut’ah, jawabnya:
‚Sesungguhnya Ali berkata bahwa kalau sajaUmar tidak melarang mut’ah, maka tidak akan ada orang berbuat zina..‛56. Sangat jelas, perkataan Ali ini seakan-akan tidak
setuju dengan dilarangnya mut’ah oleh Umar. Karena, dengan mut’ah itu orang-orang terhindar dari perbutan zina.
Apakah Ali benar-benar mengatakan demikian?, mari kita lihat sanad dari hadits tersebut. Yang meriwayatkan hadits tersebut adalah Hakam bin ‘Utbah.
Menurut Imam Ibn Hibban, dia telah berbohong dan tidak jelas apakah hadits itu berasal dari Ali, karena sanadnya terputus. Sedangkan dia sendiri tidak mungkin bertemu dengan Ali karena hidup dalam waktu yang berbeda. Dia lahir pada 47 atau 50 H, sedangkan Ali ra. wafat pada 40 H. Jelaslah, bahwa riwayat ini tidak bisa dijadikan h}ujjah.57 Selain itu, tidak satu pendapatpun dari ahli bait yang meriwayatkan tentang
dibolehkannya mut’ah selain di atas tadi yang notabenenya d}a’if, bahkan-ahlul bait-
mereka secara ijma’ telah mengharamkan. Seperti disebutkan dalam S}ahi>h Bukhari, bahwa Ali ra. pernah mengingatkan Ibnu Abbas ra. yang bersikap ‚lunak‛ dalam masalah mut’ah, dengan mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah melarangnya.58
52Ibid., hlm. 499.
53 Lihat Muhammad Ma>lulla>h, dalam As-Syi’ah wal Mut’ah, (Da>ru As-S}ahwah al-Islamiyh,
Cet. II), hlm.106.
54 Lihat Ibnu Katsir, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-A>z}im, (Da>rul Kutub Al-Ilmiyah-Bairut, Cet. I, 1998),
jz. II, hlm. 226.
55 Abu> Ja’far Muhammad bin Hasan at-T}u>si, Al-Istibs}ar fi > ma> Ikhtalafa minal Akhba>r, (Da>rul
Ad}wa>’, Cet. II , 1992), jz. III, hlm. 209.
56 Yusuf Jabi>r Al-Muhammadi, Tah}ri>mu al-Mut’ah fi> Al-Kita>b wa as-Sunnah, (TP, TK, Cet. I,
1997), hlm. 191.
9
Begitulah usaha Syi’ah dalam mendapatkan dalil penghalalan mut’ah. mereka
membuat riwayat dari Ali ra. -menurut mereka adalah Imam pertama- yang beliau sendiri melarang mut’ah secara keras.
c. Syi’ah ber-h}ujjah dengan riwayat Ibnu Umar yang telah dirubah.
Untuk mendapatkan dalil yang kuat dalam penghalalan mut’ah, banyak cara dilakukan oleh Syi’ah. Meskipun harus berbohong. Hal ini terlihat dari hadits yang
mereka gunakan, bahwa Ibnu Umar pernah ditanya tentang hukum nikah mut’ah, lalu
beliu mejawab bahwa hal itu dibolehkan.59 Padahal dalam Ja>mi’ at-Turmudhi, Imam At-Tirmidhi berkata bahwa Ibnu Umar tidak ditanya tentang nikah mut’ah, akan tetapi Mut’atul H}ajj.60 Bagaimana mereka begitu berani merubah nash, bukankan itu sebuah kebohongan yang jelas dan nyata. Sementara dalam Mushannif Abdurrozak juga ada riwayat tentang Ibnu Abbas, yang dijadikan dalil penghalalan mut’ah oleh Syi’ah.61 Tapi dalam hal ini ada tiga pendapat62:
Pertama, membolehkannya secara mutlak. Disebutkan dari ‘At}a>’, beliau mendengar Ibnu Abbas ra. berpendapat bahwa nikah mut’ah boleh.63 Kedua, Membolehkannya dalam keadaan darurat. Riwayat ini yang termasyhur dari beliau. Di antaranya lagi riwayat dari Ubaidillah,64 bahwa Abdullah bin Abbas berfatwa tentang
mut’ah. Karenanya, para ahli ilmu mencelanya, akan tetapi beliau tidak bergeming pendapatnya, hingga para ahli syair melantunkan syair tentang fatwanya:
Wahai kawan, kenapa engkau tidak melakukan fatwa Ibnu ‘Abbas? Apakah engkau tidak mau dengan si perawan sintal, dan seterusnya …
Maka berkatalah Ibnu Abbas: ‚Bukan itu yang aku maksud, dan bukan
begitu yang aku fatwakan. Sesungguhnya mut’ah tidak halal, kecuali
bagi yang terpaksa. Ketahuilah, bahwa ia tidak ubahnya seperti makan bangkai, darah dan daging babi‛.
Ketiga, Melarangnya secara mutlak, akan tetapi riwayat ini lemah, karena salah
satu sanadnya ada Musa bin ‘Ubaidah, beliu dianggap lemah (D}a’if).65
Dari tiga pendapat ini, pendapat pertama yang diambil oleh Syi’ah. Namun,
yang menjadi pertanyaan kita (sunni), mengapa mereka mengambil riwayat dari Ibnu Abbas ra. yang saangat mereka benci kepada Umar ra, Aisyah, Abu Hurairah dan lain-lainnya. Bahkan dalam salah satu ungkapannya mereka mengatakan bahwa para sahabat itu (derajatnya) tidak lebih dari sayap nyamuk.66
Tanggapan para ulama Sunni terhadap fatwa Ibnu Abbas ra.:
Dalam sebuah riwayat, Ibnu Umar menanggapi pendapat Ibnu Abbas itu, bahwa tidak mungkin dia memberi keringanan terhadap mut’ah. Bahkan dia (Ibnu Umar)
59 Al-H}ulli, Nahju al-H}aqqi wa Kashfu as}-S}idqi, (1421), hlm. 283.
60Muhammad ‘Isa At-Turmudzi, Ja>mi>’ At-Turmudhi, (Da>r al-Tura>th al-‘Arabi, Beirut, Cet. I,
TTh.), hlm. 318, no. 752.
61 Abdu al-Razzaq as-S}ina>’i, Mus>annif ‘Abdurrozzaq, (Al-Maktab Al-Islami, Cet. II), hlm.
2413, no. 13621.
62 Mus}t}afa al-‘Adawi, Ja>mi’ Ah}ka>mi an-Nisa>’, (Da>ru al-Sunnah, Jld.3), hlm.195. 63Mus}annaf ‘Abdurrozza>q, hlm. 2413, no. 13621.
64 Lihat S}ahi>h Muslim (9/174), dan lihat ucapan Ibnu Abbas yang disebutkan oleh Baihaqi
dalam sunnanya.
65 Muhammad bin Isa At-Tirmidhi, Ja>mi’ At-Tirmidhi, (Da>ru Ih}ya>’i al-Turoth al-‘Arabi, Beirut,
Cet. I, TTh.), hlm. 426, no. 1037.
10
berani bersumpah atas nama Allah swt. untuk meyakinkan bahwa Ibnu Abbas tidak
melakukan (memberi keringanan mut’ah) itu. Dan menurutnya, jika dia berani mengatakan itu pada masa Umar ra. sehingga orang-orang melaukan mut’ah, pasti beliu akan menghukumnya karena mut’ah itu tidak lain adalah zina.67
Sementara tanggapan Khatta>bi, membolehkannya Ibnu Abbas akan nikah
mut’ah itu adalah bagi orang yang terdesak, atau karena terlalu lamanya membujang atau juga karena tidak mampu. Akan tetapi beliau akhirnya mencabut fatwa itu dikarenakan banyak yang melakukannya lalu bertobat.68 Pendapat ini juga diamini oleh Ibnu al-Qayyim Al-Jauzi.69 Sedangkan Al-Hafiz} Ibnu H}ajar berpendapat bahwa kalangan ulama menilai fatwa Ibnu Abbas dalam masalah mut’ah merupakan satu -satunya fatwa yang mengatakan boleh.70
Disinilah perbedaan antara Syi’ah dan Sunni. Mereka banyak melakukan
manipulasi terhadap periwayatan hadits. Apakah hal itu dilakukan semata-mata untuk agama, atau sekedar mencari legitimasi dalam menuruti hawa nafsu mereka? Sebenarnya, tidak sulit untuk membantah argumen-argumen Syi’ah dalam masalah
nikah mut’ah. Selain karena dangkalnya landasan burhani mereka, juga karena sesuatu yang bathil meskipun ditutupi dengan serapat-rapatnya, akan tercium juga kelak bau busuknya.
d. Syi’ah berargumen bahwa dibolehkannya mut’ah adalah qat}’i, sementara pelarangannya adalaha z}anni.
Penghalalan nikah mut’ah pada awal Islam adalah suatu yang mujma’ ‘alaih. Baik Syi’ah maupun Sunni telah sepakat akan hal itu. Sehingga sifatnya adalah qat}’i.
Sementara, menurut Syi’ah, pengharamannya sampai sekarang masih terjadi ikhtila>f, dan berarti z}anni. sesuatu yang qat}’i tidak bisa dihapus dengan z}anni.71
Jika memang benar pendapat mereka itu, bukankah dulu umat Islam pernah disuruh shalat menghadap ke Bait al-Maqdi>s dan ini qat}’i, lalu hukum itu dihapus dengan perintah menghadap ke arah Ka’bah. Jadi sesuatu yang qat}’i bukan berarti tidak bisa di nasakh. Apalagi dalam pengharaman nikah mut’ah, banyak riwayat yang shahih menyebutkannya,72 sebagaimana yang akan kami paparkan nanti. Selain
daripada itu, dalam nikah mut’ah yang dipermasalahkan bukan hukum asal penghalalannya melainkan hukum keberlangsungannya yakni setelah pernah dihalalkan itu sampai sekarang. Kalau menurut Syi’ah tadi pengharamannya adalah z}anni, maka keberlangsungan hukum halal itu pun juga z}anni. Sehingga hukum yang z}anni bisa di-naskh dengan yang z}anni pula. Dalam hal ini, keberlangsungan hukum halal itu yang di-mansu>kh.73
67 Mus}t}afa al-‘Adawi, Ja>mi’....,hlm. 199.
68 Ibnu Al-Qayyi>m Al-Jauzi, ‘Aunul Ma’bu>d-Syarh} Sunan Abi Daud, (Maktabah Salafiah bil
Madinah al-Munawwarah, Cet. II, TTh.), Jz.VI, hlm. 84.
69 Ibnu Al-Qayyi>m Al-Jauzi, Za>du al-Ma’a.d fi. Hadyi Khairi al-‘Iba>d, (Mu’assasah Ar-Risa>lah,
Cet.III, 1998), Jz. III, hlm. 305.
70 Ahmad Ali Ibnu Hajar, Fath}ul Ba>ri> bisyarh}i S}ahi>h al-Bukha>ri, Tah}qi>q: Abdul Ba>qi dan Ibnu
Baz, (Al-Maktabah as-Salafiyah, TTp, TC, TTh), Jz. 9, hlm. 173.
71 Husein Ali Kasyif al-Ghitha’, As}lu as-Syi’ah wa Ushu>luha>, (Da>rul Adhwa>’, Beirut, Cet. I,
1990), hlm. 197.
11
f. Dalil-dalil Pengharaman Nikah Mut’ah
Banyak dalil yang menerangkan dilarangnya nikah mut’ah, baik dari Al-Qur’an
maupun dari Al-Hadits bahkan terdapat juga dalam kitab Syi’ah sendiri, berikut rinciannya:
a). Dalil pengharaman Mut’ah dari kitab mereka sendiri.
Sebenarnya, dalam kitab marja’ Syi’ah sendiri terdapat riwayat yang melarang
mut’ah itu. Bahkan matan hadits yang digunakannya sama dengan yang dipakai dalam riwayat hadits sunni. Sebagaimana tercantum dalam kitab Tahdhi>bu al-Ah}ka>m, dengan sanadnya dari Muhammad bin Yahya, dari Abu Ja’far dari Abul Jauza’ dari Husein bin
Alwan dari Amr bin Khalid dari Zaid bin Ali dari ayahnya dari kakeknya dari Ali
‘alaihi as-salam berkata: ‚Rasulullah saw. mengharamkan pada perang Khaibar daging
keledai jinak dan nikah mut’ah.‛74
Semua perawi hadits itu thiqah ditinjau dari literatur Syi’ah sendiri.
Muhammad bin Yahya75: dia adalah thiqah, An-Naja>shi mengatakan dalam kitabnya, (no. 946): ‚Dia adalah guru madzhab kami di zamannya, dia ini thiqah (terpercaya)‛. Abu Ja’far76 juga thiqah (terpercaya), lihat juga dalam Al-Mufi>d min Mu’jam Rija>lil Hadith. Abul Jauza’, namanya adalah Munabbih bin Abdullah At-Taimi77, haditsnya shahih, lihat juga dalam Al-Mufi>d min Mu’jam Rija>lil Hadits. Husein bin Alwan78 ialah thiqah (terpercaya), lihat juga dalam Fa>’iqul Maqa>l, Kha>timatul Mustadrak, dan Al-Mufi>d min Mu’jam Rija>lil Hadits. ‘Amr bin Khalid Al Wasithi79 adalah thiqah, juga terdapat dalam Mu’jam Rija>lil Hadits dan Mustadraka>t Ilmi Rija>lil Hadits. Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, salah satu ahlul bait Nabi, jelas thiqah.
Lagi-lagi yang menjadi pertanyaan kita, apakah ulama’ Syi’ah tidak
mengetahui riwayat ini? atau mereka mengetahui akan tetapi tidak menjelaskan pada umat tentang kenyataan ini? Atau kenyataan ini tidak sesuai dengan kepentingan
mereka? Hadits ini jelas masyhur di kalangan syi’ah, jika tujuannya untuk taqiyyah 80,
74Abu Ja’far Muhammad bin Hasan At-Thu>si, Tahdhi>bu al-Ah}ka>m, Jz. 7, hlm. 252. Lihat juga
Al-Istibs}a>r, Jz.3, hlm. 202, no.5/511
80Taqiyyah menurut seorang guru besar Shi>’ah menuturkan adalah merahasiakan kebenaran,
menutupi keyakinan, merahasiakan dari para lawan, tidak menerima bantuan yang bisa merugikan agama atau urusan dunia. Yusuf Al-Bahrani – salah satu pembesar ulama Shi>’ah pada abad ke-12- menuturkan bahwa maksud taqiyyah adalah menampilkan diri pada orang lain seolah sependapat dengan lawan dalam perkaran yang dianutnya karena adanya kecemasan. Sementara Khomaeni mengatakan makna taqiyyah adalah hendaknya seseorang mengatakan perkataan yang berbeda dari kenyataan, atau melakukan perbuatan yang bertentangan dengan dengan aturan-aturan syari’at, semua ini dilakukan
untuk menjaga nyawa, kehormatan, atau harta orang tersebut.
Taqiyyah menurut mereka menempati posisi yang sangat luhur. Al-Kulaini dan yang lain
12
berarti Syi’ah benar-benar meremehkan Ali ra. karena dengan begitu telah
menganggapnya sebagai orang pengecut karena mengatakan haramnya mut’ah hanya pura-pura. Dan berarti juga Ali ra. telah berbohong kepada Rasulullah saw.
Dalil pelarangan mut’ah dari kitab mereka yang lain adalah dalam kitab Ar-Raud} an-Nad}i>r, yang dikutip oleh Ya’qub Badar Qothomi dalam Al-Ka>fi fi> Naqd}i al-Mut’ah, bahwa Ali ra pernah menegur Ibnu Abbas dengan keras ketika beliau
mengatakan mut’ah itu boleh, Ali ra. mengatakan: ‚...sungguh kamu telah tersesat!‛, 81 Apakah ucapan yang keras itu juga dianggap taqiyyah oleh Syi’ah.
Kalau memang nikah mut’ah itu menurut mereka dibolehkan, mengapa hal ini tidak berlaku bagi perempuan dari ulama’ ataupun syekh mereka, baik untuk istri,
saudara maupun anak-anak mereka. Bagaimana sebuah hukum agama hanya berlaku untuk satu kalangan, dan tidak berlaku untuk kalangan yang lain. Hal ini dapat dilihat dari sebuah cerita yang tercantum dala kitab Furu>’ al-Ka>fi> bahwa ketika Abu Ja’far82 -termasuk yang dianggap Imam mereka- ditanya tentang hukum mut’ah, beliu
mengatakan bahwa itu telah ditetapkan dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah, namun ketika beliu ditanya apakah boleh istri-istri beliu, anak-anak perempuannya ataupun
saudara peremapuannya untuk dimut’ah? Beliau berpaling dan tidak menjawabnya,83 hal itu menunjukkan bahwa mut’ah itu tidak berlaku bagi keluarga ulama’ ataupun
pembesar mereka.
b). Dalil Pengharaman Mut’ah dari kalangan Sunni
Secara umum, para ulama’ dari kalangan sunni sepakat bahwa nikah mut’ah
telah diharamkan oleh Allah swt. dan Rasulnya sampai hari Kiamat. Meskipun tanpa menginkari bahwa pada awal islam juga pernah dihalalkan. Satu-satunya riwayat yang membolehkan adalah dari Ibnu Abbas ra. namun itu tidak bisa dijadikan pedoman karena lemahnya riwayat sebagaimana penjelasan di atas.
Dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang konteksnya adalah perintah menjaga
kemaluan, sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Ma’a>rij ayat 29-31,
‚Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.‛84
81Ya’kub Badar al-Qothomi, Al-Ka>fi> fi> Naqd}i al-Mut’ah,(TP, Madinah, Cet. I, 2001), hlm. 16. 82Imam Ja’far nama lengkapnya adalah Imam Ja’far bin Muhammad bin Ali Zainal ‘A>bidin bin
Al Husain bin Ali bin Abu Thalib. Beliau termasuk orang yang sangat mencintai kakeknya Abu Bakar Ash-Siddiq dan juga Umar bin Khaththab Radhiyallahu `anhu.
Berbeda dengan anggapan kaum Shi>’ah, Ja`far malah membenci Rafidhah yang telah menetapkannya sebagai imam yang ma`sum. Diriwayatkan oleh Abdul Jabbar bin Al Abbas Al Hamdzani bahwa Ja`far bin Muhammad mendatangi mereka ketika mereka hendak meninggalkan Madinah, dia (Ash Shadiq) berkata:‚Sesunggunya kalian insya Allah adalah termasuk orang-orang shalih di negeri kalian, maka sampaikanlah kepada mereka ucapanku, `Barangsiapa mengira bahwa aku adalah imam ma`shum yang wajib ditaati maka aku benar-benar tidak ada sangkutpaut dengannya. Dan barangsiapa mengira bahwa aku berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar maka aku berlepas diri daripadanya`. (Syiar `A`lam An Nubala : 259).
Dikutip dariMamduh Farhan Al Buhairi, Gen Syi’ah, Sebuah Tinjauan Sejarah Penyimpangan Aqidah dan Konspirasi Yahudi, (Darul Falah, TTp, TC, TTh), hlm. 268-269.
13
Ayat ini menyebutkan bahwa kemaluan hanya halal bagi istri-istri mereka, dan
tidak termasuk pasangan mut’ah, karena permpuan mut’ah tidak termasuk dalam
katergori tersebut, akan tetapi hanya sebatas sewaan.85
Riwayat yang paling kuat kesahihannya adalah yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim, yang disandarkan kepada Sayyidina Ali ra. bahwa bahwa Rasulullah Saw.
telah melarang nikah mut’ah pada perang Khaibar dan melarang memakan daging
keledai peliaraan86. Pertanyaannya, mengapa ulama-ulama Syi’ah tidak memakai
hadits ini. Bukankah Ali ra. itu imam pertama mereka yang ma’shum. Kenapa ada
pengingkaran terhadap riwayat dari imam mereka. Dimana letak loyalitas mereka kepada Imam-nya. Kalau alasannya tidak mendengar riwayat ini, bukankah sekarang sudah banyak yang menyampaikan. Atau untuk tujuan taqiyyah, kalau memang demikian, kepada siapa mereka ber-taqiyyah. Kalau penghalalan mut’ah itu ternyata
tidak berlaku dengan berbagai alasan, bagaimana dengan daging keledai yang penyebutannya bersamaan dengan mut’ah. Mestinya hukum pengharamannya juga tidak berlaku sebagaimana hukum pada mut’ah. Namun tidak ada juga keterangan atau
riwayat yang menyanggah hukum daging keledai tersebut.
Dalil pelarangan mut’ah yang lain adalah riwayat dari Ibnu Umar ra. bahwa
Sayyidina Umar bin Khattab ra. dalam pidatonya mengataka: ‚....Demi Allah, saya tidak melihat seseorang melakukan mut’ah sedang ia adalah muh}s}a>n, kecuali aku akan merajamnya...‛ (HR. Imam Ibn Majah).87Sebagai catatan, tidak ada satu sahabatpun yang memprotes Umar ra. ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa pelarangan mut’ah
itu bukan dari diri Umar ra. melainkan menyampaikan apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. Berbeda dengan mut’ah haji, beberapa sahabat memprotes Umar ra.
ketika menyebut bahwa mut’ah haji juga dilarang, karena Rasulullah saw. pernah melakukan.88
Pengaharman mut’ah ini juga disebutkan dalam Musnad Ibn Hanbal, bahwa Rasulullah saw. pernah mengatakan dalam pidatonya: ‚Wahai manusia, sesungguhnya
aku pernah membolehkan mut’ah kepada wanita, tahukah kalian bahwa Allah swt.
telah melarangnya sampai hari Kiamat....‛. Mari kita lihat Rija>l hadits ini, mereka adalah Waki’, Abdul Aziz, Robi’ dan Sabroh Al-Juhani, semuanya thiqah dan Imam
Muslim mengambil hadits dari mereka kecuali Robi’ dan Sabroh Imam Bukhari tidak
mengambilnya.89 Namun hadits ini sudah dapat dikategorikan shahih, karena masih
banyak riwayat lain yang menerangkan tentang diharamkannya mut’ah.
g. Dampak Nikah Mut’ah
Jika nikah mut’ah banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat, maka masalah besar yang akan muncul adalah lahirnya bayi-bayi yang tidak jelas statusya. Hal ini
85 Al-Kulaini, Furu’ al-Ka>fi>, jz. III, hlm. 458.
86 HR. Al-Bukhari (3919,4748, 5124) dan Muslim (2518, 2519, 2521, 3588), lihat juga Syekh
Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam Ensiklopedi Larangan, (Pustaka Imam Syafi’i, Bogor, TC, 2005), hlm. 26.
87 Ibnu Ma>jah Al-Quzuaini, Sunan Ibnu Ma>jah, (Da>rul Fikr, Beirut, Cet. I, TP), hlm. 488, no.
1949.
88 Muhammad Ma>lulla>h, As-Syi’ahwal Mut’ah, (Da>ru as-S}ahwah al-Islami, Cet. I, 1407), hlm.
17.
89 Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Da>ru Ihya>’i at-Turath al-‘Araby, Beirut,
14
dikarenakan mereka terlahir dari pernikahan yang tidak sah, sebagaimana bayi yang terlahir dari luar pernikahan. Tidak berhenti disitu saja masalahnya, justru akan selalu bertambah banyak. Tanpa seorang ayah sebagai figur dalam keluarga, masa depan bayi secara psikologis akan terganggu, dan hal ini bisa mempengaruhi kepribadiannya secara negatif.
Di segi yang lain, anak hasil mut’ah tidak punya hak atas harta warisan dari siapapun. Karena tidak adanya garis nasab yang sah yang dia miliki. Selanjutnya, Jika jenis kelamin bayi itu perempuan berarti dia tidak punya wali ketika ingin menikah. Padahal yang termasuk rukun dalam pernikahan adalah adanya wali dari pengantin perempuan. Ketidak beradaan wali menyebabkan tidak sahnya pernikahan, dan jika tetap dilakukan berarti hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan juga dianggap tidak sah.
Kemungkinan besar lain yang bisa terjadi akibat mut’ah adalah anak yang dilahirkan akan melakukan hubungan dengan orang tua biologisnya, baik kepada bapaknya maupun kepada ibunya sendiri. Mengapa hal ini bisa terjadi, karena, terlalu seringnnya berganti-ganti pasangan mut’ah dan berkali-kali melakukannya, sehingga bercampur aduklah antara wanita-wanita yang di mut’ah dan anak-anak yang dihasilkannya dari mut’ah.
Singkatnya, cukuplah seseorang itu, memahami bahwa mad}arat dan manfaat
nikah mut’ah itu lebih besar madaratnya, sehingga terlepas dari hukum halal dan
haramnya, dia akan selalu menjauhi dari melakukan mut’ah. Setiap hati nurani kita
pasti sama, tidak rela jika salah satu keluarga kita dinikahi secara mut’ah. Sebesar
apapun pahala dan kemuliaan yang ditawarkan kepada kita. Hal ini menunjukkan, bahwa hati kita selalu jujur dalam menerima mana yang haq dan mana yang bathil.
Makanya, ketika Syi’ah berusaha mencari pengesahan hukum mut’ah, sebenarnya
mereka telah menghianati hatinya sendiri. Hal ini tercermin dari sikap beberapa ulama’ mereka ketika perempuan dari keluarganya ingin dinikahi secara secara mut’ah. mereka tidak merelakannya.
Dalam nikah mut’ah, begitu ketentuan waktunya habis, pihak laki-laki tidak wajib menafkahi bekas perempuannya yang dimut’ah, begitu juga terhadap anak-anak
yang dilahirkan. Jika demikian, berarti mut’ah bisa menimbulkan gejala kemiskinan, dari situ akan muncul kebodohan dan selanjutnya kekufuran.
Jika kita bandingkan dengan nikah hakiki, disana terdapat tujuan yang sangat mulya bagi yang menjalaninya, yaitu membina rumah tangga yang langgeng, mendapatkan keturunan yang baik dan menambah kuat ikatan antar keluraga. Hal ini
bertolak belakang dengan nikah muta’h yang nihil akan semua itu kecuali terpenuhinya
hasrat sex yang dibungkus dengan kain pernikahan.
h. Penutup
Dari pemaparan yang singkat ini, dapat disimpulkan, bahwa Ijma’ Ulama Ahli Sunnah menetapkan nikah mut’ah telah diharamkan oleh Allah swt. sampai hari
Kiamat. Hal ini didasari oleh Nas} dari Al-Qur’an maupun Al-Hadits yang shahih.
Sementara, pandangan Syi’ah terhadap nikah mut’ah dapat ditolak karena hanya
bersandarkan kepada fatwa-fatwa ulama’nya dan hadits-hadits yang dhoif bahkan
15
perzinahan, akan tetapi justru bisa menimbulkan permasalahan baru dalam agama, dan juga dalam kehidupan sosial.
16
DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Adawi, Must}afa>, Ja>mi’ Ah}kam an-Nisa>’, (Da>ru as-Sunnah, TTp, TC, TTh.), Jz.III. Abadi, Muhammad Abu al-Laits al-Khair, ‘Ulu>mul Hadi>th Ashi>luha> wa Mu’a>s}iruha>,
(Da>rus Sya>kir, Malaysia, TC, 2005).
Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Da>ru Ihya>’i at-Turath al-‘Araby,
Beirut, Cet. I, TTh.).
Ahmad, Abu ‘Abbas, Rija>l Naja>shi, (Shirkatu al-Ma’lami li al-Mat}bu>’a>t, Beirut, Cet. I, 2001).
Abu Ja’far As-S}adu>q Muhammad, Al-Muqni’, (Al-Imam Al-Hadi, TTp, TC, 1415). Al-‘Asqala>ni>, Ibnu Hajar, Fath}ul Ba>ri> bisyarh}i S}ahi>h al-Bukha>ri, Tah}qi>q: Abdul Ba>qi
dan Ibnu Baz, (TP, TTp, Cet. I, 2001).
Bagir, Muhammad, Fiqih Praktis II, Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pedapat para Ulama, (Karisma, Bandung, Cet.I, 2008).
Al-Buhairi, Mamduh Farhan, Gen Syi’ah, (Darul Falah, Jakarta Timur, Cet. I, 2001). Al-Bukhori, S}ahi>h Al-Bukha>ri, (Da>ru Ibnu Katsi>r al-Yama>mah, Beirut, Cet. III, TTh.). al-Ghitha’, Husein Ali Kasyif, As}lu as-Syi’ah wa Ushu>luha>, (Da>rul Adhwa>’, Beirut,
Cet. I, 1990).
Al-H}aki>m, Abdul Hadi Muhammad Ba>qi>, Al-Fata>wa> al-Muyassarah, (Mu’asasah ‘As}ru al-Z}uhu>r, Kuwait, Cet. I, 2009).
Al-Hasan, Al-Muz}affar Syekh Muhammmad, Rija>lu as-Sunnah fi al-Mi>za>n, (Shabakatu al-Ima>main al-Husanain li at-Turath wa al-Fikr al-Isla>mi, Mesir, TC, 1376 H). Al-H}ulli, Imam Hasan, Nahju al-H}aqqi wa Kashfu as}-S}idqi, (Da>ru al-Hijrah, Iran, TC,
1421).
Ibnu Katsir, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-A>z}im, (Da>rul Kutub Al-Ilmiyah-Beirut, Cet. I, 1998). Al-Jauzi, Ibnu Al-Qayyim, Za>dul Ma’a>d fi> Hadyi Khairi al-‘Iba>d, (Mu’assasah Ar
-Risa>lah, Cet.III, 1998), Jld.III.
Al-Jauzi, Ibnu Qayyim Al-Jauzi, ‘Aunul Ma’bud-Sharh} Sunan Abi> Daud, (Maktabah Salafiah, Madi>nah al-Munawwarah, Cet. II, TTh.), Jld.VI.
Jawaz, Yazid bin Abdul Qadir, Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, (Penerbit Pustaka At-Taqwa, Bogor, Cet. II, 2006).
Al-Khu>’i, Abu Al-Qa>sim, (Maniyyatu as-Sa>il, Beirut, 1991).
Al-Khu>’i, Minhaj as-S}a>lihi>n, (TP, TTp, Cet. XXVIII, 1410H), Jld. II. Al-Khu’i, Mu’jam Rija>l Hadits, (TP, TTp, Cet. V, 1992).
Al-Kulaini, Muhammad Ya’qu>b, Furu>’ al-Ka>fi>, (Da>rut Ta’aruf lil Mathbu>’a>t, Beirut, 1992).
17
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Madzhab, (Lentera Basritama, Jakarta, Cet. VIII, 2002.
Al-Mu’jam al-Wasi>t}, (Maktabah al-Syuru>q ad-Dauliyyah, Cet. IV, 2004).
Al-Muslim, S}ahi>h Muslim, (Da>ru Ihya>i at-Turath al-‘Arabi, Beirut, Cet. I, TTh.). Nas}r, Abu> Fatah}, Risa>lah Tahri>mi Nika>hi al-Mut’ah, (Daru> at-Turath. Madinah. Cet. I,
1987).
An-Nauri, Al-Mirza, Mustadrak al-Wasa>’il, (TP, TTp, Cet. II, 1998), Jld. XIV.
Al-Qat}a>mi, Ya’qu>b Badar ‘Abdul Waha>b, Al-Ka>fi> fi> Naqd}i al-Mut’ah-zuwa>jul Mut’ah
am Ruwa>jul Mut’ah, (TP, Madi>nah al-Munawwarah, TC, 1427).
Rusydi, Teuku Edy Faisal, Pengesahan Kawin Kontrak, (Pilar Media, Yogyakarta, Cet. I, 2007).
As-Sakha>wi, Al-Maqa>s}id al-H}asanah fi> ma> Ishtahara ‘ala> Sinah, (Da>r Kitab
al-‘Arabi, Beirut, Cet. IV, 2002).
Sarwad, Ahmad, Fiqhu al-H}ayah, (DU. Publishing, TTp, TC, 2011).
As-Shalabi, Ali Muhammad, Khawarij dan Syi’ah dalam timbangan Ahli Sunnah wal Jama’ah, (Pustaka al-Kautsar, TTp, TC, 2012).
As-Shina>’i, Abdu al-Razzaq, Mus}annif ‘Abdurrozzaq, (Al-Maktab Al-Islami, TTp., Cet. II, TTh.).
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, (Penerbit Mizan, Bandung, Cet. XIII, 1996). As-Shoduq, Abu Ja’far, Man la> Yahd}uruhu Faqi>h, (Shabakatu Ima>main
al-Husanain li at-Turath wa al-Fikr al-Isla>mi-www.alhassanain.com). Suhaimi, Ahmad Haris, Tauthi>qu as-Sunnah, (Da>russala>m, TTp, Cet. I, 2003). At-T}aba>taba>’i>, Muhammad Husein, Tafsir Al-Mi>za>n, (Qum).
At-T}u>si, Abu Ja’far bin H}asan, al-Istibs}a>r fi> ma> ikhtalafa min al-Akhba>r, (Da>rul Adhwa>’, Cet.II, 1992).
At-Thusi, Abu Ja’far Muhammad bin H}asan, Tahdhi>bul Ah}ka>m, (Da>rut Ta’a>ruf lil Mathbu>’a>t, Bairut, 1992).
At-Turmudhi, Muhammad bin Isa, Ja>mi’ At-Tirmidhi, (Da>ru Ihya’ Turath al-‘Arabi, Beirut, Cet.I, TTh).
At-Turmudhi, Jami’u at-Tirmidhi, (Da>ru Ihya>’i at-Turath al-‘Arabi, Beirut, Cet. I, TTh.).
Az-Zar’i, Abdurrahman Abdullah, Rija>l as-Syi’ah fi> al-Mi>za>n, (Da>rul Arqa>m, Cet. I, 1983).
Al-Qur’an in word.
18
www.shia.com. http://shiaweb.org http://ar.lib.eshia.ir Maktabah Sya>milah
Jawa>mi’ al-Kalim